Puisi merupakan karya sastra yang memiliki struktur yang sangat kompleks
yang terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Masing-masing norma
menimbulkan lapis norma di bawahnya, yang dijelaskan oleh Rene Wellek
sebagai berikut :
Lapis norma pertama adalah lapis bunyi (sound stratum). Bila orang
membaca puisi, maka yang terdengar adalah serangkaian bunyi yang
dibatasi jeda pendek, agak panjang, dan panjang.
(Chairil Anwar)
Kecuali asonansi dan aliterasi, terdapat pula rima teratur yang digarap
dengan sangat mengesankan oleh Chairil Anwar. Bait 1 dan bait terakhir
mempunyai rima yang sama (a b), yang nampaknya mengapit bait-bait di
antaranya yang berpola rima a a – bb. Rima konsonan memancar – si
pacar dipertentangkan dengan rima terasa – padanya yang merupakan
bunyi vokal. Rima kutempuh – merapuh (konsonan) dipertentangkan
dengan rima vokal dulu – cintaku.
Rima yang berupa asonansi dan aliterasi pada puisi di atas berfungsi sebagai
lambang rasa (klanksymboliek) sehingga menambah keindahan puisi dan
memberi nilai rasa tertentu.
Bait I Cintaku jauh di pulau berarti kekasih tokoh aku berada di pulau yang
jauh. Gadis manis sekarang iseng sendiri artinya sang kekasih tersebut
adalah seorang gadis yang manis yang menghabiskan waktu sendirian
(iseng) tanpa kehadiran tohoh aku.
Pada bait II, si tokoh aku menempuh perjalanan jauh dengan perahu karena
ingin menjumpai kekasihnya. Ketika itu cuaca sangat bagus, namun hati si
aku merasa gundah karena rasanya ia tak akan sampai pada kekasihnya.
Bait III menceritakan perasaan si aku yang semakin sedih karena
walaupun air terang, angin mendayu, tetapi pada perasaannya ajal telah
memanggilnya (Ajal bertahta sambil berkata : “Tujukan perahu ke
pangkuanku saja”).
Setelah kita menganalisis makna tiap bait, kita pun harus sampai pada
makna lambang yang diemban oleh puisi tersebut. Kekasih tokoh aku
adalah kiasan dari cita-cita si aku yang sukar dicapai. Untuk meraihnya si
aku harus mengarungi lautan yang melambangkan perjuangan. Sayang,
usahanya tidak berhasil karena kematian telah menjemputnya sebelum ia
meraih cita-citanya.
Kekasih tokoh aku (gadis manis) berada di suatu tempat yang jauh. Karena
ingin menemuinya, pada suatu malam ketika bulan bersinar dan cuaca
bagus, si aku berangkat dengan perahu. Akan tetapi, walaupun keadaan
sangat baik untuk berlayar (laut terang, angin mendayu), namun si aku
merasa ia tak akan sampai pada kekasihnya itu. Pelayaran selama
bertahun-tahun, bahkan sampai perahunya akan rusak, nampaknya tidak
akan membuahkan hasil karena ajal lebih dulu datang. Ia membayangkan,
setelah ia mati kekasihnya juga akan mati dalam kesendirian.
Ada pula makna implisit yang walaupun tidak dinyatakan dalam puisi
namun dapat dipahami oleh pembaca. Misalnya kata ’gadis manis’ memberi
gambaran bahwa pacar si aku ini sangat menarik.
Menganalisis puisi tidak cukup berdasarkan strata norma saja. Agar analisis
lengkap dan mendalam, perlu menggabungkan analisis strata norma dengan
analisis semiotik dan fungsi estetik setiap unsur yang membangun puisi
tersebut.
Analisis semiotik memandang karya sastra, dalam hal ini puisi, sebagai
sistem tanda yang bermakna. Tiap-tiap fenomena (unsur puisi) diyakini
mempunyai makna atau arti, sehingga menganalisis puisi sampai
menemukan makna yang dimaksud merupakan suatu keharusan. Kecuali itu
fungsi estetik setiap unsur dalam puisi juga perlu dibahas.
1. Bunyi
SEPISAUPI
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
Bunyi aspiran s, h
Kakofoni – Dominasi bunyi-bunyi k, Suasana kacau, tidak
(cacophony) : p, t, s. teratur, tidak
bunyi yang tidak menyenangkan.
merdu, parau – Rima puisi sangat tidak
teratur
Vokal e, i – Perasaan riang, kasih,
suci
Konsonan k, p, t, s, f
– imaji : kecil, ramping,
ringan, tinggi.
Vokal a, o, u – Perasaan murung,
sedih,
Konsonan b, d, g, z, v, w
gundah, kecewa.
rendah.
2. Kata
Dalam menganalisis puisi, perlu dibahas arti kata dan efek yang
ditimbulkannya, misalnya arti denotatif, arti konotatif, kosa kata, diksi,
citraan, faktor ketatabahasaan, sarana retorika, dan hal-hal yang
berhubungan dengan struktur kata atau kalimat puisi.
2. Unsur-unsur Puisi
Berikut ini merupakan beberapa pendapat mengenai unsur-unsur puisi.
(1) Richards (dalam Tarigan, 1986) mengatakan bahwa unsur puisi terdiri
dari (1) hakikat puisi yang melipuiti tema (sense), rasa (feeling), amanat
(intention), nada (tone), serta (2) metode puisi yang meliputi diksi, imajeri,
kata nyata, majas, ritme, dan rima.
(2) Waluyo (1987) yang mengatakan bahwa dalam puisi terdapat struktur
fisik atau yang disebut pula sebagai struktur kebahasaan dan struktur batin
puisi yang berupa ungkapan batin pengarang.
(5) Meyer menyebutkan unsur puisi meliputi (1) diksi, (2) imajeri, (3)
bahasa kiasan, (4) simbol, (5) bunyi, (6) ritme, (7) bentuk (Badrun,
1989:6).
(1) Perwajahan puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang
tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris
puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan
tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.
(2) Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam
puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata
dapat mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih
secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan
makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata. Geoffrey (dalam Waluyo,
19987:68-69) menjelaskan bahwa bahasa puisi mengalami 9 (sembilan)
aspek penyimpangan, yaitu penyimpangan leksikal, penyimpangan
semantis, penyimpangan fonologis, penyimpangan sintaksis, penggunaan
dialek, penggunaan register (ragam bahasa tertentu oleh kelompok/profesi
tertentu), penyimpangan historis (penggunaan kata-kata kuno), dan
penyimpangan grafologis (penggunaan kapital hingga titik)
(3) Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan
pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji
dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan
(visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat
mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, medengar, dan merasakan
seperti apa yang dialami penyair.
(4) Kata kongkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang
memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan
atau lambang. Misal kata kongkret “salju: melambangkan kebekuan cinta,
kehampaan hidup, dll., sedangkan kata kongkret “rawa-rawa” dapat
melambangkan tempat kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan, dll.
(6) Versifikasi, yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah
persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi.
Rima mencakup (1) onomatope (tiruan terhadap bunyi, misal /ng/ yang
memberikan efek magis pada puisi Sutadji C.B.), (2) bentuk intern pola
bunyi (aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak
berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi [kata], dan
sebagainya [Waluyo, 187:92]), dan (3) pengulangan kata/ungkapan. Ritma
merupakan tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Ritma
sangat menonjol dalam pembacaan puisi.
(3) Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga
berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema
dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk
memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca,
dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll.