Anda di halaman 1dari 11

Cara Menyajikan Sastra ke Anak

Sastra (sanskerta: shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta


‘Sastra’, yang berarti teks yang mengandung instruksi atau pedoman, dari
kata dasar ‘Sas’ yang berarti instruksi atau ajaran dan ‘Tra’ yang berarti alat
atau sarana. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk
merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti
atau keindahan tertentu. Pada sekolah dasar, pembelajaran sastra
dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa mengapresiasi karya
sastra. Kegiatan mengapresiasi sastra berkaitan dengan latihan
mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, serta kepekaan terhadap
masyarakat, budaya dan lingkungan hidup. Pengembangan kemampuan
bersastra di sekolah dasar dilakukan dalam berbagai jenis dan bentuk
melalui kegiatan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Adapun
pemilihan bahan ajar tersebut dapat dicari pada sumber-sumber yang
relevan (Depdiknas, 2003 ).

Pembelajaran sastra di SD adalah Pembelajaran sastra anak. Sastra anak


adalah karya sastra yang secara khusus dapat dipahami oleh anak-anak dan
berisi tentang dunia yang akrab dengan anak-anak, yaitu anak yang berusia
antara 6-13 tahun. Sifat sastra anak adalah imajinasi semata, bukan
berdasarkan pada fakta. Unsur imajinasi ini sangat menonjol dalam sastra
anak. Hakikat sastra anak harus sesuai dengan dunia dan alam kehidupan
anak-anak yang khas milik mereka dan bukan milik orang dewasa. Sastra
anak bertumpu dan bermula pada penyajian nilai dan imbauan tertentu
yang dianggap sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupan.

Sastra anak berfungsi sebagai media pendidikan dan hiburan, membentuk


kepribadian anak, serta menuntun kecerdasan emosi anak. Pendidikan
dalam sastra anak memuat amanat tentang moral, pembentukan
kepribadian anak, mengembangkan imajinasi dan kreativitas, serta memberi
pengetahuan keterampilan praktis bagi anak. Fungsi hiburan dalam sastra
anak dapat membuat anak merasa bahagia atau senang membaca, senang
dan gembira mendengarkan cerita ketika dibacakan atau dideklamasikan,
dan mendapatkan kenikmatan atau kepuasan batin sehingga menuntun
kecerdasan emosinya.

ANALISIS PUISI BERDASARKAN STRATA NORMA

Puisi merupakan karya sastra yang memiliki struktur yang sangat kompleks
yang terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Masing-masing norma
menimbulkan lapis norma di bawahnya, yang dijelaskan oleh Rene Wellek
sebagai berikut :
Lapis norma pertama adalah lapis bunyi (sound stratum). Bila orang
membaca puisi, maka yang terdengar adalah serangkaian bunyi yang
dibatasi jeda pendek, agak panjang, dan panjang.

Lapis pertama yang berupa bunyi tersebut mendasari timbulnya lapis


kedua, yaitu lapis arti (units of meaning), karena bunyi-bunyi yang ada
pada puisi bukanlah bunyi tanpa arti. Bunyi-bunyi itu disusun sedemikian
rupa menjadi satuan kata, frase, kalimat, dan bait yang menimbulkan
makna yang dapat dipahami oleh pembaca.

Rangkaian satuan-satuan arti tersebut menimbulkan lapis ketiga berupa


unsur intrinsik dan ekstrinsik puisi, misalnya latar, pelaku, lukisan-lukisan,
objek-objek yang dikemukakan, makna implisit, sifat-sifat metafisis, dunia
pengarang dan sebagainya.

Untuk menjelaskan penerapan analisis strata norma tersebut berikut


diberikan sebuah contoh.

CINTAKU JAUH DI PULAU

(Chairil Anwar)

Cintaku jauh di pulau,

gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,

di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar

Angin membantu, laut terang, tapi terasa

aku tidak ‘kan sampai padanya

Di air yang terang, di angin mendayu,

di perasaan penghabisan segala melaju

Ajal bertahta, sambil berkata :

“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”

Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!

Perahu yang bersama ‘kan merapuh!

Mengapa ajal memanggil dulu

sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!


Manisku jauh di pulau

kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri

1.  Analisis lapis pertama (bunyi/sound stratum)

Pembahasan lapis bunyi hanyalah ditujukan pada bunyi-bunyi yang bersifat


“istimewa” atau khusus, yaitu bunyi-bunyi yang dipergunakan untuk
mendapatkan efek puitis atau nilai seni. Misalnya pada baris pertama puisi
di atas ada asonansi a dan u; di baris kedua ada aliterasi s (gadis manis
sekarang iseng sendiri). Demikian juga pada bait kedua ada
asonansi a (melancar – memancar – si pacar – terang – terasa); dan ada
pula aliterasi l dan r (melancar – bulan memancar – laut terang – tapi
terasa).

Kecuali asonansi dan aliterasi, terdapat pula rima teratur yang digarap
dengan sangat mengesankan oleh Chairil Anwar. Bait 1 dan bait terakhir
mempunyai rima yang sama (a b), yang nampaknya mengapit bait-bait di
antaranya yang berpola rima   a a – bb. Rima konsonan memancar – si
pacar dipertentangkan dengan rima terasa – padanya yang merupakan
bunyi vokal. Rima kutempuh – merapuh (konsonan) dipertentangkan
dengan rima vokal dulu – cintaku.

Rima yang berupa asonansi dan aliterasi pada puisi di atas berfungsi sebagai
lambang rasa (klanksymboliek) sehingga menambah keindahan puisi dan
memberi nilai rasa tertentu.

Asonansi Pengulangan bunyi vokal pada sebuah baris yang


sama.
Aliterasi 1. Pengulangan bunyi konsonan dari kata-kata
yang berurutan.
2. Sajak/rima awal.

2. Analisis lapis kedua (arti/units of meaning)

Dalam kegiatan menganalisis arti, kita berusaha memberi makna pada


bunyi, suku kata, kata, kelompok kata, kalimat, bait, dan pada akhirnya
makna seluruh puisi. Sebagai contoh, berikut ini adalah analisis makna per
kalimat, per bait dan akhirnya makna seluruh puisi ‘Cintaku Jauh di Pulau’.

Bait I Cintaku jauh di pulau berarti kekasih tokoh aku berada di pulau yang
jauh. Gadis manis sekarang iseng sendiri artinya sang kekasih tersebut
adalah seorang gadis yang manis yang menghabiskan waktu  sendirian
(iseng) tanpa kehadiran tohoh aku.

Pada bait II, si tokoh aku menempuh perjalanan jauh dengan perahu karena
ingin menjumpai kekasihnya. Ketika itu cuaca sangat bagus, namun hati si
aku merasa gundah karena rasanya ia tak akan sampai pada kekasihnya.
Bait III menceritakan perasaan si aku yang semakin sedih karena
walaupun air terang, angin mendayu, tetapi  pada perasaannya ajal telah
memanggilnya (Ajal bertahta sambil berkata : “Tujukan perahu ke
pangkuanku saja”).

Bait IV menunjukkan si aku putus asa. Demi menjumpai kekasihnya ia telah


bertahun-tahun berlayar, bahkan perahu yang membawanya akan rusak,
namun ternyata kematian menghadang dan mengakhiri hidupnya sebelum
ia bertemu dengan kekasihnya.

Bait V merupakan kekhawatiran si tokoh aku tentang kekasihnya, bahwa


setelah ia meninggal, kekasihnya itupun akan mati juga dalam penantian
yang sia-sia.

Setelah kita menganalisis makna tiap bait, kita pun harus sampai pada
makna lambang yang diemban oleh puisi tersebut. Kekasih tokoh aku
adalah kiasan dari cita-cita si aku yang sukar dicapai. Untuk meraihnya si
aku harus mengarungi lautan yang melambangkan perjuangan. Sayang,
usahanya tidak berhasil karena kematian telah menjemputnya sebelum ia
meraih cita-citanya.

3. Analisis lapis ketiga (objek-objek, latar, pelaku, ‘dunia pengarang’


dan lain-lain)

Lapis arti menimbulkan lapis ketiga berupa objek-objek yang dikemukakan,


latar, pelaku, ‘dunia pengarang’, makna implisit, dan metafisis.

Pada puisi ‘Cintaku Jauh di Pulau’, objek yang dikemukakan adalah cintaku,


gadis manis, laut, pulau, perahu, angin, bulan, air laut, dan
ajal. Pelaku atau tokohnya adalah si aku , sedang latarnya di laut pada
malam hari yang cerah dan berangin.

Jika objek-objek, latar, dan pelaku yang dikemukakan dalam puisi


digabungkan, maka  akan menghasilkan ‘dunia pengarang’ atau isi puisi.
Ini merupakan dunia (cerita) yang diciptakan penyair di dalam puisinya.

Contoh, berdasarkan puisi ‘Cintaku Jauh di Pulau’ kita dapat menuliskan


‘dunia pengarang’ sebagai berikut :

Kekasih tokoh aku (gadis manis) berada di suatu tempat yang jauh. Karena
ingin menemuinya, pada suatu malam ketika bulan bersinar dan cuaca
bagus, si aku berangkat dengan perahu. Akan tetapi, walaupun keadaan
sangat baik untuk berlayar (laut terang, angin mendayu), namun si aku
merasa ia tak akan sampai pada kekasihnya itu. Pelayaran selama
bertahun-tahun, bahkan sampai perahunya akan rusak, nampaknya tidak
akan membuahkan hasil karena ajal lebih dulu datang. Ia membayangkan,
setelah ia mati kekasihnya juga akan mati dalam kesendirian.
Ada pula makna implisit yang walaupun tidak dinyatakan dalam puisi
namun dapat dipahami oleh pembaca. Misalnya kata ’gadis manis’ memberi
gambaran bahwa pacar si aku ini sangat menarik.

Dalam puisi tersebut terasa perasaan-perasaan si aku : senang, gelisah,


kecewa, dan putus asa.

Kecuali itu ada unsur metafisis yang menyebabkan pembaca


berkontemplasi. Dalam puisi di atas, unsur metafisis tersebut berupa
ketragisan hidup manusia, yaitu meskipun segala usaha telah dilakukan
disertai sarana yang cukup, bahkan segalanya berjalan lancar, namun
manusia seringkali tak dapat mencapai apa yang diidam-idamkannya karena
maut telah menghadang lebih dahulu. Dengan demikian, cita-cita yang
hebat dan menggairahkan akan sia-sia belaka.

ANALISIS BERDASARKAN STRATA NORMA, SEMIOTIK, DAN FUNGSI


ESTETIK

Menganalisis puisi tidak cukup berdasarkan strata norma saja. Agar analisis
lengkap dan mendalam, perlu menggabungkan analisis strata norma dengan
analisis semiotik dan fungsi estetik setiap unsur yang membangun puisi
tersebut.

Analisis semiotik memandang karya sastra, dalam hal ini puisi, sebagai
sistem tanda yang bermakna. Tiap-tiap fenomena (unsur puisi) diyakini
mempunyai makna atau arti, sehingga menganalisis puisi sampai
menemukan makna yang dimaksud merupakan suatu keharusan. Kecuali itu
fungsi estetik setiap unsur dalam puisi juga perlu dibahas.

Menganalisis puisi berdasarkan strata norma yang dihubungkan dengan


semiotik dan fungsi estetik, pada umumnya menyangkut masalah bunyi dan
kata.

1.   Bunyi

Dalam puisi bunyi bersifat estetik, merupakan unsur puisi untuk


mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Kecuali itu bunyi juga
bertugas memperdalam makna, menimbulkan suasana yang khusus,
menimbulkan perasaan tertentu, dan menimbulkan bayangan angan secara
jelas.

Demikian pentingnya peranan bunyi dalam puisi, sehingga dalam


perjalanannya ada puisi-puisi yang sangat menonjolkan unsur bunyi.
Misalnya saja Sajak Hugo Bal yang diterjemahkan dengan judul ‘Ratapan
Mati’, secara keseluruhan hanya berupa rangkaian bunyi ‘kata-kata’ tanpa
arti. Bahkan di Indonesia pada masa lampau dikenal bentuk puisi mantera
dan serapah yang memanfaatkan kekuatan bunyi. Di masa modern ini,
dipelopori Sutardji Calzoum Bachri, muncul puisi-puisi yang
menomorsatukan peranan bunyi. Dalam hal ini bunyi-bunyi yang dipakai
disusun sedemikian rupa, sehingga menimbulkan daya evokasi (daya kuat
untuk membentuk pengertian). Contoh :

SEPISAUPI

(Sutardji Calzoum Bachri)

sepisau luka sepisau duri

sepikul dosa sepukau sepi

sepisau duka serisau diri

sepisau sepi sepisau nyanyi

sepisaupa sepisaupi

sepisapanya sepikau sepi

sepisaupa sepisaupi

sepikul diri keranjang duri

sepisaupa sepisaupi

sepisaupa sepisaupi

sepisaupa sepisaupi

sampai pisauNya kedalam nyanyi

Walaupun puisi di atas seolah-olah merupakan permainan bunyi belaka,


namun jika kita teliti, bunyi-bunyi yang dipakai oleh Sutardji ternyata diolah
dengan sangat baik, sehingga memiliki daya evokasi.

Berikut ini dikemukakan fungsi bunyi dalam


mendukung suasana, perasaan, dan imaji pada puisi.

Efoni Vokal a, i, u, e, o Suasana mesra, penuh


(euphony) : kasih sayang, gembira,
bunyi yang Konsonan bersuara b, d, g, bahagia.
merdu dan j
indah.
Bunyi liquida r, l

Bunyi sengau m, n, ng, ny

Bunyi aspiran s, h
Kakofoni – Dominasi bunyi-bunyi k, Suasana kacau, tidak
(cacophony) : p, t, s. teratur, tidak
bunyi yang tidak menyenangkan.
merdu, parau – Rima puisi sangat tidak
teratur
Vokal e, i – Perasaan riang, kasih,
suci
Konsonan k, p, t, s, f
– imaji : kecil, ramping,

ringan, tinggi.
Vokal a, o, u – Perasaan murung,
sedih,
Konsonan b, d, g, z, v, w
gundah, kecewa.

– imaji : bulat, berat,


besar,

rendah.

2.   Kata

Walaupun ada penyair yang menonjolkan bunyi dan mengabaikan peranan


kata dalam puisi ciptaannya (misalnya Sajak Hugo Bal), namun tidak dapat
dipungkiri bahwa kata sampai saat ini masih merupakan sarana yang sangat
penting dalam penciptaan puisi. Bagaimanapun juga, pada umumnya
penyair mencurahkan pengalaman jiwanya melalui kata-kata.

Dalam menganalisis puisi, perlu dibahas arti kata dan efek yang
ditimbulkannya, misalnya arti denotatif, arti konotatif, kosa kata, diksi,
citraan, faktor ketatabahasaan, sarana retorika, dan hal-hal yang
berhubungan dengan struktur kata atau kalimat puisi.

Kata-kata yang digunakan oleh penyair disebut Slamet Mulyana


sebagai kata berjiwa. Dalam kata berjiwa ini sudah dimasukkan unsur
suasana, perasaan-perasaan penyair, dan sikapnya terhadap sesuatu.

Nampaknya penyair mempergunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa


sehari-hari. Ini terjadi karena puisi sebagai ungkapan jiwa. Penyair
menghendaki agar pembaca dapat turut merasakan dan mengalami seperti
apa yang dirasakan penyair. Misalnya saja sajak Toto Sudarto Bachtiar
berikut ini :

PAHLAWAN TAK DIKENAL

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring

Tetapi bukan tidur, sayang

Sebuah lubang peluru bundar di dadanya


Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang

Dalam bait puisi tersebut, kata-kata yang dipergunakan menyiratkan


pancaran sikap sopan dan rasa hormat kepada pahlawan. Apabila
dikatakan ia mati tertembak, rasanya kurang hormat meskipun hakikatnya
sama saja dengan kalimat …dia terbaring, tetapi bukan tidur. Demikian juga
diksi Sebuah lubang peluru bundar di dadanya memberi gambaran tentang
kematian yang indah dan bersih. Padahal kenyataannya pastilah tidak
seperti itu. Tentu ada darah yang berlepotan, tidak tersenyum melainkan
menyeringai kesakitan. Penyair menggunakan pilihan kata tersebut sebagai
ungkapan jiwanya yang menghargai pengorbanan pahlawan.
Kalimat Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang menyatakan
keikhlasan sang pahlawan dalam membela tanah air sampai titik darah
penghabisan.

Untuk memaksimalkan kepuitisan karya, biasanya penyair memanfaatkan


kemampuannya dalam memilih kata setepat mungkin, memasukkan kata-
kata/kalimat yang konotatif dan mempergunakan gaya bahasa tertentu.

Pilihan kata penyair sangat membantu imajinasi pembaca. Semakin konkret


kata-kata dalam puisi, semakin tepat citraan yang ditimbulkannya. Misalnya
pada salah satu bait puisi ‘Balada Penyaliban’ karya W.S. Rendra
tertulis Tiada mawar-mawar di jalanan / tiada daun-daun palma / domba
putih menyeret azab dan dera / merunduk oleh tugas teramat dicinta / dst.

Kata menyeret merupakan gaya bahasa yang mengkonkretkan seolah-olah


‘azab’ dan ‘dera’ dapat dilihat dan terasa berat. Hal itu memberi citraan
penglihatan dan perasaan yang sangat dalam. Pembaca seolah-olah melihat
sendiri jalanan yang kering tanpa tumbuhan dan sosok Yesus yang
digambarkan sebagai domba putih yang tertatih-tatih menyeret beban amat
berat. Dengan demikian, untuk ‘menghidupkan’ puisi, penyair dapat
memanfaatkan gaya bahasa (misalnya personifikasi, metafora, hiperbola
dan lain-lain) dan pilihan kata yang tepat.

Ada puisi-puisi yang kosakatanya diambil dari bahasa sehari-hari. Hal


tersebut  memberikan efek gaya yang realistis. Sebaliknya, penggunaan
kata-kata indah memberi efek romantis.

Setelah menganalisis puisi tahap demi tahap, kita dapat menyimpulkan


tema puisi, amanat/pesan, sikap penyair (feeling) dan nada puisi (tone).
Tema adalah ide/ gagasan/pokok masalah yang disampaikan penyair
melalui puisinya; amanat/pesan adalah nilai-nilai yang terkandung dalam
puisi yang dapat dipetik oleh pembaca; sikap penyair adalah perasaan/sikap
penyair terhadap tema yang ‘digarapnya’ dalam puisi (misalnya benci,
kagum, antipati, simpati dan lain-lain); nada adalah cara penyair
mengemukakan sikapnya (misalnya marah, keras, menyindir, putus asa,
riang, penuh kekaguman dan sebagainya)

2. Unsur-unsur Puisi
Berikut ini merupakan beberapa pendapat mengenai unsur-unsur puisi.

(1)   Richards (dalam Tarigan, 1986) mengatakan bahwa unsur puisi terdiri
dari (1) hakikat puisi yang melipuiti tema (sense), rasa (feeling), amanat
(intention), nada (tone), serta (2) metode puisi yang meliputi diksi, imajeri,
kata nyata, majas, ritme, dan rima.

(2)   Waluyo (1987) yang mengatakan bahwa dalam puisi terdapat struktur
fisik atau yang disebut pula sebagai struktur kebahasaan dan struktur batin
puisi yang berupa ungkapan batin pengarang.

(3)   Altenberg dan Lewis (dalam Badrun, 1989:6), meskipun tidak


menyatakan secara jelas tentang unsur-unsur puisi, namun
dari outline buku mereka bisa dilihat adanya (1) sifat puisi, (2) bahasa puisi:
diksi, imajeri, bahasa kiasan, sarana retorika, (3) bentuk: nilai bunyi,
verifikasi, bentuk, dan makna, (4) isi: narasi, emosi, dan tema.

(4)   Dick Hartoko (dalam Waluyo, 1987:27) menyebut adanya unsur


penting dalam puisi, yaitu unsur tematik atau unsur semantik puisi dan
unsur sintaksis puisi. Unsur tematik puisi lebih menunjuk ke arah struktur
batin puisi, unsur sintaksis menunjuk ke arah struktur fisik puisi.

(5)   Meyer menyebutkan unsur puisi meliputi (1) diksi, (2) imajeri, (3)
bahasa kiasan, (4) simbol, (5) bunyi, (6) ritme, (7) bentuk (Badrun,
1989:6).

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur puisi


meliputi (1) tema, (2) nada, (3) rasa, (4) amanat, (5) diksi, (6) imaji, (7)
bahasa figuratif, (8) kata konkret, (9) ritme dan rima. Unsur-unsur puisi ini,
menurut pendapat Richards dan Waluyo dapat dipilah menjadi dua struktur,
yaitu struktur batin puisi (tema, nada, rasa, dan amanat) dan struktur fisik
puisi (diksi, imajeri, bahasa figuratif, kata konkret, ritme, dan rima).
Djojosuroto (2004:35) menggambarkan sebagai berikut.

Gambar 1. Puisi sebagai struktur

Berdasarkan pendapat Richards, Siswanto dan Roekhan (1991:55-65)


menjelaskan unsur-unsur puisi sebagai berikut.

2.1 Struktur Fisik Puisi

Adapun struktur fisik puisi dijelaskan sebagai berikut.

(1)   Perwajahan puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang
tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris
puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan
tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.

(2)   Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam
puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata
dapat mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih
secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan
makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata. Geoffrey (dalam Waluyo,
19987:68-69) menjelaskan bahwa bahasa puisi mengalami 9 (sembilan)
aspek penyimpangan, yaitu penyimpangan leksikal, penyimpangan
semantis, penyimpangan fonologis, penyimpangan sintaksis, penggunaan
dialek, penggunaan register (ragam bahasa tertentu oleh kelompok/profesi
tertentu), penyimpangan historis (penggunaan kata-kata kuno), dan
penyimpangan grafologis (penggunaan kapital hingga titik)

(3)   Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan
pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji
dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan
(visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat
mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, medengar, dan merasakan
seperti apa yang dialami penyair.

(4)   Kata kongkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang
memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan
atau lambang. Misal kata kongkret “salju: melambangkan kebekuan cinta,
kehampaan hidup, dll., sedangkan kata kongkret “rawa-rawa” dapat
melambangkan tempat kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan, dll.

(5)   Bahasa figuratif, yaitu bahasa berkias yang dapat


menghidupkan/meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu
(Soedjito, 1986:128). Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi
prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna
(Waluyo, 1987:83). Bahasa figuratif disebut juga majas. Adapaun macam-
amcam majas antara lain metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi,
sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio,
klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga
paradoks.

(6)   Versifikasi, yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah
persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi.
Rima mencakup (1) onomatope (tiruan terhadap bunyi, misal /ng/ yang
memberikan efek magis pada puisi Sutadji C.B.), (2) bentuk intern pola
bunyi (aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak
berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi [kata], dan
sebagainya [Waluyo, 187:92]), dan (3) pengulangan kata/ungkapan. Ritma
merupakan tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Ritma
sangat menonjol dalam pembacaan puisi.

2.2 Struktur Batin Puisi

Adapun struktur batin puisi akan dijelaskan sebagai berikut.

(1)   Tema/makna (sense); media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa


adalah hubungan tanda dengan makna, maka puisi harus bermakna, baik
makna tiap kata, baris, bait, maupun makna keseluruhan.
(2)   Rasa (feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang
terdapat dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya
dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair, misalnya latar belakang
pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam
masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, dan pengetahuan.
Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam menyikapi suatu
masalah tidak bergantung pada kemampuan penyairmemilih kata-kata,
rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak bergantung
pada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk
oleh latar belakang sosiologis dan psikologisnya.

(3)   Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga
berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema
dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk
memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca,
dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll.

(4)   Amanat/tujuan/maksud (itention); sadar maupun tidak, ada tujuan


yang mendorong penyair menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari 
sebelum penyair menciptakan puisi, maupun dapat ditemui dalam puisinya.

Anda mungkin juga menyukai