Anda di halaman 1dari 8

SAJAK PUTIH

Bersandar pada tari warna pelangi


Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba


Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka


Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah...

Karya : Chairil Anwar


CINTAKU JAUH DI PULAU

Cintaku jauh di pulau,


gadis manis, sekarang iseng sendiri.

Perahu melancar, bulan memancar,


di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,


di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”

Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!


Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,


kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.

(Chairil Anwar, 1946)


Tema
Tema adalah isi keseluruhan puisi, maksud, dan tujuan penulisan. Tema puisi dari Chairil
Anwar ini adalah Kasih Tak Sampai. Dapat dilihat dari arti/makna puisi pada setiap baitnya,
yakni :

Bait 1 :
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri.
Gadis manis sekarang iseng sendiri artinya sang kekasih tersebut adalah seorang gadis yang
manis yang menghabiskan waktu sendirian atau sedang iseng tanpa kehadiran tokoh aku.
Bait 2 :
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.
Bait kedua aku menempuh perjalanan jauh dengan perahu karena ingin menjumpai atau
menemui kekasihnya, disinilah menunjukan pengorbanan aku untuk gadis manisnya. Ketika itu
cuaca sangat bagus dan malam ketika bulan bersinar, namun hati si aku merasa gundah karena
rasanya ia tak akan sampai pada kekasihnya, dan dilarik ini lah tergambar keputus asaan aku.
Bait 3 :
Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja,”
 Bait ketiga menceritakan perasaan aku yang semakin sedih karena walaupun air tenang,
angin mendayu, tetapi pada perasaannya ajal telah memanggilnya. di perasaan penghabisan
segala melaju. Pengorbanan aku sangatlah besar. Ajal bertahta sambil berkata : “Tujukan perahu
ke pangkuanku saja” suasana pada larik tersebut sangat mencekam si aku.
Bait 4 :
Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?
Bait keempat menunjukkan pengorbanan aku dan keadaan yang mencekam yang telah
dilewatinya. Demi menjumpai kekasihnya ia telah bertahun-tahun berlayar, bahkan perahu yang
membawanya akan rusak, namun ternyata kematian menghadang dan mengakhiri hidupnya
terlebih dahulu sebelum ia bertemu dengan kekasihnya. Disinilah aku merasakan kegagalan yang
mendalam dan semakin berganti bait, kesedihan itu semakin memuncak. Emosionalitas aku
disini sangat tergambar dengan tulisannya yang seperti tidak terima.
Bait 5 :
Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.
Bait kelima merupakan kekhawatiran aku tentang kekasihnya, bahwa setelah ia meninggal,
kekasihnya itupun akan mati juga dalam penantian yang sia-sia. Dan aku merasakan keputus
asaan pada larik kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.

3.3  Rima
Rima adalah pengindahan puisi dalam bentuk pengulangan bunyi di akhir. Puisi “cintaku
jauh di pulau” memiliki rima berupa cacophony, yaitu perulangan bunyi-bunyi yang berat,
menekan, menyeramkan, mengerikan, seolah-olah seperti suara desau atau bunyi burung hantu.
Dalam puisi yang berjudul cintaku jauh di pulau, hampir seluruh lariknya berakhiran dengan
vokal u. Bunyi vokal u termasuk ke dalam bunyi yang berat dan menekan. Puisi “cintaku jauh di
pulau” karya Chairil Anwar ini menggambarkan suasana batin yaitu sedih dan penyesalan karena
si aku meninggalkan sang kekasih sendirian.

3.4  Pemilihan Kata


Diksi adalah pilihan kata yang digunakan dalam sebuah puisi, yang meliputi kata denotatif
dan kata konotatif. Kata denotatif adalah kata yang memiliki makna sebenarnya, sedangkan kata
konotatif adalah kata yang memiliki makna tidak sebenarnya.
Pada puisi “cintaku jauh di pulau” karya Chairil Anwar diceritakan bahwa penyair tengah
berada dalam kondisi penyesalan, kebingungan, putus asa, sedih sehingga diksi yang digunakan
oleh penyair adalah diksi yang menggambarkan perasaan yang ragu, bimbang, dan lemah. Pada
puisi tersebut terdapat beberapa diksi yang mengandung makna denotatif dan konotatif.
Diksi yang mengandung makna denotatif terdapat pada kata “gadis manis” yang memiliki
makna kekasih yang manis. Dan pada kata “pulau”, yang memiliki makna tanah (daratan) yang
dikelilingi air (di laut, di sungai, atau di danau).
Diksi yang mengandung makna denotatif juga terdapat pada kata “bulan memancar”, kata
bulan memiliki makna benda langit yang mengitari bumi, bersinar pada malam hari karena
pantulan sinar matahari. Pada larik “angin membantu, laut terang, tapi terasa” kata angin yang
memiliki makna gerakan udara dari daerah yang bertekanan tinggi ke daerah yang bertekanan
rendah, terdapat pada kata “laut”. Laut  memiliki makna kumpulan air asin (dalam jumlah yang
banyak dan luas) yang menggenangi dan membagi daratan atas benua atau pulau. Dan terdapat
pada larik “aku tidak ‘kan sampai padanya” yang memiliki makna bahwa si aku tak akan pernah
bertemu dengan kekasihnya.
Diksi yang mengandung denotatif juga terdapat kata “Di air yang tenang”, air memiliki
makna cairan jernih tidak berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau yang diperlukan dalam
kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan yang secara kimiawi mengandung hidrogen dan
oksigen. Pada larik “ajal bertakhta, sambil berkata:” memiliki makna batas hidup telah
ditentukan Tuhan, saat mati.
Diksi yang mengandung denotatif juga terdapat kata “amboi! Jalan sudah bertahun ku
tempuh!” yang memiliki makna bahwa si aku telah melewati laut telah lama. Pada kata “perahu
yang bersama ‘kan merapuh!” memiliki makna perahu yang ditumpangi oleh si aku akan hancur
bersamanya.
Diksi yang mengandung denotatif juga terdapat pada larik “manisku jauh di pulau”
bermakna sang kekasih jauh darinya karena berada di pulau. Dan terakhir pada larik “kalau ‘ku
mati, dia mati iseng sendiri” makna dari kata mati adalah sudah hilang nyawanya, tidak hidup
lagi”
Selain diksi yang mengandung makna denotatif, juga terdapat diksi yang mengandung
makna konotatif. Diksi yang mengandung makna konotatif terdapat pada larik “cintaku, jauh di
pulau”. Kata cintaku dapat diartikan kekasihnya. Dalam larik “di leher kukalungkan ole-ole buat
si pacar’ memiliki arti ole-ole adalah buah tangan/oleh-oleh. Lanjut ke larik “di perasaan
penghabisan segala melaju”, kata perasaan penghabisan disini adalah dengan rasa cintanya yang
tanpa tersisa. Dalam larik “tujukan perahu ke pangkuanku saja”, kata pangkuan memiliki makna
bahwa perahu akan mengalami kehancuran. Dan yang terakhir adalah larik “sebelum sempat
berpeluk dengan cintkau?!” memiliki makna bahwa aku belum sempat memeluk dan bertemu
dengan kekasihnya.
3.5  Citraan
Citraan adalah untuk memberi gambaran yang jelas tentang isi puisi. Dalam puisi ini juga
menggunakan citraan-citraan. Hal itu terdapat dalam “Perahu melancar, bulan memancar,”.
Citraan yang digunakan adalah citraan penglihatan karena perahu melancar dan bulan memancar
hanya bisa dilihat. Citraan perabaan dalam larik “Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku”.

3.6  Nada/Suasana

Nada atau suasana yang terdapat dalam suatu peristiwa biasanya erat sekali hubungannya
dengan latar cerita. Nada yang digunakan oleh penyair dalam puisi tersebut adalah nada
kegetiran dan kekhawatiran. Hal ini tampak dengan penggunaan kata yang menggunakan huruf r
di akhir kata, yaitu : melancar, memancar, pacar. Akhir bunyi r menggambarkan suasana yang
tidak nyaman.
Juga terdapat suasana sedih dengan digunakannya bunyi akhir –uh pada kata rapuh, tempuh
akhir bunyi –u yang berulang pada bait ketiga. Penggunaan nada –u yang berulang menunjukkan
kesedihan dan ketidakberdayaan.

3.7  Gaya Bahasa


Gaya bahasa adalah alat tertentu yang menggunakan bahasa untuk mengekspresikan pikiran
dan perasaan pengarang sehingga pembaca atau penikmat dapat tertarik atau terpukau atasnya.
Terdapat lima gaya bahasa yang digunakan oleh Chairil Anwar dalam puisi cintaku jauh di
pulau, yaitu gaya bahasa asonansi, gaya bahasa hiperbola, gaya bahasa kiamus, gaya bahasa
erotesis dan gaya bahasa personifikasi.
Dalam larik “Cintaku jauh di pulau”, “Perahu melancar, bulan memancar”, “angin
membantu, laut terang, tapi terasa”, “aku tidak ‘kan sampai padanya”, “Di air yang tenang, di
angin mendayu”,  “Ajal bertakhta, sambil berkata:”, “Tujukan perahu ke pangkuanku saja”,
“Perahu yang bersama ‘kan merapuh!”,  penyair menggunakan gaya bahasa asonansi. Hal ini
terbukti dengan adanya perulangan huruf vokal a pada larik tersebut.  Dalam larik “di perasaan
penghabisan segala melaju”, “Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!”, penyair
menggunakan gaya bahasa asonansi. Hal ini terbukti dengan adanya perulangan huruf vokal e
pada larik tersebut.  Dalam larik “Manisku jauh di pulau”, penyair menggunakan gaya bahasa
asonansi. Hal ini terbukti dengan adanya perulangan huruf vokal u  pada larik tersebut. Dalam
larik  “kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri” penyair menggunakan gaya bahasa asonansi. Hal
ini terbukti dengan adanya perulangan huruf vokal i pada larik tersebut.
Dalam larik “Perahu melancar, bulan memancar”, “Ajal bertakhta, sambil berkata:”,
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja”, “Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!”, “Perahu
yang bersama ‘kan merapuh”, “kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri”, penyair menggunakan
gaya bahasa hiperbola. Hal ini terbukti dengan adanya perbandingan yang melebih-lebihkan
yang bergaris bawah.
Dalam larik “angin membantu, laut terang, tapi terasa”, “Di air yang tenang, di angin
mendayu”, “Mengapa ajal memanggil dulu”, penyair menggunakan gaya bahasa personifikasi.
Hal ini terbukti dengan adanya mengorangankan benda mati sebagai manusia yang bergaris
bawah.
Dalam larik “kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri”, penyair menggunakan gaya bahasa
kiamus. Hal ini terbukti dengan berisikan perulangan dan sekaligus merupakan inversi atau
pembalikan susunan antara dua kata dalam satu kalimat.
Dalam larik “Mengapa Ajal memanggil dulu, Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!”
penyair menggunakan gaya bahasa erotesis. Hal ini terbukti dengan adanya semacam
pertanyaan yang dipergunakan namun tidak menghendaki jawaban.
Gaya bahasa yang paling dominan digunakan oleh Chairil Anwar dalam puisi “Cintaku jauh
di pulau” yaitu gaya bahasa asonansi. Gaya bahasa asonansi merupakan semacam gaya bahasa
yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama.

3.8  Nilai Etika/ Moral


Dari puisi “Cintaku jauh di pulau” karya Chairil Anwar, kita dapat mengambil nilai
etika/moral kehidupan yaitu ketika kita merasakan cinta kepada seseorang kita harus
memperjuangkannya. Memperjuangkan dengan sekuat tenaga dan  butuh waktu lama, terdapat
pada larik “Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!”. Akan tetapi, jalan yang sudah bertahun
ditempuh tersebut bukan berarti menandakan perjuangan belum berakhir dan bisa hidup bersama,
tetapi juga bisa berakhir sedih karena harus berpisah dan tidak melanjutkan hubungan kembali.
Jika kita berada dalam kondisi tersebut, maka harus siap untuk menjalaninya.
Amanat
   Maka dapat disimpulkan yaitu janganlah menyia – nyiakan orang yang kita sayangi dan tiada
guna lagi untuk menyesali apabila ia tiada.

Anda mungkin juga menyukai