Anda di halaman 1dari 5

Analisis Semiotik Puisi Akulah Si Telaga

Karya Sapardi Djoko Damono


Burhanuddin Al Ghiffari
Universitas Sebelas Maret; burhanalghiffari@student.uns.ac.id

Abstrak: Makalah ini ditulis untuk menelaah puisi Akulah Si Telaga


dengan pendekatan semiotik. Analisis yang dilakukan dengan
memerhatikan tanda-tanda yang tercipta oleh gubahan kata. Puisi mampu
mengekspresikan pemikiran pembuatnya yang meliputi perasaan dan
imajinasi panca indra dalam susunan yang berirama. Penelitian ini
dilakukan dengan mengumpulkan data dan memastikan ketepatan
analisis bahasa pada puisi Akulah Si Telaga ini. Langkah-langkah
penelitian diawali dengan (1) membaca puisi (2) menganalisis puisi
dengan pendekatan semiotik (3) menjelaskan pokok utama dari puisi
tersebut. Dalam karya ini, penulis mengumpamakan dirinya sendiri
sebagai telaga, yang berlayar sebuah perahu di atasnya. Perahu tersebut
ditumpangi oleh seseorang yang menikmati perjalanan dengan
memandang indahnya cahaya. Cinta telaga yang tak dapat dirasakan ini
terlihat dari perannya terhadap perahu yang bergerak dan menjaganya
ketika seseorang telah sampai di seberang sana.

Kata kunci: analisis, puisi, karya sastra, semiotik, fiksi.

1. Pendahuluan
Sebagai sebuah karya hasil peng-ekspresi-an jiwa manusia, sastra dapat
dimaknai suatu bentuk tiruan kehidupan yang menggambarkan dan
mendalami kehidupan manusia dengan berbagai macam pemikirannya.
Buah pikiran dan imajinasi manusia tersebutlah, lahir bentuk karya sastra
fiksi yang diciptakan tidak berdasarkan fakta maupun sejarah yang penah
ada. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, fiksi berarti rekaan;
khayalan; tidak berdasaran kenyataan. Dari beberapa pengertian di atas,
dapat disimpulkan bahwa karya sastra fiksi murni hasil khayalan manusia,
yang tidak terikat dengan kebenaran-kebenaran nyata.
Fiksi pada umumnya tidak diharapkan untuk menampilkan suatu tokoh
yang menggambarkan seseorang di dunia nyata secara akurat dan
faktual. Konteks fiksi yang sebenarnya dipahami adalah sesuatu yang
terbuka terhadap interpretasi, dalam hubungannya dengan apa yang
ditampilkan karya sastra fiksi itu sendiri yang tidak persis dengan dunia
nyata. Dalam hal ini puisi menjadi salah satu implementasinya. Puisi
mengandung seluruh unsur sastra di dalam penulisannya. Perkembangan
dan perubahan bentuk dan isi pada puisi selalu mengikuti perkembangan
selera, perubahan konsep estetika, dan kemajuan intelektual manusia.
Puisi mampu mengekspresikan pemikiran pembuatnya yang meliputi
perasaan dan imajinasi pancaindra dalam susunan yang berirama. Hal ini
selaras dengan pendapat Aminuddin (City, Shalihah, & Primandika, 2018)
yang menyatakan bahwa puisi merupakan salah satu dari banyaknya
karya sastra yang di dalamnya terdapat kata-kata indah yang penuh
makna.
Dalam jenis karya sastra, terdapat apa yang bernama puisi di dalamnya.
Gaya bahasa dalam puisi sangat dipengaruhi oleh irama, rima, serta
penyusunan larik dan bait. Pembuatan puisi dilakukan dengan bahasa
yang cermat dan pilihan kata yang tepat, yang berakibat pada
peningkatan kesadaran orang akan pengalaman dan menanggapi khusus
lewat penataan bunyi, irama, dan pemaknaan khusus. Penekanan pada
sudut estetik suatu bahasa dan penggunaan sengaja pengulangan, meter,
dan rima adalah yang membedakan puisi dari prosa. Di dalam puisi juga
biasa disisipkan majas yang semakin membuatnya indah.

2. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yaitu menjelaskan
objek pembahasan yaitu puisi yang telah dianalisis. Penelitian deskriptif
dipakai untuk mendeskripsikan objek pembahasan berdasarkan realitas
dan menurut sistem (City, Shalihah, & Primandhika, 2018). Puisi berjudul
Akulah Si Telaga ini dianalisis dengan menggunakan pendekatan
semiotik, yaitu kajian yang mengedepankan pada segala hal yang
berhubungan dengan sistem tanda dan lambang. Menurut City, Shalihah,
& Primandika (2018) analisis semiotik berhubungan dengan pengertian
suatu tanda. Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data dan
memastikan ketepatan analisis bahasa pada puisi Akulah Si Telaga ini.
Langkah-langkah penelitian diawali dengan (1) membaca puisi (2)
menganalisis puisi dengan pendekatan semiotik (3) menjelaskan pokok
utama dari puisi tersebut.

3. Hasil dan Pembahasan

Akulah Si Telaga
Sapardi Djoko Damono

akulah si telaga:
berlayarlah di atasnya;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil
yang menggerakkan bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja
— perahumu biar aku yang menjaganya.

Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982

Berdasarkan analisis semiotik pada puisi berjudul Akulah Si Telaga,


secara tekstual, penulis mengumpamakan dirinya sendiri sebagai telaga
yang berarti danau (di pegunungan). Makna yang ingin disampaikan
sudah cukup jelas. Penulis menjadikan dirinya sendiri sebagai telaga bagi
seseorang yang berlayar dengan perahu, lalu mengantarkannya pada
tujuan yang disebut sebagai seberang sana. Hingga pada akhirnya, ketika
seseorang itu telah meninggalkan perahu, telaga akan menjaga
perahunya selalu. Larik demi lariknya menyiratkan berbagai makna.
Dalam puisi ini, maksud yang ingin disampaikan tergambar jelas dengan
adanya sufiks ‘-lah’. Sebagai salah satu bentuk terikat, imbuhan tersebut
bertujuan untuk memberikan penekanan pada kata di depannya, yaitu
‘akulah’ dan ‘berlayarlah’. Penulis ingin memberi kesan yang kuat pada
aku yang menjadi telaga, dan kepada seseorang yang berlayar di atasnya.

Ketepatan pemilihan kata penulis menjadi salah satu hal yang


berpengaruh terhadap keindahan suatu karya sastra. Diksi dalam sebuah
puisi terkadang menggunakan kosakata yang jarang digunakan dalam
sehari-hari, hal ini dilakukan untuk melahirkan keindahan pada puisi,
sekaligus menanggalkan kesan biasa saja karena pemilihan kata yang
terlalu familier dengan kehidupan manusia. Pada baris ketiga puisi
tersebut, terdapat kosakata yang jarang digunakan pada kegiatan sehari-
hari, yakni riak dan padma. Kata riak sendiri berarti gerakan mengombak
di permukaan air; ombak kecil; gerakan air yang merupakan lingkaran.
Sedangkan padma merupakan salah satu jenis tumbuhan yang masih
satu spesies dengan bunga Teratai. Selanjutnya, penggalan sempurna
dituliskan sebagai berikut, “berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang
menggerakkan bunga-bunga padma” tidak ada makna tersirat yang ingin
disampaikan dalam baris tersebut, karena kosakata yang tertulis sudah
cukup jelas yaitu pergerakan perahu menyebabkan riak-riak kecil yang
mengakibatkan bunga teratai bergerak.

Penggambaran dalam puisi kurang lengkap jika tidak disertai dengan


majas. Sebagai sebuah karya sastra, puisi berjudul “Akulah Si Telaga” ini
mengandung beberapa majas. Menurut Dale & Warriner (1985: 104)
Majas adalah bahasa kiasan yang digunakan untuk menambah efek
melalui cara membandingkan dan memperkenalkan suatu benda dengan
benda lain atau hal yang lebih konvensional. Fungsi pokok majas adalah
untuk melahirkan ungkapan dalam suatu kalimat agar menjadi lebih indah,
hidup, dan memiliki makna yang lebih dalam. Pada baris keempat,
dituliskan “berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya” terdapat
majas berjenis personifikasi, yaitu majas yang di dalamnya terdapat
penggambaran barang yang tidak hidup seolah-olah memiliki sifat-sifat
kemanusiaan (Keraf, 1988: 140). Majas tersebut terdapat dalam frasa
harumnya cahaya. Kata harum di sini diartikan mendapat banyak pujian;
masyhur yang sifat-sifat tersebut identik dengan manusia. Sedangkan
cahaya sebagai benda mati diumpamakan memiliki sifat harum layaknya
manusia. Lalu, penggalan puisi tersebut dapat diartikan secara
keseluruhan menjadi, Si Telaga memberi perintah kepada seseorang
untuk berlayar dan melihat cahaya indah yang kerap kali dipuji banyak
orang.
Puisi merupakan gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata
secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan
pengalaman hidup dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan
bunyi, irama, dan makna khusus (KBBI). Oleh karena itu, sebagai buah
pikiran yang dituliskan secara cermat, di dalam puisi terdapat unsur
pembangun baik unsur intrinsik maupun unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik
merupakan komponen pembangun yang terkandung dalam puisi tersebut.
Puisi Akulah Si Telaga bertemakan cinta dalam diam si telaga yang di
atasnya berlayar sebuah perahu, ketika seseorang yang berlayar telah
sampai di tujuannya, si telaga akan menjaga perahunya. Rasa cinta si
telaga tersampaikan melalui perannya dalam mengantar dan menjaga
perahu ketika seseorang yang dimaksud sampai di tujuannya.

Kondisi masyarakat, latar belakang penulis, dan nilai-nilai sosial yang ada
memengaruhi lahirnya suatu puisi. Ketiga hal tersebut terangkum dalam
unsur ekstrinsik puisi, yaitu komponen-komponen pembangun yang
berasal dari luar, namun masih menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
puisi tersebut. Puisi Akulah Si Telaga ditulis oleh Sapardi ketika beliau
masih mengajar sebagai dosen di Fakultas Sastra Universitas Indonesia
sejak tahun 1974, kemudian pada tahun 1982, kegemarannya menulis
semakin berlanjut dan melahirkan puisi berjudul Akulah Si Telaga. Meski
pada tahun tersebut terjadi beberapa peristiwa seperti, Festival Film
Indonesia ke-13, Musibah Fokker F28 Garuda Indonesia, Gempa bumi
Flores, Pemilu Legislatif hingga Peristiwa Lapangan Banteng, kejadian-
kejadian tersebut tidak ada benang merahnya dengan lahirnya puisi cinta
ini.

4. Simpulan dan Saran


Berdasarkan analisis puisi Akulah Si Telaga dengan pendekatan semiotik,
dapat diketahui bahwa puisi tersebut bertemakan tentang cinta dalam
diam. Pada pembahasan di atas, penulis mengumpamakan dirinya sendiri
sebagai telaga, yang berlayar sebuah perahu di atasnya. Perahu tersebut
ditumpangi oleh seseorang yang menikmati perjalanan dengan
memandang indahnya cahaya. Cinta telaga yang tak dapat dirasakan ini
terlihat dari perannya terhadap perahu yang bergerak dan menjaganya
ketika seseorang telah sampai di seberang sana.

Seni sastra saat ini mengalami tantangan hebat yaitu melawan derasnya
arus globalisasi. Budaya modern dari luar negeri---yang belum tentu
sesuai dengan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia---jika
masuk tanpa disaring terlebih dahulu, dapat menyebabkan kelunturan
nilai-nilai budaya. Dengan lahirnya seni sastra yang berbentuk puisi atau
pun prosa pada saat ini, sekaligus tetap melestarikan puisi-puisi yang
telah ada sejak lama, hal inilah yang membuat cerita seni sastra tetap
lestari, yang entah itu fiksi maupun nonfiksi. Dengan memperkenalkannya
kepada generasi penerus bangsa, maka besar kemungkinannya,
Indonesia tidak akan kehilangan jati diri sebagai bangsa yang kaya akan
kebudayaannya.

Daftar Pustaka

City, I., Shalihah, N., & Primandika, R. B. (2018). Analisis Puisi Sapardi
Djoko Damono “Cermin 1” dengan Pendekatan Semiotika. Parole
(Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia), 1(6), 1015-1020.

Pirmansyah, P., Anjani, C., & Firmansyah, D. (2018). Analisis Semiotik


dalam Puisi “Hatiku Selembar Daun” Karya Sapardi Djoko Damono.
Parole (Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia), 1(3),
315-320.

WS, Hasanuddin (2009). Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung:


Angkasa Group.

Anda mungkin juga menyukai