1. Pendahuluan
Sebagai sebuah karya hasil peng-ekspresi-an jiwa manusia, sastra dapat
dimaknai suatu bentuk tiruan kehidupan yang menggambarkan dan
mendalami kehidupan manusia dengan berbagai macam pemikirannya.
Buah pikiran dan imajinasi manusia tersebutlah, lahir bentuk karya sastra
fiksi yang diciptakan tidak berdasarkan fakta maupun sejarah yang penah
ada. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, fiksi berarti rekaan;
khayalan; tidak berdasaran kenyataan. Dari beberapa pengertian di atas,
dapat disimpulkan bahwa karya sastra fiksi murni hasil khayalan manusia,
yang tidak terikat dengan kebenaran-kebenaran nyata.
Fiksi pada umumnya tidak diharapkan untuk menampilkan suatu tokoh
yang menggambarkan seseorang di dunia nyata secara akurat dan
faktual. Konteks fiksi yang sebenarnya dipahami adalah sesuatu yang
terbuka terhadap interpretasi, dalam hubungannya dengan apa yang
ditampilkan karya sastra fiksi itu sendiri yang tidak persis dengan dunia
nyata. Dalam hal ini puisi menjadi salah satu implementasinya. Puisi
mengandung seluruh unsur sastra di dalam penulisannya. Perkembangan
dan perubahan bentuk dan isi pada puisi selalu mengikuti perkembangan
selera, perubahan konsep estetika, dan kemajuan intelektual manusia.
Puisi mampu mengekspresikan pemikiran pembuatnya yang meliputi
perasaan dan imajinasi pancaindra dalam susunan yang berirama. Hal ini
selaras dengan pendapat Aminuddin (City, Shalihah, & Primandika, 2018)
yang menyatakan bahwa puisi merupakan salah satu dari banyaknya
karya sastra yang di dalamnya terdapat kata-kata indah yang penuh
makna.
Dalam jenis karya sastra, terdapat apa yang bernama puisi di dalamnya.
Gaya bahasa dalam puisi sangat dipengaruhi oleh irama, rima, serta
penyusunan larik dan bait. Pembuatan puisi dilakukan dengan bahasa
yang cermat dan pilihan kata yang tepat, yang berakibat pada
peningkatan kesadaran orang akan pengalaman dan menanggapi khusus
lewat penataan bunyi, irama, dan pemaknaan khusus. Penekanan pada
sudut estetik suatu bahasa dan penggunaan sengaja pengulangan, meter,
dan rima adalah yang membedakan puisi dari prosa. Di dalam puisi juga
biasa disisipkan majas yang semakin membuatnya indah.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yaitu menjelaskan
objek pembahasan yaitu puisi yang telah dianalisis. Penelitian deskriptif
dipakai untuk mendeskripsikan objek pembahasan berdasarkan realitas
dan menurut sistem (City, Shalihah, & Primandhika, 2018). Puisi berjudul
Akulah Si Telaga ini dianalisis dengan menggunakan pendekatan
semiotik, yaitu kajian yang mengedepankan pada segala hal yang
berhubungan dengan sistem tanda dan lambang. Menurut City, Shalihah,
& Primandika (2018) analisis semiotik berhubungan dengan pengertian
suatu tanda. Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data dan
memastikan ketepatan analisis bahasa pada puisi Akulah Si Telaga ini.
Langkah-langkah penelitian diawali dengan (1) membaca puisi (2)
menganalisis puisi dengan pendekatan semiotik (3) menjelaskan pokok
utama dari puisi tersebut.
Akulah Si Telaga
Sapardi Djoko Damono
akulah si telaga:
berlayarlah di atasnya;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil
yang menggerakkan bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja
— perahumu biar aku yang menjaganya.
Kondisi masyarakat, latar belakang penulis, dan nilai-nilai sosial yang ada
memengaruhi lahirnya suatu puisi. Ketiga hal tersebut terangkum dalam
unsur ekstrinsik puisi, yaitu komponen-komponen pembangun yang
berasal dari luar, namun masih menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
puisi tersebut. Puisi Akulah Si Telaga ditulis oleh Sapardi ketika beliau
masih mengajar sebagai dosen di Fakultas Sastra Universitas Indonesia
sejak tahun 1974, kemudian pada tahun 1982, kegemarannya menulis
semakin berlanjut dan melahirkan puisi berjudul Akulah Si Telaga. Meski
pada tahun tersebut terjadi beberapa peristiwa seperti, Festival Film
Indonesia ke-13, Musibah Fokker F28 Garuda Indonesia, Gempa bumi
Flores, Pemilu Legislatif hingga Peristiwa Lapangan Banteng, kejadian-
kejadian tersebut tidak ada benang merahnya dengan lahirnya puisi cinta
ini.
Seni sastra saat ini mengalami tantangan hebat yaitu melawan derasnya
arus globalisasi. Budaya modern dari luar negeri---yang belum tentu
sesuai dengan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia---jika
masuk tanpa disaring terlebih dahulu, dapat menyebabkan kelunturan
nilai-nilai budaya. Dengan lahirnya seni sastra yang berbentuk puisi atau
pun prosa pada saat ini, sekaligus tetap melestarikan puisi-puisi yang
telah ada sejak lama, hal inilah yang membuat cerita seni sastra tetap
lestari, yang entah itu fiksi maupun nonfiksi. Dengan memperkenalkannya
kepada generasi penerus bangsa, maka besar kemungkinannya,
Indonesia tidak akan kehilangan jati diri sebagai bangsa yang kaya akan
kebudayaannya.
Daftar Pustaka
City, I., Shalihah, N., & Primandika, R. B. (2018). Analisis Puisi Sapardi
Djoko Damono “Cermin 1” dengan Pendekatan Semiotika. Parole
(Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia), 1(6), 1015-1020.