Anda di halaman 1dari 10

Ragam Bahasa yang Digunakan dalam

Transaksi Jual Beli Kambing di Pasar


Tawangmangu: Kajian Sosiolinguistik
Burhanuddin Al Ghiffari
Universitas Sebelas Maret; burhanalghiffari@student.uns.ac.id

Abstrak: Masyarakat Indonesia yang dilatarbelakangi oleh berbagai suku


dan kebudayaan ini mendorong terciptanya bermacam-macam bahasa
daerah. Tak hanya bahasa daerah, perbedaan-perbedaan ini juga
memunculkan berbagai variasi bahasa yang digunakan. Tujuan dari
terciptanya variasi bahasa ini adalah untuk memudahkan bagi lawan
penutur untuk memahami apa yang dimaksudkan oleh penutur. Bahasa
sebagai alat komunikasi sangat penting kedudukannya untuk menjalin
sebuah interaksi. Dari bangun hingga kembali tidur, tak satupun manusia
yang tidak menggunakan bahasa untuk mengutarakan keinginannya.
Ketika memulai aktivitas, entah itu di jalan, di sekolah, di kantor, ataupun di
lapangan membutuhkan bahasa untuk saling berhubungan. Seluruh lini
kehidupan memerlukan adanya bahasa untuk kelancarannya jalinan
komunikasi. Sebagai salah satu aspek yang menciptakan adanya interaksi
antar manusia, bahasa bersifat arbitrer atau manasuka. Hal ini sejalan
dengan pendapat dari Budi dan Badrih (2018:42) bahasa adalah bunyi,
bahasa adalah sistematis, bahasa adalah kreatif, bahasa mengandung
makna, bahasa adalah murni manusiawi, bahasa adalah lambang-
lambang, bahasa bersifat arbitrer, dan bahasa adalah tindak instingtif. Hal
inilah yang mendasari bahwa setiap kejadian di dunia ini memerlukan
bahasa, tak terkecuali dalam transaksi jual beli. Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis terjadinya variasi bahasa dalam transaksi jual beli
kambing di Pasar Tawangmangu

Kata Kunci: sosiolinguistik, ragam bahasa, perilaku sosial, bahasa.

1. Pendahuluan
Bahasa memegang peran penting dalam kehidupan manusia karena
bahasa adalah perantara bagi manusia untuk saling terhubung dan saling
berkomunikasi. Setiap kegiatan manusia, dari bangun tidur hingga kembali
tidur tak luput dari penggunaan bahasa. Ketika memulai aktivitas, entah itu
di jalan, di sekolah, di kantor, ataupun di lapangan membutuhkan bahasa
untuk saling berhubungan. Seluruh lini kehidupan memerlukan adanya
bahasa untuk kelancarannya jalinan komunikasi.

Sebagai salah satu aspek yang menciptakan adanya interaksi antar


manusia, bahasa bersifat arbitrer atau manasuka. Hal ini sejalan dengan
pendapat dari Budi dan Badrih (2018:42) bahasa adalah bunyi, bahasa
adalah sistematis, bahasa adalah kreatif, bahasa mengandung makna,
bahasa adalah murni manusiawi, bahasa adalah lambang-lambang,
bahasa bersifat arbitrer, dan bahasa adalah tindak instingtif. Dari
pandangan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa bahasa tercipta dari
buah pemikiran manusia yang terdiri dari lambang-lambang yang bersifat
manasuka. Kemudian, menurut Aisya dan Andri (2018:82) menjelaskan
bahwa bahasa adalah lambang bunyi arbitrer yang digunakan untuk bekerja
sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi suatu hal. Terjalinnya
hubungan antara manusia membutuhkan media yaitu bahasa. Dengan
bahasa, manusia dapat membangun interaksi untuk tujuan-tujuan tertentu.

2. Metode
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yaitu menuliskan
deskripsi secara nyata dan tepat tentang kebenaran serta kaitan peristiwa
yang sedang diteliti. Menurut Bogdan dan Biklen dalam Zuriah (2009:92)
penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang
dapat diamati. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk
mendapatkan data-data bersifat deskriptif yaitu berupa lisan melalui
pembicaraan manusia sebagai objek yang diamati dan tulisan dari
beberapa pembicaraan yang tertulis. Hal ini selaras dengan pendapat
Arikunto (2010: 3) bahwa model penelitian deskriptif merupakan penelitian
yang ditujukan untuk menganalisis situasi dan kondisi suatu gejala untuk
selanjutnya disajikan dalam format laporan penelitian.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Bagaimana Peran Sosiolinguistik dalam Menelaah


Pertuturan?
Membahas tentang bahasa sebagai alat komunikasi, sangatlah erat
hubungannya dengan sosiolinguistik. Sosiolinguistik, salah satu cabang ilmu
bahasa yang mendalami hubungan antara bahasa dan faktor-faktor
kemasyarakatan. Faktor-faktor kemasyarakatan inilah yang menjadi salah
satu penyebab berkembangnya variasi bahasa. Bahasa yang selalu
bervariasi ini disebabkan oleh faktor-faktor kemasyarakatan, misalnya siapa
penuturnya, orang-orang yang terlibat dalam penuturan, tempat di mana
pertuturan itu berlangsung, dan bagaimana konteks pertuturan itu
disampaikan (bandingkan Mesthrie, et al., 2004:6), dan sebagainya.

Dalam perspektif sosiolinguistik, masyarakat bahasanya selalu heterogen.


Hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa, pelaku-pelaku yang menggunakan
bahasa selalu beragam. Baik dari faktor usia, status ekonomi, status sosial,
latar belakang pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan, dan sebagainya. Selain
itu, waktu dan kondisi ketika terjadi interaksi, tempat berlangsungnya, bahkan
suasana interaksi ini pun menjadi faktor terjadinya variasi bahasa tersebut.
Kemudian, adanya variasi bahasa inilah yang menjadi kajian utama dalam
ilmu sosiolinguistik. Alasan inilah yang mendasari penelitian ini dilaksanakan.
Dengan pendekatan sosiolinguistik, variasi bahasa yang digunakan dalam
Transaksi Jual-beli Kambing di Pasar Tawangmangu dapat ditelaah lebih
dalam.

3.2. Bagaimana Ragam Bahasa yang Tercipta dalam Transaksi


Jual Beli tersebut?
Transaksi jual beli kambing di Pasar Tawangmangu ini hanya terjadi setiap
lima hari sekali, dengan penggunaan hitungan hari jawa, atau yang biasa
disebut dina pasaran. Kegiatan yang bertempat di area parkir rooftop Pasar
Tawangmangu ini dilaksanakan pada Hari Pon. Sejak pukul enam pagi,
masyarakat sekitar daerah Tawangmangu bersemangat untuk hadir dalam
sesi promosi bagi para penjual kambing. Orang-orang yang datang ke sini
memiliki berbagai tujuan, ada yang sudah menjadi rutinitasnya untuk menjual
hasil ternaknya, ada yang memulai beternak dengan membeli anakan
kambing, ada pula yang hanya sekadar melihat atosnya negosiasi antara
penjual dan pembeli yang bisa menjadi pertunjukan tersendiri.

Sama seperti tempat di mana jual beli kambing ini dilaksanakan, kapan hari
untuk berkumpul di tempat itu, penggunaan variasi bahasa juga sama-sama
disepakati dalam keadaan ini. Berbagai tuturan yang diujarkan oleh penjual
dan pembeli dalam melakukan transaksi di jual beli kambing Pasar
Tawangmangu ini memiliki beberapa faktor yang memengaruhinya. Tuturan
yang dimaksud ialah tuturan ragam bahasa lisan berdasarkan sosiolek, yaitu
ragam akrolek dan basilek. Ragam tersebut dapat dilihat melalui pemilihan
kata atau kosakata yang digunakan penjual dan pembeli dalam bertransaksi.
Ragam bahasa lisan di pasar Tawangmangu muncul karena mayoritas
penjual dan pembeli merupakan orang Jawa asli dan bahasa yang
mendominasi di pasar Tawangmangu ialah bahasa Jawa. Karena bahasa
tersebut sudah melekat dalam kehidupan sehari-hari, maka muncul ragam
akrolek dan ragam basilek.
Dalam penelitian ini, peneliti memperoleh beberapa ragam bahasa, di
antaranya adalah penggunaan bahasa Jawa krama, bahasa Jawa ngoko,
dan bahasa Indonesia. Penggunaan ini ditunjukkan dalam berbagai
komunikasi antara penjual dan pembeli, pembeli dengan pembeli, bahkan
penjual dengan penjual. Maka dapat disimpulkan bahwa, penggunaan
bahasa dibutuhkan tak hanya dalam proses transaksi, namun dibutuhkan
juga bahkan dalam komunikasi sehari-hari meski bukan saat bertransaksi.

• Ragam Akrolek
Dalam ragam akrolek, peneliti menemukan penggunaan bahasa Jawa
Krama dengan percakapan sebagai berikut:

Penjual A (Bapak : Ajeng pados babon nopo anakan, mas?


Suwarno)
Peneliti : Mboten, pak. Ajeng ningali mawon
Penjual A (Bapak : Nek babon ngeten niki pinten, pak?
Suwarno
Peneliti : Ngeten niki nggih pat likur. Ning nggih dereng
bati, mas.

Dalam percakapan tersebut, peneliti dengan penjual sama-sama


menggunakan bahasa Jawa Krama. Pemilihan kata atau kosakata antara
peneliti maupun penjual menunjukkan adanya ragam akrolek dengan
penggunaan bahasa Jawa Krama yang merupakan variasi sosial yang lebih
tinggi daripada variasi sosial lainnya. Chaer dan Agustina (2014:66)
mengemukakan bahwa ragam akrolek adalah variasi sosial yang lebih tinggi
atau lebih bergengsi daripada variasi sosial yang lainnya.

Penulis menemukan 12 kata atau kosakata yang menunjukkan adanya


ragam akrolek dalam percakapan tersebut, yang dapat dilihat pada kata atau
kosakata “ajeng” [hendak], “pados” [mencari], “nopo” [apa], “mboten”
[enggak], “ajeng” [hendak], “ningali” [melihat], “mawon” [saja], “ngeten niki”
[seperti ini], “pinten” [berapa], “ngeten niki” [seperti ini], “nggih” [ya], “dereng”
[belum].

• Ragam Basilek
Pada ragam basilek, peneliti menemukan penggunaan bahasa Jawa Ngoko.
Ragam basilek atau bisa dikatakan dengan ragam yang dianggap rendah
dari ragam yang lainnya ini bahkan digunakan oleh penjual dan pembeli pada
transaksi jual beli kambing di Pasar Tawangmangu

Pembeli A : sing iki sewu weh yo


Penjual B (Bapak Jarwo) : dereng angsal nek semonten, pak. sewu
telungatus
Pembeli A : nek sewu seket?
Penjual B (Bapak Jarwo) : ngapunten, dereng angsal nggihan

Dalam percakapan tersebut, variasi bahasa yang digunakan cukup berbeda.


Pembeli yang merasa lebih tinggi status sosialnya menggunakan ragam
basilek, yakni bahasa Jawa Ngoko kepada penjual. Hal ini sejalan dengan
pendapat dari Chaer dan Agustina (2014:66) yang menyatakan bahwa
ragam basilek adalah variasi sosial yang dianggap kurang bergengsi atau
bahkan dianggap lebih rendah dari variasi sosial yang lainnya. Sedangkan
penjual yang merasa lebih rendah status sosialnya menggunakan ragam
akrolek yakni bahasa Jawa Krama kepada pembeli. Kondisi penggunaan
ragam bahasa yang berbeda tersebut tak menyulitkan proses negosiasi
karena baik penjual ataupun pembeli sama-sama memahami bahasa Jawa
Ngoko dan bahasa Jawa Krama.
Peneliti menemukan tujuh kata atau kosakata yang menunjukkan adanya
ragam basilek dalam percakapan tersebut, yang dapat dilihat dari “sing”
[yang], “iki” [ini], “sewu” [seribu], “weh” [aja], “yo” [ya], “nek” [kalau], “sewu
seket” [seribu lima puluh].

• Ragam Kolokial
Pada ragam kolokial, peneliti menemukan penggunaan bahasa Jawa Ngoko
dan bahasa Jawa Krama. Ragam kolokial adalah variasi bahasa yang
digunakan sehari-hari dengan memperpendek kata atau kosakata. Dalam
beberapa kali percakapan, atau penjual hanya sebatas menawarkan
kambingnya. Peneliti merangkum beberapa kosakata dari percakapan yang
lahir dari kesalahan berbahasa namun digunakan sehari-hari dan disepakati
adanya.
- pat likur
- sewu
- sewu seket
- sewu telungatus
- sewu seket
- sewelas seket
- songo seket
- rolikur seket
Dalam penuturan tersebut, baik penjual maupun pembeli sama-sama
menunjukkan adanya kesalahan berbahasa, yakni dengan mempersingkat
kata atau kosakata. Kesalahan tersebut tidak dihiraukan karena baik
sepenjual maupun pembeli telah paham dan sepakat akan apa yang
dimaksudkan. Kemudian, penggunaan kata atau kosakata tersebut bertujuan
untuk memudahkan dalam pengucapan agar lawan bicara dapat langsung
memahami apa yang sebenarnya dimaksud. Contohnya ada pada kosakata
sewelas seket, yang dimaksud di sini “sewelas seket” berarti “satu juta lima
puluh ribu rupiah”.

Peneliti menemukan 8 kata atau kosakata yang menunjukkan adanya ragam


kolokial dalam penuturan tersebut, yang dapat dilihat dari “pat likur” [dua juta
empat ratus ribu rupiah], “sewu” [satu juta rupiah], “sewu seket” [satu juta lima
puluh ribu rupiah], “sewu telungatus” [satu juta tiga ratus ribu rupiah],
“sewelas seket” [satu juta seratus lima puluh ribu rupiah], “songo seket”
[sembilan ratus lima puluh ribu rupiah], “rolikur seket” [dua juta dua ratus lima
puluh ribu rupiah].

3.3. Apa Saja Faktor yang Melatarbelakangi Terciptanya Ragam


Bahasa tersebut?
Setiap apapun yang terjadi dalam komunikasi manusia pasti dilatarbelakangi
oleh berbagai hal. Tak terkecuali ragam bahasa yang tercipta di pasar
kambing ini. Hartman dan Stork (dalam Chaer dan Agustina 2010: 62)
menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga hal yang memengaruhi terciptanya
ragam bahasa, yaitu:
1. Latar belakang geografi dan sosial penutur
2. Medium yang digunakan
3. Pokok pembicaraan

Berdasarkan apa yang telah dijelaskan oleh Hartman dan Stork, peneliti
dapat menyimpulkan bahwa faktor usia, status sosial, dan status ekonomi
adalah beberapa faktor yang peneliti dapat tangkap dari aktivitas jual-beli
kambing di Pasar Tawangmangu, berikut di bawah ini adalah penjelasannya.

• Faktor Usia

Berdasarkan faktor usia, seorang penjual ataupun pembeli cenderung


memakai ragam akrolek, dalam hal ini bahasa Jawa Krama untuk
berkomunikasi dengan seseorang yang lebih tua. Penggunaan bahasa Jawa
Krama ini digunakan untuk menghormati penjual atau pembeli yang lebih tua
darinya. Hal ini dapat ditunjukkan dengan terdapatnya kata atau kosakata
“ajeng” [hendak], “pados” [mencari], “nopo” [apa], “mboten” [enggak], “ajeng”
[hendak], “ningali” [melihat], “mawon” [saja], “ngeten niki” [seperti ini], “pinten”
[berapa], “ngeten niki” [seperti ini], “nggih” [ya], “dereng” [belum].

• Faktor Kondisi

Menurut kondisi atau keadaan, baik penjual maupun pembeli menggunakan


bahasa sehari-hari karena memahami bahwa tempat berkomunikasi adalah
di pasar, yang menuntut transaksi cepat dan tidak bersifat formal. Kemudian,
proses jual beli hanya terdapat di jam 06.00—09.00 WIB, dengan waktu yang
tergolong singkat, pemakaian bahasa sehari-hari dapat memudahkan
mereka untuk saling segera memahami konteks yang dibicarakan. Hal ini
dapat ditunjukkan dengan terciptanya ragam kolokial, dalam hal ini
memaklumi adanya kesalahan berbahasa dengan memperpendek kata.
Beberapa kata atau kosakata yang dapat dianalisis adalah “pat likur” [dua
juta empat ratus ribu rupiah], “sewu” [satu juta rupiah], “sewu seket” [satu juta
lima puluh ribu rupiah], “sewu telungatus” [satu juta tiga ratus ribu rupiah],
“sewelas seket” [satu juta seratus lima puluh ribu rupiah], “songo seket”
[sembilan ratus lima puluh ribu rupiah], “rolikur seket” [dua juta dua ratus lima
puluh ribu rupiah].

• Status Sosial

Adanya status “penjual” dan “pembeli” menyebabkan variasi penggunaan


bahasa. Dalam transaksi jual beli ini, orang yang bernotabene sebagai
penjual memakai ragam bahasa Jawa Krama dalam menawarkan
dagangannya. Kemudian, orang yang berstatus pembeli akan menggunakan
ragam bahasa Jawa Ngoko dalam menawar dagangan milik penjual. Meski
tidak seluruhnya melakukan hal tersebut, namun peneliti dapat menemukan
dalam suatu percakapan antara penjual dan pembeli terlepas dari faktor usia
dan faktor kondisi. Hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya percakapan
sebagai berikut:
Pembeli A : sing iki sewu weh yo
Penjual B (Bapak Jarwo) : dereng angsal nek semonten, pak. sewu
telungatus
Pembeli A : nek sewu seket?
Penjual B (Bapak Jarwo) : ngapunten, dereng angsal nggihan

4. Penutup
Berdasarkan hasil pembahasan mengenai ragam bahasa yang terjadi dalam
transaksi jual beli kambing di Pasar Tawangmangu, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:

Masyarakat memerlukan bahasa dalam setiap lini kehidupannya. Dari


bangun tidur hingga kembali tidur, tak pernah luput dengan penggunaan
bahasa. Tak terkecuali transaksi di Pasar Tawangmangu ini. Pada aktivitas
ini, terciptalah beberapa variasi bahasa yang disesuaikan dengan kondisi
geografi dan sosial penutur, medium pembicaraan serta pokok pembicaraan.
Masyarakat yang terlibat pada aktivitas transaksi jual beli ini didominasi oleh
bapak-bapak berusia 40—70 tahun, dengan memakai bahasa Jawa Ngoko
dan bahasa Jawa Krama. Terciptanya ragam bahasa seperti ragam akrolek,
ragam basilek, dan ragam kolokial dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
faktor usia, kondisi, dan status sosial. Faktor-faktor tersebut memengaruhi
adanya variasi bahasa dilatarbelakangi oleh usia penutur dan lawan tutur,
kondisi pertuturan, hingga status sosial penutur dan lawan tutur. Ragam
bahasa yang tercipta bertujuan untuk memudahkan pemahaman atas apa
yang dibicarakan. Selain itu, ragam bahasa tersebut juga tercipta sebagai
salah satu cara untuk menghormati lawan bicara.

.
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsini. 2010. Prosedur Penellitian Suatu Pendekatan Praktik

Butar-butar, C., & Syamsuyurnita, S. (2022). RAGAM BAHASA REGISTER


SEBAGAI CERMINAN PERILAKU SOSIAL (Kajian Sosiolinguistik tentang
Bahasa Sebagai Cerminan Perilaku). Bahterasia: Jurnal Ilmiah Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, 3(2), 213-221.

Handani, Z. T. (2022). Ragam Bahasa Lisan Penjual dan Pembeli dalam


Transaksi Jual Beli di Pasar Dampit, Kabupaten Malang: Kajian
Sosiolinguistik. Jurnal Penelitian, Pendidikan, Dan Pembelajaran, 17(16).

Mujib, A. (2009). Hubungan Bahasa dan Kebudayaan (Perspektif


Sosiolinguistik). Adabiyyāt: Jurnal Bahasa dan Sastra, 8(1), 141-154.

Mustikawati, D. A. (2016). Alih kode dan campur kode antara penjual dan
pembeli (Analisis pembelajaran berbahasa melalui studi
sosiolinguistik). Jurnal Dimensi Pendidikan dan Pembelajaran, 2(2), 23-32.

Rokhman, F. (2003). Pemilihan bahasa dalam masyarakat dwibahasa::


Kajian sosiolinguistik di Banyumas (Doctoral dissertation, Universitas
Gadjah Mada).

Wijana, I. D. P. (2021). Pengantar Sosiolinguistik. UGM PRESS.

Winiasih, T. (2010). Pisuhan dalam" Basa Suroboyoan" kajian


sosiolinguistik (Doctoral dissertation, Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan RI).
Lampiran:

Gambar 1: Aktivitas jual beli kambing di area parkir atas Pasar Tawangmangu

Gambar 2: Terjadinya tawar-menawar harga yang menjadi objek penelitian ini


Gambar 3: bapak-bapak penjual kambing sedang menawarkan kambingnya

Gambar 4: gambaran kondisi pasar kambing di Pasar Tawangmangu

Anda mungkin juga menyukai