Anda di halaman 1dari 8

Analis Fenomena Diglosia dalam Masyarakat

Vicki Enggal Saputra


Universitas Sebelas Maret Surakarta
saputravicki@gmail.com

Abstract
Language is a human communication tool in conveying messages between people. Diglosia
is a language situation where there is a functional division of language variants or languages
in society. Diglosia can also be demonstrated in the context of communication for people in
countries with diverse languages. Language is a symbol of the sound produced by a speech
tool that has meaning or meaning. Language is a communication tool used by living things
to interact with each other, especially humans. The kinds of languages in this world are truly
diverse, especially in Indonesia which has many ethnicities, cultures and languages. The
process of mastering language involves external problems such as the social background of
the speaker, the position, and culture of the speaker in the community. Language can also
be interpreted as a system, meaning that language is formed by a number of components
that are permanently patterned, and can be educated. The hallmark of the nature of
language is that language is a symbolic system, in the form of sound, which is arbitrary,
productive, dynamic, diverse and human.
Keywords: Language, diglosia, Society

Abstrak
Bahasa merupakan alat komunikasi manusia dalam menyampaikan pesan antar sesama.
Diglosia adalah suatu situasi bahasa di mana terdapat pembagian fungsional atas varian-
varian bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di masyarakat. Diglosia dapat juga ditunjukkan
dalam konteks komunikasi bagi masyarakat di negara yang memiliki ragam bahasa. Bahasa
adalah lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap yang mempunyai makna atau arti.
Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh makhluk hidup untuk berinteraksi
sesamanya, terutama manusia. Macam-macam bahasa di dunia ini sungguh beragam,
terutama di Indonesia yang mempunyai banyak suku bangsa, budaya dan bahasa. Proses
menguasai bahasa melibatkan soal-soal luaran seperti latar belakang sosial penutur,
kedudukan, dan kebudayaan penutur dalam masyarakat. Bahasa juga dapat diartikan
sebagai sebuah sistem, artinya bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola
secara tetap, dan dapat dikaidahkan. Ciri dari hakikat bahasa adalah, bahwa bahasa itu
adalah sistem lambang, berupa bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam, dan
manusiawi.
Kata Kunci : Bahasa, diglosia, Masyarakat

Pendahuluan
Bahasa merupakan alat komunikasi manusia dalam menyampaikan pesan antar
sesama, terutama di sekolah bahasa sangat penting. Karena kegiatan
pembelajaran di sekolah tentu erat kaitannya dengan proses berbahasa (Setiawan
dkk. 2018). Pembelajaran tersebut, tentunya perlu di imbangi dengan minat. Minat
yang besar terhadap sesuatu merupakan modal yang besar untuk mencapai atau
memperoleh tujuan yang diminati. Siswa yang memiliki minat belajar yang tinggi
akan senantiasa memberikan perhatian penuh dalam usahanya mencapai tujuan
pembelajaran (Yahya dkk, 2018). Keterampilan berbahasa berhubungan erat
dengan proses-proses yang mendasari pikiran, semakin terampil seseorang
berbahasa semakin cerah dan jelas pula jalan pikirannya (Siti dkk, 2013). Membaca
dapat menggunakan bacaan apapun, dibuktikan dalam (Darmuki dkk. 2015) yang
menyatakan bahwa membaca buku referensi akan membantu para pembaca untuk
meningkatkan keterampilan berbahasa. Dalam fungsinya, bahasa juga mampu
merubah keadaan seseorang tanpa disadari dan disadari, seperti marah, bahagia
dan sedih. Orang akan marah ketika dia mendapatkan pesan yang menyinggung
perasaan dirinya. Dan orang akan bahagia ketika dia mendapatkan kata-kata yang
mampu membangkitkan rasa ketengan dan rangsangan semangat hidup melalui
otak kanannya. Susmita (2015:1) mengatakan bahwa anak manusia mewarisi
kesanggupan biologis untuk menguasai dan menggunakan bahasa, dan warisan ini
bisa menjelaskan ciri-ciri universal yang terdapat dalam suatu bahasa-bahasa yang
belum diketahui; tetapi tidak mewarisi sebuah bahasa tertentu. Anak-anak yang
sejak kecil dikenalkan dengan bahasa ibu akan menggunakan bahasa ibunya untuk
memenuhi kebutuhan seperti berkomunikasi dengan lingkungan sekitar. Bahasa
memiliki peran penting dalam kehidupan sosial. Sebagaimana telah dinyatakan oleh
Fishman bahwa who speaks what language to whom and when (Simatupang et al.,
2018).
Walaupun hampir setiap bahasa di dunia ini memiliki bentuk tertentu untuk
mengungkapkan rasa hormat, tetapi tidak banyak yang memiliki bentuk
sekompleks dan serumit kelima bahasa yang di Indonesia, yaitu: Bahasa Jawa, Bali,
Sunda, Madura, dan Sasak (Ramendra, 2013). Kaitan bahasa dengan pengguna
bahasa (masyarakat) dalam kajian ilmu bahasa masuk dalam ranah keilmuan
sosilinguistik. Fishman (1972) dalam Chaer dan Agustina (2004:3) mengemukakan
bahwa sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi variasi
bahasa, dan pengunaan bahasa karena ketiga unsur ini berinteraksi dalam dan
saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur, identitas sosial dari
penutur, lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi serta tingkatan variasi dan
ragam linguistik. Jadi masyarakat adalah penentu dari munculnya keanekaragaman
bahasa.
Dilihat dari jumlah yang digunakan dalam masyarakat bahasa, ada
masyarakat bahasa yang menggunakan satu bahasa atau lebih. Masyarakat bahasa
yang menggunakan satu bahasa dan ada yang menggunakan bahasa yang dua
atau lebih. Masyarakat bahasa yang menggunakan satu bahasa disebut
monolingual dan masyarakat bahasa yang menggunakan dua bahasa atau labih
disebut biligualisme. Bilingualisme merupakan penggunaan dua bahasa atau dua
kode bahasa. Secara sosiolingustik, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan
dua bahasa oleh penutur dalam kegiatan berkomunikasi dengan orang lain, Mackey
dan Fishman (Chaer, 2010). Sedangkan Bilingualitas atau kedwibahasawanan
merupakan pemerolehan dua bahasa karena di dalam individu sudah terdapat
suatu kemampuan untuk berdwibahasa (Nababan, 1993).
Menurut Ferguosa, diglosia adalah fenomena penggunaan ragam bahasa
yang dipilih sesuai dengan fungsinya. Diglosia dalam masyarakat bahasa yang
memiliki satu bahasa dengan dua ragam(tinggi dan rendah) yang memiliki peranya
masing-masing. Penggunaan dua bahasa atau lebih merupakan fenomena yang
biasa terjadi. Bahasa daerah sebagai salah satu warisan budaya nasional harus
dipelihara dan ditumbuh kembangkan agar nilai-nilai budaya yang berkembang di
dalamnya tetap hidup di tengah masyarakat (Marni, 2016).
Diglosia adalah suatu situasi bahasa di mana terdapat pembagian fungsional
atas varian-varian bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di masyarakat. Diglosia
dapat juga ditunjukkan dalam konteks komunikasi bagi masyarakat di negara yang
memiliki ragam bahasa. Bahasa adalah lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat
ucap yang mempunyai makna atau arti. Bahasa merupakan alat komunikasi yang
digunakan oleh makhluk hidup untuk berinteraksi sesamanya, terutama manusia.
Macam-macam bahasa di dunia ini sungguh beragam, terutama di Indonesia yang
mempunyai banyak suku bangsa, budaya dan bahasa. Proses menguasai bahasa
melibatkan soal-soal luaran seperti latar belakang sosial penutur, kedudukan, dan
kebudayaan penutur dalam masyarakat..

Kajian Teori
Sosiolinguistik merupakan ilmu yang mempelajari bahasa masyarakat di suatu
tempat, atau bisa di bilang bahwa sosiolinguistik merupakan bidang yang
menganalisis kebahasaan sehari-hari masyarakat, pendapat ini didukung oleh
Hickerson (1980: 81) yang beragumen bahwa sosiolinguistik merupakan sebuah
pembelajaran pengembangan linguistik yang mengambil variasi bahasa sebagai
fokusnya, dan melihat variasi bahasa itu sendiri dalam konteks sosialnya. Dan
berdasarkan sebuah statement dari Fishman (1972: 4),yang menerangkan bahwa
sosiolinguistik adalah pembelajaran mengenai karakteristik fungsi-fungsi
penggunaan bahasa dengan karakteristik pengguna bahasa itu sendiri.
Ferguson (dalam Chaer dan Agustina, 2004:92) menggunakan istilah diglosia
untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasu dari
satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunayi peranan
tertentu. Diglosia adalah sejenis pembakuan bahasa yang khusus di mana dua
ragam bahasa berada berdampingan di dalam keseluruhan masyarakat bahasa, dan
di mana masing-masing ragam bahasa itu diberi fungsi sosial tertentu (Ferguson
dalam Sumarsono dan Partana, 2002:36-37). Achmad dan Abdullah (2012:164)
memaparkan bahwa diglosia diidentikkan dengan situasi kebahasaan yang
menunjukkan adanya pemakaian bahasa tinggi dan rendah dalam suatu
masyarakat tutur.
Dari pemaparan beberapa ahli di atas, dapat diambil sintesis bahwa diglosia
merupakan situasi kebahasaan yang menunjukkan adanya penggunaan bahasa
tinggi (ragam T) dan bahasa rendah (ragam R) yang disesuaikan dengan situasi
komunikasinya. Ragam tinggi digunakan untuk berkomunikasi pada situasi resmi
seperti pada lingkup pemerintahan dan pendidikan, sedangkan ragam rendah
digunakan pada situasi tidak resmi seperti percakapan dengan teman, saat terjadi
transaksi jual beli, dan lain sebagainya.
Jika diglosia diartikan sebagai adanya pembedaan fungsi atas penggunaan
bahasa, terutama fungsi ragam tinggi (T) dan fungsi ragam rendah (R), maka
bilingualisme adalah keadaan penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam
suatu masyarakat. Dwibahasan adalah mereka yang dapat menggunakan dua
bahasa, tetapi ini pun tingkatannya bermacam-macam, dari tingkatan
dwibahasawan permulaan, yaitu mereka yang sedang mempelajari bahasa kedua
pada langkah awal, sampai kepada mereka yang telah menguasai bahasa kedua itu
dengan baik, sehingga dapat dibandingkan dengan penguasaan oleh para penutur
asli (Rusyana, 1988). Faktor yang menimbulkan kedwibahasaan adalah intensitas
penggunaan bahasa Indonesia yang sekarang lebih banyak digunakan daripada
bahasa Inggris. Selain itu, juga karena pengaruh pola komunikasi yang dibentuk
Sarah Sechan yang menanyainya menggunakan bahasa Inggris. Faktor tersebut
sesuai dengan penelitian (Bahri, 2018). Suandi (2014:25) menjelaskan tentang
kaitan antara kedwibahasaan (bilingualisme) dengan diglosia dalam sebuah tabel.
Tabel dan penjelasannya adalah sebagai berikut.
Diglosia

+ _

+ Bilingualisme dan Bilingualisme tanpa


Diglosia
diglosia
Bilingualis
me - Diglosia tanpa Tidak diglosia tidak
bilingualisme
bilingualisme

Tabel 1: Kaitan antara kedwibahasaan (bilingualisme) dengan diglosia

Metode
Metode dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dimana
metode ini digunakan untuk mengetahui dan memecahkan masalah yang
berdasarkan serta berkaitan dengan data-data narasi dari sebuah observasi,
wawancara. Hal ini didukung dengan pendapat menurut (Narbuko dan Achmadi,
2002) yang mengatakan bahwa metode ini digunakan untuk memecahkan masalah
aktual dengan cara mengumpulkan data, menyusun, menglasifikasikan,
menganalisis, serta menginterpreta-sikannya. Dan pengertian bentuk penelitian
deskriptif kualitatif yang disampaikan Sutopo (2002) yaitu, “Penelitian deskriptif
kualitatif mengarah pada pendeskripsian secara rinci dan mendalam tentang potret
kondisi tentang apa yang sebenarnya terjadi menurut apa adanya di lapangan
studinya” .
Menurut Gubrium et.al., (1992: 1577) Setidaknya, terdapat lima jenis metode
penelitian kualitatif yang banyak dipergunakan, yaitu: (1) observasi terlibat; (2)
analisa percakapan; (3) Analisa wacana; (4) analisa isi; dan (5) pengambilan data
ethnografis. Observasi terlibat biasanya melibatkan seorang peneliti kualitatif
langsung dalam setting sosial. Ia mengamati, secara lebih kurang “terbuka”, di
dalam aneka ragam keanggotaan dari peranan-peranan subjek yang ditelitinya.
Data dikumpulkan dari fenomena yang ada di dalam masyarakat seperti
berikut ini : Situasi Diglosia pada Penutur Bahasa Ngaju di Kecamatan Katingan
Tengah Kabupaten Katingan Kalteng, Diglosia Masyarakat Tutur pada Penggunaan
Bahasa Arab (Kajian Kebahasaan terhadap Bahasa Fusha dan Bahasa ‘Amiyah
Dilihat dari Perspektif Sosiolinguistik), Penelitian Diglosia antara bahasa Jawa dan
Sunda (study kasus masyarakat bahasa kecamatan Lemah Abang Kabupaten
Cirebon) dalam Jurnal Inovasi Pendidikan MH. Thamrinm,
Pada tahap ini, data yang sudah didapatkan oleh penulis tersebut, kemudian
diidentifikasi dan di analisis diglosianya. Setelah itu penulis menyimpulkan kenapa
fenomena itu terjadi secara rinci sesuai dari data yang ada.

Pembahasan dan Hasil


Berikut ini adalah penelitian yang relevan mengenai Fenomena Diglosia :

1. Situasi Diglosia pada Penutur Bahasa Ngaju di Kecamatan Katingan Tengah


Kabupaten Katingan Kalteng dalam jurnal Agustina & Zulkifli (2014)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bahasa yang digunakan dan untuk
mengetahui situasi diglosia pada penutur bahasa Ngaju di Kecamatan Katingan
Tengah, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Dalam penelitian tersebut, data
tentang diglosia dilihat dari tujuh ranah, yakni ranah keluarga, ranah pergaulan,
ranah transaksi jual beli, ranah agama, ranah pemerintahan, ranah pendidikan, dan
ranah profesi/pekerjaan. Selain itu juga, data diperoleh dari pemilihan bahasa,
seperti di editorial surat kabar, siaran berita, dan sastra rakyat. Berdasarkan
temuan penelitian menunjukan bahwa penutur bahasa Ngaju merupakan bilingual
dan multilingual. Hal ini terlihat dengan beragamnya bahasa yang digunakan dan
penguasaan dari masing-masing penutur bahasa Ngaju. Hasil penelitian
berdasarkan ranah keluarga dan ranah pergaulan dengan teman sesuku,
menunjukan bahwa masih dominannya penutur menggunakan bahasa Ngaju, dalam
ranah transaksi jual beli, terlihat bahwa bahasa Banjar lebih dominan. Fungsi
bahasa Banjar sebagai bahasa transaksi jual beli di Kecamatan Katingan Tengah
Kabupaten Katingan. Dalam ranah agama, khususnya kebaktian di Gereja terbentuk
situasi triglosik (penggunaan bahasa Ngaju dan bahasa Indonesia seimbang),
sedangkan khotbah di Masjid lebih dominan menggunakan bahasa Indonesia
sebagai bahasa tinggi (T). Ranah pemerintahan, ranah pendidikan dan ranah
profesi, situasi diglosia yang terjadi adalah lebih dominan menggunakan bahasa
Indonesia sebagai ragam bahasa tinggi (T), walaupun terjadi diglosia yang kurang
mantap pada ranah pendidikan yang dituturkan pelajar penutur Ngaju akibat
penguasaan bahasa Indonesia yang masih kurang mantap. Pemilihan bahasa yang
digunakan dalam editorial surat kabar dan siaran berita menggunakan bahasa
Indonesia sebagai ragam bahasa tinggi (T), sedangkan sastra rakyat lebih dominan
menggunakan bahasa Ngaju (R) walaupun terdapat juga menggunakan bahasa
Indonesia.

2. Diglosia Masyarakat Tutur pada Penggunaan Bahasa Arab (Kajian Kebahasaan


terhadap Bahasa Fusha dan Bahasa ‘Amiyah Dilihat dari Perspektif
Sosiolinguistik) dalam jurnal Astuti. (2017)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peristiwa diglosia yang muncul dalam
bahasa Arab yang digunakan masyarakat Arab modern. Pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Berdasarkan
pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa diglosia adalah suatu situasi bahasa
di mana terdapat pembagian fungsional atas variasi-variasi bahasa atau bahasa-
bahasa yang ada di masyarakat. Maksud tersebut ialah bahwa terdapat perbedaan
antara ragam formal atau resmi dan tidak resmi atau non-formal. Contohnya
misalkan di Indonesia terdapat perbedaan antara bahasa tulis dan bahasa lisan.
Perbedaan antara Fusha dan Amiyah yaitu terdapat pada kaidah-kaidah nahwu dan
Sharf, bahasa Arab Fusha sangat memperhatikan pada kaidah kaidah nahwu dan
sharf, sedangkan bahasa Arab Amiyah tidak memperhatikan pada hal tersebut.
Maka dari itu penggunaan bahasa Arab Fusha dan Amiah digunakan pada forum
yang juga berbeda. Bahasa Arab Fusha digunakan pada forum-forum dan
mediamedia yang bersifat formal. Sebaliknya, bahasa Arab Amiyah sering
digunakan dalam aktivitas dan komunikasi sehari-hari yang bersifat non formal.

3. Penelitian Diglosia antara bahasa Jawa dan Sunda (study kasus masyarakat
bahasa kecamatan Lemah Abang Kabupaten Cirebon) dalam Jurnal Inovasi
Pendidikan MH. Thamrin yang di sebutkan dalam jurnal Iryani (2017)
Berdasarkan hasil penelitian fenomena diglosia dalam suatu masyarakat
khususnya Jawa dan Sunda yang dilakukan oleh Endang Iryani dengan
menggunakan pendekatan Ferguson, dapat disimpulkan bahwa Bahasa Jawa
berfungsi sebagai komunikasi transaksi bisnis dengan pelaku bisnis yang berbahasa
Jawa. Sedangkan bahasa Sunda digunakan sebagai komunikasi sehari-hari bagi
sebagaian besar warga kecamatan Lemah Abang. Tidak ada ragam yang tinggi (T)
atau rendah (R) pada diglosia Jawa dan Sunda di kecamatan Lemah Abang. Posisi
kedua bahasa tersebut sama dan tidak ada “derajat” bahasa. Pemerolehan Ragam
T diperoleh dari pergaulan bagi komunitas masyarakat yang menggunakan ragam
R, sedangkan komunitas ragam R memperoleh bahasanya dari bahasa ibu sendiri.
Penggunaan ragam T sebagian besar digunakan dalam ruang lingkup jual beli di
pasar Lemah Abang. Stabilitas Diglosia yang terjadi pada kecamatan Lemah Abang
sudah berlangsung lama, dinamika kehidupan yang terjadi menjadikan adanya
perubahan masyarakat dalam hal ini komposisi kependudukan bahasa. penggunaan
ragam T jarang menggunakan ragam R untuk berkomunikasi dengan masyarakat
penggunaan ragam R. Sedangkan pada masyarakat ragam R ketika menggunakan
ragam T akan terdengar seperti masyarakat ragam T dalam struktur kalimat dan
intonasinya.Keseluruhan kosakata dan gramatikal bahasa kedua ragam tersebut
memiliki perbedaan yang kuat. Seperti kata “arep ndi mas?” dengan “bade
kamana?” kedua kosa kata ini memiliki makna sama yaitu mempertanyakan orang
lain “mau pergi kemana?”,

Simpulan
Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh
anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi
diri. Dilihat dari jumlah yang digunakan dalam masyarakat bahasa, ada masyarakat
bahasa yang menggunakan lebih dari satu bahasa. Diglosia merupakan situasi
kebahasaan yang menunjukkan adanya penggunaan bahasa tinggi (ragam T) dan
bahasa rendah (ragam R) yang disesuaikan dengan situasi komunikasinya. Ragam
tinggi digunakan untuk berkomunikasi pada situasi resmi, sedangkan ragam rendah
digunakan pada situasi tidak resmi. Sedangkan, bilingualisme merupakan keadaan
penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam suatu masyarakat. Jenis
hubungan antara bilingualisme dan diglosia, yaitu (1) bilingualisme dan diglosia, (2)
bilingualisme tanpa diglosia, (3) diglosia tanpa bilingualisme, (4) tidak bilingualisme
dan tidak diglosia.
Mengambil dari empat penelitian yang relevan mengenai fenomena diglosia,
dapat disimpulkan bahwa dalam terdapat perbedaan penggunaan bahasa dalam
masyarakat berkaitan dengan fungsinya sebagai alat komunikasi transaksi bisnis
atau sebagai alat komunikasi sehari-hari bagi sebagaian besar warga. Fenomena
diglosia yang ditemukan dalam interaksi masyarakat terbukti dengan adanya
ragam bahasa yang terjadi dalam setiap percakapan, terdiri atas ragam bahasa
formal dan ragam bahasa nonformal. Penggunaan variasi bahasa terjadi karena
faktor sosial yang meliputi status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi,
jenis kelamin, dan sebagainya. Diglosia adalah suatu situasi bahasa dengan
pembagian fungsional atas variasi-variasi bahasa di masyarakat

Referensi
Astuti, Widi. (2017). Diglosia Masyarakat Tutur pada Penggunaan Bahasa
Arab (Kajian Kebahasaan terhadap Bahasa Fusha dan Bahasa ‘Amiyah
Dilihat dari Perspektif Sosiolinguistik). Jurnal Komunikasi dan
Pendidikan Islam, 6(2), 143-161.
Agustina, Lili & Zulkifli. (2014) Situasi Diglosia pada Penutur Bahasa Ngaju di
Kecamatan Katingan Tengah Kabupaten Katingan Kalteng (Diglosia
Situation On The Ngaju Language Speakers In Katingan Regency
Central Katingan Subdistrict Of Central Kalimantan). Jurnal Bahasa,
Sastra, dan Pembelajarannya, 203-212. DOI http://dx.doi.org/10.20527/
jbsp.v4i2.3693
Achmad & Abdullah, Alek. (2012). Linguistik Umum. Jakarta: Erlangga.
Bahri, S. (2018). Fenomena Kedwibahasaan di Sekolah Dasar; Sebuah
Kondisi dan Bentuk Kesantunan Berbahasa. Jurnal Bidang Pendidikan
Dasar, 2(2), 62-72.
Brilyanti, Yashinta Kurnia. (2018). Fenomena Diglosia pada Interaksi Para
Siswi dan Suster Pamong di Asrama Santa Angela, Bantul, Yogyakarta..
Retrieved from https://repository.usd.ac.id/30978/2/131224009_full.pdf
Chaer, Abdul. & Agustina, Leonie. (2004). Sosiolinguistik Perkenalan Awal.
Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta
Darmuki, A., Andayani, Nurkamto, J., & Saddhono, K. (2016). Model Student
Learning To Speak For Education Study Language And Literature
Indonesia : Document Analisis And Needs Learning to Speak.
International Journal of Languages’ Education, 4(2), 99–109.
https://doi.org/10.18298/ijlet.611
Fishman. J. A. 1972. Sosiolinguistik A.Brif Introduction. Rowley.
Massachusetts: Newbury House Publisher.
Gubrium, Jaber F and James A. Holstein, 1992. “Qualitative Methods”, dalam
Encyclopedia of Sociology, Vol. 3. New York: Macmillan Publishing
Company.
Hickerson, N. 1980. Linguistik Anthropology. New York: Holt, Rinehart and
Winston Inc.
Iryani, Endang. (2017). Diglosia antara Bahasa Jawa dan Sunda (Studi Kasus
Masyarakat Bahasa Kecamatan Lemah Abang Kabupaten Cirebon).
Jurnal Inovasi Pendidikan MH. Thamrin, 1(1), 1-6.
Marni, W, O. 2016. Campur Kode dan Alih Kode dalam Peristiwa Jual Beli di
Pasar Labuan Tobelo Kecamatan Wkorumba Utara Kabupaten Buton
Utara. Jurnal Bastra. 2(1).
Nababan, P.W.J. 1993. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Narbuko, A dan Achmadi, A. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi
Aksara.
Ramendra, D,P. 2013. Variasi Bahasa Pada Masyarakat Tutur Kota Singaraja.
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora. 2(2).
Rusyana, Yus. 1988. Prihal Kedwibahasaan (bilingualisme). Bandung: Fps Ikip
Bandung.
Sumarsono & Partana, Paina. (2002). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.
Suandi, I Nengah. 2014. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Setiawan, B., Wardani, N., Saddhono, K. 2018. Bercerita Dengan Media
Wayang Kulit Untuk Meningkatkan Pemahaman Tingkat Tutur Bahasa
Jawa Siswa Smp Di Kabupaten Magelang. INA-Rxiv. 1-7. https://doi.org/
10.31227/osf.io/vhcdf
Siti, M., Andayani., Saddhono, K. 2013. Peningkatan Kemampuan Menulis
Cerita Dengan Menggunakan Metode Picture And Picture Pada Siswa
Sekolah Dasar. Basastra Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra Indonesia Dan
Pengajarannya. 2(4) : 1–10.
Simatupang, R., Rohmadi, M., & Saddhono, K. (2018). Alih kode dan campur
kode tuturan dilingkungan pendidikan. LingTera, 5(1), 1-10.
doi:http://dx.doi.org/10.21831/lt.v5i1.19198
Susmita, N. (2015). Alih Kode dan Campur Kode dalam Pembelajaran Bahasa
Indonesia di SMP Negeri 12 Kerinci. Jurnal Penelitian Universitas Jambi
Seri Humaniora, 17(2), hal. 87-98. Diperoleh pada 4 Januari 2018, dari
https://online-journal.unja.ac.id.
Sutopo, H.B. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan
Terapannya dalam
Penelitian. Surakarta: UNS Press.
Yahya, M., Andayani, & Saddhono, K. 2018. Studi Kesalahan Penulisan
Kalimat dalam Karangan Pelajar Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing
(BIPA). Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, 5(1), 1-20. https://doi.org/10.15408/dialektika.v5i1.6295.

Anda mungkin juga menyukai