Anda di halaman 1dari 11

ETNOGRAFI KOMUNIKASI

Makalah
(Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sosiolinguistik)

Dosen pengampu: Dr.Wildan Taufiq, M. Hum

Disusun oleh:
1. Dhestia (1165020)
2. Iqbal Saputra (1165020072)
3. Rosalita (1175020137)
4. Siti khodijah (1165020150)

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
TAHUN PEMBELJARAN 2018 - 2019
A. Pendahuluan
Bahasa dan komunikasi memang merupakan dua bagian yang saling
melengkapi dan sulit untuk dipahami sebagian bagian yang terpisah satu sama
lain. Komunikasi tidak akan berlangsung bila tidak ada simbol-simbol
(bahasa) yang dipertukarkan. Begitu juga sebaliknya, bahasa tidak akan
memiliki makna jika tidak dilihat dalam konteks sosial atau ketika ia
dipertukarkan.
Tiap-tiap manusia yang ada di muka bumi tentulah memiliki ragam
komunikasi yang berbeda-beda tergantung bagaimana kultur tempat mereka
tinggal. Dalam konteks ilmu komunikasi, suatu proses komunikasi di belahan
dunia manapun selalu mengikuti suatu alur atau kaidah tertentu, sehingga
suatu masyarakat atau kelompok bisa mengatakan seseorang bisa diterima
suatu komunitas atau masyarakat karena cara dia berkomunikasi. Kaidah ini
juga mengatur gaya berkomunikasi dalam konteks sosial.
Memahami pola-pola komunikasi yang hidup dalam suatu masyarakat
tutur, atau masyarakat yang memiliki kaidah yang sama untuk berkomunikasi,
akan memberikan gambaran umum (regularitas) dari perilaku komunikasi
masyarakat tersebut. Dari pola ini juga dapat diketahui bagaimana unit-unit
komunikatif dari suatu masyarakat tutur diorganisasikan, dipandang secara
luas sebagai ‘cara-cara berbicara, dan bersama dengan makna menurunkan
makna dari aspek-aspek kebudayaan lain.
Studi etnografi komunikasi merupakan salah satu studi yang
mengkhususkan pada penemuan berbagai pola komunikasi yang digunakan
oleh manusia dalam suatu masyarakat tutur, yang akan dibahas lebih jelas
pada makalah ini di bab selanjutnya.

B. Pengertian Etnografi Komunikasi


Etnografi pada dasarnya merupakan suatu bangunan pengetahuan yang
meliputi teknik penelitian, teori etnografi, dan berbagai macam deskripsi
kebudayaan. Etnografi bermakna membangun suatu pengertian yang sistemik
mengenai semua kebudayaan manusia dan perspektif orang yang telah
mempelajari kebudayaan itu.1
Studi etnografi komunikasi adalah pengembangan dari antropologi
linguitik yang dipahami dalam konteks komunikasi. Studi ini diperkenalkan
pertama kali oleh Dell Hymes pada tahun 1962, sebagai kritik terhadap ilmu
linguistik yang terlalu memfokuskan diri pada fisik bahasa saja.
Definisi etnografi komunikasi itu sendiri adalah “kajian bahasa dalam
perilaku komunikasi dan sosial dalam masyarakat (yang kemudian disebut
masyarakat tutur), meliputi cara dan bagaimana bahasa digunakan dalam
masyarakat dan budaya yang berbeda-beda.”2
Pendekatan etnografi komunikasi merupakan pendekatan terhadap
sosiolinguistik bahasa, yaitu melihat penggunaan bahasa secara umum
dihubungkan dengan nilai-nilai sosial & kultural. Menggabungkan sosiologi
& antropologi dalam konteks komunikasi atau ketika bahasa dipertukarkan.
Fokus etnografi komunikasi adalah perilaku komunikasi dalam tema
kebudayaan tertentu bukan keseluruhan perilaku seperti etnografi.

Perilaku ekonomii
Perilaku Politik
Perilaku agama
Perilaku-perilaku lainnya
Perilaku Komunikasi

Etnografi
Etnografi Komunikasi
Diagram 1. Fokus Penelitian etnografi dan etnografi komunikasi

1
Basrowi & Sukidin. 2002. Metode Penelitian Kualitatif: Perspektif Mikro. Surabaya: Insan
Cendikia. Hlm 81 (dalam buku Metode Penelitian Etnografi Komunikasi oleh Engkus Kuswarno)
2
Effendy, Onong Uchjana. 1989. Kamus komunikasi. Bandung. CV. Mandar Maju. Hlm. 208-209
(dalam buku Metode Penelitian Etnografi Komunikasi oleh Engkus Kuswarno)
Etnografi komunikasi adalah kajian tentang kehidupan dan kebudayaan
suatu masyarakat atau etnik, misalnya tentang adat istiadat, kebiasaan,
hukum, seni, religi, dan/atau bahasa. Etnografi hampir sama dengan etnologi,
yaitu ilmu tentang unsur atau masalah kebudayaan suku bangsa dan
masyarakat penduduk suatu daerah di seluruh dunia secara komparatif dengan
tujuan mendapat pengertian tentang sejarah dan proses evolusi serta
penyebaran kebudayaan umat manusia di muka bumi.
Etnisitas merupakan objek kajian etnografi. Etnografi merupakan
bagian dari cabang ilmu antroplogi budaya yang mempelajari berbagai
kebudayaan suatu masyarakat berupa aktivitas nyata masyarakat. Secara
khusus etnografi adalah ilmu yang mempelajari tentang pendeskripsian
kebudayaan suku-suku bangsa (etnik) yang hidup tersebar di muka bumi.
Kemudian, etnografi komunikasi yaitu bidang ilmu etnolinguistik atau
sosiolinguistik tentang bahasa dalam hubungannya dengan semua variabel di
luar bahasa. Yang dimaksud dengan variabel di luar bahasa tersebut adalah
kebudayaan etnisitas dan faktor sosial lainya. Faktor-faktor sosial itu,
mencakupi status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis
kelamin dan sebagainya. Selain itu bentuk bahasanya dipengaruhi oleh faktor
situasional, misalnya: siapa yang berbicara, bagaimana bentuk bahasanya,
kepada siapa, kapan, dimana, dan mengenai masalah apa.

C. Tujuan Etnografi Komunikasi


Sebagai ilmu yang relatif baru namun banyak digunakan sebagai
metode penelitian, etnografi memiliki beberapa tujuan yaitu:
1. Mengkaji bentuk dan fungsi bahasa yang tersedia dalam suatu budaya
untuk berkomunikasi satu sama lain.
2. Melihat bagaimana bentuk dan fungsi bahasa tersebut menjadi bagian dari
kehidupan masyarakat yang berbeda-beda.
3. Mendapatkan analisa dari pola komunikasi suatu budaya sosial masyarakat
dari aspek bahasa yang diterapkan dan dikomunikasikan.
D. Objek Penelitian Etnografi Komunikasi
Beberapa konsep penting yang berkaitan dengan etnografi komunikasi
yang juga merupakan objek penelitian dari etnografi komunikasi itu sendiri
antara lain, sebagai berikut:
a. Tata cara bertutur
Tata cara bertutur merupakan aturan-aturan yang dilakukan oleh
pembicara dan pendengar pada saat berkomunikasi berkaitan dengan
kebiasaan atau adat istiadat. Misalnya: 1) seorang anak kecil yang
berbicara dengan orang tua harus memperhatikan mata dari pembicara; 2)
pendengar tidak boleh memotong pembicaraan dari pembicara sebelum
pembicara benar-benar selesai berbicara; 3) Tradisi di dalam lingkungan
keluarga Jawa, anak-anak muda yang terlibat dalam pembicaraan dengan
orang tua mereka, tidak boleh begitu saja menyela tutur orang tua tanpa
seizin si orang tua, tanpa diminta untuk berbicara. Kalau pun si anak
mempunyai kesempatan karena ada waktu, dia biasanya memulai
ujarannya, yang benada minta izin dengan mengucapkan “Nuwun
sewu,….” (minta beribu maaf). Dengan demikian, tata cara bertutur itu
berbeda antara kelompok masyarakat yang satu dan kelompok masyarakat
yang lain.
b. Guyup tutur
Guyup tutur merupakan komunitas atau kelompok orang yang
hidup dan saling berinteraksi di dalam wilayah tertentu menggunakan
suatu bahasa tertentu pula. Masyarakat tutur bukan hanya sekelompok
masyarakat dalam budaya tertentu yang menggunakan bahasa sebagai
tindakan komunikasi mereka, melainkan juga memiliki kaidah berbahasa
dalam satu variasi bahasa.
Orang-orang Inggris dan Amerika sama-sama berbahasa Inggris
tetapi mempunyai tatacara bertutur yang berbeda di tempat “umum”,
misalnya restauran. Di Inggris dalam perpercakapan di restauran suara
partisipan direndahkan sehingga orang-orang yang tidak terlibat
percakapan itu tidak akan bisa mendengar apa yang dicakapkan.
Seorang mahasiswa adalah warga kampus, tetapi juga warga
asrama, warga suku, warga bangsa, dan seterusnya. Tiap komunitas
mempunyai sedikit kaidah pembeda komunikasi dan dalam hal-hal tertentu
juga kaidah pembeda wicara. Ini berarti, setiap penutur tidak perlu
termasuk hanya ke dalam satu komunitas tutur atau ke dalam dua atau
lebih komunitas tutur yang sama sekali berbeda. Orang biasanya menjadi
anggota dari beberapa komunitas tutur pada saat yang sama. Orang akan
mengubah perilaku tuturya, dengan menyesuaikan diri dengan komunitas
yang melibatkan tutumya, dengan menambah mengurangi, dan mengganti
kaidah perilaku komunikatif. Berikut ini dikemukakan beberapa pendapat
tentang komunitas tutur.
Hudson (1980) berpendapat bahwa istilah komunitas tutur
mengacu kepada “komunitas yang berdasarkan bahasa”, yang sering
dikacaukan dengan istilah komunitas bahasa (linguistic community). John
Lyons (1970) mengemukakan bahwa (1970), Speech community is all the
people who use a given language (or dialect).” (komunitas tutur adalah
semua orang yang memakai suatu bahasa atau dialek tertentu).
Perbedaan mendasar antara satu komunitas dengan komunitas
lainnya dalam hal komunikasi lisan, turut membangun kaidah-kaidah
bahasa. Selain itu, prinsip dasar etnografi komunikasi juga memerikan
perbedaan aturan berbicara (rule of speaking), misalnya kapan harus
berbicara dan kapan harus diam (lih. Fasold, 1990: 40). Rules of speaking
is "The ways in which speakers associate particular modes of speaking,
topics or message forms, with particular settings and activities" (Gumperz
1972: 36). Aturan berbicara ini bisa sangat berbeda antara satu kebudayaan
dengan kebudayaan lainnya.
c. Situasi, Peristiwa dan Tindak Tutur
Situasi tutur berkaitan dengan keadaan yang sedang berlangsung
pada saat proses tutur terjadi. Tuturan pada situasi resmi akan berbeda
dengan situasi tidak resmi. Perbedaan yang terlihat, mungkin dari segi
kebahasaan baik itu gaya bahasa, pilihan kata, dan hal-hal lain yang
mendukung pembicaraan pada situasi tersebut. Ini juga dilihat dari siapa
yang menjadi pendengar atau audiens atau lawan bicara pada pembicaraan
itu. Gaya bahasa dan diksi yang dipakai biasanya dibedakan berdasarkan
jenjang pendidikan lawan bicara. Jadi, situasi tutur adalah keadaan yang
dikaitkan dengan tuturan, misalnya upacara, pertengkaran, percintaan, dan
sebagainya.
Ibrahim (2004:267) mengemukakan bahwa situasi tutur diartikan
sebagai konteks terjadinya komunikasi. Konteks situasi tutur misalnya
adalah upacara, perburuan, makan-makan, lelang, kelas di sekolah, dan
sebagainya. Situasi tutur tidak selalu komunikatif: situasi tersebut
mungkin terdiri dari peristiwa yang komunikatif dan perstiwa yang lain.
Peristiwa tutur terjadi dalam situasi tutur dan terdiri dari satu
tindak tutur atau lebih (Sumarsono, 2002:320). Misalnya sebuah contoh
yang dapat menjelaskan kehadiran situasi tutur, peristiwa tutur dan tindak
tutur adalah sebuah pesta, seperti pesta perkawinan, atau pesta ulang
tahun. Dalam pesta (sebagai situasi tutur) terjadi percakapan selama pesta
berlangsung dengan siapa saja, topik apa saja, barangkali juga terdapat
lelucon di dalamnya (peristiwa tutur).
Adapun tindak tutur adalah kalimat atau pernyataan yang
dinyatakan untuk mewadahi maksud dan tujuan tuturan. Kajian terhadap
tindak tutur banyak ditelaah dibandingkan dengan dua konsep lain yang
membangun etnografi komunikasi. Ketika bertutur, maka seseorang akan
memberi saran, berjanji, mengundang, meminta, melarang, dan
sebagainya. Dengan demikian, tuturan membentuk tindakan, bahkan
tuturan sendiri adalah sebuah tindakan. Ujaran yang membentuk tindakan
disebut dengan ujaran performatif, ‘Saya akan datang lebih awal’,
merupakan kalimat deklaratif yang menyatakan sebuah janji atau berjanji
untuk datang lebih awal. Sebaliknya, kalimat yang sebatas pada
memberitakan disebut dengan ujaran konstatif.
d. Komponen Tutur
Selain situasi, peristiwa, dan tindak tutur masih ada konsep lain
yang cukup penting, yaitu komponen tutur. Komponen tutur, meliputi
kepanjangan dari kata SPEAKING yang dijelaskan berikut ini.
1. S = (setting and scene). Setting berkenaan dengan waktu dan tempat
tutur berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan
waktu, atau situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi
tuturan yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa
yang berbeda.
Berbicara di lapangan sepak bola pada waktu ada pertandingan
sepak bola dalam situasi yang ramai tentu berbeda dengan
pembicaraan di rumah sakit ketika didalam ruangan orang-orang yang
sakit dengan keadaan sunyi. Dilapangan sepak bola kita bisa berbicara
keras-keras, tpi diruang rawat harus seperlahan mungkin.
2. P = Participants (patisipan) adalah pihak-pihak yang terlibat dalam
pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau
pengirim dan penerima (pesan). Dua orang yang bercakap-cakap dapat
brganti peran sebagai pembicara atau pendengar, tetapi dalam khotbah
di masjid, khotib sebagai pembicara dan Jemaah sebagai pendengar
tidak dapat bertukar peran. Status sosial partisipan sangat menentukan
ragam bahasa yang digunakan. Misalnya, seorang anak akan
menggunakan ragam atau gaya bahasayang berbeda bila berbicara
dengan orang tuanya atau gurunya bila dibandingkan kalau dia
berbicara terhadap teman-teman sebayanya.
3. E = Ends, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur
yang terjadi diruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu
kasus perkara, namun para partisipan didalam peristiwa tutur itu
mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan
si terdakwa, pembela berusaha membuktikan bahwa si terdakwa tidak
bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan yang adil.
Dalam peristiwa tutur diruang kuliah linguistic, ibu dosen yang cantik
itu berusaha menjelaskan materi kuliah agar dapat dipahami
mahasiswanya, namun barangkali diantara para mahasiswa itu ada
yang datang hanya untuk memandang wajah ibu dosen yang cantik itu.
4. A = Act sequence (urutan tindak), mengacu pada bentuk ujaran dan isi
ujaran. Bentuk ujaran ini berkenaan dengan kata-kata yang digunakan,
bagaimana penggunannya, dan hubungan antara apa yang dikatakan
dengan topic pembicaraan. Bentuk ujaran dalam kuliah umum, dalam
percakapan biasa, dan dalam pesta adalah berbeda. Begitu juga dengan
isi yang dibicarakan.
5. K = Key (kunci), yang mengacu pada bagaimana nada suatu tuturan
disampaikan, misalnya serius, khidmat, lucu, sinis, dan sebagainya
atau juga dapat ditunjukan dengan gerak tubuh dan isyarat.
6. I = Instrumentalities, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan
seperti jalur lisan, tulisan, melalui telegraf atau telepon.
Instrumentalities ini juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan,
seperti bahasa, dialek, fragam, atau register.
7. N = Norm of interaction and interpretation (norma), mengacu pada
norma atau aturan dalam berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan
dengan cara berinterupsi, bertanya, dan sebagainya. Juga mengacu
pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara.
8. G = Genre, yang mengacu pada jenis-jenis wacana yang dipakai,
misalnya puisi, khutbah, lawak, perkuliahan, dan sebagainya.

Sedangkan menurut Hymes, ada 16 komponen tutur, diantaranya


sebagai berikut:
1. Bentuk pesan, menyangkut cara bagaimana sesuatu itu (topik)
dikatakan atau diberitakan. Dapat kita simpulkan, bahwa bentuk pesan
bertalian dengan rupa atau wujut pesan. Misalnya, dalam bentuk lisan,
tulisan, lambang-lambang konvensional, dan lain-lain.
2. Isi pesan, berkaitan dengan persoalan apa yang dikatakan, menyangkut
topik dan perubahan topik. Untuk membedakan bentuk pesan dan isi
pesan, lihatlah contoh kalimat langsung dan tak langsung berikut ini:
“Dia berharap, mudah-mudahan lulus dalam Ujian Tengah Semester
ini,” kata Aris. Kalimat tersebut dapat dinilai bahwa si Aris hanya
melaporkan isi pesan saja. Tetapi, seandainya si Aris berkata: “Dia
berharap, mudah-mudahan Saya lulus dalam Ujian Tengah Semester!,”
berarti si Aris melaporkan isi pesan sekaligus mengutip bentuk
pesannya yaitu tentang dia yang berharap dan bentuk pesan ‘Mudah-
mudahan lulus Ujian Tengah Semester!’. Isi pesannya adalah apa
harapannya itu, sementara bentuk pesannya adalah bagaimana dia
berharap.
3. Latar (setting), berkaitan dengan waktu dan tempat terjadinya tindak
tutur. Sedangkan Suasana (scene), mengacu kepada “latar psikologis”
atau batasan budaya tentang suatu kejadian sebagai suatu jenis suasana
tertentu. Misalnya, ketika si Aris berbicara dengan temannya yang
sama-sama berasal dari NTT mungkin akan mengubah suasana, dari
formal menjadi informal, dari serius menjadi santai.
4. Penutur (speaker, sender)
5. Pengirim (addressor)
6. Pendengar (hearer, receiver, audience)
7. Penerima (addressee).
8. Maksud hasil (purpose-outcome)
9. Maksud tujuan (purpose-goal)
10. Kunci (key), bertalian dengan cara, nada, atau semangat tindak tutur
dilakukan. Tidak tutur bisa berbeda karena kunci, misalnya antara
serius dan santai, hormat dan tak hormat, sederhana, dan
angkuh/sombong.
11. Saluran (channel) mengacu kepada medium penyampaian tutur: lisan,
tertulis, telegram, telepon. Dalam hal saluran, orang harus
membedakan cara menggunakannya. Saluran lisan (oral) misalnya
dipakai untuk bernyanyi, bersenandung, bersiul, mengujarkan tutur.
Ragam lisan untuk tatap muka berbeda dengan telepon. Ragam tulis
telegram berbeda dengan ragam tulis surat.
12. Bentuk tutur (form of speech),
13. Norma interaksi (norm of interaction)
14. Norma interpretasi (norm of interpretation)
15. Genre
16. Nilai di Balik Tutur. Menurutnya, dibalik tutur ada nilai-nilai sosial-
budaya. Artinya, dengan melihat tuturan seseorang atau sekelompok
orang, kita dapat menentukan atau setidak-tidaknya menerka dapat
mengidentifikasi “siapa”orang itu, dari kelompok mana dia, makna
sosial tutumya, nilai, ajaran, pandangan hidup, dan sebagainya.

E. Penutup
Etnografi komunikasi secara terperinci berusaha mengenali pola-pola
kelakuan suatu suku bangsa dalam suatu etnologi tertentu. Studi dilakukan
dengan upaya pendekatan terhadap sosiolingusitik bahasa, yaitu dengan
melihat penggunaan bahasa secara umum dihubungkan dengan nilai-nilai
sosial kultural yang ada dalam suatu masyarakat
Dengan demikian, etnografi komunikasi dapat disimpulkan sebagai
suatu studi pengembangan dari antropologi linguistik yang dipahami dalam
konteks komunikasi, yang menggabungkan sosiologi (analisis interaksional
dan identitas peran) dengan antropologi (kebiasaan penggunaan bahasa dan
filosofi yang melatarbelakanginya) dalam konteks komunikasi.

F. Daftar Pustaka
Engkus Kuswarno. 2008. Etnografi Komunikasi. Penerbit Widya Padjajaran:
Bandung

Abdul Chaer, Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.


Penerbit Rineka Cipta: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai