SOSIOLINGUISTIK
105041104720
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sosiolinguistik
Sosiolinguistik mengkaji bahasa dengan memperhitungkan hubungan antara
bahasa dengan masyarakat, khususnya masyarakat penutur bahasa itu. Jadi jelas
sosiolinguistikmempertimbangkan keterkaitan dua hal, yakni linguistik untuk segi
kebahasaan dan sosiologi untuk segi kemasyarakatannya. Haugen
mengemukakan, dalam makalahnya “Some Issues In Sociolinguistics” dalam
sebuah buku yang berjudul Issues In Sociolinguistics,bahwa istilah
sosiolinguistik pertama kali diperkenalkan oleh Haver C. Currie yaitu seorang
guru besar (Profesor) di Universitas Houston, Texas 1952. Istilah ini kemudian
dipublikasikan di Amerika oleh William Bright dan dipresentasikan dalam
sebuah kongres Linguistik Internasional VIII di Cambridge 1962, kemudian
dikembangkan lagi dalam sebuah Konferensi Internasional yang lebih formal di
Los Angles, California 1962, dan menjadi populer hingga sekarang.
Istilah sosiolinguistik yang menekankan tentang pengkajian bahasa dalam
hubungannya dengan masyarakat, ada beberapa pakar yang mengemukakannya,
Hymes mengemukakan bahwa, “the term sociolinguistics to the correlations
between language and societies particularlinguistics and social
phenomena,”artinya ‘istilah sosiolinguistik untuk menghubungkan antara bahasa
dan masyarakat serta bahasa dan fenomena dalam masyarakat’. ”sociolinguistics
concertretes its study upon the societally patterned variation in languange
usage” artinya ‘sosiolinguistik menekankan pada pengkajian atas variasi pola-
pola masyarakat dalam penggunaan bahasa’. Hal senada juga diungkapkan oleh
Hudson bahwa “sociolinguistics as the study of language in relation to society,
inplying (intentionally) that sociolinguistics is part of the study of language”artinya
‘sosiolinguistik sebagai pengkajian bahasa dalam hubungannya dengan masyarakat
mengimplikasikan bahwa sosiolinguistik merupakan bagian dari ilmu bahasa’
Pendefinisian lain yang senada adalah pendapat Pride yaitu “
sociolinguistics to study every aspect of use language that relates to its social and
cultural functions”artinya ’sosiolinguistik itu untuk meneliti setiap aspek dari
penggunaan bahasa yang berhubungan dengan fungsi sosial dan fungsi budaya’ .
Suwito mengemukakan bahwa sosiolinguistik mempelajari bahasa dalam
konteks sosio-kultural serta situasi pemakainya (1996: 6). Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa bahasa tidak saja dari sudut penturnya, tetapi juga dari
sudut pendengarnya, karena pemakaian bahasa pada hakekatnya adalah proses
interaksi verbal antara penutur dan pendenganrnya. Dalam proses interaksi, baik
penutur maupun pendengar selalu mempertimbangkan kepada siapa ia berbicara, di
mana, kapan, mengenai masalah apa, dan dalam situasi bagaimana, dan
sebagainya, seperti yang telah dijelaskan oleh Fishman (1975: 2). Hal yang
serupa juga dikemukakan oleh Pateda (1987: 3) bahwa yang
dipersoalkan dalam sosiolinguistik antara lain:“who speak to speak (or write),
what language (or what language variety), to whom, when, to what end”.
Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa sosiolinguistik memandang bahasa
(language) sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi serta merupakan bagian
dari masyarakat dan kebudayaan tertentu. Dengan demikian bahasa tidak saja
dipandang sebagai gejala individual, tetapi juga merupakan gejala sosial. Di
dalam masyarakat, seseorang tidak lagi dipandang sebagai individu yang terpisah
dari yang lain. Ia merupakan anggota dari kelompok sosialnya. Hal ini
menyebabkan bahasa dan pemakaian bahasa tidak diamati secara individual, tetapi
selalu dihubungkan dengan kegiatannya dalam masyarakat (Suwito, 1996: 2).
B. Bedah Buku
1. KONSEP DASAR SOSIOLINGUISTIK
a. Pengertian Sosiolinguistik
Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan linguistik,
dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan sangat erat. Apa sosiologi dan
linguistik itu? Banyak batasan telah dibuat oleh para sosiolog mengenai sosiologi,
tetapi intinya bahwa sosiologi adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai
manusia di dalam masyarakat, mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial yang
ada di dalam masyarakat. Sosiologi berusaha mengetahui bagaimana masyarakat
itu terjadi, berlangsung, dan tetap ada. Dengan mempelajari lembaga-lembaga
social dan segala masalah sosial dalam satu masyarakat, akan diketahui cara-cara
manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, bagaimana mereka
bersosialisasi, dan menempatkan diri dalam tempatnya masing-masing di dalam
masyarakat.
Linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa, atau bidang ilmu
yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan demikian, secara mudah
dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang
mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan
bahasa itu di dalam masyarakat. Sosiolinguistik dapat didefinisikan sebagai kajian
tentang bahasa dalam hubungannya dengan masyarakat dan istilah inilah yang
akan digunakan dalam buku ini.
Sosiolinguistik adalah ilmu yang interdisipliner. Istilahnya sendiri
menunjukkan bahwa ia terdiri atas bidang sosioligi dan linguistik. Dalam istilah
linguistik-sosial (sosiolinguistik) kata sosio adalah aspek utama dalam penelitian
dan merupakan ciri umum bidang ilmu tersebut. Linguistik dalam Sosiolinguistik
hal ini juga berciri sosial sebab bahasa pun berciri sosial, yaitu bahasa dan
strukturnya hanya dapat berkembang dalam suatu masyarakat tertentu. Aspek
sosial dalam hal ini mempunyai ciri khusus, misalnya ciri sosial yang spesifik dan
bunyi bahasa dalam kaitannya dengan fonem, morfem, kata, kata majemuk, dan
kalimat.
b. Permasalahan Sosiolinguistik
Konferensi sosiolinguistik pertama yang berlangsung di University of
California, Los Angeles, tahun 1964 telah merumuskan adanya tujuh dimensi
dalam penelitian sosiolinguistik. Ketujuh dimensi yang merupakan isu dalam
sosiolinguistik itu adalah (1) identitas sosial dari penutur. (2) identitas sosial dari
pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, (3) lingkungan sosial tempat
peristiwa tutur terjadi, (4) analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek
sosial, (5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk
ujaran, (6) tingkatan variasi dan ragam linguistik, dan (7) penerapan praktis dari
penelitian sosiolinguistik (lihat Dittmar 1976:128).
Identitas sosial dari penutur antara lain dapat diketahui dari pertanyaan apa
dan siapa penutur tersebut, dan bagaimana hubungannya dengan lawan tutur.
Dengan demikian identitas penutur dapat berupa anggota keluarga (ayah, ibu,
kakak, adik, paman, dan sebagainya), dapat berupa teman karib, atasan atau
bawahan (di tempat kerja), guru, murid, tetangga, pejabat, orang yang dituakan,
dan sebagainya. Identitas penutur itu dapat mempengaruhi pilihan kode dalam
bertutur.
Identitas sosial dari pendengar tentu harus dilihat dari pihak penutur. Dengan
demikian identitas pendengar itu pun dapat berupa anggota keluarga (ayah, ibu,
adik, kakak, paman, dan sebagainya) teman karib, guru, murid, tetangga, pejabat,
orang yang dituakan, dan sebagainya. Identitas pendengar atau para pendengar
juga akan mempengaruhi pilihan kode dalam bertutur.
e. Manfaat Sosiolinguistik
Sosiolinguistik dapat dimanfaatkan dalam berkomunikasi atau berinteraksi.
Sosiolinguistik memberikan pedoman kepada kita dalam berkomunikasi dengan
menunjukkan bahasa, ragam bahasa atau gaya bahasa apa yang harus kita gunakan
jika kita berbicara dengan orang tertentu. Jika kita adalah anak dalam suatu
keluarga, tentu kita harus menggunakan ragam/gaya bahasa yang berbeda jika
lawan bicara kita adalah ayah, ibu, kakak, atau adik. Jika kita seorang murid, tentu
kita harus menggunakan ragam/gaya bahasa yang berbeda pula terhadap guru,
terhadap teman sekelas, atau terhadap sesama murid yang kelasnya lebih tinggi.
Sosiolinguistik juga akan menunjukkan bagaimana kita harus berbicara bila kita
berada di dalam mesjid, di ruang perpustakaan, di taman, di pasar, atau juga di
lapangan sepak bola.
Dalam pengajaran bahasa di sekolah, sosiolinguistik juga mempunyai peran
yang besar. Kajian bahasa secara internal akan menghasilkan perian-perian bahasa
secara objektif deskriptif, dalam wujud berbentuk sebuah buku tata bahasa. Kalau
kajian secara internal itu dilakukan secara deskriptif, dia akan menghasilkan
sebuah tata bahasa deskriptif. Kalau kajian itu dilakukan secara normatif, akan
menghasilkan buku tata bahasa normatif. Kedua buku tata bahasa ini mempunyai
hasil perian yang berbeda, lalu kalau digunakan dalam penggunaan bahasa, juga
akan mempunyai persoalan yang berbeda. Kalau dalam pengajaran digunakan
buku tata bahasa deskriptif, maka kesulitannya adalah bahwa ragam bahasa yang
harus diajarkan adalah ragam bahasa baku, padahal dalam buku tersebut terekam
juga hasil perian ragam nonbaku.
Di negara-negara yang multilingual seperti Indonesia, Malaysia, Singapura,
India, dan Filipina muncul masalah-masalah politis sehubungan dengan pemilihan
bahasa untuk keperluan menjalankan administrasi kenegaraan dan pembinaan
bangsa. Pemilihan bahasa mana yang harus diambil menjadi bahasa resmi
kenegaraan dapat menimbulkan ketegangan politik dan ada kemungkinan berlanjut
menjadi bentrok fisik. Indonesia tampaknya dapat menyelesaikan masalah
pemilihan bahasa nasional, bahasa negara, dan bahasa resmi itu dengan baik,
yakni dengan memilih bahasa Melayu, yang dalam sejarahnya telah menjadi
lingua franca dan telah tersebar luas di seluruh nusantara, meskipun jumlah
penutur aslinya jauh lebih sedikit daripada penutur bahasa daerah Sunda atau
Jawa. Tak ada ketegangan politik dan bentrokan fisik karena semuanya menyadari
bahwa bahasa secara sosiolinguistik bahasa Melayu mempunyai peranan yang
lebih mungkin sebagai bahasa pergaulan dan bahasa resmi di Indonesia. Bahasa
daerah lain, yang meskipun jumlah penuturnya lebih banyak, tetapi luas
pemakaiannya terbatas di wilayah masing-masing.
2. Masyarakat Bahasa
a. Konsep Masyarakat Bahasa
Definisi masyarakat bahasa yang dimaksudkan di sini tidak hanya
berdasarkan pada perkembangan bahasa, tetapi berdasarkan pada sejarah, budaya,
dan politik. Pada tahap abstraksi yang cukup tinggi ditempatkan ciri-ciri
kelompok yang memiliki kesamaan agama, usia, kelompok etnis, dan di
bidang linguistik terutama kesamaan bahasa atau variasi bahasa. Pada tahap
abstraksi yang lebih rendah realitas bahasa tercermin melalui kelompok-kelompok
yang bersemuka. Definisi masyarakat bahasa yang berdasarkan kesamaan bahasa
akan menjadi bermasalah jika kita akan menjelaskan apa arti “menggunakan
bahasa yang sama” dalam situasi nyata di suatu lingkungan bahasa.
Sebagai satuan dasar definisi dan pemahaman tentang masyarakat bahasa
dapat berpegang pada bahasa-bahasa, kelompok sosial, jaringan sosial, hierarki
dan individu-individu yang sekaligus merupakan gambaran secara hierarkis
tahapan-tahapan abstraksi.
3. Ragam Bahasa
a. Pengertian Ragam Bahasa
Bahasa, dalam praktek pemakaiannya, pada dasarnya memiliki bermacam-
macam ragam. Maksud ragam dalam konteks ini adalah variasi pemakaian
bahasa yang berbeda-beda (Mustakim, 1994: 18). Sedangkan Kartomihardjo
(1988: 23) menyebutkan ragam sebagai suatu piranti untuk menyampaikan
makna sosial atau artistik yang tidak dapat disampaikan melalui kata-kata
dengan makna harfiah.
Lebih lanjut, Kridalaksana (dalam Silahidin, 1991: 19) menyebutkan ragam
bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian yang berbeda-beda menurut
topik yang dibicarakan dan menurut media pebicaraannya. Jadi ragam bahasa ini
bentuknya beragam atau bermacam-macam karena bebarapa hal atau faktor seperti
disebutkan di atas.
b. Jenis Ragam Bahasa
Ragam bahasa dapat dibedakan atas beberapa jenis. Pertama , dilihat dari
segi sarana pemakaiannya dapat dibedakan atas ragam lisan dan ragam tulis.
Antara kedua ragam tersebut terdapat perbedaan yang tidak begitu mencolok.
Jadi untuk mengetahui kedua ragam tersebut harus memperhatikan kedua jenis
ragam tersebut secara seksama. Dalam ragam lisan unsur-unsur bahasa yang
digunakan cenderung sedikit dan sederhana. Artinya tidak selengkap pada
ragam tulis karena pada ragam lisan dalam menyampaikan informasi dapat
disertai dengan gerakan anggota tubuh tertentu (mimik) yang dapat mendukung
maksud informasi yang disampaikan dan menggunakan intonasi sebagai
penekanan. Di samping itu, satu hal lagi yang membuat ragam bahasa lisan lebih
sederhana adalah adanya situasi tempat pembicaraan berlangsung. Semua hal
tersebut dapat memperjelas informasi yang kita sampaikan kepada mitra tutur.
Akan tetapi, tiga hal tersebut tidak dapat terjadi atau tidak akan terdapat dalam
penggunaan ragam tulis, sehingga ragam ini cenderung lebih rumit. Hal ini
disebabkan pada ragam tulis mau tidak mau harus menggunakan unsur-unsur
bahasa yang lebih banyak dan lengkap agar informasi yang disampaikan
dapat diterima dengan baik dan jelas oleh orang yang diberi informasi (si
penerima informasi). Jadi penulisan secara lengkap unsur-unsur bahasa dalam
ragam tulis ini bertujuan untuk menghidari terjadinya salah mengerti atau
menerima pesan dari si pemberi pesan.
4. Kedwibahasaan Dan Diglosia
a. Kedwibahasaan
Pengertian kedwibahasaan selalu berkembang mulai dari pengertian yang
ketat sampai kepada pengertian yang longgar. Blommfield dalam bukunya
Language (1933) memberikan batasan kedwibahasaan sebagai gejala penguasaan
bahasa seperti penutur jati (native speaker) . Batasan ini mengimplikasikan
pengertian bahwa seorang dwibahasawan adalah orang yang menguasai dua
bahasa dengan sama baiknya.
b. Diglosia
Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, yang di samping
adanya dialek-dialek utama dari bahasa (yang mungkin meliputi ragam-ragam
baku setempat), juga mengenal suatu ragam yang ditinggikan, yang sangat
berbeda, yang terkodifikasikan secara rapi (dan yang tatabahasanya lebih rumit),
yang berasal dari waktu yang lampau atau yang berasal dari masyarakat
bahasa lain, yang dipelajari melalui pendidikan formal dan sebagian besar dipakai
untuk keperluan formal lisan dan tertulis tetapi tidak dipakai di sektor apa pun di
dalam masyarakat itu untuk percakapan sehari- hari.
5. Pemilihan Bahasa
a. Pengertian Pemilihan Bahasa
Pemilihan bahasa menurut Fasold (1984: 180) tidak sesederhana yang
kita bayangkan, yakni memilih sebuah bahasa secara keseluruhan ( whole
language ) dalam suatu peristiwa komunikasi. Kita membayangkan seseorang
yang menguasai dua bahasa atau lebih harus memilih bahasa mana yang akan ia
gunakan. Misalnya, seseorang yang menguasai bahasa Jawa dan bahasa Indonesia
harus memilih salah satu di antara kedua bahasa itu ketika berbicara kepada
orang lain dalam peristiwa komunikasi.
b. Faktor Penanda Pilihan Bahasa
Pilihan bahasa dalam interaksi sosial masyarakat dwibahasa/multibahasa
disebabkan oleh berbagai faktor sosial dan budaya. Evin-Tripp
mengidentifikaskan empat faktor utama sebagai penda pilihan bahasa penutur
dalam interkasi sosial, yaitu (1) latar (waktu dan tempat) dan situasi; (2)
partisipan dalam interkasi, (3) topik percakapan, dan (4) fungsi interaksi. Faktor
pertama dapat berupa hal-hal seperti makan pagi di lingkungan keluarga, rapat di
keluarahan, selamat kelahiran di sebuah keluarga, kuliah, dan tawar menawar
barang di pasar.
Faktor kedua mencakup hal-hal seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan,
status sosial ekonomi, dan perannnya dalam hubungan dengan mitra tutur.
Hubungan dengan mitra tutur dapat berupa hubungan akrab dan berjarak.
Faktor ketiga dapat berupa topik tentang pekerjaan, keberhasilan anak, peristiwa-
peristiwa aktual, dan topik harga barang di pasar. Faktor keempat berupa
hal-hal seperti penawaran informasi, permohonan, kebiasaan rutin (salam,
meminta maaf, atau mengucapkan terima kasih). Senada dengan Evin-Tripp,
Grosjean (1982: 136) berpendapat tentang faktor-faktor yang berpengaruh
dalam pilihan bahasa. Menurut Grosjean terdapat empat faktor yang
mempengaruhi 27 Pemilihan Bahasa pilihan bahasa dalam interaksi sosial, yaitu
(1) partisipan, (2) situasi, (3) isi wacana, dan (4) fungsi interaksi.
Faktor situasi mengacu pada (1) lokasi atau latar, (2) kehadiran
pembicara monolingual, (3) tingkat formalitas, dan (4) tingkat keakraban.
Faktor isi mengisi wacana mengacu pada (1) topik pembicaraan, dan (2) tipe
kosakata. Fatkor fungsi iteraksi mencakupi aspek (1) menaikan status, (2)
penciptaan jarak sosial, (3) melarang masuk / mengeluarkan sesorang dari
pembicaraan, dan (4) memerintah atau meminta.
c. Kompetensi Komunikatif dalam Pemilihan Bahasa
Canale dan Swain (1980) mengembangkan rumusan kompetensi
komunikatif dari Hymes. Kedua pakar itu membagi nosi kompe tensi
komunikatif atas kompetensi linguistik, kompetensi sosiolinguistik, dan
kompetensi wacana. Di samping itu, mereka melihat kompetensi komunikatif itu
sebagai berdimensi dua, yaitu (1) pengetahuan, dan (2) keterampilan di dalam
menggunakan bahasa dalam komunikasi. Pengetahuan di sini mengacu ke apa
yang secara sadar atau tidak sadar diketahui penutur tentang bahasa yang
dipakainya serta tentang aspek-aspek penggunaan bahasa. Keterampilan mengacu
ke bagaimana (baik atau tidak) ia mempraktikan pengetahuan itu di dalam suatu
peristiwa tutur. Keterampilan ini mencakup apa yang secara tradisional
disebut empat keterampilan, yaitu berbicara, mendengarkan, membaca, dan
menulis (Canale, 1983).
Kompetensi linguistik, yang di dalam kepustakaan linguistik terapan
dan pengajaran bahasa disebut juga kompe tensi gramatikal, mengacu ke
penguasaan seseorang atas sandi bahasa. Komponen ini, menurut Canale,
mengacu pada pengeta huan dan keterampilan yang diperlukan seseorang
(termasuk pembelajar) untuk memahami dan mengungkapkan secara tepat makna
harfiah suatu ujaran. Pengetahuan dan keterampilan ini mencakup tataran fonologi,
ortografi, morfosinataksis, dan leksikal (Trosborg, 1984).
Kompetensi sosiolinguistik sepadan dengan salah satu aspek kompetensi
komunikatif menurut rumusan Hymes, yaitu ihwal kepatutan ujaran.
Komponen ini mengacu ke kaidah sosiokultural penggunaan bahasa, yakni
seperangkat kaidah yang menentukan kepatutan ujaran di dalam konteks tertentu.
Kaidah semacam itu banyak berkaiatan dengan unsur nonbahasa yang berpengaruh
terhadap bentuk tutur atau ujaran dan dikenal sebagai komponen-komponen tutur (
components of speech) .
d. Strategi Pilihan Bahasa
Istilah strategi di sini mengacu pada pengertian strategi komunikasi, yaitu
kecermatan di dalam menenentukan sesuatu yang patut dikerjakan demi
kelancaran komunikasi. Di dalam pembelajaran bahasa terdapat pula istilah
kompetensi strategis yang mengacu ke kemampuan menutupi kesenjangan
ketidaktahuan, bagaimana harus mengungkapkan suatu ujaran misalnya, karena
lupa akan kata yang diperlukan, tata baha sanya, atau lafalnya. Gunarwan
(1995: 5) menjelaskan jenis kompetensi ini dengan contoh yang menarik
berikut. Jika seorang pembelajar bahasa Indonesia lupa akan kata adimarga
dan alih-alih ia mengatakan jalan lebar yang di kiri-kanannya ada pohon-
pohonnya , ia mengisaratkan bahwa ia telah memiliki kompetensi strategis itu.
Tentu saja pengertian kompetensi strategis itu juga berlaku bagi penu tur pada
umunya, baik yang jati maupun yang bukan.
Kompetensi strategis juga merujuk ke kemampuan memilih strategi yang
tepat di dalam suatu peristiwa tutur. Terutama ini berlaku jika sebuah ujaran
atau tindak tutur itu mempunyai potensi mengancam muka, baik muka
pendengar maupun muka penutur sendiri. Di dalam situasi yang sedemikian
penutur perlu memiliki kompetensi strategis dalam bernegosiasi dengan mitra tutur
dalam memilih ujaran yang patut di dalam peristiwa komunikasi. Tentu
negosiasi ini tidak seperti tawar menawar barang atau jasa, tetapi melalui
berbagai isyarat, baik secara verbal maupun nonverbal, yang sesuai dengan
norma sosialbudaya masyarakat pemakai bahasa itu. Faktor utama di dalam
negosiasi itu adalah penggunaan ujaran yang patut antar partisipan dengan
mempertimbangkan faktor-faktor seperti jarak sosial penutur-pendengar, dera jat
kekuasaan yang dimiliki masing-masing, dan norma penil aian masyarakat tutur
atas penggunaan ujaran yang bersangkutan.
b. Campur Kode
Aspek lain dari saling ketergantungan bahasa (language depency) dalam
masyarakat multilingual adalalah terjadinya campur kode (code-mixing ).
Apabila di dalam alih kode fungsi konteks dan relevansi situasi merupakan
ciri-ciri ketergantungan ditandai oleh adanya hubungan timbal balik antara
peranan dan fungsi kebahasaan. Peranan maksudnya siapa yang
menggunakan bahasa itu; sedangkan fungsi kebahasaan berarti apa yang hendak
dicapai oleh penutur dengan tuturannya (Suwito 1991:88). Ciri lain dari gejala
campur kode ialah bahwa unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang
menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai tersendiri. Unsur-unsur itu
telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan hanya
mendukung satu fungsi. Di dalam kondisi yang maksimal campur kode
merupakan konvergensi kebahasaan (linguistic convergence) yang unsur-
unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masing-masing telah menanggalkan
fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disisipinya.
7. Sikap Bahasa
a. Pengertian Sikap Bahasa
Bany dan Johnson (1975) mengisyaratkan bahwa sikap tidak terbentuk
karena pembawaan sejak lahir tetapi terbentuk karena proses belajar. Sejalan
dengan pandangan tersebut Krech et al . (1988: 185) mengemukakan empat dalil
pengemban gan sikap.
1) Attitudes develop in the process of want satisfac tion.
2) Attitudes of the individual are shaped by the infor mation to which he is
exposed.
3) The group affiliations of the individual help deter mine the formation of
his attitudes.
4) The attitudes of the individual reflect his personality
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Sosiolinguistik mengkaji bahasa dengan memperhitungkan hubungan antara
bahasa dengan masyarakat, khususnya masyarakat penutur bahasa itu.
Jadi jelas sosiolinguistikmempertimbangkan keterkaitan dua hal, yakni
linguistik untuk segi kebahasaan dan sosiologi untuk segi
kemasyarakatannya.
2. Manfaat Sosiolinguistik yaitu memberikan gambaran keadaan sosial
suatu masyarakat berkaitan dengan bahasanya, mendeskripsikan adanya
variasi-variasi yang ada dalam masyarakat tertentu dan menentukan atau
memilih variasi bahasa mana yang akan kita gunakan yang sesuai
dengan situasi dan fungsinya.
3. Hubungan bahasa dan sastra yang khas adalah seperti yang terlihat
dalam drama, baik di atas pentas maupun sebagai teks untuk dibaca
(Novel) (Khaidir Anwar, 1990: 55). Di sini bahasa dipakai tidak dalam
situasi wajar pemakaian bahasa. Yaitu untuk berkomunikasi pada
umumnya, untuk melakukan fungsi interaksi sosial.
4. Suatu masyarakat atau daerah yang memiliki atau memakai dua bahasa,
maka masyarakat atau daerah itu disebut daerah atau masyarakat
yang berdwibahasa atau bilingual. Selain kedwibahasaan, terdapat pula
peristiwa yang menyangkut pemakaian dua bahasa atau lebih yang
dipergunakan oleh seseorang atau sekelompok orang di dalam suatu
masyarakat, yakni yang disebut dengan istilah diglosia.
5. Bedah buku dengan judul Sosiolinguistik, Penulis Fathur Rokhman, Penerbit
Graha Ilmu, Tahun Terbit 2013, Jumlah Halaman 12
DAFTAR PUSTAKA
Sinung Hartadi. 2001. Interferensi Gramatikal Bahasa Jawa dalam Pemakaian Bahasa
Indonesia Lisan. Tesis. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Sugiarto, Siswo. 1996. Bahasa dan Sastra‛ dalam Majalah FILLITRA. No. 05 Edisi
Juni–Oktober.