Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH DAN BEDAH BUKU

SOSIOLINGUISTIK

A. SUCIATI NURUL HIKMAH

105041104720
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sosiolinguistik sebagai cabang linguistik memandang atau menempatkan
kedudukan bahasa di dalam masyarakat, karena dalam kehidupan bermasyarakat
manusia tidak lagi sebagai individu, tetapi sebagai masyarakat sosial. Oleh karena itu,
segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia dalam bertutur akan selalu dipengaruhi
oleh situasi dan kondisi di sekitarnya. Anggota-anggota dan kelompok-kelompok
masyarakat dapat hidup bersama karena ada suatu perangkat hukum dan adat
kebiasaan yang mengatur kegiatan dan tindak laku mereka, termasuk tindak laku
berbahasa.
Menurut Nababan (1991: 2) sosiolinguistik merupakan ilmu yang
mempelajari dan membahas aspek-aspek kemasyarakatan bahasa, khususnya
perbedaan-perbedaan (variasi) yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan
faktor kemasyarakatan (sosial). Berbagai jenis variasi bahasa yang berlatar belakang
konteks sosial dan hubungan struktur kemasyarakatan dengan wujud bahasa dapat
dijelaskan oleh sosiolinguistik, tetapi berbagai maksud yang terkandung dalam
tuturan seseorang masih sering luput atau di luar kemampuan sosiolinguistik untuk
menerangkannya (Wijana dan Rohmadi, 2010: 6). Indonesia memiliki ragam bahasa
yang beraneka di antaranya bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa Inggris. Suatu
keadaan berbahasa lain 2 adalah bilamana orang mencampurkan dua atau lebih
bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa tanpa ada sesuatu dalam situasi
berbahasa untuk menuntut pencampuran bahasa tersebut. Hal ini bergantung pada
keadaan dan keperluan berbahasa. Di samping itu, perilaku berbahasa dipengaruhi
oleh faktor pembicara, mitra bicara, tujuan, tempat, waktu, topik, dan juga sering
meyebabkan terjadinya campur kode. Di dalam masyarakat sering dijumpai
kesantaian penutur atau kebiasaan yang dituruti. Tindak bahasa tersebut dinamakan
campur kode. Campur kode merupakan penggunaan dua bahasa atau lebih atau ragam
bahasa secara santai antara orang-orang yang kita kenal dengan akrab (Suwandi,
2008: 87). Campur kode terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa
secara dominan mendukung suatu tuturan dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini
biasanya berhubungan dengan karakteristik penutur seperti latar belakang sosial dan
tingkat pendidikan. Seperti halnya bahasa yang digunakan pedagang etnis Cina dalam
transaksi jual beli di Pasar Gede Surakarta kelihatan sifatnya santai, akrab, seperti
sudah kenal sebelumnya.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, dirumuskan masalah sebagai
berikut.
1. Apa yang dimaksud dengan Sosiolinguistik?
2. Apa saja manfaat Sosiolinguistik?
3. Bagaimana Hubungan sosiolinguistik dan bahasa sastra?
4. Apa yang dimaksud dengan Bilingualisme dan diglosia?
5. Bedah Buku Sosiolinguistik?

 
BAB II
PEMBAHASAN
 
2.1 Pengertian Sosiolinguistik
Sosiolinguistik mengkaji bahasa dengan memperhitungkan hubungan antara
bahasa dengan masyarakat, khususnya masyarakat penutur bahasa itu. Jadi jelas
sosiolinguistikmempertimbangkan keterkaitan dua hal, yakni linguistik untuk segi
kebahasaan dan sosiologi untuk segi kemasyarakatannya. Haugen
mengemukakan, dalam makalahnya “Some Issues In Sociolinguistics” dalam
sebuah buku yang berjudul Issues In Sociolinguistics,bahwa istilah
sosiolinguistik pertama kali diperkenalkan oleh Haver C. Currie yaitu seorang
guru besar (Profesor) di Universitas Houston, Texas 1952. Istilah ini kemudian
dipublikasikan di Amerika oleh William Bright dan dipresentasikan dalam
sebuah kongres Linguistik Internasional VIII di Cambridge 1962, kemudian
dikembangkan lagi dalam sebuah Konferensi Internasional yang lebih formal di
Los Angles, California 1962, dan menjadi populer hingga sekarang.
Istilah sosiolinguistik yang menekankan tentang pengkajian bahasa dalam
hubungannya dengan masyarakat, ada beberapa pakar yang mengemukakannya,
Hymes mengemukakan bahwa, “the term sociolinguistics to the correlations
between language and societies particularlinguistics and social
phenomena,”artinya ‘istilah sosiolinguistik untuk menghubungkan antara bahasa
dan masyarakat serta bahasa dan fenomena dalam masyarakat’. ”sociolinguistics
concertretes its study upon the societally patterned variation in languange
usage” artinya ‘sosiolinguistik menekankan pada pengkajian atas variasi pola-
pola masyarakat dalam penggunaan bahasa’. Hal senada juga diungkapkan oleh
Hudson bahwa “sociolinguistics as the study of language in relation to society,
inplying (intentionally) that sociolinguistics is part of the study of language”artinya
‘sosiolinguistik sebagai pengkajian bahasa dalam hubungannya dengan masyarakat
mengimplikasikan bahwa sosiolinguistik merupakan bagian dari ilmu bahasa’
Pendefinisian lain yang senada adalah pendapat Pride yaitu “
sociolinguistics to study every aspect of use language that relates to its social and
cultural functions”artinya ’sosiolinguistik itu untuk meneliti setiap aspek dari
penggunaan bahasa yang berhubungan dengan fungsi sosial dan fungsi budaya’ .
Suwito mengemukakan bahwa sosiolinguistik mempelajari bahasa dalam
konteks sosio-kultural serta situasi pemakainya (1996: 6). Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa bahasa tidak saja dari sudut penturnya, tetapi juga dari
sudut pendengarnya, karena pemakaian bahasa pada hakekatnya adalah proses
interaksi verbal antara penutur dan pendenganrnya. Dalam proses interaksi, baik
penutur maupun pendengar selalu mempertimbangkan kepada siapa ia berbicara, di
mana, kapan, mengenai masalah apa, dan dalam situasi bagaimana, dan
sebagainya, seperti yang telah dijelaskan oleh Fishman (1975: 2). Hal yang
serupa juga dikemukakan oleh Pateda (1987: 3) bahwa yang
dipersoalkan dalam sosiolinguistik antara lain:“who speak to speak (or write),
what language (or what language variety), to whom, when, to what end”.
Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa sosiolinguistik memandang bahasa
(language) sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi serta merupakan bagian
dari masyarakat dan kebudayaan tertentu. Dengan demikian bahasa tidak saja
dipandang sebagai gejala individual, tetapi juga merupakan gejala sosial. Di
dalam masyarakat, seseorang tidak lagi dipandang sebagai individu yang terpisah
dari yang lain. Ia merupakan anggota dari kelompok sosialnya. Hal ini
menyebabkan bahasa dan pemakaian bahasa tidak diamati secara individual, tetapi
selalu dihubungkan dengan kegiatannya dalam masyarakat (Suwito, 1996: 2).

2.2 Manfaat sosiolinguistik


Sosiolinguistik merupakan studi tentang sifat-sifat bahasa, variasi bahasa,
fungsi bahasa, dan pemakaian bahasa dalam jalinan interaksi serta fungsi
bahasa dalam masyarakat. Sumbangan yang dapat diberikan sosiolinguistik dalam
kajian bahasa sastra antara lain:
1) Sosiolinguistik dapat memberikan gambaran keadaan sosial suatu
masyarakat berkaitan dengan bahasanya.
2) Sosiolinguistik dapat digunakan untuk mendeskripsikan adanya variasi-
variasi yang ada dalam masyarakat tertentu.
3) Sosiolinguistik dapat membantu untuk menentukan atau memilih variasi
bahasa mana yang akan kita gunakan yang sesuai dengan situasi dan
fungsinya.
Sosiolinguistik merupakan cabang linguistik yang bertujuan menemukan
prinsip-prinsip yang mendasar beberapa bahasa dengan jalan lebih komprehensif
dan dengan melibatkan perhitungan pengaruh berbagai konteks sosial (Labov
dalam Poedjosoedarmo, 1981:4). Pengkajian sosiolinguistik pada akhirnya harus
dapat menjelaskan adanya beberapa variasi bahasa, variasi tuturan seperti
dialek, gaya bahasa, ragam bahasa, tingkat tutur, membagi idiom serta
mengungkapkan relasi yang meliputi arti bahasa yang lebih mendalam. Studi
tentang bahasa ada yang dilakukan secara linguistik semata, namun ada pula
yang disertai faktor nonlinguistik. Secara linguistik dimaksudkan untuk
merumuskan kaidah-kaidah bahasa, menentukan pola-pola struktur bahasa,
memberikan deskripsi tentang bahasa serta berusaha menganalisis bahasa
berdasarkan hakikat bahasa itu sendiri sebagai objek yang mandiri.

2.3 Hubungan sosiolinguistik dan bahasa sastra


Bahasa bagi seorang sastrawan atau penyair merupakan sebuah media untuk
menuangkan ide-ide sekaligus sebagai sarana untuk menyampaikan pesan-pesan
tertentu pada masyarakat. Ide-ide tersebut bersumber dari dari intuisi, imaji, dan
pengalaman diri peribadi seorang sastrawan dalan masyarakatnya. Oleh karena itu
karya sastra merupakan suatu karya tulis yang intuitif, karya tulis yang imajinatif, dan
sekaligus sebagai karya seni, sebab diciptakan dengan karya kreasi sastrawan atau
penyair yang merupakan anggota dari kelompok masyarakat yang berjiwa seni.
Menurut Siswo sugiarto (1996: 20) bahasa sastra dapat dimanfatkan
sedemikian rupa, sehingga dalam fungsinya bahasa sastra dapat mendukung
kemampuan daya cipta sastrawan itu sendiri. Bahkan bahasa tidak saja sebagai
media penciptaan, tetapi sekaligus merupakan bahasa yang bernilai seni.
Hubungan bahasa dan sastra yang khas adalah seperti yang terlihat dalam
drama, baik di atas pentas maupun sebagai teks untuk dibaca (Novel) (Khaidir
Anwar, 1990: 55). Di sini bahasa dipakai tidak dalam situasi wajar pemakaian
bahasa. Yaitu untuk berkomunikasi pada umumnya, untuk melakukan fungsi
interaksi sosial. Unsur-unsur kebahasaan dalam karya sastra (novel) merupakan
sumber bahasa yang cukup luas untuk dikaji dan dipelajari. Unsur-unsur yang
perlu dikaji dan dipelajari antara lain meliputi dialek, register, idiolek personal
dan sebagainya. Begitu juga karya seni dalam bentuk sastra (fiksi dan
drama) menggunakan bahasa untuk menciptakan sebuah dunia yang berbeda
yang dapat disaksikan orang lain secara nyata melalui tuturan serta adegan-
adegan tokoh yang “dihidupkan” sang sutradara.
Bahasa sastra yang digunakan dalam karya sastra mempunyai ciri khas
tersendiri yaitu lebih mengedepankan aspek estetis yang senantiasa bernuansa
hiburan dan sekaligus sebagai media penyampai pesan-pesan pengarang melewati
tokoh-tokoh yang “dihidupkan” di dalamnya. Novel sebagai salah satu bentuk karya
sastra disajikan oleh pengarang dengan karakteristik bahasa yang berbeda.
Perbedaan itu tergantung dari cara pengarang itu sendiri di dalam meyajikan
karyanya.Di dalam karya fiksi (novel) tersebut pengarang melewati peranan
tokoh-tokohnya menyajikan tuturan yang sesuai dengan kapasitas dan status sosial
tokoh-tokoh tersebut, sehingga dalam tuturan tokoh-tokoh tersebut banyak
dijumpai adanya peristiwa-peristiwa kebahasaan sesuai dengan perbedaan latar
belakang sosio-situasional dan sosio-kultural bahasanya. Peristiwa kebahasaan
tersebut misalnya ditemukannya alih kode, campur kode bahkan tidak jarang
adanya penggunaan struktur gramatikal dari bahasa lain (Jawa) dalam tuturan
sebuah bahasa tertentu.
Menurut Cumming dan Simons (1986:vii) karya sastra (novel) mempunyai
status khusus sebagai seni verbal, dimana bahasa sebagai inti semiotika
kemanusiaan yang merupakan aktivitas yang bermakna dalam komunitasnya.
Dengan demikian bahasa sastra atau bahasa cipta sastra dapat dikaji secara
makrolinguistik dan secara mikrolinguistik. Kajian bahasa dari segi
makrolinguistik yang bersifat interdisipliner berarti kajian bahasa yang
menggunakan beberapa bidang kajian. Kajian bahasa sastra secara sosiolinguistik
berarti kajiannya menggunakan teori sosiologi dan linguistik.
Sosiolinguistik sosiologi bahasa merupakan salah satu “pisau” analisis
kebahasaan untuk mengkaji bahasa sastra dengan memperhitungkan hubungan
antara bahasa dan masyarakat, khususnya masyarakat penutur bahasa itu. Jadi
jelas dalam hal ini, kajian sosiolinguistik mempertimbangkan hubungan antara
linguistik untuk segi kebahasaan dan sosiologi untuk segi kemasyarakatannya dan
karya sastra (seni verbal) sebagai obyek kajiannya.
Dengan demikian, kehadiran sosiolinguistik bagi sebuah bahasa sastra tidak
hanya sekedar kritik, tetapi juga memberikan kontribusi dengan berusaha
menguraikan peristiwa-peristiwa tuturan bahasa berdasarkan faktor sosio-
situasional yang dilakukanoleh para tokoh cerita dengan latar belakang sosialnya
masing-masing berdasarkan fungsi dan karakternya.

2.4 Bilingualisme dan diglosia


A. Bilingualisme (kedwibahasaan)
Suatu masyarakat atau daerah yang memiliki atau memakai dua bahasa,
maka masyarakat atau daerah itu disebut daerah atau masyarakat yang
berdwibahasa atau bilingual. Orang yang dapat menggunakan dua bahasa disebut
dwibahasawan atau orang yang bilingual (berdwibahasa) (Nababan, 1991: 27).
Hal senada juga diungkapkan oleh Sinung Hartadi (2001:48) bahwa dalam
masyarakat tutur yang terbuka tentu akan juga mengalami kontrak bahasa dengan
segala fenomena kebahsaan sebagai akibatnya. Peristiwa kebahasaan yang
mungkin terjadi sebagai akibat kontak bahasa itu antara lain disebut bilingualisme.
Ketika seseorang memakai dua bahasa dalam pergaulan dengan orang
lain, dia berdwibahasa dalam arti dia melaksanakan kedwibahasaan yang disebut
bilingualisme. Jadi bilingualisme adalah kebiasaan menggunakan dua bahasa
dalam interaksi dengan orang lain. Jika berpikir tentang kesanggupan atau
kemampuan seseorang berdwibahasa, yaitu memakai dua bahasa, kita disebut
bilingualitas (dari bahasa Inggris “bilinguality”). Jadi orang yang “berdwibahasa”
mencakup pengertian kebiasaan memakai dua bahasa, atau kemampuan memakai dua
bahasa. Menurut Nababan (1991: 27) membedakan “kedwibahasaan” (untuk
kebiasaan) dan “kedwibahasawanan” (untuk kemampuan) dengan menggunakan
istilah “bilingualisme” dan “bilingualitas.” Selanjutnya bilingualitas merupakan suatu
kemampuan seseorang menggunakan dua bahasa atau lebih.
Weinreich (1968: 1) menjelaskan, “the practice of alternately using two
languages will be called bilingualisme, and the person involved, bilingual”
artinya ‘peristiwa pemakaian dua bahasa atau lebih secara bergantian
olehseseorang penutur disebut kedwibahasaan, dan orang yang berdwibahsaan
disebut dwibahasawan’.
Hubungan logika antara bilingualisme dan bilingualitas, adalah bahwa tidak
semua yang mempunyai bilingualitas mempraktekkan bilingualisme dalam
kehidupan sehari-hari, sebab ini tergantung pada situasi kebahasaan
lingkungannya. Dapat saja orang yang tahu dua bahasa menggunakan satu bahasa
selama dia di satu tempat atau keadaan (dalam waktu yang pendek atau lama), dan
memakai bahasa yang kedua kalau dia berada di tempat atau keadaan yang
lain (dalam waktu pendek atau lama). Bilingualisme seperti ini dilaksanakan
secara berurutan yang dapat berjarak waktu yang lama.
Namun dapat juga kita mengerti bahwa tidak dapat seseorang
mengerjakan bilingualisme tanpa dia mempunyai bilingualitas. Dengan kata lain
mengerjakan bilingualisme berimplikasi pada bilingualitas: atau seorang harus
mempunyai dahulu bilingualitas sebelum dia dapat mengerjakan bilingualisme
(Nababan, 1991: 28).
Pendapat lain tentang kedwibahasaan dijelaskan oleh Haugen dalam Suwito
(1996: 49), bahwa kedwibahasaan sebagai tahu dua bahasa (knowladge of two
languages). Ini berarti bahwa dalam hal kedwibahsaan seorang dwibahasawan
tidak harus menguasai secara aktif dua bahasa, tetapi cukuplah ia mengetahui
secara pasif suatu bahasa oleh seorang penutur dapat ikut menciptakan kondisi
kebahasaan yang menyimpang dari kaidah-kaidah yang sebenarnya kurang
dikuasai. Hal itu dapat terjadi pada dwibahasawan.
Secara umum bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh
seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian
(Mackey, 1962: 12) menurut Weinreich (1968:1) praktek penggunaan bahasa
sebagai berikut:
“The practice of alternatively using two language will be called
bilingualism, and the persons involed, Bilingual. Those instances of deviation
from the norms of either language whith more than one language, i.e. as a result of
language contact, will be refered to as interference phenomena”.
‘Praktek penggunaan dua bahasa secara bergantian disebut bilingualisme
dan orang yang terlibat di dalamnya disebut bilingual. Sedangkan contoh
penyimpangan dari norma-norma bahasa yang terjadi dalam ujaran para bilingual
sebagai akibat dari familiaritas mereka dengan bahasa lebih dari satu, yaitu
sebagai akibat kontak bahasa dikenal sebagai fenomena interferensi’.
Harimurti Kridalaksana (1985: 26) membagi kedwibahasaan (bilingualisme)
kedalam tiga kategori: Pertama, bilingualisme koordinat (coordinate
bilingualism), dalam hal ini penggunaan bahasa dengan dua atau lebih sistem
bahasa yang terpisah. Seseorang bilingual koordinat, ketika menggunakan satu
bahasa, tidak menampakkan unsur-unsur dari bahasa lain. Pada waktu beralih
ke bahasa yang lain tidak terjadi percampuran sistem. Kedua, Bilingualisme
majemuk (compound bilingualism) di sini penutur bahasa menggunakan dua
sistem atau lebih yang terpadu. Seorang bilingual majemuk sering “mengacaukan”
unsur-unsur dari kedua bahasa yang dikuasainya. Ketiga, bilingualisme sub-
ordinat (sub-ordinate bilingualism), fenomena ini terjadi pada seseorang atau
masyarakat yang menggunakan dua sistem bahasa atau lebih secara terpisah.
Seseorang yang bilingual sub-ordinat masih cenderung mencampuradukkan
konsep-konsep bahasa pertama ke dalam bahasa kedua atau bahasa asing yang
dipelajarinya.
Dari penjelasan di atas dapat dicermati bahwa kedwibahasaan
memperlihatkan beberapa ciri antara lain sebagai berikut:
1. Kedwibahasaan terjadi akibat adanya kontak bahasa, karena kontak bahasa
merupakan gejala bahasa (langue) yang selayaknya nampak dalam
kedwibahasaan yang merupakan gejala tutur (parole) dan langueadalah
sumber parole.
2. Kedwibahasaan erat kaitannya dengan dwibahasawan, karena
keberadaan dwibahasawan menentukan ada tidaknya kedwibahasaan.
3. Kedwibahasaan merupakan pemakaian dua bahasa secara bergantian
oleh seorang penutur, dapat meliputi pemakaian dua variasi bahasa,
sehingga dalam kedwibahasaan paling tidak harus ada dua bahasa dan boleh
lebih.
4. Kedwibahasaan bukan merupakan gejala bahasa (langue) tetapi sifat
atau karakter penggunaan bahasa, ia bukan ciri kode parole,
kedwibahasaan milik individu tidak seperti bahasa yang merupakan
pengungkapan atau ekspresi, bukan bagian languetetapi bagian dari milik
kelompok.
5. Kedwibahasa ditandai dengan dipergunakannya dua bahasa atau lebih oleh
seseorang, tetapi keduanya itu mempunyai peranan sendiri-sendiri
di dalam masyarakat pemakai bahasa.
B. Diglosia (diglossia)
Selain kedwibahasaan, terdapat pula peristiwa yang menyangkut pemakaian
dua bahasa atau lebih yang dipergunakan oleh seseorang atau sekelompok
orang di dalam suatu masyarakat, yakni yang disebut dengan istilah diglosia.
Istilah diglosia mengacu kepada keadaan yang relatif stabil di mana sebuah bahasa
atau salah satu ragam bahasa yang bergengsi tinggi tumbuh berdampingan dengan
bahasa lain, masing-masing dengan fungsinya yang khusus dalam komunikasi.
Diglosia merupakan gejala sosial. Suatu masyarakat yang mempergunakan
dua bahasa atau lebihsebagai alat komunikasi disebut masyarakat yang diglosik.
Menurut Suwito (1996: 61-62), di dalam masyarakat diglosik terdapat
kecenderungan adanya penilaian terhadap bahasa yang “tinggi” dan bahasa yang
“rendah”. Pertama yang digunakan dalam situasi formal dan berkesan
bermartabat, sedang yang kedua dipergunakan dalam situasi informal yang kurang
bermartabat. Meski kelas pemilihan pemakaian antara keduanya, makin stabil
situasi diglosik dalam masyarakat yang bersangkutan.
Istilah diglosia pertama kali dikemukakan oleh seorang guru besar bahasa
Inggris di Texas, sekitar tahun 30-an. Kemudian pada tahun 1958 seorang sarjana
Stanford C.A Fergusson mengutarakan ke dalam sebuah simposium. Fergusson
dalam artikelnya yang berjudul “Diglossia” mendefinisikan diglosia sebagai
berikut:
“Diglossia is a relatively stable language situation in which, in addition to the
primary dialects of the language (which may include a standard or regional
standards), there is very divergent highly condifeid (often gramatically more
complex) superposed variety, the vehicle of a large and respected body of written
literature, either of an earlier period or in another speech community, which
is learned largely by formal education and is used for must written and formal
spoken purposes but is not used by any sector of the community for ordinary
conversation” (dalam Hudson, 1980: 54).
‘Diglosia adalah suatu situasi bahasa yang relatif stabil, di mana selain dari
dialek-dialek utama satu bahasa (yang mungkin mencakup satu bahasa baku atau
bahasa-bahasa baku regional), ada ragam bahasa yang sangat berbeda, sangat
terkodifikasikan (sering secara gramatik lebih komplek) dan lebih tinggi, sebagai
wahana dalam keseluruhan kesusastraan tertulis yang sangat luas dan dihormati,
baik pada kurun waktu terdahulu maupun pada masyarakat ujaran lain, yang
banyak dipelajari lewat pendidikan formal dan banyak dipergunakan dalam
tujuan-tujuan oleh masyarakat apapun dalam pembicaraan-pembicaraan biasa’
(dalam Alwasilah, 1989: 123).
Pemahaman Fergusson berawal dari fakta pembicara sering menggunakan
lebih dari dari satu variasi bahasa dalam suatu suasana tertentu dan menggunakan
variasi yang lain dalam kondisi yang lain pula. Dia juga mencatat bahwa terdapat
kasus dua variasi bahasa hidup berdampingan dalam masyarakat, dengan masing-
masing bahasa itu memiliki peranan tertentu. Kasus tersebut disebut diglosia.
Pengertian diglosia juga mempunyai kecenderungan meluas, seperti kata
“Initally it was used in conection with a society that recognized two (or more)
languages for into a societally communication.”Artinya ‘pada hakekatnya adalah
suatu yang dipergunakan untuk menyebut suatu masyarakat yang mengenal dua
bahasa atau lebih untuk berkomuniksi di antara anggotanya’.
Dalam Longman Dictionary of Language Teaching and Applied Linguistic
dikemukakan bahwa “When two languages or languange varieties exist side by side
in community and each one is used for different pueposses, this called diglossia,”
artinya ‘terdapat dua bahasa yang hidup berdampingan dalam satu masyarakat yang
sama tetapi masing-masing bahasa memiliki fungsi atau peranannya itu adalah
masyarakat yang diglosik’. Dalam diglosia ini terdapat bahasa yang digunakan
dalam situasi yang bersifat resmi, sedangkan yang lainnya bisa digunakan dalam
situasi yang tak resmi.
Dari uraian di atas terlihat bahwa diglosia tidak lagi terbatas pada
pemakaian dua variasi dari satu bahasa di dalam suatu masyarakat seperti yang
dikemukakan oleh Fergusson, tetapi termasuk juga pemakaian dua dialek atau dua
logat dalam masyarakat yang sama. Jadi diglosia merupakan gejala sosial.
Suatu masyarakat disebut diglosik apabila di dalam masyarakat itu dipergunakan
dua bahasa atau lebih sebagai alat berkomunikasi yang masing-masing bahasa
tersebut mempunyai fungsi yang berbeda-beda pula. Secara garis besar dapat
dikemukakan ciri-ciri dari diglosia yang merupakan refleksi dari pengertian-
pengertian di atas sebagai berikut: Pertama,digunakannya dua variasi dari satu
bahasa atau dua bahasa yang hidup berdampingan dalam suatu masyarakat. Ciri ini
menunjukkan, bahwa dua variasi atau lebih hidup berdampingan yang digunakan
oleh suatu kelompok masyarakat tertentu. Kedua, kedua variasi atau bahasa itu
mempunyai peranan sendiri-sendiri di dalam masyarakat pemakainya. Ciri ini
menunjukkan bahwa pemakaian variasi atau bahasa ini tidak dapat secara
sembarangan dalam penggunaannya. Dengan kata lain, penggunaan variasi
bahasa ini sangat tergantung pada tempat, lawan bicara, situasi, dan keperluannya.
Bahasa yang satu digunakan dalam situasi yang bersifat resmi, sedang yang lainnya
biasa digunakan dalam situasi yang tak resmi.

C. Hubungan sinergis bilingualisme dan diglosia


Kedwibahasaan dan diglosia pada hakekatnya adalah peristiwa yang
menyangkut pemakaian dua bahasa yang dipergunakan oleh sekelompok orang di
dalam suatu masyarakat tertentu. Oleh karena itu, antara kedua peristiwa tersebut
nampak adanya hubungan yang sinergis yang mewarnai sifat masyarakat tuturnya.
Dalam hubungan ini Fishman dalam (Suwito, 1996: 58 dan Alwasilah, 1989: 144)
menyebutkan bahwa terdapat empat jenis masyarakat tutur yang menunjukkan
hubungan timbal balik seperti itu, yaitu:
Pertama, Masyarakat yang diglosik dan dwibahasawan (diglossia and
Bilingualism), masyarakat tutur yang diglosik dan dwibahasawan merupakan
msyarakat tutur yang secara keseluruhan menggunakan dua bahasa sebagai alat
berkomuniksi, tetapi di dalam masyarakat itu kedua bahasa tersebut dipergunakan
sesuai dengan fungsinya masing-masing. Contohnya bangsa Paraguay (yang
menggunakandua bahasa yaitu bahasa Gurani sebagai bahasa asli dan bahasa
Spanyol sebagai bahasa peninggalan penjajahan), Amerika Serikat, India, dan
Switzerland.
Kedua, masyarakat yang diglosik tetapi tidak dwibahasawan (Diglossia
Without Bilingualism) adalah masyarakat tutur yang ditandai dengan adanya
dua atau lebih masyarakat tutur yang secara politis, ekonomis, dan religius
dipersatukan kedalam satu kesatuan namun perbedaan sosiokultural tetapi
memisahkannya. Gejala semacam ini tampak di Eropa sebelum perang dunia
pertama, pada waktu sebelum perang dunia pertama di Eropa terdapat dua
masyarakat tutur yaitu masyarakat orang-orang elit Eropa yang biasanya
menggunakan bahasa “tinggi” untuk tujuan-tujuan tertentu dalam hubungan intra
kelompoknya dan masyarakat kebanyakan yang tidak mempunyai kebiasaan
demikian menggunakan bahasa lain dalam hubungan intra kelompoknya. Karena
sebagian besar kaum elit tidak pernah berinteraksi langsung dengan sebagian
besar msyarakat orang kebanyakan, maka kedua kelompok masyarakat tersebut
tidak pernah membentuk satu masyarakat tutur tersendiri. Kedua kelompok
tersebut tetap merupakan dua masyarakat tutur yang terpisah. Komunikasi yang
dilakukan di antara mereka selalu menggunakan penerjemahan sebagai pertanda
adanya ekabahasawan intra kelompok. Dalam masyarakat yang demikian ini tidak
terdapat adanya kedwibahasaan dan dwibahasawan.
Ketiga, masyarakat yang dwibahasawan tetapi tidak diglosik (Bilingualism
without Diglossia), keadaan masyarakat tutur yang dwibahasawan dan tidak
diglosik terdapat dalam masyarakat yang menggunakan dua bahasa sebagai alat
berkomunikasi. Kedua bahasa tersebut tidak menunjukkan adanya pembagian
fungsi dan penggunaannya. Hal ini menunjukkan bahwa kedua bahasa tersebut
dapat dipakai untuk keperluan apapun, kepada siapapun, dimanapun, serta
dalam situasi bagaimanapun. Contohnya adalah masyarakat tutur di Montreal
(Kanada) yang mempergunakan bahasa Inggris dan Perancis secara bersama-sama.
Keempat, masyarakat yang tidak diglosik dan tidak dwibahasawan (Neither
Diglossia nor Bilingualism). Keadaan masyarakat yang demikian ini agak langka dan
tidak begitu jelas.

2.5 Bedah Buku Sosiologistik


A. Resensi
Judul Buku Sosiolinguistik
Penulis Fathur Rokhman
Penerbit Graha Ilmu
Tahun Terbit 2013
Jumlah Halaman 126

B. Bedah Buku
1. KONSEP DASAR SOSIOLINGUISTIK
a. Pengertian Sosiolinguistik
Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan linguistik,
dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan sangat erat. Apa sosiologi dan
linguistik itu? Banyak batasan telah dibuat oleh para sosiolog mengenai sosiologi,
tetapi intinya bahwa sosiologi adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai
manusia di dalam masyarakat, mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial yang
ada di dalam masyarakat. Sosiologi berusaha mengetahui bagaimana masyarakat
itu terjadi, berlangsung, dan tetap ada. Dengan mempelajari lembaga-lembaga
social dan segala masalah sosial dalam satu masyarakat, akan diketahui cara-cara
manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, bagaimana mereka
bersosialisasi, dan menempatkan diri dalam tempatnya masing-masing di dalam
masyarakat.
Linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa, atau bidang ilmu
yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan demikian, secara mudah
dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang
mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan
bahasa itu di dalam masyarakat. Sosiolinguistik dapat didefinisikan sebagai kajian
tentang bahasa dalam hubungannya dengan masyarakat dan istilah inilah yang
akan digunakan dalam buku ini.
Sosiolinguistik adalah ilmu yang interdisipliner. Istilahnya sendiri
menunjukkan bahwa ia terdiri atas bidang sosioligi dan linguistik. Dalam istilah
linguistik-sosial (sosiolinguistik) kata sosio adalah aspek utama dalam penelitian
dan merupakan ciri umum bidang ilmu tersebut. Linguistik dalam Sosiolinguistik
hal ini juga berciri sosial sebab bahasa pun berciri sosial, yaitu bahasa dan
strukturnya hanya dapat berkembang dalam suatu masyarakat tertentu. Aspek
sosial dalam hal ini mempunyai ciri khusus, misalnya ciri sosial yang spesifik dan
bunyi bahasa dalam kaitannya dengan fonem, morfem, kata, kata majemuk, dan
kalimat.

b. Permasalahan Sosiolinguistik
Konferensi sosiolinguistik pertama yang berlangsung di University of
California, Los Angeles, tahun 1964 telah merumuskan adanya tujuh dimensi
dalam penelitian sosiolinguistik. Ketujuh dimensi yang merupakan isu dalam
sosiolinguistik itu adalah (1) identitas sosial dari penutur. (2) identitas sosial dari
pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, (3) lingkungan sosial tempat
peristiwa tutur terjadi, (4) analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek
sosial, (5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk
ujaran, (6) tingkatan variasi dan ragam linguistik, dan (7) penerapan praktis dari
penelitian sosiolinguistik (lihat Dittmar 1976:128).
Identitas sosial dari penutur antara lain dapat diketahui dari pertanyaan apa
dan siapa penutur tersebut, dan bagaimana hubungannya dengan lawan tutur.
Dengan demikian identitas penutur dapat berupa anggota keluarga (ayah, ibu,
kakak, adik, paman, dan sebagainya), dapat berupa teman karib, atasan atau
bawahan (di tempat kerja), guru, murid, tetangga, pejabat, orang yang dituakan,
dan sebagainya. Identitas penutur itu dapat mempengaruhi pilihan kode dalam
bertutur.
Identitas sosial dari pendengar tentu harus dilihat dari pihak penutur. Dengan
demikian identitas pendengar itu pun dapat berupa anggota keluarga (ayah, ibu,
adik, kakak, paman, dan sebagainya) teman karib, guru, murid, tetangga, pejabat,
orang yang dituakan, dan sebagainya. Identitas pendengar atau para pendengar
juga akan mempengaruhi pilihan kode dalam bertutur.

c. Relevansi Linguistik dengan Sosiolinguistik


Linguistik adalah ilmu pengetahuan yang melibatkan dirinya dengan bahasa.
Bahasa sebagai objek penelitian linguistik ditinjau dari batasan-batasan fungsi dan
perkembangannya. Keberadaan struktur bahasa dapat ditinjau secara historis dan
memberikan tempat yang spesifik, terisolasi dan tersendiri di antara unsur-unsur
kemasyarakatan lainnya. Mengenai struktur bahasa dan batasan yang ada di
dalamnya (semantik leksikal, fonologi, morfologi, sistem sintaktis, dan stilistis
fungsional), membuat bahasa menjadi phenomena sosial yang sangat spesifik
dan relatif terisolasi. Unsur- unsur dan kategori yang spesifik dari bahasa,
ciri-ciri dan variasi struktural tidak dapat dijabarkan dan ditemukan padanan
formulasinya dalam perwujudan sosial lainnya. Hal itu menjadikan ilmu
sosiolinguistik penting, yaitu mengembangkan suatu disiplin ilmu yang baru,
membentuk aspek yang baru dari kehidupan berbahasa suatu masyarakat, atau
suatu kelompok masyarakat yang berbeda, suatu disiplin ilmu yang
memperhitungkan makna utama gejala sosial dan pengaruh timbal-baliknya
maupun perkembangan di dalam bahasa itu sendiri.
Apakah perbedaan antara linguistik dan sosiolinguistik? Pandangan yang
umumnya diikuti adalah bahwa linguistik hanya membahas struktur bahasa dan
tidak membicarakan konteks sosial tempat bahasa itu dipelajari dan digunakan.
Tugas linguistik adalah mencari ’kaidah bahasa X’ dan sesudah itu barulah para
sosiolinguistik memasuki permasalahan dan mengkaji masalah apa pun yang ada
dengan adanya kontak antara kaidah itu dengan masyarakat, misalnya jika
kelompok sosial yang berbeda memilih alternatif lain untuk menyatakan hal yang
sama. Pandangan ini merupakan pandangan yang khas pada aliran linguistik
’struktural’ yang telah mendominasi linguistik abad kedua puluh termasuk
linguistik transformasi-generatif (ragam yang dikembangkan sejak tahun 1957
oleh Chomsky). Secara kebetulan aliran itu juga umum dalam kebanyakan
pengajaran bahasa asing di Inggris). Namun tidak semua pengkaji bahasa
menerima pandangan ini. Beberapa dari mereka mengatakan bahwa ujaran jelas
merupakan perilaku sosial sehingga mempelajari ujaran tanpa mengacu ke
masyarakat akan seperti mempelajari perilaku orang pacaran tanpa
menghubungkan perilaku seseorang dengan patnernya.

d. Relevansi Sosiolinguistik, Sosiologi, dan Linguistik


Dalam ilmu pengetahuan dewasa ini, terutama di bidang ilmu bahasa
terdapat beragam pendapat dalam hubungannya dengan objek linguistik. Beberapa
pengarang berbeda pandangan tentang harus dimasukkan dalam disiplin ilmu yang
mana sosiolinguistik itu. Perkembangan ilmu bahasa di Rusia, pandangan yang
berpengaruh adalah bahwa sosiolinguistik merupakan salah sebuah cabang
tersendiri dari ilmu pengetahuan yang interdisipliner.
Dalam ilmu bahasa terdapat ketentuan mengenai objek sosiolinguistik yang
berbeda. Pandangan V.M. Zirmunskij (1969:14) menyatakan bahwa penelitian
mengenai perbedaan bahasa dari aspek sosial harus didasarkan pada penelitian
sinkronis dan diakronis. Menurut pendapat O.S. Achmanova dan A.N. Marcenko
(1971:2) ”sosiolinguistik adalah bagian dari bahasa yang menyelidiki hubungan
kausal antara bahasa dan gejala-gejala dalam kehidupan sosial. L.B. Njikol’skij
(1974:63) berpendapat bahwa tugas dan objek penelitian linguistik berada pada
cakupan yang luas yang dihubungkan dengan konteks bahasa. Dapat diberikan
definisi yang berbeda dari objek sosiolinguistik yang dapat ditemukan dalam
khazanah suatu bidang ilmu yang khusus.
Menurut pendapat R. Grosse dan A. Neubert (1970:3-4), hubungan timbal
balik antara bahasa dan masyarakat dapat ditinjau dari berbagai aspek, yaitu dari
aspek sosiolinguistik maupun aspek sosiologi bahasa. Yang pertama termasuk
bidang linguistik, sedangkan yang kedua termasuk bidang sosiologi.
Ilmu sosiolinguistik dapat menawarkan banyak hal kepada ilmu sosiologi.
beberapa kriteria seperti berikut ini memiliki makna yang penting untuk sosiologi,
(1) menurut pandangan B. Russel, bahasa merupakan satu-satunya alat untuk
mengenal ilmu pengetahuan, (2) penilaian yang terlalu tinggi tidak dapat diberikan
kepada interpretasi data-data bahasa untuk formulasi dan pekembangan teori
sosiolinguistik, (3) data-data sosiolinguistik memegang peranan penting dalam
cabang-cabang ilmu sosiologi.
Efek timbal-balik antara sosiolinguistik dan linguistik sangat banyak dan
mendalam. Hal itu dapat dijelaskan oleh dua ciri sosiolinguistik. Pertama, oleh
pengaruh-pengaruh yang khas dari faktor-faktor sosial terhadap fungsi bahasa
secara keseluruhan. Kedua, melalui pengaruh faktor sosial yang khas pada struktur
bahasa; tingkatan-tingkatannya; dan dan unsur-unsur dalam struktur bahasa seperti
fonologi, morfologi, tingkatan sintaktis, fonem, kata hubungan kata, dan kalimat.
Hubungan timbal balik antara masyarakat, linguistik, dan sosiolinguistik memiliki
ciri yang rumit. Hal itu menunjukkan bahwa sosiolinguistik memiliki peranan
yang menunjang.

e. Manfaat Sosiolinguistik
Sosiolinguistik dapat dimanfaatkan dalam berkomunikasi atau berinteraksi.
Sosiolinguistik memberikan pedoman kepada kita dalam berkomunikasi dengan
menunjukkan bahasa, ragam bahasa atau gaya bahasa apa yang harus kita gunakan
jika kita berbicara dengan orang tertentu. Jika kita adalah anak dalam suatu
keluarga, tentu kita harus menggunakan ragam/gaya bahasa yang berbeda jika
lawan bicara kita adalah ayah, ibu, kakak, atau adik. Jika kita seorang murid, tentu
kita harus menggunakan ragam/gaya bahasa yang berbeda pula terhadap guru,
terhadap teman sekelas, atau terhadap sesama murid yang kelasnya lebih tinggi.
Sosiolinguistik juga akan menunjukkan bagaimana kita harus berbicara bila kita
berada di dalam mesjid, di ruang perpustakaan, di taman, di pasar, atau juga di
lapangan sepak bola.
Dalam pengajaran bahasa di sekolah, sosiolinguistik juga mempunyai peran
yang besar. Kajian bahasa secara internal akan menghasilkan perian-perian bahasa
secara objektif deskriptif, dalam wujud berbentuk sebuah buku tata bahasa. Kalau
kajian secara internal itu dilakukan secara deskriptif, dia akan menghasilkan
sebuah tata bahasa deskriptif. Kalau kajian itu dilakukan secara normatif, akan
menghasilkan buku tata bahasa normatif. Kedua buku tata bahasa ini mempunyai
hasil perian yang berbeda, lalu kalau digunakan dalam penggunaan bahasa, juga
akan mempunyai persoalan yang berbeda. Kalau dalam pengajaran digunakan
buku tata bahasa deskriptif, maka kesulitannya adalah bahwa ragam bahasa yang
harus diajarkan adalah ragam bahasa baku, padahal dalam buku tersebut terekam
juga hasil perian ragam nonbaku.
Di negara-negara yang multilingual seperti Indonesia, Malaysia, Singapura,
India, dan Filipina muncul masalah-masalah politis sehubungan dengan pemilihan
bahasa untuk keperluan menjalankan administrasi kenegaraan dan pembinaan
bangsa. Pemilihan bahasa mana yang harus diambil menjadi bahasa resmi
kenegaraan dapat menimbulkan ketegangan politik dan ada kemungkinan berlanjut
menjadi bentrok fisik. Indonesia tampaknya dapat menyelesaikan masalah
pemilihan bahasa nasional, bahasa negara, dan bahasa resmi itu dengan baik,
yakni dengan memilih bahasa Melayu, yang dalam sejarahnya telah menjadi
lingua franca dan telah tersebar luas di seluruh nusantara, meskipun jumlah
penutur aslinya jauh lebih sedikit daripada penutur bahasa daerah Sunda atau
Jawa. Tak ada ketegangan politik dan bentrokan fisik karena semuanya menyadari
bahwa bahasa secara sosiolinguistik bahasa Melayu mempunyai peranan yang
lebih mungkin sebagai bahasa pergaulan dan bahasa resmi di Indonesia. Bahasa
daerah lain, yang meskipun jumlah penuturnya lebih banyak, tetapi luas
pemakaiannya terbatas di wilayah masing-masing.

2. Masyarakat Bahasa
a. Konsep Masyarakat Bahasa
Definisi masyarakat bahasa yang dimaksudkan di sini tidak hanya
berdasarkan pada perkembangan bahasa, tetapi berdasarkan pada sejarah, budaya,
dan politik. Pada tahap abstraksi yang cukup tinggi ditempatkan ciri-ciri
kelompok yang memiliki kesamaan agama, usia, kelompok etnis, dan di
bidang linguistik terutama kesamaan bahasa atau variasi bahasa. Pada tahap
abstraksi yang lebih rendah realitas bahasa tercermin melalui kelompok-kelompok
yang bersemuka. Definisi masyarakat bahasa yang berdasarkan kesamaan bahasa
akan menjadi bermasalah jika kita akan menjelaskan apa arti “menggunakan
bahasa yang sama” dalam situasi nyata di suatu lingkungan bahasa.
Sebagai satuan dasar definisi dan pemahaman tentang masyarakat bahasa
dapat berpegang pada bahasa-bahasa, kelompok sosial, jaringan sosial, hierarki
dan individu-individu yang sekaligus merupakan gambaran secara hierarkis
tahapan-tahapan abstraksi.

b. Klasifikasi Masyarakat Bahasa


1) Masyarakat Bahasa Berdasarkan Sikap Sosial
Model paguyuban bahasa yang klasik tidak dapat mencakup perubahan
dialek perkotaan yang cepat. Bentuk yang diidealisasikan tidak cukup
mencerminkan realitas. Labov menyimpulkan bahwa anggota
masyarakat bahasa perkotaan lebih diikat oleh sikap dan prasangka
yang sama dalam berbahasa, yang luar biasa stabil dibandingkan dengan
ikatan pemakaian bahasa yang sama (1972:293).
Menurut Labov pada kenyataannya sangat jelas bahwa masyarakat bahasa
didefinisikan sebagai sekelompok penutur yang memiliki sederetan sikap
sosial terhadap bahasa. Misalnya, seorang yang berasal dari New York
(orang dari kota besar) memiliki gambaran yang jelas tentang norma-
norma bahasa dan ia mengetahui jika ia menyimpang dari norma
yang ada. Terdapat perbedaan antara (1) apa yang dikatakan, (2) apa
yang diyakini, dan (3) apa yang diyakini untuk dikatakan.
2) Masyarakat Bahasa Berdasarkan Interaksi
Gumpertz mendefinisikan masyarakat bahasa (pada masa yang lampau) ke
arah komunikatif interaksi, yang dalam analisis fungsional berpangkal
pada varietas bahasa suatu masyarakat bahasa yang khas sebagai
kelompok sosial, dan bukan dari kesatuan bahasa. Definisi Gumpertz juga
memungkinkan beberapa varietas bahasa hidup berdampingan: kita
definisikan masyarakat bahasa sebagai kelompok sosial yang monolingual
atau multilingual, yang merupakan satu kesatuan karena sering terjadi
interaksi sosial dan yang dipisahkan dari sekelilingnya oleh interaksi
sosial yang melemah. Masyarakat bahasa dapat terdiri atas kelompok kecil
yang hubungannya bersemuka atau terdiri dari seluruh bahasa, tergantung
dari tingkat abstraksi yang akan dicapai (Gumpertz 1962:101)
3) Masyarakat Bahasa Berdasarkan Jaringan Sosial
Jaringan sosial sebagai substratum paguyuban bahasa sebagai titik tolak
analisis bahasa dalam sosiolinguistik dikenalkan untuk menganalisis
komunikasi sehari-hari dan konvensi interaksi. Dalam hal ini jaringan
hubungan seorang individu termasuk di dalamnya dan kesatuan kelompok
sosialnya merupakan phenomena dalam berbagai tataran abstraksi.
Gumpertz memperhitungkan hal ini dan memasukkan dalam konsep
mikronya, paguyuban bahasa (pada tataran abstraksi yang terendah), dan
konsep jaringan sosial. Dengan bantuan konsep ini sebagai soerang
linguis, ia akan meneliti perilaku bahasa dalam suatu paguyuban
dengan memperhatikan interpretasi norma dan nilai yang sesuai dengan
kenyataan
c. Masyarakat Bahasa sebagai Interpretasi Subjektif-Psikologis
Bolinger (1975:33) menunjukkan kompleksitas yang bersifat psikologis dan
ciri subjektif konsep paguyuban bahasa, ia mengemukakan: tidak ada batas
untuk cara manusia berkelompok guna mencari jati diri, keamanan,
keuntungan, hiburan, kepercayaan atau tujuan lain secara bersama, sebagai
akibat hal ini tidak ada batasan sehubungan dengan jumlah dan keanekaragaman
paguyuban bahasa yang kita jumpai dalam masyarakat kita. Setiap populasi
menurut definisi Bolinger dapat terdiri atas sejumlah besar paguyuban bahasa,
yang sehubungan dengan keanggotaan dan varietas bahasanya tumpang tindih.
Realitas psikologis paguyuban bahasa yang tergantung dari interpretasi angota-
anggotanya diperhitungkan dalam pendapat Le Page (1968), baginya keberadaan
kelompok sebagai paguyuban bahasa dengan ciri-ciri khusus yang digolongkan
oleh penutur sendiri, bukan oleh sosiolog penting. Tergantung bagaimana seorang
penutur menempatkan dirinya dalam ruang yang multidimensi (Hudson, 1980:27),
ia ikut berpartisipasi dalam berbagai paguyuban bahasa yang dimensi atau
perbandingan luasnya ditentukan oleh kelompok di sekelilingnya. Setiap penutur
menciptakan sistem perilaku bahasanya yang mirip dengan kelompok tempat ia
ingin mengidentifikasikan dirinya dari waktu ke waktu, dengan syarat a) ia dapat
mengidentifikasikan dirinya ke kelompok tersebut, b) ia memiliki kesempatan dan
kemampuan untuk mengamati dan menganalisis perilaku mereka, c) memiliki
motivasi yang kuat dan merasa berkewajiban untuk memilih dan mengubah
perilakunya, dan d) ia masih sanggup menyesuaikan perilakunya.
d. Masyarakat Bahasa di Indonesia
Tanggal 18 Maret 1996 Prof. Dr. Wardiman Djojonegoro, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia membuka dengan resmi
Seminar Kebahasaan dan kesusasteraan menyangkut bahasa Indonesia,
Malaysia, dan Brunai Darusalam. Seminar diadakan di Padang, Sumatra
Barat selama 3 hari. Pada acara pembukaan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan R.I. mengungkapkan data-daya tentang profil kemampuan
berbahasa Indonesia sebagai berikut.
Jumlah penutur bahasa Indonesia sebesar 153 juta di antara ±175 juta
penduduk Indonesia di atas 5 tahun pada tahun 1995 merupakan ”masyarakat
bahasa Indonesia” di Indonesia. Dari bahasa-bahasa yang ada di Indonesia terdapat
11 bahasa utama dengan patokan jumlah penutur > 1 juta orang. jika penutur > 10
juta orang dipakai sebagai rujukan, maka hanya 4 masyarakat bahasa paling
utama, yaitu masyarakat bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, dan Melayu.
Jika fungsi bahasa yang dipakai sebagai rujukan, maka 19 bahasa yang
lebih berperan di Indonesia, karena digunakan untuk lebih dari satu tujuan,
yaitu : bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, Malay Dialects, Madura, Makasar,
Minangkabau, Batak, Bali, Aceh, Sasak, Mandaar, Minahasa, Gorontalo,
Halmahera, Nias, Sangir, Toraja, dan Bima. Bila bahasa tulisan yang dijadikan
patokan, maka hanya terdapat 13 masyarakat bahasa di Indonesia, yaitu:
bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, Madura, Makasar, Minangkabau, Batak, Bali,
Aceh, Sasak, Nias, Sangir, dan Toraja.

3. Ragam Bahasa
a. Pengertian Ragam Bahasa
Bahasa, dalam praktek pemakaiannya, pada dasarnya memiliki bermacam-
macam ragam. Maksud ragam dalam konteks ini adalah variasi pemakaian
bahasa yang berbeda-beda (Mustakim, 1994: 18). Sedangkan Kartomihardjo
(1988: 23) menyebutkan ragam sebagai suatu piranti untuk menyampaikan
makna sosial atau artistik yang tidak dapat disampaikan melalui kata-kata
dengan makna harfiah.
Lebih lanjut, Kridalaksana (dalam Silahidin, 1991: 19) menyebutkan ragam
bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian yang berbeda-beda menurut
topik yang dibicarakan dan menurut media pebicaraannya. Jadi ragam bahasa ini
bentuknya beragam atau bermacam-macam karena bebarapa hal atau faktor seperti
disebutkan di atas.
b. Jenis Ragam Bahasa
Ragam bahasa dapat dibedakan atas beberapa jenis. Pertama , dilihat dari
segi sarana pemakaiannya dapat dibedakan atas ragam lisan dan ragam tulis.
Antara kedua ragam tersebut terdapat perbedaan yang tidak begitu mencolok.
Jadi untuk mengetahui kedua ragam tersebut harus memperhatikan kedua jenis
ragam tersebut secara seksama. Dalam ragam lisan unsur-unsur bahasa yang
digunakan cenderung sedikit dan sederhana. Artinya tidak selengkap pada
ragam tulis karena pada ragam lisan dalam menyampaikan informasi dapat
disertai dengan gerakan anggota tubuh tertentu (mimik) yang dapat mendukung
maksud informasi yang disampaikan dan menggunakan intonasi sebagai
penekanan. Di samping itu, satu hal lagi yang membuat ragam bahasa lisan lebih
sederhana adalah adanya situasi tempat pembicaraan berlangsung. Semua hal
tersebut dapat memperjelas informasi yang kita sampaikan kepada mitra tutur.
Akan tetapi, tiga hal tersebut tidak dapat terjadi atau tidak akan terdapat dalam
penggunaan ragam tulis, sehingga ragam ini cenderung lebih rumit. Hal ini
disebabkan pada ragam tulis mau tidak mau harus menggunakan unsur-unsur
bahasa yang lebih banyak dan lengkap agar informasi yang disampaikan
dapat diterima dengan baik dan jelas oleh orang yang diberi informasi (si
penerima informasi). Jadi penulisan secara lengkap unsur-unsur bahasa dalam
ragam tulis ini bertujuan untuk menghidari terjadinya salah mengerti atau
menerima pesan dari si pemberi pesan.
4. Kedwibahasaan Dan Diglosia
a. Kedwibahasaan
Pengertian kedwibahasaan selalu berkembang mulai dari pengertian yang
ketat sampai kepada pengertian yang longgar. Blommfield dalam bukunya
Language (1933) memberikan batasan kedwibahasaan sebagai gejala penguasaan
bahasa seperti penutur jati (native speaker) . Batasan ini mengimplikasikan
pengertian bahwa seorang dwibahasawan adalah orang yang menguasai dua
bahasa dengan sama baiknya.
b. Diglosia
Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, yang di samping
adanya dialek-dialek utama dari bahasa (yang mungkin meliputi ragam-ragam
baku setempat), juga mengenal suatu ragam yang ditinggikan, yang sangat
berbeda, yang terkodifikasikan secara rapi (dan yang tatabahasanya lebih rumit),
yang berasal dari waktu yang lampau atau yang berasal dari masyarakat
bahasa lain, yang dipelajari melalui pendidikan formal dan sebagian besar dipakai
untuk keperluan formal lisan dan tertulis tetapi tidak dipakai di sektor apa pun di
dalam masyarakat itu untuk percakapan sehari- hari.

5. Pemilihan Bahasa
a. Pengertian Pemilihan Bahasa
Pemilihan bahasa menurut Fasold (1984: 180) tidak sesederhana yang
kita bayangkan, yakni memilih sebuah bahasa secara keseluruhan ( whole
language ) dalam suatu peristiwa komunikasi. Kita membayangkan seseorang
yang menguasai dua bahasa atau lebih harus memilih bahasa mana yang akan ia
gunakan. Misalnya, seseorang yang menguasai bahasa Jawa dan bahasa Indonesia
harus memilih salah satu di antara kedua bahasa itu ketika berbicara kepada
orang lain dalam peristiwa komunikasi.
b. Faktor Penanda Pilihan Bahasa
Pilihan bahasa dalam interaksi sosial masyarakat dwibahasa/multibahasa
disebabkan oleh berbagai faktor sosial dan budaya. Evin-Tripp
mengidentifikaskan empat faktor utama sebagai penda pilihan bahasa penutur
dalam interkasi sosial, yaitu (1) latar (waktu dan tempat) dan situasi; (2)
partisipan dalam interkasi, (3) topik percakapan, dan (4) fungsi interaksi. Faktor
pertama dapat berupa hal-hal seperti makan pagi di lingkungan keluarga, rapat di
keluarahan, selamat kelahiran di sebuah keluarga, kuliah, dan tawar menawar
barang di pasar.
Faktor kedua mencakup hal-hal seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan,
status sosial ekonomi, dan perannnya dalam hubungan dengan mitra tutur.
Hubungan dengan mitra tutur dapat berupa hubungan akrab dan berjarak.
Faktor ketiga dapat berupa topik tentang pekerjaan, keberhasilan anak, peristiwa-
peristiwa aktual, dan topik harga barang di pasar. Faktor keempat berupa
hal-hal seperti penawaran informasi, permohonan, kebiasaan rutin (salam,
meminta maaf, atau mengucapkan terima kasih). Senada dengan Evin-Tripp,
Grosjean (1982: 136) berpendapat tentang faktor-faktor yang berpengaruh
dalam pilihan bahasa. Menurut Grosjean terdapat empat faktor yang
mempengaruhi 27 Pemilihan Bahasa pilihan bahasa dalam interaksi sosial, yaitu
(1) partisipan, (2) situasi, (3) isi wacana, dan (4) fungsi interaksi.
Faktor situasi mengacu pada (1) lokasi atau latar, (2) kehadiran
pembicara monolingual, (3) tingkat formalitas, dan (4) tingkat keakraban.
Faktor isi mengisi wacana mengacu pada (1) topik pembicaraan, dan (2) tipe
kosakata. Fatkor fungsi iteraksi mencakupi aspek (1) menaikan status, (2)
penciptaan jarak sosial, (3) melarang masuk / mengeluarkan sesorang dari
pembicaraan, dan (4) memerintah atau meminta.
c. Kompetensi Komunikatif dalam Pemilihan Bahasa
Canale dan Swain (1980) mengembangkan rumusan kompetensi
komunikatif dari Hymes. Kedua pakar itu membagi nosi kompe tensi
komunikatif atas kompetensi linguistik, kompetensi sosiolinguistik, dan
kompetensi wacana. Di samping itu, mereka melihat kompetensi komunikatif itu
sebagai berdimensi dua, yaitu (1) pengetahuan, dan (2) keterampilan di dalam
menggunakan bahasa dalam komunikasi. Pengetahuan di sini mengacu ke apa
yang secara sadar atau tidak sadar diketahui penutur tentang bahasa yang
dipakainya serta tentang aspek-aspek penggunaan bahasa. Keterampilan mengacu
ke bagaimana (baik atau tidak) ia mempraktikan pengetahuan itu di dalam suatu
peristiwa tutur. Keterampilan ini mencakup apa yang secara tradisional
disebut empat keterampilan, yaitu berbicara, mendengarkan, membaca, dan
menulis (Canale, 1983).
Kompetensi linguistik, yang di dalam kepustakaan linguistik terapan
dan pengajaran bahasa disebut juga kompe tensi gramatikal, mengacu ke
penguasaan seseorang atas sandi bahasa. Komponen ini, menurut Canale,
mengacu pada pengeta huan dan keterampilan yang diperlukan seseorang
(termasuk pembelajar) untuk memahami dan mengungkapkan secara tepat makna
harfiah suatu ujaran. Pengetahuan dan keterampilan ini mencakup tataran fonologi,
ortografi, morfosinataksis, dan leksikal (Trosborg, 1984).
Kompetensi sosiolinguistik sepadan dengan salah satu aspek kompetensi
komunikatif menurut rumusan Hymes, yaitu ihwal kepatutan ujaran.
Komponen ini mengacu ke kaidah sosiokultural penggunaan bahasa, yakni
seperangkat kaidah yang menentukan kepatutan ujaran di dalam konteks tertentu.
Kaidah semacam itu banyak berkaiatan dengan unsur nonbahasa yang berpengaruh
terhadap bentuk tutur atau ujaran dan dikenal sebagai komponen-komponen tutur (
components of speech) .
d. Strategi Pilihan Bahasa
Istilah strategi di sini mengacu pada pengertian strategi komunikasi, yaitu
kecermatan di dalam menenentukan sesuatu yang patut dikerjakan demi
kelancaran komunikasi. Di dalam pembelajaran bahasa terdapat pula istilah
kompetensi strategis yang mengacu ke kemampuan menutupi kesenjangan
ketidaktahuan, bagaimana harus mengungkapkan suatu ujaran misalnya, karena
lupa akan kata yang diperlukan, tata baha sanya, atau lafalnya. Gunarwan
(1995: 5) menjelaskan jenis kompetensi ini dengan contoh yang menarik
berikut. Jika seorang pembelajar bahasa Indonesia lupa akan kata adimarga
dan alih-alih ia mengatakan jalan lebar yang di kiri-kanannya ada pohon-
pohonnya , ia mengisaratkan bahwa ia telah memiliki kompetensi strategis itu.
Tentu saja pengertian kompetensi strategis itu juga berlaku bagi penu tur pada
umunya, baik yang jati maupun yang bukan.
Kompetensi strategis juga merujuk ke kemampuan memilih strategi yang
tepat di dalam suatu peristiwa tutur. Terutama ini berlaku jika sebuah ujaran
atau tindak tutur itu mempunyai potensi mengancam muka, baik muka
pendengar maupun muka penutur sendiri. Di dalam situasi yang sedemikian
penutur perlu memiliki kompetensi strategis dalam bernegosiasi dengan mitra tutur
dalam memilih ujaran yang patut di dalam peristiwa komunikasi. Tentu
negosiasi ini tidak seperti tawar menawar barang atau jasa, tetapi melalui
berbagai isyarat, baik secara verbal maupun nonverbal, yang sesuai dengan
norma sosialbudaya masyarakat pemakai bahasa itu. Faktor utama di dalam
negosiasi itu adalah penggunaan ujaran yang patut antar partisipan dengan
mempertimbangkan faktor-faktor seperti jarak sosial penutur-pendengar, dera jat
kekuasaan yang dimiliki masing-masing, dan norma penil aian masyarakat tutur
atas penggunaan ujaran yang bersangkutan.

6. Alih Kode dan campur Kode


a. Alih Kode
Alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode
yang lain (Suwito 1991:80). Menurutnya alih kode merupakan salah satu aspek
tentang saling ketergantungan bahasa (language depedency) di dalam masyarakat
multilingual. Artinya, di dalam masyarakat multilingual hampir tidak mungkin
seorang penutur menggunakan satu bahasa secara mutlak murni tanpa
sedikitpun memanfaatkan bahasa atau unsur bahasa yang lain. Di dalam alih
kode penggunaan dua bahasa atau lebih itu ditandai oleh : (a) masing-
masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan
konteksnya, (b) fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang
relevan dengan perubahan konteks. Tanda-tanda yang demikian dikemukakan
oleh Kachru (1965 dalam Suwito 1991:80) disebut ciri-ciri unit-unit
kontekstual (contextual units). Dengan adanya ciri-ciri itu menunjukkan bahwa di
dalam alih kode masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri
secara eksklusif, dan peralihan kode terjadi apabila penuturnya merasa bahwa
situasinya relevan dengan peralihan kodenya. Dengan demikian, alih kode
menunjukkan suatu gejala adanya saling ketergantungan antara fungsi kontekstual
dan situasi relevansional di dalam pemakakian dua bahasa atau lebih.

b. Campur Kode
Aspek lain dari saling ketergantungan bahasa (language depency) dalam
masyarakat multilingual adalalah terjadinya campur kode (code-mixing ).
Apabila di dalam alih kode fungsi konteks dan relevansi situasi merupakan
ciri-ciri ketergantungan ditandai oleh adanya hubungan timbal balik antara
peranan dan fungsi kebahasaan. Peranan maksudnya siapa yang
menggunakan bahasa itu; sedangkan fungsi kebahasaan berarti apa yang hendak
dicapai oleh penutur dengan tuturannya (Suwito 1991:88). Ciri lain dari gejala
campur kode ialah bahwa unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang
menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai tersendiri. Unsur-unsur itu
telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan hanya
mendukung satu fungsi. Di dalam kondisi yang maksimal campur kode
merupakan konvergensi kebahasaan (linguistic convergence) yang unsur-
unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masing-masing telah menanggalkan
fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disisipinya.
7. Sikap Bahasa
a. Pengertian Sikap Bahasa
Bany dan Johnson (1975) mengisyaratkan bahwa sikap tidak terbentuk
karena pembawaan sejak lahir tetapi terbentuk karena proses belajar. Sejalan
dengan pandangan tersebut Krech et al . (1988: 185) mengemukakan empat dalil
pengemban gan sikap.
1) Attitudes develop in the process of want satisfac tion.
2) Attitudes of the individual are shaped by the infor mation to which he is
exposed.
3) The group affiliations of the individual help deter mine the formation of
his attitudes.
4) The attitudes of the individual reflect his personality

b. Komponen Sikap Bahasa


Komponen kognitif mengandung kepercanyaan atau kenyakinan seseorang
terhadap suatu objek (Krech et. Al. (1988:140). Sebagai adalah kepercanyaan atau
kenyakinan mahasiswa terhadap rokok. Ada yang memiliki kepercanyaan atau
kenyakinan mahasiswa bahwa rokok itu mahal dan berbahaya bagi paru-paru.
Ada pula yang memiliki kenyakinan bahwa rokok itu dapat memudahkan
belajar dan mengurangi kegelisahan. Kepercayaan atau keyakinan itu
menimbulkan penilaian yang berbeda terhadap rokok.
Komponen afektif menyangkut perasaan terhadap suatu objek (Krech et al.
1988: 141). Perasaan itu dapat berupa rasa senang atau tidak senang. Apabila
seorang penutur memiliki perasaan senang terhadap suatu objek, maka ia
dipandang memiliki sikap positif terhadap objek itu. Sebaliknya apabila ia
memiliki perasaan tidak senang maka ia dikatakan memiliki sikap negatif terhadap
objek itu. Sebagai contoh apabila seorang penutur memiliki perasaan senang
terhadap bahasa ibunya, dan cenderung memakai bahasa itu, maka ia dianggap
bersikap positif terhadap bahasa itu.
Komponen konotif menyangkut kesiapan untuk bereaksi (Krech et al .
1988: 141). Seseorang yang memiliki sikap positif terhadap bahasa Indonesia
mungkin akan menunjukkan kesiapanya untuk menggunakan bahasa itu

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Sosiolinguistik mengkaji bahasa dengan memperhitungkan hubungan antara
bahasa dengan masyarakat, khususnya masyarakat penutur bahasa itu.
Jadi jelas sosiolinguistikmempertimbangkan keterkaitan dua hal, yakni
linguistik untuk segi kebahasaan dan sosiologi untuk segi
kemasyarakatannya.
2. Manfaat Sosiolinguistik yaitu memberikan gambaran keadaan sosial
suatu masyarakat berkaitan dengan bahasanya, mendeskripsikan adanya
variasi-variasi yang ada dalam masyarakat tertentu dan menentukan atau
memilih variasi bahasa mana yang akan kita gunakan yang sesuai
dengan situasi dan fungsinya.
3. Hubungan bahasa dan sastra yang khas adalah seperti yang terlihat
dalam drama, baik di atas pentas maupun sebagai teks untuk dibaca
(Novel) (Khaidir Anwar, 1990: 55). Di sini bahasa dipakai tidak dalam
situasi wajar pemakaian bahasa. Yaitu untuk berkomunikasi pada
umumnya, untuk melakukan fungsi interaksi sosial.
4. Suatu masyarakat atau daerah yang memiliki atau memakai dua bahasa,
maka masyarakat atau daerah itu disebut daerah atau masyarakat
yang berdwibahasa atau bilingual. Selain kedwibahasaan, terdapat pula
peristiwa yang menyangkut pemakaian dua bahasa atau lebih yang
dipergunakan oleh seseorang atau sekelompok orang di dalam suatu
masyarakat, yakni yang disebut dengan istilah diglosia.
5. Bedah buku dengan judul Sosiolinguistik, Penulis Fathur Rokhman, Penerbit
Graha Ilmu, Tahun Terbit 2013, Jumlah Halaman 12
DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A.C. (1989). Sosiologi Bahasa. Angkasa. Bandung.

Cumming, Michael, dan Simons, Robert. 1986. The Language of Literature.


Pergamon Press Ltd. England.

Fishman, A. Joshua. 1975 language and Ethnicity in Minority Sociolingustics.


Prespective. Philadelphia: Multilingual Matters LTD

Hudson, R.A. (1980). Sociolinguistics. CUP.

Kridalaksana, Harimurti. 1985. Tata Bahasa Deskripsi Bahasa Indonesia:


Sintaksis. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.

Nababan, P.W.J. 1991. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. PT Gramedia Pustaka.


Utama. Jakarta.

Pateda Mansoer. 1987. Sosiolinguistik. Angkasa. Bandung.

Poedjosoedarmo, Gloria. 1981. Sistem Perulangan dalam Bahasa Jawa. Jakarta.

Rokhman, Fathur. 2013. Sosiolinguistik. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Sinung Hartadi. 2001. Interferensi Gramatikal Bahasa Jawa dalam Pemakaian Bahasa
Indonesia Lisan. Tesis. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Sugiarto, Siswo. 1996. Bahasa dan Sastra‛ dalam Majalah FILLITRA. No. 05 Edisi
Juni–Oktober.

Suwandi, Sarwiji. 2008. Serbalinguistik. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Suwito. 1996. Sosiolinguistik. Sebelas Maret University Press. Surakarta.


Weinreich, Uriel. 1968, 1970. Language in Contact: Finding and Problem. Mounton
The Hauge. Paris.

Wijana Dewa Putu dan Rohmadi Muhammad. 2006. SOSIOLINGUISTIK Kajian


Teori dan Analisis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai