Anda di halaman 1dari 42

PERTEMUAN I

SOSIOLINGUISTIK
Oleh: Dr. Ely Triasih Rahayu, S.S., M.Hum

1. Studi Sosiolinguistik

Sosiolinguistik mengkaji bahasa dan masyarakat dengan mengaitkan dua


bidang yang dapat dikaji secara terpisah, yaitu struktur formal bahasa oleh linguistik
dan struktur masyarakat oleh sosiologi (Wardhaugh, 1986; Holmes, 1993:1;
Hudson,1996:2). Bila kita akan mengkaji bahasa dari segi sosiolinguistik, maka
kajian tersebut akan menghubungkan perilaku ujaran/bahasa dengan status sosial
(Dittmar 1976: 27). Tahun 1952 dinyatakan sebagai awal mula munculnya istilah
sosiolinguistik yang tertuang dalam tulisan Kaya Haver C Currie (dalam Dittmar
1976: 27). Haver menuliskan urgensi kajian mengenai ujaran bahasa yang
diucapkan manusia berdasarkan status sosial. Pada akhir tahun 60-an,
sosiolinguistik mulai berkembang ditandai dengan adanya Committee on
Sociolinguistics of the Social Science Research Council (1964) dan Research
Committee on Sociolinguistics of the International Sociology
Association (1967). Disiplin ilmu ini mengalami perkembangan yang cukup baik
sampai akhirnya terbitlah jurnal sosiolinguistik; Language in Society (1972)
dan International Journal of Sociology of Language (1974) .
Pengkajian bahasa dapat dilakukan secara internal maupun eksternal.
Pengkajian secara internal artinya pengkajian berdasarkan teori-teori atau prosedur-
prosedur yang ada dalam ilmu linguistik misalnya terhadap struktur intern bahasa.
Struktur intern bahasa yang dimaksud adalah struktur fonologis, morfologis, atau
struktur sintaksis. Pengkajian secara eksternal artinya pengkajian berdasarkan
faktor-faktor luar bahasa yang berkaitan dengan pemakaian bahasa dan penutur
bahasa di dalam kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan. Kajian secara
eksternal, selain menggunakan teori atau prosedur dalam ilmu linguistik, juga
menggunakan teori dan prosedur disiplin lain, misalnya disiplin sosiologi, psikologi,
dan disiplin antropologi.
Pengkajian secara eksternal akan menggunakan dua atau lebih disiplin ilmu,
sehingga penelitian dalam kajian ini pun akan menganalisis permasalahan yang ada
berdasarkan gabungan dua atau lebih disiplin ilmu. Misalnya, sosiolinguistik
merupakan gabungan disiplin ilmu sosiologi dan linguistik, psikolinguistik
merupakan gabungan disiplin ilmu psikologi dan linguistik, antropolinguistik
merupakan gabungan disiplin ilmu antropologi dan linguistik, neurolinguistik
merupakan gabungan disiplin ilmu neurologi dan linguistik. Pengkajian secara
internal disebut kajian bidang mikrolinguistik, sedangkan pengkajian secara
eksternal disebut kajian bidang makrolinguistik (Chaer, 2004:2).
Bahasa merupakan lembaga kemasyarakatan. Dari dimensi kemasyarakatan
ini menimbulkan ragam-ragam bahasa yang bukan hanya berfungsi sebagai
petunjuk perbedaan golongan masyarakat penuturnya, tetapi juga sebagai indikasi
situasi berbahasa serta mencerminkan tujuan, topik, aturan-aturan, dan modus
penggunaan bahasa (Nababan,1991:2). Pengkajian bahasa dilihat dari dimensi
kemasyarakatan seperti telah dijelaskan di atas, merupakan pengertian dari
sosiolinguistik.
Seperti telah disinggung di atas, sosiolinguistik merupakan istilah yang
terdiri atas dua unsur kata; sosio dan linguistik. Linguistik merupakan ilmu yang
mempelajari hakikat bahasa dan ciri-ciri kebahasaan. Ciri-ciri kebahasaan meliputi
unsur-unsur bahasa berupa fonem, morfem, kata, kalimat dan hubungan antara
unsur-unsur tersebut (struktur kalimat). Kata sosio dapat diartikan sosial, yaitu hal-
hal yang berhubungan dengan kemasyarakatan. Berdasarkan penjelasan tersebut,
jelaslah bahwa sosiolinguistik memandang atau menempatkan kedudukan bahasa
dalam hubungannya dengan pemakai bahasa di dalam masyarakat yang bersifat
tidak homogeni (Hudson, 1980; Wardaught, 1986; Holmes, 1992; Wijana,2006;
Jendra,2010).
Sosiolinguistik menempatkan bahasa sebagai alat komunikasi manusia
dalam kehidupan bermasyarakat karena dalam kehidupan bermasyarakat manusia
tidak lagi sebagai individu, tetapi sebagai masyarakat sosial. Ini berarti bahwa
sosiolinguistik memandang bahasa pertama-tama sebagai sistem sosial dan sistem
komunikasi serta merupakan bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu
(Suwito, 1985:2).
Para pakar sosiolinguistik berpendapat bahwa latar belakang budaya yang
berbeda sangat berpengaruh pada penggunaan bahasa. Budaya adalah buah pikiran,
akal budi, termasuk di dalamnya kebiasaan atau adat istiadat. Salah satu yang
memengaruhi budaya suatu masyarakat adalah faktor cuaca. Negara Jepang
mengenal empat musim yaitu musim panas, dingin, gugur, dan musim semi. Empat
perubahan cuaca ini berpengaruh pada pakaian yang digunakan di tiap musim. Salah
satu pakaian yang dipengaruhi oleh musim panas yaitu pakaian Yukata. Yukata
merupakan pilihan bahasa yang digunakan untuk merujuk pada pakaian musim
panas. Kata ini muncul dari kebiasaan menggunakan pakaian tipis yang menyerap
keringat dengan model tertentu yang menunjukkan ciri khas pakaian Jepang. Dari
kebiasaan ini muncullah budaya berpakaian yukata. Kata Yukata tidak sesuai bila
digunakan untuk merujuk pada pakaian kebaya masyarakat Jawa karena pakaian
kebaya merupakan kosakata untuk merujuk pada baju tradisional masyarakat Jawa
dengan ciri khas budaya Jawa.
Sebagai gejala sosial, bahasa dan pemakaian bahasa tidak hanya ditentukan
oleh faktor-faktor linguistic, tetapi juga oleh faktor-faktor nonlinguistik, antara lain
adalah faktor-faktor sosial, misalnya status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat
ekonomi, jenis kelamin, situasi, dan kondisi tuturan. Hal ini menunjukkan bahwa
pemakaian bahasa berhubungan dengan faktor sosial (Trudgill, 1983;
Wardhaugh,1986; Matthew, 1997).
Sosiolinguistik memandang bahasa sebagai sistem sosial dan sistem
komunikasi serta merupakan bagian dari masyarakat dan kebudayan tertentu.
Pemakaian bahasa (language use) adalah bentuk interaksi sosial yang terjadi di
dalam situasi-situasi yang kongkret dalam suatu masyarakat. Manusia dalam
menggunakan bahasa bahasa dalam konteks sosiolinguistik berarti mempelajari
bahasa dalam konteks sosiokultural serta situasi pemakaiannya, sehingga kita
mempelajari bahasa dari sudut penutur dan pendengarnya. Hakikat bahasa adalah
proses interaksi verbal antara penutur dan pendengarnya. Dalam proses interaksi
verbal ini sangat dipertimbangkan kepada siapa ia berbicara, di mana, kapan,
mengenai masalah apa dan dalam situasi yang bagaimana. Dari sinilah
sosiolinguistik sangat berperan.
Pemakaian bahasa pada masyarakat tutur Jepang memungkinkan seseorang
menggunakan bahasa yang berlainan. Seseorang berbahasa dengan bentuk
keigo ’bahasa hormat’ dan futsuukei ‘bahasa biasa’. Pemakaian variasi bahasa oleh
masing-masing penuturnya ini didasarkan pada faktor-faktor sosiokultural yang
melatarbelakangi pemakaian bahasanya. Bila penutur adalah seseorang yang lebih
muda dan mitra tuturnya adalah orang yang lebih tua, maka bentuk keigo sebagai
dasar pemilihan bahasanya. Bila percakapan yang terjadi antara orang yang sudah
akrab hubungannya atau terhadap mitra tutur yang usianya di bawah penutur, maka
fuutsuugo merupakan bentuk pemilihan bahasa yang lebih tepat.
Sosiolinguistik dalam peranannya, selalu memperhatikan faktor sosio
situasikultural. Dengan mempertimbangkan aspek-aspek sosiolinguistik, maka
masalah yang muncul dari ketidaktepatan pemakaian bahasa dalam konteks
sosialnya dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan. Dengan memahami prinsip-
prinsip sosiolinguistik, maka seseorang dalam berinteraksi verbalnya sangat
mempertimbangkan pemilihan variasi bahasanya sesuai dengan konteks sosial di
samping ketepatan secara morfologissnya. Bila antarpelaku tindak tutur dapat
memahami hal ini, maka komunikasi dalam masyarakat pun sudah sesuai dengan
norma yang berlaku.

2. Pemilihan Bahasa

Tidaklah mudah untuk menemukan bangsa di dunia ini yang hanya


menggunakan satu bahasa atau monobahasa dalam komunikasi sosial. Sebaliknya
banyak ditemukan bangsa di dunia ini yang sudah berpotensi sebagai multibahasa.
Pada kenyataannya selain bahasa daerah dan bahasa nasional, bahasa internasional
yaitu bahasa Inggris sudah banyak dikuasai oleh masyarakat tutur tertentu. Dalam
masyarakat multibahasa terdapat variasi kode bahasa yang bisa berkaitan dengan
dialek, idiolek, variasi bahasa dan gaya bahasa atau ragam bahasa. Variasi kode
bahasa ini digunakan penutur dengan menyesuaikan faktor faktor sosial yang
berlaku dalam masyarakat.

Faktor sosial, berkaitan dengan norma norma yang berlaku dalam


masyarakat. Dalam bahasa Jawa dikenal adanya istilah unggah ungguh basa.
Unggah ungguh basa ini merupakan tingkat tutur bahasa yang diatur dengan norma
kesantunan berbahasa. Norma berbahasa dalam masyarakat Jawa, mengharuskan
seseorang melakukan pemilihan bahasa dengan mempertimbangkan posisi mitra
tutur. Pemilihan bahasa krama inggil digunakan seorang anak saat berkomunikasi
dengan orang tuanya. Begitu juga dalam domain pendidikan, seorang siswa akan
memilih bahasa krama inggil saat berkomunikasi santun kepada guru/dosennya.

Berkaitan dengan penggunaan bahasa krama inggil seorang anak kepada


orang tuanya pada masyarakat tutur bahasa Jawa, secara tiba-tiba seorang ibu
melakukan pemilihan bahasa yang bersifat asimetris terhadap anaknya. Norma
yang berlaku, seorang anak menggunakan krama inggil kepada ibunya, tetapi pada
situasi tertentu seorang Ibu mengucapkan “sampun kondur nggih” kepada anaknya
yang pulang malam. Ada tujuan lain dari penggunaan bahasa krama inggil ini yaitu,
ibu menyindir anaknya yang pulang malam. Bila kalimat tersebut diucapkan
dengan volume keras, maka kalimat krama inggil tersebut bisa berarti ucapan
kemarahan seorang ibu kepada anaknya. Oleh karena itu, fungsi krama inggil
dalam hal ini bukan sebagai bentuk penghormatan seseorang, tetapi berfungsi
sebagai ungkapan sindiran/kemarahan.
Komunikasi akan berjalan dengan baik bila para partisipan menyadari dan
memahami posisinya dalam melakukan tuturan. Pemakaian bahasa yang tidak tepat
atau tidak sesuai, akan menimbulkan komunikasi yang janggal, tidak wajar, dan
tidak memberikan kenyamanan para pelaku komunikasi. Sebaliknya, bila para
pelaku komunikasi secara tepat dapat melakukan pemilihan bahasa, maka
komunikasi akan berjalan dengan lancar. Pemilihan bahasa terjadi karena adanya
pengaruh faktor-faktor sosial, kultural, dan situasional yang berlaku pada
masyarakat tersebut (Suwito, 1987).
Pada masyarakat multibahasa, pemilihan bahasa sebenarnya merupakan
gejala yang wajar sebab terjadi pada setiap peristiwa tindak tutur yang melibatkan
peserta tutur. Peserta tutur mengacu pada penutur, mitra tutur, dan orang yang
dituturkan. Hal ini terjadi karena fenomena sosial bersifat dinamis, selalu bergerak,
dan berubah yang memengaruhi struktur sosial dan pemakaian bahasa (Gumperz,
1982 ; Fasold, 1984).
Interaksi verbal dalam wujud komunikasi bahasa yang di dalamnya
dibutuhkan ketepatan dalam memilih bahasa sangat berkaitan pula dengan
komponen tutur. Komponen tutur dapat mencerminkan masyarakat tuturnya.
Masyarakat tutur yang dimaksud adalah kumpulan penutur dengan bahasa yang
sama berdasarkan norma-norma yang sama dalam menggunakan bahasa tersebut
(Fishman,1972; Suwito, 1983). Komponen tutur diungkapkan oleh Hymes (1973)
yang terkenal dengan akronimnya, SPEAKING (scene/setting ‘latar’, participants
‘peserta tuturan’, ends ‘tujuan tuturan’, act sequence ‘topik tuturan’, key ‘nada
tuturan’, instrumentalities ‘alat/sarana’, norms ‘norma tuturan’ dan genres ‘jenis
tuturan’).
Latar tutur merupakan tempat suatu tindak tutur dilakukan. Pemilihan
bahasa dalam suatu tuturan, pasti akan menyesuaikan dengan tempat tutur misalnya
di kantor, sekolah, pantai, keluarga, dan pasar, sedangkan suasana tutur mengacu
pada suasana tuturan dilakukan. Suasana tutur dapat bersifat resmi maupun tidak
resmi/ formal maupun tidak formal. Pemilihan bahasa pada tuturan resmi/formal
tentu sangat dibutuhkan ketika seseorang menghadap atasannya di kantor.
Sebaliknya, hal itu akan rancu bila dilakukan pada suasana berkumpul dengan
teman di acara reuni.
Peserta tuturan mengacu pada penutur, mitra tutur, dan orang yang
dituturkan. Pemilihan bahasa antarpeserta tutur ditentukan oleh perbedaan dimensi
vertikal dan dimensi horisontal. Dimensi pertama meliputi perbedaan usia, status
sosial eknomi, dan kedudukan/posisi dalam masyarakat. Penutur sebaiknya dapat
melakukan pemilihan bahasa secara tepat saat menghadapi mitra tutur yang
kedudukan/posisinya lebih tinggi dari mitra tuturnya. Perbedaan dimensi kedua
antara lain, meliputi perbedaan tingkat keakraban/kedekatan antarpeserta tutur.
Tujuan tuturan merupakan tujuan dari suatu tuturan yang disampaikan
penutur. Hal ini berkaitan pula dengan harapan setelah massage content
disampaikan penutur. Topik tuturan disampaikan kepada mitra tutur baik secara
individu atau masyarakat. Kadang-kadang perubahan topik tuturan secara berurutan
dapat terjadi dalam suatu tindak tutur. Topik tuturan dalam peristiwa tutur akan
berpengaruh terhadap pemilihan bahasa.
Nada tuturan mengacu pada tuturan verbal maupun tindakan nonverbal.
Nada tutur bisa berupa perubahan bunyi bahasa. Dengan perubahan bunyi bahasa
dapat memberi petunjuk bahwa seseorang dalam keadaan gembira, sedih, kecewa,
serius, dan sebagainya. Nada tutur nonverbal dapat berwujud gerak anggota badan,
perubahan air muka, dan sorot mata. Anggukan kepala atau kedipan mata seseorang
dapat menunjukkan bahwa orang tersebut setuju walaupun secara verbal tidak
diungkapkan.
Sarana tutur mengacu pada alat tuturan. Sarana tutur dapat berupa sarana
lisan, tulis, dan isyarat. Secara lisan misalnya menggunakan telepon, sarana tulis
misalnya dengan faksimile, dan sarana isyarat misalnya dengan bendera semaphore.
Norma tutur berhubungan dengan norma dalam berkomunikasi. Normalah
yang mengatur boleh tidaknya sesuatu dilaksanakan oleh peserta tutur pada waktu
tuturan berlangsung. Seseorang bisa dikatakan tidak sopan bila pada saat bertutur
tidak mematuhi norma berkomunikasi. Pada masyarakat tutur Jepang, orang akan
dianggap kurang sopan bila menanyakan hal mengenai pribadi misalnya
menanyakan usia, anaknya berapa, sudah menikah apa belum, dan sebagainya.
Jenis tutur adalah suatu tuturan yang dapat dibedakan melalui bentuknya,
misalnya pantun, puisi, cerita dan naskah drama. Pendapat Hymes dibandingkan
dengan pendapat sosiolinguistik Jepang yaitu Kabaya (Rahayu, 2013) 1 dengan
rangkuman tabel sebagai berikut.

1
Perbandingan pendapat Hymes dan Kabaya diulas dalam disertasi yang berjudul Sistem Tingkat
Tutur Bahasa Jepang dalam Domain Perkantoran (Rahayu, 2013). Pada hasil penelitian, dituliskan
perbandingan masing masing komponen Hymes dan Kabaya yang pada hakikatnya bertujuan
sebagai referensi komponen tutur.
Tabel 1. Komponen Tutur Hymes dan Kabaya (Domain Perkantoran)
Hymes Kabaya Penerapan terhadap tuturan sebagai data

scene/setting ba Tempat dilakukannya tindak tutur (kantor, pabrik, ruang rapat)


‘latar’ ‘tempat’
participants ningen Hubungan antarpenutur, mitra tutur, dan orang yang menjadi pokok tuturan. Hubungan
‘partisipan’ kankei berupa; hubungan antara atasan dan bawahan (hubungan antara pimpinan, manajer, kepala
‘hubungan bagian, supervisor, leader, dan karyawan biasa), hubungan berdasarkan perbedaan usia, dan
partisipan’ hubungan uchisoto ‘dalam-luar grup’.
ends naiyou Tujuan dari suatu tuturan berkaitan pula dengan harapan setelah massage content disampaikan
‘tujuan (nakami) penutur terhadap mitra tutur. Tujuan tuturan berkaitan dengan topik tuturan. Misalnya topik
act Sequence ‘isi’ mengenai kualitas bulu mata disampaikan oleh manajer terhadap staf QC dengan harapan
‘topik tuturan’ kualitas dari bulu mata yang dihasilkan sesuai dengan permintaan konsumen.
key ishiki Keadaan perubahan bunyi bahasa yang dapat menunjukkan perasaan seseorang misalnya
(kimochi)
‘nada tuturan’ dalam keadaan gembira, sedih, kecewa, serius, dan sebagainya.
‘perasaan’
Instrumentalities Keshiki Instrumentalities ‘sarana/alat’ menurut Hymes merupakan sarana/alat tutur, sedangkan keshiki
‘sarana/alat’ (katachi) (katachi) ‘bentuk’ merupakan bentuk wacana. Penerapan keduanya merujuk pada alat yang
‘bentuk’ digunakan dalam melakukan tuturan. Alat ini dapat berupa telepon, email, atau surat. Keshiki
(katachi) memiliki pengertian yang lebih luas karena dapat berkaitan dengan bentuk tuturan,
pola kalimat, dan bentuk wacananya. Hal ini oleh Hymes dikategorikan dalam genres.
Norms Norma tutur berhubungan dengan norma dalam berkomunikasi. Aturan dalam
mengungkapkan bahasa hormat dari bawahan terhadap atasan atau dari seorang karyawan pada
perusahaan produsen terhadap karyawan pada perusahaan konsumen. Aturan dalam
berkomunikasi dalam perusahaan Jepang sangat berkaitan dengan hubungan antarpenutur.
Genre Menurut Hymes jenis tuturan adalah suatu tuturan yang dapat dibedakan melalui bentuknya
‘jenis tuturan’ misalnya pantun, puisi, cerita, naskah drama, dan pidato. Komunikasi dalam perusahaan
membedakan tuturan misalnya ke dalam bentuk kalimat tulis dan lisan. Oleh Kayaba hal ini
sudah dimasukkan dalam keshiki (katachi). Tuturan lisan antarkaryawan dapat secara langsung
(bertatap muka), atau melalui telepon, sedangkan secara tertulis melalui email atau Surat Masa
Singkat (SMS).
Pendapat Hymes dan Kabaya mengenai komponen tutur pada dasarnya sama. Komponen tutur
berdasarkan kedua pendapat meliputi; latar, hubungan antarpelaku tindak tutur, tujuan tuturan,
perubahan bunyi yang disebabkan perasaan penutur, sarana atau alat dalam melakukan tuturan.
Pada komponen sarana atau alat, Kabaya menggunakan istilah keshiki ‘bentuk’, sedangkan
Hymes menggunakan istilah instrumentalities ‘sarana atau alat’. Keshiki memiliki makna lebih
luas karena mencangkup bentuk tuturannya baik berdasarkan pola kalimat maupun pemilihan
kosakata. Hymes memasukkan bentuk tuturan ini kedalam genres.
Poedjosudarmo (1979) juga telah memaparkan tiga belas komponen tutur yang
disesuaikan dengan situasi kebahasaan di Indonesia, khususnya di Jawa. Ketiga belas
komponen tutur itu adalah; (1) pribadi penutur, (2) warna emosi, (3) kehendak tutur, (4)
angggapan penutur terhadap mitra tutur, (5) kehadiran orang ketiga, (6) nada dan suasana
bicara, (7) adegan tutur, (8) pokok pembicaraan, (9) sarana tutur, (10) urutan bicara, (11)
ekologi percakapan, (12) bentuk wacana, dan (13) norma kebahasaan lainnya.
Bila dibandingkan antara pendapat Poedjosudarmo (1979), Hymes (1973) dan Kabaya,
terlihat bahwa Poedjosudarmo lebih menitikberatkan pada aspek peserta tutur. Hal ini
ditunjukkan dengan adanya beberapa komponen mengenai aspek peserta tutur yang diutarakan
secara berurut-urut yaitu pribadi penutur, warna emosi, kehendak tutur, anggapan terhadap
mitra tutur, dan kehadiran orang ketiga.
Leech (1993) mengilustrasikan pemilihan bahasa yang dilakukan oleh suku Kalala yang
tinggal di Bukavu, Zaire bagian Selatan yang merupakan salah satu kota di Afrika. Kota Zaire
merupakan kota yang banyak didatangi orang-orang dari luar kota untuk bekerja dan berbisnis,
sehingga kota Zaire merupakan kota dengan masyarakat yang heterogen, multicultural dan
multilingual. Oleh karena itu, di kota ini banyak dijumpai orang-orang yang berbeda bahasa.
Suku Kalala menggunakan ragam bahasa berdasarkan tempat dilakukannya tindak tutur.
Ketika suku Kalala berkomunikasi dengan keluarganya, akan menggunakan bahasa Shi dalam
ragam informal. Suku Kalala menggunakan bahasa Shi ragam formal ketika menghadiri pesta.
Pada saat berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda etnik, suku Kalala akan
menggunakan bahasa nasional Swahili. Bahasa Zairean Swahili digunakan ketika berurusan
dengan orang-orang pemerintahan atau saat melamar pekerjaan.
Ketika Kalala berkomunikasi dengan orang yang lebih muda, misalnya terhadap anak-
anak, akan menggunakan bahasa Kingwana. Bahasa slang atau indoubil digunakan saat
bercakap-cakap dengan teman-teman sebayanya atau teman-teman yang sudah akrab.
Begitu pula dalam pemilihan bahasa pada masyarakat Jepang. Masyarakat Fukuoka
memiliki dialek Hakata. Berikut tabel pemilihan bahasa yang disesuaikan dengan faktor bahasa,
yaitu lokasi/tempat, para pelaku tuturan, dan faktor kedekatan antarpartisipan.

Tabel 2. Pemilihan Bahasa Dialek Hakata


Pemilihan Bahasa Lingkungan Sosial
Dialek Hakata Informal Keluarga, masyarakat (dengan
tetangga yang sudah dekat)
Dialek Hakata Formal Swalayan, sekolah
Kokugo ‘Bahasa Nasional’ Pendidikan, Perkantoran

Pemilihan bahasa berdasarkan latar belakang penutur, tempat, topik pembicaraan dan
sebagainya bertujuan untuk mewujudkan komunikasi yang baik dan lancar. Bila masing-
masing partisipan menyadari posisinya dalam bertutur, maka komunikasi pun berjalan dengan
baik. Pemilihan bahasa seorang murid terhadap guru/dosennya pasti berbeda bila tuturan
tersebut ditujukan terhadap sesama teman, begitu juga tuturan antara bawahan dan atasan atau
pelayan toko terhadap pelanggan. Bahasa yang digunakan dalam komunikasi keluarga dengan
partisipan anggota keluarga, akan memilih topik yang sesuai dengan hal-hal mengenai aktivitas
keluarga.

3. Gejala Sosial Bahasa

Pemakaian bahasa sebagai gejala sosial tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor
linguistik, tetapi juga ditentukan oleh faktor-faktor nonlinguistik berupa faktor-faktor sosial.
Faktor-faktor sosial sangat dipengaruhi oleh keadaan sosial masyarakat, misalnya: status sosial;
tingkat pendidikan; umur; tingkat ekonomi; jenis kelamin; dan sebagainya. Kabaya (2009:77)
mengungkapkan:
コミュニケーションをする時 に、コミュニケーション 主体 話し手、
書き手、聞き手、読み手)が(場面(人間関係, 場))のことを考える。

Komunikeeshon o suru toki ni, komunikeeshon shutai (hanashite, kakite,


kikite, yomite) ga (bamen (ningenkankei,ba)) no koto o kangaeru.
‘Ketika berkomunikasi, pelaku komunikasi (pembicara, penulis, pendengar,
pembaca) harus memperhatikan (latar (hubungan antarpelaku komunikasi dan
tempat dilakukannya komunikasi tersebut)) ‘.

Pelaku komunikasi menurut Kabaya meliputi pembicara, penulis, pendengar, dan pembaca.
Ketika melakukan proses komunikasi, para pelaku komunikasi harus memperhitungkan posisi
penutur (O1), mitra tutur (O2), dan orang yang menjadi pokok tuturannya (O3). Selain itu,
tempat tuturan dilakukan, tujuan tuturan, dan topik tuturan juga memengaruhi penggunaan
ragam bahasa. Peristiwa tutur yang melibatkan O1, O2, dan O3 dengan ragam bahasanya
sangat berkaitan dengan tingkat tutur bahasa.
Masyarakat tutur2 Jepang mengenal adanya keigo ‘bahasa hormat’. Keigo merupakan
variasi bahasa yang perbedaan-perbedaannya ditentukan oleh posisi penutur (O1) tentang
hubungannya dengan orang yang menjadi mitra tutur (O2) maupun orang yang menjadi pokok
tuturannya (O3). Relasi tersebut merupakan faktor-faktor luar bahasa (faktor nonlinguistik)
yang dapat memengaruhi penggunaan bahasa yang dipilih.
Dalam bahasa Jepang, bila O1 berbicara dengan O2/O3 yang posisinya lebih tinggi,
maka bahasa yang digunakan adalah sonkeigo dan ungkapan untuk menyatakan tentang
dirinya (O1) merupakan bahasa yang merendah kenjougo. Berikut merupakan hal-hal yang
harus dipertimbangkan dalam berkomunikasi.
1) Pertimbangan posisi mitra tutur dalam tataran hubungan sosialnya, misalnya
percakapan antara murid dan guru/dosen, bawahan dan atasan dalam suatu
perusahaan, pelayan toko dan pembeli, resepsionis dan tamu, anak dan orang tua,
istri terhadap suami.
2) Pertimbangan usia diantaranya usia mitra tutur di bawah atau di atas dari penutur.
3) Pertimbangan kedekatan; teman dalam kantor yang sama, kolega, orang yang
baru berkenalan.
4) Pertimbangan antara uchi-soto ‘dalam dan luar grup’. Dalam grup adalah
keberadaan orang-orang dekat dengan penutur seperti keluarga sendiri, orang
dalam perkantoran sendiri, sedangkan luar grup adalah keberadaan orang-orang di
luar lingkungan sendiri seperti keluarga orang lain, orang dari perusahaan lain.
Dalam bahasa Jepang, berbahasa hormat diwujudkan dalam pemakaian bahasa
berdasarkan faktor sosial seperti yang diungkapkan oleh Suzuki (1998:23):

敬語は、話し相手や、その場、状況、役割などによって変わってきます。年
齢、上司、先輩、親しさ、立場の違いによって使い分けていきます。 Keigo
wa, hanashiaite ya, sonoba, joukyou, yakuwari nado ni yotte kawatte kimasu.

2
Masyarakat tutur atau speech community, berbeda dengan istilah linguistic community. Semula kedua istilah itu
dianggap sama, yaitu merujuk kepada masyarakat pemakai bahasa. Sekarang kedua istilah itu berbeda, speech
community ‘masyarakat tutur’ tetap merujuk kepada masyarakat pemakai bahasa, sedangkan linguistic community
‘masyarakat linguistik’ merujuk kepada kelompok atau komunitas yang berprofesi sebagai ahli bahasa.
Nenrei, joushi, senpai, shitashisa, tachiba no chigai ni yotte tsukaiwakete
ikimasu.
‘Penggunaan keigo akan berubah berdasarkan mitra tutur, tempat, situasi,
jabatan dan lain-lain. Selain itu, keigo digunakan berdasarkan usia, posisi
sebagai atasan atau kakak angkatan, faktor kedekatan.’

Berbahasa merupakan wujud proses komunikasi. Proses komunikasi diartikan sebagai


perwujudan dari penyampaian pesan, pikiran, dan emosi komunikator (pemberi pesan) kepada
komunikan (penerima pesan). Terdapat dua bentuk komunikasi, yaitu komunikasi verbal dan
nonverbal. Komunikasi verbal dilakukan dengan menggunakan media bahasa yang
disampaikan secara lisan maupun tulisan, sedangkan komunikasi nonverbal dilakukan dengan
gerak-gerik, mimik, gestur tubuh, dan lain-lain. Komunikasi yang terjadi akan lebih dipahami
bila ada kolaborasi yang saling mendukung antara komunikasi verbal dan nonverbal. Bila
seseorang memberikan responss setuju dengan ucapan “ya” atau “setuju”, maka pernyataan
tersebut akan lebih dipahami bila diikuti dengan anggukan kepala. Sebaliknya, bila pernyataan
tidak setuju, maka akan lebih diyakinkan bila disertai komunikasi nonverbal dengan cara
menggelengkan kepala.
Dalam masyarakat tutur Jepang, komunikasi nonverbal ditunjukkan dengan sikap ojigi.
Ojigi adalah sikap menundukkan badan sebagai bentuk penghormatan ketika mengucapkan
salam, mengungkapkan permintaan, rasa terima kasih, atau permohonan maaf. Pada buku
Japanese Etiquette (YWCA, 1998:4-5) ada dua jenis ojigi yaitu ritsurei (立礼 ) dan zarei ( 座
礼 ). Ritsurei adalah ojigi yang dilakukan sambil berdiri. Sikap ojigi wanita dan pria berbeda.
Wanita Jepang melakukan ojigi dengan meletakkan tangan didepan badan sedang untuk pria
biasanya sambil menekan pantat untuk menjaga keseimbangan. Zarei adalah ojigi yang
dilakukan sambil duduk. Tingkat derajat menundukkan badan antara risturei dan zarei tidak
berbeda. Ojigi dilakukan bersamaan dengan komunikasi verbal dalam bentuk eshaku ( 会 釈 ),
keirei ( 敬 礼 ), dan saikeirei ( 最 敬 礼 ). Eshaku adalah ojigi yang dilakukan dengan
menundukkan badan sekitar 15ᵒ, keirei sekitar 30ᵒ, sedangkan saikeirei sekitar 45ᵒ.

Ucapan salam seperti ohayou gozaimasu ‘selamat pagi’, konnichi wa ‘selamat siang’,
konban wa ‘selamat malam’ diucapkan dengan posisi badan menunduk sekitar 15ᵒ. Ketika
mengucapkan terima kasih (arigatou gozaimasu) secara verbal akan disertai dengan
menundukkan badan sekitar 30ᵒ. Kedalaman saat menundukkan badan akan berbeda ketika
mengucapkan permohonan maaf. Gomennasai atau moushiwake gozaimasen merupakan
ungkapan permohonan maaf dalam bahasa Jepang yang diucapkan dengan cara menundukkan
badan dengan kedalaman sekitar 45ᵒ. Ungkapan yang memiliki makna lebih berat akan disertai
dengan sikap menunduk lebih dalam. Ungkapan berat dalam hal ini misalnya permohonan maaf
dari siswa terhadap guru/dosennya atau ucapan terima kasih karena permintaan seorang
karyawan yang dipenuhi oleh atasannya. Ilustrasi ojigi atau sikap menundukkan badan dapat
dilihat pada gambar berikut.

Saikeirei
Eshaku (15ᵒ) Keirei (30ᵒ)
(45ᵒ) untuk
untuk ucapan untuk ucapan
ucapan
salam terima kasih
permohonan
maaf

(Gambar diambil dari: https://www.fukainihon.org)

Gambar 1. Ilustrasi Ojigi ‘Sikap Menundukkan Badan’

Bila penutur memperhatikan bahasa yang digunakan dengan baik dan hormat tentu saja
komunikasi akan berjalan dengan baik. Pelaku tuturan akan selalu menjaga hubungan melalui
bahasa yang dikemukakan. Keigo ‘bahasa hormat’ merupakan salah satu ciri bahasa Jepang.
Dalam dunia bisnis, misalnya di perkantoran, swalayan, hotel, bahkan di salon kecantikan kata-
kata irasshaimase ‘selamat datang’, mata irasshatte kudasai ‘silakan datang lagi’, taihen
omataseshimashita ‘maaf telah membuat Anda menunggu’, doumo arigatou gozaimasu
‘terima kasih banyak’, dan sebagainya, merupakan bentuk kalimat/ungkapan hormat terhadap
konsumen. Contoh berikut adalah ungkapan salam (selamat pagi) dalam bahasa Jepang yang
memiliki variasi ungkapan:
- Ossu;
- Ohayou;
- Ohayougozaimasu.
Ossu tidak tepat diucapkan seorang murid terhadap guru/dosennya. Ossu bisa diucapkan
antarteman sebaya yang sudah dekat. Ungkapan salam ohayou gozaimasu lebih tepat diucapkan
murid terhadap guru/dosen dan guru/dosen bisa menjawab dengan ucapan ohayou. Dalam
bahasa Indonesia, ossu diterjemahkan ‘ya’, ohayou ‘pagi, dan ohayou gozaimasu ‘selamat
pagi’. Demikian juga pada ungkapan permohonan maaf berikut.
- gomen;
- gomenasai;
- moushiwakegozaimasen/Moushiwakearimasen.
Makin panjang ungkapan, maka akan terasa semakin santun. Pada tiga ungkapan di atas,
moushiwakegozaimasen/moushiwakearimasen memiliki kesantunan yang lebih daripada dua
ungkapan lainnya. Gomen merupakan permohonan maaf antarteman atau orang yang sudah
dekat, gomenasai permohonan maaf yang lebih sopan dari gomen diutarakan kepada orang
yang usianya di atas penutur, sedangkan ungkapan moushiwake gozaimasen/moushiwake
arimasen diutarakan ketika seseorang merasa sangat bersalah terhadap orang yang memiliki
posisi di atas penutur misalnya terhadap pimpinan, guru/dosen, atau terhadap seniornya.
Selain ungkapan-ungkapan tersebut, masih banyak ungkapan yang digunakan dalam
bentuk keigo ‘bahasa hormat’, misalnya:

(1) 先生は 学生 にお話になります。


Sensei wa gakusei ni ohanashi ni narimasu.
‘Guru/dosen berbicara kepada siswa.’

Sonkeigo (bahasa untuk menghormati orang lain dengan cara meninggikan perbuatan
/keadaan (O2/O3) pada kalimat di atas, ditandai dengan pemakaian kata ohanashi ni narimasu
‘berbicara’. Verba ohanashi ni narimasu memiliki padanan kata dalam bentuk futsuukei
‘bentuk biasa’ adalah hanasu ‘berbicara’ (atau disebut juga kata bentuk kamus3). Kata kerja
bentuk futsuukei hanasu bila diubah menjadi bentuk sonkeigo dengan pola prefiks O-
+Vrenyoukei4+ni narimasu akan berubah menjadi ohanashi ni narimasu. Futsuukei ‘bentuk
biasa’ merupakan bahasa yang digunakan terhadap orang yang hubungannya sudah dekat,
misalnya; teman, adik, keluarga, atau orang yang usianya di bawah penutur.
Bila bentuk sonkeigo digunakan untuk menghormati O2 dan O3, kenjougo digunakan
untuk menghormati mitra tutur atau orang yang menjadi pokok pembicaraan dengan cara
merendah. Merendah dalam hal ini mengacu pada perbuatan/keadaan pelaku.

(2) 学生 は先生にお話します。
Gakusei wa sensei ni ohanashi shimasu.
‘Siswa berbicara pada guru/dosen’.

3
Bentuk kamus dalam hal ini merujuk pada kata kerja yang tertulis dalam kamus bahasa Jepang. Kata kerja
bentuk kamus, merupakan kata kerja bentuk dasar yang belum mengalami perubahan secara morfologi.
4
Renyoukei adalah perubahan bentuk verba misalnya ke dalam bentuk masu (penanda teineigo). Contoh verba
hanasu memiliki bentuk masu, hanashimasu. Untuk mengubah verba hanasu ke verba sonkeigo salah satunya
dengan menggunakan pola O+Vrenyoukei+ni narimasu.
Kenjougo dalam kalimat di atas ditandai dengan pemakaian verba ohanashi shimasu. Verba
tersebut memiliki padanan kata dalam verba futsuukei yaitu hanasu ‘berbicara’. Prefiks O-
+Vrenyoukei+shimasu merupakan pola pembentukan kenjougo. Dalam kalimat tersebut,
siswa tentu saja lebih tepat mengunakan bentuk merendah (kenjougo) dengan tujuan untuk
menghormati guru/dosennya, keluarga, (misalnya antara anak dan orang tua, istri dan suami,
cucu kepada nenek/kakek). Tingkat tutur bahasa Jepang dapat digunakan dalam:
1) Pendidikan (sekolah, universitas), misalnya antara siswa dan guru/dosen,
guru/dosen dan kepala sekolah, mahasiswa dan dosen.
2) Masyarakat, misalnya antartetangga, masyarakat dan pamong desa.
3) Perkantoran/perusahaan, misalnya antara bawahan dan atasan;
4) Komunikasi antara penutur dan mitra tutur yang belum saling kenal.
Izumi (2011;48) mengungkapkan bahwa dalam bahasa Jepang tingkatan bahasa terdiri atas,
bahasa hormat dan bahasa biasa (plain form). Bahasa hormat yang dimaksud adalah keigo
yang dipisahkan dari bentuk bahasa biasa. Keigo terbagi lagi menjadi sonkeigo, kenjougo,
bikago dan teineigo (Kabaya, 2009, Kaneko, 2010).
Seorang penutur akan menggunakan bentuk keigo ketika tuturannya bertujuan untuk
menghormati mitra tutur atau orang yang menjadi pokok pembicaraan. Keigo merupakan salah
satu tingkat tutur dalam bahasa Jepang, tetapi pada level bahasa hormatnya saja, tidak termasuk
futsuukei ‘bahasa biasa’. Dari tingkat tutur bahasa Jepang dapat diketahui penggunaan ragam
bahasa yang dipengaruhi oleh keadaan masyarakat tuturnya baik dari segi sistem budaya
maupun strata sosialnya.
PERTEMUAN II
PENELITIAN SOSIOLINGUISTIK

Oleh: Sailal Arimi, S.S., M.Hum

Pada dasarnya, kajian sosiolinguistik ingin memperoleh pemahaman terhadap objek


bahasa yang dikaitkan dengan aspek nonbahasa, di samping mengkonfirmasi proposisi bahwa
bahasa memiliki variasi-variasi. Namun demikian, sejumlah keuntungan lain dapat
dikemukakan sesuai dengan objek kajian yang dipecahkan. Sekadar contoh, peneliti dapat
menggambarkan realitas bahasa yang kompleks dalam masyarakat, dapat menunjukkan
hubungan kausalitas antarvariabel, atau dapat mencarikan generalisasi atau kekhasan
pemakaian bahasa dalam masyarakat. Secara praktis, agaknya penelitian sejenis dapat
menemukan sumber terjadinya kedamaian atau konflik yang disebabkan oleh pemakaian
bahasa, dapat menjelaskan tren-tren sosial seperti media, politik, militer, transportasi, hiburan
dan sebagainya yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh bahasa tertentu. Bahkan, peneliti
dapat menyumbangkan hasil penelitiannya terhadap upaya untuk mengembangkan atau
mengujikan teori dan metode sosiolinguistik itu sendiri.
1. Metode Penyediaan Data Sosiolinguistik
Sebagaimana dikemukakan di awal, objek kajian bisa diteliti berdasarkan tiga langkah-
langkah yang penting, yaitu langkah penyediaan data, langkah analisis data, dan langkah
penyajian hasil analisis. Ada prinsip yang wajib diingat dalam konteks penelitian
sosiolinguistik, yaitu bahwa aspek luar bahasa sangat signifikan menjelaskan atau dijelaskan
oleh bahasa itu sendiri. Artinya, konsep dasar kajian sosiolinguistik adalah konsep korelasi.
Yang dilakukan peneliti di bidang ini adalah mengkorelasikan bahasa dengan aspek sosial
(baca sosial budaya masyarakat).
Pertama-tama, seorang peneliti dalam bidang sosiolinguistik harus dapat membedakan
bahasa sebagaimana adanya (deskriptif) dan bahasa sebagaimana seharusnya (preskriptif atau
sering pula disebut normatif). Dalam studi sosiolinguistik jelas bahwa bahasa harus diteliti
sebagaimana adanya, oleh karena itu bahan atau data linguistik yang diperoleh harus bersifat
alamiah (naturally occuring language), tidak boleh dibuat-buat (contrived). Pengertian data
bahasa yang alamiah ini nyata adanya (real), sekalipun ia dapat dibangkitkan oleh si peneliti
tetapi data itu harus dapat diujikan kepada penutur asli lainnya. Walaupun data dapat
dibangkitkan peneliti, data bahasa yang diperoleh perlu diselaraskan dengan pemakaian bahasa
oarng lain dalam masyarakat bahasa yang sama agar datanya sahih.
Kedua, seorang peneliti harus mampu menyediakan data sesuai dengan objek dan masalah
penelitiannya. Kalau peneliti ingin mengamati pemakaian bentuk ringkas dari /begitu saja kok
repot/ tentunya ia tidak akan menunggu kapan informan memakai tuturan tersebut, tetapi
peneliti akan mengajukan pertanyaan langsung kepada informan.
Di sisi lain, ketika peneliti ingin meneliti pemakaian campur kode misalnya, ia akan
mengamati pemakaian bahasa seseorang atau lebih dalam sejumlah percakapan. Si peneliti
dalam hal ini tidak dapat mengajukan pertanyaan kata apa yang Anda campurkan jika Anda
mengucapkan tuturan seperti ini atau seperti itu. Ilustrasi semacam ini memberi gambaran
ringkas bagaimana menyediakan data sesuai dengan objeknya.
Pada prinsipnya melihat sifat dapat seperti diilustrasikan di atas, ada dua macam
metode penyediaan data yang paling dikenal. Kedua metode penyediaan data ini dikenal tidak
hanya dalam literatur ilmu bahasa tetapi juga dalam ilmu sosial, yaitu metode observasi dan
metode wawancara (lih. Chaika, 1982: 23-25; Kartomiharjo, 1988: 17-19); Spolsky, 2003: 9-
12) . Metode observasi (dalam literatur metodologi penelitian linguistik di Indonesia) disebut
metode simak, sedangkan metode wawancara disebut metode cakap (lih. Sudaryanto, 1993).
Metode observasi adalah metode penelitian yang dilakukan dengan cara mengamati objek
kajian dalam konteksnya. Misalnya, seorang peneliti sedang meneliti pemakaian peribahasa,
maka ia harus mengumpulkan peribahasa itu bersama dengan teks-teks lain yang menyertainya,
para pemakai peribahasa itu, dan juga unsur-unsur nonverbal lain yang melatarinya, termasuk
unsur prakondisi atau aspek sosial dan budaya. Kemungkinan cara pengamatan berdasarkan
metode observasi ini bisa murni secara tekstual bisa pula secara kontekstual. Dikatakan murni
secara tekstual artinya bahwa si peneliti hanya mengamati teks tanpa melihat kehadiran
penuturnya. Misalnya, peneliti mengamati pemakaian peribahasa dalam lagu, cerpen, novel,
komik, dan media lainnya. Namun karena teks tersebut menggunakan bahasa yang dipahami
si peneliti maka maka peneliti seyogyanya mampu menghadirkan kembali konteks sosial
budaya yang bersifat bawaan dari bahasa itu. Sebaliknya dikatakan secara kontekstual berarti
bahwa peneliti mengamati teks lengkap dengan konteks ketika bahasa itu dipakai.
Pemakaian metode observasi dengan bahan teks sebagai acuan disebut penelitian kepustakaan
(library research), sedangkan metode observasi dengan bahan teks dengan konteks yang lebih
luas disebut penelitian lapangan (field research).
Dari pemilihan bahan ini jelas disebutkan bahwa bahan menentukan jenis penelitian.
Secara umum dipahami bahwa penelitian lapangan dipandang lebih meyakinkan daripada
penelitian kepustakaan. Pandangan ini cukup beralasan karena penelitian kepustakaan yang
bersumber dari teks hasil karya manusia atau hasil salinan diasumsikan tidak seobjektif
penelitian lapangan yang bersumber langsung pada interaksi penutur bahasa pada konteks
pemakaiannya. Karena sifat bahan penelitian ini pula dikenal bahwa penelitian kepustakaan
sebagai penelitian sekunder, sedangkan penelitian lapangan sebagai penelitian primer.
Dalam praktik pelaksanaan observasi ini, peneliti bisa melakukan pengamatan dengan cara
terlibat langsung, dan bisa pula dengan cara tidak terlibat langsung. Observasi terlibat langsung
ini sering dinamai metode observasi partisipasi atau metode observasi berperan serta,
sedangkan observasi tidak terlibat langsung dikenal pula sebagai metode observasi
nonpartisipasi atau metode observasi tidak berperan serta. Nama-nama metode ini lazim
dipakai dalam literatur metodologi penelitian sosiolinguistik (Chaika, 1982: 23) dan ilmu sosial
lainnya ( Nasution, 2004: 106-113). Perlu diberi catatan bahwa Sudaryanto (1993: 133-134)
menamakan metode observasi partisipasi sebagai teknik simak libat cakap, sedangkan metode
observasi nonpartipasi sebagai teknik simak bebas libat cakap.
Ada perbedaan yang menyolok antara metode observasi partisipasi dengan
nonpartisipasi. Dengan cara partisipasi, peneliti mengamati objek sekaligus terlibat dalam
interaksi dengan penutur lain. Sebaliknya, dengan cara nonpartisipasi, peneliti memang
mengamati objek tetapi tidak terlibat dalam interaksi dengan penutur lain. Dalam konteks
terakhir ini, peneliti betul-betul hanya mengamati. Sebagai contoh, ketika seorang peneliti
ingin menyelidiki bentuk teriakan suporter bola voli maka dia bisa melakukannya tanpa terlibat
langsung sebagai pemain voli. Ia bisa saja berdiri atau duduk manis sebagai penonton dan
mengamati teriakan-teriakan yang muncul dari para pendukung olahraga tersebut. Sebaliknya
jika si peneliti ingin menyelidiki bentuk teriakan para pemain bola voli tersebut sebaiknya ia
terlibat langsung menjadi pemain, artinya ia menggunakan metode observasi partisipasi karena
dengan menjadi pemain kemungkinan ia menerima atau melontarkan teriakan. Keuntungan
lainnya ia dapat merasakan emosi antarpemain tanpa teman-temannya mengetahui bahwa ia
sedang meneliti. Agar semua situasi dan peristiwa tutur yang teramati ini bisa diingat maka
peneliti perlu memikirkan bagaimana semua teks dan konteks itu bisa didokumentasikan. Ia
bisa saja memilih teknik rekaman dengan memakai alat perekam atau memilih teknik catat
dengan memakai catatan tentu saja teknik terakhir ini dikerjakan setelah pertandingan usai.
Selain metode observasi, metode kedua yang paling dikenal adalah metode wawancara
(interview method). Penamaan metode wawancara ini jauh lebih umum daripada metode
konsultatif seperti dijumpai dalam ensiklopedi bahasa dan linguistik karya Asher (1994: 3256),
atau metode cakap seperti yang dikemukakan dalam buku metode penelitian linguistik karya
Sudaryanto (1993).
Dari beberapa jenis metode wawancara yang terdapat dalam literatur ilmu sosial ,
satu jenis metode wawancara yang sering diacu dalam penelitian sosiolinguistik adalah metode
wawancara yang direncanakan secara terstruktur atau tidak terstruktur. Berdasarkan cara ini
pula, metode wawancara dibagi atas dua klasifikasi, yaitu metode wawancara terstruktur
(structured interview) dan metode wawancara tidak terstruktur (unstructured interview).
Metode wawancara jenis pertama menyangkut pada persiapan peneliti untuk menyusun daftar
pertanyaan kepada informan. Biasanya peneliti membuat sejumlah pertanyaan berdasarkan
rumusan masalah yang akan dipecahkan. Dengan data yang tersedia peneliti akan menganalisis
pemecahan masalah tersebut. Metode wawancara jenis kedua, peneliti justru mempersiapkan
pertanyaan pokok saja. Ketika wawancara berlangsung, informan akan memberi jawaban
pertama dan dengan jawaban pertama itu peneliti akan memperjelas jawaban itu dengan
mengajukan pertanyaan yang sifatnya lebih mendalam, begitu seterusnya secara beruntun.
Apabila dipandang sudah jelas, peneliti akan beralih pada pertanyaan dengan pokok bahasan
yang lain. Untuk mendapatkan data yang lengkap, peneliti bisa menggunakan teknik elisitasi
(Spolsky, 2003: 9), yaitu satu strategi untuk memancing atau mengarahkan informan dalam
memberi informasi yang sebenarnya. Sistem wawancara tidak terstruktur ini seringkali
disamakan pengertiannya dengan metode wawancara mendalam (indept interwiewing
method).
Kadang-kadang metode wawancara terstruktur disamakan dengan metode angket atau
metode kuesioner karena menggunakan daftar pertanyaan. Sebenarnya keduanya sangat
berbeda. Berdasarkan perkembangan kajian metodologi, antara metode wawancara dan metode
angket ini sudah seharusnya dipisahkan dan dipandang sebagai metode sendiri-sendiri.
Lazimnya metode angket ini dipergunakan untuk mendapatkan poling suara atau mendapatkan
penjelasan dari responden. Secara sederhana dapat didefinisikan bahwa metode angket adalah
metode penyediaan data dengan mengajukan sejumlah pertanyaan kepada responden dengan
atau tanpa bertatap muka secara langsung. Peneliti bahkan bisa saja tidak mengenali para
respondennya. Responden dibedakan dengan informan berkaitan dengan jenis metodenya.
Pemberi informasi secara tertulis semacam ini disebut responden, tetapi pemberi informasi
secara lisan dan bertatap muka secara langsung dengan penelitinya disebut informan.
Penelitian yang menggunakan angket pada hakikatnya adalah penelitian dengan jumlah sampel
yang relatif besar. Berbeda dengan metode wawancara, metode angket lebih lama waktu
pelaksanaannya. Kadang-kadang angket yang diberikan dengan cara dikirim via pos tidak
sampai ke tangan peneliti. Oleh karena itu, ada spekulasi. Untuk mengatasinya peneliti harus
mempersiapkan sejumlah besar orang yang akan diberikan angket berdasarkan metode
pengambilan sampel.
Teknik penyusunan angket bergantung pada jawaban apa yang ingin diperoleh. Jika
peneliti menginginkan jawaban kuantitatif berupa penghitungan jumlah pendapat atau perilaku
maka si peneliti membuat pertanyaan yang jawabannya bergradasi, misalnya pada pertanyaan
”apakah bentuk sapaan X menurut Anda sangat santun?, pilihan jawabannya bisa berupa (i)
sangat setuju, (ii) setuju, (iii) ragu-ragu, (iv) tidak setuju, dan (v) sangat tidak setuju. Dengan
pertanyaan yang sama, pilihan jawabannya bisa pula diberikan sebagai berikut: (i) ya, (ii)
netral, (iii) tidak. Namun demikian, jika peneliti menginginkan jawaban kualitatif berupa
penjelasan makan si peneliti perlu membuat pertanyaan yang sifatnya esei. Misalnya, mengapa
Anda menggunakan sapaan X?, dengan pertanyaan ini responden akan menjawab alasan-
alasannya.
Untuk menyamakan persepsi terhadap masalah yang akan dipecahkan tim peneliti
secara bersama-sama menyelenggarakan diskusi kelompok secara terfokus atau sering disebut
teknik focus group discussion. Hasil sekelompok orang ini baru agaknya dapat dipandang
sebagai bahan kajian sosiolinguistik, yaitu suatu kajian bahasa yang melibatkan sekelompok
orang dalam satu masyarakat tutur (speech community).
Seperti dikemukakan di awal, metode penyediaan data ini pada prinsipnya dipilih
berdasarkan sifat datanya. Metode observasi, metode wawancara, metode angket, dan metode
intuisi adalah metode penyediaan data yang memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-
masing. Jika Anda ingin meneliti ’pemakaian bahasa pada waktu bercinta’ agaknya
mengandalkan metode observasi akan mengalami kegagalan, mungkin metode wawancara atau
metode angket bisa berhasil tetapi dapat diprediksi bahwa informan atau responden agaknya
tidak akan membuka habis rahasia kehidupan pribadinya. Agaknya metode intuisi justru akan
lebih berhasil karena itikad peneliti atau tim peneliti untuk mengungkap objek kajian ini cukup
tinggi sehingga mereka mampu membuka tabir teks dan konteks objek kajian yang dimaksud.

2. Metode Analisis Data


Setelah data diperoleh, tugas peneliti selanjutnya adalah menganalisis data tersebut.
Langkah analisis data ini adalah langkah terpenting untuk mendapatkan jawaban dari masalah
yang ingin dipecahkan. Sebelum dijelaskan jenis-jenis metode analisis perlu dikemukakan
pemahaman dasar dari studi sosiolinguistik mengenai teks sebagai objek kajian yang bersifat
verbal, ko-teks sebagai lingkungan teks yang bersifat verbal, dan konteks sebagai unsur
nonteks yang bersifat nonverbal, yaitu menyangkut konteks situasi dan konteks sosial dan
budaya.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik satu simpulan bahwa studi
sosiolinguistik melihat objek kajiannya tidak pernah terpisah dari teks lain dan konteks dalam
pengertian lebih luas. Artinya objek kajian harus ada pada pemakaian termasuk variasinya
(uses), pemakainya (users) yang berkaitan dengan informasi umur, jenis kelamin, latar
belakang etnik, pendidikan, dan pekerjaan, serta pada ciri interaksi verbal tersebut seperti
situasi tuturan, peristiwa, lokasi, topik, hubungan antarpenutur, bagaimana tuturan
disampaikan, dsb. Bahasa tidak hanya dipandang sebagai tuturan verbal (ko-teks), tetapi juga
dipandang sebagai unsur nonverbal.
Pemakaian sapaan terhadap seseorang niscaya berbeda-beda berdasarkan substitusi
konteks situasinya. Seseorang disapa dengan nama kecil, nama keluarga, atau dengan gelar,
dengan pangkat atau jabatan sudah galibnya ditentukan oleh konteks situasi tempat peristiwa
tutur itu berlangsung. Variasi sapaan ini muncul, padahal, untuk referen (orang) yang sama. Di
samping itu, substitusi pemakai bahasa misalnya si A dengan si B akan berakibat perbedaan
pilihan kode bahasanya walaupun untuk maksud yang sama. Demikian pula, contoh lain yang
memunculkan variasi karena substitusi unsur bahasanya, seperti dalam kasus campur kode atau
interferensi. Seorang peneliti dapat menarik variasi standar dari tuturan bercampur kode atau
berinterferensi itu. Dengan cara mengganti satuan bahasa yang terdapat dalam tuturan itulah
peneliti dapat menyimpulkan bahwa bentuk tuturan bercampur kode atau varian dari bentuk
Lainnya.
PERTEMUAN III
KEIGO
Oleh: Dr. Ely Triasih Rahayu, S.S., M.Hum

Pada umumnya, masing-masing bahasa di dunia memiliki cara-cara tertentu untuk


menunjukkan sikap hubungan penutur (O1) terhadap mitra tutur (O2) bahkan terhadap orang
yang menjadi pokok pembicaraan (O3). Hubungan yang dimaksud dalam hal ini adalah
hubungan berdasarkan perbedaan tingkat sosial. Perbedaan tingkat sosial dapat disebabkan
perbedaan ekonomi, strata, kekerabatan, usia, jenis kelamin, dan sebagainya.
Dalam pemakaian bahasa yang didasarkan faktor-faktor status sosial, ada golongan
masyarakat tertentu yang perlu dihormati dan ada golongan masyarakat lain yang dihadapi
secara biasa. Faktor yang menyebabkan perbedaan tingkat sosial itu berbeda-beda antara
masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain, ada yang karena kondisi tubuh, kekuatan
ekonomi, kekuatan politis, aluran kekerabatan, perbedaan usia, jenis kelamin, kekuatan magis,
kekhususan kondisi psikis, dan sebagainya (Suwito, 1985:6).
Keigo ’bahasa hormat’ merupakan ragam bahasa yang sangat memerhatikan
penggunaan bahasa berdasarkan hubungan penutur (O1), mitra tutur (O2), dan orang yang
menjadi pokok pembicaraan (O3). Berkaitan dengan makna keigo, Suzuki (1998:23)
menyatakan:

敬語は、話す相手や、その場、状況、役割などによって変わってきます。
年齢、上司、先輩、親しさ、立場の違いによって使い分け ていきます。
Keigo wa, hanasu aite ya,sonoba, joukyou, yakuwari, nado ni yotte
kawattekimasu. Nenrei, joshi, senpai, shitashisa, tachiba no chigai ni yotte
tsukaiwaketeikimasu.
‘Bahasa hormat digunakan berdasarkan posisi mitra tutur, setting, suasana,
dan jabatan. Selain itu penggunaannya juga berdasarkan usia, atasan, senior,
dan tempat.’

Bila pelaku tindak tutur memahami cara bertutur kata yang baik dan benar, maka komunikasi
dapat berjalan dengan baik. Sebaliknya bila seseorang tidak memahami cara bertutur kata yang
baik dan benar dalam berkomunikasi, maka komunikasi pun berjalan tidak baik. Di bawah ini
ungkapan yang benar dan salah dalam komunikasi di perkantoran/tempat kerja (Suzuki,
1998:14).

Tabel 3. Contoh Ungkapan yang Benar atau Salah


di Lingkungan Perkantoran
Ungkapan yang Benar Ungkapan yang Salah
ohayougozaimasu ohayou
selamat pagi pagi
kore de yoroshiidesuka koredeiino
apakah seperti ini? gini?
itte kimasu ittekuruyo
itte mairimasu pergi ya
pergi dulu
motte kimashita mottekita
mottemairimashita bawakan
omochishimashita
membawakan (membawakan
barang)
sumimasen waruindakedo
moshiwakegozaimasen gomen
mohon maaf maaf

Kolom “contoh ungkapan yang salah” merupakan ungkapan bahasa nonformal yang tidak tepat
bila diucapkan di tempat formal seperti kantor (dalam melakukan komunikasi resmi).
Ungkapan yang salah tersebut juga tidak tepat bila diucapkan kepada atasan. Bila ada seorang
karyawan yang mengucapkan ungkapan yang salah kepada atasan, pasti orang tersebut
dianggap tidak sopan atau tidak menghormati atasannya. Ungkapan tersebut merupakan bentuk
futsuukei ‘bahasa biasa’ yang akan tepat bila diucapkan antarteman atau terhadap mitra tutur
yang usianya di bawah penutur. Percakapan tersebut dilakukan di tempat nonformal seperti
kissaten ‘kedai/warung minuman’ atau di tempat hiburan.
Keigo ‘bahasa hormat’ dibagi menjadi tiga yaitu sonkeigo ‘bahasa hormat’, kenjougo
‘bahasa merendah’, teineigo ‘bahasa sopan’. Penjelasan masing masing tingkat tutur bahasa
tersebut akan diuraikan sebagai berikut.
1. Sonkeigo
Pada dasarnya sonkeigo adalah bahasa yang digunakan untuk menghormati orang lain
(mitra tutur atau orang yang menjadi pokok pembicaraan) (Kikuchi, 1998; Kabaya, 2009;
Kabaya, 2010). Suzuki (1998:23) menyatakan bahwa sonkeigo adalah:
尊敬語は、上役の人、上司、先輩、初対面の人、年齢の上の人、お客様に
対して、その動作や状態などに、敬意を表す言葉づかいです。Sonkeigo wa,
jouyakunohito, joushi, senpai, shotaimennohito, nenreinouenohito,
okyakusama ni taishite, sonodousa ya joutai nado ni, keii o arawasu
kotobazukai desu. ‘Sonkeigo adalah bahasa hormat untuk mengungkapkan rasa
hormat terhadap orang yang mempunyai posisi lebih tinggi, terhadap atasan,
senior, orang yang pertama kali bertemu, dan terhadap pelanggan.’
Berdasarkan pengertian sonkeigo ‘bahasa untuk meninggikan orang lain’ di atas,
jelaslah bahwa hal yang terpenting dalam pengungkapan bahasa hormat adalah kesadaran
penutur sebagai O1 akan posisinya terhadap mitra tutur/O2 atau dapat juga terhadap orang yang
menjadi pokok pembicaraan/O3.
Tingkat formalitas hubungan perseorangan antara O1, O2, maupun O3 berdasarkan
status sosial yang dimiliki O2/O3 akan menentukan pilihan kata O1 dalam ungkapan bahasa
hormatnya seperti bagan berikut.
Orang kedua

A B

Orang pertama orang kedua


(Bunkachou,1985:25)
Bagan 1. Sonkeigo 1
Orang ketiga
(Orang yang menjadi pokok pembicaraan)

A B

Orang pertama Orang kedua


Bagan 2. Sonkeigo 2 (Bunkachou,1985:25)
Bagan sonkeigo 1 menunjukkan bahwa penutur (orang pertama/O1) menggunakan
ungkapan bentuk sonkeigo kepada mitra tutur (orang kedua/O2), sedangkan pada bagan
sonkeigo 2 penutur menggunakan sonkeigo untuk meninggikan perbuatan/keadaan orang
ketiga (O3) sebagai pokok pembicaraan saat melakukan tindak tutur dengan mitra tutur (O2).
Ada aturan atau norma yang secara objektif harus dipatuhi masyarakat dalam
menentukan apakah status orang tertentu dianggap tinggi atau tidak, apakah hubungan
dianggap resmi atau tidak. Ada kalanya terdapat perbedaan pandangan dalam menentukan hal
ini, misalnya ada yang menganggap hubungan antara murid dan guru/dosen adalah
resmi/formal, tetapi ada juga yang menganggap hubungan tersebut tidak resmi/tidak formal.
Lain halnya pada tempat kerja, orang akan dianggap tidak sopan bila bahasa yang digunakan
terhadap atasannya adalah futsuukei seperti bahasa yang digunakan terhadap teman yang sudah
dekat atau terhadap orang yang usianya di bawah mereka.

Dimensi Leksikal sebagai Penanda Sonkeigo

Penanda leksikal sonkeigo memiliki jumlah yang terbatas (Kikuchi, 1996:2;


Suzuki,1998:28; Kaneko, 2010:168; Kabaya, 2010:18-19;). Penanda leksikal sonkeigo
menurut Kikuchi dalam bukunya Keigonyuumon (1996:23) disajikan pada tabel berikut.

Tabel 4. Leksikal Penanda Sonkeigo


Jishokei Sonkeigo Terjemahan

suru asaru Melakukan


kureru kudasaru menerima
iu ossharu berkata
kuru・iku・iru irassharu datang ・ pergi ・
ada
miru goran ni naru melihat

taberu・nomu meshiagaru makan・minum


shitteiru gozonji tahu

Tabel di atas menunjukkan ada beberapa kosakata dalam sonkeigo yang mempunyai padanan
kata lebih dari satu bahkan dua pada bentuk futsuukei. Perbedaannya akan terlihat berdasarkan
konteks kalimat. Kabaya (2010,6) mengkaji penanda leksikal sonkeigo sebagai berikut.
Kata-kata berikut merupakan bahasa hormat untuk meninggikan perbuatan/tindakan
mitra tutur/orang yang menjadi pokok pembicaraan.

meninggikan perbuatan orang lain


ossharu iu/ hanasu
= + (yaitu berkata.berbicara)

irassharu iku / kuru/


= + meninggikan perbuatan orang lain
iru

Kata ossharu ‘berkata/berbicara’ memiliki dua padanan kata dalam bentuk futsuukei
yaitu kata iu ‘berkata’ dan hanasu ‘berbicara’. Kata ossharu tersebut merupakan kata hormat
yang bertujuan untuk meninggikan perbuatan dari orang yang dihormati. Kata irassharu
memiliki tiga padanan kata dalam futsuukei; iku ‘pergi’, kuru ‘datang’, iru ‘ada’. Kata
irassharu dapat dibedakan berdasarkan konteks kalimat seperti contoh kalimat berikut.

(3) 田中さん は バスで 会社 へ いらっしゃいます。


Tanaka san wa basu de kaisha e irasshaimasu.
‘Bapak Tanaka naik bis pergi ke kantor.’

(4) 田中さんはバスで会社 にいらっしゃいます。


Tanaka san wa basu de kaisha ni irasshaimasu.
‘Bapak Tanaka naik bis datang ke kantor.’

Bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, dua kalimat tersebut mempunyai verba
yang berbeda. Irasshaimasu dalam bahasa Indonesia bisa diartikan dengan pergi dan datang.
Penerjemahan pergi/datang ditandai dengan partikel e dan ni yang sama-sama diterjemahkan
“ke”. Partikel e merujuk pada verba pergi, sedangkan partikel ni merujuk pada verba datang.
Kata irasshaimasu yang berarti ada dapat ditunjukkan dengan konteks kalimat berikut.

(5) 田中さん は会社 に いらっしゃいます。


Tanaka san wa kaisha ni irasshaimasu.
‘Bapak Tanaka ada di kantor.’
Penggunaan partikel ni pada ungkapan kaisha ni irasshaimasu ‘ada di kantor’, selain
dapat merujuk verba datang, juga dapat merujuk verba ada. Akan tetapi perbedaannya adalah,
verba datang diikuti kata transportasi, sehingga kalimat tersebut tidak dapat diterjemahkan
dengan verba ada. Pembedaan yang jelas terlihat juga pada leksikal meshiagaru (makan).
Kabaya (2010,18-19) mengkaji leksikal sonkeigo sebagai berikut.

meninggikan perbuatan
meshiagaru = taberu/nomu + + yang dilakukan oleh
(makan/minum)
pelaku

Untuk membedakan leksikal meshiagaru yang berarti taberu ‘makan’ atau nomu ‘minum’,
dapat dilihat dari contoh kalimat berikut (kalimat dalam bentuk -masu).

(6) 田中 さんは パン を召し上がります。


Tanaka san wa pan o meshiagarimasu.
‘Bapak Tanaka makan roti.’
(7) 田中さんはコーヒー を召し上がります。
Tanaka san wa koohii o meshiagarimasu.
‘Sdr. Tanaka minum kopi’.

Leksikal meshiagarimasu (meshiagaru) sebagai penanda sonkeigo diterjemahkan


‘makan’ bila diikuti oleh objekyang sesuai dengan verba makan (roti, nasi, sayur), dan akan
diterjemahkan menjadi kata “minum” bila diikuti oleh objekyang merujuk pada kata minum
(kopi, susu). Kosakata terakhir yang dikaji oleh Kabaya (2010:19) adalah kata goran ni naru.

meninggikan
goran ni naru miru perbuatan/tindakan (yaitu
= + melihat) yang dilakukan
pelaku
Dimensi Morfologis sebagai Penanda Sonkeigo

Penanda morfologis bentuk sonkeigo menggunakan pola -rareru dan o/go +


Vrenyoukei + ni naru. Perubahan dari pola bentuk masu berdasarkan kelompok verba dapat
dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5. Perubahan dari Verba Bentuk Masu ke Pola -rareru


Verba Bentuk Masu Verba Pola Terjemahan
kikimasu kikaremasu mendengarkan
isogimasu isogaremasu terburu-buru
yomimasu yomaremasu membaca
yobimasu yobaremasu memanggil
kaerimasu kaeraremasu pulang
kaimasu kawaremasu Bertemu
machimasu mataremasu menunggu
hanashimasu hanasaremasu berbicara
kangaemasu kangaeraremasu berpikir
mukaemasu mukaeraremasu menjemput
karimasu kariraremasu meminjam
kimasu koraremasu datang
shimasu saremasu melakukan

Penggunaan pola ini sebagai penanda bentuk sonkeigo terdapat pada kalimat berikut.

(8) 先生 は 辞書を 買われます。 。

Sensei wa jisho okawaremasu.


‘Pak guru/dosen akan membeli kamus.’

Pola -rareru pada verba kawaremasu ‘membeli’ merupakan perubahan dari verba kaimasu.
Verba tersebut digunakan untuk menghormati sensei ‘guru/dosen’ dengan cara meninggikan
perbuatan yang dilakukan sensei ‘guru/dosen’ melalui verba kau. Pola sebagai penanda
sonkeigo ini dapat diubah ke dalam pola o/go +Vrenyoukei + ni naru dengan tujuan yang sama
yaitu untuk menghormati mitra tutur maupun orang yang menjadi pokok pembicaraan. Jadi,
bila kalimat di atas diubah ke pola o/go+ Vrenyoukei + ni naru akan menjadi.
(9) 先生 は 辞書をお買いになります。 。

Sensei wa jisho o okaininarimasu.


‘Pak guru/dosen membeli kamus.’

Pola sonkeigo -rareru dan o/go + Vrenyoukei + ni naru berlaku bagi verba tertentu. Untuk
verba yang sudah memiliki perubahan dalam bentuk leksikal (yang sudah memiliki kosa kata
tersendiri dalam bentuk sonkeigo) tidak dapat diubah ke bentuk -rareru dan o/go + Vrenyoukei
+ ni naru. Perubahan verba ke dalam pola o/go + Vrenyoukei + ni naru dari verba bentuk masu
dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 6. Perubahan dari Verba Bentuk Masu ke


Pola o/go +Vrenyoukei+ ni naru
Verba Bentuk Masu Verba Bentuk o/go Vrenyoukei Terjemahan
ni naru
Kikimasu okiki ni narimasu mendengarkan
isogimasu oisogi ni narimasu terburu-buru
yomimasu oyomi ni narimasu membaca
yobimasu oyobi ni narimasu memanggil
kaerimasu okaeri ni narimasu pulang
Kaimasu okai ni narimasu bertemu
machimasu omachi ni narimasu menunggu
hanashimasu ohanashi ni narimasu berbicara
kangaemasu okangae ni narimasu berpikir
mukaemasu omukae ni narimasu menjemput
karimasu okari ni narimasu meminjam

Pada verba kimasu ‘datang’ tidak lazim menggunakan pola o/go Vrenyoukei ni naru. Untuk
mengubah verba ini ke dalam bentuk sonkeigo cenderung menggunakan verba koraremasu,
irasshaimasu atau oideninarimasu. Pola o/go Vrenyoukei ni naru pada pembentuk verba suru
harus memperhatikan kata di depannya, misalnya kata kekkon shimasu menjadi gokekkon
shininarimasu atau gokekkon nasaimasu.
Penjelasan di atas merupakan penjelasan bentuk sonkeigo berdasarkan penanda verba.
Dalam bahasa Jepang, bentuk sonkeigo pada nomina ditunjukkan dengan penggunaan prefik –
o/-go. Bentuk nomina yang ditujukan untuk orang yang perlu dihormati akan berbeda dengan
nomina yang merujuk pada diri sendiri. Pembedanya dapat dilihat dari pemakaian prefik o-
atau go-.

Tabel 7. Perbedaan Penggunaan Prefik o-/go- di depan Nomina


Nomina (milik orang lain) Nomina (milik diri Terjemahan
sendiri)
gokazoku kazoku keluarga
goryoushin ryoushin orang tua
gojusho jusho alamat
gokarada karada tubuh/badan
ohenji henji jawaban
obentou bentou bekal
okuruma kuruma kendaraan
otanjoubi tanjoubi ulang tahun
odenwa denwa telepon

Untuk menghormati mitra tutur, selain dengan cara meninggikan perbuatan dapat juga dengan
cara meninggikan benda milik mitra tutur. Berdasarkan tabel di atas, menghormati mitra tutur
dapat dengan cara memberi awalan/prefik o-/go- di depan benda milik mitra tutur. Misalnya
menanyakan keadaan orang tua dari mitra tutur maka akan menggunakan prefik go- di depan
kata ryoushin; goryoushin wa ogenki desuka ‘apakah orang tua Anda sehat?’. Pemilihan kata
goryoushin ditujukan untuk menghormati mitra tutur. Bila kata orang tua tersebut merujuk pada
orang tua sendiri maka kata ryoushin digunakan tanpa prefik go-, watashi no ryoushin wa genki
desu ‘orang tua saya sehat. Tidak semua nomina diberi prefik o-/go- ketika akan membentuk
nomina sonkeigo, misalnya kata uchi ‘rumah’ akan berubah menjadi otaku (nomina sonkeigo),
kata heisha merujuk pada kantor sendiri dan kata ini akan berubah menjadi onsha atau kisha
‘kantor (milik mitra tutur)’ dalam bentuk nomina sonkeigo. Kabaya (2010-19) memaknai
verba sonkeigo sebagai berikut.

meninggikan perbuatan/tindakan
= + (yaitu menulis) yang dilakukan
okaki ni naru kaku oleh pelaku
meninggikan perbuatan/tindakan
(yaitu menulis) yang dilakukan
kakareru = kaku + oleh pelaku

Tidak semua verba dapat diterapkan dengan pola ini ketika akan mengubahnya menjadi
bentuk sonkeigo. Contoh bentuk sonkeigo verba miru ‘melihat’ bukan omininaru tetapi
menjadi goran ni naru atau mirareru. Akan tetapi, kata-kata kaku ‘menulis’, yomu ‘membaca’,
denwa/megane o kakeru ‘menelepon/memakai kaca mata’, akan menggunakan pola o- ni naru
sehingga menjadi okaki ni naru, oyomi ni naru, o denwa/ o megane o kake ni naru. Kata -kata
tersebut menggunakan prefiks o- karena berasal dari wago ‘cara baca Jepang’ dan kango ‘cara
baca Cina’ menggunakan prefiks go- dan pola go- ni naru seperti kata kinyuu suru ‘mengisi’
dan houkoku suru ‘menyiarkan’ menjadi gokinyuu ni naru dan gohoukoku ni naru. Dalam
bahasa Jepang tidak ada sistem yang menjelaskan verba apa saja yang dapat menggunakan pola
o/go- ni naru atau -(ra)reru.
Penanda morfologis sonkeigo yang terakhir adalah go-nasaru. Contoh pada verba
futsuukei kinyuu suru ‘mengisi’ akan menjadi verba sonkeigo kinyuu nasaru atau gokinyuu
nasaru, dengan kajian berikut (Kabaya, 2010:20).

meninggikan
kinyuu nasaru perbuatan/tindakan
gokinyuu nasaru = kinyuu suru + (yaitu mengisi) yang
dilakukan oleh pelaku

Berikut contoh verba lain sebagai penanda sonkeigo dengan pola (go)-nasaru:
- houkoku suru→gohoukoku nasaru; ‘menginformasikan’.
- kenkyuu suru →gokenkyuu nasaru; ‘meneliti’.
- kakunin suru →gokakunin nasaru; ‘memastikan’.
Penanda leksikal sonkeigo yang lain adalah pada pronomina persona (ninshou daimeishi).
Pronomina persona berupa kata sapaan bentuk sonkeigo ditujukan untuk menghormati mitra
tuturnya. Kata sapaan sonkeigo dalam domain perkantoran dan keluarga dapat dirumuskan
sebagai berikut.
Domain perkantoran:
~sama
~shachou
~buchou
~ kachou

Domain keluarga:
Otaku no)otousama
(‘ayah anda’)
-
(Otaku no)okaasama
(‘ibu anda’) Untuk menghormati O2/O3
(Otaku -no)goshujin
(‘suami anda’)
(Otaku no)okusama
-
(‘istri anda’)
(Otaku no)okosan
(‘anak anda’)
(Otaku -no)musukosan
(‘anak laki-laki anda’)
(Otaku no) ojousan/ musumesan
1.(‘anak
Kenjougo
perempuan anda’)

2. Kenjougo
Kenjougo adalah Shugo o hikumeru to iu seikaku o motsu no ga kenjougo desu
‘kenjougo adalah sikap merendahkan subjek (Kikuchi,1996). Tujuan seseorang
mengungkapkan bahasa dalam ragam kenjougo ‘bahasa untuk merendah’ adalah untuk
menghormati mitra tutur atau orang yang menjadi pokok pembicaraan. Perbedaan sonkeigo
dengan kenjougo adalah bila bahasa yang digunakan dalam sonkeigo merupakan bahasa untuk
meninggikan orang lain, sedangkan bahasa yang digunakan dalam kenjougo merupakan
bahasa merendah. Tujuan sonkeigo dan kenjougo adalah sama, yaitu untuk menghormati mitra
tutur atau orang yang menjadi pokok pembicaraan.
Di dalam Bunkachou (1985:27) tertulis bahwa kenjougo ialah bahasa hormat yang
digunakan untuk menghormati orang kedua atau orang yang menjadi pokok pembicaraan
dengan cara merendahkan perbuatan/keadaan. Kalimat haha ga sensei ni oaisuru ‘ibu bertemu
guru/dosen’ adalah ungkapan yang merendahkan perbuatan haha ‘ibu’ yang menjadi pokok
pembicaraan (Sudjianto, 1996:130). Tuturan tersebut merupakan tuturan antara A sebagai
penutur dan B sebagai mitra tutur. D adalah sensei ‘guru/dosen’ dan C adalah haha ‘ibu’,
keduanya sebagai orang yang menjadi pokok pembicaraan (O3). A ketika melakukan tindak
tutur dengan B, menggunakan kata oaisuru untuk merendahkan haha ‘ibu’ sebagai bentuk
penghormatan kepada sensei ‘guru/dosen’. Hal ini dapat disimpulkan dengan bagan berikut.
Orang ketiga
(Orang yang menjadi pokok pembicaraan)
D

Orang pertama B Orang kedua


A

Orang ketiga
(Bunkachou, 1985:27)
Bagan 3. Kenjougo 1

Bila orang pertama sebagai pokok pembicaraan, misalnya pada kalimat, watakushi wa
raishuu nihon e mairu yotei desu ‘saya rencananya minggu depan pergi ke Jepang’. A sebagai
penutur (O1) menggunakan verba mairu ‘pergi’ yaitu kata bentuk kenjougo sebagai ungkapan
merendah untuk menghormati mitra tuturnya (O2/B). Hal ini dapat disimpulkan dengan bagan
berikut.

Orang kedua

Orang pertama
A A (orang yang menjadi pokok
0pembicaraan)
Orang pertama
(Bunkachou,1985)

Bagan 4. Kenjougo 2

Dimensi Leksikal sebagai Penanda Kenjougo

Kaneko (2010) memberikan beberapa contoh kosakata kenjougo dalam tabel dan
mengistilahkan kenjougo ini dengan “watashi ga” ‘saya’. Istilah “watashi ga” di sini adalah
untuk menunjukkan bahwa kenjougo ditujukan pada diri sendiri atau dapat juga untuk
mengungkapkan bahasa bagi keluarga/pihak sendiri (selanjutnya akan diterangkan lebih lanjut
dalam subbab “sotouchi”). Salah satu ciri ungkapan kenjougo adalah dalam pemilihan kosakata
seperti contoh tuturan di bawah ini (Makino et al.,2002:204).

(10) きのう 結婚式 の 写真をはいけんしました。


Kinou kekkonshiki no shashin o haikenshimashita.
‘Kemarin sudah melihat foto perayaan pernikahan.’
(11) 私はアメリカ からまいりました。
Watakushi wa amerika kara mairimashita.
‘Saya datang dari Amerika.’

Kosakata haikenshimashita ‘melihat’ dan mairimashita ‘datang’ merupakan leksikal


(verba) penanda kenjougo. Verba ini digunakan untuk merendahkan penutur (perbuatan
penutur) dalam rangka menghormati mitra tuturnya. Leksikal kenjougo sangat terbatas yaitu
pada verba-verba berikut.

Tabel 8. Leksikal Penanda Kenjougo


Jishokei Kenjougo Terjemahan

iku mairimasu pergi


kuru orimasu datang
iru ada
iu moushimasu berkata
(hito ni)
moushiagemasu
miru haikenshimasu melihat
nomu itadakimasu minum
taberu
shitteiru (mono o zonjite mengetahui
orimasu/
shitteorimasu
(hito o)
zonjiageteorimasu
omou Zonjimasu berpikir
suru Itashimasu melakukan
ageru Sashiagemasu memberi
morau Itadakimasu menerima
au o me ni kakarimasu bertemu
kiku Ukagaimasu mendengarkan

Dimensi Morfologis sebagai Penanda Kenjougo

Pembentukan kalimat kenjougo adalah dengan menambahkan prefiks o/go diikuti


penanda verba bentuk -shimasu/moushiagemasu. Di bawah ini adalah contoh perubahan
kosakata bentuk futsuukei ‘bahasa biasa’ ke dalam bentuk kenjougo ‘bahasa merendah’.

Tabel 9. Morfologis Penanda Kenjougo

Jishokei Kenjougo Terjemahan


kau okaishimasu membeli
kiku okikishimasu mendengarkan
kaku okakishimasu menulis
matsu omachishimasu menunggu
matsu otachishimasu berdiri
nomu onomishimasu minum
yomu oyomishimasu membaca
yobu oyobishimasu memanggil

Di bawah ini contoh bentuk kalimat kenjougo.

(12) 部下 : 対応 が 遅れてしまい、 申し訳あり


ませんでした。よろしくお願いいたします。
Buka : Taiou ga okureteshimai, moshiwake arimasendeshita.
Bawahan: ‘Mohon maaf responsnya terlambat.’
‘Mohon kerja samanya.’
3. Teineigo
Bentuk teineigo ‘bahasa sopan’ atau dalam bahasa Jepang diterangkan sebagai
bunzentai o teineina kanjinisuru ‘kalimat yang secara keseluruhan menunjukkan bahasa sopan’
(Kaneko, 2006:23). Bentuk ini ditandai dengan masu dan desu. David (2009) menyebut bentuk
teineigo ‘bahasa sopan’ sebagai bahasa formal. Masu merupakan akhiran untuk verba dan
berfungsi sebagai penanda ungkapan formal. Perubahan masu pun bervariasi misalnya
disesuaikan dengan penanda kala lampau menjadi mashita. Masu pun dapat berubah menjadi
masen (penanda teineigo negatif kala akan) dan masen deshita (penanda teineigo negatif kala
lampau). Hubungan dari ragam teineigo dapat dilihat pada bagan berikut.

orang kedua
B
orang pertama A (Bunkachou,1985:28)

Bagan 5. Teineigo

Contoh percakapan bentuk teineigo antara buka ‘bawahan’ (karyawan biasa dengan posisi
sebagai bawahan) dan joushi ‘atasan’ (atasan yang memiliki posisi sebagai supervisor).
Percakapan dilakukan di kantor:

(13) 部下 : 出荷日にパッキングリストを送ることを徹底します。
Buka : Shukkabi ni pakkingu risuto o okurukoto o tetteishimasu.
Bawahan : ‘Memastikan tanggal pengiriman pada packing list.5’
上司 : 前回 の 出荷 ですか。
Joshi : Zenkai no shukka desuka.
Atasan : ‘Pengiriman yang lalu bukan?’
Bentuk teineigo dalam tuturan bawahan ditunjukkan pada kata tettei shimasu
‘memastikan’, sedangkan tuturan tersebut direspons atasannya dengan kalimat teineigo juga
yang ditandai kopula desu. Percakapan antara bawahan dan atasan tersebut saling menggunakan
kalimat teineigo mengingat tuturan tersebut dilakukan dalam suasana formal. Hal ini merupakan
salah satu fungsi penggunaan kalimat teineigo ‘bahasa sopan’ pada situasi formal. Akan tetapi,
pada situasi/alasan tertentu kadang atasan tidak menggunakan kalimat bentuk teineigo. Contoh
di bawah ini merupakan tuturan dari atasan sebagai supervisor kepada bawahannya seorang
leader, dengan pesan tertulis melalui email.

5
Pakkingu risuto merupakan kata serapan dalam bahasa Jepang yang diterjemahkan dengan bahasa
Inggris packing list. Pada spesialisasi kata-kata (kata-kata tertentu dalam pekerjaan) akan rancu bila
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Pakkingu risuto justru akan rancu bila diterjemahkan menjadi
daftar kemasan. Karyawan lebih lazim menggunakan istilah packing list. Pada istilah tertentu, penulis
akan menggunakan terjemahan dalam bahasa Inggris sesuai dengan penggunaanya dalam perkantoran.
(14) 上司 : さっきから 何度も電話入れてますが、
出 ない の か、つながってい ないのか 分からない。
電話して!!!
Joshi : Sakkikara nando mo denwa iretemasuga, de nai no ka,
tsunagatte inai noka, wakaranai. Denwashite!!!
‘Sejak tadi telepon berapa kali, tapi tidak diangkat atau
tidak terhubung. Tolong telepon!!!!’
Tuturan di atas merupakan tuturan dari seorang atasan terhadap bawahannya melalui
email. Atasannya berapa kali menelepon, tetapi tidak diangkat juga bahkan ada kekhawatiran
HP tidak aktif. Akhirnya, atasan kecewa dan mengirim pesan melalui email dengan tuturan
bentuk futsuukei. Penanda bentuk futsuukei ditunjukkan dengan pemakaian verba wakaranai
‘tidak tahu’ dan denwa shite ‘tolong telepon.’ Penggunaan kalimat yang keras dan agak marah
juga ditunjukkan dengan penggunaan tanda (!) yang ditulis beberapa kali di akhir kalimat.
Atasan jelas tidak menggunakan bentuk keigo walaupun tuturan yang berupa pesan tertulis
tersebut dilakukan dalam kondisi bekerja. Bentuk keigo yang merupakan bentuk kalimat
hormat, memiliki penanda kalimat. Berdasarkan teori Kaneko (2006:23) penanda bentuk keigo
‘bahasa hormat’ dapat disimpulkan sebagai berikut.

Tabel 10. Penanda Keigo


Contoh
Ungkapan yang secara [o/go-ni narimasu][o/go -kudasai]
Sonkeigo langsung bertujuan untuk [reru・rareru]
menghormati orang lain [irasshaimasu] [meshiagarimasu]
K Ungkapan yang secara dan lain-lain (bentuk khusus)
E Kenjougo langsung bertujuan untuk [ o/go - shimasu]
I merendahkan diri [-itashimasu] [-saseteitadaku]
G Ungkapan bahasa secara [o me ni kakaru] dan lain-lain (bentuk
O sopan khusus)
[-deshouka] [-teirasshaimasuka] [-
Teineigo degozaimasu] [ohishashiburi] [go
(chuumon)] dan lain-lain
DAFTAR PUSTAKA

Bunkachou. 1985. Kotoba Shiriizu – Keigo. Tokyo: Okurashou Insatsukyoku.


_________. 2006. Heisei 17 Nendo- Kokugo ni kansuru Seronshousa-Nihonjin no Keigo
Ishiki. Tokyo: Dokuritsukofukojin.
Chaer, Abdul. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta:.Rineka Cipta.
David,Oana. 2009. The Sociolinguistics of Addressee Honorifics (Teineigo) Style Mixing in
Japanese Semi-Formal Interviews. Dissertation submitted for degree of master of
science in modern Japanese studies. Oxford: Nissan Institute of Japanese Studies.
Dittmar, Norbert. 1976. Sociolinguistics. London: Edwar Arnold.
Djajasudarma, Fatimah. 1993. Metode Linguistik, Ancangan Metode Penelitian dan Kajian.
Bandung: PT Eresco.
Dwiraharjo, Maryono. 1997. Fungsi dan Bentuk Krama Dalam Masyarakat Tutur Jawa Studi
Kasus di Kotamadya Surakarta. Disertasi. Yogyakarta: UGM.
Fasold, Ralph. 1984 The Sociolinguistics of Society. Oxford: Basil Blackwell.
Fishman,JA.1972. Language and Sociocultural Change. California: Academic Press.
Geertz,Hildred. 1961. The Javanese Family. Free Press.
Gumperz, John J. 1982. Language and Social Identity. London: Cambridege University
Press.
Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Addision Wesley
Logman Inc.
Hudson,R.A. 1980. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Addisoin Wesley
Logman Inc.
__________ 1996 Sociolinguistics (Second Edition). Cambridge: Cambridge University Press.
Hymes, Dell, ed. 1973. Fzoundations in Sociolinguistics An Ethnographics Approach.
Philadelpia: University of Pennsylvania Press.
Ivana, Adrian et al. 2007. Honorification in the Nominal Domain in Japanese: An Agreement
Based Analysis. Journal East Asian Linguist 16:171-191.
Izumi,Walker. 2011. Shokyuu Nihongo Gakushuu no tameno Taiguu Komyunikeeshon
Kyouiku.Tokyo: 3A Corporation.
Jendra, Indrawan. 2010. Sociolinguistics.Yogyakarta:Graha Ilmu.
Kabaya , Hiroshi. et all. 2002. Keigo Hyougen.Tokyo: Taishuukan.
_________________ 2009. Keigo Hyougen. Tokyo: Taishukan.
_________________ 2010. Keigo Komyunikeeshon.Tokyo: Asakura.
Kaneko, Hiroyuki. 2010. Nihongo Keigo Toreeningu. Tokyo: PT Ask.
Kaswanti Purwo, Bambang. 1991. Tingkat Tutur Bahasa Jawa : Tata Bahasa dan Pragmatik.
Makalah pada Konggres Bahasa Jawa I di Semarang.
Kikuchi,Yasuto. 1996. Keigo Nyuumon.Tokyo: Maruzen.
Kindaichi,Haruhiko. 1984. Shoogaku Kaku Jiten. Tokyo: Gakken.
Kitahara,Yasuo. 1985. Nihon Bunpou Jiten. Tokyo: Yuuseidou Shuppan Kabushiki Gaisha.
Kokuritsu Kokugo Kenkyuusho. 1982. Kigyou no Naka no Keigo.Tokyo:. Sanshoudou.
Kridalaksana, Harimurti. 1992. Kamus Linguistik.Edisi ke-3. Jakarta: Gramedia.
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip Prinsip Pragmatik. Terjemahan Oka, Jakarta: Universitas
Indonesia.
Makino.Akiko, et.all. 2002. Minnanonihongo.Tokyo: 3Network.
Matthews, Peter. 1997. The Concise Oxford Dictionary o Linguistics. Oxford: Oxford
University Press.
Miyazaki, Michiko & Kooshi,Achiko. 2011. Nihongo de Hataraku! Bijinesu Nihongo 30
Jikan. Tokyo: 3Anet.
Migyeong Han and Hiroyuki Umeda, 2009. Kankokugono Keigo Nyuumon. Tokyo:
Kabushikikaisha Taishukanshoten.
Nababan,P.W.J. 1991. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
_____________ 1993. Sosiolinguistik, Suatu Pengantar. (Cetakan ke-4). Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Nagata, Takashi. 2006. A Historical Study of Referent Honorifics in Japanese. Tokyo:
Kabushiki Kaisha Hituzishoboo.
Okamoto, Shinichiro. 2002. Politeness and the Perception of Irony:Honorifics in Japanese.
Aichi: Gakuin University.
Ooishi, Hatsutarou and Hayashi, Shirou. 1998. Keigo no Tsukaikata. Tokyo: Meiji Shoin.
Poedjasoedarma, Soepomomo Dkk. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat
Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
Rahayu, Ely Triasih. 2013. Sistem dan Fungsi Tingkat Tutur Bahasa Jepang

dalam Domain Perkantoran. Dissertation. Surakarta: UNS.


________________.2014. Comparison of Honorific Language in Javanese and Japanese
Speech Community. International Journal on Studies in English Language and
Literature (IJSELL).Vol. 2, Issue 7, PP 140-146.India:Arc Publishing.

Subroto, Edi. 1992. Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural, Surakarta: Sebelas
Maret University Press.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana
Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Suherman,Eman. 1994/1995. Telaah Ajektiva Bahasa Jepang. Laporan penelitian dari dana
OPF . Yogyakarta: Fakultas sastra UGM.
Sutopo,HB. 2006. Metode Penelitian Kualitatif (Dasar dan Teori Penerapannya dalam
Penelitian).Surakarta: UNS Press
Suwito.1985a. Pengantar Awal Sociolinguistics, Teori dan Problema. Surakarta: Kenary
Offset.
______ 1985b. Sosiolinguistik. Surakarta: Henary Offset.
______ 1987. Berbahasa dalam Situasi Diglosik: Kajian tentang Pemilihan dan Pemilahan
Bahasa dalam Masyarakat Tutur Jawa di Tiga Kelurahan Kotamadya Surakarta.
Disertasi.Jakarta: UI .
Suzuki, Yukiko. 1998. Utsukushii Keigo no Manaa. Tokyo: Miryoku Bijutsu.
Tachika,Junichi.1987. Kuwashii Kokugo Bunpou.Tokyo:Buneedo
Takehara,Miho. 2005. The Acquisition of Kinship Reference Terms by Learners of Japanese
as a Second/Foreign Language. Ooita Daigaku CenterNo.2. 2005. 34-35.
Trudgill,Peter. 1983. Sociolinguistics. Penguin Books.
Wijana, I Dewa Putu. 2006. Sosiolinguistik: Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta:Pustaka
Pelajar.
Yamada,Yoshio.2010. Keigohou no Kenkyuu. Tokyo: Shoshi-Shinsui.
Wardhaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil Blackwell.

Anda mungkin juga menyukai