SOSIOLINGUISTIK
Oleh: Dr. Ely Triasih Rahayu, S.S., M.Hum
1. Studi Sosiolinguistik
2. Pemilihan Bahasa
1
Perbandingan pendapat Hymes dan Kabaya diulas dalam disertasi yang berjudul Sistem Tingkat
Tutur Bahasa Jepang dalam Domain Perkantoran (Rahayu, 2013). Pada hasil penelitian, dituliskan
perbandingan masing masing komponen Hymes dan Kabaya yang pada hakikatnya bertujuan
sebagai referensi komponen tutur.
Tabel 1. Komponen Tutur Hymes dan Kabaya (Domain Perkantoran)
Hymes Kabaya Penerapan terhadap tuturan sebagai data
Pemilihan bahasa berdasarkan latar belakang penutur, tempat, topik pembicaraan dan
sebagainya bertujuan untuk mewujudkan komunikasi yang baik dan lancar. Bila masing-
masing partisipan menyadari posisinya dalam bertutur, maka komunikasi pun berjalan dengan
baik. Pemilihan bahasa seorang murid terhadap guru/dosennya pasti berbeda bila tuturan
tersebut ditujukan terhadap sesama teman, begitu juga tuturan antara bawahan dan atasan atau
pelayan toko terhadap pelanggan. Bahasa yang digunakan dalam komunikasi keluarga dengan
partisipan anggota keluarga, akan memilih topik yang sesuai dengan hal-hal mengenai aktivitas
keluarga.
Pemakaian bahasa sebagai gejala sosial tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor
linguistik, tetapi juga ditentukan oleh faktor-faktor nonlinguistik berupa faktor-faktor sosial.
Faktor-faktor sosial sangat dipengaruhi oleh keadaan sosial masyarakat, misalnya: status sosial;
tingkat pendidikan; umur; tingkat ekonomi; jenis kelamin; dan sebagainya. Kabaya (2009:77)
mengungkapkan:
コミュニケーションをする時 に、コミュニケーション 主体 話し手、
書き手、聞き手、読み手)が(場面(人間関係, 場))のことを考える。
Pelaku komunikasi menurut Kabaya meliputi pembicara, penulis, pendengar, dan pembaca.
Ketika melakukan proses komunikasi, para pelaku komunikasi harus memperhitungkan posisi
penutur (O1), mitra tutur (O2), dan orang yang menjadi pokok tuturannya (O3). Selain itu,
tempat tuturan dilakukan, tujuan tuturan, dan topik tuturan juga memengaruhi penggunaan
ragam bahasa. Peristiwa tutur yang melibatkan O1, O2, dan O3 dengan ragam bahasanya
sangat berkaitan dengan tingkat tutur bahasa.
Masyarakat tutur2 Jepang mengenal adanya keigo ‘bahasa hormat’. Keigo merupakan
variasi bahasa yang perbedaan-perbedaannya ditentukan oleh posisi penutur (O1) tentang
hubungannya dengan orang yang menjadi mitra tutur (O2) maupun orang yang menjadi pokok
tuturannya (O3). Relasi tersebut merupakan faktor-faktor luar bahasa (faktor nonlinguistik)
yang dapat memengaruhi penggunaan bahasa yang dipilih.
Dalam bahasa Jepang, bila O1 berbicara dengan O2/O3 yang posisinya lebih tinggi,
maka bahasa yang digunakan adalah sonkeigo dan ungkapan untuk menyatakan tentang
dirinya (O1) merupakan bahasa yang merendah kenjougo. Berikut merupakan hal-hal yang
harus dipertimbangkan dalam berkomunikasi.
1) Pertimbangan posisi mitra tutur dalam tataran hubungan sosialnya, misalnya
percakapan antara murid dan guru/dosen, bawahan dan atasan dalam suatu
perusahaan, pelayan toko dan pembeli, resepsionis dan tamu, anak dan orang tua,
istri terhadap suami.
2) Pertimbangan usia diantaranya usia mitra tutur di bawah atau di atas dari penutur.
3) Pertimbangan kedekatan; teman dalam kantor yang sama, kolega, orang yang
baru berkenalan.
4) Pertimbangan antara uchi-soto ‘dalam dan luar grup’. Dalam grup adalah
keberadaan orang-orang dekat dengan penutur seperti keluarga sendiri, orang
dalam perkantoran sendiri, sedangkan luar grup adalah keberadaan orang-orang di
luar lingkungan sendiri seperti keluarga orang lain, orang dari perusahaan lain.
Dalam bahasa Jepang, berbahasa hormat diwujudkan dalam pemakaian bahasa
berdasarkan faktor sosial seperti yang diungkapkan oleh Suzuki (1998:23):
敬語は、話し相手や、その場、状況、役割などによって変わってきます。年
齢、上司、先輩、親しさ、立場の違いによって使い分けていきます。 Keigo
wa, hanashiaite ya, sonoba, joukyou, yakuwari nado ni yotte kawatte kimasu.
2
Masyarakat tutur atau speech community, berbeda dengan istilah linguistic community. Semula kedua istilah itu
dianggap sama, yaitu merujuk kepada masyarakat pemakai bahasa. Sekarang kedua istilah itu berbeda, speech
community ‘masyarakat tutur’ tetap merujuk kepada masyarakat pemakai bahasa, sedangkan linguistic community
‘masyarakat linguistik’ merujuk kepada kelompok atau komunitas yang berprofesi sebagai ahli bahasa.
Nenrei, joushi, senpai, shitashisa, tachiba no chigai ni yotte tsukaiwakete
ikimasu.
‘Penggunaan keigo akan berubah berdasarkan mitra tutur, tempat, situasi,
jabatan dan lain-lain. Selain itu, keigo digunakan berdasarkan usia, posisi
sebagai atasan atau kakak angkatan, faktor kedekatan.’
Ucapan salam seperti ohayou gozaimasu ‘selamat pagi’, konnichi wa ‘selamat siang’,
konban wa ‘selamat malam’ diucapkan dengan posisi badan menunduk sekitar 15ᵒ. Ketika
mengucapkan terima kasih (arigatou gozaimasu) secara verbal akan disertai dengan
menundukkan badan sekitar 30ᵒ. Kedalaman saat menundukkan badan akan berbeda ketika
mengucapkan permohonan maaf. Gomennasai atau moushiwake gozaimasen merupakan
ungkapan permohonan maaf dalam bahasa Jepang yang diucapkan dengan cara menundukkan
badan dengan kedalaman sekitar 45ᵒ. Ungkapan yang memiliki makna lebih berat akan disertai
dengan sikap menunduk lebih dalam. Ungkapan berat dalam hal ini misalnya permohonan maaf
dari siswa terhadap guru/dosennya atau ucapan terima kasih karena permintaan seorang
karyawan yang dipenuhi oleh atasannya. Ilustrasi ojigi atau sikap menundukkan badan dapat
dilihat pada gambar berikut.
Saikeirei
Eshaku (15ᵒ) Keirei (30ᵒ)
(45ᵒ) untuk
untuk ucapan untuk ucapan
ucapan
salam terima kasih
permohonan
maaf
Bila penutur memperhatikan bahasa yang digunakan dengan baik dan hormat tentu saja
komunikasi akan berjalan dengan baik. Pelaku tuturan akan selalu menjaga hubungan melalui
bahasa yang dikemukakan. Keigo ‘bahasa hormat’ merupakan salah satu ciri bahasa Jepang.
Dalam dunia bisnis, misalnya di perkantoran, swalayan, hotel, bahkan di salon kecantikan kata-
kata irasshaimase ‘selamat datang’, mata irasshatte kudasai ‘silakan datang lagi’, taihen
omataseshimashita ‘maaf telah membuat Anda menunggu’, doumo arigatou gozaimasu
‘terima kasih banyak’, dan sebagainya, merupakan bentuk kalimat/ungkapan hormat terhadap
konsumen. Contoh berikut adalah ungkapan salam (selamat pagi) dalam bahasa Jepang yang
memiliki variasi ungkapan:
- Ossu;
- Ohayou;
- Ohayougozaimasu.
Ossu tidak tepat diucapkan seorang murid terhadap guru/dosennya. Ossu bisa diucapkan
antarteman sebaya yang sudah dekat. Ungkapan salam ohayou gozaimasu lebih tepat diucapkan
murid terhadap guru/dosen dan guru/dosen bisa menjawab dengan ucapan ohayou. Dalam
bahasa Indonesia, ossu diterjemahkan ‘ya’, ohayou ‘pagi, dan ohayou gozaimasu ‘selamat
pagi’. Demikian juga pada ungkapan permohonan maaf berikut.
- gomen;
- gomenasai;
- moushiwakegozaimasen/Moushiwakearimasen.
Makin panjang ungkapan, maka akan terasa semakin santun. Pada tiga ungkapan di atas,
moushiwakegozaimasen/moushiwakearimasen memiliki kesantunan yang lebih daripada dua
ungkapan lainnya. Gomen merupakan permohonan maaf antarteman atau orang yang sudah
dekat, gomenasai permohonan maaf yang lebih sopan dari gomen diutarakan kepada orang
yang usianya di atas penutur, sedangkan ungkapan moushiwake gozaimasen/moushiwake
arimasen diutarakan ketika seseorang merasa sangat bersalah terhadap orang yang memiliki
posisi di atas penutur misalnya terhadap pimpinan, guru/dosen, atau terhadap seniornya.
Selain ungkapan-ungkapan tersebut, masih banyak ungkapan yang digunakan dalam
bentuk keigo ‘bahasa hormat’, misalnya:
Sonkeigo (bahasa untuk menghormati orang lain dengan cara meninggikan perbuatan
/keadaan (O2/O3) pada kalimat di atas, ditandai dengan pemakaian kata ohanashi ni narimasu
‘berbicara’. Verba ohanashi ni narimasu memiliki padanan kata dalam bentuk futsuukei
‘bentuk biasa’ adalah hanasu ‘berbicara’ (atau disebut juga kata bentuk kamus3). Kata kerja
bentuk futsuukei hanasu bila diubah menjadi bentuk sonkeigo dengan pola prefiks O-
+Vrenyoukei4+ni narimasu akan berubah menjadi ohanashi ni narimasu. Futsuukei ‘bentuk
biasa’ merupakan bahasa yang digunakan terhadap orang yang hubungannya sudah dekat,
misalnya; teman, adik, keluarga, atau orang yang usianya di bawah penutur.
Bila bentuk sonkeigo digunakan untuk menghormati O2 dan O3, kenjougo digunakan
untuk menghormati mitra tutur atau orang yang menjadi pokok pembicaraan dengan cara
merendah. Merendah dalam hal ini mengacu pada perbuatan/keadaan pelaku.
(2) 学生 は先生にお話します。
Gakusei wa sensei ni ohanashi shimasu.
‘Siswa berbicara pada guru/dosen’.
3
Bentuk kamus dalam hal ini merujuk pada kata kerja yang tertulis dalam kamus bahasa Jepang. Kata kerja
bentuk kamus, merupakan kata kerja bentuk dasar yang belum mengalami perubahan secara morfologi.
4
Renyoukei adalah perubahan bentuk verba misalnya ke dalam bentuk masu (penanda teineigo). Contoh verba
hanasu memiliki bentuk masu, hanashimasu. Untuk mengubah verba hanasu ke verba sonkeigo salah satunya
dengan menggunakan pola O+Vrenyoukei+ni narimasu.
Kenjougo dalam kalimat di atas ditandai dengan pemakaian verba ohanashi shimasu. Verba
tersebut memiliki padanan kata dalam verba futsuukei yaitu hanasu ‘berbicara’. Prefiks O-
+Vrenyoukei+shimasu merupakan pola pembentukan kenjougo. Dalam kalimat tersebut,
siswa tentu saja lebih tepat mengunakan bentuk merendah (kenjougo) dengan tujuan untuk
menghormati guru/dosennya, keluarga, (misalnya antara anak dan orang tua, istri dan suami,
cucu kepada nenek/kakek). Tingkat tutur bahasa Jepang dapat digunakan dalam:
1) Pendidikan (sekolah, universitas), misalnya antara siswa dan guru/dosen,
guru/dosen dan kepala sekolah, mahasiswa dan dosen.
2) Masyarakat, misalnya antartetangga, masyarakat dan pamong desa.
3) Perkantoran/perusahaan, misalnya antara bawahan dan atasan;
4) Komunikasi antara penutur dan mitra tutur yang belum saling kenal.
Izumi (2011;48) mengungkapkan bahwa dalam bahasa Jepang tingkatan bahasa terdiri atas,
bahasa hormat dan bahasa biasa (plain form). Bahasa hormat yang dimaksud adalah keigo
yang dipisahkan dari bentuk bahasa biasa. Keigo terbagi lagi menjadi sonkeigo, kenjougo,
bikago dan teineigo (Kabaya, 2009, Kaneko, 2010).
Seorang penutur akan menggunakan bentuk keigo ketika tuturannya bertujuan untuk
menghormati mitra tutur atau orang yang menjadi pokok pembicaraan. Keigo merupakan salah
satu tingkat tutur dalam bahasa Jepang, tetapi pada level bahasa hormatnya saja, tidak termasuk
futsuukei ‘bahasa biasa’. Dari tingkat tutur bahasa Jepang dapat diketahui penggunaan ragam
bahasa yang dipengaruhi oleh keadaan masyarakat tuturnya baik dari segi sistem budaya
maupun strata sosialnya.
PERTEMUAN II
PENELITIAN SOSIOLINGUISTIK
敬語は、話す相手や、その場、状況、役割などによって変わってきます。
年齢、上司、先輩、親しさ、立場の違いによって使い分け ていきます。
Keigo wa, hanasu aite ya,sonoba, joukyou, yakuwari, nado ni yotte
kawattekimasu. Nenrei, joshi, senpai, shitashisa, tachiba no chigai ni yotte
tsukaiwaketeikimasu.
‘Bahasa hormat digunakan berdasarkan posisi mitra tutur, setting, suasana,
dan jabatan. Selain itu penggunaannya juga berdasarkan usia, atasan, senior,
dan tempat.’
Bila pelaku tindak tutur memahami cara bertutur kata yang baik dan benar, maka komunikasi
dapat berjalan dengan baik. Sebaliknya bila seseorang tidak memahami cara bertutur kata yang
baik dan benar dalam berkomunikasi, maka komunikasi pun berjalan tidak baik. Di bawah ini
ungkapan yang benar dan salah dalam komunikasi di perkantoran/tempat kerja (Suzuki,
1998:14).
Kolom “contoh ungkapan yang salah” merupakan ungkapan bahasa nonformal yang tidak tepat
bila diucapkan di tempat formal seperti kantor (dalam melakukan komunikasi resmi).
Ungkapan yang salah tersebut juga tidak tepat bila diucapkan kepada atasan. Bila ada seorang
karyawan yang mengucapkan ungkapan yang salah kepada atasan, pasti orang tersebut
dianggap tidak sopan atau tidak menghormati atasannya. Ungkapan tersebut merupakan bentuk
futsuukei ‘bahasa biasa’ yang akan tepat bila diucapkan antarteman atau terhadap mitra tutur
yang usianya di bawah penutur. Percakapan tersebut dilakukan di tempat nonformal seperti
kissaten ‘kedai/warung minuman’ atau di tempat hiburan.
Keigo ‘bahasa hormat’ dibagi menjadi tiga yaitu sonkeigo ‘bahasa hormat’, kenjougo
‘bahasa merendah’, teineigo ‘bahasa sopan’. Penjelasan masing masing tingkat tutur bahasa
tersebut akan diuraikan sebagai berikut.
1. Sonkeigo
Pada dasarnya sonkeigo adalah bahasa yang digunakan untuk menghormati orang lain
(mitra tutur atau orang yang menjadi pokok pembicaraan) (Kikuchi, 1998; Kabaya, 2009;
Kabaya, 2010). Suzuki (1998:23) menyatakan bahwa sonkeigo adalah:
尊敬語は、上役の人、上司、先輩、初対面の人、年齢の上の人、お客様に
対して、その動作や状態などに、敬意を表す言葉づかいです。Sonkeigo wa,
jouyakunohito, joushi, senpai, shotaimennohito, nenreinouenohito,
okyakusama ni taishite, sonodousa ya joutai nado ni, keii o arawasu
kotobazukai desu. ‘Sonkeigo adalah bahasa hormat untuk mengungkapkan rasa
hormat terhadap orang yang mempunyai posisi lebih tinggi, terhadap atasan,
senior, orang yang pertama kali bertemu, dan terhadap pelanggan.’
Berdasarkan pengertian sonkeigo ‘bahasa untuk meninggikan orang lain’ di atas,
jelaslah bahwa hal yang terpenting dalam pengungkapan bahasa hormat adalah kesadaran
penutur sebagai O1 akan posisinya terhadap mitra tutur/O2 atau dapat juga terhadap orang yang
menjadi pokok pembicaraan/O3.
Tingkat formalitas hubungan perseorangan antara O1, O2, maupun O3 berdasarkan
status sosial yang dimiliki O2/O3 akan menentukan pilihan kata O1 dalam ungkapan bahasa
hormatnya seperti bagan berikut.
Orang kedua
A B
A B
Tabel di atas menunjukkan ada beberapa kosakata dalam sonkeigo yang mempunyai padanan
kata lebih dari satu bahkan dua pada bentuk futsuukei. Perbedaannya akan terlihat berdasarkan
konteks kalimat. Kabaya (2010,6) mengkaji penanda leksikal sonkeigo sebagai berikut.
Kata-kata berikut merupakan bahasa hormat untuk meninggikan perbuatan/tindakan
mitra tutur/orang yang menjadi pokok pembicaraan.
Kata ossharu ‘berkata/berbicara’ memiliki dua padanan kata dalam bentuk futsuukei
yaitu kata iu ‘berkata’ dan hanasu ‘berbicara’. Kata ossharu tersebut merupakan kata hormat
yang bertujuan untuk meninggikan perbuatan dari orang yang dihormati. Kata irassharu
memiliki tiga padanan kata dalam futsuukei; iku ‘pergi’, kuru ‘datang’, iru ‘ada’. Kata
irassharu dapat dibedakan berdasarkan konteks kalimat seperti contoh kalimat berikut.
Bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, dua kalimat tersebut mempunyai verba
yang berbeda. Irasshaimasu dalam bahasa Indonesia bisa diartikan dengan pergi dan datang.
Penerjemahan pergi/datang ditandai dengan partikel e dan ni yang sama-sama diterjemahkan
“ke”. Partikel e merujuk pada verba pergi, sedangkan partikel ni merujuk pada verba datang.
Kata irasshaimasu yang berarti ada dapat ditunjukkan dengan konteks kalimat berikut.
meninggikan perbuatan
meshiagaru = taberu/nomu + + yang dilakukan oleh
(makan/minum)
pelaku
Untuk membedakan leksikal meshiagaru yang berarti taberu ‘makan’ atau nomu ‘minum’,
dapat dilihat dari contoh kalimat berikut (kalimat dalam bentuk -masu).
meninggikan
goran ni naru miru perbuatan/tindakan (yaitu
= + melihat) yang dilakukan
pelaku
Dimensi Morfologis sebagai Penanda Sonkeigo
Penggunaan pola ini sebagai penanda bentuk sonkeigo terdapat pada kalimat berikut.
Pola -rareru pada verba kawaremasu ‘membeli’ merupakan perubahan dari verba kaimasu.
Verba tersebut digunakan untuk menghormati sensei ‘guru/dosen’ dengan cara meninggikan
perbuatan yang dilakukan sensei ‘guru/dosen’ melalui verba kau. Pola sebagai penanda
sonkeigo ini dapat diubah ke dalam pola o/go +Vrenyoukei + ni naru dengan tujuan yang sama
yaitu untuk menghormati mitra tutur maupun orang yang menjadi pokok pembicaraan. Jadi,
bila kalimat di atas diubah ke pola o/go+ Vrenyoukei + ni naru akan menjadi.
(9) 先生 は 辞書をお買いになります。 。
Pola sonkeigo -rareru dan o/go + Vrenyoukei + ni naru berlaku bagi verba tertentu. Untuk
verba yang sudah memiliki perubahan dalam bentuk leksikal (yang sudah memiliki kosa kata
tersendiri dalam bentuk sonkeigo) tidak dapat diubah ke bentuk -rareru dan o/go + Vrenyoukei
+ ni naru. Perubahan verba ke dalam pola o/go + Vrenyoukei + ni naru dari verba bentuk masu
dapat dilihat pada tabel berikut.
Pada verba kimasu ‘datang’ tidak lazim menggunakan pola o/go Vrenyoukei ni naru. Untuk
mengubah verba ini ke dalam bentuk sonkeigo cenderung menggunakan verba koraremasu,
irasshaimasu atau oideninarimasu. Pola o/go Vrenyoukei ni naru pada pembentuk verba suru
harus memperhatikan kata di depannya, misalnya kata kekkon shimasu menjadi gokekkon
shininarimasu atau gokekkon nasaimasu.
Penjelasan di atas merupakan penjelasan bentuk sonkeigo berdasarkan penanda verba.
Dalam bahasa Jepang, bentuk sonkeigo pada nomina ditunjukkan dengan penggunaan prefik –
o/-go. Bentuk nomina yang ditujukan untuk orang yang perlu dihormati akan berbeda dengan
nomina yang merujuk pada diri sendiri. Pembedanya dapat dilihat dari pemakaian prefik o-
atau go-.
Untuk menghormati mitra tutur, selain dengan cara meninggikan perbuatan dapat juga dengan
cara meninggikan benda milik mitra tutur. Berdasarkan tabel di atas, menghormati mitra tutur
dapat dengan cara memberi awalan/prefik o-/go- di depan benda milik mitra tutur. Misalnya
menanyakan keadaan orang tua dari mitra tutur maka akan menggunakan prefik go- di depan
kata ryoushin; goryoushin wa ogenki desuka ‘apakah orang tua Anda sehat?’. Pemilihan kata
goryoushin ditujukan untuk menghormati mitra tutur. Bila kata orang tua tersebut merujuk pada
orang tua sendiri maka kata ryoushin digunakan tanpa prefik go-, watashi no ryoushin wa genki
desu ‘orang tua saya sehat. Tidak semua nomina diberi prefik o-/go- ketika akan membentuk
nomina sonkeigo, misalnya kata uchi ‘rumah’ akan berubah menjadi otaku (nomina sonkeigo),
kata heisha merujuk pada kantor sendiri dan kata ini akan berubah menjadi onsha atau kisha
‘kantor (milik mitra tutur)’ dalam bentuk nomina sonkeigo. Kabaya (2010-19) memaknai
verba sonkeigo sebagai berikut.
meninggikan perbuatan/tindakan
= + (yaitu menulis) yang dilakukan
okaki ni naru kaku oleh pelaku
meninggikan perbuatan/tindakan
(yaitu menulis) yang dilakukan
kakareru = kaku + oleh pelaku
Tidak semua verba dapat diterapkan dengan pola ini ketika akan mengubahnya menjadi
bentuk sonkeigo. Contoh bentuk sonkeigo verba miru ‘melihat’ bukan omininaru tetapi
menjadi goran ni naru atau mirareru. Akan tetapi, kata-kata kaku ‘menulis’, yomu ‘membaca’,
denwa/megane o kakeru ‘menelepon/memakai kaca mata’, akan menggunakan pola o- ni naru
sehingga menjadi okaki ni naru, oyomi ni naru, o denwa/ o megane o kake ni naru. Kata -kata
tersebut menggunakan prefiks o- karena berasal dari wago ‘cara baca Jepang’ dan kango ‘cara
baca Cina’ menggunakan prefiks go- dan pola go- ni naru seperti kata kinyuu suru ‘mengisi’
dan houkoku suru ‘menyiarkan’ menjadi gokinyuu ni naru dan gohoukoku ni naru. Dalam
bahasa Jepang tidak ada sistem yang menjelaskan verba apa saja yang dapat menggunakan pola
o/go- ni naru atau -(ra)reru.
Penanda morfologis sonkeigo yang terakhir adalah go-nasaru. Contoh pada verba
futsuukei kinyuu suru ‘mengisi’ akan menjadi verba sonkeigo kinyuu nasaru atau gokinyuu
nasaru, dengan kajian berikut (Kabaya, 2010:20).
meninggikan
kinyuu nasaru perbuatan/tindakan
gokinyuu nasaru = kinyuu suru + (yaitu mengisi) yang
dilakukan oleh pelaku
Berikut contoh verba lain sebagai penanda sonkeigo dengan pola (go)-nasaru:
- houkoku suru→gohoukoku nasaru; ‘menginformasikan’.
- kenkyuu suru →gokenkyuu nasaru; ‘meneliti’.
- kakunin suru →gokakunin nasaru; ‘memastikan’.
Penanda leksikal sonkeigo yang lain adalah pada pronomina persona (ninshou daimeishi).
Pronomina persona berupa kata sapaan bentuk sonkeigo ditujukan untuk menghormati mitra
tuturnya. Kata sapaan sonkeigo dalam domain perkantoran dan keluarga dapat dirumuskan
sebagai berikut.
Domain perkantoran:
~sama
~shachou
~buchou
~ kachou
Domain keluarga:
Otaku no)otousama
(‘ayah anda’)
-
(Otaku no)okaasama
(‘ibu anda’) Untuk menghormati O2/O3
(Otaku -no)goshujin
(‘suami anda’)
(Otaku no)okusama
-
(‘istri anda’)
(Otaku no)okosan
(‘anak anda’)
(Otaku -no)musukosan
(‘anak laki-laki anda’)
(Otaku no) ojousan/ musumesan
1.(‘anak
Kenjougo
perempuan anda’)
2. Kenjougo
Kenjougo adalah Shugo o hikumeru to iu seikaku o motsu no ga kenjougo desu
‘kenjougo adalah sikap merendahkan subjek (Kikuchi,1996). Tujuan seseorang
mengungkapkan bahasa dalam ragam kenjougo ‘bahasa untuk merendah’ adalah untuk
menghormati mitra tutur atau orang yang menjadi pokok pembicaraan. Perbedaan sonkeigo
dengan kenjougo adalah bila bahasa yang digunakan dalam sonkeigo merupakan bahasa untuk
meninggikan orang lain, sedangkan bahasa yang digunakan dalam kenjougo merupakan
bahasa merendah. Tujuan sonkeigo dan kenjougo adalah sama, yaitu untuk menghormati mitra
tutur atau orang yang menjadi pokok pembicaraan.
Di dalam Bunkachou (1985:27) tertulis bahwa kenjougo ialah bahasa hormat yang
digunakan untuk menghormati orang kedua atau orang yang menjadi pokok pembicaraan
dengan cara merendahkan perbuatan/keadaan. Kalimat haha ga sensei ni oaisuru ‘ibu bertemu
guru/dosen’ adalah ungkapan yang merendahkan perbuatan haha ‘ibu’ yang menjadi pokok
pembicaraan (Sudjianto, 1996:130). Tuturan tersebut merupakan tuturan antara A sebagai
penutur dan B sebagai mitra tutur. D adalah sensei ‘guru/dosen’ dan C adalah haha ‘ibu’,
keduanya sebagai orang yang menjadi pokok pembicaraan (O3). A ketika melakukan tindak
tutur dengan B, menggunakan kata oaisuru untuk merendahkan haha ‘ibu’ sebagai bentuk
penghormatan kepada sensei ‘guru/dosen’. Hal ini dapat disimpulkan dengan bagan berikut.
Orang ketiga
(Orang yang menjadi pokok pembicaraan)
D
Orang ketiga
(Bunkachou, 1985:27)
Bagan 3. Kenjougo 1
Bila orang pertama sebagai pokok pembicaraan, misalnya pada kalimat, watakushi wa
raishuu nihon e mairu yotei desu ‘saya rencananya minggu depan pergi ke Jepang’. A sebagai
penutur (O1) menggunakan verba mairu ‘pergi’ yaitu kata bentuk kenjougo sebagai ungkapan
merendah untuk menghormati mitra tuturnya (O2/B). Hal ini dapat disimpulkan dengan bagan
berikut.
Orang kedua
Orang pertama
A A (orang yang menjadi pokok
0pembicaraan)
Orang pertama
(Bunkachou,1985)
Bagan 4. Kenjougo 2
Kaneko (2010) memberikan beberapa contoh kosakata kenjougo dalam tabel dan
mengistilahkan kenjougo ini dengan “watashi ga” ‘saya’. Istilah “watashi ga” di sini adalah
untuk menunjukkan bahwa kenjougo ditujukan pada diri sendiri atau dapat juga untuk
mengungkapkan bahasa bagi keluarga/pihak sendiri (selanjutnya akan diterangkan lebih lanjut
dalam subbab “sotouchi”). Salah satu ciri ungkapan kenjougo adalah dalam pemilihan kosakata
seperti contoh tuturan di bawah ini (Makino et al.,2002:204).
orang kedua
B
orang pertama A (Bunkachou,1985:28)
Bagan 5. Teineigo
Contoh percakapan bentuk teineigo antara buka ‘bawahan’ (karyawan biasa dengan posisi
sebagai bawahan) dan joushi ‘atasan’ (atasan yang memiliki posisi sebagai supervisor).
Percakapan dilakukan di kantor:
(13) 部下 : 出荷日にパッキングリストを送ることを徹底します。
Buka : Shukkabi ni pakkingu risuto o okurukoto o tetteishimasu.
Bawahan : ‘Memastikan tanggal pengiriman pada packing list.5’
上司 : 前回 の 出荷 ですか。
Joshi : Zenkai no shukka desuka.
Atasan : ‘Pengiriman yang lalu bukan?’
Bentuk teineigo dalam tuturan bawahan ditunjukkan pada kata tettei shimasu
‘memastikan’, sedangkan tuturan tersebut direspons atasannya dengan kalimat teineigo juga
yang ditandai kopula desu. Percakapan antara bawahan dan atasan tersebut saling menggunakan
kalimat teineigo mengingat tuturan tersebut dilakukan dalam suasana formal. Hal ini merupakan
salah satu fungsi penggunaan kalimat teineigo ‘bahasa sopan’ pada situasi formal. Akan tetapi,
pada situasi/alasan tertentu kadang atasan tidak menggunakan kalimat bentuk teineigo. Contoh
di bawah ini merupakan tuturan dari atasan sebagai supervisor kepada bawahannya seorang
leader, dengan pesan tertulis melalui email.
5
Pakkingu risuto merupakan kata serapan dalam bahasa Jepang yang diterjemahkan dengan bahasa
Inggris packing list. Pada spesialisasi kata-kata (kata-kata tertentu dalam pekerjaan) akan rancu bila
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Pakkingu risuto justru akan rancu bila diterjemahkan menjadi
daftar kemasan. Karyawan lebih lazim menggunakan istilah packing list. Pada istilah tertentu, penulis
akan menggunakan terjemahan dalam bahasa Inggris sesuai dengan penggunaanya dalam perkantoran.
(14) 上司 : さっきから 何度も電話入れてますが、
出 ない の か、つながってい ないのか 分からない。
電話して!!!
Joshi : Sakkikara nando mo denwa iretemasuga, de nai no ka,
tsunagatte inai noka, wakaranai. Denwashite!!!
‘Sejak tadi telepon berapa kali, tapi tidak diangkat atau
tidak terhubung. Tolong telepon!!!!’
Tuturan di atas merupakan tuturan dari seorang atasan terhadap bawahannya melalui
email. Atasannya berapa kali menelepon, tetapi tidak diangkat juga bahkan ada kekhawatiran
HP tidak aktif. Akhirnya, atasan kecewa dan mengirim pesan melalui email dengan tuturan
bentuk futsuukei. Penanda bentuk futsuukei ditunjukkan dengan pemakaian verba wakaranai
‘tidak tahu’ dan denwa shite ‘tolong telepon.’ Penggunaan kalimat yang keras dan agak marah
juga ditunjukkan dengan penggunaan tanda (!) yang ditulis beberapa kali di akhir kalimat.
Atasan jelas tidak menggunakan bentuk keigo walaupun tuturan yang berupa pesan tertulis
tersebut dilakukan dalam kondisi bekerja. Bentuk keigo yang merupakan bentuk kalimat
hormat, memiliki penanda kalimat. Berdasarkan teori Kaneko (2006:23) penanda bentuk keigo
‘bahasa hormat’ dapat disimpulkan sebagai berikut.
Subroto, Edi. 1992. Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural, Surakarta: Sebelas
Maret University Press.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana
Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Suherman,Eman. 1994/1995. Telaah Ajektiva Bahasa Jepang. Laporan penelitian dari dana
OPF . Yogyakarta: Fakultas sastra UGM.
Sutopo,HB. 2006. Metode Penelitian Kualitatif (Dasar dan Teori Penerapannya dalam
Penelitian).Surakarta: UNS Press
Suwito.1985a. Pengantar Awal Sociolinguistics, Teori dan Problema. Surakarta: Kenary
Offset.
______ 1985b. Sosiolinguistik. Surakarta: Henary Offset.
______ 1987. Berbahasa dalam Situasi Diglosik: Kajian tentang Pemilihan dan Pemilahan
Bahasa dalam Masyarakat Tutur Jawa di Tiga Kelurahan Kotamadya Surakarta.
Disertasi.Jakarta: UI .
Suzuki, Yukiko. 1998. Utsukushii Keigo no Manaa. Tokyo: Miryoku Bijutsu.
Tachika,Junichi.1987. Kuwashii Kokugo Bunpou.Tokyo:Buneedo
Takehara,Miho. 2005. The Acquisition of Kinship Reference Terms by Learners of Japanese
as a Second/Foreign Language. Ooita Daigaku CenterNo.2. 2005. 34-35.
Trudgill,Peter. 1983. Sociolinguistics. Penguin Books.
Wijana, I Dewa Putu. 2006. Sosiolinguistik: Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta:Pustaka
Pelajar.
Yamada,Yoshio.2010. Keigohou no Kenkyuu. Tokyo: Shoshi-Shinsui.
Wardhaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil Blackwell.