Anda di halaman 1dari 8

PENDAHULUAN SOSIOLINGUISTIK

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi yang hanya dimiliki manusia, tidak hanya dapat dikaji
secara internal tetapi juga secara eksternal. Artinya pengkajian bahasa tidak hanya dapat dilakukan
dengan menganalisis struktur fonologis, morfologis maupun sintaksisnya, melainkan dapat pula dikaji
dengan hal-hal atau faktor-faktor yang berada di luar bahasa yang berkaitan dengan pemakaian bahasa
itu oleh para penuturnya di dalam kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan.
Pengkajian secara eksternal inilah yang menghasilkan rumusan-rumusan yang berkaitan dengan
kegunaan dan penggunaan bahasa tersebut dalam segala kegiatan manusia di dalam masyarakat.
Pengkajian secara eksternal ini tidak hanya melibatkan teori dan prosedur linguistik saja, tetapi juga
melibatkan teori dan prosedur disiplin lain yang berkaitan dengan penggunaan bahasa itu, sehingga
wujudnya berupa ilmu antardisiplin yang namanya merupakan gabungan dari disiplin ilmu-ilmu yang
bergabung itu, umpamanya sosiolinguistik.
Sosiolinguistik merupakan gabungan antara disiplin sosiologi dan disiplin linguistik dengan bahasa
sebagai objek kajiannya. Namun satu hal yang harus digarisbawahi bahwasanya bahasa sebagai objek
kajian sosiolinguistik tidak dilihat maupun didekati sebagai bahasa, melainkan dilihat dan didekati
sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat manusia.
Persoalan kita sekarang adalah apakah sosiolinguistik itu sebenarnya; bagaimana hubungannya dengan
disiplin ilmu lain; dan apa kegunaan serta masalah-masalah sosiolinguistik. Atas dasar di atas penyusun
kemudian tertarik untuk membicarakan masalah seputar sosiolinguistik, kegunaan dan ruang lingkup
sosiolinguistik.
B. Rumusan Masalah
Berdasar pada latar belakang di atas, adapun rumusan yang menjadi masalah dalam penulisan makalah
ini yaitu:
1. Apakah sosiolinguistik itu?
2. Bagaimana hubungan sosiolinguistik dengan disiplin ilmu lain?
3. Jelaskan kegunaan disertai masalah-masalah (ruang lingkup) sosiolinguistik?

C. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan pengertian sosiolinguistik.
2. Menunjukkan hubungan sosiolinguistik dengan disiplin ilmu lain.
3. Menjelaskan kegunaan dan masalah-masalah (ruang lingkup) sosiolinguistik.

D. Manfaat Penulisan
Melalui makalah ini diharapkan agar pembaca dapat memperoleh manfaat berupa:
1. Pengetahuan atas pengertian sosiolinguistik.
2. Mampu menunjukkan dengan saksama hubungan sosiolinguistik dengan disiplin ilmu lain.
3. Mampu memahami kegunaan dan masalah-masalah (ruang lingkup) sosiolinguistik?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sosiolinguistik
Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan linguistik, dua bidang ilmu empiris yang
mempunyai kaitan sangat erat. Sosiologi sendiri dapat diartikan sebagai kajian yang objektif dan ilmiah
mengenai manusia di dalam masyarakat, dan mengenai lembaga-lembaga dan proses sosial yang ada di
dalam masyarakat. Sosiologi berusaha mengetahui bagaimana masyarakat itu terjadi, berlangsung dan
tetap ada. Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa atau bidang ilmu yang
mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik
adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa
itu di dalam masyarakat.
De Saussure (1961) pada awal abad ke-20 menyebutkan bahwa bahasa adalah salah satu lembaga
kemasyarakatan yang sama dengan lembaga kemasyarakatan yang lain seperti perkawinan, pewarisan
harta peninggalan dan sebagainya. Pada pertengahan abad ini para pakar di bidang bahasa merasa perlu
adanya perhatian yang lebih terhadap dimensi kemasyarakatan bahasa, karena ternyata dimensi
kemasyarakatan bukan hanya memberi “makna” kepada bahasa, tetapi juga menyebabkan terjadinya
ragam-ragam bahasa yang tidak hanya menunjukkan adanya perbedaan sosial dalam masyarakat tetapi
juga memberi indikasi mengenai situasi berbahasa serta mencerminkan tujuan, topik, kaidah dan
modus-modus penggunaan bahasa.
Berbeda dengan De Saussure, dalam bukunya Sign, Language and Behaviour, Charles Morris (1946)
membicarakan bahasa sebagai sistem lambang, membedakan adanya tiga kajian bahasa berkenaan
dengan fokus perhatian yang diberikan. Jika perhatian difokuskan pada hubungan antara lambang
dengan maknanya disebut semantik; jika fokus perhatian diarahkan pada hubungan lambang disebut
sintaksis; dan kalau fokus perhatian diarahkan pada hubungan antara lambang dengan penuturnya
disebut pragmatik yang tidak lain daripada sosiolinguistik.
Bahasa sebagai objek dalam sosiolinguistik tidak didekati sebagai bahasa sebagaimana dilakukan oleh
linguistik umum, melainkan didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat
manusia. Setiap kegiatan kemasyarakatan manusia selalu berhubungan dengan bahasa. Oleh karena itu,
bagaimana pun rumusan mengenai sosiolinguistik yang diberikan para pakar tidak akan terlepas dari
persoalan hubungan bahasa dengan kegiatan-kegiatan atau aspek-aspek kemasyarakatan. Perhatikan
beberapa rumusan mengenai sosiolinguistik dari beberapa pakar berikut:
1. Sosiolinguistik lazim didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari ciri dan berbagai variasi bahasa,
serta hubungan di antara para bahasawan denan ciri funngsi variasi bahasa itu di dalam suatu
masyarakat bahasa (Kridalaksana 1984:94)
2. Pengkajian bahasa dengan dimensi kemasyarakatan... disebut sosiolinguistik (Nababan 1984:2)
3. Sosiolinguistics is the study of the characteristics of language variaties, the characteristics of their
function, and the characteristics of their speakers as these three constantly interact, change and
change one another within a speech community (sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas
variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi bahasa, dan pemakaian bahasa karena ketiga unsur ini selalu
berinteraksi, berubah dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur (J.A.
Fishman 1972:4)
4. Sociolinguistyiek is de studie van taal en taalgebruik in de kontext van maatschapij en kultuur
(sosiolinguistik adalah kajian mengenai bahasa dan pemakaiannya dalam konteks sosial dan
kebudayaan (Rene Apple, Gerad Hubert, Greus Meijer 1876:10)
5. Sociolinguistiek is subdisiplin van de taalkunde, die bestudert welke social factoren een rol spelen
in het taalgebruik er welke taal spelt in het special vekeer (sosiolinguistik adalah subdisiplin ilmu
bahasa yabg mempelajari faktor-faktor sosial yang berperan dalam penggunaan bahasa dan
pergaulan sosial (G. E. Booij, J.G. Kersten, dan H.J. Verkuyl 1975: 139).
6. Sociolinguistics is the study of language in operation, it’s purpose is to investigate how the
convention of the language use relate to other aspect of social behaviour (sosiolinguistik adalah
kajian bahasa dalam penggunaannya, dengan tujuan untuk meneliti bagaimana konvensi
pemakaian bahasa berhubungan dengan aspek-aspek lain dari tingkah laku sosial (C. Criper dan
H.G. Widdowson dalam J.P.B. Allen dan S. Piet Corder (ed.) 1975: 156).
7. Sociolinguistics is a developing subfield of linguistics which takes speech variation as it’s focus,
viewing variation of it social context. Sociolinguistics is concerned with the correlation between
such social factors and linguistics variation (sosiolinguistik adalah pengembangan subbidang
linguistik yang memfokuskan penelitian pada variasi ujaran, serta mengkajianya dalam suatu
konteks sosial. Sosiolinguistik meneliti korelasi antara faktor-faktor sosial itu dengan variasi
bahasa (Nancy Parrot Hickerson 1980: 81).
Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah cabang ilmu
linguistik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi, dengan objek penelitian hubungan antara
bahasa dengan faktor-faktor sosial di dalam suatu masyarakat tutur.
Selain istilah sosiolinguistik ada juga digunakan istilah sosiologi bahasa. Banyak orang menganggap
kedua istilah itu sama: tetapi banyak pula yang menganggapnya berbeda. Ada yang mengatakan
digunakannya istilah sosiolinguistik karena penelitiannya dimasukkan dari bidang linguistik; sedangkan
istilah sosiologi bahasa digunakan kalau penelitiannya itu dimasuki dari bidang sosiologi (Nababan 1884:
3, juga Bright 1992: vol 4:9). J.A. Fishman, pakar sosiolinguik mengatakan kajian sosiolinguistik lebih
bersifat kualitatif, sedangkan kajian sosiologi bahasa bersifat kuantitatif. Artinya kajian sosiolinguistik
sendiri lebih bertumpu pada hubungan dengan perincian-perincian penggunaaan bahasa yang
sebenarnya, seperti deskripsi pola-pola pemakaian bahasa/dialek dalam budaya tertentu yang dilakukan
penutur, topik dan latar pembicaraan. Sedangkan sosiologi bahasa lebih berhubungan dengan faktor-
faktor sosial yang saling bertimbal balik dengan bahasa/dialek.

B. Sosiolinguistik dan Disiplin Ilmu Lain


1. Sosiologuistik dengan Linguistik
Sosiolinguistik merupakan ilmu yang mengkaji linguistik yang dihubungkan dengan faktor sosiologi.
Dengan demikian, sosiolinguistik tidak meninggalkan linguistik. Hal yang dikaji dalam linguistik (ilmu
yang mengkaji bahasa sebagai fenomena yang inedependen) dijadikan dasar bagi sosiolinguistik untuk
menunjukkan perbedaan penggunaan bahasa yang dikaitkan dengan faktor sosial. Hal yang dikaji dalam
linguistik, meliputi apa yang ditelaah De Saussure, kaum Bloomfieldien (Bloomfield, Charles Fries, dan
Hocket) serta kaum Neo Bloomfieldien dengan deepstructure dan surface structure-nya, dipandang oleh
sosiolinguis sebagai bentuk bahasa dasar yang ketika dikaitkan dengan pemakai dan pemakaian bahasa
akan mengalami perubahan dan perbedaan. Kajian mengenai fonologi, morfologi, struktur kalimat, dan
semantik leksikal dalam linguistik dipakai oleh sosiolinguistik untuk mengungkap struktur bahasa yang
digunakan oleh tiap-tiap kelompok tutur sesuai dengan konteksnya. Karenanya, tidaklah mungkin
seorang sosiolinguis dapat mengkaji bahasa dengan tanpa dilandasi pengetahuan mengenai linguistik
murni itu. Sosiolinguistik mengkaji wujud bahasa yang beragam karena dipengaruhi oleh faktor di luar
bahasa (sosial), yang dengan demikian makna sebuah tuturan juga ditentukan oleh faktor di luar bahasa.
Untuk dapat mengungkap wujud dan makna bahasa sangat diperlukan pengetahuan tentang linguistik
murni (struktur bahasa), supaya kajian yang dilakukan tidak meninggalkan objek bahasa itu sendiri.
2. Sosiolinguistik dengan Sosiologi
Sosiolinguistik memandang bahasa sebagai dasar kajian (lihat kembali hubungan antara sosiolinguistik
dan linguistik) dan memandang struktur sosial sebagai faktor penentu variabel. Keduanya dipandang
sebagai gegenseitige einbettung dan gegenseitige determination, dan hubungan antara keduanya
ditentukan oleh persyaratan manusia, organisasi pikiran manusia (dalam bentuk argumen lahiriah), serta
tuntutan intrinsik dari sebuah bidang yang sistematis, kuat,dan efektif (Hymes,1966). Apa yang terdapat
dalam sosiologi, yang berupa fakta-fakta sosial ditransfer ke dalam sosiolinguistik, sehingga muncullah
keyakinan bahwa bahasa berhubungan dengan strata sosial. Meskipun demikian, hubungan antara
sosiolinguistik dan sosiologi sebenarnya bersifat timbal-balik (simbiosis mutualisme).
Hubungan sosiologi – sosiolinguistik:
(1) Kemajuan teori sosiologi seperti kelompok politik, mobilisasi massa, interferensi antarkelompok
digunakan dalam sosiolinguistik
(2) Metodologi dalam sosiologi seperti angket, wawancara, pengamatan terlibat digunakan juga sebagai
metode dalam sosiolinguistik;
(3) Istilah-istilah sosiologi seperti funktion, rolle, dan soziale dimension juga digunakan dalam
sosiolinguistik;
(4) Fakta-fakta sosial dalam sosiologi ditransfer ke dalam sosiolinguistik yang meliputi transfer terhadap
fungsi bahasa secara keseluruhan dan terhadap struktur bahasa itu sendiri.
Dengan memperhatikan fakta-fakta sosial ini, sosiolinguistik pun mempertimbangkan situasi berbahasa,
siapa yang berbicara, di mana, dan sebagainya,, karena bagaimanapun sosiolinguistik muncul karena
adanya bantuan sosiologi.

Hubungan sosiolinguistik – sosiologi


(1) Data sosiolinguistik yang memberikan ciri-ciri kehidupan sosial, menjadi barometer untuk sosiologi;
(2) Aspek sikap berbahasa mempengaruhi budaya material dan spiritual suatu masyarakat;
(3) Bahasa yang diteliti secara sosiolinguistik adalah alat utama dari perkembanagan penegetahuan
menegenai sosiologi.
Dengan kata lain, sosiolinguistik membantu sosiologi dalam mengklasifikasi strata sosial, seperti yang
ditunjukkan oleh Labov dalam penelitiannya mengenai tuturan dalam masyarakat Amerika dalam
tingkat sosial yang berbeda.

3. Hubungan Sosiolinguistik dengan Pragmatik


Pragmatik merupakan ilmu bahasa yang mempelajari tujuan dan dampak
berbahasa yang dikaitkan dengan konteks, atau penggunaan bahasa yang disesuaikan dengan topik
pembicaraan, tujuan, partisipan, tempat, dan sarana. Sebagaimana sosiolinguistik, pragmatik juga
beranggapan bahwa bahasa (tuturan) tidaklah monostyle.
Pragmatik memandang bahasa sebagai alat komunikasi yang keberadaannya (baik bentuk maupun
maknanya) ditentukan oleh penutur dan ditentukan dan keberagamannya ditentukan oleh topik,
tempat, sarana, dan waktu. Fakta-fakta ini dimanfaatkan oleh sosiolinguistik untuk menjelaskan variasi-
variasi bahasa atau ragam bahasa. Pragmatik sangat menekankan aspek tujuan dalam berkomunikasi,
seperti yang dikemukakan oleh Searle dalam tindak tuturnya. Bahasa akan berbeda karena adanya
tujuan yang berbeda. Hal-hal ini pun dimanfaatkan oleh sosiolinguistik dengan menekankan variasi
bahasa karena (berdasarkan) fungsi bahasa tersebut. Penggunaan bahasa dalam pragmatik juga sangat
mempertimbangkan faktor interlokutor, yakni orang-orang yang terlibat dalam proses berkomunikasi
dan berinteraksi. Karenanya, kode (meminjam istilah sosiolinguistik) yang digunakan pun berbeda.
Dalam sosiolinguistik, aspek interlokutor ini dikembangkan lebih jauh dengan faktor sosial atau dialek
sosial seperti tingkat sosial ekonomi, tingkat pendidikan, usia, jenis kelamin, hubungan sosial, dan
sebagainya. Semisal tuturan “3 X 4 berapa?” akan memiliki makna dan jawaban yang berbeda.
Pragmatik memandang, perbedaan itu disebabkan faktor tempat, tujuan, dan penutur. Sosiolinguistik
memandangnya dari sudut register. Meskipun demikian, keduanya memerlukan “pengetahuan
bersama” atau common ground untuk sampai kepada pemahaman yang sebenarnya.
4. Hubungan Sosiolinguistik dan Antropologi
Antropologi merupakan ilmu tentang manusia, khususnya tentang asal-usul, aneka warna bentuk fisik,
adat-istiadat, dan kepercayaan pada masa lampau. Antropologi memandang bahwa dalam budaya
terkandung aspek bahasa. Dengan demikian apabila di daerah terdapat persamaan bahasa berarti
mempunyai kekerabatan budaya yang dekat. Berarti pula, kesamaan bahasa menandai kesamaan
budaya, dan bahasa dipakai dalam proses pembentukan budaya seperti mantra, pantun berbalas, debat,
musyawarah, dan upacara-upacara adat. Antropologi membicarakan bahasa secara garis besar guna
menjelaskan aspek budaya.
Sosiolinguistik berusaha untuk memanfaatkan penggolongan masyarakat
melalui budaya yang dilakukan antropologi serta memandangnya sebagai faktor pemengaruh bahasa.
Sosiolinguistik berusaha menguji ulang data linguistik yang ditemukan antropologi itu. Pandangan hidup
(yang tercermin dalam perilaku) dipakai sebagai faktor penyebab variasi bahasa terutama aspek
kosakata dan struktur. Hal ini tampak antara lain dalam hipotesis Sapir-Whorf. Antropologi mendekati
objek secara naturalistik.
Antropologi berusaha memasuki “setting” penelitian dengan rapport sebelum mengadakan observasi
partisipatoris. Metode ini dimanfaatkan oleh sosiolinguistik guna menemukan data bahasa secara akurat
sekaligus menemukan faktor pemengaruhnya secara terperinci. Di dalam Atropologi terdapat prinsip
perkembangan dan perubahan. Prinsip ini ditransfer ke dalam sosiolinguistik sehingga muncullah istilah
kronolek, tempolek, serta istilah-istilah tabu dalam sosiolinguistik. Antropologi juga memberikan konsep
tentang struktur kebudayaan dan transformai kebudayaan kepada sosiolinguistik. Hal itu ditunjukkan
dengan munculnya istilah grandfather (karena adanya konsep dan penghargaan kepada kakek sebagai
orang tua yang mempunyai sifat dan kedudukan yang agung), serta simbok (sebagai orang tua yang
dapat melengkapi dan memberi kesempurnaan atau tombok).
Kebudayaan dalam antropologi disampaikan lewat bahasa, yang karenanya harus ada kemampuan
komunikatif. Prinsip ini pun diambil oleh sosiolinguistik. Demikian pula, pengetahuan tentang budaya
diperoleh bersamaan dengan pemerolehan bahasa, seperti sapaan, penggunaan bahasa sesuai konteks.
Melalui ini pun dapat diketahui bagaimana budaya itu hidup dalam suatu masyarakat lengkap dengan
nilai-nilai filosofi yang berkembang di dalamnya.
Bahasa dalam antropologi digunakan untuk pengungkap budaya. Dengan demikian, apa yang dipandang
penting, pastilah akan ditonjolkan. Dalam suatu masyarakat ditemukan berbagai istilah, sesuai dengan
tingkat budayanya. Di Mesir misalnya, terdapat 500 kosakata untuk singa, 200 kata untuk ular, 80 kata
untuk madu, dan 4644 kata untuk unta. Demikian pula, dalam budaya Jawa yang menonjolkan rasa
(hingga ada istilah rumangsa bisa lan bisa rumangsa) memiliki cukup banyak kosakata ajektiva afektif,
seperti sedih, susah, ngenes, nelangsa, miris, wedi, gila.

5. Hubungan Sosiolinguistik dengan Psikologi


Pada masa Chomsky, linguistik mulai dikaitkan dengan psikologi dan dipandang sebagai ilmu yang tidak
independen. Lebih jauh Chomsky mengatakan (1974) bahwa linguistik bukanlah ilmu yang berdiri
sendiri. Linguistik merupakan bagian dari psikologi dalam cara berpikir manusia. Chomsky melihat
bahasa sebagai dua unsur yang bersatu, yakni competence dan performance. Competence merupakan
unsur dalam bahasa (deep structure) dan menempatkan bahasa dari segi kejiwaan penutur, sedangkan
competence merupakan unsur yang terlihat dari parole. Dengan demikian, Chomsky memandang bahwa
bahasa bukanlah gejala tunggal. namun dipengaruhi oleh faktor kejiwaan penuturnya.
Chomsky juga mulai merambah wilayah makna walaupun akhirnya mengakui bahwa wilayah makna
merupakan wilayah yang paling sulit dalam kajian linguistik. Apa yang dikemukakan Chomsky tentang
struktur dalam dan struktur luar digunakan oleh sosiolinguistik sebagai pedoman bahwa tuturan yang
tampak sebenarnya hanyalah perwujudan dari segi kejiwaan penuturnya. Lebih lanjut sosiolinguistik
membuka diri untuk menelaah perbedaan bentuk tuturan itu.
Kaitan antara competence dan performance terlihat dari penggunaan bahasa penutur. Orang dikatakan
mempunyai kompetensi dan performansi yang baik apabila dapat menggunakan berbagai variasi bahasa
sesuai dengan situasi. Orang yang berperformansi baik tentulah memiliki kompetensi yang baik, dan
memungkinkan penggunaan kode luas (elaborated code). Sebaliknya, orang yang kompetensinya
rendah, akan muncul kode terbatas (restricted code). Dalam psikologi perkembangan terdapat fase
perkembangan yang dimulai menangis
(tangis bertujuan: lapar, dingin, takut), tengkurap, duduk, merangkak, dan berjalan. Kesemuanya diikuti
atau sejalan dengan perkembangan kebahasaannya. Dalam sosiolinguistik, hal ini diadopsi sebagai
variasi bahasa dilihat dari segi usia penutur,(orang mempelajari bahasa sesuai dengan tingkat
perkembangannya). Karenanya dikenal juga variasi bahasa remaja dan manula.
Dari sudut psikologi, laki-laki memiliki kejiwaan yang secara umum berbeda dengan wanita. Karenanya,
apa yang mereka tuturkan juga tidak sama. Sosiolinguistik mentransfer konsep ini, sehingga muncullah
istilah variasi bahasa berdasarkan genus atau jenis kelamin.

3. Kegunaan Sosiolinguistik
Setiap bidang ilmu tentu mempunyai kegunaan dalam kehidupan praktis. Begitu juga dengan
sosiolinguistik. Kegunaan sosiolinguistik bagi kehidupan praktis sangat banyak, sebab bahasa sebagai
alat komunikasi verbal manusia, tentunya mempunyai aturan-aturan tertentu. Dalam penggunaannya
sosiolinguistik memberikan pengetahuan bagaimana cara menggunakan bahasa. Sosiolinguistik
menjelaskan bagaimana menggunakan bahasa itu dalam aspek atau segi sosial tertentu seperti
dirumuskan Fishman (1967:15) bahwa yang dipersoalkan dalam sosiolinguistik adalah, “who speak what
language, to whom, when, and to what end”. Dari rumusan Fishman itu dapat kita jabarkan manfaat
atau kegunaan sosiolinguistik bagi kehidupan praktis.
Pertama-tama pengetahuan sosiolinguistik dapat kita manfaatkan dalam berkomunikasi atau
berinteraksi. Sosiolinguistik akan mendapatkan pedoman kepada kita dalam berkomunikasi dengan
menunjukkan bahasa, ragam bahasa atau gaya bahasa apa yang harus kita gunakan jika kita berbicara
dengan orang tertentu. Jika kita adalah anak dalam suatu keluarga tentu kita harus menggunakan
ragam/gaya bahasa yang berbeda jika lawan bicara kita adalah ayah, ibu, kakak, atau adik. Jika kita
seorang murid, tentu kita harus menggunakan ragam atau gaya bahasa yang berbeda pula terhadap
guru, terhadap teman kelas, atau terhadap sesama murid yang kelasnya lebih tinggi. Sosiolinguistik juga
akan menunjukkan bagaimana kita harus berbicara bila kita berada di dalam mesjid, di ruang
perpustakaan, di taman, di pasar, atau juga di lapangan sepak bola.
Dalam pengajaran bahasa di sekolah, sosiolinguistik juga mempunyai peranan besar. Coba kita
lihat. Kajian bahasa secara internal, seperti sudah dibicarakan diatas, akan menghasilkan perian-perian
bahasa secara objektif deskriptif, dalam wujud berbentuk sebuah buka tata bahasa. Kalau kajian secara
internal itu dilakukan secara deskriptif, dia akan menghasilkan sebuah buku tata bahasa deskriptif. Kalau
kajian itu dilakukan secara normatif, dia akan menghasilkan sebuah buku tata bahasa normatif. Kedua
buku tata bahasa itu mempunyai hasil perian yang berbeda. Lalu, kalau digunakan dalam penggunaan
bahasa, juga akan mempunyai persoalan yang berbeda. Kalau dalam pengajaran digunakan buku tata
bahasa deskriptif, maka kesulitannya adalah bahwa ragam bahasa yang harus diajarkan adalah ragam
bahasa baku, padahal dalam buku tersebut terekam juga hasil perian ragam nonbaku. Sebagai contoh
konkret, silahkan lihat buku Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia karya kridalaksana (1989).
Tanpa bantuan atau penjelasan sosiolinguistik buku tersebut tidak dapat digunakan dalam pendidikan
formal, sebab prefiks Nasal nge-, n-, m-, dan ny-, serta sufiks –in terekam juga sebagai khazanah afiks
bahasa Indonesia. Sebaliknya, buku Ttata Bahasa Baru Bahasa Indonesia karya Sultan Takdir Alisjahbana
(1981, cetakan ke-43) yang sangat bersifat normatif itu juga tidak dapat digunakandalam pendidikan
formal tanpa bantuan sosiolinguistik, sebab norma-norma yang digunakan sudah “ketinggalan zaman”
dari norma ragam bahasa Indonesia baku yang berlaku dewasa ini. Contoh, kata ekspres harus ditulis
experes, kata struktur, harus ditulis seteruktur, dan kata ulang sebaik-baiknya harus ditulis sebaik2nya.
Alasannya, karena menurut norma (lama) bahasa Indonesia tidak ada pola suku kata KKVK dan KKKVK,
sedangkan untuk pengulangan sudah lazim digunakan angka 2; yang lainnya, huruf x lebih hemat dari
pada gabungan huruf ks.
Buku-buku tata bahasa, sebagai hasil ujian internal terhadap bahasa, biasanya hanya menyajikan kaidah-
kaidah bahasa tanpa mengaitkannya dengan kaidah-kaidah penggunaan bahasa.

4. Masalah-Masalah Sosiolinguistik
Konferensi sosiolinguistik pertama yang berlangsung di University of California, Los Angeles, tahun 1964,
telah merumuskan adanya tujuh dimensi dalam penelitian sosiolinguistik. Ketujuh dimensi yang
merupakan masalah dalam sosiolinguistik itu adalah (1) identitas sosial dari penutur, (2) identitas sosial
dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, (3) lingkungan sosial tempat peristiwa tutur
terjadi, (4) analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial, (5) penelitian sosial yang berbeda
oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi dan ragam linguistik, dan (7)
penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik (lihat Dittmar 1976:128).
Identitas sosial dari penutur adalah, antara lain, dapat diketahui dari pertanyaan apa dan siapa
penutur tersebut, dan bagaimana hubungannya dengen lawan tuturnya. Maka, identitas penutur dapat
berupa anggota keluarga (ayah, ibu, kakak, adik, paman, dan sebagainya), dapat berupa teman karib,
atasan atau bawahan (di tempat kerja), guru, murid, tetangga, pejabat, orang yang dituakan, dan
sebagainya. Identitas penutur itu dapat mempengaruhi pilihan kode dalam bertutur.
Identitas sosial dari pendengar tentu harus dilihat dari pihak penutur. Maka, identitas pendengar
itupun dapat berupa anggota keluarga (ayah, ibu, kakak, adik, paman, dan sebagainya), dapat berupa
teman karib, atasan atau bawahan (di tempat kerja), guru, murid, tetangga, pejabat, orang yang
dituakan, dan sebagainya. Identitas pendengar atau para pendengar juga akan mempengaruhi pilihan
kode dalam bertutur.
Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi dapat berupa ruang keluargadi dalam sebuah
rumah tangga, di dalam mesjid, di lapangan sepak bola, di ruang kuliah, di perpustakaan, atau di pinggir
jalan. Tempat peristiwa tutur terjadi dapat pula mempengaruhi pilihan kode dan gaya dalam bertutur.
Misalnya, di ruang perpustakaan tentunya kita harus berbicara dengan suara yang tidak keras, di
lapangan sepak bola kita boleh berbicara keras-keras, malah diruang yang bising dengan suara mesin-
mesin kita harus berbicara dengan suara keras, sebab kalau tidak keras tentu tidak dapat didengar oleh
lawan bicara kita.
Analisis diakronik dan sinkronikdari dialek-dialek sosial berupa deskripsi pola-pola dialek-dialek
sosial itu, baik dari berlaku pada masa tertentu atau yang berlaku pada masa yang tidak terbatas. Dialek
sosial ini digunakan para penutur sehubungan dengan kedudukan mereka sebagai anggota kelas-kelas
sosial tertentu di dalam masyarakat.
Penilaian sosial yang berbeda oleh penutur terhadap bentuk-bentuk perilaku ujaran. Maksudnya,
setiap penutur tentunya mempunyai kelas sosial tertentu di dalam masyarakat. Maka, berdasarkan kelas
sosialnya itu, dia mempunyai penilaian tersendiri, yang tentunya sama, atau jadi berbeda, tidak akan
terlalu jauh dari kelas sosialnya, terhadap bentuk-bentuk perilaku ujaran yang berlangsung.
Tingkatan variasi atau linguistik, maksudnya, bahwa sehubungan dengan heterogennya anggota
suatu masyarakat tutur, adanya berbagai fungsi sosial dan politik bahasa, serta adanya tingkatan
kesempurnaan kode, maka alat komunikasi, manusia yang disebut bahasa itu menjadi sangat bervariasi.
Setiap variasi, entah namanya dialek, varietas, atau ragam, mempunyai fungsi sosialnya masing-masing.
Dimensi terakhir, yakni penerapan paraktis dari penelitian sosiolinguistik, merupakan topik yang
membicarakan kegunaan penelitian sosiolinguistik untuk mengatasi masalah-masalah praktis dalam
masyarakat. Misalnya, masalah pengajaran bahasa, pembukuan bahasa, penerjemahan, mengatasi
konflik sosial akibat konflik bahasa, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP

Berdasarkan penulisan makalah, dapat disimpulkan tentang sosiolinguistik, sebagai berikut:


1. sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi,
dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor sosial di dalam suatu masyarakat
tutur.
2. Sosiolinguistik memiliki hubungan dengan beberapa disiplin ilmu lainnya yaitu:
1. Sosiolinguistik dengan linguistik,
2. Sosiolinguistik dengan sosiologi,
3. Sosiolinguistik dengan pragmatik,
4. Sosiolinguistik dengan antropologi,
5. Sosiolinguistik dengan psikologi.
3. Kegunaan sosiolinguistik bagi kehidupan praktis sangat banyak, dalam penggunaannya
sosiolinguistik memberikan pengetahuan bagaimana cara menggunakan bahasa dalam aspek atau segi
sosial tertentu.
4. Ada tujuh dimensi yang merupakan masalah dalam sosiolinguistik yaitu (1) identitas sosial dari
penutur, (2) identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, (3) lingkungan sosial
tempat peristiwa tutur terjadi, (4) analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial, (5) penelitian
sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi dan ragam
linguistik, dan (7) penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. Kaitan Sosiolinguistik dan Disiplin Ilmu Lain. http://staff.uny.ac.id.


Chaer, Agustina. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai