Anda di halaman 1dari 50

BAB 1

PENGERTIAN SOSIOLINGUISTIK
A. Pengertian Sosiolinguistik
Sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang mengkaji hubungan antara bahasa dan
masyarakat penuturnya. Ilmu ini merupakan kajian kontekstual terhadap variasi penggunaan
bahasa masyarakat dalam sebuah komunikasi yang alami.
Variasi dalam kajian ini merupakan masalah pokok yang dipengaruhi atau
mempengaruhi perbedaan aspek sosiokultural dalam masyarakat. Kelahiran Sosiolinguistik
merupakan buah dari perdebatan panjang dan melelahkan dari berbagai generasi dan aliran.
Puncak ketidakpuasan kaum yang kemudian menamakan diri sosiolinguis ini sangat dirasakan
ketika aliran Transformasional yang dipelopori Chomsky tidak mengakui realitas sosial yang
sangat heterogen dalam masyarakat. Oleh Chomsky dan pengikutnya ini, heterogenitas berupa
status sosial yang berbeda, umur, jenis kelamin, latar belakang suku bangsa, pendidikan, dan
sebagainya diabaikan sebagai faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan pilihan-
pilihan berbahasa. Berpijak dari paradigma ini Sosiolinguistik berkembang ke arah studi yang
memandang bahwa bahasa tidak dapat dijelaskan secara memuaskan tanpa melibatkan aspek-
aspek sosial yang mencirikan masyarakat.

Istilah sosiolinguistik sendiri sudah digunakan oleh Haver C. Curie dalam sebuah artikel
yang terbit tahun 1952, judulnya “A Projection of Sociolinguistics: the relationship of speech to
social status” yang isinya tentang masalah yang berhubungan dengan ragam bahasa
seseorang dengan status sosialnya dalam masyarakat. Kelompok-kelompok yang berbeda
profesi atau kedudukannya dalam masyarakat cenderung menggunakan ragam bahasa yang
berbeda pula.

Dari pengantar ilmu sosiolinguistik tersebut, beberapa ahli berpendapat tentang studi hal
tersebut. Diantaranya:

1. Abdul Chaer (2004:2) berpendapat bahwa intinya sosiologi itu adalah kajian yang objektif
mengenai manusia di dalam masyarakat, mengenai lembaga-lembaga, dan proses
sosial yang ada di dalam masyarakat, sedangkan pengertian linguistik adalah bidang
ilmu yang mempelajari bahasa atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai
objek kajiannya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Sosiolinguistik adalah
bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan
penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat.

1
2. Sumarsono (2007:2) mendefinisikan Sosiolinguistik sebagai linguistik institusional yang
berkaitan dengan pertautan bahasa dengan orang-orang yang memakai bahasa itu.
Maksud dari penjelasan tersebut pada dasarnya menyatakan.

3. Rafiek (2005:1) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai studi bahasa dalam


pelaksanaannya itu bermaksud/bertujuan untuk mempelajari bagaimana konvensi-
konvensi tcntang relasi penggunaan bahasa untuk aspek-aspek lain tcntang perilaku
social.

4. Booiji (Rafiek, 2005:2) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai cabang linguistik yang


mempelajari faktor-faktor sosial yang berperan dalam pemakaian bahasa dan yang
berperan dalam pergaulan.

5. Wijana (2006:7) berpendapat bahwa sosiolinguistik merupakan cabang linguistik yang


memandang atau menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan
pemakai bahasa itu di dalam masyarakat. Pendapat tersebut pada intinya berpegang
pada satu kenyalaan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat manusia tidak lagi
sebagai individu, akan tetapi sebagai masyarakat sosial.

6. Fishman. Ia memberikan defini sosiolinguistik sebagai “the study of the characteristics of


language varities, the characteristics of their functions, and the characteristics of their
speakers as these three constantly interact, change, and change one another within a
speech community.”

7. Nababan, mengatakan bahwa sosiolinguistik merupakan pengkajian bahasa dengan


dimensi kemasyarakatan.

8. Wikipedia, Sosiolinguistik adalah kajian interdisipliner yang mempelajari pengaruh budaya


terhadap cara suatu bahasa digunakan. Dalam hal ini bahasa berhubungan erat
dengan masyarakat suatu wilayah sebagai subyek atau pelaku berbahasa sebagai
alat komunikasi dan interaksi antara kelompok yang satu dengan yang lain.

9. Fasold (1993: ix) mengemukakan bahwa inti sosiolinguistik tergantung dari dua
kenyataan. Pertama, bahasa bervariasi yang menyangkut pilihan bahasa-bahasa bagi
para pemakai bahasa. Kedua, bahasa digunakan sebagai alat untuk menyampaikan
informasi dan pikiran-pikiran dari seseorang kepada orang lain.

2
Berdasarkan penjelasan diatas penulis menyimpulkan bahwa. Sosiolinguistik adalah
adalah ilmu yang mempelajari ciri dan berbagai variasi bahasa, serta hubungan di antara para
pengguna bahasa dengan fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa.

B. Perbedaan Sosiolinguistik dan Sosiologi Bahasa


Fishman (dalam Pateda, 1987: 2) beranggapan, bahwa istilah sosiolinguistik dan
sosiologi bahasa merupakan dua hal yang berbeda. Sosiolinguistik lebih bersifat kualitatif,
sedangkan sosiologi bahasa bersifat kuantitatif. Artinya, sosiolinguistik mementingkan
pemakainan bahasa oleh individu-individu dalam konteks sosialnya, maka sosiologi bahasa
mementingkan keragaman bahasa sebagai akibat pelapisan sosial yang terdapat dalam
masyarakat.
Istilah sosiologi bahasa sangat berkaitan dengan sosiolinguistik. Bahkan banyak orang
menganggap bahwa keduanya sama. Namun jika diteliti, keduanya mempunyai perbedaan.
Perbedaan tersebut diungkapkan oleh Fishman, pakar sosiolinguistik yang andilnya sangat
besar dalam kajian sosiolinguistik.Perbedaan sosiolinguistik dan sosiologi bahasa adalah
sebagai berikut:
1. Sosiolinguistik
a) Kajiannya bersifat kualitatif.
b) Penelitiannya dimasuki dari bidang linguistik.
c) Lebih berhubungan dengan perincian-perincian penggunaan bahasa yang
sebenarnya.
Contohnya: deskripsi pola-pola pemakain bahasa atau dialek tertentu yang  penutur,
topik, dan latar pembicaraan
.2.      Sosiologi Bahasa
a) Kajiannya bersifat kuantitatif.
b) Penelitiannya dimasuki dari bidang sosiologi.
c) Lebih berhubungan dengan faktor-faktor sosial yang saling bertimbal balik
dengan bahasa atau dialek.
Contohnya: perkembangan bilingualisme, perkembangan pembakuan bahasa dan
perencanaan bahasa di negara-negara berkembang. Fishman dalam bukunya
menggunakan istilah sociolinguistics pada tahun 1970. Namun, pada tahun 1072
Fishman menggunakan nama Sociology of Language. Jadi, sosiolinguistik dan
sosiologi bahasa sangat berkaitan dan tidak dapat dipisahkan.

3
C. Posisi Sosiolinguistik dalam Studi Bahasa
Dalam buku Pengantar Sosiolinguistik (Aslinda dan Syafyahya, 2010: 3-11)
menjelaskan, bahwa linguistik menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya. Bidang kajian
linguistik yang mempelajari struktur internal bahasa atau hubungan bahasa dengan struktur
bahasa itu sendiri dan stuktur eksternal atau hubungan bahasa itu dengan faktor-faktor di luar
bahasa. Hal ini dibedakan atas linguistik mikro dan linguistik makro.Linguistik mikro
mengarahkan kajiannya pada struktur internal bahasa. Secara internal, kajian bahasa adalah
pengkajian hanya dilakukan terhadap struktur intern bahasa yang terdiri dari bidang fonologi,
morfologi, sintaksis, semantik, dan leksikologi. Linguistik makro mengarahkan kajiannya pada
hubungan bahasa dengan faktor-faktor di luar bahasa. Bahasa merupakan fenomena yang
tidak dapat dilepaskan dari segala kegiatan manusia bermasyarakat, sedangkan kegiatan itu
sangat luas. Oleh karena itu, cabang linguistik makro itupun menjadi sangat banyak,
diantaranya sosiolinguistik, psikolinguistik, dan antropolinguistik.

1. Linguistik Mikro
Linguistik mikro memfokuskan kajiannya terhadap struktur intern bahasa. Artinya, kajian
bahasa hanya pada struktur intern bahasa tanpa menghubungkan dengan faktor-faktor ekstern
bahasa tersebut. Kajian terhadap struktur intern bahasa ini antara lain meliputi: bidang fonologi,
morfologi, sintaksis, semantik, dan leksikologi.
a. Bidang Fonologi
Bidang kajian bahasa yang membicarakan stuktur bunyi bahasa disebut
dengan fonologi. Istilah fonologi berasal dari kata phonology, yaitu gabungan kata
phone dan logy. Kata phone berarti ‘bunyi bahasa, baik berupa bunyi vokal maupun
bunyi konsonan’ sedangkan kata logy berarti ‘ilmu pengetahuan, metode atau pikiran’
(Homdy, 1974: 627). Dalam ilmu bahasa yang dimaksud fonologi adalah salah satu
cabang ilmu bahasa umum atau (linguistik) yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa,
baik bahasa masyarakat yang sudah maju/modern maupun bunyi-bunyi bahasa
masyarakat yang masih bersahaja/primitif dalam segala aspeknya (Arifin, 1979: 1).

b. Bidang Morfologi
Morfologi membicarakan struktur intern kata. Morfologi merupakan bagian dari
struktur bahasa yang mencakup kata dan bagian-bagian kata, yakni morfem
(Kridalaksana, 1993:142). Dalam morfologi, dibicarakan seluk beluk morfem,
bagaimana cara menentukan suatu bentuk adalah morfem atau bukan,bagaimana

4
morfem-morfem itu berproses menjadi kata. Proses-proses yang membicarakan kata
dalam morfologi disebut dengan proses morfemis/proses morfologis.Proses morfemis
berkenaan dengan proses afiksasi, reduplikasi, komposisi, konversi, dan modifikasi
(chaer, 1994: 1770). Proses-proses morfemis tersebut tidak akan dibicarakan lebih
lanjut pada bab ini.
c. Bidang sintaksis
Sintaksis membicarakan hubungan kata dengan kata lain atau unsur-unsur
lain sebagai suatu satuan ujaran. Hal ini sesuai dengan asal-usul kata sintaksis itu
sendiri, yaitu bahasa Yunani sun (dengan) dan tattein (menempatkan). Jadi, secara
etimologi sintaksis berarti menempatkan kata secara bersama-sama menjadi
kelompok kata atau kalimat (Chaer, 1994: 206).d.      Bidang Semantik
Semantik adalah ilmu yang membicarakan makna atau arti suatu bahasa. Semantik
merupakan salah satu komponen dari tata bahasa (di samping sintaksis dan
morfologi) juga makna kalimat sangat ditentukan oleh komponen semantik.
d. Bidang Leksikologi
Dalam ilmu linguistik, istilah leksikologi berarti perbendaharaan kata. Cabang
linguistik yang membicarakan leksikon disebut leksikologi. Leksikologi disebut juga
dengan ilmu kosa kata yaitu ilmu yang mempelajari seluk-beluk kata, menyelidiki kosa
kata suatu bahasa, baik mengenai pemakaiannya maknanya, seperti yang dipakai
oleh masyarakat bahasa yang bersangkutan, juga dipelajari mengenai bentuk dan
sejarahnya (Usman, 1979:1).

2. Linguistik Makro
Linguistik makro mengkaji hubungan bahasa dengan faktor-faktor di luar bahasa.
Dengan kata lain, linguistik makro mengkaji hubungan bahasa dengan masyarakat pemakai
bahasa dari situasi penggunaan bahasa. Khusus untuk linguistik makro, akan menitikberatkan
kajian pada subkategori sosiolinguistik.

a. Masalah-masalah Sosiolinguistik
Masalah dalam sosiolinguistik maksudnya adalah hal-hal yang merupakan
topik-topik yang dibahas/dikaji dalam sosiolinguistik. Dalam konferensi sosiolinguistik
pertama di Universitas of California, dirumuskan tujuh masalah yang dibicarakan
dalam sosiolinguistik. Ketujuh masalah tersebut adalah (Chaer dan Agustina, 1995: 7)
1) Identitas sosial penutur;

5
2) Identitas sosial dari pendengar yang terlibat;
3) Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur;
4) Analisis sinkronik dan diakronik dai dialek-dialek sosial;
5) Penilaian sosial yang berbeda oleh penutur terhadap perilaku bentuk-bentuk
ujaran;
6) Tingkatan variasi dnaragam linguistik
7) Penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik.

Di samping tujuh masalah sosiolinguistik tersebut, ada masalah lain yang


intinya hampir sama dengan masalah tersebut. Adapun masalah/topik-topik dalam
sosiolinguistik tersebut dibicarakan oleh Nababan (1991: 4), yaitu:
1) Bahasa, dialek, idiolek, dan ragam bahasa;
2) Repertoir bahasa;
3) Masyarakat bahasa;
4) Kedwibahasaan dan kegandaan;
5) Fungsi masyarakat bahasa dan profil sosiolinguistik;
6) Penggunaan bahasa/etnografi berbahasa;
7) Sikap bahasa;
8) Perencanaan bahasa;
9) Interaksi sosiolingusitik;
10) Bahasa dan kebudayaan.

6
BAB II

SEJARAH DAN LINGKUP SOSIOLINGUISTIK

A. Sejarah Sosiolinguistik
Sosiolinguistik termasuk ilmu yang masih muda. Ilmu ini lahir karena keinginan para ahli
untuk mengkhususkan diri dalam kenyataan yang terdapat dalam masyarakat yang tidak dapat
diselesaikan oleh linguistic. Kalau kita berbicara tentang linguistic modern, maka ini bermula
dari paham F. de Saussure yang pada tahun 1916 terbit bukunya berjudul Cors de Linguistice
General. Dalam buku ini Saussure menyatakan bahwa linguistic harus dipelajari sendiri lepas
dari psikologi dan sosiologi bahkan dengan sejarah. Dalam buku itu dia membedakan linguistic
sinkronis dan linguistic historis. Di samping itu dia membedakan antara parole (=speech) yang
berwujud kenyataan pemakaian bahasa dan langue (=language) yakni system bahasa yang
didasarkan pada pemakaian bahasa.
Teori Saussure dikembangkan oleh kaum struktursl. Aliran structural dipelopori oleh L.
Bloomflied yang kemudian memecah menjadi strukturalisme Eropa dan strukturalisme di
Amerika serta strukturalisme di Praha yang lebih banyak berhubungan dengan sosiolinguistik
karena pandangan mereka bukan saja bertitik tolak dari segi structural tetapi juga dari fungsi.
Naom Chomsky mengemukakan gagasannya melalui buku yang berjudul Syntactic
Structures(1957). Dalam buku ini Chomsky membedakan apa yang disebutnya competence (=
taalvermogen, komoetensi, pengetahuan orang tentang system bahasanya sendiri) dan
performance (=taalgebruik, pemakain bahasa) bagaimana seseorang memanfaatkan system
bahasa yang diketahuinya dalam wujud penampilan bahasa. Sosiolingistik berhubungan
dengan aspek kedua karena performance yang dapat dianalisis.
Sosiolingistik lahir dari pendekatan-pendekatan ini. Artinya, orang masih tetap melihat
bahasa sebagai bahasa dan bukan bahasa dan bukan dalam tataran fungsi. Sasussure
memerhatikan parole, Bloomflied menekankan struktur, dan Chomsky memecahkan satuan-
satuan bahasa yang berwujud fonem, morfem dan kalimat.

B. Objek Kajian Sosiolingiustik


Objek kajian sosiolingistik adalah aspek bahasa yang bersifat heterogen, yakni bahasa
dalam wujudnya telah terimplementasi dalam tindak komunikasi. Butir-butir penelitian
sosiolingistik meliputi :
1. Fonem 8. Idiolek
2. Morfem 9. Dialek regional

7
3. Kata 10. Kronolek
4. Klausa 11. Sosiolek
5. Kalimat 12. Tindak Tutur
6. Wacana 13. Ragam : formal, informal, literer
7. Dialog 14. Register
15.  Bahasa yakni makna pemakaian atau pemilihan bahasa sebagai salah satu kode dalam
masyaakat tutur yang multilingual 

C. Ruang Lingkup Sosiolinguistik


Ruang lingkup sosiolinguistik terbagi menjadi dua macam, yaitu Sosiolinguistik Mikro
dan Sosiolinguistik Makro. (Abd. Syukur, 1995:43)
1. Sosiolinguistik Mikro Yakni ruang lingkup sosiolinguistik yang berhubungan dengan
kelompok kecil. Titik pusat pengkajian mikro sosiolinguistik adalah tingkah ujar (speech
act) (Sharle, 1965) yang terjadi di dalam kelompok-kelompok primair menurut sosiolog,
dan tingkah ujar itu dimodofikasi oleh variabel-variabel seperti status keakraban
(intimasi), pertalian keluarga, sikap, dan tujuan antara tiap anggota kelompok.
Kebanyakan variabel linguistik digolongkan ke dalam kelompok yang umumnya disebut
register (Crystal dan Davi, 1969) dan bukan dalam kelompok dialek, yaitu variabel yang
diakibatkan oleh penggunaan bahasa oleh individu dalam situasi tertentu yang diamati,
dan bukan pula variasi yang diakibatkan oleh karakteristik yang relatif permanen pada
diri si pemakai bahasa seperti umur, pendidikan, kelas sosial dan seterusnya.
2. Sosiolinguistik Makro Yakni ruang lingkup sosiolinguistik yang berhubungan dengan
masalah prilaku bahasa dan struktur sosial. Kajian intinya adalah: komunikasi antar
kelompok, barangkali di dalam konteks satu kelompok masyarakat, misalnya tentang
penggunaan bahasa ibu dan bahasa lokal oleh kelompok-kelompok linguistik minoritas.

8
BAB III

HUBUNGAN ANTARA SOSIOLINGUISTIK DENGAN ILMU LAIN

Sosiolinguitik meliputi tiga hal, yakni bahasa, masyarakat, dan hubungan antara bahasa
dan masyarakat. Cakupan sosiolinguistik akan semakin jelas jika kita lihat paparan yang
membandigkan sosiolinguistik dengan dengan bidang studi lain yang terkait sebagaimana
dijelaskan di bawah ini:

a. Sosiolinguistik dengan Sosiologi


Sosiologi mempelajari antara lain struktur sosial, organisasi kemasyarakatan, hubungan
antar anggota masyarakat, tingkah laku masyarakat. Secara konkret, sosiologi
mempelajari kelompok-kelompok dalam masyarakat. Di dalam masyarakat ada semacam
lapisan, seperti lapisan penguasa dan lapisan rakyat jelata, atau kasta-kasta yang
berjenjang juga dipelajari sosiologi. Sampai tahap tertentu sosiologi memang menyentuh
bahasa. Objek utama sosiologi bukan bahasa, melainkan masyarakat, dan dengan
tujuan mendeskripsikan masyarakat dan tingkah laku. Dan objek utama sosiolinguistik
adalah variasi bahasa, bukan masyarakat.
b. Sosiolinguistik dengan Linguistik Umum
Linguistik umum (general linguistics) seringkali disebut linguistik saja, mencakup fonologi,
morfologi, dan sintaksis. Linguistik disini hanya berbicara tentang struktur bahasa,
mencakup bidang struktur bunyi, struktur morfologi, struktur kalimat dan struktur wacana.
Linguistik menitik beratkan pembicaraan pada bunyi-bunyi bahasa, karena atas dasar
anggapan, bahasa itu berupa bunyi-bunyi yang berstruktur dan bersistem. Linguistik
mempunyai pandangan monolitik terhadap bahasa. Artinya, bahasa dianggap satu
sistem yang tunggal, 1. Linguistik melihat bahasa sebagai suatu sistem tertutup suatu
sistem yang berdiri sendiri terlepas dari kaitannya dengan struktur masyarakat. 2.
Sosiolinguistik melihat bahasa sebagai suatu sistem tetapi yang berkaitan dengan
struktur masyarakat, bahasa dilihat sebagai sistem yang tidak terlepas dari ciri-ciri
penutur dan dari nilai-nilai sosiobudaya yang dipatuhi oleh penutur itu, jadi bahasa dilihat
sebagai sistem yang terbuka. Sosiolinguistik menitik beratkan fungsi bahasa dalam
penggunaan, makna bahasa secara sosial.
c. Sosiolinguistik dengan Dialektologi

9
Dialektologi adalah kajian tentang variasi bahasa. Dialektologi mempelajari berbagai
dialek dalam suatu bahasa yang tersebar diberbagai wilayah. Tujuan untuk mencari
hubungan kekeluargaan diantara berbagai dialek-dialek itu juga menentukan sejarah
perubahan bunyi atau bentuk kata, berikut maknanya, dari masa ke masa dan dari saru
tempat ke tempat lain. Titik berat kajian terletak pada kata. Setelah ditemukan sejumlah
kata yang mempunyai berbagai bentuk atau lafal pada sejumlah dialek diberbagi tempat,
dialektologi membuat semacam peta, yakni peta dialek. Peta itu tertera garis-garis yang
menghubungkan tempat satu ketempat yang lain.
d. Sosiolinguistik dengan Retorika
Retorika sebagai kajian tentang tutur terpilih. Salah satu cabangnya adalah kajian
tentang gaya bahasa. Seseorang yang akan bertutur memepunyai kesempatan untuk
menggunakan berbagai variasi dan untuk itu bahasa menyediakan bahan-bahannya.
Retorika mempunyai kesejajaran dengan sosiolinguistik, yaitu variasi bahasa sebagai
objek studi keduanya. Tetapi tidak seperti retorika. Sosiolonguistik tidak hanya
memperhatikan bentuk-bentuk bahasa yang terpilih saja. Sosiolinguistik mempelajari
semua variasi yang ada, kemudian dikaitkan dengan dasar atau faktor yang
memunculkan variasi itu. Retorika cenderung kearah kajian tutur individu.
e. Sosiolinguistik dengan Psikologi Sosial
Sosiologi sosial merupakan paduan antara kajian sosiologi dengan psikologi, tetapi
merupakan bagian dari kajian psikologi. Psikologi mengurusi masalah mental individu,
seperti inteligensi, minat, sikap, kepribadian, dan semacamnya. Sosiolinguistik berkaitan
dengan bahasa masyarakat, hubungan antara sosiolinguistik dengan psikologi sosial
tentu ada. Pendekatan psikologi sosial dipakai di dalam menganalisis.
f. Sosiolinguistik dengan Antropologi
Antropologi adalah kajian tentang masyarakat dari sudut kebudayaan dalam arti luas.
Kebudayaan dalam arti luas seperti kebiasaan, adat, hukum, nilai, lembaga sosial, religi,
teknologi, bahasa. Bagi antropologi bahasa dianggap sebagai ciri penting bagi jati diri
(identitas) bagi sekelompok orang berdasarkan etnik.
g. Sosiolinguistik Makro dengan Sosiolinguistik Mikro
sosiolinguistik makro adalah ruang lingkup sosiolinguistik yang berhubungan dengan
masalah prilaku bahasa dan struktur sosial. Kajian intinya adalah komunikasi antar
kelompok, barangkali didalam konteks satu kelompok masyarakat, misalnya tentang
penggunaan bahasa ibu dengan bahasa local oleh kelompok-kelompok linguistic
minoritas. Sedangkan sosiolinguistik mikro adalah ruang lingkup sosiolinguistik yang

10
berhubungan dengan kelompok kecil. Titik pusat pengkajian mikro sosiolinguistik adalah
tingkah ujar (speech act) (Sharle,1965) yang terjadi didalam kelompok-kelompok primair
menurut sosiolog, dan tingkah ujar itu dimodifikasi oleh variable-variabel seperti status
keakraban (intimasi), pertalian keluarga, sikap dan tujuan antar tiap anggota kelompok.
Kebanyakan variable linguistik digolongkan kedalam kelompok yang umunya disebut
register (Crystal dan Davi, 1969) dan bukan dalam kelompok dialek, yaitu variable yang
diakibatkan oleh penggunaan bahasa oleh individu dalam variable tertentuyang
diamati,dan bukan pula variasi yang diakobatkan oleh karakteristik yang relative
permenen pada diri si pemakai bahasa seperti umur, kelas sosioal, pendidikan dan
seterusnya.
Kedua istilah ini, makro dan mikro mengaju pada luas dan sempit cakupan. Jika
sosiolinhuistik membicarakan masalah-masalah “besar dan luas”, ia masuk sosiolinguistik
makro. Sebaliknya, jika yang dibicarakan masalah-masalah “kecil dan sempit ” ia masuk
sosiolinguistik mikro.
Sosiolinguistik mikro menurut Roger Bell (1976), lebih menekankan perhatian pada
interaksi bahasa antar penutur didalam suatu kelompok guyuk tutur (intragrupinteraction),
sedangkan sosiologi makro menitik beratkan perhatian kepada interaksi antar penutur dalam
kontek antar kelompok (intragrupinteraction).

11
BAB IV

HUBUNGAN BAHASA DAN FAKTOR SOSIAL


A.  Pengertian Kelas Sosial
Menurut Sumarsono (2002: 43) Kelas sosial (scocial class) mengacu pada golongan
masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti
ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta dan sebagainya. Seorang individu mungkin
mempunyai setatus sosial yang lebih dari satu. Misalnya si A adalah seorang bapak
dikeluarganya, yang juga berstatus sosial sebagai guru jika dia guru disekolah negeri, dia juga
masuk kedalam kelas pegawai negeri. Jika dia seorang sarjana, dia bisa masuk kelas sosial
golongan “terdidik”.
Kelas sosial didefinisikan sebagai pembagian anggota masyarakat ke dalam suatu
hierarki status kelas yang berbeda sehingga para anggota setiap kelas secara relatif
mempunyai status yang sama, dan para anggota kelas lainnya mempunyai status yang lebih
tinggi atau lebih rendah. Kategori kelas sosial biasanya disusun dalam hierarki, yang berkisar
dari status yang rendah sampai yang tinggi. Dengan demikian, para anggota kelas sosial
tertentu merasa para anggota kelas sosial lainnya mempunyai status yang lebih tinggi maupun
lebih rendah dari pada mereka.

B.  Hubungan Bahasa dengan Konteks Sosial


Manusia adalah mahkluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri melainkan selalu
berinteraksi dengan sesamanya. Untuk keperluan tersebut, manusia menggunakan bahasa
sebagai alat komunikasi sekaligus sebagai identitas kelompok. Hal tersebut dapat dibuktikan
dengan terbentuknya berbagai bahasa di dunia yang memiliki ciri-ciri yang unik yang
menyebabkannya berbeda dengan bahasa lainnya.
Hubungan antara bahasa dengan konteks sosial tersebut dipelajari dalam bidang
Sosiolinguistik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Trudgill bahwa “Sosiolinguistik adalah
bagian linguistik yang berkaitan dengan bahasa, fenomena bahasa dan budaya. Bidang ini juga
mengkaji fenomena masyarakat dan berkaitan dengan bidang sains sosial seperti Antropologi
atau sistem kerabat Antropologi bisa juga melibatkan geografi dan sosiologi serta psychologi
sosial”.
Manakala, Fishman menyatakan bahwa Sosiolinguistik memiliki komponen utama yaitu
ciri-ciri bahasa dan fungsi bahasa. Fungsi bahasa dimaksud adalah fungsi sosial egulatory yaitu
untuk membentuk arahan dan fungsi interpersonal yaitu menjaga hubungan baik serta fungsi

12
imajinatif yaitu untuk menerangkan alam fantasi serta fungsi emosi seperti untuk
mengungkapkan suasana hati seperti marah, sedih, gembira dan apresiasi. Perkembangan
bahasa yang sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia di abad modern menunjukkan
fenomena yang berubah-ubah antara lain dengan penggunaan bahasa sebagai alat pergaulan
tertentu yang dikenal dengan variasi bahasa seperti jargon dan argot.
Variasi bahasa disebabkan oleh adanya kegiatan interaksi sosial yang dilakukan oleh
masyarakat atau kelompok yang sangat beragam dan dikarenakan oleh para penuturnya yang
tidak homogen. Dalam hal variasi bahasa ini ada dua pandangan.
Pertama, variasi itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu
dan keragaman fungsi bahasa itu. Jadi variasi bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya
keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Kedua, variasi bahasa itu sudah ada untuk
memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam.
Dalam pandangan sosiolinguistik, bahasa tidak saja dipandang sebagai gejala
individual, tetapi merupakan gejala sosial. Sebagai gejala sosial, bahasa dan pemakaiannya
tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik, tetapi juga oleh faktor-faktor nonlinguistik.
Faktor-faktor nonlinguistik yang mempengaruhi pemakaian bahasa seperti di bawah ini.

1. Faktor-faktor sosial: status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis
kelamin, dan sebagainya.
2. Faktor-faktor situasional: siapa berbicara dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di
mana, dan mengenai masalah apa.
Menurut Chaer (2010:62) variasi bahasa adalah keragaman bahasa yang disebabkan
oleh adanya kegiatan interaksi sosial yang dilakukan oleh masyarakat atau kelompok yang
sangat beragam dan dikarenakan oleh para penuturnya yang tidak homogen. Menurut Allan
Bell (dalam Coupland dan Adam, 1997:240) variasi bahasa adalah salah satu aspek yang
paling menarik dalam sosiolinguistik. Prinsip dasar dari variasi bahasa ini adalah penutur tidak
selalu berbicara dalam cara yang sama untuk semua peristiwa atau kejadian. Ini berarti penutur
memiliki alternatif atau piilihan berbicara dengan cara yang berbeda dalam situasi yang
berbeda. Cara berbicara yang berbeda ini dapat menimbulkan maksa sosial yang berbeda pula.
Jadi, berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa variasi bahasa adalah sejenis
ragam bahasa yang pemakaiannya disesuaikan dengan fungsi dan situasinya, tanpa
mengabaikan kaidah-kaidah pokok yang berlaku dalam bahasa yang bersangkutan. Hal ini
dikarenakan, variasi bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan
keragaman fungsi bahasa.

13
C. Hubungan Bahasa dengan Jenis Kelamin
Di dalam sosiolinguistik, bahasa dan jenis kelamin memiliki hubungan yang sangat erat.
Secara khusus, pertanyaan yang telah menjamur sebagai bahan diskusi adalah, “mengapa cara
berbicara wanita berbeda dengan laki-laki?” Dalam kata lain, kita tertuju pada beberapa factor
yang menyebabkan wanita menggunakan bahasa standar lebih sering dibanding pria. Di dalam
menjawab pertanyaan tersebut, kita harus menentukan bahasa sebagai bagian social,
perbuatan yang berisi nilai, yang mencerminkan keruwetan jaringan social, politik, budaya, dan
hubungan usia dalam sebuah masyarakat.
Beberapa ahli bahasa percaya bahwa wanita sadar di dalam masyarakat status mereka
lebih rendah dari pada laki-laki, mereka menggunakan bentuk bahasa yang lebih standar dari
pada laki-laki yang menghubungkan cara masyarakat memperlakukan wanita. Kesenjangan
antara pria dan wanita memang terlihat sangat jelas. Dari segi fisik, wanita terlihat lebih gemuk
namun tidak berotot dan wanita lebih lemah dibanding dengan pria. Begitu juga dengan suara,
wanita mempunyai suara yang berbeda dengan pria. Di samping itu, factor sosiokultural juga
mempengaruhi perbedaan dintara keduanya dalam berbahasa atau berbicara. Misalnya, di
dalam bidang pekerjaan, wanita memiliki peran yang berbeda dalam suatu masyarakat.
Menurut Janet Holmes, women "are designated the role of modelling correct behaviour in
the community." Dalam sudut pamdang ini, di dalam berbicara wanita diharapkan lebih sopan.
Namun, ini tidak selalu benar. Kita semua tahu bahwa hubungan antara ibu dan anaknya atau
suami dan istri biasanya tidak formal, diselingi dengan colloquial atau bentuk ujaran sehari-hari.
Selain itu, tidak dapat dibayangkan untuk seorang wanita menggunakan kata seru/lontaran
yang “keras”, seperti damn atau shit; wanita hanya dapat bilang oh dear atau fudge. Robin
Lakoff percaya bahwa syntax yang lebih banyak digunakan oleh wanita adalah question tag,
seperti You'd never do that, would you?
Dengan menggunakan bahasa yang sopan atau standar, wanita mencoba melindungai
wajahnya, (keinginan atau kebutuhan mereka). Dalam kata lain, wanita menuntut status social
yang lebih.
Selain itu ada beberapa penyebab terjadinya perbedaan berbahasa antara pria dan
wanita, diantaranya dalam fonologi, morfologi, dan diksi. Dalam segi fonologi, antara pria dan
wanita memiliki beberapa perbedaan, seperti halnya di Amerika wanita menggunakan palatal
velar tidak beraspirasi, seperti kata kjatsa (diucapkan oleh wanita) dan djatsa (diucapkan oleh
pria). Di scotlandia, kebanyakan wanita menggunakan konsonan /t/ pada kata got, not, water,
dan sebagainya. Sedangkan prianya lebih sering mengubah konsonan /t/ dengan konsonan
glottal tak beraspirasi. Dalam bidang morfologi, Lakoff menyatakan bahwa wanita sering

14
menggunakan kata-kata untuk warna, seperti mauve, beige, aquamarine, dan lavender yang
mana kata-kata ini jarang digunakan oleh pria. Selain itu, wanita juga sering menggunakan kata
sifat, seperti adorable, charming, divine, lovely, dan sweet.
Dilihat dari diksi, wanita memiliki kosa kata sendiri untuk menunjukkan efek tertentu
terhadap mereka. Kata dan ungkapan seperti so good, adorable, darling, dan fantastic. Di
samping itu bhasa inggris membuat perbedaan kata tertentu berdasarkan jenis kelamin seperti
actor-actress, waiter-waitress, mr.-mrs. Pasangan kata lain yang menunjukkan perbedaan yang
serupa adalah boy-girl, man-woman, bachelor-spinter dan lain sebagainya. Hal ini terjadi karena
adanya kesadaran dari sebagian komunitas masyarakat yang tidak kentara bahwa perbedaan
ini dibuat, dalam pilihan kosa kata, digunakan untuk menggambarkan masing-masing peranan
yang dipegang antara laki-laki dan perempuan. Dalam hal panggilan wanita juga berbeda
dengan pria. Biasanya dalam menggunakan panggilan untuk mereka (wanita) sering digunakan
kata-kata seperti dear, miss, lady atau bahkan babe (baby). Dalam bersosialisasi, biasanya laki-
laki lebih sering berbicara seputar olah raga, bisnis, politik, materi formal, atau pajak.
Sedangkan topic yang dibicarakan oleh wanita lebih menjurus kepada masalah kehidupan
social, buku, makanan, minuman, dan gaya hidup.

D.  Hubungan Bahasa dengan Usia


            Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa tidak semata-mata tidak didasarkan
atas prinsip well-formed dalam sintaksis, melainkan atas dasar kepentingan agar komunikasi
tetap dapat berjalan. Lebih tepatnya, dengan mengikuti kecenderungan dalam etnometologi,
bahasa digunakan oleh masyarakat tutur sebagai cara para peserta interaksi saling memahami
apa yang mereka ujarkan. Atas dasar ini, pertama, dapat di pahami dan memang sering kita
temukan, bahwa komunikasi tetap dapat berjalan meskipun menggunakan bahasa yang tidak
apik secara sintaksis; dan kedua, demi kebutuhan para anggota masyarakat tutur untuk
mengorganisasi dan memahami kegiatan mereka, selain tata bahasa, makna juga merupakan
hal yang tidak dapat diabaikan dalam analisis bahasa. Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa perbedaan utama antara sintaksis dan pragmatik, sekaligus menyatakan pentingnya
study pragmatik dalam lingustik, terletak pada makna ujaran dan pada pengguna bahasa. Salah
satunya adalah bahasa berpengaruh pada tingkat usia. Yaitu bagaimana kita menggunakan
bahasa pada orang yang lebih tua, dengan sesama/sebaya, atau bahkan dengan anak-anak.

15
E.  Hubungan Bahasa dengan Seni dan Religi
Bahasa, seni dan religi adalah tiga hal yang tidak terpisahkan. Dalam bahasa ada
kesenian dan religi. Sebaliknya dalam seni dan agama terdapat bahasa. Ketiganya merupakan
unsur kebudayaan yang universal. Bahasa, seni dan religi merupakan 3 dari 7 unsur
kebudayaan universal. Bahasa menempati urutan pertama, religi urutan keenam dan kesenian
urutan ke ketujuh. Menurut Robert Sibarani (2002), bahasa ditempatkan urutan pertama karena
manusia sebagai makhluk biologis harus berinteraksi dan berkomunikasi dalam kelompok
sosial.
Untuk mengadakan interaksi dan komunikasi, manusia memerlukan bahasa. Bahasa
merupakan kebudayaan yang pertama dimiliki setiap manusia dan bahasa itu dapat
berkembang karena akal atau sistem pengetahuan manusia. Dalam proses kehidupannya,
manusia kemudian menyadari dirinya sebagai makhluk yang lemah dalam memenuhi berbagai
kebutuhan hidupnya, maka lahirlah keyakinan didalam diri manusia bahwa ada kekuatan lain
yang maha dahsyat di luar dirinya. Timbul dan berkembanglah religi. Untuk mengiringi
kepercayaan atau sistem religi itu supaya lebih bersemangat dan lebih semarak maka
diciptakanlah seni. Berdasarkan uraian di atas, hubungan bahasa, seni dan
agama/religi/kepercayaan adalah kesenian menyempurnakan dan menyemarakkan sistem religi
dengan menggunakan media bahasa.
Bahasa, seni dan religi merupakan unsur-unsur kebudayaan universal. Bahasa
menempati urutan pertama. Bahasa adalah induk dari segala kebudayaan. Atas dasar itu,
hubungan bahasa, seni dan religi dapat juga diperoleh dengan memahami hubungan bahasa
dengan kebudayaan. Menurut Robert Sibarani (2002), fungsi bahasa dalam kebudayaan dapat
diperinci:
1. Bahasa sebaga sarana pengembangan kebudayaan.
2. bahasa sebagai penerus kebudayaan.
3. Bahasa sebagai inventaris ciri-ciri kebudayaan.
Bahasa sebagai sarana pengembangan kebudayaan mengandung makna bahwa
bahasa berperan sebagai alat atau sarana kebudayaan, untuk mengembangkan kebudayaan
itu sendiri. Kebudayaan Indonesia dikembangkan melalui bahasa Indonesia. Khazanah
kebudayaan Indonesia dijelaskan dan disebarkan melalui bahasa Indonesia, sebab penerimaan
kebudayaan hanya bisa terwujud apabila kebudayaan itu dimengerti, dipahami dan dijunjung
masyarakat itu sendiri. Sarana untuk memahami kebudayaan adalah bahasa. Atas dasar itu,
hubungan bahasa dengan kesenian dan religi adalah bahasa sebagai sarana pengembangan
kesenian dan religi. Kesenian dan religi yang ada di Indonesia dikembangkan melalu bahasa

16
Indonesia. Kesenian dan religi yang tumbuh dan berkembang di Indonesia adalah kesenian dan
religi yang dapat dimengerti dan dipahami oleh masyarakat Indonesia. Sarana untuk memahami
kesenian dan religi adalah bahasa Indonesia.
Bahasa sebagai jalur penerus kebudayaan mengandung makna bahwa bahasa
berperan sebagai sarana pewarisan kebudayaan dari generasi ke generasi. Menurut Robert
Sibarani (2002), kebudayaan nenek moyang yang meliputi pola hidup, tingkah laku, adat
istiadat, cara berpakaian, dan sebagainya dapat kita warisi dan wariskan kepada anak cucu kita
melalui bahasa. Atas dasar itu, hubungan bahasa dengan kesenian dan religi adalah bahasa
berperan sebagai sarana pewarisan kebudayaan dari generasi ke generasi. Kesenian dan religi
nenek moyang kita yang sudah ada beratus-ratus tahun lalu masih bisa dipelajari oleh kita
sekarang hanya karena bantuan bahasa. Kesenian dan sistem religi yang tertulis dalam
naskah-naskah lama, yang mungkin ditulis beratus-ratus tahun lalu bisa kita nikmati sekarang
hanya karena ditulis dalam bahasa.
Bahasa sebagai inventaris ciri-ciri kebudayaan mengandung makna bahwa bahasa
berperan dalam penamaan atau pengistilahan suatu unsur kebudayaan baru sehingga dapat
disampaikan dan dimengerti. Menurut Robert Sibarani (2002), setiap unsur kebudayaan, mulai
dari unsur terkecil sampai unsur terbesar diberi nama atau istilah. Dalam proses pembelajaran
dan pengajaran kebudayaan, nama atau istilah pada unsur kebudayaan sekaligus berfungsi
sebagai inventarisasi kebudayaan tersebut, yang berguna untuk pengembangan selanjutnya.
Atas dasar itu, hubungan bahasa dengan kesenian dan sistem religi adalah bahasa berperan
dalam penamaan atau pengistilahan unsur-unsur kesenian dan religi baru sehingga dapat
disampaikan dan dimengerti oleh yang menerimanya. Setiap unsur kesenian dan religi, dari unit
yang terkecil sampai yang terbesar diberi nama atau istilah. Dalam proses pembelajaran dan
pengajaran kesenian dan religi. Nama atau istilah itu digunakan untuk menginventarisasi
kesenian dan religi tersebut untuk pengembangan selanjutnya.
Bagaimanakah hubungan religi dengan kesenian? Menurut William A. Haviland (1999),
“kesenian harus dihubungkan dengan, tetapi juga harus dibedakan dari agama. Garis pemisah
di antara keduanya tidak tegas.” Kesenian dan religi sangat berhubungan, hubungan yang erat
itu melahirkan kesenian religi yang biasa digunakan untuk mengiringi upacara-upacara
keagamaan. Dengan diringi berbagai jenis sastra, nyanyian dan musik, upacara keagamaan
berlangsung dengan semarak, khidmat dan turut membantu mewujudkan situasi dan keadaan
yang membuat umatnya terasa semakin lebih dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa. Kesenian
adalah sebagai sarana penyaluran bakti dan pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

17
F.   Hubungan Bahasa dengan Budaya atau Geografi
Ada berbagai toeri mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan
bahasa itu merupakanbagian dari kebudayaan, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa
bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang
sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan. Ada yang mengatakan bahwa bahasa sangat
dipengaruhi oleh kebudayaan,sehingga segala hal yang ada dalam kebudayaan akan tercermin
di dalam bahasa.begitu pula Sebaliknya, ada juga yang mengatakan bahwa bahasa sangat
dipengaruhi kebudayaan dan cara berpikir manusia atau masyarakat penuturnya.
Menurut Koentjaraningrat sebagaimana dikutip Abdul Chaer dan Leonie dalam bukunya
Sosiolinguistik bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi, hubunganantara bahasa dan
kebudayaanmerupakan hubungan yang subordinatif, dimana bahasa berada dibawah lingkup
kebudayaan.Namun pendapat lain ada yang mengatakan bahwa bahasadan kebudayaan
mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya
sama tinggi. Masinambouw menyebutkan bahwabahasa dan kebudayaan merupakan dua
sistem yang melekat pada manusia.Kalau kebudayaan itu adalah sistem yang mengatur
interaksi manusia didalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi
sebagai saranaberlangsungnya interaksi itu. Dengan demikian hubungan bahasa dan
kebudayaan seperti anak kembar siam,dua buah fenomena sangat erat sekalibagaikan dua sisi
mata uang, sisi yang satu sebagai sistem kebahasaan dan sisi yang lain sebagai sistem
kebudayaan. Komponen-komponen lingkungan hidup tersebut terdiri dari dua jenis, yaitu
komponen biotik dan komponen abiotik. Komponen biotik adalah makhluk hidup yang meliputi
hewan, tumbuhan danmanusia. Komponen abiotik adalah benda-benda tak hidup (mati) antara
lain air,tanah, batu, udara dan cahaya matahari.Semua komponen yang berada di
dalamlingkungan hidup merupakan satukesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan membentuk
sistem kehidupan yangdisebut ekosistem.Antara komunitas dan lingkungannya selalu terjadi
interaksi. Interaksi ini menciptakan kesatuan ekologi yangdisebut ekosistem.
Ekosistem merupakan suatu kesatuan fungsional antara komponen biotik dan
komponen abiotik.Ekosistem merupakan suatu interaksi yang komplek dan memiliki
penyusunan yang beragam.Efek langsung perubahan iklim terhadap kesehatan manusia
tidaklah mudahdirumuskan.Definisi perubahan iklim dan efek langsung bervariasi. Iklim
mencakup perubahan suhu permukaan bumi, yang dipengaruhi letak geografis, ketinggian, dan
lingkungan biota suatu daerah.Kunci perubahan iklim adalah perubahan suhu di suatu tempat di
muka bumi. Perubahan suhu tersebut mempengaruhi angin, hujan, salju,tumbuh‐tumbuhan,
dan setelah itu hewan,termasuk organisme mikro. Jika kita analisis perubahan suhu permukaan

18
salah satu bagian bumi, sebagai penyebab perubahan lainnya, maka efek yang paling langsung
terhadap kesehatan masnusia adalah efek ekstrim dingin dan ekstrim panas,relatif terhadap
rentang suhu yang toleransi manusia, tanpa manipulasi diri atau lingkungan.Ketika gelombang
panas melanda Eropa,banyak kematian penduduk lanjut usia tidak terhindarkan. Seperti
dikemukakan oleh Confalonieri (2007), gelombang panas yang menyerang Perancis di bulan
Juli dan Agustus 2003telah menewaskan lebih dari 14.800 orang.Kematian tersebut merupakan
dampak langsung dariiklim ekstrim panas.sesungguhnya efek iklim terhadap kesehatan secara
tidak langsung sudahdikenal sejak lama. Kita mengenal siklusdemam berdarah yang terkait
dengan musim hujan. Begitu juga dengan serangan influenza, malaria, diare, tifus dan
sebagainya. Penyakit-penyakit tersebut berhubungan dengan perubahan iklim melalui
perubahan kehidupan vektor atau bahan bahan transmisi penyebab penyakit.
Geografi agama dikembangkan oleh beberapa tokoh antara lain Jongeneel,P.
Deffontaines, dan D.E. Sopher.Geografi agama bukan hanya menelaah pengaruh ruang atas
agama dan gejala keagamaan namun juga sebaliknya yakni pengaruh agama dan gejala
keagamaan atas keruangan.Relasi antara agama dan tata ruang sebenarnya sudah diketahui
sejak zaman kuno, salah satu tokohnya yaitu Hippocrates namun baru mulai populerdi zaman
filsuf pencerahan salah satunya oleh Montesquieu di Prancis.Montesquieu mengungkapkan
bahwa agama monotheisme seprti Yahudi,Kristen, dan Islam lahir di tepi-tepi gurun pasir
dengan bentang alam yang monoton diungkapkanpula bahwa hampir semua agama besar
muncul diwilayah permukaan bumi yang diapit 25 dan 35 derajat Lintang Utara. Deffontaines
membicarakan geografi agama dalam 5 pokok:
1. Agama dan geografi sebagai tempat kediaman baik bagi orang yang masih hidup maupun
bagi yang sudah matiserta bagi dewa-dewa.
2. Agama dan penduduk; pengaruh agama atas daerah dan sejarah penduduk; agama dan
macam-macampenduduk; agama dan kota-kota; agama dan demografi.
3. Agama dan eksploitasi; agama dan pertanian; agama dan peternakan; agama dan
industri; agama danpotensi geografis daerah.
4. Agama dan lalu lintas; pengungsianpara penganut agama; kegiatan ziarah; perdagangan
dan pertukaran barang atas latar belakang agama; jalan sebagai alat transportasi.
5. Agama dan jenis kehidupan; kalender agama; tata kerja pemimpin agama; pekerjaan
sehari-hari kebiasaan.
Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu:
a. Alat-alat teknologi.
b. Sistem ekonomi.

19
c. Keluarga.
d. Kekuasaan politik-Politik.

Bronislaw Malinowski mengatakanada 4 unsur pokok yang meliputi:


1. Sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat
untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya.
2. Organisasi ekonomi.
3. Alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah
lembaga pendidikan utama).
4. Organisasi kekuatan (politik)..

G.  Hubungan Bahasa dengan Pranata Sosial


Kehidupan bermasyarakat selalu menimbulkan hubungan antar manusia dalam suatu
lingkungan kehidupan tertentu. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan manusia lain
untuk berinteraksi dan saling memenuhi kebutuhan hidupnya yang tidak dapat dipenuhinya
sendiri.
 Pranata sosial berasal dari bahasa asing social institutions, itulah sebabnya ada
beberapa ahli sosiologi yang mengartikannya sebagai lembaga kemasyarakatan. Menurut
Horton dan Hunt (1987), yang dimaksud dengan pranata sosial adalah suatu sistem norma
untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dianggap penting. Dengan
kata lain, pranata sosial adalah sistem hubungan sosial yang terorganisir yang yang
mengejawantahkan nilai-nilai serta prosedur umum yang mengatur dan memenuhi kegiatan
pokok warga masyarakat. 
Tiga kata kunci di dalam pembahasan mengenai pranata sosial adalah:
1. Nilai dan Norma;
2. Pola perilaku yang dibakukan atau yang disebut prosedur umum, dan
3. Sistem hubungan, yakni jaringan peran serta status yang menjadi wahana untuk
melaksanakan perilaku sesuai dengan prosedur umum yang berlaku.
 Menurut Koenjaraningrat (1978) yang dimaksud dengan pranata-pranata sosial adalah
sistem-sistem yang menjadi wahana yang memungkinkan warga masyarakatnya untuk
berinteraksi menurut pola-pola resmi atau suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang
berpusat pada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam
kehidupan mereka.

20
Pranata sosial adalah sesuatu yang bersifat konsepsional,artinya bahwa eksistensinya
hanya dapat ditangkap dan dipahami melalui sarana pikir, dan hanya dapat dibayangkan dalam
imajinasi sebagai suatu konsep atau konstruksi pikir.
 Pranata sosial terdapat dalam setiap masyarakat, baik masyarakat sederhana maupun
masyarakat kompleks atau masyarakat modern, karena pranata sosial merupakan tuntutan
mutlak adanya suatu masyarakat atau komunitas. Sebuah komunitas dimana manusia tinggal
bersama membutuhkan pranata demi tujuan keteraturan. Semakin kompleks kehidupan
masyarakat semakin kompleks pula pranata yang dibutuhkan atau yang dihasilkan guna
pemenuhan kebutuhan pokoknya dalam kehidupan bersama. Pranata berjalan seiring dengan
semakin majunya masyarakat.
Hal-hal di atas telah membuktikan bahwa bahasa sangat berperan dalam kegiatan
manusia. Secara umum, tujuan utama diciptakannya pranata sosial, selain untuk mengatur agar
kebutuhan hidup manusia dapat terpenuhi secara memadai, juga sekaligus untuk mengatur
agar kehidupan sosial warga masyarakat bisa berjalan dengan tertib dan lancer sesuai dengan
kaidah-kaidah yang berlaku di masyarakat itu sendiri.

21
BAB V

VARIASI BAHASA

A. Hakikat Variasi Bahasa


Variasi bahasa disebabkan oleh adanya kegiatan interaksi sosial yang dilakukan oleh
masyarakat atau kelompok yang sangat beragam dan dikarenakan oleh para penuturnya yang
tidak homogen. Dalam hal variasi bahasa ini ada dua pandangan.
Pertama, variasi itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan
keragaman fungsi bahasa itu. Jadi variasi bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman
sosial dan keragaman fungsi bahasa. Kedua, variasi bahasa itu sudah ada untuk memenuhi
fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam.
Dalam pandangan sosiolinguistik, bahasa tidak saja dipandang sebagai gejala individual,
tetapi merupakan gejala sosial. Sebagai gejala sosial, bahasa dan pemakaiannya tidak hanya
ditentukan oleh faktor-faktor linguistik, tetapi juga oleh faktor-faktor nonlinguistik. Faktor-faktor
nonlinguistik yang mempengaruhi pemakaian bahasa seperti di bawah ini.

1. Faktor-faktor sosial: status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis
kelamin, dan sebagainya.
2. Faktor-faktor situasional: siapa berbicara dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di
mana, dan mengenai masalah apa.
Menurut Chaer (2010:62) variasi bahasa adalah keragaman bahasa yang disebabkan oleh
adanya kegiatan interaksi sosial yang dilakukan oleh masyarakat atau kelompok yang sangat
beragam dan dikarenakan oleh para penuturnya yang tidak homogen. Menurut Allan Bell (dalam
Coupland dan Adam, 1997:240) variasi bahasa adalah salah satu aspek yang paling menarik
dalam sosiolinguistik. Prinsip dasar dari variasi bahasa ini adalah penutur tidak selalu berbicara
dalam cara yang sama untuk semua peristiwa atau kejadian. Ini berarti penutur memiliki
alternatif atau piilihan berbicara dengan cara yang berbeda dalam situasi yang berbeda. Cara
berbicara yang berbeda ini dapat menimbulkan maksa sosial yang berbeda pula. Jadi,
berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa variasi bahasa adalah sejenis ragam
bahasa  yang pemakaiannya disesuaikan dengan fungsi dan situasinya, tanpa mengabaikan
kaidah-kaidah pokok yang berlaku dalam bahasa yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan, variasi
bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa.

22
B. Penyebab Adanya Variasi Bahasa
Beberapa penyebab adanya variasi bahasa adalah sebagai berikut :
1. Interferensi
Chaer (1994:66) memberikan batasan bahwa interferensi adalah terbawa masuknya unsur
bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan,sehingga tampak adanya penyimpangan
kaidah dari bahasa yang digunakan itu. Bahasa daerah menjadi proporsi utama dalam
komunikasi resmi, sehingga rasa cinta terhadap bahasa nasional terkalahkan oleh bahasa daerah.
Alwi, dkk. (2003:9) menyatakan bahwa banyaknya unsur pungutan dari bahasa Jawa,
misalnya pemerkayaan bahasa Indonesia, tetapi masuknya unsur pungutan bahsa Inggris oleh
sebagian orang dianggap pencemaran keaslian dan kemurnian bahasa kita. Hal tersebut yang
menjadi sebab adanya interferensi. Selain bahasa daerah, bahasa asing (Inggris) bagi sebagian
kecil orang Indonesia ditempatkan di atas bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa inggris di ruang
umum telah menjadi kebiasaan yang tidak terelakkan lagi. Hal tersebut mengakibatkan lunturnya
bahasa dan budaya Indonesia yang secara perlahan tetapi pasti telah menjadi bahasa primadona.
Misalnya masyarakat lebih cenderung menggunakan kata “pull” untuk “dorong” dan “push”
untuk “tarik”, serta “welcome” untuk “selamat datang”.
 2. Integrasi
Selain Interferensi, integrasi juga dianggap sebagai pencemar terhadap bahasa Indonesia.
Chaer (1994:67), menyatakan bahwa integrasi adalah unsur-unsur dari bahasa lain yang terbawa
masuk dan sudah dianggap, diperlukan dan di pakai sebagai bagian dari bahasa yang menerima
atau yang memasukinya. Proses integrasi ini tentunya memerlukan waktu yang cukup lama,
sebab unsur yang berintegrasi itu telah di sesuaikan, baik lafalnya, ejaannya, maupun tata
bentuknya. Contoh kata yang berintegrasi seperti montir, sopir, dongkrak.
3. Alih Kode dan Campur Kode
Chaer (1994:67) menyatakan bahwa alih kode adalah beralihnya suatu kode (entah
bahasa atau ragam bahasa tertentu) ke dalam kode yang lain (bahasa lain). Campur kode adalah
dua kode atau lebih di gunakan bersama tanpa alasan, dan biasanya terjadi dalam situasi santai
(Chaer, 1994:69). Diantara dua gejala bahasa itu, baik alih kode maupun campur kode gejala
yang sering merusak bahasa Indonesia adalah campur kode. Biasanya dalam berbicara dalam
bahasa Indonesia di campurkan dengan unsur-unsur bahasa daerah, begitu juga sebaliknya.

23
Dalam kalangan orang terpelajar sering kali bahasa Indonesia di campur dengan unsur-unsur
bahasa Inggris.
4. Bahasa Gaul
Bahasa gaul merupakan salah satu cabang dari bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk
pergaulan. Istilah ini mulai muncul pada akhir tahun 1980-an. Pada saat itu bahasa gaul dikenal
sebagai bahasanya para anak jalanan. Penggunaan bahasa gaul menjadi lebih dikenal khalayak
ramai setelah Debby Sahertian mengumpulkan kosa kata yang digunakan dalam komunitas
tersebut dan menerbitkan kamus yang bernama kamus bahasa gaul pada tahun 1999. Contoh
penggunaan bahasa gaul adalah seperti : Ayah (Bokap), Ibu (Nyokap), Saya (Gue), dan lain-lain.
C. Jenis Variasi Bahasa
Chaer dan Agustina (2010:62) mengungkapkan variasi bahasa itu ada beberapa jenis,
diantaranya:
1. Variasi Bahasa dari Segi Penutur
a. Variasi Bahasa Idiolek
Variasi bahasa idiolek adalah variasi bahasa yang bersifat perorangan. Menurut
konsep idiolek setiap orang mempunyai variasi bahasa atau idioleknya masing-masing.
Idiolek ini berkenaan dengan “warna” suara, pemilihan diksi, gaya bahasa, susunan
kalimat, ekspresi, dan bahkan karena kelainan keadaan rohani dan kemampuan intelektual
.Yang paling dominan adalah warna suara, kita dapat mengenali suara seseorang yang
kita kenal hanya dengan mendengar suara tersebut.
b. Variasi Bahasa Dialek
Variasi bahasa dialek adalah variasi bahasa dari sekelompok penutur yang
jumlahnya relatif, yang berada pada suatu tempat, wilayah, atau area tertentu.
Umpamanya, bahasa Jawa dialek Banyumas, Pekalongan, Surabaya, dan lain sebagainya.
c. Variasi Bahasa Kronolek atau Dialek Temporal
Variasi bahasa kronolek atau dialek temporal adalah variasi bahasa yang
digunakan oleh sekelompok sosial pada masa tertentu. Misalnya, variasi bahasa Indonesia
pada masa tahun tiga puluhan, variasi bahasa pada tahun lima puluhan, dan variasi bahasa
pada masa kini.

24
d. Variasi Bahasa Sosiolek
Variasi bahasa sosiolek adalah variasi bahasa yang berkenaan dengan status,
golongan, dan kelas sosial para penuturnya. Variasi bahasa ini menyangkut semua
masalah pribadi para penuturnya, seperti usia, pendidikan, seks, pekerjaan, tingkat
kebangsawanan, keadaan sosial ekonomi, dan lain sebagainya.
 Variasi bahasa sosiolek dibagi menjadi sebagai berikut:
1. Variasi Bahasa Berdasarkan Usia
Variasi bahasa berdasarkan usia yaitu varisi bahasa yang digunakan
berdasarkan tingkat usia. Misalnya variasi bahasa anak-anak akan berbeda dengan variasi
remaja atau orang dewasa.
2. Variasi Bahasa Berdasarkan Pendidikan
Yaitu variasi bahasa yang terkait dengan tingkat pendidikan si pengguna
bahasa. Misalnya, orang yang hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar akan berbeda
variasi bahasanya dengan orang yang lulus sekolah tingkal atas. Demikian pula, orang
lulus pada tingkat sekolah menengah atas akan berbeda penggunaan variasi bahasanya
dengan mahasiswa atau para sarjana.
3)      Variasi Bahasa Berdasarkan Seks
Variasi bahasa berdasarkan seks adalah variasi bahasa yang terkait dengan
jenis kelamin dalam hal ini pria atau wanita. Misalnya, variasi bahasa yang digunakan o!
eh ibu-ibu akan berbeda dengan varisi bahasa yang digunakan oleh bapak-bapak.
4)      Variasi Bahasa Berdasarkan Profesi
Variasi bahasa berdasarkan profesi adalah variasi bahasa yang terkait dengan
jenis profesi, pekerjaan dan tugas para penguna bahasa tersebut. Misalnya, variasi yang
digunakan oleh para buruh, guru, mubalik, dokter, dan lain sebagninya tentu mempunyai
perbedaan variasi bahasa.
5)      Variasi Bahasa Berdasarkan Tingkat Kebangsawanan
Variasi bahasa berdasarkan lingkal kebangsawanan adaiah variasi yang lerkail
dengan lingkat dan kedudukan penuliir (kebangsawanan atau raja-raja) dalam
masyarakatnya. Misalnya, adanya perbedaan variasi bahasa yang digunakan oleh raja
(keturunan raja) dengan masyarakat biasa dalam bidang kosa kata, seperti kata mati
digunakan untuk masyarakat biasa, sedangkan para raja menggunakan kata mangkat.

25
6)      Variasi Bahasa Berdasarkan Tingkat Ekonomi Para Penutur
Variasi bahasa berdasarkan tingkat ekonomi para penutur adalah variasi bahasa
yang mempunyai kemiripan dengan variasi bahasa berdasarkan tingkat kebangsawanan
hanya saja tingkat ekonomi bukan mutlak sebagai warisan sebagaimana halnya dengan
tingkat kebangsawanan. Misalnya, seseorang yang mempunyai tingkat ekonomi yang
tinggi akan mempunyai variasi bahasa yang berbeda dengan orang yang mempunyai
tingkat ekonomi lemah.
7)      Variasi Bahasa Berdasarkan Tingkat Golongan, Status, dan Kelas Sosial
Dalam Chaer dan Agustina (2010:87-89) variasi bahasa berdasarkan tingkat
golongan, status dan kelas sosial para penuturnya dikenal adanya variasi bahasa akrolek,
basilek, vulgar, slang, kulokial, jargon, argoi, dan ken. Adapun penjelasan tentang variasi
bahasa tersebut adalah sebagai berikut:
a. Akrolek adalah variasi sosial yang dianggap lebih tinggi atau lebih bergengsi
darivariasi sosial lainya;
b. Basilek adalah variasi sosial yang dianggap kurang bergengsi atau bahkan
dipandang rendah;
c. Vulgar adalah variasi sosial yang ciri-cirinya tampak pada pemakai bahasa yang
kurang terpelajar atau dari kalangan yang tidak berpendidikan;
d. Slang adalah variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia;
e. Kolokial adalah variasi sosial yang digunakan dalam percakapan sehari-hari yang
cenderung menyingkat kata karena bukan merupakan bahasa tulis. Misalnya dok
(dokter), prof (profesor), let (letnan), nda (tidak);
f. Jargon adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas oleh kelompok sosial
tertentu. Misalnya, para montir dengan istilah roda gila, didongkrak, dll;
g. Argot adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas oleh profesi tertentu dan
bersifat rahasia. Misalnya, bahasa para pencuri dan tukang copet, barang dalam arti
mangsa, daun dalam arti uang, dll;
h. Ken adalah variasi sosial yang bernada memelas, dibuat merengek-rengek penuh
dengan kepura-puraan. Biasanya digunakan oleh para pengemis.

26
D. Variasi Bahasa dari Segi Pemakaian
Variasi bahasa berkenaan dengan pemakaian atau fungsinya disebut fungsiolek atau
register adalah variasi bahasa yang menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau
bidang apa. Misalnya bidang jurnalistik, militer, pertanian, perdagangan, pendidikan, dan
sebagainya. Variasi bahasa dari segi pemakaian ini yang paling tanpak cirinya adalah dalam hal
kosakata.
Setiap bidang kegiatan biasanya mempunyai kosakata khusus yang tidak digunakan
dalam bidang lain. Misalnya, bahasa dalam karya sastra biasanya menekan penggunaan kata dari
segi estetis sehingga dipilih dan digunakanlah kosakata yang tepat. Ragam bahasa jurnalistik
juga mempunyai ciri tertentu, yakni bersifat sederhana, komunikatif, dan ringkas. Sederhana
karena harus dipahami dengan mudah; komunikatif karena jurnalis harus menyampaikan berita
secara tepat; dan ringkas karena keterbatasasan ruang (dalam media cetak), dan keterbatasan
waktu (dalam media elektronik). Intinya ragam bahasa yang dimaksud di atas, adalah ragam
bahasa yang menunjukan perbedaan ditinjau dari segi siapa yang menggunakan bahasa tersebut.

E. Variasi Bahasa dari Segi Keformalan


Joos (Chaer dan Agustina, 2010:70) membagi variasi bahasa atas lima macam, yaitu:
a. Ragam Beku (frozen).
Gaya atau ragam beku adalah variasi bahasa yang paling formal, yang digunakan pada
situasi-situasi hikmat, misalnya dalam upacara kenegaraan, khotbah, dan sebagai nya.
b. Ragam Resmi
Gaya atau ragam resmi adalah variasi bahasa yang biasa digunakan pada pidato
kenegaraan, rapat dinas, surat-menyurat, dan lain sebagainya.
c. Ragam Usaha (konsultatif)
Gaya atau ragam usaha atau ragam konsultatif adalah variasi bahasa yang lazim dalam
pembicaraan biasa di sekoiah, rapat-rapat, atau pembicaraan yang berorientasi pada hasil
atau produksi.
d. Ragam Santai (casual)
Gaya bahasa ragam santai adalah ragam bahasa yang digunakan dalam situasi yang tidak
resmi untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman karib pada waktu istirahat
dan sebagainya.

27
e. Ragam Akrab (intimate)
Gaya atau ragam akrab adalah variasi bahasa yang biasa digunakan leh para penutur yang
hubungannya sudah akrab. Variasi bahasa ini biasanya pendek-pendek dan tidak jelas.

F. Variasi Bahasa dari Segi Sarana


Variasi bahasa dapat pula dilihat dari segi sarana atau jalur yang digunakan. Misalnya,
telepon, telegraf, radio yang menunjukan adanya perbedaan dari variasi bahasa yang digunakan.
Jenisnya adalah ragam atau variasi bahasa lisan dan bahasa tulis yang pada kenyataannya
menunjukan struktur yang tidak sama. Ragam bahasa lisan adalah bahan yang dihasilkan alat
ucap (organ of speech) dengan fonem sebagai unsur dasar. Ragam bahasa tulis adalah bahasa
yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya.

28
BAB VI
BAHASA DALAM KOMUNIKASI

A. Pengertian Bahasa.
Menurut Gorys Keraf (1997 : 1), Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota
masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Mungkin ada yang
keberatan dengan mengatakan bahwa bahasa bukan satu-satunya alat untuk mengadakan
komunikasi. Mereka menunjukkan bahwa dua orang atau pihak yang mengadakan komunikasi
dengan mempergunakan cara-cara tertentu yang telah disepakati bersama.  Lukisan-lukisan,
asap api, bunyi gendang atau tong-tong dan sebagainya.
Tetapi mereka itu harus mengakui pula bahwa bila dibandingkan dengan bahasa,
semua alat komunikasi tadi mengandung banyak segi yang lemah.  Bahasa memberikan
kemungkinan yang jauh lebih luas dan kompleks daripada yang dapat diperoleh dengan
mempergunakan media tadi. Bahasa haruslah merupakan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap
manusia. Bukannya sembarang bunyi. Dan bunyi itu sendiri haruslah merupakan simbol atau
perlambang.
B. Aspek Bahasa.
Bahasa merupakan suatu sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol
vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer, yang dapat diperkuat dengan gerak-gerik badaniah
yang nyata. Ia merupakan simbol karena rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap
manusia harus diberikan makna tertentu pula. Simbol adalah tanda yang diberikan makna
tertentu, yaitu  mengacu kepada sesuatu yang dapat diserap oleh panca indra.
Berarti bahasa mencakup dua bidang, yaitu vokal yang dihasilkan oleh alat ucap
manusia, dan arti atau makna yaitu hubungan antara rangkaian bunyi vokal dengan barang
atau hal yang diwakilinya,itu. Bunyi itu juga merupakan getaran yang merangsang alat
pendengar kita (yang diserap oleh panca indra kita, sedangkan arti adalah isi yang terkandung
di dalam arus bunyi yang menyebabkan reaksi atau tanggapan dari orang lain).
Arti yang terkandung dalam suatu rangkaian bunyi bersifat arbitrer atau manasuka.
Arbitrer atau manasuka berarti tidak terdapat suatu keharusan bahwa suatu rangkaian bunyi
tertentu harus mengandung arti yang tertentu pula. Apakah seekor hewan dengan ciri-ciri
tertentu dinamakan anjing, dog, hund, chien atau canis itu tergantung dari kesepakatan anggota
masyarakat bahasa itu masing-masing.

29
C. Fungsi Bahasa
  Menurut Felicia (2001 : 1), dalam berkomunikasi sehari-hari, salah satu alat yang
paling sering digunakan adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulis. Begitu
dekatnya kita kepada bahasa, terutama bahasa Indonesia, sehingga tidak dirasa perlu untuk
mendalami dan mempelajari bahasa Indonesia secara lebih jauh. Akibatnya, sebagai pemakai
bahasa, orang Indonesia tidak terampil menggunakan bahasa. Suatu kelemahan yang tidak
disadari.
Komunikasi lisan atau nonstandar yang sangat praktis menyebabkan kita tidak teliti
berbahasa. Akibatnya, kita mengalami kesulitan pada saat akan menggunakan bahasa tulis
atau bahasa yang lebih standar dan teratur. Pada saat dituntut untuk berbahasa  bagi
kepentingan yang lebih terarah dengan maksud tertentu, kita cenderung kaku. Kita akan
berbahasa secara terbata-bata atau mencampurkan bahasa standar dengan bahasa
nonstandar atau bahkan, mencampurkan bahasa atau istilah asing ke dalam uraian kita.
Padahal, bahasa bersifat sangat luwes, sangat manipulatif. Kita selalu dapat memanipulasi
bahasa untuk kepentingan dan tujuan tertentu. Lihat saja, bagaimana pandainya orang-orang
berpolitik melalui bahasa. Kita selalu dapat memanipulasi bahasa untuk kepentingan dan tujuan
tertentu. Agar dapat memanipulasi bahasa, kita harus mengetahui fungsi-fungsi bahasa
Pada dasarnya, bahasa memiliki fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan
kebutuhan seseorang, yakni sebagai alat untuk mengekspresikan diri, sebagai alat untuk
berkomunikasi, sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam
lingkungan atau situasi tertentu, dan sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial (Keraf, 1997:
3).
Derasnya arus globalisasi di dalam kehidupan kita akan berdampak pula pada
perkembangan dan pertumbuhan bahasa sebagai sarana pendukung pertumbuhan dan
perkembangan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi. Di dalam era globalisasi itu, bangsa
Indonesia mau tidak mau harus ikut berperan di dalam dunia persaingan bebas, baik di bidang
politik, ekonomi, maupun komunikasi.  Konsep-konsep dan istilah baru di dalam pertumbuhan
dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) secara tidak langsung memperkaya
khasanah bahasa Indonesia. Dengan demikian, semua produk budaya akan tumbuh dan
berkembang pula sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi itu, termasuk bahasa Indonesia, yang dalam itu, sekaligus berperan sebagai
prasarana berpikir dan sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan iptek itu (Sunaryo,
1993, 1995).

30
Hasil pendayagunaan daya nalar itu sangat bergantung pada ragam bahasa yang
digunakan. Pembiasaan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar akan
menghasilkan buah pemikiran yang baik dan benar pula. Kenyataan bahwa bahasa Indonesia
sebagai wujud identitas bahasa Indonesia menjadi sarana komunikasi di dalam masyarakat
modern. Bahasa Indonesia bersikap luwes sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai
sarana komunikasi masyarakat modern.
1. Bahasa Sebagai alat ekspresi diri
            Pada awalnya, seorang anak menggunakan bahasa untuk mengekspresikan
kehendaknya atau perasaannya pada sasaran yang tetap, yakni ayah-ibunya. Dalam
perkembangannya, seorang anak tidak lagi menggunakan bahasa hanya untuk
mengekspresikan kehendaknya, melainkan juga untuk berkomunikasi dengan lingkungan di
sekitarnya. Setelah kita dewasa, kita menggunakan bahasa, baik untuk mengekspresikan diri
maupun untuk berkomunikasi. Seorang penulis mengekspresikan dirinya melalui tulisannya.
Sebenarnya, sebuah karya ilmiah pun adalah sarana pengungkapan diri seorang ilmuwan untuk
menunjukkan kemampuannya dalam sebuah bidang ilmu tertentu. Jadi, kita dapat menulis
untuk mengekspresikan diri kita atau untuk mencapai tujuan tertentu.
            Sebagai contoh lainnya, tulisan kita dalam sebuah buku,  merupakan hasil ekspresi diri
kita. Pada saat kita menulis, kita tidak memikirkan siapa pembaca kita. Kita hanya menuangkan
isi hati dan perasaan kita tanpa memikirkan apakah tulisan itu dipahami orang lain atau tidak.
Akan tetapi, pada saat kita menulis surat kepada orang lain, kita mulai berpikir kepada siapakah
surat itu akan ditujukan. Kita memilih cara berbahasa yang berbeda kepada orang yang kita
hormati dibandingkan dengan cara berbahasa kita kepada teman kita.
             Pada saat menggunakan bahasa sebagai alat untuk mengekspresikan diri, si pemakai
bahasa tidak perlu mempertimbangkan atau memperhatikan siapa yang menjadi pendengarnya,
pembacanya, atau khalayak sasarannya. Ia menggunakan bahasa hanya untuk kepentingannya
pribadi. Fungsi ini berbeda dari fungsi berikutnya, yakni bahasa sebagai alat untuk
berkomunikasi.
            Sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, bahasa menyatakan secara terbuka
segala sesuatu yang tersirat di dalam dada kita, sekurang-kurangnya untuk memaklumkan
keberadaan kita. Unsur-unsur yang mendorong ekspresi diri antara lain :
-          Agar menarik perhatian orang  lain terhadap kita,
-          keinginan untuk membebaskan diri kita dari semua tekanan emosi.
Pada taraf  permulaan, bahasa pada anak-anak sebagian berkembang  sebagai alat untuk
menyatakan dirinya sendiri (Gorys Keraf, 1997 :4).

31
2. Bahasa sebagai alat Komunikasi.
            Komunikasi merupakan akibat yang lebih jauh dari ekspresi diri. Komunikasi tidak akan
sempurna bila ekspresi diri kita tidak diterima atau dipahami oleh orang lain. Dengan
komunikasi pula kita mempelajari dan mewarisi semua yang pernah dicapai oleh nenek moyang
kita, serta apa yang dicapai oleh orang-orang yang sezaman dengan kita.
            Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita,
melahirkan perasaan kita dan memungkinkan kita menciptakan kerja sama dengan sesama
warga. Ia mengatur berbagai macam aktivitas kemasyarakatan, merencanakan dan
mengarahkan masa depan kita (Gorys Keraf, 1997 : 4).
            Pada saat kita menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, kita sudah memiliki
tujuan tertentu. Kita ingin dipahami oleh orang lain. Kita ingin menyampaikan gagasan yang
dapat diterima oleh orang lain. Kita ingin membuat orang lain yakin terhadap pandangan kita.
Kita ingin mempengaruhi orang lain. Lebih jauh lagi, kita ingin orang lain membeli hasil
pemikiran kita. Jadi, dalam hal ini pembaca atau pendengar atau khalayak sasaran menjadi
perhatian utama kita. Kita menggunakan bahasa dengan memperhatikan kepentingan dan
kebutuhan khalayak sasaran kita.
            Pada saat kita menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, antara lain kita juga
mempertimbangkan apakah bahasa yang kita gunakan laku untuk dijual. Oleh karena itu,
seringkali kita mendengar istilah “bahasa yang komunikatif”. Misalnya, kata makro hanya
dipahami oleh orang-orang dan tingkat pendidikan tertentu, namun kata besar atau luas lebih
mudah dimengerti oleh masyarakat umum. Kata griya, misalnya, lebih sulit dipahami
dibandingkan kata rumah atau wisma. Dengan kata lain, kata besar, luas, rumah, wisma,
dianggap lebih komunikatif karena bersifat lebih umum. Sebaliknya, kata-kata griya atau makro
akan memberi nuansa lain pada bahasa kita, misalnya, nuansa keilmuan, nuansa
intelektualitas, atau nuansa tradisional.
            Bahasa sebagai alat ekspresi diri dan sebagai alat komunikasi sekaligus pula
merupakan alat untuk menunjukkan identitas diri. Melalui bahasa, kita dapat menunjukkan
sudut pandang kita, pemahaman kita atas suatu hal, asal usul bangsa dan negara kita,
pendidikan kita, bahkan sifat kita. Bahasa menjadi cermin diri kita, baik sebagai bangsa maupun
sebagai diri sendiri.
3. Bahasa sebagai Alat Integrasi dan Adaptasi Sosial
            Bahasa disamping sebagai salah satu unsur kebudayaan, memungkinkan pula
manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil bagian
dalam pengalaman-pengalaman itu, serta belajar berkenalan dengan orang-orang lain.

32
Anggota-anggota masyarakat  hanya dapat dipersatukan secara efisien melalui bahasa.
Bahasa sebagai alat komunikasi, lebih jauh memungkinkan tiap orang untuk merasa dirinya
terikat dengan kelompok sosial yang dimasukinya, serta dapat melakukan semua kegiatan
kemasyarakatan dengan menghindari sejauh mungkin bentrokan-bentrokan untuk memperoleh
efisiensi yang setinggi-tingginya. Ia memungkinkan integrasi (pembauran) yang sempurna bagi
tiap individu dengan masyarakatnya (Gorys Keraf, 1997 : 5).
            Cara berbahasa tertentu selain berfungsi sebagai alat komunikasi, berfungsi pula
sebagai alat integrasi dan adaptasi sosial. Pada saat kita beradaptasi kepada lingkungan sosial
tertentu, kita akan memilih bahasa yang akan kita gunakan bergantung pada situasi dan kondisi
yang kita hadapi. Kita akan menggunakan bahasa yang berbeda pada orang yang berbeda.
Kita akan menggunakan bahasa yang nonstandar di lingkungan teman-teman dan
menggunakan bahasa standar pada orang tua atau orang yang kita hormati.
            Pada saat kita mempelajari bahasa asing, kita juga berusaha mempelajari bagaimana
cara menggunakan bahasa tersebut. Misalnya, pada situasi apakah kita akan menggunakan
kata tertentu, kata manakah yang sopan dan tidak sopan. Bilamanakah kita dalam berbahasa
Indonesia boleh menegur orang dengan kata Kamu atau Saudara atau Bapak atau Anda? Bagi
orang asing, pilihan kata itu penting agar ia diterima di dalam lingkungan pergaulan orang
Indonesia. Jangan sampai ia menggunakan kata kamu untuk menyapa seorang pejabat.
Demikian pula jika kita mempelajari bahasa asing. Jangan sampai kita salah menggunakan tata
cara berbahasa dalam budaya bahasa tersebut. Dengan menguasai bahasa suatu bangsa, kita
dengan mudah berbaur dan menyesuaikan diri dengan bangsa tersebut.
4. Bahasa sebagai Alat Kontrol Sosial
            Sebagai alat kontrol sosial, bahasa sangat efektif. Kontrol sosial ini dapat diterapkan
pada diri kita sendiri atau kepada masyarakat. Berbagai penerangan, informasi, maupun
pendidikan disampaikan melalui bahasa. Buku-buku pelajaran dan buku-buku instruksi adalah
salah satu contoh penggunaan bahasa sebagai alat kontrol sosial.
            Ceramah agama atau dakwah merupakan contoh penggunaan bahasa sebagai alat
kontrol sosial. Lebih jauh lagi, orasi ilmiah atau politik merupakan alat kontrol sosial. Kita juga
sering mengikuti diskusi atau acara bincang-bincang (talk show) di televisi dan radio. Iklan
layanan masyarakat atau layanan sosial merupakan salah satu wujud penerapan bahasa
sebagai alat kontrol sosial. Semua itu merupakan kegiatan berbahasa yang memberikan
kepada kita cara untuk memperoleh pandangan baru, sikap baru, perilaku dan tindakan yang
baik. Di samping itu, kita belajar untuk menyimak dan mendengarkan pandangan orang lain
mengenai suatu hal.

33
            Contoh fungsi bahasa sebagai alat kontrol sosial yang sangat mudah kita terapkan
adalah sebagai alat peredam rasa marah. Menulis merupakan salah satu cara yang sangat
efektif untuk meredakan rasa marah kita. Tuangkanlah rasa dongkol dan marah kita ke dalam
bentuk tulisan. Biasanya, pada akhirnya, rasa marah kita berangsur-angsur menghilang dan kita
dapat melihat persoalan secara lebih jelas dan tenang.

  D. Bahasa dan aspek-aspek social.


1. Bahasa Sebagai Alat Komunikasi Poltik.
Salah satu system isyarat yang paling penting bagi anusia adalah Bahasa (Littlejohn,
1996). Dalam bahasa, isyarat terdiri dari pengelompokan sesuatu yang memeiliki makna
susara-suara di dombinasikan ke dalam frase-frase, kalusa-klausa dan kalimat-kalimat, yang
menunjukan objek. Baasa sebagai alata komunikasi, pada hakekatnya bersifat netral (heryanto,
1989), tetapi dapat di gunakan pa tempat yang bersifat baik, dan tidak baik. Bahasa menjadi
makna yang salah jika pengertian yang kabur tidak bisa di batasi penggunaanya, terutama
terjadi antara penguasa da n masyarakatnya. Bahkan dalam segala hal penguasa akan
mengaburkan fakta yang tidak menyenangkan masyarakatnya. Sebagai contoh penguasa yang
tidak datang pada pertemuan penting yang telah di tentukan jadwalnya, penguasa tidak akan
mengatakan  kesalahannya secara langsung “Saya Bersalah” tapi akan mengatakan, “maaf
saya alfa, khilaf” (lubis, 1989). Oeh karena itu bahasa merupakan factor determinan dalam
kontaksi social bermarsyarakat.
Bahasa memebentuk suatu ikatan social melalaui interaksi dan proses saling
mempengaruhi penggunanya.terkait dengan bahasa Indonesia, pada jaman penjajahan
jepang,pengarahan tenaga kerja bangsa Indonesia membuat bangsa jepang harus berbahasa
Indonesia untuk propaganda dengan mencapai tujuan dengan cepat. Akibat yang di timbulkan
dari itu adalah tersebarnya bahasa Indonesia ke seluruh penjuru Indonesia, pulau-pulau dan
desa-desa di pegunungan terpencil dengan cepat.
2. Bahasa dan Budaya.
Bahasa juga merupakan sarana komunikasi budaya yang penting karena
menggambarkan kebudayaan pemakai bahasa tersebut dan membudidayakannya melalaui
penggunaanya. Apapun tradisi, apapun reaksi, apapun hasil kebudayaan yang kita miliki, dapat
degera punah dan dan berganti. Bahasa memiliki durasi yang jauh lebih panjang jika di
bandingkan dengan produk-produk lainnya. Dengan bahasalah suatu bangsa mengemukakan
dan menemukan seluruh harapan, obsesi/mimpi, kenyataan, kekuatan, maupun prote-
protesnya dalam kehidupan, sehingga bahasa menjadi vital dalam hidup kit. Bahkan kini

34
menjadi senjata bagi kita karna dapatmenentukan bahkan menguasai seseorang atau sebuah
bangsa, hanya dengan berkomunikasi dengan bahasa.
Untuk  melihat  bahasa  sebagai alat,  kita  harus  mensugesti diri  bahwa  kita 
melakukan segala  hal  dengan  bahasa. Bahasa adalah tindakan dan pembimbing  menuju 
tindakan  itu.Bahasa dalam  konteks  penggunaan sosialnya  dapat secara temporer ditetapkan 
untuk tujuan-tujuan praktis.

35
BAB VII
KONTAK BAHASA DAN AKIBATNYA

A. Konsep kontak bahasa

Ada beberapa pendapat tentang pengertian kontak bahasa. Mackey (via Achmad &
Abdullah, 2012: 179) mendefinisikan kontak bahasa sebagai pengaruh bahasa yang satu
dengan bahasa yang lainnya, sehingga menimbulkan terjadinya perubahan bahasa pada orang
yang ekabahasawan.
Matras (2009: 1) mengatakan “Language contact occurs when speakers of different
languages interact and their languages influence each other. ”Kontak bahasa terjadi ketika
pembicara atau penutur dari bahasa-bahasa yang berbeda berinteraksi dan bahasa tersebut
mempengaruhi satu sama lain.
Jendra (2010: 67) mengatakan bahwa kontak bahasa adalah sebuah situasi
sosiolinguistik dimana dua atau banyak bahasa, elemen-elemen bahasa yang berbeda, atau
variasi dalam sebuah bahasa, digunakan secara bersamaan atau bercampur antara satu
dengan yang lainnya. Atau dengan kata lain kontak bahasa adalah sebuah situasi ketika
kosakata, suara, atau struktur dari dua atau banyak bahasa yang berbeda digunakan oleh
bilinguals atau mulitilinguals.
Achmad dan Abdullah (2012: 179) menyatakan bahwa kontak bahasa cenderung pada
gejala bahasa, sedangkan kedwibahasaan cenderung pada gejala tutur. Kedwibahasaan terjadi
akibat adanya kontak bahasa. Kontak bahasa adalah pemakaian lebih dari satu bahasa di
tempat dan pada waktu yang sama (Thomason via Suhardi, 2009: 39).
Jadi, kontak bahasa adalah suatu keadaan di mana adanya interaksi antara dua atau
banyak bahasa yang berbeda latar belakang digunakan dalam satu situasi yang mengakibatkan
suatu bahasa berpengaruh pada bahasa yang lain, dan memungkinkan terjadinya pergantian
pemakaian bahasa oleh penutur sesuai konteks sosialnya.

B. Faktor Penyebab Kontak Bahasa

Thomason (2001: 17-21) menjelasakan ada beberapa faktor penyebab kontak bahasa:

1. Dua kelompok yang berpindah ke daerah yang tidak berpenghuni, kemudian mereka
bertemu di sana. Dalam faktor ini kedua kelompok yang bertemu di suatu daerah yang
tidak berpenghuni adalah warga non-pribumi. Tidak ada indikasi untuk menguasai atau
menjajah daerah lain. Contoh kasus yang seperti ini sangat jarang terjadi pada era

36
sekarang ini. Antartika, adalah sebuah contoh yang tepat untuk kasus ini. Di mana para
ilmuan dari berbagi negara bertemu dan berinteraksi. Pertemuan dan interaksi tersebut
mengakibatkan kontak bahasa.
2. Perpindahan satu kelompok ke daerah kelompok lain.
Perpindahan ini bisa dengan cara damai atau sebaliknya, namun kebanyakan tujuan
dari adanya perpindahan ini adalah untuk menaklukan dan menguasai wilayah dari
penghuni aslinya. Sebagai contoh, pada awalnya masyarakat Indian menerima
kedatangan bangsa Eropa dengan ramah, begitu pun sebaliknya.Namun, bangsa Eropa
kemudian berkeinginan untuk memiliki tanah Amerika, sehingga ketika jumlah mereka
yang datang sudah cukup banyak, mereka mengadakan penaklukan terhadap warga
pribumi.Peristiwa terjadinya kontak bahasa dalam hal ini, yaitu melalui adanya
peperangan.
3. Hubungan budaya yang dekat antara sesama tetangga dalam waktu yang lama
Kontak bahasa dapat juga terjadi melalui proses hubungan budaya yang panjang. Dua
kelompok yang berbeda bahasanya hidup berdampingan dan berinteraksi secara teratur
tanpa kesulitan yang berarti.Misalnya, kelompok penutur bahasa Madura di sepanjang
pantai utara Jawa Timur, sejak tiga abad yang lalu hidup bersama-sama dengan
kelompok penutur bahasa Jawa.Begitu pula kelompok penutur bahasa Jawa dan
kelompok penutur bahasa Sunda hidup bersama-sama di sepanjang atau di sekitar
perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat.
4. Pendidikan “kontak belajar”
Di zaman modern ini, bahasa Inggris menjadi lingua franca dimana semua orang di
seluruh dunia harus mempelajari bahasa Inggris jika mereka ingin belajar Fisika,
mengerti percakapan dalam film-film Amerika, menerbangkan pesawat dengan
penerbangan internasional, serta melakukan bisnis dengan orang Amerika maupun
orang-orang asing lainnya. Bahasa Inggris juga menjadi lingua franca dalam komunikasi
internasional melalui internet.Banyak orang yang menggunakan bahasa Inggris dengan
tujuan ini, tidak berkesempatan (dan kadang bahkan tidak berkeinginan) untuk praktek
berbicara dengan penutur asli bahasa Inggris.

C. Akibat Kontak Bahasa


Chaer dan Agustina (2010: 84) berpendapat ada beberapa peristiwa kebahasaan yang
mungkin terjadi sebagai akibat adanya kontak bahasa, yaitu peristiwa bilingualisme, diglosia,

37
alih kode, campur kode, interferensi, integrasi, konvergensi, pergeseran bahasa, pidgin, dan
creol. Berikut kita satu-persatu peristiwa tersebut.

1. Bilingualisme
Spolsky (via Suhardi, 2009:45) menyebutkan bahwa bilingualisme ialah ketika seseorang
telah menguasai bahasa pertama dan bahasa keduanya. Sedangkan, Chaer (2007:65-66)
menyampaikan beberapa pendapat ahli sebagai berikut.;
a. Blomfield (1995) mengartikan bilingual sebagai penguasaan yang sama baiknya oleh
seseorang terhadap dua bahasa.
b. Weinrich (1968) menyebutkan bahwa bilingual merupakan pemakaian dua bahasa oleh
seseorang secara bergantian
Dengan demikian, bilingualisme merupakan penguasaan seseorang terhadap dua
bahasa atau lebih (bukan bahasa ibu) dengan sama baiknya dan terjadi pada penutur yang
telah menguasai B1 (bahasa pertama) serta mampu berkomunikasi dengan B2 (bahasa kedua)
secara bergantian seperti yang terjadi di Malaysia.

2. Word-Borrowing
Jendra (2010: 81) membedakan word-borrowing dengan alih kode dan campur kode
sebagai berikut:
a. Alih kode dan campur kode pada level percakapan atau berbicara (individual),
sedangkan word-borrowing ada pada level bahasa (community).
b. Dalam alih kode dan campur kode, hal asingnya berupa kalimat, klausa, atau frasa,
sedangkan pada borrowing hal asingnya berupa kata.
c. Dalam bilingual, word-borrowing dapat berubah atau beradaptasi dengan hal asing
tersebut, sedangkan ada alih kode tidak terdapat adaptasi terhadap hal asing.
Contoh (Jendra, 2010: 83):”Saya tadi lihat handphonemu di meja.”Pada contoh tersebut, kata
bahasa Inggris handphone dipinjam ke dalam ucapan bahasa Indonesia.

3. Diglosia
Ferguson (melalui Chaer dan Agustina, 2010: 92) menggunakan istilah diglosia untuk
menyatakan keadaan suatu masyarakat dimana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang
hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu ada ragam tinggi dan
ragam rendah. Contoh: Bahasa Jawa terdapat bahasa Jawa Ngoko, Madya, dan Kromo.

38
4. Alih kode
Apple (melalui Chaer dan Agustina, 2010: 107-108) mendefinisikan alih kode itu sebagai
gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubah situasi. Berbeda dengan Apple yang
menyatakan alihkode itu antarbahasa, maka Hymes (1875:103) menyatakan alih kode itu bukan
hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antar ragam-ragam atau gaya-gaya yang
terdapat dalam suatu bahasa.Chaer (2007: 67) mendefinisikan alih kode adalah beralihnya
penggunaan suatu kode (entah bahasa atau pun ragam bahasa tertentu) ke dalam kode yang
lain (bahasa atau ragam bahasa lain). Contoh:
• ketika penutur A dan B sedang bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa Sunda
kemudian datang C yang tidak mengerti bahasa Sunda maka A dan B beralih kode dalam
bahasa Indonesia yang juga dimengerti oleh C.
Alih kode dapat juga terjadi karena sebab-sebab lain. Misalnya karena perubahan situasi, atau
topik pembicaraan. Contoh (Kentjono via Chaer, 2007: 68):
S: Apakah Bapak sudah jadi membuat lampiran untuk surat?
M: O, ya sudah. Inilah!
S: Terima kasih
M: Surat itu berisi permintaan borongan untuk memperbaiki kantor sebelah. Saya sudah kenal
dia. Orangnya baik, banyak relasi, dan tidak banyak mencari untung.Lha saiki yen usahane
pengin maju kudu wani ngono (sekarang, jika usaha ingin maju harus berani bertindak
demikian)
S: Pancen ngaten, Pak! (memang begitu, Pak)
M: Pancen ngaten priye? (memang begitu, bagaimana?
S: Tegesipun, mbok modalipun angenga kados menapa, menawi (maksudnya, betapa pun
besarnya modal, kalau …)
M: Menawa ora akeh hubungane lan olehe mbathi kakehan, usahane ora bakal dadi. Ngono
karepmu? (kalau tidak banyak hubungan dan terlalu banyak mengambil untung, usahanya tidak
akan jadi. Begitu maksudmu?)
S: Lha, inggih, ngaten ! (memang begitu, bukan?)
M: O ya, apa surat untuk Jakarta sudah jadi dikirim kemarin?
S: Sudah Pak. Bersama surat Pak Ridwan dengan kilat khusus.

5. Campur kode
Nababan (via Darojah, 2013) menjelaskan bahwa campur kode adalah suatu keadaan
berbahasa dimana orang mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu

39
tindak tutur. Dalam campur kode penutur menyelipkan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang
memakai bahasa tertentu. Sebagai contoh si A berbahasa Indonesia. Kemudian ia berkata
“sistem operasi komputer ini sangat lambat”. Lebih lanjut, Sumarsono (2004:202) menjelaskan
kata-kata yang sudah mengalami proses adaptasi dalam suatu bahasa bukan lagi kata-kata
yang mengalami gejala interfensi, bukan pula alih kode, apalagi campur kode. Dalam campur
kode penutur secara sadar atau sengaja menggunakan unsur bahasa lain ketika sedang
berbicara. Oleh karena itu, dalam bahasa tulisan, biasanya unsur-unsur tersebut ditunjukkan
dengan menggunakan garis bawah atau cetak miring sebagai penjelasan bahwa si penulis
menggunakannya secara sadar. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
campur kode merupakan penggunaan dua bahasa dalam satu kalimat atau tindak tutur secara
sadar.
6. Interferensi
Interferensi adalah penyimpangan norma bahasa masing-masing yang terjadi di dalam
tuturan dwibahasawan (bilingualisme) sebagai akibat dari pengenalan lebih dari satu bahasa
dan kontak bahasa itu sendiri. Interferensi meliputi interferensi fonologi, morfologi, leksikal, dan
sintaksis. Contoh:
(Hal ini terinterferensi bahasa Indonesia oleh bahasa Jawa)
Interferensi fonologi pada kata Bantul  mBantul
Interferensi morfologi pada kata terpukul  kepukul.
(Bahasa Indonesia terinterferensi bahasa Sunda)
Interferensi sintaksis pada kalimat 
di sini toko laris yang mahal sendiritoko laris adalah toko yang paling mahal di sini. 
Interferensi leksikon pada kata kamanah  kemana
7. Integrasi
Integrasi merupakan bahasa dengan unsur-unsur pinjaman dari bahasa asing dipakai
dan dianggap bukan sebagai unsur pinjaman, biasanya unsur pinjaman diterima dan dipakai
masyarakat setelah terjadi penyesuaian tata bunyi atau tata kata dan melalui proses yang
cukup lama. Contoh police dari bahasa Inggris yang telah diintegrasikan oleh masyarakat
Malaysia menjadi polis, kata research juga telah diintegrasikan menjadi riset.
8. Konvergensi
Secara singkat Chaer dan Agustina (2010: 130) menyatakan bahwa ketika sebuah kata
sudah ada pada tingkat integrasi, maka artinya kata serapan itu sudah disetujui dan
dikonversikan ke bahasa yang baru.Karena itu proses yang terjadi dalam integrasi ini lazim

40
disebut dengan konvergensi. Contoh berikut proses konvergensi bahasa indonesia dan sebelah
kanan bentuk aslinya.
Klonyo  eau de cologne                     sirsak  zuursak
Sopir  chauffeur                                

9. Pergesesan bahasa
Pergeseran bahasa (language shift) menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh
seorang penutur atau sekelompok penutur yang bisa terjadi sebagai akibat perpindahan dari
satu masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain (Chaer dan Agustina, 2010: 142). Kalau seorang
atau sekelompok orang penutur pindah ketempat lain yang menggunakan bahasa lain, dan
bercampur dengan mereka maka akan terjadi pergeseran bahasa. Salah satu kelompok
masyarakat tidak lagi memakai bahasa pertamanya dan bergeser atau berpidah ke bahasa
kedua yang lebih dominan (Suhardi, 2009: 52).
10. Pidgin dan Creol
Thomason (2001:157) juga menambahkan bahwa pidjin dan kreol adalah akibat kontak
bahasa. Pidjin dan kreol muncul dalam konteks dimana orang-orang dari latar belakang
linguistik yang berbeda perlu mengadakan pembicaraan secara teratur,dan  inilah yang menjadi
asal muasal lingua franca.
Pidjin adalah sebuah bahasa yang tidak memiliki penutur asli, juga bukan dari bahasa
pertama seseorang, melainkan sebuah kontak bahasa (Wardhaugh, 1986: 57). Pidgin juga
merupakan sebuah bahasa yang muncul sebagai hasil interaksi antara dua kelompok yang
berbicara dengan bahasa yang berbeda dan tidak mengerti apa yang dibicarakan satu sama
lain, sehingga mereka menggunakan apa yang dinamakan dengan pidgin ini untuk
berkomunikasi. Misalnya, pedagang asongan di kawasan Tanah Lot bertutur dengan wisatawan
asing dalam bahasa Inggris pidgin. Bahasa Inggris digunakan sebagai dasar dan lafalnya
disesuaikan dengan lidah Indonesia, contohnya:
peri cip (very cheap) = sangat murah
paip (five) = lima
masas (massage) = pesan
tosen (thousand) = seribu
Berbeda dengan pidjin, Wardhaugh (1986: 58) mendefinisikan kreol sebagai sebuah
bahasa yang memiliki penutur asli, tetapi tidak memiliki standar kebahasaan seperti pidjin.Kreol
adalah bahasa yang terbentuk jika suatu sistem komunikasi yang pada awalnya merupakan
bahasa pidgin kemudian menjadi bahasa ibu suatu masyarakat.Semua bahasa yang disebut

41
pidgin pada kenyataannya sekarang ini menjadi bahasa kreol baru.Contoh, Bahasa Melayu
Pasar yang dipengaruhi kontak antara pedagang Melayu dan Cina, bahasa ini dahulunya
tergolong ke dalam bahasa pidgin dan mengalami proses kreolisasi :
Rumah-ku  Saya punya rumah
Saya pukul dia  Saya kasi pukul dia

42
BAB VIII
BILINGUALISME DAN DIGLOSIA
A.      Bilingualisme
Istilah bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Secara harfiah
sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan
penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara sosiolinguistik, bilingual diartikan sebagai
pengguanaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara
bergantian (Mackey 1992:12, Fishman 1997:73). Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya
seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa
pertamanya (disingkat B 1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya
(disingkat B 2). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual
(dalam bahasa Indonesia disebut juga dwibahasawan). Sedangkan kemampuan untuk
menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas (dalam bahasa Indonesia disebut juga
kedwibahasawanan).
Konsep umum bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa oleh seseorang
penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian telah menimbulkan sejumlah
masalah yang biasa dibahas kalau orang membicarakan bilingualisme. Masalah-masalah itu
adalah (Dittmer 1976:170):
1. Sejauh mana taraf kemampuan seseorang akan B2 (B1 tentunya dapat dikuasai dengan
baik) sehingga dia dapat disebut sebagai seorang yang bilingual?
2. Apa yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme ini? Apakah bahasa dalam
pengertian langue, atau sebuah kode, sehingga bisa termasuk sebuah dialek atau sosiolek.
3. Kapan seorang bilingual mengguankan kedua bahasa itu secara bergantian? Kapan dia
harus menggunakan B1-nya, dan kapan pula harus menggunakan B2-nya? Kapan pula dia
dapat secara bebas untuk dapat menggunakan B1-nya atau B2-nya?
4. Sejauh mana B1-nya dapat mempengaruhi B2-nya, atau sebaliknya, B2-nya dapat
mempengaruhi B1-nya?
5. Apakah bilingualisme itu berlaku pada perseorangan (seperti disebut dalam konsep
umum) atau juga berlaku pada satu kelompok masyarakat tutur?

43
Untuk dapat menjawab pertanyaan pertama, “Sejauh mana penguasaan seseorang akan
B2 (B1 tentunya dapat dikuasai dengan baik karena merupakan bahasa ibu) sehingga ia dapat
disebut sebagai seorang yang bilingual?”
Bloomfield dalam bukunya yang terkenal Language (1933:56) mengatakan bahwa
bilingualisme adalah kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama
baiknya. Jadi, seseorang dapat disebut bilingual apabila dapat menggunakan B1 dan b2 dengan
derajat yang sama baiknya. Robert Lado (1964:214) mengatakan, bilingualisme adalah
kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang deng sama baik atau hampir sama baiknya,
yang secara teknik mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa bagaimanapun tingkatnya. Jadi,
penguasaan terhadap kedua bahasa itu tidak perlu sama baiknya, kurang pun boleh. Menurut
Haugen (1961) tahu akan dua bahasa atau lebih berarti bilingual. Menurut Haugen selanjutnya,
seorang bilingual tidak perlu secara aktif menggunakan kedua bahasa itu, tetapi cukup kalau bisa
memahaminya saja. Haugen juga mengatakan, mempelajari bahasa kedua, apalagi bahasa asing,
tidak dengan sendirinya akan memberi pengaruh terhadap bahasa aslinya. Lagi pula seseorang
yang mempelajari bahasa asing, maka kemampuan bahasa asingnya atau B2-nya akan selalu
berada pada posisi di bawah penutur asli bahasa itu.
Dari pembicaraan di atas dapat disimpulkan sebagai jawaban terhadap pertanyaan
pertama bahwa pengertian bilingualisme akhirnya merupakan satu rentengan berjanjang mulai
menguasai B1 (tentunya dengan baik karena bahasi ibu sendiri) ditambah tahu sedikit akan B2,
dilanjutkan dengan penguasaan B2 yang berjenjang meningkat, sampai menguasai B2 itu sama
baiknya dengan penguasaan B1. Kalau bilingual sudah sampai tahap ini, maka berarti seorang
yang bilingual itu akan dapat menggunakan B1 dan B2 sama baiknya, untuk fungsi dan situasi
apa saja dan di mana saja.
Pertanyaan kedua, “Apakah yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme. Apakah
bahasa itu sama dengan langue, atau bagaimana?” Bloomfield (1933) mengatakan, bahwa
menguasai dua buah bahasa, berarti menguasai dua buah sistem kode. Kalau yang dimaksud oleh
Bloomfield bahwa bahasa itu adalah kode, maka berarti bahasa itu bukan langue, malainkan
parole, yang berupa berbagai dialek dan ragam. Menurut Mackey (1962:12), bilingualisme
adalah praktik penggunaan bahasa secara bergantian, dari bahasa satu ke bahasa yang lain, oleh
seorang penutur. Untuk pengguanan dua bahasa diperlukan penguasaan kedua bahasa itu dengan
tingkat yang sama. Jadi, jelas yang dimaksud dengan bahasa oleh Mackey adalah sama dengan

44
langue. Tetapi pakar lain, Weinrich (1968:12) memberi pengertian bahasa dalam arti luas, yakni
tanpa membedakaan tingkatan-tingkatan yang ada di dalamnya. Bagi Weinrich menguasai dua
bahasa berarti menguasai dua sistem kode, dua dialek atau ragam dari bahasa yang sama.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Haugen (1968:10) yang memasukan penguasaan dua
dialek dari satu bahasa yang sama ke dalam bilingualisme. Demikian juga pendapat Rene Appel
(1976:176) yang mengatakan bahwa apa yang dimaksud dua bahasa dalam bilingualisme adalah
termasuk juga dua variasi bahasa.
Dari pembicaraan di atas dapat dilihat bahwa yang dimaksud dengan bahasa di dalam
bilingualisme itu sangat luas, dari bahasadalam pengertian langue sampai berupa dialek atau
ragam dari sebuah bahasa. Kalau yang dimaksud dengan bahasa adalah dialek juga, maka hampir
semua anggota nasyarakat Indonesia adalah bilingual, kecuali anggota masyarakat tutur yang
jumlah anggotanya sedikit, letaknya terpencil, dan di dalamnya hanya terdapat satu dialek dari
bahasa itu.
Pertanyaan ketiga, “Kapan seorang bilingual mengguankan kedua bahasa yang dikuasai
secara bergantian? Kapan harus menggunakan B1-nya, kapan pula harus menggunakan B2-nya
dan kapan pula dia dapat secara bebas dapat memilih untuk menggunakan B1-nya atau B2-
nya?”
Mengenai pertanyaan ketiga, kapan B1 harus digunakan dan kapan B2 harus dipakai.
Pertanyaan ini menyangkut masalah pokok sosiolinguistik, “siapa berbicara, dengan bahasa apa,
kepada siapa, kapan dan dengan tujuan apa”. B1 pertama-tama dan terutama dapat digunakaan
dengan para anggota masyarakat tutur yang sama bahasanya dengan penutur. Penggunaan B1
dan B2 tergantung pada lawan bicara, topik pembicaraan, dan seituasi sosial pembicaraan. Jadi,
penggunaan B1 dan B2 tidaklah bebas. Masalah ketiga, kapan seorang penutur bilingual dapat
secara bebas menggunakan B1 atau B2 adalah agak sukar dijawab. Dalam catatan sosiolinguistik
hanya didapati adanya satu masyarakat tutur bilingual yang dapat secara bebas menggunakan
salah satu bahasa yang terdapat dalam masyarakat tutur itu, yaitu di Monteral, Kanada.
Pertanyaan keempat, “sejauhmana B1 seorang penutur bilingual dapat mempengaruhi
B2-nya, atau sebaliknya, B2-nya dapat mempengaruhi B1-nya.”
Pertanyaan ini menyangkut masalah kefasihan menggunakan kedua bahasa itu, dan
kesempatan untuk menggunakannya. Penguasaan B1 oleh seorang bilingual adalah lebih baik
daripada penguasaannya terhadap B2, sebab B1 adalah bahasa ibu, yang dipelajari dan

45
digunakan sejak kecil dalam keluarga, sedangkan B2 adalah bahasa yang baru kemudian
dipelajari, yakni setelah menguasai B1. Dalam keadaan penguasaan terhadap B1 lebih baik dari
pada B2, dan juga kesempatan untuk mengguankannya lebih luas, maka ada kemungkinan B1 si
penutur akan mempengaruhi B2-nya. Seberapah jauh pengaruh B1 terhadap B2 adalah
tergantung pada tingkat penguasaannya terhadap B2. Kekurang fasihan seorang penutur bilingual
terhadap B2, sehingga B2-nya sering dipengaruhi oleh B1-nya lazim terjadi pada para penutur
yang sedang dipelajari B2 itu (Nababan, 1984:32).
Mungkinkah B2 seorang penutur bilingula akan mempengaruhi B1-nya? kemungkinan itu
akan ada kalau si penutur biligual itu dalam jangka watu yang cukup lama tidak menggunakan
B1-nya, tetapi terus menerus mengguanakn B2-nya.
Pertanyaan kelima, “apakah bilingualisme itu terjadi pada perseorangan atau pada
sekelompok penutur atau yang lazim disebut satu masyarakat tutur?”
Pertanyaan ini menyangkut hakikat bahasa dalam kaitanya dengan menggunakannya
dalam masyarakat tutur biligual. Mackey (1968:554-555) berpendapat bahwa bilingualisme
bukan gajala bahasa, melainkan sifat pengguaan bahasa yang diguanakan penutur biligual secara
berganti-ganti. Bilingualisme juga bukan ciri kode, melainkan ciri ekspresi atau pengungkapan
seorang penutur. Begitupun bukan bagian dari langue, melainkan bagian dari parole. Mackey
juga mengungkapkan kalau bahasa itu memiliki kelompok atau milik bersama suatu masyarakat
tutur, maka bilingualisme adalah milik individu-individu para penutur, sebab pengguaan bahasa
secara bergantian oleh seorang penutur bilingual mengharuskan adanya dua masyarakat tutur
yang berbeda. Menurut Oksaar (1972:478), bahwa bilingualisme bukan hanya milik individu,
tetapi juga milik kelompok. Sebab bahasa itu pengguaannya tidak terbatas antara individu dan
individu saja, melainkan juga digunakan sebagai alat komunikasi antar kelompok.
Chaer (1994) mengatakan, bahasa itu bukan sekedar alat komunikasi saja, melainkan
sebagai alat untuk menunjukan identitas kelompok. Konsep bahwa bahasa merupakan identitas
kelompok memeberi peluang untuk menyatakan adanya sebuah masyarakat tutur yang bilingual,
yang menggunakan dua buah bahasa sebagai alat komunikasinya. Masyarakat tutur yang
demikian tidak hanya terbatas pada sekelompok orang, malah bisa juga meluas meliputi wilayah
yang sangat luas, mungkin juga meliputi satu negara. Seperti dikatakan Wolf (1974:5) salah satu
ciri bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa atau lebih oleh seorang atau
sekelompok orang dengan tidak adanya peraan tertentu dari kedua bahas itu. Artinya, kedua

46
bahasa itu dapat diguanakan kapada siapa saja, kapan saja, dan dalam situasi bagaimana saja.
Pemilihan bahasa mana yang harus diguanakan tergantung pada kemampuan si pembicara dan
lawan bicaranya.
Keadan di dalam masyarakat di mana adanya pembedaan pengguaan bahasa berdasarkan
fungsi atau peranaanya masing-masing menurut konteks sosialnya, didalam sosiolinguistik
dikenal dengan sebutan diglosia.
B.   Diglosia
Kata diglosia berasal dari bahasa Prancis diglossie, yang perna digunakan oleh Marcais,
seorang linguis Prancis. Tetapi istilah itu menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah
digunakan oleh seorang sarjana dari Stanford University, yaitu C.A.Ferguson tahun 1958 dalam
suatu simposiun tenteng “Urbanisasi dan bahasa-bahasa standar” yang diselenggarakan oleh
American Anthropological Association di Washignton DC. Kemudian Ferguson menjadikan
lebih terkenal lagi dengan sebuah artikelnya yang berjudul “Diglosia” yang dimuat dalam
majalah Word tahun 1959. Artikel Ferguson itu dipandang sebagai referensi klasik mengenai
diglosia.
Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat
dimana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing
mempunyai peranan tertentu. Definisi diglosia menurut Ferguson adalah:
1. Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, di mana selain terdapat
sejumlah dialek-dialek utama dari satu bahasa, terdapat juga sebuah ragam lain.
2. Dialek-dialek utama itu di antaranya, bisa berupa sebuah dialek standar, atau sebuah
standar regional.
3. Ragam lain itu memiliki ciri:
      Sudah terkodifikasi
      Gramatikalnya lebih kompleks
      Merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan dihormati
      Dipelajari melalui pendidikan formal
      Digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal
      Tidak digunaakan dalam percakapan sehari-hari
Diglosia ini dijelaskan oleh Ferguson dengan mengetengahkan sembilan topik, yaitu:

47
1. Fungsi, merupakan kriteria diglosia yang sangat penting. Menurut Ferguson dalm
masyarakan diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa: variasi pertama disebut dialek
tinggi (T), dan yang kedua disebut dialek rendah (R).
2. Prestise, dalam masyarakat diglosis para penutur biasanya menganggap dialek T lebih
bergengsi, lebih superior, lebih terpandang, dan merupakan bahasa yang logis.
Sedangkan dialek R dianggap inferior, malah ada yang menolak keberadaannya.
3. Warisan Kesusastraan, pada tiga dari empat bahasa yang digunakan Ferguson sebagai
contoh terdapat kesusastraan di mana ragam T yang digunakan dan dihormati oleh
masyarakat bahasa tersebut.
4. Pemerolehan, ragam T diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal,
sedangkan ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman
sepergaulan.
5. Standardisasi, karena ragam T dipandang sebagai ragam yang bergengsi, maka tidak
mengherankan kalau standardisasi dilakukan terhadap ragam T tersebut melalui
kondifikasi formal.
6. Stabilitas, kestabilan dalam masyarakat diglosis biasanya telah berlangsung lama di
mana ada sebuah variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya dalam masyarakat
itu.
7. Gramatika, Ferguson berpandangan bahwa ragam T dan ragam R dalm diglosia
merupakan bentuk-bentuk dari bahasa yang sama. Namun, di dalam gramatika ternyata
terdapat perbedaan.
8. Leksikon, sebagian besar kosakata pada ragam T dan ragam R adalah sama. Namun, ada
kosakata pada ragam T yang tidak ada pasangannya pada ragam R, atau sebaliknya, ada
kosakata ragam R yang tidak ada pasangannya pada ragam T.
9. Fonologi, dalam bidang bidang fonologi ada perbedaan struktur antara ragam T dan
ragam R. Perbedaan tersebut bisa dekat bisa juga jauh.
Pada bagian akhir dari artikel Ferguson menyatakan bahwa suatu masyarakat digllosis
bisa bertahan dalam waktu yang cukup lama meskipun terdapat “tekanan-tekanan” yang dapat
melunturkannya. Tekanan itu antara lain, (1) meningkatkan kemampuan keaksaraan dan
meluasnya komunikasi verbal pada satu negara; (2) meningkatnya penggunaan bahasa tulis; (3)

48
perkembangan nasionalisme dengan keinginan adanya sebuah bahasa nasional sebagai lambang
kenasionalan suatu bangsa.
Juga dipersoalkan, rgam mana yang akan dipilih menjadi bahasa nasional, ragamT atau
ragam R. Dalam hal ini ada dua kemungkinan. Pertama, ragam R dapat menjadi bahasa nasional
karena ragam itulah yang dipakai dalam masyarakat. Kedua, ragam T yang akan menjadi bahasa
nasional atau bahasa standar, asal saja (1) ragam T itu sudah menjadi bahasa standar pada
sebagian masyarakat, (2) apabila masyarakat diglosis itu menyatu dengan masyarakat lain.
C. Kaitan Bilingualisme dan Diglosia
Diglosia diartikan sebagai adanya pembedaan fungsi atas penggunaan bahasa dan
bilingualisme adalah keadaan penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam masyarakat, maka
Fishman (1977) menggambarkan hubungan diglosia dan bilingualisme itu menjadi empat jenis,
(1) bilingualisme dan diglosia, (2) bilingualisme tanpa diglosia, (3) diglosia tanpa bilingualisme,
(4) tidak bilingualisme dan tidak diglosia.
Dari keempat pola masyarakat kebahasaan di atas yang paling stabil hanya dua yaitu, (1)
diglosia dan bilingualisme, (2) diglosia tanpa bilingualisme. Keduanya berkarakter diglosia,
sehingga perbedaanya adalah terletak pada bilingualismenya.

49
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Chaer, Abdul. 1994. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka
Cipta.

 Ohoiwutu, Paul. 1997. Sosiolinguistik. Jakarta: Kesaint Blanc – Anggota IKAPI

Paul, Ohoiwutun. 2007. Sosiolinguistik. Jakarta: Kesaint Blanc.

Sumarsono. 2009. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA.

Wijana, I Dewa Putu, Muhammad Rohmadi. 2006. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

50

Anda mungkin juga menyukai