Sosiolinguistik merupakan ilmu yang mengkaji linguistik yang dihubungkan dengan faktor sosiologi. Dengan demikian, sosiolinguistik tidak meninggalkan linguistik.Apa yang dikaji dalam linguistik (ilmu yang mengkaji bahasa sebagai fenomena yang inedependen) dijadikan dasar bagi sosiolinguistik untuk menunjukkan perbedaan penggunaan bahasa yang dikaitkan dengan faktor sosial. Apa yang dikaji dalam linguistik, meliputi apa yang ditelaah De Saussure, kaum Bloomfieldien (Bloomfield, Charles Fries, dan Hocket) serta kaum Neo Bloomfieldien dengan deep structuredan surface structurenya, dipandang oleh sosiolinguis sebagai bentuk bahasa dasar yang ketika dikaitkan dengan pemakai dan pemakaian bahasa akan mengalami perubahan dan perbedaan. Kajian mengenai fonologi, morfologi, struktur kalimat, dan semantik leksikal dalam linguistik dipakai oleh sosiolinguistik untuk mengungkap struktur bahasa yang digunakan oleh tiap-tiap kelompok tutur sesuai dengan konteksnya. Karenanya, tidaklah mungkin seorang sosiolinguis dapat mengkaji bahasa dengan tanpa dilandasi pengetahuan mengenai linguistik murni itu. Sosiolinguistik mengkaji wujud bahasa yang beragam karena dipengaruhi oleh faktor di luar bahasa (sosial), yang dengan demikian makna sebuah tuturan juga ditentukan oleh faktor di luar bahasa. Untuk dapat mengungkap wujud dan makna bahasa sangat diperlukan pengetahuan tentang linguistik murni (struktur bahasa), supaya kajian yang dilakukan tidak meninggalkan objek bahasa itu sendiri. 2. Sosiolinguistik dengan Sosiologi Sosiolinguistik memandang bahasa sebagai dasar kajian (lihat kembali hubungan antara sosiolinguistik dan linguistik) dan memandang struktur sosial sebagai faktor penentu variabel. Keduanya dipandang sebagai gegenseitige einbettung dan gegenseitige determination, dan hubungan antara keduanya ditentukan oleh persyaratan manusia, organisasi pikiran manusia (dalam bentuk argumen lahiriah), serta tuntutan intrinsik dari sebuah bidang yang sistematis, kuat, dan efektif (Hymes,1966). Apa yang terdapat dalam sosiologi, yang berupa fakta-fakta sosial ditransfer ke dalam sosiolinguistik, sehingga muncullah keyakinan bahwa bahasa berhubungan dengan strata sosial. Meskipun demikian, hubungan antara sosiolinguistik dan sosiologi sebenarnya bersifat timbal-balik (simbiosis mutualisma).Hubungan sosiologi-sosiolinguistik: 1) Kemajuan teori sosiologi seperti kelompok politik, mobilisasi massa, interferensi antarkelompok digunakan dalam sosiolinguistik 2) Metodologi dalam sosiologi seperti angket, wawancara, pengamatan terlibat digunakan juga sebagai metode dalam sosiolinguistik; 3) Istilah-istilah sosiologi seperti funktion, rolle, dan soziale dimension juga digunakan dalam sosiolinguistik; Fakta-fakta sosial dalam sosiologi ditransfer ke dalam sosiolinguistik yang meliputi transfer terhadap fungsi bahasa secara keseluruhan dan terhadap struktur bahasa itu sendiri. Dengan memperhatikan fakta-fakta sosial ini, sosiolinguistik pun mempertimbangkan situasi berbahasa, siapa yang berbicara, di mana, dan sebagainya,, karena bagaimana pun sosiolinguistik muncul karena adanya bantuan sosiologi.Hubungan sosiolinguistik -sosiologi(1)Data sosiolinguistik yang memberikan ciri-ciri kehidupan sosial, menjadi barometer untuk sosiologi;(2)Aspek sikap berbahasa mempengaruhi budaya material dan spiritual suatu masyarakat;(3)Bahasa yang diteliti secara sosiolinguistik adalah alat utama dari perkembanagan penegetahuan menegenai sosiologi. Dengan kata lain, sosiolinguistik membantu sosiologi dalam mengklasifikasi strata sosial, seperti yang ditunjukkan oleh Labov dalam penelitiannya mengenai tuturan [r] dalam masyarakat Amerika dalam tingkat sosial yang berbeda. 3. Hubungan Sosiolinguistik dengan Pragmatik Pragmatik merupakan ilmu bahasa yang mempelajari tujuan dan dampak berbahasa yang dikaitkan dengan konteks, atau penggunaan bahasa yang disesuaikan dengan topik pembicaraan, tujuan, partisipan, tempat, dan sarana. Sebagaimana sosiolinguistik, pragmatik juga beranggapan bahwa bahasa (tuturan) tidaklah monostyle. Pragmatik memandang bahasa sebagai alat komunikasi yang keberadaannya (baik bentuk maupun maknanya) ditentukan oleh penutur dan ditentukan dan keberagamannya ditentukan oleh topik, tempat, sarana, dan waktu. Fakta-fakta ini dimanfaatkan oleh sosiolinguistik untuk menjelaskan variasi-variasi bahasa atau ragam bahasa. Pragmatik sangat menekankan aspek tujuan dalam berkomunikasi, seperti yang dikemukakan oleh Searle dalam tindak tuturnya. Bahasa akan berbeda karena adanya tujuan yang berbeda. Hal-hal ini pun dimanfaatkan oleh sosiolinguistik dengan menekankan variasi bahasa karena (berdasarkan) fungsi bahasa tersebut. Penggunaan bahasa dalam pragmatik juga sangat mempertimbangkan faktor interlokutor, yakni orang-orang yang terlibat dalam proses berkomunikasi dan berinteraksi. Karenanya, kode (meminjam istilah sosiolinguistik) yang digunakan pun berbeda. Dalam sosiolinguistik, aspek interlokutor ini dikembangkan lebih jauh dengan faktor sosial atau dialek sosial seperti tingkat sosial ekonomi, tingkat pendidikan, usia, jenis kelamin, hubungan sosial, dan sebagainya. Apabila tuturan “3 X 4 berapa?” akan memiliki makna dan jawaban yang berbeda. Pragmatik memandang, perbedaan itu disebabkan faktor tempat, tujuan, dan penutur. Sosiolinguistik memandangnya dari sudut register. Meskipun demikian, keduanya memerlukan “pengetahuan bersama” atau common ground untuk sampai kepada pemahaman yang sebenarnya. 4. Hubungan Sosiolinguistik dan Antropologi Antropologi merupakan ilmu tentang manusia, khususnya tentang asal-usul, aneka warna bentuk fisik, adat-istiadat, dan kepercayaan pada masa lampau. Antropologi memandang bahwa dalam budaya terkandung aspek bahasa. Dengan demikian apabila di daerah terdapat persamaan bahasa berarti mempunyai kekerabatan budaya yang dekat. Berarti pula, kesamaan bahasa menandai kesamaan budaya, dan bahasa dipakai dalam proses pembentukan budaya seperti mantra, pantun berbalas, debat, musyawarah, dan upacara-upacara adat. Antropologi membicarakan bahasa secara garis besar guna menjelaskan aspek budaya.Sosiolinguistik berusaha untuk memanfaatkan penggolongan masyarakat melalui budaya yang dilakukan antropologi serta memandangnya sebagai faktor pemengaruh bahasa. Sosiolinguistik berusaha menguji ulang data linguistik yang ditemukan antropologi itu.Pandangan hidup (yang tercermin dalam perilaku) dipakai sebagai faktor penyebab variasi bahasa terutama aspek kosakata dan struktur. Hal ini tampak antara lain dalam hipotesis Sapir- Whorf.Antropologi mendekati objek secara naturalistik. Antropologi berusaha memasuki “setting” penelitian dengan rapport sebelum mengadakan observasi partisipatoris. Metode ini dimanfaatkan oleh sosiolinguistik guna menemukan data bahasa secara akurat sekaligus menemukan faktor pemengaruhnya secara terperinci. Di dalam Atropologi terdapat prinsip perkembangan dan perubahan. Prinsip ini ditransfer ke dalam sosiolinguistik sehingga muncullah istilah kronolek, tempolek, serta istilah-istilah tabu dalam sosiolinguistik. Antropologi juga memberikan konsep tentang struktur kebudayaan dan transformai kebudayaan kepada sosiolinguistik. Hal itu ditunjukkan dengan munculnya istilah grandfather (karena adanya konsep dan penghargaan kepada kakek sebagai orang tua yang mempunyai sifat dankedudukan yang agung), serta simbok (sebagai orang tua yang dapat melengkapi dan memberi kesempurnaan atau tombok).Kebudayaan dalam antropologi disampaikan lewat bahasa, yang karenanya harus ada kemampuan komunikatif. Prinsip ini pun diambil oleh sosiolinguistik. Demikian pula, pengetahuan tentang budaya diperoleh bersamaan dengan pemerolehan bahasa, seperti sapaan, penggunaan bahasa sesuai konteks. Melalui ini pun dapat diketahui bagaimana budaya itu hidup dalam suatu masyarakat lengkap dengan nilai-nilai filosofi yang berkembang di dalamnya.Bahasa dalam antropologi digunakan untuk pengungkap budaya. Dengan demikian, apa yang dipandang penting, pastilah akan ditonjolkan. Dalam suatu masyarakat ditemukan berbagai istilah, sesuai dengan tingkat budayanya. Di Mesir misalnya, terdapat 500 kosakata untuk singa, 200 kata untuk ular, 80 kata untuk madu, dan 4644 kata untuk unta. Demikian pula, dalam budaya Jawa yang menonjolkan rasa (hingga ada istilah rumangsa bisa lan bisa rumangsa) memiliki cukup banyak kosakata ajektiva afektif, seperti sedih, susah, ngenes, nelangsa, miris, wedi, gila, 5. Hubungan Sosiolinguistik dengan Psikologi Pada masa Chomsky, linguistik mulai dikaitkan dengan psikologi dan dipandang sebagai ilmu yang tidak independen. Lebih jauh Chomsky mengatakan (1974) bahwa linguistik bukanlah ilmu yang berdiri sendiri. Linguistik merupakan bagian dari psikologi dalam cara berpikir manusia.Chomsky melihat bahasa sebagai dua unsur yang bersatu, yakni competence dan performance. Competence merupakan unsur dalam bahasa (deep structure)dan menempatkan bahasa dari segi kejiwaan penutur, sedangkan competencemerupakan unsur yang terlihat dari parole. Dengan demikian, Chomsky memandang bahwa bahasa bukanlah gejala tunggal. namun dipengaruhi oleh faktor kejiwaan penuturnya. Chomsky juga mulai merambah wilayah makna walaupun akhirnya mengakui bahwa wilayah makna merupakan wilayah yang paling sulit dalam kajian linguistik.Apa yang dikemukakan Chomsky tentang struktur dalam dan struktur luar digunakan oleh sosiolinguistik sebagai pedoman bahwa tuturan yang nampak sebenarnya hanyalah perwujudan dari segi kejiwaan penuturnya. Lebih lanjut sosiolinguistik membuka diri untuk menelaah perbedaan bentuk tuturan itu.Kaitan antara competence dan performance terlihat dari penggunaan bahasa penutur. Orang dikatakan mempunyai kompetensi dan performansi yang baik apabila dapat menggunakan berbagai variasi bahasa sesuai dengan situasi. Orang yang berperformansi baik tentulah memiliki kompetensi yang baik, dan memungkinkan penggunaan kode luas (elaborated code). Sebaliknya, orang yang kompetensinya rendah, akan muncul kode terbatas (restricted code). Dalam psikologi perkembangan terdapat fase perkembangan. mulai menangis (tangis bertujuan: lapar, dingin, takut), tengkurap, duduk, merangkak, dan berjalan. Kesemuanya diikuti atau sejalan dengan perkembangan kebahasaannya. Dalam sosiolinguistik, hal ini diadopsi sebagai variasi bahasa dilihat dari segi usia penutur, (orang mempelajari bahasa sesuai dengan tingkat perkembangannya). Karenanya dikenal juga variasi bahasa remaja dan manula.Dari sudut psikologi, laki-laki memiliki kejiwaan yang secara umum berbeda dengan wanita. Karenanya, apa yang mereka tuturkan juga tidak sama. Sosiolinguistik mentransfer konsep ini, sehingga muncullah istilah variasi bahasa berdasarkan genus atau jenis kelamin (lihat kembali “Bahasa dan Jenis Kelamin”).
Profil Sosiolinguistik di Indonesia
1. Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah, dan Bahasa Asing Keadaan kebahasaan di Indonesia kini, pertama, ditandai dengan adanya sebuah bahasa nasional yang sekaligus juga menjadi bahasa negara, yaitu bahasa Indonesia; kedua, adanya ratusan bahasa daerah; ketiga, adanya sejumlah bahasa asing yang digunakan atau diajarkan di dalam pendidikan formal. Penggunaan bahasa Indonesia semakin hari semakin meluas, dan jumlah penuturnya bertambah banyak. Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan, pertama, karena bahasa Indonesia memiliki status sosial yang tinggi, yaitu sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi kenegaraan. Kedua, semakin banyak keluarga, terutama di kota-kota besar, yang langsung menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi dengan anak-anak mereka. Ketiga, dapat berbahasa Indonesia mempunyai kesempatan sosial yang lebih bila dibandingkan hanya dapat berbahasa daerah. Keempat, bahasa Indonesia sering dijadikan alternatif pilihan untuk menghindar dari keharusan berundak-usuk atau bersorsinggih bila harus menggunakan bahasa daerah. 2. Bahasa Indonesia Berasal dari Pijin ? Dalam studi sosiolinguistik adasatu hal yang menarik mengenai asal-usul bahasa Indonesia, yaitu adanya pendapat dari pakar asing yang memiliki reputasi nama internacional bahwa bahasa Indonesia standar berasal dari sebuah pijin yang disebut Bazaar Malay atau Low Malay, yang dilontarkan oleh seorang sejarawan kenamaan G.M Caín dalam bukunya yang berjudul Nationalism and Revolution in Indonesia. Dari perkembangan dan penyebarannya yang begitu luas, digunakan sebagai lingua franca oleh berbagai bangsa dan suku bangsa untuk berbagai keperluan. Kalau kita bandingkan pijin Melayu, kreol Melayu, dan bahasa Indonesia menurut klasifikasi sosiologi dari Stewart, maka dapat kita lihat sebuah pijin tidak memiliki dasar standarisasi, otonomi, historisitas, dan vitalitas; sebuah kreol hanya memiliki dasar vitalitas, tetapi tidak memiliki standarisasi, historisitas, dan otonomi. 3. Pembakuan Bahasa Indonesia Pembakuan bahasa menyangkut semua aspek atau tataran bahasa, yaitu fonologi, ejaan, morfologi, sintaksis, kosakata, dan peristilahan. Dalam bahasa Indonesia ada pembakuan yang sudah diselesaikan, tetapi ada pula yang belum. Pembakuan ejaan dimulai tahun 1901 oleh Ch. A. Van Ophuijsen seorang sarjana Belanda, sebelum ada ejaan Van Ophuijsen ejaan bahasa Indonesia sangat beragam. Ejaan Van Ophuijsen dirasakan kurang cocok untuk bahasa Indonesia, oleh karena itu dalam Kongres Bahasa Indonesia I di Solo tahun 1938, disarankan agar ejaan Vam Ophuijsen itu disempurnakan. Sebelum ejaan itu sempat disempurnakan telah pecah Perang Dunia II dan Indonesia diduduki bala tentara Jepang, estela Indonesia merdeka, Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, Mr. Suwandi, pada tahun 1947, merevisi ejaan Van Ophuijsen itu berupa ejaan yang lebih sederhana, yang disebut Ejaan Suwandi atau Ejaan Republik. Dalam Kongres Bahasa Indonesia II di kota Medan tahun 1954, muncul pula usul agar ejaan Suwandi disempurnakan karena tidak cocok dengan keadaan bahasa Indonesia yang sebenarnya. Segera dibentuk panitia penyempurnaan ejaan yang diketuai oleh Prof. Prijono dan Katopo, hasilnya adalah konsep ejaan baru yang disebut sebagai Ejaan Prijono-Katopo. Sebelum ejaan ini dilaksanakan ada keinginan dari pihak Persekutuan Tanah Melayu untuk menyamakan ejaan Melayu dan Indonesia. Perundingan dari kedua belah pihak mengahsilkan konsep yang disebut Ejaan Melindo, sayang sebelum ejaan ini dilaksanakan timbal konfliks politik antara kedua negara, sehingga konsep Ejaan Melindo itu tidak dapat dilaksanakan. Sesudah konfliks politik selesai, dilakukan kembali perundingan-perundingan, sehingga lahirlah konsep Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD). Pembakuan dalam bidang lafal belum pernah dilakukan, padahal dari masalah lafal ini sangat penting. Seringkali lafal seseorang dari daerah tertentu menjadi bahan olok-olokkan dari penutur bahasa Indonesia dari daerah lainnya dalam pertuturan bahasa Indonesia kita dapat mendengar aneka warna variasi ucapan dan kita dapat mengetahui seseorang itu berasal dari mana berdasarkan lafalnya. Pembakuan dalam bidang gramatika telah dilakukan, yakni dengan terbitnya buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia tahun 1988. Sayangnya masih banyak pakar dan guru bahasa Indonesia yang masih merasa kurang “pas” dengan buku tersebut, banyak masalah yang muncul dari buku tersebut untuk bisa dipersoalkan. Pembakuan dalam bidang kosakata dan istilah sedang berjalan. Pengembangan, pemekaran, dan pembakuan kosakata memang tidak bisa berhenti pada satu titik perubahan kosakata dalam setiap bahasa hampir dapat dikatakan bisa terjadi sepanjang waktu. 4. Pengajaran Bahasa Sejak awal tahun enam pululan ada perdebatan yang cukup seru mengenai bahan atau materi pengajaran bahasa Indonesia yang harus diberikan di sekolah. Pihak yang satu menginginkan agar pengetahuan dan kemampuan lulusan satu jenjang pendidikan yang sama. Bahan yang diberikan haruslah sama, berarti menggunakan buku yang sama. Jika ini dilaksanakan maka anggaran pun dapat dihemat, karena hanya mencetak satu jenis buku. Pihak yang lain berpendapat agar tujuan pendidikan bahasa dapat dicapai secara maksimal, maka harus memperhatikan latar belakang budaya dan bahasa daerah murid-murid. Karena itu, bahan atau materi yang akan diberikan harus disesuaikan dengan keadaan latar belakang budaya dan bahasa daerah anak-anak didik itu. Dalam pendidikan formal, pendidikan bahasa Indonesia mempunyai dua muka. Pertama, sebagai bahasa pengantar di dalam pendidikan, dan kedua, sebagai mata pelajaran yang harus dipelajari. Ada ketentuan dalam pendidikan formal di tingkat dasar dan di tingkat menengah bahwa mata pelajaran bahasa Indonesia tidak boleh bernilai lima atau kurang untuk lupus atau naik kelas. Ketentuan ini untuk menunjukkan bahwa mata pelajaran bahasa Indonesia sangat penting. Namun, sayangnya, di dalam pelakasanaannya agak lain. Ketentuan iu banyak menimbulkan sikap-sikap negatif yang merugikan pengembangan bahasa itu sendiri,maupun pendidikan secara umum. 5. Sikap dan Kemampuan Berbahasa Indonesia Secara nasional kedudukan bahasa Indonesia adalah pada tingkat pertama, bahasa daerah adalah pada tingkat kedua, dan bahasa asing pada tingkat ketiga. Tetapi bagi sebagian orang Indonesia, dilihat dari segi emosional, keakraban, dan perolehan, bahasa daerah menduduki tingkat pertama; bahasa Indonesia menduduki tempat kedua; dan bahasa asing ada pada tingkat ketiga. Sikap terhadap ketiga bahasa tidak ditentukan oleh urutan kedudukan ketiga bahasa itu secara masional melainkan menurut segi emosional, keakraban, dan perolehan. Sebagai akibat dari sikap itu, bahasa daerah digunakan masyarakat sebaik mungkin; kalau perlu tanpa kesalahan sedikit pun. Kesalahan dalam berbahasa daerah bisa dituduh sebagai tidak tahu bahasa, tidak sopan, atau kurang beradat-istiadat. Untuk menghindari kesalahan dalam berbahasa daerah, mereka menggunakan bahasa itu sebaik mungkin, atau kalau perlu tidak menggunakannya sama sekali, dan menggantikannya dengan menggunakan bahasa Indonesia.