Anda di halaman 1dari 17

APLIKASI TEORI ANTROPOLINGUISTIK MODERN (COMPETENCE,

PERFORMANCE, INDEXICALITY, & PARTISIPATION) DALAM BUDAYA


BATAK TOBA
1. Pendahuluan
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan kebudayaan
secara menyeluruh. Di satu pihak manusia adalah pencipta kebudayaan, di pihak
lain kebudayaan yang menciptakan manusia sesuai dengan lingkungannya.
Dengan demikian, terjalin hubungan timbal balik yang sangat erat dan padu antara
manusia dan kebudayaan.
Dalam kebudayaan, bahasa menduduki tempat yang unik dan terhormat.
Selain sebagai unsur kebudayaan, bahasa juga berfungsi sebagai sarana terpenting
dalam pewarisan, pengembangan dan penyebarluasan kebudayaan.
Cakupan kajian yang berkaitan dengan bahasa sangat luas, karena bahasa
mencangkup hampir semua aktivitas manusia. Hingga akhirnya linguistik
memperlihatkan adanya pergerakan menuju kajian yang bersifat multidisiplin,
salah satunya adalah antropologi linguistik.
Antopologi lingustik adalah salah satu cabang linguistik yang menelaah
hubungan antara bahasa dan budaya terutama untuk mengamati bagaimana bahasa
itu

digunakan

sehari-hari

sebagai

alat

dalam

tindakan

bermasyarakat.

(Lauder,2005:231). Antropologi biasa juga disebut etnolinguistik menelaah bahasa


bukan hanya dari strukturnya semata tapi lebih pada fungsi dan pemakaiannya
dalam konteks situasi social budaya. Kajian antropologi linguistik antara lain
menelaah struktur dan hubungan kekeluargaan melalui istilah kekerabatan, konsep
warna, pola pengasuhan anak, atau menelaah bagaimana anggota masyarakat
saling berkomunikasi pada situasi tertentu seperti pada upacara adat, lalu
menghubungkannya dengan konsep kebudayaannya.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan beberapa pemahaman di atas, maka makalah ini akan
membahas mengenai penerapan teori antropolinguistik modern yang terdapat
dalam budaya Batak Toba.

3. Kajian Teori
a. Ilmu Antropolinguistik
Antropolinguistik adalah cabang linguistik yang mempelajari variasi dan
penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan perkembangan waktu, perbedaan
tempat komunikasi, sistem kekerabatan, pola-pola kebudayaan lain dari suatu suku
bangsa. Antropolinguistik menitikberatkan pada hubungan antara bahasa dan
kebudayaan di dalam suatu masyarkat seperti peranan bahasa di dalam mempelajari
bagaimana hubungan keluarga diekspresikan dalam terminologi budaya, bagaimana
cara seseorang berkomunikasi dengan orang lain dalam kegiatan sosial dan budaya
tertentu, dan bagaimana cara seseorang berkomunikasi dengan orang dari budaya lain,
bagaimana cara seseorang berkomunikasi dengan orang lain secara tepat sesuai
dengan konteks budayanya, dan bagaimana bahasa masyarakat dahulu sesuai dengan
perkembangan budayanya. (Robert Sibarani 2004: 50).
Antropological linguistics is that sub-field of linguistics which is
concern with the place of language in its wider social and cultural
context, its role in forging and sustaining cultural practices and social
structures. As such, it may be seen to overlap with another sub-field
with a similar domain, sociolinguistics, and in practice this may
indeed be so. (Foley, 2003:3)
Foleys (1997:3) mendefenisikan linguistik antropologi sebagai sub
disiplin linguistik yang berkaitan dengan tempat bahasa dalam
konteks budaya maupun sosial yang memiliki peran menyokong dan
menempa praktek-praktek kultural dan struktur sosial.
Antropolinguistik memandang bahasa sebagai prisma atau inti dari konsep
antropologi budaya untuk mencari makna dibalik penggunaan, ketimpangan
penggunaan maupun tanpa menggunakan bahasa dalam bentuk register dan gaya yang
berbeda. Dengan kata lain, Antropolinguistik memuat interpretasi bahasa untuk
menemukan pemahaman kultural.
Antropological linguistics views language through the prism of the
core anthropological concept, culture, and such, seeks to uncover the
meaning behind the use, misuse, or non-use of language, its different
forms, registers and style. It is an interpretive discipline peeling away
at language to find cultural understandings. ( Foley 1997:3).
Sebagai bidang interdisipliner, ada tiga bidang kajian antropolinguistik, yakni
studi mengenai bahasa, studi mengenai budaya, dan studi mengenai aspek lain dari
kehidupan manusia, yang ketiga bidang tersebut dipelajari dari kerangka kerja
linguistik dan antropologi. Kerangka kerja linguistik didasarkan pada kajian bahasa

dan kerangka kerja antropologi didasarkan pada kajian seluk-beluk kehidupan


manusia.

Dengan mendengar istilah antropolinguistik, paling sedikit ada tiga relasi


penting yang perlu diperhatikan. Pertama, hubungan antara satu bahasa dengan
satu budaya yang bersangkutan. Yang berarti bahwa ketika mempelajari suatu
budaya, kita juga harus mempelajari bahasanya, dan ketika kita mempelajari
bahasanya kita juga harus mempelajari budayanya. Kedua, hubungan bahasa
dengan budaya secara umum yang berarti bahwa setiap ada satu bahasa dalam
suatu masyarakat, maka ada satu budaya dalam masyarakat itu. Bahasa
mengindikasikan budaya, perbedaan bahasa berarti perbedaan budaya atau
sebaliknya. Ketiga, hubungan antara linguistik sebagai ilmu bahasa dengan
antropologi sebagai ilmu budaya. (Sibarani 2004:51).
Menurut von Humboldt, bahasa itu adalah aktivitas rokhani, proses
kejiwaan

yang

berulang-ulang

untuk

membentuk

ide/gagasan

dengan

mengeluarkan bunyi artikulasi. Setiap bahasa mencerminkan lambang jiwa, tabiat,


sifat suatu bangsa itu. Hal ini menimbulkan keragaman bahasa dan perbedaannya.
Teorinya ini mengandung konsep dasar, bahasa milik suatu bangsa menentukan
pandangannya terhadap dunia dan lingkungan sekitarnya melalui kategori
gramatikal dan klasifikasi semantik yang mungkin ada dalam bahasa yang
diwarisinya bersama-sama dengan kebudayaannya. Fungsi bahasa yang utama
adalah alat untuk berpikir dan berlaku pada setiap bangsa.
b. Teori Antropolinguistik Modern
Melalui pendekatan antropologi linguistik, kita mencermati apa yang
dilakukan orang dengan bahasa dan ujaran-ujaran yang diproduksi; diam dan gesture
dihubungkan dengan konteks pemunculannya (Duranti, 2001:1). Dapat dikatakan
pendekatannya melalui performance, indexcality, dan participation.

Ada beberapa gagasan analitis yang mendasari linguistik antropologi,


yaitu: 1) competence dan performance, 2) indeksikalitas, dan 3) partisipasi
(Duranti, 1997: 14--21). Konsep competence dan performance adalah dua
terminologi kunci dalam tatabahasa generatif yang dikembangkan oleh Noam
Chomsky (1965). Competence merupakan sistem pengetahuan suatu bahasa

(sistem suatu budaya) yang dikuasai oleh penutur suatu bahasa bersangkutan,
performance merupakan penggunaan bahasa secara nyata dalam situasi
komunikasi yang sebenarnya yang merupakan cerminan dari sistem bahasa yang
ada pada pikiran penutur. Konsep indeksikalitas menyangkut tanda yang memiliki
hubungan eksistensial dengan yang diacu. Konsep partisipasi dimaksudkan
sebagai keterlibatan penutur dalam menghasilkan bentuk tuturan yang berterima
(Duranti, 1997:14-21).
Ahli linguistik antropologi tidak hanya mengkaji varietas bahasa tetapi
juga varietas bahasa-bahasa yang diucapkan dalam sebuah komunitas tertentu.
Dengan kata lain, linguistik antropologi memulai asumsi bahwa pikiran atas
varietas bahasa mensyaratkan sebuah komunitas tutur. Komunitas tutur adalah
suatu kelompok masyarakat yang mempunyai repertoir verbal yang relatif sama
serta mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian
bahasa yang digunakan dalam masyarakat tersebut (Chaer, 2004:36). Sementara
menurut Duranti masyarakat tutur adalah produk aktifitas komunikatif yang
terlibat dengan orang-orang di dalamnya (2000:82).
c. Bahasa dalam budaya: tradisi Boas
Di Amerika Serikat, antropologi dikonseptualisasikan sebagai disiplin ilmu
holistik yang mempelajari secara fisik (kini biologi), linguistik (dulu merujuk
pada filologi/ naskah-naskah kuno), budaya, serta catatan-catatan populasi
manusia secara arkeologi. Sebaliknya di Eropa, ahli etnologi memiliki departemen
tersendiri, terpisah dari ahli arkeologi, paleontologi, dan filologi (inkarnasi awal
dari ahli bahasa). Di Amerika Serikat, mahasiswa antropologi dituntut memiliki
beberapa pengetahuan dalam empat bidang kajian antropologi, sebagai penunjang,
di samping mereka harus mempunyai pengetahuan mendalam tentang bidang
spesialisasi mereka. Pelopor di Amerika Serikat yang merintis teori serta praktik
pandangan holistik antropologi adalah Franz Boas (1858-1942). Ia adalah peletak
dasar antropologi Amerika.
Awalnya Boas, kelahiran Jerman, tertarik meneliti bahasa suku Eskimo
dan Indian Kwakiutl yang eksotis di pesisir timur laut AS. Postulat pentingnya
adalah seseorang tak akan benar-benar memahami budaya orang lain tanpa

memiliki akses langsung pada bahasanya (Duranti,2000:52). Pendeknya, tanpa


memahami bahasa, orang tak akan mampu memahami budaya orang lain. Ia
menyatakan, ada koneksi intim antara budaya dan bahasa. Boas menyatakan
bahwa setiap bahasa memiliki deskripsi yang khas karena setiap bahasa memiliki
struktur yang unik (Kadarisman, 2009:35).
Ketertarikan Boas pada bahasa-bahasa suku Indian disebarkan pada
muridnya, yakni Edward Sapir. Sapir melanjutkan penelitian tersebut hingga
memberi kontribusi penting, tidak saja bagi linguistik Indian Amerika, tetapi juga
studi bahasa secara umum. Pernyataan

Boas yang menjadi tesis dasar bagi

penelitian antropologi budaya Amerika adalah pandangan bahwa perlunya bahasa


bagi pikiran manusia, dalam hal ini budaya manusia.
Penulisan deskripsi upacara-upacara penduduk pribumi dan aspek-aspek
lain budaya tradisional adalah bagian sekaligus bingkisan peninggalan
antropologi yang dipraktekkan oleh Boas. Seperti ahli antropologi pada masanya,
Boas peduli dengan kehilangan yang cepat atau perubahan dramatis atas budaya
serta bahasa penduduk asli AS. Ia ingin mempertahankan budaya serta bahasa
tersebut melalui pendokumentasian agar masih ada orang-orang yang berbicara
bahasa Indian dengan fasih dan dapat mendeskripsikan budaya mereka sendiri.
Sisi positif dari penelitian ini adalah realisasi atas banyaknya ide tentang
bahasa-bahasa primitif yang ditemukan dalam sastra, yang secara empiris tak
terdengar sebelumnya. Termasuk dalam bahasa Indian Amerika, bunyi-bunyi
bahasa dilafalkan tak seakurat sebagaimana dalam bahasa-bahasa Eropa. Boas
menunjukkan keterbatasan peneliti yang kesulitan mengenali bunyi-bunyi yang
tidak umum dalam bahasa-bahasa Eropa. Konsekuensinya, karena berkonsentrasi
pada naratif tentang masa lampau, metode yang digunakan oleh Boas
memunculkan etnografis yang secara empiris dapat dipertanyakan. Ahli etnografi
berkonsentrasi pada pengumpulan kembali adat istiadat masa lalu yang diperoleh
informan dan mengabaikan seabad atau lebih kontak dengan orang Eropa, bahkan
ketika kontak tersebut memiliki konsekuensi langsung pada kehidupan orangorang yang mereka teliti. Terlebih lagi, teks tersebut seringkali dihasilkan oleh
satu informan kunci dan tidak dicek melalui sumber-sumber atau versi lain.

Meski terbatas, metode Boas menjadi petunjuk penting atas linguistik


antropologi. Apalagi juga bersikukuh mempublikasikan sejumlah upacara
penduduk pribumi satu demi satu dan aspek-aspek lain dari warisan budaya.
Publikasi teks yang digunakan ahli etnografi dalam memformulasikan catatan
mereka, memungkinkan pembaca mempunyai akses kepada beberapa sumber.
Pembaca seakan dapat melihat dengan mata mereka sendiri apa yang didikusikan
dalam teks tersebut. Ketika menuliskan teks asli dan menerjemahkannya, Boas
terpesona dengan cara-cara yang berbeda dari bahasa tersebut dalam
mengklasifikasikan pengalaman dan dunia manusia. Ia menggunakan penelitian
ini sebagai argumen atas relativitas kultural. Relativitas kultural adalah pandangan
dimana masing-masing budaya harus dipahami dalam termanya sendiri daripada
diukur melalui rencana tapak secara moral maupun intelektual, yang oleh orangorang Eropa dianggap lebih tinggi.
Boas menggunakan pengetahuan bahasa-bahasa Indian Amerika untuk
menunjukkan bahwa cara bahasa mengklasifikasi dunia adalah arbitrer. Masingmasing bahasa mempunyai caranya sendiri membangun kosa kata yang membagi
dunia dan membuat kategori pengalaman. Apa yang dalam bahasa Inggris
mungkin direpresentasikan oleh kata-kata yang berbeda (air, danau, sungai, sungai
kecil, hujan, dan lain-lain), dalam bahasa lain mungkin diekspresikan oleh kata
yang sama atau berasal dari terma yang sama. Cermati contoh kata water dan salju
dalam bahasa Eskimo.
d. Pandangan Sapir dan Whorf
Edward Sapir (1884-1939) adalah sarjana terdepan dalam linguistik
antropologi. Beliau melanjutkan serta memperluas kajian Boas dalam bidang
bahasa dengan memberi perhatian lebih pada struktur linguistik. Selanjutnya,
beliau menekankan pada cara dimana tiap bahasa merupakan sistem sempurna dan
lengkap yang harus dipahami melalui terma mereka masing-masing. Sapir melihat
bahasa sebagai prasyarat bagi pengembangan budaya dan melanjutkan tradisi
Boas terhadap kritik tajam atas usaha mengklasifikasikan bahasa-bahasa tertentu
sebagai bahasa primitif atau lebih terbatas dibandingkan bahasa-bahasa
lainnya. Sapir menganggap bahwa bahasa adalah sarana paling sempurna atas

komunikasi dan ekspresi diantara orang-orang yang saling mengenal (Duranti,


2000: 56).
Benjamin Lee Whorf (1897-1941) adalah salah satu murid Sapir ternama
yang juga mempunyai minat dan ketertarikan besar terhadap bahasa. Kontribusi
besar Whorf pada teori linguistik adalah fokusnya terhadap hubungan antara
bahasa dan pandangan dunia (Duranti, 2000:58). Ia percaya bahwa struktur tiap
bahasa mengandung teori struktur alam semesta, yang ia sebut sebagai
metafisika. Pandangannya berangkat dari pemikiran bahwa masing-masing
struktur bahasa menjadi amat jelas ketika seseorang menyelidiki bahasa dan
budaya yang berbeda dari yang dimiliki oleh sang peneliti. Pendeknya, tiap bahasa
menentukan corak budaya, jalan pikiran serta tindak lakunya penuturnya.
Whorf menggunakan terma konfigurasi yang dapat menyingkap tak hanya
kategori

terbuka

(overt/phenotypes)

tapi

juga

kategori

tertutup

(covert/cryptotypes). Misalnya jamak untuk kata benda dalam bahasa Inggris


adalah kategori terbuka karena ditandai oleh akhiran s/es atau oleh fitur-fitur frasa
atau kalimat yang ada bersama mereka (bentuk kata kerja, penggunaan artikel).
Misalnya fish-fishes, star-stars. Sementara verba intransitif dan transitif dalam
bahasa Inggris merupakan kategori tertutup karena mereka tak mempunyai
penanda imbuhan tertentu. Misalnya, go to, sit down dan cook, see.
Kategori tertutup penting untuk diketahui karena dua alasan. Pertama,
kategori tertutup menunjukkan bahwa bahasa membuat distingsi bukan hanya
dalam terma apa yang (kelihatannya) dapat atau tidak dapat dilakukan oleh sebuah
kata. Pandangan ini juga dikembangkan Noam Chomsky sebagai deep structure,
yakni tingkatan kategorisasi linguistik yang tidak secara langsung terlihat atau
terdengar, namun penting untuk menjelaskan mengapa bahasa bertindak dengan
cara tertentu. Kedua, kategori tertutup diartikan bahwa bahasa terlihat agak
sederhana pada tataran superfisial (misalnya bahasa yang tak memiliki kategori
gender terbuka atau distingsi angka) bisa jadi dianggap lebih kompleks, atau lebih
abstraknya, tingkatan tertutup.
Perbedaan bahasa dalam hipotesis Sapir-Whorf menyebabkan perbedaan
berpikir disebabkan oleh adanya perbedaan bahasa ini, akan menyebabkan orang
Arab akan melihat realitas secara berbeda dengan orang Jepang, misalnya (Chaer,

2004:167). Itulah sebabnya orang Inggris dan Filipina meski sama-sama mengenal
warna, tetapi memiliki pandangan berbeda dalam menyebutkan warna. Bagi orang
Filipina hanya ada empat kelompok warna, yaitu mabiru (warna biru dan gelap),
melangit (putih dan warna cerah), meramar (kelompok warna merah) dan malatuy
(kuning , hijau muda, dan coklat muda). Peta atas realitas, menurut Whorf
didasarkan bahasa yang dipakai, bukan sebaliknya. Pengertian terhadap
pandangan dunia digunakan oleh Whorf (juga Sapir dan Boas)terikat oleh teori
tertentu tentang budaya, yang dinamakan bahasa sebagai pengetahuan. Pandangan
bahasa juga terikat oleh teori bahasa. Bahasa adalah salah satu data awal
pekerjaan yang diteliti oleh ahli sosiolinguistik dan peneliti lain melalui kajian
yang bervariasi dalam komunitas maupun secara individu.

4. Pembahasan
Tradisi berperumpamaan dalam masyarakat Batak Toba merupakan salah
satu tradisi yang masih berkembang pada suku Batak Toba. Bentuk tradisi ini dapat
dikaji

berdasarkan

teori

antropolinguistik

modern,

yakni

competence

dan

performance, indexicality, dan partisipation.


Ada beberapa jenis sastra Batak yang dibagi menurut bentuknya, menurut isi
dan menurut situasi dan kondisi penggunaanya. Semua hal ini akan dikaji berdasarkan
teori seperti yang di atas. Menurut bentuknya jenis sastra Batak ada beberapa yakni:
a. Umpasa dan umpama (perumpamaan)
Bentuk umpasa dan umpama dalam sastra Batak Toba dapat disamakan
peribahasa, perumpamaan dan pantun-pantun dalam sastra Indonesia.
Contoh umpasa:
Marbunga ruham da ito natubu ditopi ladang,
Au boru na so mar iboto, boru simadang-adang
Sitopot angka huta, marpareahi angka ladang,
Silului anak ni raja na gabe ulu balang.
Jenis sastra di atas merupakan umpasa (pantun) Batak Toba. Makna pada
pantun (umpasa) diatas yakni tidak baik dalam sebuah keluarga jika tidak memiliki
anak laki-laki, karena pada dasarnya di adat Batak laki-laki adalah sebagai penerus
silsilah (marga). Jika dalam sebuah keluarga hanya memiliki anak perempuan saja

maka marga dari keluarga tersebut akan berhenti sampai disitu saja. Jika anak
perempuan tidak punya saudara laki-laki, benar-benar sedihlah hidupnya. Dia harus
mencari laki-laki yang bisa memimpinnya kelak di keluarganya karena ia tidak
mempunyai saudara laki-laki.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka di bawah ini akan disajikan analisis
dengan teori antropolinguistik modern
(1) Competence: Laki-laki adalah penerus silsilah (marga) dalam budaya Batak
Toba.
(2) Performance: Au boru na so mar iboto, boru simadang-adang Aku
perempuan yang tidak memiliki saudara laki-laki, perempuan yang hidupnya
bersedih.
(3) Indexicality: Marbunga ruham da ito natubu di topi ladang Berbunga pohon
berduri yang tumbuh di tepi ladang (sawah).
Ruham adalah pohon kayu yang berduri dan buahnya dapat dimakan.

Maka, dalam budaya Batak Toba, perempuan yang tidak mempunyai


saudara laki-laki disamakan dengan pohon kayu yang berduri (yang
menyakitkan; tidak berguna) yang hidup di tepi ladang (tidak berguna
juga).
(4) Partisipation: keterlibatan penutur dalam menghasilkan bentuk tuturan

yang berterima seperti pada isi umpasa seperti di bawah ini.


Marbunga ruham da ito natubu di topi ladang,
Au boru na so mar iboto, boru simadang-adang
Sitopot angka huta, marpareahi angka ladang,
Silului anak ni raja na gabe ulu balang.
b. Andung-andung
Andung-andung ialah sejenis cerita yang diceritakan dengan meratap/
menangis. Bahasa yang dipergunakan pada sastra andung-andung bukan bahasa
sehari-hari, melainkan menggunakan bahasa ratapan. Andung tidak sama dengan
andung-andung. Andung adalah sejenis ratapan waktu orang meninggal, dimana yang
meratap itu menuturkan semua kesedihannya dengan kata-kata khusus yang disebut
bahasa andung. Sedangkan andung-andung adalah ratapan pura-pura dengan
menuturkan perasaan dengan bahasa andung dan ada bedanya, hanya peristiwa yang

dihadapinya

yang

berbeda,

akibatnya

perasaan

atau

emosi

orang

yang

membawakannya berbeda. Orang yang membawakan andung (=mangandung) akan


menitikkan air mata karena langsung menghadapi orang yang meninggal, sedangkan
orang yang membawakan andung-andung (=mangandung-andung) belum tentu
menitikkkan air mata sebab tidak ada musibah yang dihadapinya. Namun orang yang
pandai mangandung-andung dengan ungkapan perasaan kesedihan dengan kata-kata
andung yang tepat, dapat juga menitikkan air mata orang yang mendengarnya.
Contoh andung:
Adong do manuk mira Adalah ayam jantan
Potek-potek manuk kulabu Berkotek-kotek ayam kelabu
Tua ni na marina Untung yang beribu
Manjou-jou sian jabu Memanggil-manggil dari rumah
Ini merupakan ratapan seorang anak ketika ibunya meninggal. Sejak kecil
orang Toba telah dibiasakan makan bersama. Pada saat waktu makan tiba, inang (ibu)
memanggil-manggil anaknya yang sedang asyik bermain. Jou-jou (panggilan) itu
diteriakkan inang dari rumah, terdengar ke sekitar rumah tempat anak sedang
bermain. Bila anak bermain jauh di luar jangkauan suara inang, maka jou-jou sampai
juga kepada anak secara berantai melalui tetangga yang mendengar panggilan itu.
Pengalaman seperti ini merupakan nostalgia yang kuat dalam ingatan orang Toba,
lebih-lebih yang lahir dan di besarkan di huta (kampung). Ratapan seperti diatas
diucapkan oleh keluarga yang benar-benar merasa kehilangan tokoh yang meninggal
itu.
(1) Competence: Dalam budaya Batak Toba, seseorang akan meratap apabila
orang yang dikasihinya meninggal dunia.
(2) Performance: Tua ni na marina Untung yang beribu
(3) Indexicality: Adong do manuk mira Adalah ayam jantan
Potek-potek manuk kulabu Berkotek-kotek ayam kelabu
(4) Partisipasition: keterlibatan penutur dalam menghasilkan bentuk tuturan

yang berterima seperti pada andung-andung berikut ini.


Adong do manuk mira
Potek-potek manuk kulabu
Tua ni na marina
Manjou-jou sian jabu

c. Tonggo-tonggo
Tonggo-tonggo ialah bahasa tutur bebas yang dituturkan dengan irama bahasa
menurut tutur terikat yang isinya hanya berupa doa/ permohonan kepada roh yang
dipercayai dan dilakukan dengan menghidangkan sajian besar dan kecil. Tonggotonggo mengandung gaya bahasa yang indah, penuh dengan aliterasi, paralelisme.
Salah satu jenis tonggo-tonggo ialah tabas yang dapat disamakan dengan mantera
sastra Indonesia.
Contoh Tonggo-tonggo:
Ompu Mulajadi Na Bolon,
mula ni nasa na adong,
na manjadihon langit dohot tano on dohot nasa isina.
Na so marmula-mula,
na ro sian sisormarmula,
na so marbona jala na so binoto nang ujungna.
Sai manatap manonggor,
martinangi marbinege ma Ho Ompung,
sian langit ni langitan sian ginjang ni ginjangan di hata ni tonggo-tonggokon.
Ho do Ompung na sinta sumunde-sunde na uja manotari,
na manektekhon udan dohot las ni ari;
asa tubu anak na martua na songon mata niari dohot morsangap na uja
manotari.
Arti terjemahannya:
Sang Maha Pencipta, yang memulakan segala yang ada,
Yang menjadikan langit dan bumi beserta segala isinya.
Yang tidak berawal yang berasal dari yang tidak berawal,
Yang tidak berpangkal dan tidak berakhir.
Kiranya menatap dan memandang, memperhatikan dan mendengar dari langit
yang tertinggi atas kata-kata yang kupersembahkan.
Engkaulah yang menjalin ikatan yang sempurna, yang menurunkan hujan dan
panas hari; agar kiranya lahirlah anak yang berbahagia laksana matahari siang
dan terhormat seperti pagi dan malam.

Dari konsep ini diketahui bahwa leluhur Batak sangat religious, dan segala
sesuatu disampaikan kepada Sang Maha Pencipta dengan khidmat, hormat, santun
dengan rangkaian gaya bahasa seni nan puitis.
(1) Competence: Leluhur Batak Ompu Mulajadi Na Bolon sangat religius.
(2) Performance: Ompu Mulajadi Na Bolon Sang Maha Pencipta
mula ni nasa na adong yang memulakan segala yang ada
na manjadihon langit dohot tano on dohot nasa isina yang menciptakan
langit dan bumi beserta segala isinya
(3) Indexicality: Ho do Ompung na sinta sumunde-sunde na uja manotari
Engkaulah yang menjalin ikatan yang sempurna
na manektekhon udan dohot las ni ari yang menurunkan hujan dan panas
matahari.
Dengan demikian, ada hubungan antara petanda dengan penanda yakni
kebesaran Sang Maha Pencipta dalam menurunkan hujan dan panas matahari.
(4) Partisipation: keterlibatan penutur dalam menghasilkan bentuk tuturan

yang berterima.
d. Ende- ende (nyanyian)
Ende-ende adalah nyanyian atau pepatah yang sering dinyanyikan,
diungkapkan oleh orang yang sedang rindu, yang bergembira dan yang sedih.
Contoh:
Pangeol-ngeol mi solu na di tonga tao,
Molo matipul hole mi solu tu dia ma ho.
Pangeol-ngeol mi boru na so marimboto,
Molo mate amang mi boru maup tudia na ma ho.
Ende-ende diatas yakni merupakan nyanyian kesedihan yang memiliki
kerinduan yang dalam untuk mempunyai saudara laki-laki (iboto). Simbol atau
ratapan kepada boru (perempuan) apabila tidak mempunyai saudara laki-laki yang
tidak tentu arahnya apabila. Sangatlah penting memiliki saudara laki-laki karena jika
orang tua mereka meninggal saudara laki-laki itulah yang akan menggantikan posisi
orang tua (sang Ayah).
(1) Competence: Laki-laki adalah penerus marga (silsilah) dalam budaya Batak
Toba. Maka akan sangat menyedihkan kalau seorang perempuan tidak
memiliki saudara laki-laki.

(2) Performance: Molo mate amang mi boru maup tudia na ma ho Kalau


ayahmu meninggal, ke manakah kau pergi?
(3) Indexicality: Pangeol-ngeol mi solu na di tonga tao caramu menari-nari,
wahai perahu di tengah danau
Molo matipul hole mi solu tu dia ma ho Kalau patah pendayungmu, ke
manakah engkau akan pergi?
Dengan demikian, indeks dalam ende-ende itu adalah perahu dengan
perempuan. Perahu tidak akan berguna apabila hole (pendayungnya) patah,
begitupun perempuan dalam budaya Batak Toba tidak akan berguna apabila
ayahnya sudah meninggal dunia.
(5) Partisipation: keterlibatan penutur dalam menghasilkan bentuk tuturan

yang berterima.
Perumpamaan Batak merupakan salah satu sastra rakyat yang bercorak lisan
disampaikan dalam bentuk ucapan, dituturkan dari mulut ke mulut, bersifat
tradisional. Dalam perumpamaan Batak ditemukan citra (image) yang cenderung
kepada gambaran secara literal atau konkret tentang suatu peristiwa yang dialami
seseorang, baik nilai rasa maupun nilai pengamatan (objeknya). Perumpamaan Batak
digunakan dalam semua aspek kehidupan masyarakat masyarakat dan disepanjang
zaman, khasnya yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan seni dan tarian, dalam
istiadat perkawinan, dalam ucapan-ucapan untuk upacara dan istiadat, dalam jampi
dan mantera dan sebagainya (A.A. Sitompul 1998 hl.XIX). Dengan kata lain,
perumpamaan Batak merupakan gaya bahasa yang muncul dari pengamatan dan
ditradisikan di sepanjang sejarah baik secara kolektif maupun personal. Ia
dikomunikasikan secara artistik dengan memakai analogi baik berupa ungkapan,
ikon, cerita, tanda simbolik, atau bentuk lain pada tempat kedudukan yang jelas (A.A.
Sitompul 1998). Namun ada juga yang membedakan umpasa dengan umpama. (T.
Sihombing 1989:8 dalam tesis Parlindungan Purba) menyatakan bahwa umpasa tidak
sama dengan umpama. Umpama adalah pepatah atau puisi yang bentuknya dapat
berubah. Dengan kata lain umpama bersifat statis sedangkan umpasa dinamis. Dalam
kaitan itu perumpamaan Batak menjadi suatu model paradigma yang dipakai dalam
komunikasi yang aplikatif, sebab gagasan ungkapan itu mencerminkan corak
pemikiran yang dibungkus dalam bahasa estetik dan puitis menyangkut sikap
terhadap budaya dalam sejarah, kenangan dan tradisi. Perumpamaan Batak dapat

berupa umpama, umpasa, bidalan, bilangan, kiasan, perumpamaan dalam nyanyian,


ende-ende, torsa-torsa, andung/ andung-andung, huling-hulingan, tontonan/
sitontonan, tonggo-tonggo, dan sebagainya.
Perumpamaan yang baik bukan hanya enak di dengar tanpa memiliki
hubungan dan hubungan makna. Seperti di bawah ini:
Sipatu Inggris ni degehon mardorop
Anak pe riris boru pe torop
Dalam untaian kalimat di atas; sipatu inggiris tidak mempunyai hubungan
dengan anak riris. Dan kata mardorop tidak mempunyai hubungan makna dengan
torop bandingkan:
Bintang na rumiris, Bintang yang banyak
Ombun na sumorop Awan yang bergumpal
Anak pe riris Putera pun berjejer
Boru pe torop Puteri pun banyak
Bintang na rumiris dan anak riris memiliki hubungan makna yakni keinginan
memiliki anak seperti banyaknya bintang, dan ombun na sumorop dan boru pe torop
adalah cita cita atau keinginan akan putri yang bisa membawa kesejukan dan
kedamaian. Dari pengenalan cuaca, apabila ombun manorop ini menunjukkan bahwa
tempat itu subur dan lembab dibuat embun tersebut, demikian dengan cita cita orang
Batak kiranya Putrinya kelak cepat berketurunan dan pekerjaannya menghasilkan
yang baik seperti, melayani tamu, bertenun, bercocok tanam, beternak.
Perumpamaan yang ada juga seringkali bermakna nyata, aktual dan faktual
yang terjadi dalam kehidupan masyarakat sebagai contoh:
Eme ni sege, ni raga ia boras
Di haroromu sahat ma tabe sahat ma horas.
Manege eme adalah pekerjaan yang nyata, aktual dan juga faktual
Mangarege boras adalah pekerjaan yang nyata .
Eme ni sege : sahat ma tabe
Ni raga boras : sahat ma horas
Marsege eme, adalah pekerjaan yang terakhir ketika panen, memisahkan
padi dari batangnya. Dan memisahkan padi yang berisi dengan padi yang kosong.
Ketika itu, petani sudah bisa dan mampu menjamu tamu, demikian juga konteks
mengucapkan perumpamaan ini sudah mempunyai persiapan untuk menerima tamu.
Mangaraga boras, pekerjaan untuk memisah beras yang utuh dengan menir. Artinya;

sudah siap untuk di masak untuk disajiakan untuk pesta, dalam umpasa tersebut sama
artinya bahwa sudah punya kesiapan untuk melaksanakan adat.
Sebagai salah satu dari sastra lisan, maka perumpamaan dipandang perlu
untuk selalu dilestarikan dan dikembangkan.

5) Kesimpulan
Orang Batak adalah salah satu etnis yang cukup dinamis dan adaptif terhadap
lingkungannya. Kedinamisan dan kemampuan ber-elaborasi juga bisa sebagai
mobilitas dalam pergaulan dengan etnis-etnis yang lain. Sehingga suku Batak mampu
memasuki budaya etnis yang lain. Hal ini dapat kita lihat dalam kehidupan orang
Batak yang tinggal di Bandung orang Batak mampu secara adatif terhadap pergaulan
dan bahasa Sunda. Sebaliknya kedinamisan itu bisa sebagai ancaman terhadap budaya
Batak itu sendiri. Dengan prinsip adaptasi, orang Batak sering melupakan budayanya
maupun bahasanya demikian juga dengan kearifan lokalnya sendiri. Dan akhirnya
dengan kedinamisan, orang Batak dengan gampang memasukkan budaya, sifat dan
bahasa asing terhadap kehidupannya.
Sifat negatif dari kedinamisan orang Batak, dapat kita lihat betapa orang
Batak menggandrungi Budaya yang lain tanpa memperdulikan budayanya. Budaya,
pergaulan dan bahasa Batak semakin terabaikan oleh sebagian besar orang Batak.
Dapat kita lihat semakin banyak orang dewasa yang tidak mampu menuturkan bahasa
Batak secara baik. Dan generasi mudanya sangat banyak tidak memahami bahasanya
lagi. Demikian juga dengan perumpamaan Batak lama-kelamaan kemampuan untuk
menciptakan dan menggunakan perumpamaan Batak semakin hilang di masyarakat
Batak, hal itu karena perumpamaan Batak tidak dipakai dalam bahasa pergaulan
sehari-hari hanya dalam upacara ritual adat. Perumpamaan Batak yang itu-itu saja
diperdengarkan, itu berdampak terhadap aturan-aturan pemakaian perumpamaan
tersebut. Sehingga dewasa ini terlihat perumpamaan yang diucapkan asal-asalan.
Tidak terlihat lagi aturan yang menyampaikan dan yang menyampaikan secara baik.
Misalnya umpasa atau perumpamaan dari pihak hula-hula ke pihak boru, sering
bertukar. Dari yang dijamu terhadap yang menjamu, sering bertukar dipakai yang
menjamu terhadap tamunya dan lain sebagainya.
Menciptakan perumpamaan dan menyampaikan perumpamaan harus
memahami aturan-aturan.

DAFTAR PUSTAKA
Duranti, Alessandro. 2000. Linguistic Anthropology: University Press.
Cambridge.
Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie. 2004. Sosiolinguistik: Rineka Cipta. Jakarta.
Holmes, Janet. 2001. An Introduction to Sosiolinguistics: Longman. London.
Sharifian, Farzad dan Palmer, Gary B (Ed). 2007. Applied Cultural Linguistisc:.
John Benjamin Publishing and Co. Philadelpia.
Sibarani, R. 2004. Antropologi Linguistik, Linguistik Antropologi. Medan: Poda.

APLIKASI TEORI ANTROPOLINGUISTIK MODERN (COMPETENCE,


PERFORMANCE, INDEXICALITY, & PARTISIPATION) DALAM BUDAYA
BATAK TOBA

Disusun Oleh:
BESLINA AFRIANI SIAGIAN
127009026
LINGUISTIK

PROGRAM STUDI LINGUISTIK


PROGRAM PASCASARJANA LINGUISTIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2014

Anda mungkin juga menyukai