Anda di halaman 1dari 41

Kepentingan.....

Bahasa Melayu mempunyai hubungan yang erat dan sukar dipisahkan dengan budaya bangsa Melayu.
Oleh itu, dalam pembelajaran bahasa, pengetahuan linguistik dan kemahiran sosiobudaya sebenarnya
penting diterapkan supaya pelajar dapat menguasai bahasa yang dipelajari bersama-sama dengan
rumus sosiobudaya yang ada dalam bahasa Melayu. Hal ini penting kerana penguasaan bahasa yang
mantap membolehkan penutur itu berinteraksi ataupun berkomunikasi menggunakan bahasa Melayu
dengan baik dan dapat diterima sebagai sebahagian daripada ahli komuniti bahasa berkenaan.
Sehubungan dengan itu, kertas kerja ini akan mengenal pasti aspek sosiolinguistik yang belum dan
telah dikuasai oleh muridmurid sekolah yang multilingual di Malaysia, membincangkan kepentingan
pengetahuan sosiolinguistik diterapkan dalam pembelajaran Bahasa Melayu bagi melahirkan pelajar
yang dapat menguasai kecekapan linguistik dan kecekapan sosiobudaya kerana kedua-dua fenomena
ini saling berkaitan. Aspek sosiolinguitik yang akan dikaji ialah penggunaan bahasa dalam proses
sosialisasi serta aspek kesopanan dan kesantunan berbahasa yang diamalkan ketika berinteraksi
dengan ahli masyarakatnya. Data kajian dianalisis menggunakan pendekatan sosiopragmatik.
KULIAH
Sosiolinguistik
Sosiolinguistik merupakan salah satu mata kuliah yang harus ditempuh oleh mahasiswa jurusan
bahasa dan sastra Indonesia. Mata kuliah ini berisi konsep dasar sosilinguistik sebagai bagian
dari disiplin linguistik yang meliputi : konsep dasar sosiolinguistik, masyarakat tutur, variasi
bahasa, kedwibahasaan, diglosia, pemilihan bahasa, alih kode dan campur kode, sikap bahasa,
pergeseran dan pemertahanan bahasa, etnograIi komunikasi, serta penerapannya dalam analisis
pemakaian bahasa dalam konteks sosial budaya di masyarakat.
%U1UAN PERKULIAHAN
Mahasiswa memiliki pemahaman tentang konsep dasar sosilinguistik sebagai bagian dari
disiplin linguistik dan menerapkannya untuk menganalisis gejala bahasa dalam konteks
pemakaiannya di masyarakat.
S%RA%EGI PERKULIAHAN
Perkuliahan sosilinguistik dilaksanakan dengan strategi Perkuliahan Berbasis Penelitian
Lapangan. Prosedur perkuliahan melalui strategi tersebut adalah sbb:
1) Kontrak Perkuliahan antara dosen dan mahasiswa
2) Pemaparan dasar-dasar teoretis sosiolinguistik
3) Survey data lapangan dalam berbagai ranah sosial
4) Analisis data lapangan berdasarkan teori yang relevan
5) ReIleksi perkuliahan oleh mahasiswa dan dosen
6) Penilaian
SUMBER MA%ERI PERKULIAHAN
a. Chaer, Abdul dan Leonel Agusta. 1995. Sosiolinguistik. Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka
Cipta.
b. Dittmar, Nobert. 1976. Sociolinguistics. London: Edward Arnold.
c. Fasold, Ralph. 1984. The Sociolinguistics of Society. OxIord: Basil Blackwell.
d. Fasold, Ralph. 1990. The Sociolinguistics of Language. OxIord: Basil Blackwell.
e. Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Longman.
I. Hudson, R.A. 1996. Sociolinguistics (Second Edition). Cambridge: Cambridge University
Press.
g. Kartomihardjo, Soeseno. 1988. Bahasa Cermin Kehidupan Masyarakat. Jakarta:
Depdikbud.
h. Nababan. 1993. Sosiolinguistik. Satu Pengantar. Jatakarta: PT Gramedia.
i. Ohiowutu, Paul. 1996. Sosiolinguistik. Memahami Bahasa dalam Konteks Masyarakat dan
Kebudayaan. Jakarta: Kesaint Blanc.
j. Rokhman, Fathur. 1996. 'PerspektiI tentang Penelitian Sikap Bahasa. Media FPBS IKIP
Semarang.
k. Rokhman, Fathur. 1997. 'Sosiopragmatik Wacana Percakapan: Teori dan Aplikasinya
dalam Penelitian. Jurnal Ilmiah Media FPBS IKIP Semarang.
l. Rokhman, Fathur. 1998. 'Fenomena Pemilihan Bahasa: Paradigma Sosiolinguistik. Jurnal
Ilmiah Media FPBS IKIP Semarang
%UGAS PERKULIAHAN
Tugas perkuliahan meliputi:
a) Tugas analisis peristiwa tutur berdasarkan komponen tutur.
b) Tugas pengamatan situasi tutur yang disertai dengan perekaman dan pencatatan data
lapangan.
c) Tugas resensi buku sosiolinguistik
d) Tugas penyusunan laporan pengamatan sosiolinguistik berdasarkan tema terIokus.
KRI%ERIA PENILAIAN
Penilaian kelulusan didasarkan pada tiga aspek berikut dengan prasyarat kehadiran sekurang-
kurangnya 75 .
a. Tugas : 30
b. Ujian Tengah Semester: 30
c. Ujian Akhir Semester : 40
PROGRAM PERKULIAHAN
Pertemuan Ke- : 1 (satu)
Hari/Tanggal :
Materi Perkuliahan : Pengertian dan Permasalahan Sosiolinguistik
Pengertian Sosiolinguistik
Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan linguistik, dua bidang
ilmu empiris yang mempunyai kaitan sangat erat. Apa sosiologi dan linguistik itu? Banyak
batasan telah dibuat oleh para sosiolog mengenai sosiologi, tetapi intinya bahwa sosiologi adalah
kajian yang objektiI dan ilmiah mengenai manusia di dalam masyarakat, mengenai lembaga-
lembaga, dan proses sosial yang ada di dalam masyarakat. Sosiologi berusaha mengetahui
bagaimana masyarakat itu terjadi, berlangsung, dan tetap ada. Dengan mempelajari lembaga-
lembaga sosial dan segala masalah sosial dalam satu masyarakat, akan diketahui cara-cara
manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, bagaimana mereka bersosialisasi, dan
menempatkan diri dalam tempatnya masing-masing di dalam masyarakat.
Linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa, atau bidang ilmu yang
mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan demikian, secara mudah dapat dikatakan
bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam
kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat. Sosiolinguistik dapat
dideIinisikan sebagai kafian tentang bahasa dalam hubungannya dengan masyarakat dan istilah
inilah yang akan digunakan dalam buku ini.
Sosiolinguistik adalah ilmu yang interdisipliner. Istilahnya sendiri menunjukkan bahwa ia
terdiri atas bidang sosioligi dan linguistik. Dalam istilah linguistik-sosial (sosiolinguistik) kata
sosio adalah aspek utama dalam penelitian dan merupakan ciri umum bidang ilmu tersebut.
Linguistik dalam hal ini juga berciri sosial sebab bahasa pun berciri sosial, yaitu bahasa dan
strukturnya hanya dapat berkembang dalam suatu masyarakat tertentu. Aspek sosial dalam hal
ini mempunyai ciri khusus, misalnya ciri sosial yang spesiIik dan bunyi bahasa dalam kaitannya
dengan Ionem, morIem, kata, kata majemuk, dan kalimat.
Selain istilah sosiolinguistik ada juga digunakan istilah sosiologi bahasa. Dari kedua
istilah tersebut ada yang menganggap itu sama, tetapi ada juga yang menganggap berbeda. Ada
yang mengatakan digunakannya sosiolinguistik karena penelitiannya dimasuki dari bidang
linguistik; sedangkan istilah sosiologi bahasa digunakan kalau penelitian itu dimasuki dari
bidang sosiologi. Fishman dalam mengkaji masalah ini menggunakan judul Sosiolinguistik
(1970), kemudian menggantinya dengan sosiologi bahasa, Sociology oI Language (1972).
Artikel yang ditulis Fishman dalam Giglioli (ed. 1972:45-58) memang membahas Sosiolinguistik
di bawah judul Sosiologi Bahasa. Dikatakannya bahwa 'ilmu ini meneliti interaksi antara dua
aspek tingkah laku manusia: penggunaan bahasa dan organisasi tingkah laku sosial. J.A.
Fishman mengatakan kajian sosiolinguistik lebih bersiIat kualitatiI, sedangkan kajian sosiologi
bahasa bersiIat kuantitatiI. Jadi sosiolinguistik lebih berhubungan dengan perincian-perincian
penggunaan bahasa yang sebenarnya, seperti deskripsi pola-pola pemakaian bahasa/dialek dalam
budaya tertentu, pilihan pemakaian bahasa/dialek tertentu yang dilakukan penutur, topik, dan
latar pembicaraan, sedangkan sosiologi bahasa lebih berhubungan dengan Iaktor-Iaktor sosial,
yang saling bertimbal-balik dengan bahasa/dialek.
Bram & Dickey, (ed. 1986:146) menyatakan bahwa Sosiolinguistik megkhususkan
kajiannya pada bagaimana bahasa berIungsi di tengah masyarakat. Mereka menyatakan pula
bahwa sosiolinguistik berupaya menjelaskan kemampuan manusia menggunakan aturan-aturan
berbahasa secara tepat dalam situasi-situasi yang bervariasi.
Sosiolinguistik juga menyangkut individu sebab unsur yang sering terlihat melibatkan
individu sebagai akibat dari Iungsi individu sebagai makhluk sosial. Hal itu merupakan peluang
bagi linguistik yang bersiIat sosial untuk melibatkan diri dengan pengaruh masyarakat terhadap
bahasa dan pengaruh bahasa pada Iungsi dan perkembangan masyarakat sebagai akibat timbal-
balik dari unsur-unsur sosial dalam aspek-aspek yang berbeda, yaitu sinkronis, diakronis,
prospektiI yang dapat terjadi dan perbandingan. Hal tersebut memungkinkan sosiolinguistik
membentuk landasan teoretis cabang-cabang linguistik seperti: linguistik umum, sosiolinguistik
bandingan, antarlinguistik dan sosiolinguistik dalam arti sempit (sosiolinguistik yang konkret)
(Deseriev, 1977:341-363).
Sumbangan bidang sosiologi dan linguistik kepada sosiolinguistik tidak sama, baik secara
kualitatiI maupun kuantitatiI. Sumbangan unsur-unsur kemasyarakatan untuk landasan sosial dari
sosiologi dan linguistik, termasuk seluruh perkembangan dari masyarakat, mencakup kesadaran
secara sosial dan individu, mulai dari kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat hingga
hasil yang berbeda-beda dari perkembangan masyarakat secara keseluruhan.
Permasalahan Sosiolinguistik
KonIerensi sosiolinguistik pertama yang berlangsung di University oI CaliIornia, Los
Angeles, tahun 1964 telah merumuskan adanya tujuh dimensi dalam penelitian sosiolinguistik.
Ketujuh dimensi yang merupakan isu dalam sosiolinguistik itu adalah (1) identitas sosial dari
penutur. (2) identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, (3)
lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi, (4) analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-
dialek sosial, (5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran,
(6) tingkatan variasi dan ragam linguistik, dan (7) penerapan praktis dari penelitian
sosiolinguistik (lihat Dittmar 1976:128).
Identitas sosial dari penutur antara lain dapat diketahui dari pertanyaan apa dan siapa
penutur tersebut, dan bagaimana hubungannya dengan lawan tutur. Dengan demikian identitas
penutur dapat berupa anggota keluarga (ayah, ibu, kakak, adik, paman, dan sebagainya), dapat
berupa teman karib, atasan atau bawahan (di tempat kerja), guru, murid, tetangga, pejabat, orang
yang dituakan, dan sebagainya. Identitas penutur itu dapat mempengaruhi pilihan kode dalam
bertutur.
Identitas sosial dari pendengar tentu harus dilihat dari pihak penutur. Dengan demikian
identitas pendengar itu pun dapat berupa anggota keluarga (ayah, ibu, adik, kakak, paman, dan
sebagainya) teman karib, guru, murid, tetangga, pejabat, orang yang dituakan, dan sebagainya.
Identitas pendengar atau para pendengar juga akan mempengaruhi pilihan kode dalam bertutur.
Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi dapat berupa ruang keluarga di dalam
sebuah rumah tangga, di dalam masjid, di lapangan sepak bola, di ruang kuliah, di perpustakaan,
atau di pinggir jalan. Tempat peristiwa tutur terjadi dapat pula mempengaruhi pilihan kode dan
gaya dalam bertutur, misalnya, di ruang perpustakaan tentunya kita harus berbicara dengan suara
yang tidak keras, di lapangan sepak bola kita boleh berbicara keras-keras, malah di ruang yang
bising dengan suara mesin-mesin kita harus berbicara dengan suara keras, sebab kalau tidak
keras tentu tidak dapat didengar oleh lawan bicara kita.
Analisis diakronik dan sinkronik dari dialek-dialek sosial berupa deskripsi pola-pola
dialek sosial itu, baik yang berlaku pada masa tertentu atau yang berlaku pada masa yang tidak
terbatas. Dialek sosial ini digunakan para penutur sehubungan dengan kedudukan mereka
sebagai anggota kelas-kelas sosial tertentu di dalam masyarakat.
Penilaian sosial yang berbeda oleh penutur terhadap bentuk-bentuk perilaku ujaran.
Maksudnya, setiap penutur tentunya mempunyai kelas sosial tertentu di dalam masyarakat.
Dengan demikian berdasarkan kelas sosialnya itu, dia mempunyai penilaian tersendiri, yang
tentunya sama, atau jika berbeda, tidak akan terlalu jauh dari kelas sosialnya, terhadap bentuk-
bentuk perilaku ujaran yang berlangsung.
Tingkatan variasi atau linguistik, maksudnya bahwa sehubungan dengan heterogennya
anggota suatu masyarakat tutur, adanya berbagai Iungsi sosial dan politik bahasa, serta adanya
tingkatan kesempurnaan kode, maka alat komunikasi manusia yang disebut bahasa itu menjadi
sangat bervariasi. Setiap variasi, entah namanya dialek varietas, atau ragam, mempunyai Iungsi
sosialnya masing-masing.
Dimensi terakhir, yakni penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik, merupakan
topik yang membicarakan kegunaan penelitian sosiolinguistik untuk mengatasi masalah-masalah
praktis dalam masyarakat, misalnya, masalah pengajaran bahasa, pembakuan bahasa,
penerjemahan, mengatasi konIlik sosial akibat konIlik bahasa, dan sebagainya
Sudah selayaknya kalau pembicaraan sosiolinguistik membahas ketujuh dimensi
penelitian sosiolinguistik tersebut. Dalam buku ini berturut-turut akan dibicarakan masalah
komunikasi bahasa, masyarakat tutur, variasi bahasa, bilingualisme dan diglosia, alih kode dan
campur kode, interIerensi dan integrasi, perubahan, pergeseran, dan pemertahanan bahasa, sikap
dan pemilihan kode bahasa, pengajaran bahasa, diakhiri dengan proIil sosiolinguistik di
Indonesia.
Pertemuan Ke- : 2 (dua)
Hari/Tanggal :
Materi Perkuliahan : Relevansi dan ManIaat Sosiolinguistik
Relevansi Linguistik dengan Sosiolinguistik
Linguistik adalah ilmu pengetahuan yang melibatkan dirinya dengan bahasa. Bahasa
sebagai objek penelitian linguistik ditinjau dari batasan-batasan Iungsi dan perkembangannya.
Keberadaan struktur bahasa dapat ditinjau secara historis dan memberikan tempat yang spesiIik,
terisolasi dan tersendiri di antara unsur-unsur kemasyarakatan lainnya. Mengenai struktur bahasa
dan batasan yang ada di dalamnya (semantik leksikal, Ionologi, morIologi, sistem sintaktis, dan
stilistis Iungsional), membuat bahasa menjadi phenomena sosial yang sangat spesiIik dan relatiI
terisolasi. Unsur-unsur dan kategori yang spesiIik dari bahasa, ciri-ciri dan variasi struktural
tidak dapat dijabarkan dan ditemukan padanan Iormulasinya dalam perwujudan sosial lainnya.
Hal itu menjadikan ilmu sosiolinguistik penting, yaitu mengembangkan suatu disiplin ilmu yang
baru, membentuk aspek yang baru dari kehidupan berbahasa suatu masyarakat, atau suatu
kelompok masyarakat yang berbeda, suatu disiplin ilmu yang memperhitungkan makna utama
gejala sosial dan pengaruh timbal-baliknya maupun perkembangan di dalam bahasa itu sendiri.
Apakah perbedaan antara linguistik dan sosiolinguistik? Pandangan yang umumnya
diikuti adalah bahwa linguistik hanya membahas struktur bahasa dan tidak membicarakan
konteks sosial tempat bahasa itu dipelajari dan digunakan. Tugas linguistik adalah mencari
kaidah bahasa X` dan sesudah itu barulah para sosiolinguistik memasuki permasalahan dan
mengkaji masalah apa pun yang ada dengan adanya kontak antara kaidah itu dengan masyarakat,
misalnya jika kelompok sosial yang berbeda memilih alternatiI lain untuk menyatakan hal yang
sama. Pandangan ini merupakan pandangan yang khas pada aliran linguistik struktural` yang
telah mendominasi linguistik abad kedua puluh termasuk linguistik transIormasi-generatiI
(ragam yang dikembangkan sejak tahun 1957 oleh Chomsky). Secara kebetulan aliran itu juga
umum dalam kebanyakan pengajaran bahasa asing di Inggris). Namun tidak semua pengkaji
bahasa menerima pandangan ini. Beberapa dari mereka mengatakan bahwa ujaran jelas
merupakan perilaku sosial sehingga mempelajari ujaran tanpa mengacu ke masyarakat akan
seperti mempelajari perilaku orang pacaran tanpa menghubungkan perilaku seseorang dengan
patnernya.
Relevansi Sosiolinguistik dengan Sosiologi dan Linguistik
Dalam ilmu pengetahuan dewasa ini, terutama di bidang ilmu bahasa terdapat beragam
pendapat dalam hubungannya dengan objek linguistik. Beberapa pengarang berbeda pandangan
tentang harus dimasukkan dalam disiplin ilmu yang mana sosiolinguistik itu. Perkembangan ilmu
bahasa di Rusia, pandangan yang berpengaruh adalah bahwa sosiolinguistik merupakan salah
sebuah cabang tersendiri dari ilmu pengetahuan yang interdisipliner.
Dalam ilmu bahasa terdapat ketentuan mengenai objek sosiolinguistik yang berbeda.
Pandangan V.M. Zirmunskij (1969:14) menyatakan bahwa penelitian mengenai perbedaan
bahasa dari aspek sosial harus didasarkan pada penelitian sinkronis dan diakronis. Menurut
pendapat O.S. Achmanova dan A.N. Marcenko (1971:2) 'sosiolinguistik adalah bagian dari
bahasa yang menyelidiki hubungan kausal antara bahasa dan gejala-gejala dalam kehidupan
sosial. L.B. Njikol`skij (1974:63) berpendapat bahwa tugas dan objek penelitian linguistik berada
pada cakupan yang luas yang dihubungkan dengan konteks bahasa. Dapat diberikan deIinisi
yang berbeda dari objek sosiolinguistik yang dapat ditemukan dalam khazanah suatu bidang ilmu
yang khusus.
Menurut pendapat R. Grosse dan A. Neubert (1970:3-4), hubungan timbal balik antara
bahasa dan masyarakat dapat ditinjau dari berbagai aspek, yaitu dari aspek sosiolinguistik
maupun aspek sosiologi bahasa. Yang pertama termasuk bidang linguistik, sedangkan yang
kedua termasuk bidang sosiologi.
Ilmu sosiolinguistik dapat menawarkan banyak hal kepada ilmu sosiologi. beberapa
kriteria seperti berikut ini memiliki makna yang penting untuk sosiologi, (1) menurut pandangan
B. Russel, bahasa merupakan satu-satunya alat untuk mengenal ilmu pengetahuan, (2) penilaian
yang terlalu tinggi tidak dapat diberikan kepada interpretasi data-data bahasa untuk Iormulasi
dan pekembangan teori sosiolinguistik, (3) data-data sosiolinguistik memegang peranan penting
dalam cabang-cabang ilmu sosiologi.
EIek timbal-balik antara sosiolinguistik dan linguistik sangat banyak dan mendalam. Hal
itu dapat dijelaskan oleh dua ciri sosiolinguistik. Pertama, oleh pengaruh-pengaruh yang khas
dari Iaktor-Iaktor sosial terhadap Iungsi bahasa secara keseluruhan. Kedua, melalui pengaruh
Iaktor sosial yang khas pada struktur bahasa; tingkatan-tingkatannya; dan dan unsur-unsur dalam
struktur bahasa seperti Ionologi, morIologi, tingkatan sintaktis, Ionem, kata hubungan kata, dan
kalimat.
Hubungan timbal balik antara masyarakat, linguistik, dan sosiolinguistik memiliki ciri
yang rumit. Hal itu menunjukkan bahwa sosiolinguistik memiliki peranan yang menunjang
Manfaat Sosiolinguistik
Setiap bidang ilmu tertentu mempunyai kegunaan dalam kehidupan praktis, begitu juga
dengan sosiolinguistik. Kegunaan sosiolinguistik bagi kehidupan praktis banyak sekali, sebab
bahasa sebagai alat komunikasi verbal manusia, tentunya mempunyai aturan-aturan tertentu
dalam penggunaannya. Sosiolinguistika memberikan pengetahuan bagaimana cara menggunakan
bahasa. Sosiolinguistik menjelaskan bagaimana menggunakan bahasa itu dalam aspek atau segi
sosial tertentu, seperti dirumuskah Fishman (1967:15) bahwa yang dipersoalkan dalam
sosiolinguistik adalah, 'ho speak, hat language, to hom, hen, and to hat end`. Dari
rumusan Fishman itu dapat kita jabarkan manIaat atau kegunaan sosiolinguistik bagi kehidupan
praktis.
Pertama, pengetahuan sosiolinguistik dapat dimanIaatkan dalam berkomunikasi atau
berinteraksi. Sosiolinguistik memberikan pedoman kepada kita dalam berkomunikasi dengan
menunjukkan bahasa, ragam bahasa atau gaya bahasa apa yang harus kita gunakan jika kita
berbicara dengan orang tertentu. Jika kita adalah anak dalam suatu keluarga, tentu kita harus
menggunakan ragam/gaya bahasa yang berbeda jika lawan bicara kita adalah ayah, ibu, kakak,
atau adik. Jika kita seorang murid, tentu kita harus menggunakan ragam/gaya bahasa yang
berbeda pula terhadap guru, terhadap teman sekelas, atau terhadap sesama murid yang kelasnya
lebih tinggi. Sosiolinguistik juga akan menunjukkan bagaimana kita harus berbicara bila kita
berada di dalam mesjid, di ruang perpustakaan, di taman, di pasar, atau juga di lapangan sepak
bola.
Dalam pengajaran bahasa di sekolah, sosiolinguistik juga mempunyai peran yang besar.
Kajian bahasa secara internal akan menghasilkan perian-perian bahasa secara objektiI deskriptiI,
dalam wujud berbentuk sebuah buku tata bahasa. Kalau kajian secara internal itu dilakukan
secara deskriptiI, dia akan menghasilkan sebuah tata bahasa deskriptiI. Kalau kajian itu
dilakukan secara normatiI, akan menghasilkan buku tata bahasa normatiI. Kedua buku tata
bahasa ini mempunyai hasil perian yang berbeda, lalu kalau digunakan dalam penggunaan
bahasa, juga akan mempunyai persoalan yang berbeda. Kalau dalam pengajaran digunakan buku
tata bahasa deskriptiI, maka kesulitannya adalah bahwa ragam bahasa yang harus diajarkan
adalah ragam bahasa baku, padahal dalam buku tersebut terekam juga hasil perian ragam
nonbaku.
Di negara-negara yang multilingual seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, India, dan
Filipina muncul masalah-masalah politis sehubungan dengan pemilihan bahasa untuk keperluan
menjalankan administrasi kenegaraan dan pembinaan bangsa. Pemilihan bahasa mana yang harus
diambil menjadi bahasa resmi kenegaraan dapat menimbulkan ketegangan politik dan ada
kemungkinan berlanjut menjadi bentrok Iisik. Indonesia tampaknya dapat menyelesaikan
masalah pemilihan bahasa nasional, bahasa negara, dan bahasa resmi itu dengan baik, yakni
dengan memilih bahasa Melayu, yang dalam sejarahnya telah menjadi lingua franca dan telah
tersebar luas di seluruh nusantara, meskipun jumlah penutur aslinya jauh lebih sedikit daripada
penutur bahasa daerah Sunda atau Jawa. Tak ada ketegangan politik dan bentrokan Iisik karena
semuanya menyadari bahwa bahasa secara sosiolinguistik bahasa Melayu mempunyai peranan
yang lebih mungkin sebagai bahasa pergaulan dan bahasa resmi di Indonesia. Bahasa daerah
lain, yang meskipun jumlah penuturnya lebih banyak, tetapi luas pemakaiannya terbatas di
wilayah masing-masing.

Pertemuan Ke- : 3 dan 4 (tiga dan empat)
Hari/Tanggal :
Materi Perkuliahan : Masyarakat Bahasa
Konsep Masyarakat Bahasa
DeIinisi masyarakat bahasa yang dimaksudkan di sini tidak hanya berdasarkan pada
perkembangan bahasa, tetapi berdasarkan pada sejarah, budaya, dan politik. Pada tahap abstraksi
yang cukup tinggi ditempatkan ciri-ciri kelompok yang memiliki kesamaan agama, usia,
kelompok etnis, dan di bidang linguistik terutama kesamaan bahasa atau variasi bahasa. Pada
tahap abstraksi yang lebih rendah realitas bahasa tercermin melalui kelompok-kelompok yang
bersemuka. DeIinisi masyarakat bahasa yang berdasarkan kesamaan bahasa akan menjadi
bermasalah jika kita akan menjelaskan apa arti 'menggunakan bahasa yang sama dalam situasi
nyata di suatu lingkungan bahasa.
Sebagai satuan dasar deIinisi dan pemahaman tentang masyarakat bahasa dapat
berpegang pada bahasa-bahasa, kelompok sosial, jaringan sosial, hierarki dan individu-individu
yang sekaligus merupakan gambaran secara hierarkis tahapan-tahapan abstraksi.
L. BloomIield yang berdasarkan sistem bahasa yang monolitik berpendapat bahwa
masyarakat bahasa adalah sekelompok orang yang menggunakan sistem tanda bahasa yang sama.
Konsep linguistik yang hampir sama, yang dipengaruhi kuat oleh pendapat bahasa yang
homogen adalah konsep Lyons tentang satuan dasar masyarakat bahasa (1970:326), menurut
Lyons masyarakat bahasa adalah semua orang yang menggunakan suatu bahasa tertentu (dialek),
Chomsky berpendapat bahwa Completely homogenous speech community membentuk satuan
dasar analisis bahasa. Konsep BloomIield, Lyons, maupun Chomsky yang menganggap satuan
sosial dan budaya tidak penting tidak memenuhi syarat untuk penelitian empiris deskriptiI-
sosiolinguistik. Namun, seperti yang telah dikatakan, konsep-konsep dan deIinisi-deIinisi
tergantung pada minat penelitian para linguis.
Dalam pengertian sosiolinguistik, deIinisi-deIinisi bahasa hampir tidak menyatakan
sesuatu tentang keadaan sosial. Hymes (1966) menyalahkan BloomIield, Chomsky, dan juga
Lyons yang telah menyamaratakan konsep masyarakat bahasa dengan bahasa.
Abstraksi struktur yang menuntut homogenitas bahasa mungkin tepat, jika seorang
linguis bermaksud menggambarkan tipologi bahasa, keuniversalan bahasa, sejarah suatu bahasa,
atau rekonstruksi secara historis. Tetapi jika seorang linguis akan meneliti bahasa dalam situasi
sosial, ia memerlukan alat-alat yang tepat untuk menganalisis dampak situasi sosial atau
psikologis terhadap penggunaan bahasa. Karena manusia dieIinisikan sebagai makhluk sosial
oleh sekelilingnya yang terdiri atas kategori sosial, kita harus belajar memahami makhluk sosial
ini melalui bahasanya (Halliday 1973:13II). Namun demikian, seperti yang diteliti Gumperz
(1971:101) dan dinyatakan olehnya bahwa untuk memhami penggunaan bahasa tidak diperlukan
konsep homogen suatu bahasa: There are no apriori grounds hich force us to define speech
communities so thst sll members speak the same language.
Istilah masyarakat bahasa pada masa dialek Eropa klasik mengacu pada suatu konsep
yang idealistis, tidak hanya bermakna kesatuan bahasa, tetapi lebih berarti kesatuan sosial-
geograIis. Landasan dasar yang idealistis terdiri dari kelompok sosial dan masyarakat bahasa
yang homogen (Halliday, 1978:189): suatu masyarakat bahasa adalah suatu kelompok manusia
(sosialgeograIis), yang anggota-anggotanya (1) saling berkomunikasi, (2) secara teratur
berkomunikasi, dan (3) mereka bertutur sama.
Berdasarkan anggapan bahwa terdapat hubungan korelasi antara perilaku berbahasa
dengan syarat-syarat kehidupan bermasyarakat yang objektiI, Matthier (1980:1819)
mengembangkan deIinisi paguyuban bahasa yang bersiIat dialek-sosiologis, yang harus dilihat
dalam kaitannya dengan kelompok yang bersangkutan dan tergantung dari minat peneliti dapat
dianalisis tahap-tahap tiap sistem atau bagian-bagian sistem yang berbeda.
Sebagai masyarakat bahasa, untuk sementara dapat berarti kelompok penutur yang
berdasarkan pandangan hidup mereka membentuk kelompok berdasarkan bahasa yang sama.
Titik tolak deIinisi Mattheire kelompok sosial dan bahasa namun, dalam deIinisi ini objektivitas
bahasa yang sama bersiIat relatiI. Sehubungan dengan tahap abstraksi, telah kita tinggalkan tahap
makro dan kita sampai kepada komunikasi bersemuka yang nyata.
Masyarakat Bahasa Berdasarkan Sikap Sosial
Model paguyuban bahasa yang klasik tidak dapat mencakup perubahan dialek perkotaan
yang cepat. Bentuk yang diidealisasikan tidak cukup mencerminkan realitas. Labov
menyimpulkan bahwa anggota masyarakat bahasa perkotaan lebih diikat oleh sikap dan
prasangka yang sama dalam berbahasa, yang luar biasa stabil dibandingkan dengan ikatan
pemakaian bahasa yang sama (1972:293). Menurut Labov pada kenyataannya sangat jelas bahwa
masyarakat bahasa dideIinisikan sebagai sekelompok penutur yang memiliki sederetan sikap
sosial terhadap bahasa. Misalnya, seorang yang berasal dari New York (orang dari kota besar)
memiliki gambaran yang jelas tentang norma-norma bahasa dan ia mengetahui jika ia
menyimpang dari norma yang ada. Terdapat perbedaan antara (1) apa yang dikatakan, (2) apa
yang diyakini, dan (3) apa yang diyakini untuk dikatakan.
Titik tolak Labov adalah orientasi ke status yang dimulai dari kelompok sosial (kelompok
makro) dan pada tiap kelompok berkembang ke arah yang sama. Penyimpangan norma pada
lapisan sosial bawah lebih jauh dibandingkan dengan lapisan sosial menengah dan atas karena itu
mereka juga memiliki lebih banyak variasi.
Seberapa jauh konep makro kuantitatiI mencerminkan realitas sosial yang masih harus
didiskusikan. Hal itu dapat dilakukan pada data empiris dalam jumlah yang besar. Hymes (1972)
juga memberikan pendapatnya tentang deIinisi dasar masyarakat bahasa. Mereka menekankan
bahwa perasaan menjadi anggota suatu paguyuban lebih menentukan daripada deIinisi linguistik.
Masyarakat Bahasa Berdasarkan Interaksi
Gumpertz mendeIinisikan masyarakat bahasa (pada masa yang lampau) ke arah
komunikatiI interaksi, yang dalam analisis Iungsional berpangkal pada varietas bahasa suatu
masyarakat bahasa yang khas sebagai kelompok sosial, dan bukan dari kesatuan bahasa. DeIinisi
Gumpertz juga memungkinkan beberapa varietas bahasa hidup berdampingan: kita deIinisikan
masyarakat bahasa sebagai kelompok sosial yang monolingual atau multilingual, yang
merupakan satu kesatuan karena sering terjadi interaksi sosial dan yang dipisahkan dari
sekelilingnya oleh interaksi sosial yang melemah. Masyarakat bahasa dapat terdiri atas kelompok
kecil yang hubungannya bersemuka atau terdiri dari seluruh bahasa, tergantung dari tingkat
abstraksi yang akan dicapai (Gumpertz 1962:101).
Selanjutnya Gumpertz menyatakan bahwa dari segi Iungsi tidak ada perbedaan antara
bilingualisme dengan bidialektalisme. Gumpertz dalam deIinisi selanjutnya tentang masyarakat
bahasa menekankan bahwa di samping kriteria interaksi juga berperan persamaan dan perbedaan
varietas sebagai unsur sosial deIinisi umum analisis bahasa: masyarakat bahasa adalah
sekelompok manusia yang terbentuk melalui interaksi bahasa yang teratur dan sering dengan
bantuan persediaan tanda-tanda bahasa yang dimiliki bersama dan yang dipisahkan dari
kelompok lain karena perbedaan-perbedaan dalam berbahasa (Gumpertz, 1968:14). Konsep
Gumpertz memiliki keuntungan sebagai berikut: a) untuk satu masyarakat bahasa tidak hanya
berlaku satu bahasa, b) penekanan pada interaksi dan komunikasi sebagai unsur pembentuk
masyarakat bahasa sebagai hasil bilingualisme, dengan sendirinya tidak terjadi tumpang tindih,
dan c) kompleksitas masyarakat perkotaan telah diperhitungkan dalam konsep.
Jika kita mengemukakan satu kota besar sebagai satu masyarakat bahasa yang
penduduknya menggunakan sebagian besar dari waktu mereka untuk berkomunikasi dan varietas
bahasa tentu saja sebagai bagian pembentuk kota dan orang selalu menunjuk pada lembaga, data
dan lokasi, pola mobilitas, bentuk-bentuk interaksi sosial yang khas untuk kehidupan perkotaan,
terlihat bahwa masyarakat bahasa merupakan satu istilah yang sangat umum. Supaya pengertian
istilah masyarakat bahasa digunakan seperti yang dipakai oleh Gumpertz, harus kita tentukan
keanggotaan tiap kelompok, terutama yang memiliki arti bagi mereka, hal ini berarti bahwa kita
harus membentuk tahap-tahap interaksi sosial dan menganalisis kesatuan-kesatuan yang
terbentuk. Mula-mula Gumpertz untuk dapat merealisasikan hal di atas menggunakan konsep
peran sosial, kemudian ia memakai istilah jaringan sosial untuk meneliti hubungan antaranggota
suatu jaringan sosial. Tujuan konsep faringan sosial untuk menunjukkan mekanisme yang
mempengaruhi repertoire bahasa penutur; yang disebabkan oleh Iaktor-Iaktor sosial-ekologi.
Sesuai dengan konsep (baru) Gumpertz tentang masyarakat bahasa, ia membandingkan
konsep kode bahasa yang homogen dengan konsepnya tentang repertoir verbal/linguistis yang
agaknya bertitik tolak dari tingkat langue ke parole. Keseluruhan dialek dan varietasnya yang
digunakan secara teratur dalam suatu masyarakat membentuk repertoire bahasa masyarakat ini.
#epertoire merupakan kekhasan penduduk suatu daerah, sedangkan batas suatu bahasa dapat
sama ataupun tidak sama dengan batas suatu kelompok sosial (1968:230).
Keunggulan konsep repertoire bahasa, konsep tersebut memungkinkan kita untuk
menghubungkan antara struktur sosial dan penggunaan bahasa suatu masyarakat bahasa di
bawah satu kerangka relasi yang sama. Dalam hal ini, justru Kloss mengeritik istilah yang
digunakan Gumpertz. Ia mengeritik bahwa Gumpertz memberikan makna lain pada istilah
masyarakat bahasa yang diciptakan oleh Kloss, masyarakat bahasa diartikan sama dengan speech
community yang digunakan oleh BloomIield, sehingga menyebabkan kerancuan. Masyarakat
bahasa menurut Kloss adalah keseluruhan penutur yang berbahasa ibu sama dan memiliki
bersama diasistem tertentu dalam perbedaan dialektal dan sosiolektal.
Kloss menekankan pentingnya satu istilah untuk keseluruhan manusia yang memiliki
bahasa-bahasa ibu yang sama dan yang membentuk keadaan tersebut. Ia mengusulkan istilah
komunitas repertorium (paguyuban repertorium) (Kloss 1977:228). Dengan demikian,
paguyuban bahasa berarti memiliki bahasa ibu yang sama atau yang mirip. Dalam kepustakaan
yang berbahasa Jerman digunakan istilah paguyuban pertuturan (sprechgemeinschaft) untuk
paguyuban repertorium (repertoiregemeinschaIt), yang berarti sekelompok penutur yang tidak
hanya memiliki varietas repertorium yang sama, tetapi juga kriteria yang sama untuk mengukur
penerapan kaidah-kaidah tersebut secara sosial. Dalam etnograIi komunikasi konsep paguyuban
pertuturan mencakup keseluruhan kebiasaan komunikasi suatu paguyuban, dalam hal ini
termasuk bahasa sebagai alat komunikasi dikaitkan dengan yang lain (Coulmas 1979:10).
Masyarakat Bahasa Berdasarkan 1aringan Sosial
aringan sosial sebagai substratum paguyuban bahasa sebagai titik tolak analisis bahasa
dalam sosiolinguistik dikenalkan untuk menganalisis komunikasi sehari-hari dan konvensi
interaksi. Dalam hal ini jaringan hubungan seorang individu termasuk di dalamnya dan kesatuan
kelompok sosialnya merupakan phenomena dalam berbagai tataran abstraksi.
Gumpertz memperhitungkan hal ini dan memasukkan dalam konsep mikronya,
paguyuban bahasa (pada tataran abstraksi yang terendah), dan konsep jaringan sosial. Dengan
bantuan konsep ini sebagai soerang linguis, ia akan meneliti perilaku bahasa dalam suatu
paguyuban dengan memperhatikan interpretasi norma dan nilai yang sesuai dengan kenyataan.
Paguyuban bahasa terdiri atas sederet satuan dasar, jaringan-jaringan yang dapat diikuti
oleh seorang anggota paguyuban dalam berbagai tingkat dan lebih dari satu peran. Salah satu
penyebab utama dikenalkannya konsep jaringan sosial dalam kerangka studi paguyuban bahasa
karena konsep makro yang tradisional untuk menganalisis paguyuban yang berubah dengan
lambat dan agak statis (suku-suku bangsa, paguyuban-paguyuban pedesaan) tidak tepat untuk
menganalisis agregat kota yang berubah dengan cepat. Konsep jaringan sosial mencoba
mencakup variabel manusia sebagai makhluk sosial yang dipengaruhi oleh orang lain dan
mempengaruhi orang lain.
Jika Gumpertz membedakan antara biner antara jaringan sosial tertutup dengan terbuka,
Milroy (1980, passim) mengembangkan perbedaan biner terbuka, tertutup dalam suatu
kesinambungan, mulai lebih terbuka atau agak terbuka dipertentangkan dengan lebih tertutup
atau agak tertutup dengan menggunakan parameter rapatnya, kelompok dan keanekaragaman.
Suatu paguyuban lebih rapat, jika antar anggotanya lebih terikat. Rapatnya jaringan sosial
berIungsi sebagai mekanisme pelestarian norma, kelompok merupakan segmen jaringan dengan
kerapatan yang tinggi. Hubungan sosial dalam kelompok lebih rapat daripada di luar kelompok.
Keanekaragaman sebagai ukuran kekhasan interaksi suatu jaringan: apakah ikatan antaranggota
hanya berdasarkan satu Iungsi (uniplex) atau berdasarkan Iungsi ganda (multiplex).
Penting untuk pembatas jaringan selain bentuk interaksi, bentuk kunjungan, hubungan
kekerabatan, hal-hal yang oleh Gumpertz disebut self recruitment paguyuban (1971:297).
Dengan demikian, kelompok jaringan tertutup (atau yang oleh saviller-Troike (1982:20) disebut
hand shelled communities) cenderung seragam dalam penggunaan bahasa, a.l. karena wilayah
yang ketat daripada jaringan terbuka (soft shelled communities) yang ikatan antaranggotanya
lebih longgar dan batas wilayah tidak ketat. ManIaat alat analisis faringan terutama karena
kemungkinan yang dimilikinya untuk menggabungkan varietas dalam struktur sosial dengan
varietas dalam penggunaan bahasa, artinya varietas yang disebabkan oleh lingkungan dan tahap
abstraksi yang rendah dihubungkan dengan varietas bahasa.
Masyarakat Bahasa Sebagai Interpretasi Subjektif-Psikologis
Bolinger (1975:33) menunjukkan kompleksitas yang bersiIat psikologis dan ciri subjektiI
konsep paguyuban bahasa, ia mengemukakan: tidak ada batas untuk cara manusia berkelompok
guna mencari jati diri, keamanan, keuntungan, hiburan, kepercayaan atau tujuan lain secara
bersama, sebagai akibat hal ini tidak ada batasan sehubungan dengan jumlah dan
keanekaragaman paguyuban bahasa yang kita jumpai dalam masyarakat kita. Setiap populasi
menurut deIinisi Bolinger dapat terdiri atas sejumlah besar paguyuban bahasa, yang sehubungan
dengan keanggotaan dan varietas bahasanya tumpang tindih. Realitas psikologis paguyuban
bahasa yang tergantung dari interpretasi angota-anggotanya diperhitungkan dalam pendapat Le
Page (1968), baginya keberadaan kelompok sebagai paguyuban bahasa dengan ciri-ciri khusus
yang digolongkan oleh penutur sendiri, bukan oleh sosiolog penting. Tergantung bagaimana
seorang penutur menempatkan dirinya dalam ruang yang multidimensi (Hudson, 1980:27), ia
ikut berpartisipasi dalam berbagai paguyuban bahasa yang dimensi atau perbandingan luasnya
ditentukan oleh kelompok di sekelilingnya. Setiap penutur menciptakan sistem perilaku
bahasanya yang mirip dengan kelompok tempat ia ingin mengidentiIikasikan dirinya dari waktu
ke waktu, dengan syarat a) ia dapat mengidentiIikasikan dirinya ke kelompok tersebut, b) ia
memiliki kesempatan dan kemampuan untuk mengamati dan menganalisis perilaku mereka, c)
memiliki motivasi yang kuat dan merasa berkewajiban untuk memilih dan mengubah
perilakunya, dan d) ia masih sanggup menyesuaikan perilakunya.
Le Page menginterpretasikan ujaran manusia sebagai pernyataan jati diri individu karena
itu individu adalah sah sebagai titik tolak penelitian sosiolinguistik. Le Page dapat membuktikan
bahwa analisis perilaku bahasa individu tidak berarti suatu kekacauan. Dasar pandangan yang
multidimensi diperoleh melalui kajian paguyuban yang multilingual, dalam kajian ini perlu
memperhatikan sejumlah sumber yang mempengaruhi penggunaan bahasa seseorang. Ia
menekankan bahwa seorang penutur merupakan dasar sumber bahasa yang ada dan digunakan
untuk mengidentiIikasikan dengan paguyuban-paguyuban tertentu.

Pertemuan Ke- : 5
Hari/Tanggal :
Materi Perkuliahan : Ragam Bahasa
Konsep Ragam Bahasa
Bahasa, dalam praktek pemakaiannya, pada dasarnya memiliki bermacam-macam ragam.
Maksud ragam dalam konteks ini adalah variasi pemakaian bahasa yang berbeda-beda
(Mustakim, 1994: 18). Sedangkan Kartomihardjo (1988: 23) menyebutkan ragam sebagai suatu
piranti untuk menyampaikan makna sosial atau artistik yang tidak dapat disampaikan melalui
kata-kata dengan makna harIiah.
Lebih lanjut, Kridalaksana (dalam Silahidin, 1991: 19) menyebutkan ragam bahasa adalah
variasi bahasa menurut pemakaian yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan dan
menurut media pebicaraannya. Jadi ragam bahasa ini bentuknya beragam atau bermacam-macam
karena bebarapa hal atau Iaktor seperti disebutkan di atas.
1enis Ragam Bahasa
Ragam bahasa dapat dibedakan atas beberapa jenis. Pertama, dilihat dari segi sarana
pemakaiannya dapat dibedakan atas ragam lisan dan ragam tulis. Antara kedua ragam tersebut
terdapat perbedaan yang tidak begitu mencolok. Jadi untuk mengetahui kedua ragam tersebut
harus memperhatikan kedua jenis ragam tersebut secara seksama. Dalam ragam lisan unsur-
unsur bahasa yang digunakan cenderung sedikit dan sederhana. Artinya tidak selengkap pada
ragam tulis karena pada ragam lisan dalam menyampaikan inIormasi dapat disertai dengan
gerakan anggota tubuh tertentu (mimik) yang dapat mendukung maksud inIormasi yang
disampaikan dan menggunakan intonasi sebagai penekanan. Di samping itu, satu hal lagi yang
membuat ragam bahasa lisan lebih sederhana adalah adanya situasi tempat pembicaraan
berlangsung. Semua hal tersebut dapat memperjelas inIormasi yang kita sampaikan kepada mitra
tutur. Akan tetapi, tiga hal tersebut tidak dapat terjadi atau tidak akan terdapat dalam penggunaan
ragam tulis, sehingga ragam ini cenderung lebih rumit. Hal ini disebabkan pada ragam tulis mau
tidak mau harus menggunakan unsur-unsur bahasa yang lebih banyak dan lengkap agar inIormasi
yang disampaikan dapat diterima dengan baik dan jelas oleh orang yang diberi inIormasi (si
penerima inIormasi). Jadi penulisan secara lengkap unsur-unsur bahasa dalam ragam tulis ini
bertujuan untuk menghidari terjadinya salah mengerti atau menerima pesan dari si pemberi
pesan.
Kedua, didasarkan pada tingkat keresmian situasi pemakaiannya, ragam bahasa dibedakan
menjadi ragam resmi (ragam formal) dan ragam tidak resmi (ragam informal). Sesuai dengan
namanya, ragam Iormal adalah ragam yang digunakan dalam situasi yang resmi, sedangkan
ragam inIormal adalah ragam yang digunakan dalam situasi yang tidak resmi. Ciri dari dua
ragam ini adalah tingkat kebakuan pada bahasa yang digunakan. Dengan demikian ragam resmi
ditandai dengan pemakaian unsur-unsur kebahasaan yang menunjukkan tingkat kebakuannya
yang rendah.
Keempat ragam bahasa yang dibedakan atas dasar dua segi seperti telah diuraikan di atas,
apabila kita gabungkan akan menjadi ragam yang namanya gabungan pula. Ragam bahasa hasil
penggabungan atau perpaduan dari dua segi (sarana pemakaiannya dan tingkat keresmian situasi
pemakaiannya) menghasilkan ragam lisan resmi (ragam lisan formal) ragam lisan tidak resmi
(ragam lisan informal), ragam tulis resmi (ragam tulis formal), dan ragam tulis tidak resmi
(ragam tulis informal). Ragam lisan resmi biasanya digunakan dalam Iorum yang siIatnya resmi
pula. Misalnya dalam rapat-rapat, seminar, pidato, simposium, dan dalam perkuliahan (proses
belajar mengajar). Ragam lisan tidak resmi dapat dilihat dalam pembicaraan di kaIe, di pasar, di
terminal, di rumah, di kebun, di kampus (bukan dalam proses belajar mengajar) antarmahasiswa
atau antardosen, dan lain-lain.
Dalam kaitannya dengan penggunaan ragam lisan resmi, penutur cenderung dipengaruhi
oleh Iaktor situasi dan mitra tutur, di samping Iaktor lain. Umpamanya ketika penutur berbicara
dengan atasannya, tentunya gaya bicara dalam hal ragam bahasa yang digunakan berbeda dengan
ketika ia berkomunikasi atau berbicara dengan teman sebayanya atau bahwa teman dibawah
umurnya.
Selain perbedaan tersebut, ditinjau dari segi norma pemakaiannya, ragam bahasa dibedakan
atas ragam baku dan ragam tidak baku. Ragam baku adalah ragam bahasa yang dalam
pemakaiannya sesuai dengan kaidah yang berlaku, yaitu kaidah tata bahasa dan ejaan yang
berlaku. Sedangkan yang menyimpang atau tidak sesuai dengan kaidah tata bahasa dan ejaan
yang berlaku disebut ragam tidak baku.
Kalau dalam pembahasan di atas ragam bahasa dibedakan menjadi ragam lisan resmi,
ragam lisan tidak resmi, ragam tulis resmi, dan ragam tulis tidak resmi, maka dalam pembahasan
ini akan dibahas adanya pembedaan ragam lisan baku, ragam lisan tidak baku, ragam tulis baku,
dan ragam tulis tidak baku. Ragam lisan baku dalam pemakaiannya sejalan dengan ragam lisan
resmi dan ragam lisan tidak baku pemakaiannya sejalan dengan ragam lisan tidak resmi.
Demikian pula penggunaan ragam tulis baku yang memiliki korelasi dengan ragam ragam tulis
resmi dan ragam tulis tidak baku dengan ragam tulis tidak resmi. Pada dasarnya ragam baku
digunakan dalam konteks situasi yang resmi dan ragam tidak baku digunakan dalam konteks
situasi yang tidak resmi. Dengan demikian penggunaan ragam baku dengan ragam resmi atau
ragam tidak baku dengan ragam tidak resmi sering kali dianggap sama oleh sekelompok orang.
Apabila dibedakan berdasarkan bidang pemakaiannya, ragam bahasa dapat dibedakan atas
ragam sastra, ragam buku, ragam jurnalistik, ragam teknologi, ragam ekonomi, dan lain-lain.
Artinya ragam tersebut digunakan sesuai dengan konteks yang ada dalam situasi tutur tersebut.
Dilihat dari segi pendidikan, ragam bahasa dibedakan menjadi ragam pendidikan dan ragam
nonkependidikan. Ciri ragam ini, bagi orang yang berpendidikan lazimnya dapat melaIalkan
bunyi-bunyi bahasa secara Iasih dan dapat menyusun kalimat secara teratur dan benar.
Sebaliknya, bagi orang yang tidak berpendidikan cenderung kurang dapat memenuhi syarat
tersebut.
Lebih lanjut, ihwal penggolongan ragam bahasa Alwi (1998: 3-9) menjelaskan bahwa jika
dilihat dari sudut pandang penutur, dapat dirinci menurut patokan daerah, pendidikan, dan sikap
penutur. #agam daerah dikenal dengan sebutan dialek atau logat. Dialek atau logat merupakan
ragam bahasa yang hidup di daerah-daerah tertentu yang berdekatan. Jadi apabila masyarakat
dari dua daerah yang berdekatan bertemu dan terjadi komunikasi dengan menggunakan dialek
masing-masing, mereka masih bisa saling memahami pembicaraan tersebut. Akan tetapi jika
dialek tersebut hidup di daerah yang berjauhan yang dibatasi oleh gunung atau selat misalnya,
lambat-laun dalam perkembangannya akan mengalami banyak perubahan, maka dialek tersebut
akhirnya dianggap bahasa yang berbeda.
Ragam bahasa yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan penutur (terutama pendidikan
Iormal) akan menunjukkan perbedaan yang jelas antara masyarakat yang berpendidikan Iormal
dengan masyarakat yang tidak berpendidikan Iormal. Perbedaan di sini lebih banyak terjadi
dalam pelaIalan kata atau bunyi serta penguasaan penggunaan bahasa secara baik (dalam hal tata
bahasanya). Kedua hal tersebut akan berbeda tingkat kemampuan dan penguasaan antara orang
yang berpendidikan Iormal dengan yang tidak berpendidikan Iormal. Misalnya dalam melaIalkan
kata-kata film, fitnah, dan kompleks, oleh orang berpendidikan Iormal kata-kata tersebut tentunya
akan dilaIalkan dengan benar sesuai dengan bunyi Ionem yang benar, yaitu film, fitnah, dan
kompleks. Akan tetapi berbeda dengan orang yang tidak mengalami pendidikan Iormal mungkin
akan melaIalkan dengan pilm, pitnah, dan komplek. Sedangkan dalam hal tata bahasa ketika
seseorang mengucapkan 'Saya akan bakar itu sampah setelah saya mandi` barangkali orang
lain dapat menangkap maksud yang disampaikan. Akan tetapi, dari segi tata bahasa, kalimat
tersebut kurang baik. Sedangkan yang baik menurut tata bahasa adalah 'Saya akan membakar
sampah itu setelah saya mandi`.
Menurut sikap penutur, ragam bahasa mencakupi sejumlah corak bahasa dimana
pemilihannya bergantung pada sikap penutur terhadap orang yang diajak bicara atau mitra tutur.
Sikap berbahasa ini diantaranya dipengaruhi oleh umur dan kedudukan mitra tutur, tingkat
keakraban antarpenutur pokok persoalan yang dibicarakan (hendak disampaikan) serta tujuan
penyampaian inIormasinya. Ragam bahasa dalam hal ini berhadapan dengan pemilihan bentuk-
bentuk bahasa tertentu yang menggambarkan sikap kita yang resmi, santai, dingin, hangat, atau
yang lain. Sedangakan perbedaan berbagai gaya tersebut tercermin dalam kosakata yang
digunakan oleh penutur ketika berbicara dengan mitra tuturnya.

Pertemuan Ke- : 6 dan 7
Hari/Tanggal :
Materi Perkuliahan : Kedwibahasaan dan Diglosia
Kedwibahasaan dan Diglosia
Pada umumnya sosiolinguistik mengkaji masyarakat dwibahasa atau multibahas (Appel
dan Muysken 1987; Edwards 1994). Kajian pemilihan bahasa juga bertemali dengan situasi
semacam itu sebab untuk menentukan pilihan bahasa atau ragam bahasa tertentu pastilah ada
bahasa atau ragam lain yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari sebagai pendamping
sekaligus pembanding. Penelitian pemilihan bahasa dalam masyarakat tutur Jawa di Banyumas
ini pun tidak terlepas dari permasalahan kedwibahasaan.
Pengertian kedwibahasaan selalu berkembang mulai dari pengertian yang ketat sampai
kepada pengertian yang longgar. BlommIield dalam bukunya Language (1933) memberikan
batasan kedwibahasaan sebagai gejala penguasaan bahasa seperti penutur jati (native speaker).
Batasan ini mengimplikasikan pengertian bahwa seorang dwibahasawan adalah orang yang
menguasai dua bahasa dengan sama baiknya.
Mackey (dalam Fishman ed 1968: 555) berpendapat bahwa kedwibahasaan bukanlah
gejala bahasa sebaai sistem melainkan sebagai gejala penuturan, bukan ciri kode melainkan ciri
pengungkapan ; bukan bersiIat sosial melainkan individual; dan juga merupakan karakteristik
pemakaian bahasa. Kedwibahasaan dirumuskan sebagai praktik pemakaian dua bahasa secara
bergantian oleh seorang penutur. Kondisi dan situasi yang dihadapi dwibahasawan turut
menentukan pergantian bahasa-bahasa yang dipakai. Pandangan Mackey didukung oleh
Weinreich (1970).
Permasalahan kebahasaan yang dapat muncul berkaitan dengan batasan tersebut adalah
bagaimana kalau kemampuan seseorang dalam B2 hanya sebatas mengerti dan dapat memahami
tuturan B ( 2 ) tetapi tidak mampu bertutur sehingga dalam praktik pemakaian bahasa yang
melibatkan dirinya, ia tidak dapat memakaianya secara bertanti-ganti. Situasi yang demikan tentu
di luar batasan kedwibahawaan yang ketat sebagaimana diungkapkan oleh BloomIield, Mackey,
dan Weinreich. Padahal sosiolinguistik berkepentingan dalam hal tersebut.
Macnamara (1967) mengemukakan rumusan yang lebih longgar. Menurutnya
kebdwibahasaan itu mengacu kepada pemilikan kemampuan sekurang-kurangnya B1 dan B2,
meskipun kemampuan dalam B2 hanya sampai batas minimal. Rumusan ini diikuti oleh Huagen
(1972) mengenai dua bahasa. Ini berarti bahwa seorang dwibahasawan tidak perlu menguasai B2
secara aktiI produktiI sebagaimana dituntut oleh BloomIield, melainkan cukup apabila ia
memiliki kemampuan reseptiI B2.
Huagen (1972) merumuskan kedwibahasaan dengan rumusan yang lebih longgar, yaitu
sebaai tahu dua bahasa. Seorang dwibahasawan tidak harus menguasai secara aktiI dua bahasa,
penguasaan B2 secara pasiI pun dipandang cukup menjadikan seseorang disebut dwibahasawan.
Mengerti dua bahasa dirumuskan sebagai menguasai dua sistem kode yang berbeda dari bahasa
yang berbeda atau bahasa yang sama.
Dengan membading-bandingkan pengertian kedwibahasaan dari para ahli di atas,
pengertian Haugen dijadikan kerangka konsep dalam penelitian ini karena gambaran
kedwibahasaan anggota masyarakat memperlihatkan berbagai tingkat penguasaan bahasa atau
ragam bahasa yang tampak di dalam pemakaiannya.
Fishman (1972: 92)menganjurkan bahwa dalam mengkaji masyarakat dwibahasa atau
multibahasa hendaknya diperhatikan kaitannya dengan ada tidaknya diglosia. Istilah diglosia
diperkenalkan pertama kali oleh Ferguson (1959) untuk melukiskan situasi kebahasaan yang
terdapat di Yunani, negara-negara Arab, Swis, dan Haiti. Disetiap negara itu terdapat dua ragam
bahasa yang berbeda, masing-masing adalah Katharevusa dan Dhimtiki di Yunani, al-fusha dan
ad-dirif di negara-negara Arab, Schriftsprache dan Schei:erdeutsch di Swis, serta francais dan
creole di Haiti. Yang disebut pertama adalah ragam bahasa tinggi (T) yang dipakai dalam situasi
resmi, sedangkan yang disebut kedua adalah ragam bahasa Rendah (R) yang dipakai dalam
situasi sehari-hari tak resmi. Ragam bahasa yang dipakai di dalam situasi resmi (seperti
perkuliahan, sidang parlemen, dan khitbah di tempat-tempat ibadah) dianggap sebagai bahasa
yang bergengsi tinggi oleh masyarakat bahasa yang bersangkutan. Mengingat latar belakang
sejarah ragam ini yang sudah sejak lama mengenal ragam tulis dan menikmati gengsi yang tinggi
itu, ragam inilah yang dipakai sebagai bahasa sastra di kalangan para pemakainya. Ragam ini
mengalami proses pembakuan dan harus dipelajari di sekolah, sedangkan tidak setiap orang
mempunyai kesempatan untuk mempelajarinya. Sebaliknya, ragam bahasa yang dipakai di dalam
situasi tidak resmi adalah ragam bahasa yang dipakai sehari-hari di rumah. Ragam ini tidak
mengenal ragam tulis dan tidak menjadi sasaran pembakuan bahasa. Penguasaan atas ragam ini
merupakan kebanggaan bagi pemakainya. Oleh karena itu, ragam R tidak tercantum sebagai
mata pelajaran di sekolah; masyarakat pemakainya tidak perlu mempelajari ragam bahasa ini di
sekolah. Oleh para pemakaian ragam ini dianggap berkedudukan rendah dan tidak bergengsi.
Penguasaan atas ragam-ragam itu dapat dipakai sebagai penanda terpelajar atau tidaknya
seseorang. Oleh karena itu, barang siapa yang hanya menguasai ragam rendah saja sering merasa
malu karena penguasaannya atas ragam rendah semata-mata menunjukkan tingkat pendidikannya
yang rendah. Hal lain yang perlu dicatat adalah bahwa ragam bahasa T dan ragam bahasa R
haruslah tergolong dalam bahasa yang sama. DeIinisi diglosia yang diberikan oleh Ferguson
adalah sebagai berikut:
Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatiI stabil, yang di samping adanya
dialek-dialek utama dari bahasa (yang mungkin meliputi ragam-ragam baku setempat),
juga mengenal suatu ragam yang ditinggikan, yang sangat berbeda, yang terkodiIikasikan
secara rapi (dan yang tatabahasanya lebih rumit), yang berasal dari waktu yang lampau atau
yang berasal dari masyarakat bahasa lain, yang dipelajari melalui pendidikan Iormal dan
sebagian besar dipakai untuk keperluan Iormal lisan dan tertulis tetapi tidak dipakai di
sektor apa pun di dalam masyarakat itu untuk percakapan sehari-hari.
Pengertian tentang diglosia kemudian dikembangkan oleh Fishman (1972: 92). Istilah
diglosia tidak hanya dikenakan pada ragam tinggi dan rendah dari bahasa yang sama akan tetapi
juga dikenakan pada bahasa yang sama sekali tidak serumpun. Yang menjadi tekanannya adalah
perbedaan Iungsi kedua bahasa tau ragam bahasa yang bersangkutan. Di samping itu, Fishman
juga berpendapat bahwa diglosia tidak hanya terdapat pada masyarakat yang mengenal satu
bahasa dengan dua ragam bahasa semata-mata; diglosia dapat juga ditemukan pada masyarakat
yang mengenal lebih dai dua bahasa. Di samping perbedaan, ada juga persamaan antara
keduanya, yaitu bahwa ragam-ragam bahasa itu mengisi alokasi Iungsi masing-masing dan
bahwa ragam T hanya dipakai di dalam situasi resmi dan ragam R di dalam situasi yang tidak
atau kurang resmi. Oleh Fishman (1972: 92) diglosia diartikan sebagai berikut. ' . diglossia
exits not only in multilingual societies hich offocially recogni:e several 'language`, and not
only in societies hich employ separate dialects, registers, or funcitonally differentiated
language varieties of hatever kind` (. diglosia tidak hanya terdapat di dalam masyakat aneka
bahasa yang secara resmi mengakui beberapa bahasa, dan tidak hanya terdapat terdapat di
dalam masyarakat yang menggunakan ragam sehari-hari dan klasik, tetapi terdapat juga di dalam
masyaakat bahasa yang memakai logat-logat, laras-laras, atau ragam-ragam jenis apapun yang
berbeda secara Iungsional.
Implikasi teoretis dari deIinisi di atas, menurut batasan Fishman dapat dibedakan adanya
(a) masyarakat bahasa yang bilingual sekaligus diglosik, (b) masyarakat bahasa yang bilingual
tetapi tidak diglosik, (c) masyarakat yang tidak bilingual dan sekaligus tidak diglosik,
Di samping itu, ada pendapat lain dari Fasold (1984) yang mencatat ada empat masalah
yang perlu diperjelas, masing-masing yang berkaitan dengan masalah bahasa baku dan dialek,
masalah pembagian yang serba dua, masalah hbungan genetis bahasa, dan masalah Iungsi.
Masalah pertama dipersoalkan karena adanya kemungkinan adanya guyup bahasa yang
menganggap ragam T justru bukan sebagai ragam T. Kalau demikian halnya, maka situasi
semacam ini bukanlah situasi diglosia tetapi sekedar siatuasi yang mengenal adanya bahasa baku
dan dialek. Oleh karena itu, Fasold memberikan pengertian 'masyarakat diglosik sebagai satuan
masyarakat yang memiliki ragamT dan ragam R bersama-sama. Ada kemungkinan juga bahwa
masyarakat diglosik itu memiliki ragam T yang sama tetapi ragam R yang berbeda-beda dan ini
berarti bahwa masyarakat itu merupakan masyarakat diglosik yang berbeda-beda pula. Oleh
Fasold keadaan seperti itu digambarkan sebagai berikut:
Tinggi
Rendah
1
Rendah
2
Rendah
3
Rendah
4
Masalah yang kedua adalah masalah yang menyangkut pertanyaan apakah gejala diglosia
itu hanya terwujud di dalam pembagian ragam bahasa yang menjadi pembagian serba dua, yakni
ragam tinggi dan ragam rendah semata-mata. Apakah mungkin kita mengadakan pembagian
raam lebih dari dua, khususnya jika kita berhadapan dengan masyarakat yang multilingual? Dan
berbagai laporan hasil penelitian di beberapa tempat yang berbeda, Fasold mengambil simpulan
bahwa ada beberapa jenis diglosia, yang masing-masing disebutnya sebagai double overlapping
diglossia (diglosia bertindih ganda), dan linear polyglossia (poliglosia linear). Diglosia bertindih
ganda adalah situasi kebahasaan yang mengenal ragam T dan R juga, tetapi salah satu dari ragam
R itu merupakan ragam tinggi (T) terhadap ragam r lain. Situasi kebahasaan seperti itu terdapat
di Tanganyika (MkikiliIi (1978) menyebutnya dengan istilah polgylgossia).
Diglosia bersangkar ganda adalah situasi kebahasaan yang mengenal ragam T dan ragam
R dan di dalam masing-masing ragam terdapat ragam t dan ragam r juga. Keadaan seperti ini
didapatkan di Khalapur yang terletak di sebelah utara New Dehli, India (Gumperz (1964).
Jenis diglosia ketiga, yang oleh Fasold disebutnya sebagai linear polyglossia, terdapat di
Malaysia dan Singapura (Platt 1977, 1980).
Dari pengamatan terhadap jenis- jenis diglosia di berbagai negara itu dapat disimpulkan
bahwa istilah diglosia tidak harus diartikan sebagai situasi kebahasaan yang hanya melibatkan
dua ragam saja.
Demikian juga halnya dengan masalah yang ketiga. Antara ragam T dan ragam R tidak
harus ada hubungan genetis. Fasold malah mencatat adanya gejala yang mirip seperti diglosia
yang melibatkan hubungan antara subdialek dan antara gaya seperti yang terjadi di dalam bahasa
Rusia.
Mengenai masalah yang keempat, yakni masalah yang berkaitan dengan Iungsi,
kelihatannya ada kesesuaian antara para peneliti bahwa ragam T dipakai di daerah perkotaan, di
bidang pendidikan, agama, pemerintahan, dan untuk pembicaraan yang bersiIat daria, serta
dipakai secara tertulis, sedangkan ragam R dipakai di daerah pedesaan dan di bidang kehidupan
sehari-hari yang tidak resmi di antara sanak keluarga dan handai taulan.
Berdasarkan pertimbangan itu semua, Fasold mengusulkan nama baru menjadi broad
diglossia (diglosia luas) yang diartikan sebagai pelestarian segmen khazanah bahasa yang dinilai
sangat tinggi (yang tidak dipelajari pertama kali, tetapi dipelajari lebih kemudian dan dipelajari
secara lebih sadar, biasanya melalui pendidikan Iormal) dalam suatu masyarakat, untuk situasi-
situasi yang dianggap sebagai lebih Iormal dan terjaga, dan pelestarian segmen yang dinilai
kurang tinggi (yang dipelajari pertama kali dengan sedikit usaha atau tanpa usaha yang disadari),
berapa derajat pun hubungan kebahasaannya dengan segmen yang dinilai lebih tinggi, dari
(hanya sekedar) perbedaan stilistik sampai perbedaan bahasa, untuk situasi yang dianggap
sebagai lebih resmi.
Selama ini, sepanjang pengetahuan penulis ini, situasi diglosia di Indonesia selalu dilihat
sebagai gejala diglosia biner seperti yang dikemukakan oleh Ferguson (1959), Fishman (1971),
Suwito (1987), Yatim (1985), dan Moeliono (1988). Berdasarkan hasil pengamatan di dalam
masyarakat Banyumas, gejala diglosik di Banyumas gukanlah sekedar gejala diglosik biner
melainkan lebih mirip dengan diglosia ganda seperti dikemukakan oleh Fasold (1985) dan
MkiliIi (1978).

Pertemuan Ke- : 8
Hari/Tanggal :
Materi Perkuliahan : Ujian Tengah Semester
%ugas : %ugas Pengamatan Situsi Kebahasaan
PEDOMAN PENGAMA%AN
SI%UASI KEBAHASAAN
A. Anda diminta untuk melakukan pengamatan Ienomena sosiolinguistik di Simpang Lima
Semarang. Pengamatan dapat disertai dengan perekaman, pencatatan, dan wawancara.
B. Transkripsikan dua peristiwa tutur yang Anda rekam!
Deskripsikan 2 peristiwa tutur yang dapat Anda rekam
berdasarkan teori SPEAKING dari Dell Hymes.
C. Analisislah peristiwa tutur tersebut berdasarkan topik-topik sosiolinguistik yang menurut
Anda paling relevan!
D. Berikan komentar Anda tentang kegiatan pengamatan ini!

Pertemuan Ke- : 9
Hari/Tanggal :
Materi Perkuliahan : Pemilihan Bahasa
Konsep dan Kategori Pilihan Bahasa
Dalam masyarakat multibahasa tersedia berbagai kode, baik berupa bahasa, dialek, variasi,
dan gaya untuk digunakan dalam interaksi sosial. Untuk istilah terakhir, Kartomihardjo (1988)
lebih suka mempergunakan istilah ragam sebagai padanan dari style. Dengan tersedianya kode-
kode itu, anggoa masyarakat akan memilih kode yang tersedia sesuai dengan Iaktor-Iaktor yang
mempengaruhinya. Dalam interaksi sehari-hari, anggota masyarakat secara konstan mengubah
variasi penggunaan bahasanya.
Pemilihan bahasa menurut Fasold (1984: 180) tidak sesederhana yang kita bayangkan,
yakni memilih sebuah bahasa secara keseluruhan (hole language) dalam suatu peristiwa
komunikasi. Kita membayangkan seseorang yang menguasai dua bahasa atau lebih harus
memilih bahasa mana yang akan ia gunakan. Misalnya, seseorang yang menguasai bahasa Jawa
dan bahasa Indonesia harus memilih salah satu di antara kedua bahasa itu ketika berbicara
kepada orang lain dalam peristiwa komunikasi.
Dalam pemilihan bahasa terdapat tiga kategori pilihan. Pertama, dengan memilih satu
variasi dari bahasa yang sama (intra language variation). Apabila seorang penutur bahasa Jawa
berbicara kepada orang lain dengan menggunakan bahasa Jawa kromo, misalnya, maka ia telah
melakukan pilihan bahasa kategori pertama ini. Kedua, dengan melakukan alih kode (code
sitching), artinya menggunakan satu bahasa pada satu keperluan dan menggunakan bahasa
yang lain pada keperluan lain dalam satu peristiwa komunikasi. Ketiga, dengan melakukan
campur kode (code mixing) artinya menggunakan satu bahasa tertentu dengan bercampur
serpihan-serpihan dari bahasa lain.
Peristiwa peralihan bahasa atau alih kode dapat terjadi karena beberapa Iaktor. ReyIield
(1970: 54-58) berdasarkan studinya terhadap masyarakat dwibahasa Yahudi-Inggris di Amerika
mengemukakan dua Iaktor utama, yakni respon penutur terhadap situasi tutur dan Iaktor retoris.
Faktor pertama menyangkut situasi seperti kehadiran orang ketiga dalam peristiwa tutur yang
sedang berlangsung dan perubahan topik pembicaraan. Faktor kedua menyangkut penekanan
kata-kata tertentu atau penghindaran terhadap kata-kata yang tabu. Menurut Blom dan Gumperz
(1972: 408-409) teradapat dua macam alih kode, yaitu (1) alih kode situasional (situational
sitching) dan (2) alih kode metaIoris. Alih kode yang pertama terjadi karena perubahan situasi
dan alih kode yang kedua terjadi karena bahasa atau ragam bahasa yang dipakai merupakan
metoIaor yang melambangkan identitas penutur.
Campur kode (code mixing) merupakan peristiwa percampuran dua atau lebih bahasa atau
ragam bahasa dalam suatu peristiwa tutur. Di dalam masyarakat tutur Jawa yang diteliti ini juga
terdapat gejala ini. Gejala seperti ini cenderug mendekati pengertian yang dikemukakan oleh
Haugen (1972: 79-80) sebagai bahasa campuran (mixture of language), yaitu pemakaian satu
kata, ungkapan, atau Irase. Di Filipina menurut Sibayan dan Segovia (1980: 113) disebut mix-
mix atau halu-halu atau taglish untuk pemakaian bahasa campuran antara bahasa Tagalog dan
bahasa Inggris. Di Indonesia, Nababan (1978: 7) menyebutnya dengan istilah bahasa gado-gado
untuk pemakaian bahasa campuran antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah.
aktor Penanda Pilihan Bahasa
Pilihan bahasa dalam interaksi sosial masyarakat dwibahasa/multibahasa disebabkan oleh
berbagai Iaktor sosial dan budaya. Evin-Tripp mengidentiIikaskan empat Iaktor utama sebagai
penda pilihan bahasa penutur dalam interkasi sosial, yaitu (1) latar (waktu dan tempat) dan
situasi; (2) partisipan dalam interkasi, (3) topik percakapan, dan (4) Iungsi interaksi. Faktor
pertama dapat berupa hal-hal seperti makan pagi di lingkungan keluarga, rapat di keluarahan,
selamat kelahiran di sebuah keluarga, kuliah, dan tawar menawar barang di pasar.
Faktor kedua mencakup hal-hal seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial
ekonomi, dan perannnya dalam hubungan dengan mitra tutur. Hubungan dengan mitra tutur
dapat berupa hubungan akrab dan berjarak. Faktor ketiga dapat berupa topik tentang pekerjaan,
keberhasilan anak, peristiwa-peristiwa aktual, dan topik harga barang di pasar. Faktor keempat
berupa hal-hal seperti penawaran inIormasi, permohonan, kebiasaan rutin (salam, meminta maaI,
atau mengucapkan terima kasih).
Senada dengan Evin-Tripp, Grosjean (1982: 136) berpendapat tentang Iaktor-Iaktor yang
berpengaruh dalam pilihan bahasa. Menurut Grosjean terdapat empat Iaktor yang mempengaruhi
pilihan bahasa dalam interaksi sosial, yaitu (1) partisipan, (2) situasi, (3) isi wacana, dan (4)
Iungsi interaksi.
Faktor situasi mengacu pada (1) lokasi atau latar, (2) kehadiran pembicara monolingual, (3)
tingkat Iormalitas, dan (4) tingkat keakraban. Faktor isi mengisi wacana mengacu pada (1) topik
pembicaraan, dan (2) tipe kosakata. Fatkor Iungsi iteraksi mencakupi aspek (1) menaikan status,
(2) penciptaan jarak sosial, (3) melarang masuk / mengeluarkan sesorang dari pembicaraan, dan
(4) memerintah atau meminta.
Dari paran berbagai Iaktor di atas, yang perlu diperhatikan adalah bahwa tidak terdapat
Iaktor tunggal yang dapat mempengaruhi pilihan bahasa sesorang. Yang menjadi pertanyaan
adalah apakah Iaktor-Iaktor itu memiliki kedudukan yang sama pentingnya?. Kajian penelitian
pemilihan bahasa yang pernah dilakukan terdahulu diketahui bahwa umunya beberapa Iaktor
menduduki kedudukan yang lebih penting daripada Iaktor lain. Di Obserwart, Gal (1982)
menemukan bukti bahwa karakteristik penutur dan mitra tutur menduduki Iaktor yang penentu
pilihan bahasa dalam masyarakat tersebut. Sedangkan Iaktor topik dan latar merupakan Iaktor
yang kurang penting daripada Iaktor partisipan.
Berbeda dengan Gal, Rubin (1982) menemukan Iaktor penentu yang terpenting adalah
lokasi tempat berlangsungya peristiwa tutur. Dalam penelitiannya tentang pilihan bahasa Guarani
dan Spanyol di Paraguay Rubin menyimpulkan bahwa lokasi interaksi yaitu (1) desa, (2)
sekolah, dan (3) tempat umum sangat menentukan pilihan bahasa masyarakat. Di desa pembicara
akan memilih bahaa Guarani, di sekolah akan memilih bahasa Spanyol, dan di tempat umum
memilih bahasa Spanyol.
%iga Pendekatan Kajian Pemilihan Bahasa
Kajian pemilihan bahasa menurut Fasold (1984: 183) dapat dilakukan berdasarkan tiga
pendekatan, yaitu pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial, dan pendekatan
antropologi. Ketiga pendekatan itu dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pendekatan sosiologi berkaitan dengan analisis ranah. Pendekatan ini pertama
dikemukakan oleh Fishman (1964). Ranah menurut Fishman merupakan konstalasi Iaktor lokasi,
topik, dan partisipan. Ranah didesIinisikan pula sebagai konsepsi sosiokultural yang
diabstraksikan dari topik komunikasi, hubungan peran antar-komunikator, dan tempat
komunikasi di dalam keselarasan dengan pranata masyarakat dan merupakan bagian dari
aktivitas masyarakat tutur (Fishman dalam Pride dan Holmes (eds) 1972). Di bagian lain
Fishman (dalam Amon 1987) mengemukakakan bahwa ranah adalah konspesi teoretis yang
menandai satu situasi interaksi yang didasarkan pada pengalaman yang sama dan terikat oleh
tujuan dan kewajiban yang sama, misalnya keluarga, ketetanggaan, agama, dan pekerjaan.
Sebagai contoh, apabila penutur berbicara di rumah dengan seorang anggota keluarga mengenai
sebuah topik, maka penutur itu dikatakan berada pada ranah keluarga. Pemilihan ranah dalam
penelitian ini mengacu pada pendapat Fishman.
Berbeda dengan pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial lebih tertarik pada
proses psikologis manusia daripada kategori dalam masyarakat luas. Pendekatan ini lebih
berorientasi pada individu seperti motivasi individu daripada berorientasi pada masyarakat.
Karya-karya penting kajian pemilihan bahasa dengan pendekatan psikologi sosial telah dilakukan
oleh Simon Herman (1968), Giles et al. (1973) Bourhish dan Taylor (1977).
Herman (dalam Fasold 1984) mengemukakan teori situasi tumpang tindih yang
mempengaruhi seseorang di dalam memilih bahasa. Situasi yang dimaksud adalah (1) kebutuhan
personal (personal needs), (2) situasi latar belakang (background situation) dan (3) situasi sesaat
(immediate situation). Dalam pemilihan bahasa salah satu situasi lebih dominan daripada situasi
lain.
Giles (1977: 321-324) mengajukan teori akomodasi (accommodation theory). Menurut
Giles terdapat dua arah akomodasi penutur dalam peristiwa tutur. Pertama, akomodasi ke atas
yang terjadi apabila penutur menyesuaikan pilihan bahasanya dengan pilihan bahasa mitra tutur.
Kedua, akomodasi ke bawah, yang terjadi apabila penutur menginginkan agar mitra tuturnya
menyesuaikan dengan pilihan bahasanya.
Pandangan Herman dan Giles tersebut mengimplikasikan adanya hubungan yang maknawi
antara tingkat kondisi psikologis peserta tutur dan pemilihan bahasanya. Dengan demikian, untuk
mengungkap permasalahan pemilihan bahasa perlu pula dilakukan tilikan dari segi kondisi
psikologis orang per orang dalam masyarakat tutur ketika mereka melakukan pemilihan bahasa
atau ragam bahasa.
Seperti halnya pendekatan psikologi sosial, pendekatan antropologi tertarik dengan
bagaimana seorang penutur berhubungan dengan struktur masyarakat. Perbedaannya adalah
bahwa apabila psikologi sosial memandang dari sudut kebutuhan psikologis penutur, pendekatan
antropologi memandangnya dari bagaimana seseorang memilih bahasa untuk mengungkapkan
nilai kebudayaan (Fasold 1984: 193). Dari segi metodologi kajian terdapat perbedaan antara
pendekatan sosiologi, psikologi sosial, dan antropologi. Dua pendekatan pertama yang disebut
lebih mengarahkan kajiannya pada data kuesioner dan observasi atas subjek yang ditelitinya.
Sedangkan pendekatan yang ketiga menempatkan nilai yang tinggi pada perilaku takterkontrol
yang alamiah. Hal ini membimbing peneliti untuk menggunakan metode penelitian yang jarang
digunakan oleh sosiologi dan psikologi sosial, yakni observasi terlibat (participant observation).
Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Susan Gal (yang mempublikasikan hasilnya
tahun 1979) di Oberwart, Australia Timur menghabiskan waktu satu tahun untuk tinggal di
sebuah keluarga setempat.
Dengan menggunakan metode observasi terlibat ini antropolog dapat memberikan
perspektiI penjelasan atas pemilihan bahasa berdasarkan persepsinya sebagai penutur sebuah
kelompok atau lebih yang dimasukinya selama mengadakan penelitian. Implikasi dari metode ini
adalah bahwa pengamat adalah peneliti yang menjadi anggota kelompok yang ditelitinya
(Wiseman dan Aron 1970: 49). Kesesuaian pendekatan antropologi dengan penelitian ini terletak
pada Iaktor kultural yang mempengaruhi pemilihan bahasa masyarakat tutur. Selain itu, metode
observasi terlibat yang tipikal dalam pendekatan antropologi mengarah pada peneliti ini sebagai
instrumen penelitian. Dengan demikian, gejala pemilihan bahasa masyarakat tutur dapat
diungkap secara alami tanpa adanya intrvensi peneliti.

Pertemuan Ke- : 10 dan 11
Hari/Tanggal :
Materi Perkuliahan : Alih Kode dan Campur Kode
Alih Kode
Alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain (Suwito 1991:80).
Menurutnya alih kode merupakan salah satu aspek tentang saling ketergantungan bahasa
(language depedency) di dalam masyarakat multilingual. Artinya, di dalam masyarakat
multilingual hampir tidak mungkin seorang penutur menggunakan satu bahasa secara mutlak
murni tanpa sedikitpun memanIaatkan bahasa atau unsur bahasa yang lain. Di dalam alih kode
penggunaan dua bahasa atau lebih itu ditandai oleh : (a) masing-masing bahasa masih
mendukung Iungsi-Iungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya, (b) Iungsi masing-masing bahasa
disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan konteks. Tanda-tanda yang demikian
dikemukakan oleh Kachru (1965 dalam Suwito 1991:80) disebut ciri-ciri unit-unit kontekstual
(contextual units). Dengan adanya ciri-ciri itu menunjukkan bahwa di dalam alih kode masing-
masing bahasa masih mendukung Iungsi-Iungsi tersendiri secara eksklusiI, dan peralihan kode
terjadi apabila penuturnya merasa bahwa situasinya relevan dengan peralihan kodenya. Dengan
demikian, alih kode menunjukkan suatu gejala adanya saling ketergantungan antara Iungsi
kontekstual dan situasi relevansional di dalam pemakakian dua bahasa atau lebih.
Hymes (1875:103 dalam Chaer dan Agustina 1995:142) menyatakan alih kode bukan hanya
terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat
dalam satu bahasa. Dalam ilustrasi di atas, Hymes mengatakan 'code sitching has become a
common term for alternate us of to or more language, varieties of language, or even speech
styles`
Adapun penyebab terjadinya alih kode menurut Fishman (1976:15 dalam Chaer dan Agustina
1995:143), yaitu 'siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siap, kapan, dan dengan tujuan
apa. Secara umum, penyebab alih kode adalah (1) pembicara atau penutur, (2) pendengar atau
lawan tutur, (3) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, (4) perubahan dari Iormal ke
inIormal, (5) perubahan topik pembicaraan.
Berdasarkan konsep yang diuraikan para ahli itu, dapat disimpulkan bahwa alih kode merupakan
peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain karena perubahan situasi yang mungkin terjadi
antar bahasa, antarvarian (baik regional maupun sosial) antarregister, antarragam ataupun
antargaya.
ampur Kode
Aspek lain dari saling ketergantungan bahasa (language depency) dalam masyarakat multilingual
adalalah terjadinya campur kode (code-mixing). Apabila di dalam alih kode Iungsi konteks dan
relevansi situasi merupakan ciri-ciri ketergantungan ditandai oleh adanya hubungan timbal balik
antara peranan dan Iungsi kebahasaan. Peranan maksudnya siapa yang menggunakan bahasa itu;
sedangkan Iungsi kebahasaan berarti apa yang hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya
(Suwito 1991:88). Ciri lain dari gejala campur kode ialah bahwa unsur-unsur bahasa atau variasi-
variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai tersendiri. Unsur-unsur itu
telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan hanya mendukung satu
Iungsi. Di dalam kondisi yang maksimal campur kode merupakan konvergensi kebahasaan
(linguistic convergence) yang unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masing-masing
telah menanggalkan Iungsinya dan mendukung Iungsi bahasa yang disisipinya.
Kachru (1978:28 dalam Suwito 1991:89) memberikan batasan campur kode sebagai pemakaian
dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsusr-unsur bahasa yang satu ke dalam
bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten.
Selain itu, Thelander (1976:103 dalam Suwito 1991:98) berpendapat bahwa unsur-unsur bahasa
yang terlibat dalam 'peristiwa campur (co-occurance) itu terbatas pada tingkat klausa. Apabila
dalam suatu tuturan terjadi percampuran atau kombinasi antara variasi-variasi yang berbeda di
dalam satu klausa yang sama, maka peristiwa itu disebut campur kode.
Adapun alasan penyebab terjadinya campur kode menurut Suwito (1991:90-91) ada dua yaitu
campur kode yang bersiIat ke luar dan ke dalam. Penyebab terjadinya campur kode yang bersiIat
ke luar antara lain : (a) identiIikasi peranan,(b) identiIikasi ragam dan (c) keinginan untuk
menjelaskan dan menaIsirkan. Dalam hal ini pun, ketiganya saling bergantung dan tidak jarang
bertumpah tindih. Ukuran untuk identiIikasi peranan adalah sosial, registral dan edukasional.
IdentiIikasi ragam ditentukan oleh bahasa dimana seorang penutur melakukan campur kode yang
akan menempatkan dia di dalam hierarki status sosialinya. Keinginan untuk menjelaskan dan
menaIsirkan, nampak karena campur kode juga menandai sikap dan hubungannya terhadap orang
lain dan sikap dan hubungan orang lain terhadapnya.
Campur kode ke dalam nampak misalnya apabila seorang penutur menyisipkan unsur-unsur
bahasa daerahnya ke dalam bahasa nasional, unsur-unsur dialeknya ke dalam bahasa daerahnya
atau unsur-unsur ragam dan gayanya ke dalam dialeknya. Selain itu, campur kode terjadi karena
adanya hubungan timbal balik antara peranan (penutur), bentuk bahasa dan Iungsi bahasa.
Artinya penutur yang mempunyai latar belakang sosial tertentu, cenderung memilih bentuk
campur kode tertentu untuk mendukung Iungsi-Iungsi tertentu. Pemilihan bentuk campur kode
demikian dimaksudkan untuk menunjukkan status sosial dan identitas pribadinya di dalam
masyarakat.
Berdasarkan konsep yang telah diuraikan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa campur
kode merupakan pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur
bahasa yang satu ke dalam bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain, dimana unsur-unsur
bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai
tersendiri.
Pertemuan Ke- : 12
Hari/Tanggal :
Materi Perkuliahan : Sikap Bahasa
Konsep Sikap Bahasa
SarnoII (1970:279) seperti yang dikutip oleh Edward (1985:139) memandang sikap
sebagai 'a disposition to reactfavorably or unfavorably to class of obfects (kecendurungan
untuk bereaksi terhadap sekelompok objek dengan perasaan senang atau tidak senang).
Pandangan itu mengisyaratkan bahwa sikap bukan merupakan suatu tindakan, melainkan
merupakan kecenderungan perilaku. Kecenderungan bertindak (disposition) itu menurut Edward
(1985: 139) seringkali digunakan untuk membandingkan tiga komponen sikap, yakni : pikiran
(thoughts), perasaan (feelings) dan kesiapan untuk bertindak (predispositons to act). (Masalah
komponen sikap akan dikemukakan lebih lanjut dibagian 3).
Menurut Fasold (1984: 147) ada dua teori yang berbeda didalam memandang sikap. Teori
pertama adalah teori keperilakuan yang melihat sikap sebagai sikap motorik dan teori kedua
adalah mentalistik yang melihat sikap sebagai sikap mental.
Teori pertama itu beranggapan bahwa sikap hanya dapat diketahui melalui pernyataan
seseorang melalui sikapnya. Teori itu telah melahirkan sejumlah besar penelitian sikap dengan
cara eksperimen yang cemerlang untuk membangkitkan sikap sehingga responden tidak
menyadari bahwa sikapnya sedang diteliti. Sebagai contoh adalah penelitian Lambertet al.
(1960) yang dilakukan di Kanada dengan teknik terbanding (matched-guise technique)-nya yang
sangat populer. Lambert et al. (1960) memperkenalkan teknik samaran terbanding sebagai alat
untuk mengungkap sikap terhadap bahasa Perancis dan Inggris di Monteral, Kanada. Responden
dalam penelitian itu diminta untuk menilai kepribadian seorang penutur yang direkam setelah
membecakan teks yang sama dalam dua bahasa. Penutur itu disamarkan seolah-olah dua orang
yang berbeda yang membacakan teks dalam bahasa yang berbeda. Kemudian penilaian
responden itu di simpulkan sebagai sikap mereka terhadap bahasayang diperdengarkan. Dengan
teknik itu, responden sama sekali tidak menyadari bahwa sikapnya terhadap bahasa Inggris dan
Perancissedang diteliti. Reori kedua cenderung bersiIat empiris, beranggapan bahwa silap itu
bersiIat nyata dan dapat diamati melalui indera dari perilaku seseorang (Fasold 1984: 137). Sikap
menurut pandangan teori itu tidak dapat dipergunakan untuk meramalkan perilaku lain. Oleh
karena itu, pandangan teori itu tidak banyak mendapat perhatian dari para ahli. Sekurang
kurangnya ada dua alasan mengapa pandangan teori itu tidak banyak digunakan dalam penelitian
sikap bahasa. Pertama, penelitian dengan teori itu bersiIat semu (Suhardi, 1993: 25). Artinya,
hasil pengamatan perilaku yang satu tidak dapat dipakai untuk menjelaskan perilaku lain. Kedua,
penelitian terhadap sikap berdasarkan teori keperilakuan cenderung hanya bersiIat kuantitatiI.
Padahal penelitian secara lualintatiI pun dapat dilakukan untuk menjelaskan banyak hal tentang
sikap, dan hasilnya tidak perlu kalah unggul dibandingkan dengan hasil penelitian kuantitaitI
(Dttmar 1987; Suhardi, 1993: 25).
Teori kedua memandang sikap sebagai kesiapan mental yang memberikan arah atau
pengaruh kepada reaksi seseorang terhadap objek sikap (Agheyisi dan Fishman, 1970: 138;
Dittmar 1976: 181; Fasold 1984: 147) DeIinisi sikap yang khas menurut teori mentalistik
dikemukakan oleh Williams (1974) yang dikutip oleh Fasold (1984: 147): 'Attitude is
considered as an internal state aroused by stimulation oI some type and which may mediate the
organism`s sugsequent response. DeIinisi itu mengisyaratkan bahwa sikap tidak diketahui
secara langsung dari perilaku, sebab perilaku sesorang tidak dengan sendirinya menggambarkan
sikapnya. Mengacu pada rumusan Knop (1987 :21) Suhardi (1993: 26) mengemukakan bahwa
untuk memahami sikap kita perlu memahami hubungan antara rangsangan dan tanggapan.
Diantara rangsangan dan tanggapan itu terdapat variabel penyela yang berIungsi menentukan
jenis tanggapan yang dihasilkan oleh rangsangan itu. Sikap terdapat pada variabel penyela itu.
Dengan demikian, sikap merupakan perantara antara rangsangan yang datang dari luar individu,
yang dapat berupa objek sosial, dan tanggapan terhadap objek sosial itu.
Komponen Sikap Bahasa
Perbedaan kedua teori sikap itu ternyata berpengaruh pula pada anggapan para penganut
teori itu masing-masing mengenai komponen sikap. Penganut teoti pertama menganggap bahwa
sikap terdiri atas satu komponen. Pandangan itu antara lain diikuti oleh Fishbein dan ajzen
91975). Penganut teori kedua menganggap bahwa sikap terdiri atas beberapa komponen yang
saling berkaitan. Pandangan yang disebutkan terakhir ini antara lain diikuti oleh Triandis (1971);
Deprez dan Persoons (11987); Krech et al (1988).
Fiesbein dan Ajzen (1975) Yang menganut pandangan teori keperilakuan menganggap
sikap hanya terdiri atas satu komponen, yaitu komponen aIektiI, seperti yang terlihat dalam
bagan berikut :
KOMPONEN SIKAP MENURUT TEORI KEPERILAKUAN
SIKAP
KOMPONEN AFEKTIF
KOMPONEN SIKAP MENURUT TEORI MENTALISTIK
KOGNITIF
AFEKTIF
KONATIF
SIKAP
Krech et al. (19988: 139) mendiIinisikan sikap sebagai '.an enduring systems of
positive or negative evaluation, emotional feelings, and pro or co action tendencies ith respect
to social obfects (suatu sistem yang siIatnya menetap dari penilaianpenilian positiI atau
negatiI, perasaan-perasaan emosional dan kecenderungan tindak pro atau kontra terhadap objek
sosial).
DeIinisi sikap tersebut memberikan gambaran yang jelas mengenai sikap sebagai suatu
sistem yang bersiIat menetap dari ketiga komponen yang saling berhubungan. Dengan demikian,
berdasarkan deIinisi Krech et al. Tersebut sikap terdiri atas tiga komponen. Ketiga komponen itu
berkaitan erat, sehinnga perubahan salah satu komponen akan mempengarui komponen lainnya.
Ketiga komponen tersebut adalah komponen kognitiI yang berhubungan dengan persepsi
seseorang terhadap suatu objek sehingga melahirkan suatu kepercanyaan atau kenyakinan
(belief), Komponen aIektiI, yang berhubungan dengan keadan emosional seseorang, serta
komponen konatiI, yaitu kecenderungan untuk bertindak, seperti terlihat pd bagan 2 berikut.
Hubungan ketiga komponen itu dijelaskan oleh Krech et al. (1988) sebagai berikut.
Apabila seseorang menghadapi suatu objek, maka melalui kognisinya akan terjadi proses
pengamatan. Hasil pengamatan itu menimbulkan keyakinan-keyakinan terhadap objek tersebut
(berarti/tidak berarti). Selanjutnya akan berkembang aIektiI yang menyatakan penilaian baik
yang bersiIat positiI (merasa senang atau menerima) maupun bersiIat negatiI (merasa tidak
senang atau menolak) terhadap objek sikap. Akhirnya keyakinan dan perasaan itu diikuti oleh
kehendak untuk bertindak yang merupakan komponen konatiI.
Komponen kognitiI mengandung kepercanyaan atau kenyakinan seseorang terhadap suatu
objek (Krech et. Al. (1988:140). Sebagai adalah kepercanyaan atau kenyakinan mahasiswa
terhadap rokok. Ada yang memiliki kepercanyaan atau kenyakinan mahasiswa bahwa rokok itu
mahal dan berbahaya bagi paru-paru. Ada pula yang memiliki kenyakinan bahwa rokok itu dapat
memudahkan belajar dan mengurangi kegelisahan. Kepercayaan atau keyakinan itu
menimbulkan penilaian yang berbeda terhadap rokok.
Komponen aIektiI menyangkut perasaan terhadap suatu objek (Krech et al. 1988: 141).
Perasaan itu dapat berupa rasa senang atau tidak senang. Apabila seorang penutur memiliki
perasaan senang terhadap suatu objek, maka ia dipandang memiliki sikap positiI terhadap objek
itu. Sebaliknya apabila ia memiliki perasaan tidak senang maka ia dikatakan memiliki sikap
negatiI terhadap objek itu. Sebagai contoh apabila seorang penutur memiliki perasaan senang
terhadap bahasa ibunya, dan cenderung memakai bahasa itu, maka ia dianggap bersikap positiI
terhadap bahasa itu.
Komponen konotiI menyangkut kesiapan untuk bereaksi (Krech et al. 1988: 141).
Seseorang yang memiliki sikap positiI terhadap bahasa Indonesia mungkin akan menunjukkan
kesiapanya untuk menggunakan bahasa itu.

Pertemuan Ke- : 14
Hari/Tanggal :
Materi Perkuliahan : Pergeseran dan Pemertahanan Bahasa
Pergeseran Bahasa
Pergeseran bahasa (language shiIt) merupakan Ienomena sosiolinguistik yang terjadi akibat
adanya kontak bahasa (language contact). Pergeseran bahasa menyangkut masalah penggunaan
bahasa oleh sekelompok penutur yang bisa terjadi sebagai akibat perpindahan dari satu
masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain. Apabila seseorang atau sekelompok penutur pindah ke
tempat lain yang menggunakan bahasa lain, dan berinteraksi dengan masyarakat tutur di wilayah
tersebut, maka akan terjadilah pergeseran bahasa. Kelompok pendatang umumnya harus
menyesuaikan diri dengan menanggalkan bahasanya sendiri dan menggunakan bahasa penduduk
setempat. Jika berkumpul dengan kelompok asal, mereka dapat menggunakan bahasa pertama
mereka tetapi untuk berkomunikasi dengan selain kelompoknya tentu mereka tidak dapat
bertahan untuk tetap menggunakan bahasanya sendiri. Sedikit demi sedikit mereka harus belajar
menggunakan bahasa penduduk setempat.
Pergeseran bahasa biasanya terjadi di negara, daerah, atau wilayah yang memberi harapan untuk
kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik, sehingga mengundang imigran/transmigran untuk
mendatanginya (Chaer 1995: 190). Fishman (1972) menunjukkan contoh terjadinya pergeseran
bahasa pada para imigran di Amerika. Keturunan ketiga atau keempat dari para imigran itu sudah
tidak mengenal lagi bahasa ibunya dan malah menjadi telah menjadi monolingual bahasa Inggris.
Dari contoh di atas dapat disimpulkan bahawa pergeseran bahasa terjadi pada masyarakat
dwibahasa atau multibahasa. Kedwibahasaan menurut Umar (1994:9) dimulai ketika penduduk
yang berpindah itu berkontak dengan penduduk pribumi lalu pihak yang satu mempelajari pihak
lainnya untuk kebutuhan komunikasi.
Pada situasi kedwibahasaan sering terlihat orang melakukan penggantian satu bahasa
dengan bahasa lainnya dalam berkomunikasi. Penggantian bahasa ini biasanya terjadi karena
tuntutan berbagai situasi yang dihadapi oleh masyarakat tutur. Selain itu, peralihan atau
penggantian bahasa itu dapat terjadi karena penggantian topik pembicaraan.
Peristiwa pergeseran bahasa lebih terkait dengan adanya Iaktor perpindahan dari satu
masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain. Di samping itu juga Iaktor mitra tutur, situasi, topik,
dan Iungsi interaksi dapat juga menyebabkan pergeseran bahasa. Berdasarkan hal tersebut di atas
terlihat bahwa terjadinya pergeseran bahasa lebih terkait dengan Iaktor lingkungan bahasa.
Pemertahanan Bahasa
Sebagai salah satu objek kajian sosiolinguistik, gejala pemertahanan bahasa sangat menarik
untuk dikaji. Konsep pemertahanan bahasa lebih berkaitan dengan prestise suatu bahasa di mata
masyarakat pendukungnya. Sebagaimana dicontohkan oleh Danie (dalam Chaer 1995:193)
bahwa menurunnya pemakaian beberapa bahasa daerah di Minahasa Timur adalah karena
pengaruh bahasa Melayu Manado yang mempunyai prestise lebih tinggi dan penggunaan bahasa
Indonesia yang jangakauan pemakaiannya bersiIat nasional. Namun ada kalangnya bahasa
pertama (B1) yang jumlah penuturnya tidak banyak dapat bertahan terhadap pengaruh
penggunaan bahasa kedua (B2) yang lebih dominan.
Konsep lain yang lebih jelas lagi dirumuskan oleh Fishman (dalam Sumarsono 1993: 1).
Pemerthanan bahasa terkait dengan perubahan dan stabilitas penggunaan bahasa di satu pihak
dengan proses psikologis, sosial, dan kultural di pihak lain dalam masyarakat multibahasa. Salah
satu isu yang cukup menarik dalam kajian pergeseran dan pemerthanan bahasa adalah
ketidakberdayaan minoritas imigran mempertahankan bahasa asalnya dalam persaingan dengan
bahasa mayoritas yang lebih dominan.
Ketidakberdayaan sebuah bahasa minoritas untuk bertahan hidup itu mengikuti pola yang
sama. Awalnya adalah kontak guyup minoritas dengan bahasa kedua (B2), sehingga mengenal
dua bahasa dan menjadi dwibahasawan, kemudian terjadilah persaingan dalam penggunaannya
dan akhirnya bahasa asli (B1) bergeser atau punah. Sebagai contoh kajian semacam itu dilakukan
oleh Gal (1979) di Australia dan Dorial (1981) di Inggris. Keduanya tidak berbicara tentang
bahasa imigran melainkan tentang bahasa pertama (B1) yang cenderung bergeser dan digantikan
oleh bahasa baru (B2) dalam wilayah mereka sendiri.
Kajian lain dilakukan oleh Liberson (dalam Sumarsono 1993:2) yang berbicara tentang
imigran Perancis di Kanada, tetapi bahasa pertama (B1) mereka masih mampu bertahan terhadap
bahasa Inggris yang lebih dominan, setidak-tidaknya hingga anak-anak mereka menjelang
remaja. Masalah bergeser dan bertahannya sebuah bahasa bukanlah hanya karena masalah
bahasa imigran, melainkan dipengaruhi oleh banyaknya Iaktor lain yang dapat mempengaruhi
pemertahanan bahasa.
aktor-faktor yang Mempengaruhi Pergeseran dan Pemertahanan Bahasa
Pergeseran dan pemertahanan bahasa dipengaruhi oleh berbagai Iaktor. Masalah pergeseran
dan pemertahanan bahasa di Indonesia dipengaruhi oleh Iaktor yang dilatarbelakangi oleh situasi
kedwibahasaan atau kemultibahasaan. Industrialisasu dan urbanisasi dipandang sebagai
penyebab utama bergeser atau punahnya sebuah bahasa yang dapat berkait dengan keterpakaian
praktis sebuah bahasa, eIisiensi bahasa, mobilitas sosial, kemajuan ekonomi dan sebagainya.
Faktor lain misalnya adalah jumlah penutur, konsentrasi pemukiman, dan kepentingan politik
(Sumarsono 1993: 3).
Pada umumnya sekolah atau pendidikan sering juga menjadi penyebab bergesernya bahasa,
karena sekolah selalu memperkenalkan bahasa kedua (B2) kepada anak didiknya yang semula
monolingual, menjadi dwibahasawan dan akhirnnya meninggalkan atau menggeser bahasa
pertama (B1) mereka. Faktor lain yang banyak oleh para ahli sosiolinguistik adalah Iaktor yang
berhubungan dengan Iaktor usia, jenis kelamin, dan kekerapan kontak dengan bahasa lain.
Rokhman (2000) dalam kajiannya mengidentiIikasikan tiga Iaktor yang mempengaruhi
pergeseran dan pemertahanan bahasa pada masyarakat tutur Jawa dialek Banyumas, yakni Iaktor
sosial, kultural, dan situasional.
Kajian tentang berbagai kasus tersebut di atas memberikan bukti bahwa tidak ada satupun Iaktor
yang mampu berdiri sendiri sebagai satu-satunya Iaktor pendukung pergeseran dan
pemertahanan bahasa. Dengan demikian, tidak semua Iaktor yang telah disebutkan di atas mesti
terlibat dalam setiap kasus.

Pertemuan Ke- : 15
Hari/Tanggal :
Materi Perkuliahan : EtnograIi Komunikasi
Etnografi Komunikasi sebagai Model Analisis
Pemakaian bahasa dalam komunikasi selain ditentukan oleh Iaktor-Iaktor linguistik juga
ditentukan oleh Iaktor-Iaktor non linguistik atau luar bahasa. Faktor yang demikian itu sering
pula dikatakan berkaitan erat dengan Iaktor sosial. Pandang demikan memang cukup beralasan
karena pada dasarnya bahasa adalah bagian dari suatu sistem sosial. Karena sistem sosial erat
sekali hubungannya dengan sistem budaya, maka bahasa juga tidak dapat dilepaskan dari Iaktor-
Iaktor budaya.
Hubungan bahasa dengan sistem sosial budaya dapat dikaji dari berbagai disiplin, salah
satunya adalah sosiolinguistik. Ancangan sosiolinguistik dalam kajian ini dipusatkan pada model
Iungsional pemakaian bahasa pada dimensi sosialbudaya masyarakat tuturnya. Model yang
dimaksud adalah Model Etnografi Komunikasi yang dikembangkan oleh Hymes (1972, 1973,
1980). Istilah etnograIi komunikasi (ethnography of communication) merupakan pengembangan
dari etnograIi berbahasa (etnography of speaking). Konsep etnograIi berbahasa oleh Hymes
(1972: 37) dimaksudkan sebagai kajian situasi dan penggunaan tutur serta pola dan Iungsi tutur
dalam tindak tutur yang rutin dan khusus. Pengembangan istilah itu dimaksudkan oleh Hymes
(1980: untuk memIokuskan kerangka acuan karena pemerian tempat bahasa di dalam suatu
kebudayaan bukan pada bahasa itu sendiri melainkan pada komunikasinya.
Kerangka etnograIis yang melibatkan beraneka ragam Iaktor yang terdapat di dalam
pertuturan. Kerangka yang mula-mula disebut dengan etnograIi pertuturan itu pada akhirnya
berkembang menjadi etnograIi komunikasi. EtnograIi komunikasi adalah salah satu ancangan
yang dapat di gunakan di dalam penelitian hubungan bahasa dengan manusia (masyarakat). Pada
dasarnya, ancangan itu berusaha memberikan gambaran etnograIis masyarakat bahasa yang
diantaranya mencakup pola komunikasi, Iungsi komunikasi, hakikat dan batasan masyarakat
bahasa, alat komunikasi, komponen komunikatiI, hubungan bahasa dengan pikiran dan
organisasi sosial, dan perilaku bahasa lainnya.
Perilaku bahasa diakui mempunyai pola teratur dan mempunyai kendala yang dapat
dinyatakan di dalam bentuk-bentuk norma bahasa. EtnograIi komunikasi terarah pada
penyelidikan keteraturan yang terdapat di dalam penggunaan bahasa serta bagaimana bagian-
bagian komunikasi dibentuk. Selanjutnya, bagaimana bagian-bagian tersebut tersusun di dalam
suatu cara bahasa di dalam arti yang sangat luas dan bagaimana pola-pola yang ada berhubungan
secara sistematis dengan aspek-aspek kebudayaan lainnya.
Pola bahasa terdapat pada semua tingkat komunikasi seperti masyarakat, kelompok, dan
individu. Pada tingkat masyarakat, komunikasi biasanya terbentuk melalui Iungsinya, kategori
percakapan, dan sikap serta konsepsi tentang bahasa dan manusia. Komunikasi tentunya juga
terbentuk menurut peran dan kelompok tertentu di tengah-tengah masyarakat serta menurut jenis
kelamin, umur, status sosial, dan jenis pekerjaan. Cara bahasa juga terbentuk menurut tingkat
pendidikan, penduduk kota atau desa, daerah geograIis, dan ciri-ciri organisasi sosial lainnya.
Menurut Hymes (1972, 1980: 9-18), ciri-ciri dimensi sosialbudaya yang bersiIat etik
dapat digolongkan dalam delapan komponen yang bersiIat emik (bandingkan dengan
Pudjosudarmo 1975). Kedelapan kompomnen itu disebut sebagai komponen tutur (spech
component). Disebut demikian karena memang perwujudan makna sebuah tuturan atau ujaran
ditentukan oleh komponen tutur. Kedelapan komponen tutur itu diakronimkan denang
SPEAKING: Setting (latar), Partisipant (peserta tutur), Ends (tujuan tutur), Act sequence (topik ,
uturan tutur), Key (nada tutur), Norms (norma tutur) dan Genre (jenis tutur).
Latar tutur meliputi tempat tutur dan suasana tutur. Tempat tutur mengacu pada keadaan
Iisik, sedangkan suasana tutur mengacu pada suasana psikologis (baik bersiIat resmi maupun
tidak rsemi) tindak tutur dilaksanakan. Peserta tutur mengacu pada penutur, mitra tutur, dan
orang yang dituturkan. Pemilihan bahasa antar-peserta tutur ditentukan oleh perbedaan dimensi
vertikal dan dimensi horisontal. Dimensi pertama meliputi perbedaan umur, status sosial eknomi,
dan kedudukan dalam masyarakat; perbedaan dimensi kedua antara lain meliputi perbedaan
tingkat keakraban antar peserta tutur.
Tujuan tutur merupakan hasil yang diharapkan atau yang tidak diharapkan dari tujuan
tindak tutur, baik ditujukan kepada individu maupun masyarakat sebagai sasarnnya. Suatu
tuturan mungkin bertujuan menyampaikan buah pikiran, membujuk, dan mengubah perilaku
(konatiI). Topik tuturan mengacu pada apa yang dibicarakan (massage content) dan cara
penyampaiannya (massage form). Dalam sebuah peristiwa tutur, beberapa topik tutur dalat
muncul secara berurutan. Perubahan topik tutur dalam peristiwa tutur akan berpengaruh terhadap
pemilihan bahasa.
Nada tutur diwujudkan baik berupa tingkah laku verbal maupun non-verbal (para
language). Nada tutur verbal mengacu pada perubahan bunyi bahasa, yang dapat menunjukkan
keseriusan, kehumoran, atau kesantaian tindak tutur. Nada tutur non-verbal dapat berujud gerak
anggora bada, perubahan air muka, dan sorot mata. Sarana tutur mengacu pada saluran tutur dan
bentuk turu. Sarana tutur dapat berupa sarana lisan, tulis, dan isyarat. Bentuk tutur dapat berupa
bahasa sebagai sistem mandiri, variasi bahasa seperti dialek, ragam, dan register.
Norma tutur berhubungan dengan norma interaksi dan norma interpretasi/ Yang dimaksud
norma interaksi adalah norma yang bertalian dengan bolehtidaknya sesuatu dilaksanakan oleh
peserta tutur pada waktu tuturan berlangsung, sedangkan norma interpretasi merupakan norma
yang dimiliki oleh kelompok masyarakat tutur tertentu. Adapun jenis tutur meliputi kategori
kebahasaan seperti prosa, puisi, dongeng, legenda, doa, kuliah, iklah dan sebagainya.
Kedelapan variabel komponen tutur Hymes tidaklah sepenuhnya digunakan dalam setiap
pemerian Ienomena pemakaian bahasa dalam dimensi sosial budaya, tetapi tergantung pada
Iokus variabel yang diperhatikan. Dalam kenyataannya, kedelapan variabel komponen tersebut
tidak selalu hadir secara bersamaan dalam sebuah peristiwa tutur tertentu. Untuk itu pembatasan
variabel komponen tutur yang sesuai dengan Iokus pemerian pemilihan bahasa Jawa dan bahasa
Indonesia dalam penelitian ini sangatlah diperlukan.
Dalam kajiannya terhadap pemakain tingkat tutur bahasa jawa Poedjosudarmo (1979) juga
telah memaparkan komponen tutur. Konsep komponen tutur yang disampaikan oleh
Poedjosudarmo sebetulnya merupakan pengembangan konsep Hymes (1972) tentang peranan
komponen tutur dalam rangka komunikasi. Beberapa pegnembangan yang dilakukan oleh
Poedjosudamo disesuaikan dengan situasi kebahasaan di Indonesia, khususnya di Jawa.
Akibatnya adalah bahwa komponen tutur dalam versinya menjadi lebih rinci dan lebih luas,
melebihi jumlah komponen tutur yang dipakai sebagai dasarnya.
Perbedaan komponen tutur yang dikemukakan oleh Poedjosudarmo dan Hymes terletak
pada jenis dan jumlah komponen. Jika Hymes (1972) mengemukakan delapan komponen tutur,
maka Poedjosudarmo menyebut tiga belas butir komponen tutur. Ketiga belas komponen tutur
itu dapatlah disebutkan di sini satu demi satu: (1) pribadi penutur, (2) warna emosi, (3) kehendak
tutur, (4) angggapan penutur terhadap mitra tutur, (5) kehadiran orang ketiga, (6) nada dan
suasana bicara, (7) adegan tutur, (8) pokok pembicaraan, (9) sarana tutur, (10) urutan bicara, (11)
ekologi percakapan, (12) bentuk wacana, dan (13) norma kebahasaan lainnya.
Poedjosudarmo (1979) lebih menaruh perhatian terhadap aspek peserta tutur, yang tampak
dengan dikemukakannya lebih dulu secara berturut tutur komponen: pribadi penutur, warna
emosi, kehendak tutur, anggapan terhadap mitra tutur, dan kehadiran orang ketiga. Sedangkan
Hymes (1972) tampak lebih menaruh perhatian pada latar tutur, yang merupakan Iaktor yang
banyak berpengaruh terhadap bentuk tutur.
Pertemuan Ke- : 16
Hari/Tanggal :
Materi Perkuliahan : Ujian Akhir Semester
Tugas:
1) Menyusun resensi buku sosiolinguistik
2) Menyusun makalah hasil pengamatan situasi soiolinguistik berdasarkan tema terIokus.

Anda mungkin juga menyukai