Anda di halaman 1dari 11

Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Jawa di Dusun Tekik , Desa

Temuwuh, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul

Alifia Rada Alhusna


22205241062
Pendidikan Bahasa Daerah
Fakultas Bahasa, Seni, dan Budaya
Universitas Negeri Yogyakarta
Email: alifiarada.2022@student.uny.ac.id

ABSTRAK

Dalam bahasa Jawa penggunaan ngoko- krama memiliki empat fungsi, yaitu (i) sebagai
sarana pergaulan masyarakat, (ii) sebagai tata unggah-ungguh, (iii) untuk menyatakan
rasa hormat, dan (iv) sebagai pengatur jarak sosial (social distance). .Penelitian ini
menggunakan pendekatan deskriptif. Pendekatan deskriptif dilakukan berdasarkan pada
fakta yang terjadi atau peristiwa yang secara empiris hidup pada penutur-penutur
sehingga yang dihasilkan atau dicatat berupa bahasa yang sifatnya seperti potret, paparan
adanya.Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pengamatan partisipatif,Subjek penelitian ini adalah warga Dusun Tekik RT 01,
Temuwuh, Dlingo,Bantul. Objek penelitian ini adalah pemakaian tingkat tutur bahasa
Jawa yang digunakan oleh warga Tekik RT 01, Temuwuh, Dlingo, Bantul Tingkat tutur
ngoko alus biasa digunakan untuk berbicara dengan orang yang statusnya sama tetapi
dengan rasa menghormati, orang muda pada yang lebih tua, orang tua kepada yang lebih
muda namun perlu dihormati atau berpangkat tinggi. Tingkat tutur krama alus bentuk
kosa katanya menggunakan leksikon krama dan dapat ditambah leksikon krama inggil.
Tingkat tutur krama lugu adalah kosa kata yang terdiri atas leksikon krama, madya, netral,
dan dapat ditambah dengan kosa kata leksikon krama inggil atau krama andhap.
Tingkatan tutur yang dipakai oleh warga dusun Tekik, Temuwuh, Dlingo, Bantul adalah
ngoko lugu, ngoko alus, krama lugu,dan krama alus yang disesuaikan dengan faktor
mengapa tingkatan tersebut digunakan. Namun dalam mini riset ini masih ditemukan
kesalahan ketidaksesuaian penggunaan tingkat tutur bahasa Jawa yang dilakukan warga
Dusun Tekik, Temuwuh, Dlingo, Bantul.

I. PENDAHULUAN

Bahasa Jawa merupakan bahasa yang dipakai oleh penduduk suku Jawa. Bahasa
Jawa adalah bahasa daerah yang digunakan sebagai sarana komunikasi dan sosialisasi
dalam kehidupan antara individu satu dengan individu lain oleh penduduk Jawa. Bahasa
Jawa dipakai sebagai komunikasi dalam ranah keluarga, sosialisasi sehari-hari dalam
kehidupan bermasyarakat, pada upacara tradisional (upacara kematian, pengantin,
kelahiram) serta berbagai kegiatan penduduk Jawa. Bahasa Jawa berkembang sebagai ciri
khas dengan cara mempertahankan nilai-nilai yang terkandung didalamnya, bahasa Jawa
mempunyai jumlah pemakaian terbesar dibandingkan bahasa daerah lain.

Ciri khas dari bahasa Jawa merupakan adanya tingkatan tutur, yaitu terdapat
variasi-variasi bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi antara satu dan lainnya
ditentukan oleh perbedaan sopan santun terhadap lawan bicara. Tingkat tutur adalah
etiket tutur yang juga bentuk sikap sopan santun atau sikap andhap asor. Andhap asor
yaitu perilaku menghormati orang lain denagn sopan dan merupakan tindakan besar yang
harus ditunjukkan kepada setiap orang dalam berkomunikasi denagn seseorang yang
sederajat atau lebih tinggi derajatnya. Terdapat perbedaaan pendapat di antara para ahli
bahasa Jawa mengenai jenis-jenis tingkat tutur bahasa Jawa. Namun, yang paling banuak
digunakan oleh umum adalah ngoko dan krama. Dijelaskan oleh Driyarkara (1980: 2-13)
bahwa pada zaman dulu (sebelum Mataram) bahasa krama tidak ada. Sejak Kerajaan
Mataram ( permulaaan abad ke-17), tingkatan ngoko-krama mulai berkembang dan hal
ini adalah proses feodalisasi masyarakat Jawa. Ini disebabkan Karena Kerajaan Mataram
kehlanan kekuasaan dan orientasi keluar sehingga menjadi “introvert”.

Pendapat tersebut dipertegas oleh Moedjanto (1987: 41-46) bahwa tingkat tutur
dalam bahasa Jawa berkembang bersamaan dengan berkembangnya Kerajaan Mataram.
Sebelum Mataram, tingkat tutur bahasa Jawa sebelum kerajaan Mataram ternyata belum
dijumpai bahasa krama.
Menurut Moedjanto (1987: 42-46), dalam bahasa Jawa penggunaan ngoko- krama
memiliki empat fungsi, yaitu (i) sebagai sarana pergaulan masyarakat, (ii) sebagai tata
unggah-ungguh, (iii) untuk menyatakan rasa hormat, dan (iv) sebagai pengatur jarak
sosial (social distance). Dalam konsolidasi kekuasaan, di antara keempat fungsi itu, fungsi
keempatlah yang terpenting, yaitu sebagai sarana pencipta jarak sosial.

Poedjosoedarmo (1979) dalam bukunya yang berjudul Tingkat Tutur dalam


Bahasa Jawa telah melakukan penelitian terhadap tingkat tutur bahasa Jawa secara
umum. Poejosoedarmo manjelasakan macam jenis tingkat tutur dalam bahasa Jawa
beserta konteks yang mempengaruhi pemakaiannya. Buku tersebut menjelaskan
menganai sistem tingkat tutur, alih tingkat tutur, dan daftar leksikon atau kosakata
tingkat tutur.

Secara garis besar tingkatan tutur yang dipakai untuk berkomunikasi


menggunakan bahasa Jawa adalah tingkat tutur ngoko (ragam ngoko) dan tingkat tutur
krama (ragam krama). Sasongko menegaskan bahwa secara emik, unggah –ungguh dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu ngoko dan krama, kemudian secara etik unggah-ungguh
terdiri atas, ngoko lugu, ngoko alus, krama lugu, dan krama alus.

II. KAJIAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN


A. Deskripsi Teori

1. Sosiolinguistik

Sosiolinguistik dapat didefinisikan sebagai cabang linguistik yang mempelajari


variasi-variasi bahasa yang berkaitan dengan struktur masyarakat yang bermacam-
macam. Nababan (1993: 7) berpendapat bahwa sosiolinguistik merupakan salah satu
cabang ilmu bahsa yang mempelajari aspek-aspek kemasyarakatan bahsa khususnya
perbedaan-perbedaan atau variasi yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan denagn
faktor-faktor kemasyarakatan.

Menurut Nababan (1984:2) sosiolinguistik berasal dari dua kata yaitu sosio dan
linguistik. Kata sosio yaitu sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat, kelompok-
kelompok masyarakat serta fungsi-fungsi kemasyarakatan. Sedangkan linguistik
merupakan ilmu yang mempelajari atau membicarakan bahasa khususnya unsur-unsur
bahasa (fonem,morfem, kata dan kalimat) dan keterkaitan unsur-unsur itu. Berdasarkan
pengertian tersebut, dapat disimpulka bahwa sosiolinguistik adalah studi atau
pembahasan bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat.
Sosiolingusitik sebagai cabang linguistic memendang atau menempatkan kedudukan
bahasa dala, hubungannya denagn pemakai bahasa di masyarakat, karena dalam
masyarakat manusia tidak lain sebagai makhluk individu akan tetapi juga sebagaii
makhluk sosial. Sosiolinguisti sebagai ilmu yang bersifat interdisipliner juga menggarap
masalah-masalah kebahasaan dalam hubungannya dengan faktor-faktor sosial,
situasional, dan kultural (Wijana, 2006:7, dapat juga dikatakan bahwa sosiolinguistik
mempelajari dan membahas aspek-aspek kemasyarakatan bahsa, khususnya perbedaan-
perbedaan (variasi) yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor
kemasyarakatan (sosial)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sosiolinguistik mempunyai dua makana


yang hamper sama. Pertama, sosiolinguistik yaitu ilmu tata bahasa yang digunakan dalam
interaksi sosial. Kedua, sosiolinguistik adalah cabang linguistic tentang hubungan dan
saling pengaruhnantara perilaku bahasa dan perilaku sosial (KBBI, 2002: 1085B). Kedua
pengertian yang diambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut dapat disimpulkan
bahwa sosiolinguistik adalah ilmu yang mengkaji tata bahasa dan interaksi sosial alam
masyarakat.

2. Pemakaian Bahasa
Fungsi utama bahasa adalah alat komunikasi (Chaer, 1995: 4). Bahasa yang
digunakan oleh manusia dalam berkomunikasi tidak hanya menggunakan satu bahasa,
dapat menggunakan berbagai macam bahasa disesuaikan dengan kondisi tuturan.
Soemarsono dan Pantara (2002: 19), memandang bahasa sebagai tingkah laku sosial
( Social behaviour) yang dipaka dalam komunikasi sosial. Maka kegiatan pemakaian
bahasa juga akan terpengaruh dengan kondisi sosial yang ada. Leech (1993: 15)
menambahkan bahwa kegiatan bahasa termasuk dalam bidang pragmatic umum. Secara
garis besar bentuk pemakaian bahasa dibagi menjadi tiga kelompok: bentuk tingkat tutur,
bentuk kontak bahasa, dan bentuk ragam.
3. Tingkat Tutur Bahasa Jawa
Pemilihan penggunaan ragam ngoko, madya , dan krama dalam komunikasi
ditentukan oleh situasi tuturan. Pada acara formal atau resmi misalny aacara rapat, pidato,
dan sebagainya digunakan ragam krama. Ragam ngoko dan madya dianggap tidak pantas
digunakan dalam situasi formal (Kridalaksana 2001: XXII). Orang yang akan
menyampaikan seseuatu pada orang lain harus pandai dalam menempatkan diri dengan
siapa lawan bicarannya dan untuk tujuan apa berbicara. Hal ini bertujuan agar
berkomunikasi dapat secara tepat dan sesuai dengan lawan bicaranya. Poedjosoedarmo
(1979: 14) tingkat tutur itu merupakan variasi bahasa yang perbedaannya ditentukan oleh
anggapan penuur dan relasinya terhadap orang yang diajak bicara. Poedjosoedarmo
menyebutkan adanya tingkat tutur ngoko, madya, dan krama didasrkan pada bentuk
leksikonnya. Tingkatan tersebut disebabkan oleh siapa yang berbicara dan dengan siapa
seseorang berbicara.

W.J.S. Poerwadarminto (1953: 9) berpendapat bahwa tingkat tutur bahasa jawa


terdiri dari : a) ngoko yang merupakan dasar atau bahasa baku dalam bahasa Jawa. Dalam
percakapan hanya dipergunakan tanpa hormat kepada mitra bicara, seperti berbicara
dengan kawan akrab, pembesar kepada bawahannya, orang tua kepada anaknya, orang
tua kepada orang yang lebih muda. b) krama, yaitu bahasa hormat yang dipergunakan
dalam percakkapan secara hormat terhadap mitra bicara, seperti orang muda terhadap
orang yang lebih tua, bawahan dengan majikan, anak dengan orang tua, dan murid dengan
gurunya.

B. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan degan mini riset ini adalah penelitian yang berjudul
Penguasaan Tingkat Tutur Bahasa Jawa di Lingkungan Taman Kanak-Kanak, oleh Sri
Ningsih. Penelitian tersebut relevan dengan mini riset ini Karena sama sama mengambil
fokus permasalahan berupa tingkat tutur Bahasa Jawa. Adapun faktor yang
membedakanny ayaitu terletak pada sasaran atau subjek yang dikaji, tempat, serta temuan
hasil penelitian.

Penelitian yang relevan selain dari penelitian tersebut adalah penelitian Fitriyani
Astuti, yang berjudul Tingkat Tutur bahasa Jawa dalam upacara Pasrah-Tampi Pengantin
Di Kecamatan Cipari, Kabupaten Cilacap Jawa Tengah. Penelitian tersebut memfokuskan
tingkat tutur bahasa Jawa yang digunakan pada upacara pasrah-tampi pengantin. Faktor
yang menjadi pembeda dengan mini riset ini yaitu terletak pada sasaran atau subjek yang
dikaji, tempat, serta temuan hasil penelitian,

C. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif. Pendekatan deskriptif


dilakukan berdasarkan pada fakta yang terjadi atau peristiwa yang secara empiris hidup
pada penutur-penutur sehingga yang dihasilkan atau dicatat berupa bahasa yang sifatnya
seperti potret, paparan adanya (Sudaryanto, 1998:62). Penelitian deskriptif yaitu
penelitian yang memiliki tujuan menggambarkan atau memaparkan suatu peristiwa
dengan apa adanya.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah


pengamatan partisipatif, pengamatan partisipatif merupakan peran peneliti dalam
mengamati berbagai gejala yang terjadi dalam masalah penelitian. Pengamatan
partisipatif melibatkan peneliti secara langsung dalam situasi atau lingkungan yang
sedang diamati. Dalam penelitian ini peneliti berusaha untuk memahami fenomena atau
objek yang diamati seiring dengan berinteraksi dan berpartisipasi dalam khidupan sehari-
hari suatu kumpulan masyarakat.

Penelitian ini mengkaji mengenai penggunaan tingkatan tutur bahasa Jawa sehari-
hari pada masyarakat di Dusun Tekik, Desa Temuwuh, Kecamatan Dlingo, Kabupaten
Bantul. Subjek penelitian ini adalah warga Dusun Tekik RT 01, Temuwuh,
Dlingo,Bantul. Objek penelitian ini adalah pemakaian tingkat tutur bahasa Jawa yang
digunakan oleh warga Tekik RT 01, Temuwuh, Dlingo, Bantul. Dalam pemakaian tingkat
tutur bahasa Jawa akan dilihat dari aspek tingkat tutur bahasa yang digunakan dan
kesalahan penggunaan tingkatan tutur bahasa Jawa.

III. Hasil dan Pembahasan

Tingkat tutur mrupakan variasi bahasa yang berbeda, ditenukan oleh perbedaan
sikap santun yang ada padadiri pembicara terhadap lawan bicara. Adanya tingkat tutur
Karena terdapat tingkatan sosial di masyarakat. Faktor yang menyebabkan perbedaan
tingkat sosial karena perbedaan keadaan tubuh,kekuatan ekonomi, kekuasaan politik, alur
kekerabatan, pebedaan usia, jenis kelamin, kekuatan magis, dan lain sebagainya.

Kesalahan penggunaan tingkat tutur bahasa Jawa juga masih terjadi di Dusun
Tekik RT 01, Temuwuh, Dlingo, Bantul. Berikut ini adalah hasil dan pembahasan dari
penelitian yang telahh dilakukan di dusun Tekik.

1. Tingkat tutur bahasa Jawa ragam ngoko lugu

Data 1

Arya: “ Pak ndeneo saiki! Aku arep takon”

Pak RT : “ pie lee, arep takon opo?”

Data 2

Paijo: “ Bapake Toni, Toni ono neng omah ora yo”

Bapake Toni : “ono Jo, kae neng jero”

Paijo : “ yo gek jeluken pak! konen metu saiki cepet!”

Data 3 :

Tika : “ayo sesok mangkat sekolah jam setengah 7”

Tina : “ ayo tik, koe sesok ngampiri neng omahku sikek yo”

Tingkat tutur ngoko di atas mencerminakan rasa tidak berjarak antara penutuur
dengan mitra tuturnya. Artinya penutur tidak mempunyai rasa segan (ewuh pakewuh)
dengan mitra tuturnya. Ragam ngoko adalah bentuk unggah-ungguh bahasa jawa yang
berintikan leksikon ngoko, atau yang menjadi dasar inti yaitu leksikon ngoko. Ngoko
merupakan tingkat tutur bahasa Jawa yang tingkat kesopanannya rendah. Mencerminkan
rasa tidak berjarak antara komunikan dan komunikator atau menyatakan keakraban
terhadap komunikan, seperti teman seumuran, teman yang sudah saling akrab, orang tua
pada anaknya, guru kepada siswa, dan atasan pada bawahannya.

Namun dari hasil penelitian yang telah dilakukan di Dusun Tekik, Temuwuh,
Dlingo, Bantul masih terdapat kesalahan penggunaan tingkat tutur bahasa Jawa. Dalam
data hasil pengamatan yang sudah dilakukan terdapat kesalahan tingkatan tutur yang
digunakan yaitu pada data 1 dan 2. Hal tersebut terjadi dikarenakan mitra tutur yang
diajak berkomunikasi merupakan orang yang lebih tua usianya. Pada data 1, seorang anak
yang ingin menanyakan sesuatu kepada pak RT yang usianya lebih tua darinya, pilihan
tingkat tutur ngoko pada tuturan ndeneo saiki! Aku arep takon diucapkan seorang anak
kepada orang yang lebih tua. Pada penggunaan tingkatan tutur bahasa Jawa yang benar,
tuturan tersebut seharusnya menggunakan ragam bahasa ngoko. Hal ini terjadi karena
mitra tuturnya adalah orang yang lebih tua sehingga tuturan ndeneo saiki! Aku arep
takon. Leksikon ngoko ndeneo menjadi mang mriki, leksikon ngoko saiki menjadi krama
sakmenika, leksikon ngoko aku menjadi krama kula, leksikon ngoko arep takon menjadi
krama badhe nyuwun pirsa. Sehingga tuturan yang benar digunakan untuk data 1 diatas
mang mriki sakmenika! Kula badhe nyuwun pirsa. Kesalahan penggunaan tingkatan
bahasa Jawa juga terjadi pada data 2, dikarenakan mitra ttur yang diajak bicara merupakan
orang yang lebih tua. Sehingga leksikon ngoko pada tuturan Bapake Toni, Toni ono
neng omah ora yo dan tuturan yo gek jeluken pak! konen metu saiki cepet dalam data
tersebut diganti menjadi leksikon krama Bapakipun Toni, Toni wonten griya boten gih
dan nyuwun tulung ditimbali pak!. Sedangkan data tuturan yang sesuai dengan tingkatan
tutur bahasa Jawa adalah data 3. Karena digunakan untuk berkomunikasi dengan teman
yang seusia.

2. Tingkat tutur bahasa Jawa ragam ngoko alus

Data 1

Pak Cipto : Panjenengan apa ora tindak menyang kantor?

Pak RT : “ lagi prei pak”

Tuturan pada data diatas jika dilihat dari kosa katanya merupakan bentuk dari
tingkatan bahasa Jawa ngoko alus karena bentuk kosa katanya menggunakan leksikon
ngoko, netral, krama, dan krama inggil. Tingkat tutur ngoko alus adalah tingkat tutur
yang kadar kesopanannya bertujuan untuk menghormati. Tingkat tutur ngoko alus biasa
digunakan untuk berbicara dengan orang yang statusnya sama tetapi dengan rasa
menghormati, orang muda pada yang lebih tua, orang tua kepada yang lebih muda namun
perlu dihormati atau berpangkat tinggi. Tuturan pada data diatas menggunakan leksikon
krama yang tedapat pada kata “panjenengan” “kamu”, menggunakan leksikon ngoko
pada kata “apa ora” “apa tidak”, leksikon netral “kantor”, dan menggunakan leksikon
krama inggil “tindak” “berangkat”.

3. Tingkat Tutur bahasa Jawa Ragam Krama Alus.

Pemakaian tingkat tutur krama alus digunakan masyarakat dusun Tekik,


Temuwuh, Dlingo, Bantul untuk berbicara dengan orang yang statusnya lebih tinggi.
Tingkat tutur krama alus bentuk kosa katanya menggunakan leksikon krama dan dapat
ditambah leksikon krama inggil.

Data 1

Mas David : “Pak dukuh badhe tindak wonten kelurahan tabuh pinten”?

Tuturan antara mas David sebagai penutur dan pak dukuh sebagai mitra tutur
tersebut menggunakan tingkat tutur bahasa Jawa ragam krama alus karena ada faktor
hubungan hormat antara mas David dengan Pak Dukuh yang usianya lebih tua serta
memiliki jabatan yang lebih tinggi.

4. Tingkat Tutur Bahasa Jawa Ragam Krama Lugu

Tingkat tutur krama lugu adalah kosa kata yang terdiri atas leksikon krama,
madya, netral, dan dapat ditambah dengan kosa kata leksikon krama inggil atau krama
andhap. Krama lugu memiliki kadar kehalusan yang paling endah, namun masih lebih
halus daripada ngoko alus.

Data 1

Titis : “Mas njenengan wau dipunpadosi mbak Menik”

Mas Riko : “ooo nggih maturnuwun mbak”

Tuturan pada data diatas termasuk ke dalam tingkatan ragam krama lugu.
“njenengan dan wau” termasuk leksikon krama, dipunpadosi termasuk leksikon krama ,
mas dan mbak menik termasuk leksikon netral karena bisa digunakan untuk ngoko
maupun krama. Pemakaian tingkat tutur krama pada data diatas disebabkan karena faktor
usia yang lebih tua, hubungan saling menghormati dan hubungan yang kurang akrab.
IV. Kesimpulan
Tingkatan tutur yang dipakai untuk berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa
adalah tingkat tutur ngoko (ragam ngoko) dan tingkat tutur krama (ragam krama). Secara
unggah –ungguh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ngoko dan krama, kemudian secara
etik unggah-ungguh terdiri atas, ngoko lugu, ngoko alus, krama lugu, dan krama alus.
Tingkatan tutur yang dipakai oleh warga dusun Tekik, Temuwuh, Dlingo, Bantul adalah
ngoko lugu, ngoko alus, krama lugu,dan krama alus yang disesuaikan dengan faktor
mengapa tingkatan tersebut digunakan. Namun dalam mini riset ini masih ditemukan
kesalahan ketidaksesuaian penggunaan tingkat tutur bahasa Jawa yang dilakukan warga
Dusun Tekik, Temuwuh, Dlingo, Bantul.

Daftar pustaka

Arfianingrum, P. (2020). Penerapan Unggah-Ungguh Bahasa Jawa Sesuai Dengan


Konteks Tingkat Tutur Budaya Jawa. Jurnal Prakarsa Paedagogia, 3(2),
137-141.

Depdiknas. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Jilid ke-3. Jakarta: Balai Pustaka.

Isodarus, P. B. (2020). Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Jawa Sebagai Representasi


Relasi Kekuasaan. Sintesis, 14(1), 1–29.
https://doi.org/10.24071/sin.v14i1.2550

Kridalaksana, Harimurti. 1984. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia.

Mulyana. (2014). Pengertian Bahasa Jawa. 21–38

Nababan, P.W.J. 1984. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia

Poedjosaedarmo, Soepomo, dkk. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.

Poerwadarminta, W.J..S. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolters Uitgevers


Maatschappij

Rasidi, I. (2014). KESALAHAN PENGGUNAAN TINGKAT TUTUR BAHASA JAWA


PADA KARANG TARUNA DI DESA GEMEKSEKTI KECAMATAN
KEBUMEN KABUPATEN KEBUMEN (Doctoral dissertation, Pend. Bhs
Jawa).

Soedaryanto. 1998. Metode Linguistik: Metode dan Aneka Teknik Pengumpulan Data
Bagian Kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Trahutami, S. I. (2016). Pemilihan tingkat tutur bahasa jawa pada masyarakat desa
Klapaduwur Blora. Culture, 3(1), 92-114.

Wijana, I Dewa Putu, dan Muhammad Rohmadi. 2006. Sosiolinguistik: Kajian Teori dan
Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai