Anda di halaman 1dari 4

Nama : Selfia Damawati

NIM : 11170130000089
Hujan Bulan Juni: Makna Tanpa Batas
Larik merupakan bidang yang menghalalkan setiap ucapan.—Milan Kundera

Dunia kesusastraan Indonesia yang termasuk didalamnya adalah puisi, telah mengalami
lika-liku yang panjang. Dimulai dari polemik kebudayaan antara timur dan barat, kemudian
perbedaan aliran antara realisme-sosialis yang akrab disebut golongan kiri dengan humanisme-
universal yang akrab disebut golongan kanan. Ketika kita tak nyaman terpental-pental oleh kedua
ekstrem itu, puisi Sapardi menjadi titik moderat manakala di ujung kiri puisi kita menjadi pucat
pasi, menjadi amanat, sedangkan di ujung kanan, puisi menjadi gelap tak tertembus, menjadi
barang untuk dirinya sendiri.1
Sapardi Djoko Damono lahir di Solo pada 20 Maret 1940.2 Sapardi Djoko Damono menulis
sajak sangat berlimpah-limpah. Dalam sajaknya yang kemudian kelihatan kematangan dalam
kesederhanaan pengucapan yang langsung menyentuh hati.3 Puisi Sapardi adalah puisi yang ingin
kita cintai dengan sederhana. Ia tidak menuntut: puisi yang dengan sendirinya membuka diri.4 Dari
pernyataan ini dapat diketahui bahwa Sapardi adalah seorang penyair yang kata-katanya sangat
sederhana yang dengan kesederhaaan itu mampu menyentuh hati pembaca.
Kepandaian Sapardi Djoko Damono dalam mempermainkan variasi bunyi ternyata sesuai
dengan konsep pernyataannya bahwa kata-kata adalah segalanya dalam puisi. Kata-kata tidak
sekadar berperan sebagai alat yang menghubungkan pembaca dengan ide penyair, tetapi sekaligus
sebagai pendukung imaji dan penghubung pembaca dengan dunia intuisi penyair.5
Banyak kritikus sastra yang mengulas sajak-sajak Sapardi Djoko Damono yang
bertemakan sepi, pengembaraan jiwa, dan maut. Mereka menyebutkan bahwa sajak-sajak Sapardi
bertemakan sepi dan keterasingan diri. Sepi disini merujuk pada adanya kesepian, pengembaraan
jiwa dan maut yang menggambarkan suasana magis-spiritual.6 Pengalaman religius sekaligus
pengalaman estetis Sapardi dimulai sejak masa kanak-kanak yang dibimbing oleh berbagai mitos
jawa dan mitos wayang.7
Salah satu puisi Sapardi yang terkenal adalah Hujan Bulan Juni. Selain karena kata-kata
yang sederhana dan menyentuh, puisi ini seakan memiliki makna kias yang khas dari Sapardi.
Puisi ini sudah dibuat menjadi musikalisasi puisi, komikalisasi puisi, novel, bahkan film. Puisi
Hujan Bulan Juni secara lengkap adalah sebagai berikut.

tak ada yang lebih tabah


dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak


dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

1
Riris K. Toha dan Melani Budianta, Membaca Sapardi, (Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 2010), h. 1
2
Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni Sebuah Novel, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2015)
3
Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: Bina Cipta, 1968), h. 200
4
Op.Cit, Riris K. Toha dan Melani Budianta, h. 2
5
Puji Santosa dan Djamari, Dunia Kepenyairan Sapardi Djoko Damono, (Yogyakarta: Elmatera Publishing),
h. 59
6
Ibid, h. 82
7
Ibid, h. 88
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

(1989)8

Struktur fisik puisi berisi tipografi, diksi, kata konkret, pengimajian, dan majas. Secara
tipografi, puisi ini terdiri atas tiga bait dan tiap bait terdiri atas empat larik. Jika kita teliti, dalam
puisi ini terlihat jelas ciri khas sapardi. Sapardi gemar menulis sajak yang tidak dimulai dengan
huruf kapital pada awal baris atau awal kalimat. Penyimpangan pemakaian bahasa ini hanya
dipergunakan untuk menandai makna kehidupan sebagai kalimat itu dimulai idenya. Pembaca
kadang terjebak kapan kalimat itu dimulai dan kapan kalimat itu berakhir. Lebih-lebih pada suatu
susunan sajak naratif atau prosa lirik akan membuat pembaca terkecoh, karena banyak
menimbulkan interpretasi ganda, ambiguitas, dan sebagainya.9 Selain itu, dalam tipografi terdapat
juga rima. Bentuk-bentuk rima yang paling sering nampak adalah aliterasi (rima konsonan) dan
asonasi (rima vokal). Aliterasi menekankan struktur ritmik sebuah larik dan memberi tekanan
tambahan kepada kata-kata yang bersangkutan.10 Aliterasi dalam puisi ini terdapat pada larik pada
hujan bulan juni. Sedangkan asonasi, sering dipergunakan dalam simbolik bunyi.11 Asonasi dalam
puisi ini terdapat pada larik dihapusnya jejak-jejak kakinya.
Kata konkret adalah pilihan kata yang dapat diindera oleh pembaca. Kata konkret yang
terdapat dalam puisi ini adalah hujan bulan juni, pohon berbunga, jejak-jejak kaki, dan akar
pohon. Selain kata konkret, dalam puisi juga terdapat diksi. Berfield mengemukakan bahwa kata-
kata pada puisi dipilih dan disusun dengan cara yang sedemikian rupa hingga artinya menimbulkan
imajinasi estetik, maka hasilnya itu disebut diksi puitis.12 Diksi yang terdapat dalam puisi ini
adalah diksi-diksi sederhana dengan makna yang mendalam dan menyentuh, seperti tabah, bijak,
arif, dan ragu-ragu.
Pengimajian adalah kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman
sensoris, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Baris atau bait puisi seolah pengandung
gema suara disebut imaji auditif, benda yang nampak disebut imaji visual, atau sesuatu yang dapat
dirasakan, diraba atau disentuh disebut imaji taktil.13 Dalam hal lain, pengimajian disebut juga
dengan citraan. Dalam puisi ini terdapat imaji taktil, yaitu pada larik dirahasiakannya rintik
rindunya / kepada pohon berbunga itu atau pada larik dari hujan bulan juni.
Dalam puisi ini juga terdapat majas atau gaya bahasa. Gaya bahasa yang paling jelas
terlihatadalah repetisi. Repetisi adalah pegulangan kata untuk menegaskan artinya.14 Gaya bahasa
ini dapat dilihat pada kata-kata dari bait pertama, bait ke dua, hingga bait terakhir, yaitu pada larik
tak ada yang lebih, dan dari hujan bulan juni. Tapi secara struktur, memang puisi ini memiliki
pola yang diulang setiap baitnya. Gaya bahasa personifikasi juga ada pada puisi ini, karena
digambarkan seakan-akan hujan dapat bersikap tabah, bijak, dan arif seperti manusia.
Struktur batin dalam puisi meliputi tema, nada dan suasana, serta amanat. Puisi ini
bertemakan kepedihan yang dalam, duka, namun juga kebijaksanaan dan ketabahan. Dalam puisi
ini nada yang muncul adalah romantik dan suasana yang muncul adalah harmonis.15

8
Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2017), h. 104
9
Op.Cit, Puji Santosa dan Djamari, h. 47
10
Jan van Luxemburg, dkk, Pengantar Ilmu Sastra, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), h. 196
11
Ibid
12
Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2014), h. 55
13
Herman J. Waluyo, Teori dan Presiasi Puisi, (Jakarta: Erlangga, 1987), h. 78
14
J.S. Badudu, Sari Kesusastraan Indonesia, (Bandung: Pustaka Prima, 1983), h. 79
15
Deden Much. Darmadi, “Semiotika dalam Puisi Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko Damono”,
http://jurnal.untirta.ac.id/index.php/jurnalmembaca diunduh pada Rabu, 26 September 2018 pukul 21.57 WIB, h. 4
***
Berdasarkan pembacaan hermeuneutik, puisi Hujan Bulan Juni dapat dimaknai dengan
melihat judul yang dibuat penyairnya, yaitu Hujan Bulan Juni. Hujan Bulan Juni menunjukkan
hal yang sangat paradoks atau bertentangan namun sekaligus menunjukkan kekuatannya yang
khas.16 Judul ini seakan menyimpan makna yang mendalam, menyimpan rahasia-rahasia dalam
kiasan. Di Indonesia, Juni adalah musim kemarau, tapi mengapa digambarkan oleh Sapardi bahwa
pada bulan Juni dapat turun hujan? Mengenai hal ini saya memiliki beberapa tafsiran, yang
pertama, menunjukkan ketidaksabaran. Hujan turun di waktu yang tidak seharusnya, yaitu pada
musim kemarau. Namun terkadang hujan sering dijadikan sebagai penggambaran suasana yang
sendu, sedih, dan suram. Tetapi jika melihat dari pengalaman Sapardi yang dibimbing oleh
berbagai mitos jawa dan wayang, dapat kita lihat bahwa ada mitos yang mengatakan jika terjadi
hujan di musim panas, berarti ada seseorang yang meninggal dunia. Selain itu, pada komikalisasi
puisi Hujan Bulan Juni, beberapa komikus juga membuat latar pemakaman dalam komiknya.
Secara konotatif, hujan bulan juni adalah simbol, penggunaan gaya bahasa semacam itu
dalam stiliska disebut sebagai alegori. Alegori yaitu suatu gambaran secara kias tentang satu
pengertian atau dapat juga dikatakan sebagai metafora tetapi ungkapannya sebagai simbol.
Mengenai hal ini, Maman Mahayana menerjemahkan sebagai berikut.
“Hujan bulan juni”, “rintik rindu”, “pohon berbunga”, adalah kata-kata simbolik.
Di dalamnya, mendekam sejumlah makna. Coba bayangkan, ketika kita dilanda
perasaan cinta atau rindu atau perasaan lain yang ingin ditumpahkan. Dengan segala
kesabaran (tabah) kita menunggu saat yang tepat untuk menumpahkannya.
Ternyata, sering kali kita merasakannya tidak mudah sebagaimana yang
dibayangkan. Selalu ada perasaan lain yang mengganggu: cemas, takut, khawatir,
was-was, dan entah perasaan apa lagi.17
Bait pertama menggambarkan kekuatan. Berdasarkan KBBI, kata “tabah” berarti kuat
dalam menghadapi sesuatu. Dalam puisi ini, ia merahasiakan rintik rindunya. Tidak
mengungkapkannya, dan hal inilah yang menjadikannya disebut tabah oleh penyair. Pada bait ini
juga disebutkan kata rintik rindu. Mengapa rintik? Ini seakan-akan penyair menekankan bahwa
memang rindu yang dirasakan itu tidak menggebu-gebu, melainkan begitu halus tetapi dalam
jumlah yang banyak. Karena jika dalam bait itu dituliskan deras rindu, bagaimana bisa rindu itu
dirahasiakan kepada pohon berbunga itu?
Bait kedua menggambarkan kebijaksanaan. Jejak-jejak yang ragu, dihapus oleh hujan
bulan juni. Mungkin, di sini akan digambarkan bahwa bekas-bekas keraguannya lebih baik
ditiadakan, entah untuk menjadi lebih yakin atau untuk tidak yakin sama sekali.
Bait ketiga menggambarkan keikhlasan. yang tak sempat terucapkan, dibiarkannya begitu
saja untuk diserap oleh akar pohon bunga itu.
**
Seperti yang diceritakan Sapardi dalam sebuah wawancara, puisi Hujan Bulan Juni ini lahir
begitu saja. Tidak ada maksud apa-apa dan ia tidak membuat amanat yang saklek untuk puisi ini.
Sapardi membebaskan maknanya. Ia membebaskan pembacanya untuk menafsirkan puisi ini,
karena dengan demikian, puisi Hujan Bulan Juni ini akan memiliki tafsiran yang banyak. Seperti
yang pernah Sapardi katakan, Puisi yang baik adalah puisi yang memiliki banyak interpretasi.

16
Ahmad Bahtiar dan Tri Windusari, “Menelisik Gaya Bahasa dalam Kumpulan Puisi ‘Hujan Bulan Juni’
Karya Sapardi Djoko Damono”, http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/dialektika diunduh pada Sabtu 22 September
2018 pukul 15.57 WIB, h. 19
17
Ibid, h. 20
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Bahtiar dan Tri Windusari. “Menelisik Gaya Bahasa dalam Kumpulan Puisi ‘Hujan Bulan
Juni’ Karya Sapardi Djoko Damono”. http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/dialektika
diunduh pada Sabtu 22 September 2018 pukul 15.57 WIB.
Badudu, J.S. Sari Kesusastraan Indonesia. (Bandung: Pustaka Prima, 1983).
Riris K. Toha dan Melani Budianta. Membaca Sapardi. (Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 2010).
Damono, Sapardi Djoko. Hujan Bulan Juni. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2017).
Damono, Sapardi Djoko. Hujan Bulan Juni Sebuah Novel. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2015).
Darmadi, Deden Much. “Semiotika dalam Puisi Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko
Damono”. http://jurnal.untirta.ac.id/index.php/jurnalmembaca diunduh pada Rabu, 26
September 2018 pukul 21.57 WIB.
Jan van Luxemburg, dkk. Pengantar Ilmu Sastra. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992).
Pradopo, Rachmat Djoko. Pengkajian Puisi. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2014).
Puji Santosa dan Djamari. Dunia Kepenyairan Sapardi Djoko Damono. (Yogyakarta: Elmatera
Publishing).
Rosidi, Ajip. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. (Bandung: Bina Cipta, 1968).
Waluyo, Herman J. Teori dan Presiasi Puisi. (Jakarta: Erlangga, 1987).

Anda mungkin juga menyukai