Anda di halaman 1dari 2

Menjadi Feminis: Menyebarkan Kesadaran atau Memaksakan Kepercayaan?

Oleh: Selfia De Beauvoir

Pergerakan perempuan di Indonesia sudah berlangsung sejak era kolonial. Munculnya


pergerakan itu didasari karena sikap represif dan deskriminatif pemerintah Belanda terhadap
perempuan pribumi pada masa itu. Sikap refresif dan deskriminatif ini berupa pelarangan kepada
perempuan untuk bersekolah, pergundikan, menjadikan perempuan pribumi sebagai “Nyai”
orang-orang Belanda.
Lambat laun, pergerakan perempuan ini membuahkan hasil. Dimulai dari dobrakan R.A.
Kartini yang berhasil menggiring kesetaraan dengan menyediakan akses yang sama bagi
perempuan agar dapat menempuh pendidikan hingga cerita Dewi Sartika yang ikut berperang
dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Seiring dengan perkembangan teknologi,
perkembangan zaman, perempuan mulai banyak banyak yang mengenyam pendidikan tinggi,
memasuki ranah publik, memiliki hak bersuara, dan tak jarang perempuan-perempuan mengikuti
kegiatan perpolitikan di Indonesia—meski sebenarnya disini juga masih bias gender, salah
satunya kuota bangku perempuan di legislative hanya 30%, namun setidaknya ini lebih baik
daripada tidak sama sekali.—
Meski perkembangan dalam beberapa aspek mulai tercapai, masih menjadi ironi
mengingat sikap represif terhadap perempuan sebenarnya masih banyak terjadi. Jika melihat
pada Catatan Tahunan 2018 Komnas Perempuan, terjadi setidaknya ada 5. 649 kasus kekerasan
seksual yang terlapor dan tertangani—entah berapa kasus yang belum terlapor dan tertangani—.
Belum lagi mengingat masih banyaknya kasus kekerasan seksual yang tidak tertangani oleh
hukum, sehingga pelaku masih dapat bebas berkeliaran—hal ini disebabkan karena pasal
berlaku, yakni pasal 285 KUHP masih belum mampu mengatasi kasus kekerasan seksual
sehingga pelaku masih dapat bebas dengan dalih ketidaksadaran korban ketika kekerasan seksual
terjadi, atau tidak adanya perlawanan dari korban, dan lain-lain—. Mengenai kasus kekerasan
seksual juga cukup untuk membuat merasa miris, dimana kemarin desakan agar disahkannya
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang mulai menajam, justru dilain sisi, muncul petisi agar
tidak disahkan karena dianggap mendukung perzinahan.
Selain kekerasan seksual, kasus yang masih marak terjadi adalah perkawinan anak, dan
KDRT. Konsep “tubuh” yang dibuat oleh masyarakat patriarki dan masih berlaku sampai
sekarang juga masih memenjarakan perempuan. Bahkan, meski perempuan mampu memasuki
ranah publik, di sana mereka juga tetap dimarginalkan. Mereka—pegawai perempuan—diupah
lebih sedikit, tidak diberikan cuti haid yang cukup, tidak diberikan cuti melahirkan yang cukup,
dan kerap kali terjadi juga kekerasan seksual di ranah publik. Di daerah 3T—atau bahkan tidak
hanya daerah 3T saja—masih banyak perempuan yang tidak mendapat akses terhadap
pendidikan, dan masih banyak perempuan yang terbelenggu untuk memasuki ranah publik. Hal-
hal ini, selain diakibatkan oleh sistem patriarki yang kolot, momok besar yang menjadi
penyebabnya adalah kemiskinan.
Melihat dunia yang masih kejam terhadap kaum perempuan, gagasan feminism perlu
hadir untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan. Namun sayangnya, banyak masyarakat
yang phobia terhadap feminism karena dianggap sebagai gerakan yang akan menghancurkan
laki-laki, dianggap sebagai gerakan bodoh karena melanggar kodrat perempuan, hingga dianggap
sebagai gerakan radikal yang mendukung LGBT yang masih tabu di kalangan masyarakat.
Sebenarnya, anggapan-anggapan ini wajar mengingat memang ada pergerakan feminis
seperti itu—tapi bukan berarti semua anggapan itu benar—salah satunya pada aliran feminis
radikal, yang mengangkat isu seksualitas sehingga menganggap LBGT adalah hal yang wajar,
atau adanya aksi dari Femen yang sering berorasi dan memasuki ranah-ranah publik sambil
telanjang dada sebagai bentuk “menyuarakan” kebebasan mengingat selama ini perempuan
selalu dipenjarakan dari segi pakaiannya.
Meski bagi beberapa orang, perjuangan mereka memang perlu, tentu saja pergerakan
tersebut dianggap dapat sedikit mengganggu bagi perempuan-perempuan yang tidak seprinsip
dengan mereka—dan yang tidak seprinsip dengan mereka, tidak boleh dihakimi sebagai “bukan
feminis” karena aliran feminism itu banyak dan masing-masing memiliki perjuangan yang
berbeda—. Cukup banyak perempuan yang justru merasa mendapatkan liberalitasnya dari
menggunakan hijab.
Feminism liberal juga bergerak untuk memperjuangkan hak-hak yang sama. Benar-benar
sama. Mereka menganggap bahwa perempuan harus memasuki ruang publik sebagaimana para
laki-laki memasukinya. Sayangnya, kelompok ini lupa bahwa bagi beberapa perempuan, justru
pemberdayaan dirinya adalah dengan menjadi seorang ibu rumah tangga atau menjalani peran
mothering. Dan sebenarnya ada beberapa kodrat perempuan yang tidak bisa digantikan oleh laki-
laki seperti menstruasi, melahirkan, dan menyusui, sehingga memang ada akses yang berbeda
antara laki-laki dan perempuan.
Di luar kelompok itu, sebenarnya masih banyak juga kelompok-kelompok pergerakan
perempuan yang lebih bergerak untuk menyadarkan masyarakat mengenai kondisi sosial yang
bias gender, masih adanya standar ganda, dan hukum yang timpang terhadap perempuan. Dan
smeua pergerakan perempuan ini juga tentu bertumpu pada pemikiran-pemikiran feminism.
Beberapa kelompok pergerakan perempuan ini seperti Komnas Perempuan, UN Women, atau
dapat juga berupa kelompok independen seperti Perempuan Mahardika, dan lain-lain.
Kelompok-kelompok ini dapat bergerak dengan membuka seminar, diskusi-diskusi, membuka
bilik pengaduan, pemberian pelatihan keterampilan bagi perempuan-perempuan agar berdaya,
dan merangkul perempuan-perempuan korban kekerasan seksual. Jadi, sebaiknya sebagai kaum
terpelajar, kita mulai melek terhadap segala sesuatu yang terjadi disekitar kita, seperti
ketimpangan gender, dan lain-lain. Dan kita sebaiknya jangan memiliki lagi rasa phobia terhadap
kaum feminism karena justru pemberdayaan perempuan berawal dari gagasan feminism itu
sendiri. Selain itu, mengingat aliran feminism yang banyak, dan kelompok atau organisasi
feminism juga banyak dan berbeda-beda, tak seharusnya kita mengeneralisasi gagasan feminism
dengan satu pengertian saja.

DAFTAR PUSTAKA

De Stuers, Cora Vreede. The Indonesian Women: Struggle and Achivement. (Depok: Komunitas
Bambu, 2017).
Hera Diani & Farah Rizki. Menjadi Perempuan. (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2018).
Lembar Fakta Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2019. (Jakarta: Komnas Perempuan,
2018).
Puttman Tong, Rosemary. Feminist Thought: Pengantar Paling Kommperehensif kepada Aliran
Utama Pemikiran Feminis. (Yogyakarta: Jalasutra, 1998).

Anda mungkin juga menyukai