Noer
Sendiri. Kesepian. Kesunyian tak bertepi akan menyergap manusia yang selalu dan sering kali
dirundung kegelisahan eksistensi dirinya. Jelas kondisi psikologis seperti ini selalu mengungkung
Jumena Martawangsa – tokoh utama dalam lakon Sumur Tanpa Dasar, karya Arifin C. Noor
Naskah Sumur Tanpa Dasar yang ditulis oleh Arifin C Noor di tahun 1950-an semasa awal
kuliahnya di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Drama ini menceritakan Jumena Martawangsa
tokoh utama dari lakon ini—seorang lelaki tua yang dikejar-kejar kegelisahan eksistensial dirinya
sendiri. Kegalauan yang muncul dari suatu pemberontakan atau mungkin kesombongan cara
berpikir yang terbatas melawan ketakterbatasan dalam diri Jumena. Tipikal problematik
masyarakat modern yang selalu berpikir bahwa manusia layaknya harus mengolah habis-habisan
nasib dan suratan hidupnya.
Berikut adalah penggalan naskah Sumur Tanpa Dasar. JIka Anda ingin membaca secara lengkap
naskah ini atau ingin mendownload silakan klik read more dan klik download di bawah postingan.
BAGIAN PERTAMA
1
SANDIWARA INI KITA MULAI DENGAN SUARA DETAK-DETIK LONCENG YANG
MENGGEMA MEMENUHI RUANG. SUARA DETAK-DETIK INI BERJATUHAN
SEDEMIKIAN RUPA SEHINGGA MENIMBULKAN BERMACAM-MACAM ASOSIASI.
SESEKALI DI SELA-SELA SUARA INI MENYAYUP PANJANG LOLONG ANJING ATAU
SRIGALA YANG SEDANG ‘MERAIH’ BULAN.
2
LONCENG ITU ANTIC, TUA, AGUNG DAN KUKUH PENUH RAHASIA. DARI RONGGA
LONCENG MUNCUL KABUT-KABUT ATAU PARA PEMAIN YANG MELUKISKAN
KABUT-KABUT. MEREKA MELANGKAH MENGENDAP-ENDAP UNTUK SELANJUTNYA
SECARA PENUH RAHASIA MENYEBAR KE SEGENAP ARAH DAN SEGERA GAIB
SIRNA.
3
PIGURA ITU TANPA GAMBAR TANPA POTO, KOSONG, TERGANTUNG SUNYI DAN
PENUH RAHASIA
4
DI ATAS KURSI GOYANG JUMENA MARTAWANGSA BERGOYANG-GOYANG SUNYI.
TAMPAK SESAK PERNAFASANNYA. SEKALI PUN BEGITU, KEDUA MATANYA MASIH
MENYOROTKAN PANDANGAN YANG TAJAM. AMAT TAJAM. DAN DALAM KEADAAN
SEPER JUMENA KELIHATAN SEPERTI SEDANG MENGHITUNG DETAK-DETIK
LONCENG.
SEJAK TADI, SEONGGOK KABUT BERDIRI DI SAMPINGNYA MEMEAINKAN SEHELAI
TALI YANG SIAP UNTUK MENGGANTUNG LEHER. AGAK BEBERAPA SAAT JUMENA
MENIMBANG-NIMBANG TALI ITU. KEMUDIAN KABUT ITU MENDEKATKAN TALI
GANTUNGAN ITU DAN JUMENA MENCOBA MEMASANG PADA LEHERNYA. DIA
TERTAWA.
JUMENA
Kalau saya bunuh diri, sandiwara ini tidak akan pernah ada
Sambil tertawa ia memberikan isyarat agar kabut pembawa tali pergi. Dan pada saat itu detak-
detik lonceng semakin lantang. Dari rongga lonceng muncul Sang Kala alias Pemburu yang siap
dengan senapannya. Ketika senapan itu meletus, terkumpullah seluruh amarah dan kekagetan
Jumena
JUMENA
Bangsat!
JUMENA
Kalau saya bisa percaya, saya tenang. Kalau saya bisa tidak percaya, saya tenang. Kalau saya
percaya dan bisa tidak percaya, saya tenang. Tapi saya tidak percaya dan tidak bisa tidak percaya,
jadi saya tidak tenang. Tapi juga kalau saya tenang, tak akan pernah ada sandiwara ini
EUIS
Akang
JUMENA
Euis
EUIS
Apa yang akang lihat?
JUMENA
Kau
EUIS
Kenapa?
JUMENA
Ingin tahu apa kau betul-betul cantik
EUIS
Kenapa, Akang?
(Jumena Memainkan Bulu Matanya Sendiri)
Kenapa tiba-tiba muram, Akang?
JUMENA (Manja-tua)
Umur Euis berapa?
EUIS
Dua enam
JUMENA
Itulah sebabnya!
EUIS
Percayalah akang. Euis akan tetap mencintai akang sekalipun umur akang delapan puluh tiga
tahun
JUMENA
Betul?
EUIS
sumpah
JUMENA
Kalau delapan lima?
EUIS
Cinta
JUMENA
Seratus tahun?
EUIS
Euis akan tetap menciumi leher akang
JUMENA
Kalau saja saya tahu kau betul-betul mencintai saya
EUIS
Euis sangat cinta pada akang
JUMENA
Menyenangkan sekali kalau itu benar
EUIS
Betul Euis mencintai akang
JUMENA
Mungkin, saying akang tidak tahu persis
EUIS
Tidak perlu
JUMENA
Perlu. Bahkan akang juga ingin tahu apa betul akang bahagia
(Terus mereka berciuman dan tertawa-tawa)
Sesekali enak juga berhibur seperti ini
JUMENA (Kesal-sedih)
Kenapa kau rusak sendiri? Kenapa kau berubah? Lenyapkan itu
Siapa bilang aneh? Semua ini mungkin saja terjadi. Tuhan, kenapa justru saya merasakan sesuatu
semacam kenikmatan dengan segala pikiran-pikiran ini? Kau jebak saya, Tuhan. Kau jebak saya.
Tega. Kau! (lalu mulai dengan pikirannya) saya kira mula-mula istri saya…. (Agak lama) Ya,
mula-mula istri saya akan berlaku seperti bidadari
Mungkin saja….
EUIS (Gemetar)
Tidak mungkin Juki
JUKI
Mungkin saja
EUIS (Gemetar)
Tidak mungkin. Saya tidak bisa meninggalkan dia
JUKI
Segalanya mungkin. Tidak ada tidak mungkin
EUIS
Hati saya mulai bersuara lagi
JUKI
Kalau begitu kau sedang membunuh dirimu sendiri. Apa kamu merasa sedang dihukum? Apa
ayahmu sedang melecutmu?
EUIS
Dada saya bergetar sangat kencangnya
JUMENA
Kalimat-kalimat ini berasal dari syahwat
EUIS
Kau dengar anjing yang melolong itu?
JUKI
Bukankah suara itu suara kita sendiri? Anjing yang melolong dan menggonggong? Bulan yang
kuning
JUMENA
….suara-suara kesepian yang baka dan purba…
JUKI
Euis
JUKI
Dan saya?
JUMENA
Setiap kali dia berlebihan menciumi saya, terasa ciuman itu sebagai niat pembunuhan
JUMENA
Apa yang akan ia lakukan?
EUIS (Mengejar)
Marjuki!
JUMENA
Saya kira begitu
JUKI
Euis, musuh kita selama ini adalah perasaan. Kita harus memusnahkannya. Membunuhnya sama
sekali. Kedua orang tua saya mati karena perasaan mereka sendiri. Mereka bangkrut karena
mereka terlalu mencintai paman saya. Dan akhirnya mereka mati sebelum mati. karena saya tahu
betul kejadian itu, tentu saja saya tidak mau bernasib sama seperti mereka. Saya harus menang
terhadap perasaan saya dank au pun harus menang terhadap perasaanmu
EUIS
Tapi bagaimana pun dia suami saya
JUKI
Dan saya?
EUIS MENGGIGIT IBU JARINYA SENDIRI YANG KIRI
JUMENA
Apa yang diharapkan perempuan sebenarnya?
EUIS
Seorang suami yang mencintainya…
JUMENA
Saya sangsi…
JUKI
Dan sekalipun dia seorang perempuan atau banci? Tidak, sayang. Seorang perempuan selamanya
hanyalah mengharapkan seorang laki-laki. Kalau tidak, pasti bukan perempuan. (Mendekat)
lihatlah saya. Seorang laki-laki. Seluruhnya seratus persen
JUMENA
Kenapa membersit pikiran-pikiran seperti ini? Enyah! Enyah!
JUKI
Saya yakin ketika kau sendirian dalam kamar, kau sering duduk-duduk di muka cermin, dan kau
tentu sangat suka berbicara pada dirimu dalam cermin
JUKI
Kau tahu siapa yang membantah itu?
JUMENA (Melanjutkan)
Itulah musuhmu selama ini
JUKI
Perasaanmu!
EUIS
Tapi kalau itu kita kerjakan berbahaya. Lagi, kenapa kita harus…
JUKI
Bahaya harus berani kita tempuh kalau kita sungguh-sungguh menghendaki kepuasan dalam hidup
kita
EUIS
Saya kira saya sudah cukup puas. Saya kira cukup itu…
JUKI
Euis, kau bisa gila karena kelemahanmu. Kau jangan cepat puas. Apa yang kita kecap dalam
beberapa hari ini hanya sebagian kecil saja dari sukses. Kita belum mendapatkan semuanya.
Jangan takut pada diri sendiri. Persetan itu hati nurani. Diri sendiri adalah milik kita sendiri. Kita
harus bebas. Bebas seperti malam-malam dahulu ketika suamimu pergi ke Tasikmalaya. Malam-
malam ketika alam yang murni mempertontonkan dirinya, di mana kita menjadi putra-puteri alam
sejati, terbuka dan merdeka
Suara kecapi di kejauhan, sayup dibawa angina sesekali. Jumena memejamkan mata
JUKI
Di tepi sebuah parit, raja berjongkok akan melaksanakan hajat besarnya. Tapi baru saja
berjongkok, baginda marah-marah dengan dahsyat, sebab baginda melihat seonggok najis kampul-
kampul lewat di bawah anusnya
JUMENA
Apa dia juga berdongeng seperti saya?
JUKI
Maka tatkala dilaporkan bahwa najis yang terombang-ambing itu adalah najis Abunawas,
dipanggilnya Abunawas, “Abunawas!”
JUMENA
“Hamba, Tuanku”
JUKI
“Bukankah kau bersalah?”
JUMENA
Bahkan sebaliknya tuanku”
JUKI
“Ha?” Mata raja melotot
JUMENA
“Bahkan sebaliknya tuanku”
JUKI
“Hamba ingin menang sebagai pemuja nomor wahid paduka” Kata Abu Nawas “Saksikanlah kini,
tuanku raja, sekarang terbuktilah bahwa Abunawas si warga Baghdad yang paling takjim
hormatnya. Tidak saja orangnya suka mengiring ke mana gbaginda pergi, bahkan najisnya pun
mengiring najis rajanya”
Lucu?
EUIS
Sangat amat lucu
JUKI
Tidakkah Abunawas seorang yang cerdik?
EUIS
Cerdik sekali. Raja kecerdikan
JUKI
Ya, dan kecerdikan bukan berasal dari perasaan, tetapi dihasilkan oleh kepala dan pikiran. Kau
mengerti?
JUMENA
Kejadian seperti ini adalah mungkin dan tidak mungkin. Bagaimana saya harus menaruh
kepercayaan kepada orang? Ah, lebih baik duduk-duduk di teras
EUIS
Saya mengerti
JUKI
Kau ahrus betul-betul berani. Berani seperti malam-malam itu
EUIS
Saya betul-betul berani sekarang. Saya kira Abunawas adalah guru kita
JUKI
Masih kau merasa bersalah?
EUIS
Tidak. Saya yakin suami sayalah yang bersalah
JUMENA
Kalau saja dia berani nyerocos seperti itu
JUKI
Kenapa kau bilang begitu?
EUIS
Dia perakus. Mata duitan