Dosen Pengampu:
Rahmani, M.Sn.
Disusun Oleh:
Kelompok 1
Zahratun Nida
BANJARMASIN
2019
KATA PENGANTAR
Penyusun memanjatkan puji syukur kehadirtat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-
Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah dengan tepat waktu. Makalah yang
penyusun buat ini tentang “SENI TEATER KALIMANTAN SELATAN”. Harapan penyusun
semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca. Tidak lupa
penyusun juga mengucapkan terimakasih untuk semua pihak yang telah membantu penyusun
sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Teater. Pada masa sekarang hanya sedikit orang yang bisa mengapresiasi dan tertarik pada
karya seni ini. Padahal ada banyak nilai-nilai dan manfaat yang bisa diambil dari sebuah teater.
Untuk para pemain, kebersamaan, kerja keras, pengelolaan emosi, kreativitas, olah fisik dan
mental sangatlah lekat dengan teater. Dan untuk para penikmat, nilai kebudayaan, moral, estetika,
logika, kepekaan akan plot dan visual, serta hiburan inspiratif dan masih banyak lagi. Namun
sangat disayangkan, dewasa ini budaya perteateran dan seni panggung sudah amat tertinggal dan
dilupakan masyarakat. Seperti halnya perwayangan, teater memiliki banyak cabang dan cara untuk
menyampaikan pesannya masing-masing.
PEMBAHASAN
Merupakan salah satu jenis kesenian Banjar, dimana teater sendiri asing bagi Urang Banjar
dan termasuk baru. Dimana teater sendiri hanya dikenal oleh orang dari perkotaan dan terpelajar,
sedangkan pada tahun 1960-an lebih dikenal sebagi sandiwara baru setelah itu muncul istilah
drama. Teater Banjar sendiri terbagi menjadi dua jenis, yaitu teater tradisi rakyat dan teater tutur,
teater tutur lebih dikenal sebagai seni sastra lisan. Macam seni teater, yaitu:
2.1.1 Damarwulan
Sebelum melakukan pementasan, orang-orang yang akan terliat dalam pementasan akan
melakukan suatu ritual khusus yang bertujuan untuk memohon agar pementasan dapat berjalan
dengan lancar. Ritual yang diadakan diisi dengan sesaji berupa 41 macam kue-kue khas Banjar
dan tepung tawar.
Teater Wayang Kulit adalah salah satu seni teater suku Banjar yang masih berasal dari
kebudayaan jawa tetapi cerita disadur dari kebudayaan hindu. Wayang tertua adalah wayang purwa
yang kemudian setelah dikembangkan sehingga menjadi beberapa jenis wayang di Kalimantan
Selatan. Teater wayang kulit sendiri dipentaskan pada masa kerajaan Negara Dipa dimana pada
zaman kerajaan ini, kerajaan Islam belum masuk ke Banjarmasin sehingga cerita yang masih
disadur dari kebudayaan Hindu masih dapat diterima oleh masyarakat. Ada beberapa jenis teater
wayang yang sering dipertunjukkan pada kerajaan Negara Dipa seperti bawayang gung,
manopeng, bawayang gadongan, bawayang purwa, babaksan, dan masih banyak lagi.
Teater wayang kulit sendiri merupakan kegiatan upacara dan diadakannya selalu setiap
malam hari karena dianggap ketika malam hari arwah leluhur sedang berkelana. Penyajian teater
ini juga melalui bayang-bayang. Karena masih sangat erat dengan hal-hal spiritual biasanya pada
wayang sampir yang menitik beratkan pada nazar atau hajatan. Pada pertunjukkan ini sendiri
dalang berperan sebagai pemimpin upacara, sebelum dimulai juga terdapat 41 jenis jajan pasar kue
tradisional banjar yang digunakan sebagai sajian atau sajen dan juga terdapat beras ketan, gula
habang, nyiur, benang jarum, dan duit receh yang nantinya akan digantung dipanggung pergelaran
wayang dan semuanya dimasukkan secara acak.
Wayang ini masih eksis di beberapa daerah seperti huu sungai selatan dan hulu sungai
tengah. Dulunya wayang masih meniru dari kebudayaan jawa kemudian lebih disesuaikan dengan
keadaan masyarakat banjar sehingga lebih diterima dengan baik oleh masyarakat banjar. Wayang
kulit banjar memiliki perbedaan dengan wayang kulit jawa. Bisa dilihat dari bentuk wayangnya,
lagu gamelan pengiring, dan juga cara memainkan yang sungguh-sungguh memiliki nilai krosial
dan esensial. Lakon teater yang terkenal adalah lakon carang atau bukan cerita pakem namun cerita
yang diambil dari kisah mahabarata, dimana lakonnya memiliki misi perilaku yang baik dan jahat
dalam laku simbolik.
Wayang Banjar adalah wayang kulit berbahan baku kulit binatang yang dikenal dan
berkembang di masyarakat Kalimantan Selatan. Secara fisik, dibandingkan dengan wayang
kulit Jawa, wayang kulit Banjar berukuran lebih kecil, atau lebih mendekati ukuran wayang
kulit Bali.
Dari segi musik, ritme gamelan yang mengiringi wayang kulit Banjar cenderung lebih
keras dan cepat. Wayang ini juga tidak memiliki waranggana atau perempuan-perempuan yang
terlibat dalam pertunjukan dengan menyanyikan lagu atau gending seperti pada wayang kulit
Jawa.
Pada umumnya gamelan wayang kulit Banjar terbuat dari besi, tidak seperti gamelan
wayang kulit Jawa yang rata-rata menggunakan bahan logam perunggu. Pada tahun 1900,
gamelan Banjar mini sudah berkembang, terbuat dari bahan baja dan besi, terdiri dari sarun
satu, sarun dua (sarantam), kanung, dan dawu serta agung kecil dan agung besar. Ditambah
kangsim gendang atau babun yang terdiri dari babun besar dan kecil.
Babun besar berfungsi untuk mengiringi wayang kulit dan wayang gung, sementara
babun kecil sebagai musik selingan mengiringi tembang dan tarian baksa atau topeng. Penonton
wayang kulit di Kalimantan Selatan lebih sering berada di belakang kelir (layar) sehingga yang
ditonton adalah bayangan wayang tersebut. Berbeda dengan wayang kulit Jawa yang langsung
ditonton dari atas panggung.
Menurut hikayat Banjar, seni wayang sudah mulai tumbuh dan berkembang dikerajaan
Negara Dipa dan merupakan jenis kesenian yang biasa dipertunjukkan di kerajaan itu.
Berhubungan dengan seni pertunjukan wayang, ada anggapan kalau pada awalnya sebagian
masyarakat menjadikan pertunjukan wayang sebagai semacam pertunjukan upacara yang bias a
disebut dengan istilah syamanisme. Dan hal ini didukung oleh penelitian yang menyatakan
kalau kebanyakan suku-suku di kepulauan nusantara memang memiliki kebiasaan melakukan
upacara syaman. Jadi tidak mengherankan kalau pertunjukan wayang suku Banjar menjadi
berbentuk kegiatan upacara yang pementasannya diadakan pada malam hari dengan anggapan
roh-roh nenek moyang berkelana pada saat itu.
Kesenian wayang kulit Banjar baru memasukkan warna lokal pada masakerajaan Islam
Banjarmasin. Dan hal ini mendapat sambutan yang bagus dari masyarakat Banjar. Sebelum
masuknya pengaruh Islam, penyajian wayang kulit masih meniru penyajian dalang Jawa. Cerita
wayang kulit Banjar kemudian beradaptasi dan menjadi seni pertunjukan khas, yang memiliki
perbedaan dengan wayang kulit Jawa baik dari segi bentuk wayang, lagu gamelan p enggiring,
atapun cara memainkannya. Wayang kulit Banjar benar-benar mempunyai nilai-nilai krusial
dan esensial.
Pertunjukan wayang kulit Banjar menggunakan cerita atau lakon “carang” yang berarti
bukan cerita pakam (pakem). Ceritanya bersumber pada cerita Mahabharata, yang dalam
perlakonan selalu membawa misi perilaku karakter yang baik dan yang jahat dalam aksi laku
simbolik. Sementara teknis penyajian wayang kulit Banjar dalam lakon carangan lebih
berfungsi sebagai tontonan.
Dalam pementasannya, wayang kulit Banjar menggunakan bahasa Banjar karena ada
kecenderungan hilangnya aspek seni jika menggunakan bahasa Indonesia.
2.1.3 Wayang Gung
Teater Wayang Gung adalah seni teater yang memiliki fungsi sama dengan fungsi yang
lain yaitu sebagai pertunjukkan untuk hiburan. Teater wayang gung lahir setelah wayang orang
banjar sudah berkembang jauh baik dalam cerita maupun pergelarannya. Wayang orang sendiri
lebih bagaimana lakon itu melakonkan kisah syair diluar pakem yang ada, tapi wayung gung
sendiri merupakan kreasi yang ingin mengangkat kembali kesenian wayang ditengah masyarakat
Banjar. Wayang gung sendiri diawali dengan adanya wayang orang yang menampilkan cerita syair
abdul muluk dari melayu atau bada muluk juga badamar wulan, kemudian melahirkan dua bentuk
yaitu abdul muluk cabang atau abdul muluk. Pakaiannya menggunakan cabang kuluk atau
katupong yang kemudian disebut wayyang gung. Wayang gung yang lain disebut kuda gepang
cerita dan tari kuda gepang. Pencipta wayang gung adalah Dalang Kuda dan Dalang Mastora.
Cerita wayang gung adalah cerita dari ramayana yang kemudian diadaptasi dengan menyesuaikan
kedalam tata nilai masyarakat banjar. Pemantasannya menggunakan serobong ditanah yang agak
lapang seperti pekarangan datar dan penontonnya berada disekelilingnya. Pementasannya dengan
menggunakan 2 dalang yang menjadi dalang pembayan, dan dalang sejati. Pementasan ini
diselenggarakan pada malah hari dan biasanya pada acara seperti pengantinan.
2.1.4 Lamut
Lamut adalah sebuah tradisi berkisah yang berisi cerita tentang pesan dan nilai-nilai
keagamaan, sosial dan budaya Banjar. Lamut merupakan seni cerita bertutur, seperti wayang
atau cianjuran. Bedanya, wayang atau cianjuran dimainkan dengan seperangkat gamelan dan
kecapi, sedangkan lamut dibawakan dengan terbang, alat tabuh untuk seni hadrah.
Mereka yang baru melihat seni lamut selalu mengira kesenian ini mendapat pengaruh dari
Timur Tengah. Pada masa Kerajaan Banjar dipimpin Sultan Suriansyah, lamut hidup bersama
seni tutur Banjar yang lain, seperti Dundam, Madihin, Bakesah, dan Bapantun.
Pelaksanaan Lamut akan dilakukan pada malam hari mulai pukul 22.00 sampai pukul
04.00 atau menjelang subuh tiba. Pembawa cerita dalam Lamut ini diberi julukan Palamutan.
Pada acara, Palamutan dengan membawa terbang besar yang diletakkan di pangkuannya duduk
bersandar di tawing halat (dinding tengah), dikelilingi oleh pendengarnya yang terdiri dari tua-
muda, laki-perempuan. Khusus untuk perempuan disediakan tempat di sebelah dinding tengah
tadi.
Lamut berasal dari negeri China, bahasanya pun semula menggunakan bahasa Tionghoa
kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Banjar. Datangnya lamut di tanah Banjar kira-kira pada
tahun 1816 yang dibawa oleh para pedagang Tionghoa ke Banjar hingga ke Amuntai, konon
orang-orang dulu sangat menyukainya karena lamut membawa cerita yang sangat banyak dan
merupakan cerita pengalaman di banyak negeri yang disampaikan secara bertutur[1].
Ceritanya, di Amuntai, Raden Ngabe bertemu pedagang China pemilik kapal dagang
Bintang Tse Cay. Dari pedagang itulah ia pertama kali mendengar alunan syair China. Dalam
pertemuan enam bulan kemudian, Raden Ngabe mendapatkan salinan syair China tersebut.
Sejak itulah Raden Ngabe mempelajari dan melantunkannya, tanpa iringan terbang.
Lamut mulai berkembang setelah warga minta dimainkan setiap kali panen padi berhasil baik.
Ketika kesenian hadrah masuk di daerah ini, Lamut mendapat iringan terbang.
Seni bertutur itu disebut lamut karasmin karena menjadi hiburan pada perkawinan, hari
besar keagamaan, maupun acara nasional. Lamut juga digunakan dalam proses batatamba
(penyembuhan penyakit). Orang yang punya hajat dan terkabul biasanya juga mengundang
palamutan. Kata "lamut", konon berasal dari bahasa Arab, laamauta ( )ﻻﻤﻭﺕyang artinya tidak
mati.
Macam-macam Lamut
Lamut Batatamba
Lamut Batatamba (Lamut pengobatan) berfungsi sebagai pengobatan, misalnya untuk anak yang
sakit panas yang tidak sembuh-sembuh, atau ada orang yang sulit melahirkan dan lain-lain.
pertunjukan lamut batatamba haus disertai dengan sejumlah persyaratan, yaitu piduduk yang
terdiri dari perangkat piduduk (sesaji), kemenyan atau perapin (dupa), beras kuning, garam,
kelapa utuh, gula merah, dan sepasang benang-jarum. Setelah itu dilakukan tepung tawar dengan
mahundang-hundang (mengundang) roh halus, membacakan doa selamat, dan memandikan air
yang telah didoakan kepada si sakit.
Lamut Baramian
Lamut Baramian (Lamut Hiburan) biasa dihadirkan untuk mengisi acara perkawinan, syukuran,
khitanan dan acara hiburan lainnya.
Bila pada wayang ada tokoh punakawan yang terdiri dari Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong,
pada Lamut tokohnya adalah Paman Lamut serta tiga anaknya; Anglung, Angsina, dan Labai
Buranta. Sedangkan ceritanya sudah berpakem seperti wayang purwa, tentang kerajaan yang
dipimpin Prabu Awang Selenong.
Meski tokoh dan pakem cerita lamut tertentu, pengembangan cerita tetap dimungkinkan sesuai
kemampuan si pelamutan dalam meramu. Ramuan cerita itu bisa disadur dari kisah Panji, Andi-
andi, atau Tutur Candi, bahkan cerita 1.001 malam. Kisah juga bisa menjadi dramatis dengan
lakon yang gagah berani atau romantis.
Masyarakat Banjar paling mengharapkan kisah percintaan antara Junjung Masari dan Kasan
Mandi. Para penonton hanyut ketika mendengar kisah percintaan kedua tokoh itu dalam syair
pantun bahasa Banjar.
Lamut juga digemari warga keturunan Tionghoa di Banjarmasin. Mereka kerap minta lamut
dimainkan saat hendak sembahyang di Pulau Kembang di tengah Sungai Barito di Banjarmasin.
Fungsi Lamut
Lamut berfungsi :
Sebagai media dakwah agama Islam dan muatan pesan–pesan pemerintah atau pesan dari
pengundang Lamut.
Sebagai hiburan
Manyampir, yaitu tradisi bagi keturunan palamutan.
Hajat seperti untuk tolak bala atau doa selamat pada acara kelahiran anak, khitanan atau
sunatan, mendapat rejeki. Menurut kepercayaan, kalau menyampir dan hajat ini tidak
dilaksanakan maka akan membuat mamingit yakni menyebabkan sakit bagi yang
bersangkutan.
Sebagai pendidikan terutama mengenai tata krama kehidupan masyarakat Banjar.
Biasanya petatah petitih berupa nasihat, petuah atau bimbingan moral.
2.1.5 Mamanda
Mamanda adalah seni teater atau pementasan tradisional yang berasal dari Kalimantan
Selatan. Dibanding dengan seni pementasan yang lain, Mamanda lebih mirip dengan Lenong dari
segi hubungan yang terjalin antara pemain dengan penonton. Interaksi ini membuat penonton
menjadi aktif menyampaikan komentar-komentar lucu yang disinyalir dapat membuat suasana
jadi lebih hidup.
Bedanya, Kesenian lenong kini lebih mengikuti zaman ketimbang Mamanda yang
monoton pada alur cerita kerajaan. Sebab pada kesenian Mamanda tokoh-tokoh yang dimainkan
adalah tokoh baku seperti Raja, Perdana Menteri, Mangkubumi, Wazir, Panglima Perang,
Harapan Pertama, Harapan kedua, Khadam (Badut/ajudan), Permaisuri dan Sandut (Putri).[1]
Tokoh-tokoh ini wajib ada dalam setiap Pementasan. Agar tidak ketinggalan, tokoh-tokoh
Mamanda sering pula ditambah dengan tokoh-tokoh lain seperti Raja dari Negeri Seberang,
Perompak, Jin, Kompeni dan tokoh-tokoh tambahan lain guna memperkaya cerita.
Disinyalir istilah Mamanda digunakan karena di dalam lakonnya, para pemain seperti
Wazir, Menteri, dan Mangkubumi dipanggil dengan sebutan pamanda atau mamanda oleh Sang
Raja. Mamanda secara etimologis terdiri dari kata "mama" (mamarina) yang berarti paman
dalam bahasa Banjar dan “nda” yang berarti terhormat. Jadi mamanda berarti paman yang
terhormat. Yaitu “sapaan” kepada paman yang dihormati dalam sistem kekerabatan atau
kekeluargaan.
Seni drama tradisional Mamanda ini sangat populer di kalangan masyarakat kalimantan
pada umumnya. Bahkan, beberapa waktu silam seni lakon Mamanda rutin menghiasi layar kaca
sebelum hadirnya saluran televisi swasta yang turut menyaingi acara televisi lokal. Tak heran
kesenian ini sudah mulai jarang dipentaskan.
Dialog Mamanda lebih kepada improvisasi pemainnya. Sehingga spontanitas yang terjadi
lebih segar tanpa ada naskah yang mengikat. Namun, alur cerita Mamanda masih tetap
dikedepankan. Disini Mamanda dapat dimainkan dengan naskah yang utuh atau inti ceritanya
saja.
Asal muasal Mamanda adalah kesenian Badamuluk yang dibawa rombongan Abdoel
Moeloek dari Malaka tahun 1897. Dulunya di Kalimantan Selatan bernama Komedi Indra
Bangsawan. Persinggungan kesenian lokal di Banjar dengan Komedi Indra Bangsawan
melahirkan bentuk kesenian baru yang disebut sebagai Ba Abdoel Moeloek atau lebih tenar
dengan Badamuluk. Kesenian ini hingga saat ini lebih dikenal dengan sebutan mamanda.
Bermula dari kedatangan rombongan bangsawan Malaka (1897 M) yang dipimpin oleh
Encik Ibrahim dan isterinya Cik Hawa di Tanah Banjar, kesenian ini dipopulerkan dan disambut
hangat oleh masyarakat Banjar. Setelah beradaptasi, teater ini melahirkan sebuah teater baru
bernama "Mamanda".
Mamanda mempunyai dua aliran. Pertama adalah Aliran Batang Banyu yang hidup di
pesisir sungai daerah Hulu Sungai yaitu di Margasari. Sering juga disebut Mamanda Periuk.
Kedua adalah Aliran Tubau yang bermula tahun 1937 M. Aliran ini hidup di daerah Tubau,
Rantau. Sering dipentaskan di daerah daratan. Aliran ini disebut juga Mamanda Batubau. Aliran
ini yang berkembang di Tanah Banjar.
Sekarang ini Mamanda mulai terpinggirkan oleh kesenian modern. Bahkan mungkin,
hanya sedikit generasi muda yang tahu kesenian ini. Jika kesenian asli daerah seperti Mamanda
tak lagi mendapat perhatian generasi muda, jangan heran nantinya benar-benar punah.
Keberadaan kesenian bertutur seperti Mamanda Kecamatan Paringin Selatan dan Wayang
Gong di Kecamatan Juai, Kabupaten Balangan sudah sekarat. Kesenian, yang dulu jadi sarana
warga mendapatkan hiburan sekaligus informasi, nyaris mati karena kurang mendapat apresiasi
masyarakat.
Abdul Syukur, pelaku teater dan sastra Banjarmasin, mengatakan dulu saat ada
Departemen Penerangan, kesenian bertutur lebih terangkat karena sering diminta tampil
menyampaikan program Pemerintah, terutama di kalangan pedalaman. Tapi sekarang makin
jarang sehingga banyak masyarakat jadi kurang mengenal.
Kendati begitu, kata dia, perlu adanya modifikasi agar kesenian tersebut dapat diterima
semua kalangan lagi. Misalnya bahasa yang digunakan tidak melulu bahasa daerah setempat
tetapi dengan bahasa Indonesia.
Seni Teater merupakan salah satu jenis kesenian Banjar, dimana teater sendiri asing bagi
Urang Banjar dan termasuk baru. Dimana teater sendiri hanya dikenal oleh orang dari perkotaan
dan terpelajar, sedangkan pada tahun 1960-an lebih dikenal sebagi sandiwara baru setelah itu
muncul istilah drama. Teater Banjar sendiri terbagi menjadi dua jenis, yaitu teater tradisi rakyat
dan teater tutur, teater tutur lebih dikenal sebagai seni sastra lisan.