Anda di halaman 1dari 5

SEJARAH SENI TEATER

Dalam sejarah dunia, teater muncul sekitar abad ke-6 SM dari bangsa Yunani kuno yang telah
mempunyai seni pertunjukan yang disebut drama. Pertunjukan drama berasal dari upacara
keagamaan dalam bentuk pemujaan kepada Dewa Anggur bernama Dionysus. Teater pada
zaman Yunani Kuno biasanya dipertunjukkan secara umum di sebuah tempat yang bernama
theatron. Theatron merupakan bangunan khusus untuk pertunjukan drama, terbuka tanpa atap,
dan dibangun di lereng-lereng bukit.

Di Italia, seni teater berkembang sangat pesat dan mengalami masa kejayaan, baik dari segi
panggung, penambahan dekorasi, maupun penambahan ornamen serta layar pada tempat
pertunjukan sehingga melahirkan teater modern. Berbeda dengan zaman Yunani, penonton
teater di Italia terbatas pada kalangan tertentu, yaitu kalangan bangsawan.

Teater di Indonesia
Sementara itu di Indonesia, seni pertunjukan seperti teater sudah muncul sejak lama. Teater
Indonesia atau teater Nusantara ini mencakup teater tradisional yang berasal dari daerah-
daerah yang ada di Indonesia. Misalnya, ketoprak dari Jawa, mak yong dari Riau, dan drama
gong dari Bali. Pada awalnya, teater tradisional ini dijadikan sebagai upacara keagamaan.
Namun, seiring berkembangnya zaman, beberapa teater tradisional menjadi sebuah
pertunjukan untuk tontonan saja.

Selanjutnya, memasuki abad ke-20 teater nusantara mengalami perubahan sehingga


muncul teater modern. Teater modern ini merupakan teater yang dipengaruhi oleh teater
tradisional dan teater barat. Dengan adanya pengaruh dari barat, bentuk pertunjukan teater
modern jauh berbeda dengan teater tradisional.

Perbedaan tersebut antara lain terlihat dari cerita yang disuguhkan, penataan panggung, dan
penataan cahaya. Munculnya teater modern pun memunculkan kelompok-kelompok teater
modern antara lain Teater Populer, Teater Kecil, Teater Koma, Bengkel Teater, Studiklub Teater
Bandung, Teater Payung Hitam, dan Teater Gandrik.

PERKEMBANGAN SENI TEATER


Tradisi teater sudah ada sejak dulu dalam masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dengan sudah
adanya teater tradisional di seluruh wilayah tanah air. Fungsi teater pada saat itu adalah sebagai
:

1. memanggil kekuatan gaib

2. menjemput roh pelindung untuk hadir di tempat pertunjukan

3. memanggil roh baik untuk mengusir roh jahat

4. peringatan nenek moyang dengan mempertontonkan kegagahan/kepahlawanan

5. pelengkap upacara

Teater Rakyat (tradisional)


Teater tradisional atau Teater Rakyat lahir di tengah-tengah rakyat dan masih menunjukkan
kaitan dengan upacara adat dan keagamaan. Artinya pertunjukan hanya dilaksanakan dalam
kaitan dengan upacara tertentu, seperti khitanan, perkawinan, selamatan dan sebagainya. Yang
menanggung semua pembiayaan adalah yang punya hajat dan dapat ditonton gratis oleh
undangan dan masyarakat. Tempat pertunjukan dapat dimana saja; halaman rumah, kebun,
balai desa, tanah lapang dan seterusnya. Contoh-contoh teater rakyat adalah sebagai berikut :

1) Makyong dan Mendu di daerah Riau dan Kalimantan Barat

2) Randai dan Bakaba di Sumatera Barat

3) Mamanda dan Bapandung di Kalimantan Selatan

4) Arja, Topeng Prembon, dan Cepung di Bali

5) Ubrug, Banjet, Longser, Topeng Cirebon, Tarling, dan Ketuk Tilu di Jawa Barat

6) Ketoprak, Srandul, Jemblung, Gatoloco di Jawa Tengah

7) Kentrung, Ludruk, Ketoprak, Topeng Dalang, Reyog, dan Jemblung di Jawa Timur

8) Cekepung di Lombok

9) Dermuluk di Sumatera Selatan dan Sinlirik di Sulawesi Selatan

10) Lenong, Blantek, dan Topeng Betawi di Jakarta

11) Randai di Sumatera Barat


Teater Klasik (keraton)
Sifat teater ini sudah mapan, artinya segala sesuatunya sudah teratur, dengan cerita, pelaku
yang terlatih, gedung pertunjukan yang memadai dan tidak lagi menyatu dengan kehidupan
rakyat (penontonnya). Lahirnya jenis teater ini dari pusat kerajaan. Sifat feodalistik tampak
dalam jenis teater ini. Para seniman dihidupi oleh raja dengan menjadi pegawai kerajaan yang
mendapat tugas religius dan tugas mengangkat kebesaran atau kemuliaan sang raja. Contohnya
Wayang Kulit, Wayang Orang, Wayang Golek, dan Langendriya. Ceritanya statis, tetapi memiliki
daya tarik berkat kreatifitas dalang atau pelaku teater tersebut dalam menghidupkan lakon.

Teater Modern
Teater modern merupakan teater yang bersumber dari teater tradisional, tetapi gaya
penyajiannya sudah dipengaruhi oleh teater Barat. Jenis teater seperti Komedi Stambul,
Sandiwara Dardanela, Sandiwara Srimulat, dan sebagainya merupakan contoh teater modern.
Dalam Srimulat sebagai contoh, pola ceritanya sama dengan Ludruk atau Ketoprak, jenis
ceritanya diambil dari dunia modern. Musik, dekor, dan properti lain menggunakan teknik Barat.

Dari contoh-contoh di atas, nyatalah bahwa teater sudah membudaya dalam kehidupan bangsa
kita. Dalam teater, penonton tidak hanya disuguhi pengetahuan tentang baik/buruk, dan
indah/jelek, tetapi ikut menyikapi dan melihat action. Kalau mungkin, jika siswa-siswa berteater,
mereka melaksanakan tiga matra tujuan mengajar menurut Bloom, yaitu kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Sebab itulah penggunaan teater dalam media pendidikan semakin populer.

Menurut Sumardjo periodisasi teater modern adalah :

1) Masa Perintisan (1885-1925)

- Teater Bangsawan (1885-1902)

- Teater Stamboel (1891-1906)

- Teater Opera (1906-1925)

2) Masa Kebangkitan (1925-1941)

- Teater Miss Riboet’s Oreon (1925)

- Teater Dardanela opera (1926-1934)


- Awal teater modern di Indonesia (1926)

3) Masa perkembangan (1942-1970)

- Teater zaman Jepang

- Teater tahun 1950-an

- Teater tahun 1960-an

4) Masa Teater mutakhir (1970-1980-an)

Akhir-akhir ini banyak keluhan karena bengkrutnya group-group teater tradisional. Di zaman
modern ini para pengelola group kesenian dituntut kemampuan yang lebih canggih, tidak hanya
kemampuan dalam bidang kesenian atau penyutradaraan. Kemampuan manajemen
perusahaan, kemampuan pemasaran, kemampuan psikologi massa untuk membaca selera
penonton sangat diperlukan. Seniman-seniman teater tradisional kini juga sudah semakin
sedikit jumlahnya karena ditinggalkan oleh mereka yang senior. Nama-nama besar seperti Cokro
Jiyo, Markuat, Atmonadi, Basiyo, Narto Sabdo, dan sebagainya kini telah tiada. Siswo Budoyo
dengan Siswondo dan Jusuf Agil juga mengalami kehancuran karena dua tokoh itu telah tiada.

Kini kita berpaling ke drama-drama modern yang menggunakan naskah. Kiranya sukses drama
tradisional dalam kemandiriannya tidak dapat diwarisi oleh grup-grup drama modern.
Walaupun begitu kehadiran mereka dalam khasanah sastra Indonesia merupakan fenomena
yang tidak dapat dilupakan. Kita kenal nama-nama besar seperti Bengkel Teater, Teater Populer,
Teater Starka, Teater Alam, dan sebagainya. Profesionalisme dalam berkesenian belum cukup
untuk menjawab tantangan jaman. Dibutuhkan pengelola keuangan dan organisator yang
mampu memanjangkan nafas hidup group-group teater modern. Paling tidak teater modern
membutuhkan impresario atau tokoh semacam itu.

Di berbagai kota, banyak dramawan-dramawan muda yang masih memiliki idealisme tinggi
meneruskan kegiatan berteater meskipun secara finansial tidak menjajikan perbaikan nasib. Di
Surakarta, kehidupan Taman Budaya Surakarta (TBS) dimotori oleh dramawan-dramawan muda,
seperti Hanindrawan, Sosiawan Leak, dan dramawan-dramawan muda dari 9 fakultas di UNS,
serta dari perguruan tinggi lain di Surakarta.

Teater-teater sekolah marak tumbuh. Begitu juga teater di perguruan tinggi. Setiap fakultas
biasanya memiliki group teater karena ditunjang oleh dana kemahasiswaan yang memadai. Hal
ini menyebabkan lahirnya dramawan-dramawan muda yang penuh idealisme dan banyak
berpikir pentas yang disertai dengan diskusi-diskusi tentang drama dan teater.

Anda mungkin juga menyukai