Anda di halaman 1dari 3

Sejarah Teater Dunia

Asal mula teater atau drama yang kita kenal sekarang tidak diketahui dengan pasti,
baik tempat ataupun waktu pertama kali teater tersebut diperkenalkan. Teater
diyakini berasal dari upacara agama dari sebuah kebudayaan yang sangat primitif.
Unsur cerita yang sebelumnya hanya disebutkan secara lisan mulai dimasukan ke
dalam upacara keagamaan, sehingga dapat menampilkan semacam pertunjukan
drama. Buktinya dapat dilihat pada lukisan gua pada zaman batu di Perancis
Selatan, gambar tersebut menunjukkan seorang laki-laki yang mengenakan topeng
dan pakaian dari kulit rusa dalam sebuah gerakan tarian.
Awalnya pertunjukan berasal dari sebuah nyanyian untuk menghormati seorang
pahlawan di kuburannya. Dalam acara tersebut seseorang mengisahkan riwayat
hidup seoarang pahlawan yang sudah tiada, yang perkembangannya berlanjut pada
peragaan dalam bentuk drama. Dalam hakikatnya drama berasal dari kegemaran
manusia mendengarkan cerita yang sering diceritakan, seperti kisah kepahlawanan,
perburuan, perang, dan sebagainya, kemudian diperagakan dalam bentuk drama
atau tarian. Seperti contohnya Tarian Bison Indian yang dilakukan oleh suku Okippe
yang menirukan peristiwa perburuan bison dalam suatu tarian upacara. Kepentingan
agama atau kepercayaan dan peniruan alam menjadi awal mula drama dimainkan
untuk sebuah kepentingan.
Drama seperti yang berkembang sekarang ini berasal dari zaman Yunani Kuno yang
dibuktikan dengan temuan arkeologis dan catatan-catatan sejarah pada zaman
tersebut. Sekitar tahun 600 SM, dalam upacara-upacara agama, mereka
mengadakan festival tari dan nyanyian untuk menghormati dewa Dionysius, yakni
dewa anggur dan kesuburan. Kemudian mereka mengadakan sayembara drama
untuk menghormati dewa Dionysius tersebut. Sayembara drama diadakan pada 534
SM di Athena yang dimenangkan oleh Thespis, seorang aktor dan penulis tragedi
pertama yang terkenal di dunia. Meskipun Thespis merupakan tokoh historis, tapi
oleh bangsa Yunani Kuno dijadikan tokoh legenda.
Drama Yunani baru mengalami puncak perkembangannya sekitar tahun 400 SM.
Drama masih dipertunjukkan sebagai bagian upacara agama, terutama tragedi. Di
Athena tempat pertunjukan drama yang terkenal adalah Teater Dionysius yang
terdapat di dekat bukit Acropolis, pusat kuil kota Athena. Jenis drama yang
berkembang pada masa Yunani Kuno adalah tragedi, satir, komedi lama, dan komedi
baru.
Setelah tahun 200 SM, kegiatan berkesenian beralih dari Yunani ke Romawi, begitu
pula drama. Namun, drama-drama Romawi menjadi penting dalam sejarah karena
pengaruhnya lebih terasa kelak pada zaman Renaissance. Banyak penulis
Renaissance yang mempelajari drama-drama Yunani, lewat saduran-saduran
Romawinya, seperti William Shakespeare. Drama-drama serius kurang populer pada
masa Romawi, dan yang lebih populer adalah drama komedi, pantomim, dan
pertunjukan-pertunjukan sensasional.
Drama abad Pertengahan berkembang antara tahun 900 sampai 1500 M. Drama
tersebut lenyap dengan munculnya reformasi, sekitar tahun 1600 M, kecuali di
Spanyol. Drama-drama yang berkembang pada abad Pertengahan, di antaranya
adalah drama Liturgi yang berkembang pada 900 M sebagai bagian dari upacara
misa yang dimainkan oleh pastor, drama Cycle yang memainkan drama berdasarkan
kisah-kisah Bible, drama Miracle yang menceritakan kisah para orang suci, drama
Moral menceritakan tema kebajikan, kekayaan, kemiskinan, pengetahuan,
kebodohan, dan sebagainya, drama Farce, dan drama Interlude.
Sejarah Teater Indonesia
Tradisi teater sudah ada sejak dulu dalam masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dengan sudah adanya teater tradisional di
seluruh wilayah tanah air. Fungsi teater pada saat itu adalah sebagai :
1. memanggil kekuatan gaib
2. menjemput roh pelindung untuk hadir di tempat pertunjukan
3. memanggil roh baik untuk mengusir roh jahat
4. peringatan nenek moyang dengan mempertontonkan kegagahan/kepahlawanan
5. pelengkap upacara

Teater Rakyat (tradisional)


Teater tradisional atau Teater Rakyat lahir di tengah-tengah rakyat dan masih menunjukkan kaitan dengan upacara adat dan
keagamaan. Artinya pertunjukan hanya dilaksanakan dalam kaitan dengan upacara tertentu, seperti khitanan, perkawinan,
selamatan dan sebagainya. Yang menanggung semua pembiayaan adalah yang punya hajat dan dapat ditonton gratis oleh
undangan dan masyarakat. Tempat pertunjukan dapat dimana saja; halaman rumah, kebun, balai desa, tanah lapang dan
seterusnya. Contoh-contoh teater rakyat adalah sebagai berikut :
1) Makyong dan Mendu di daerah Riau dan Kalimantan Barat
2) Randai dan Bakaba di Sumatera Barat
3) Mamanda dan Bapandung di Kalimantan Selatan
4) Arja, Topeng Prembon, dan Cepung di Bali
5) Ubrug, Banjet, Longser, Topeng Cirebon, Tarling, dan Ketuk Tilu di Jawa Barat
6) Ketoprak, Srandul, Jemblung, Gatoloco di Jawa Tengah
7) Kentrung, Ludruk, Ketoprak, Topeng Dalang, Reyog, dan Jemblung di Jawa Timur
8) Cekepung di Lombok
9) Dermuluk di Sumatera Selatan dan Sinlirik di Sulawesi Selatan
10) Lenong, Blantek, dan Topeng Betawi di Jakarta
11) Randai di Sumatera Barat

Teater Klasik (keraton)


Sifat teater ini sudah mapan, artinya segala sesuatunya sudah teratur, dengan cerita, pelaku yang terlatih, gedung pertunjukan
yang memadai dan tidak lagi menyatu dengan kehidupan rakyat (penontonnya). Lahirnya jenis teater ini dari pusat kerajaan.
Sifat feodalistik tampak dalam jenis teater ini. Para seniman dihidupi oleh raja dengan menjadi pegawai kerajaan yang
mendapat tugas religius dan tugas mengangkat kebesaran atau kemuliaan sang raja. Contohnya Wayang Kulit, Wayang
Orang, Wayang Golek, dan Langendriya. Ceritanya statis, tetapi memiliki daya tarik berkat kreatifitas dalang atau pelaku
teater tersebut dalam menghidupkan lakon.

Teater Modern
Teater modern merupakan teater yang bersumber dari teater tradisional, tetapi gaya penyajiannya sudah dipengaruhi oleh
teater Barat. Jenis teater seperti Komedi Stambul, Sandiwara Dardanela, Sandiwara Srimulat, dan sebagainya merupakan
contoh teater modern. Dalam Srimulat sebagai contoh, pola ceritanya sama dengan Ludruk atau Ketoprak, jenis ceritanya
diambil dari dunia modern. Musik, dekor, dan properti lain menggunakan teknik Barat.
Dari contoh-contoh di atas, nyatalah bahwa teater sudah membudaya dalam kehidupan bangsa kita. Dalam teater, penonton
tidak hanya disuguhi pengetahuan tentang baik/buruk, dan indah/jelek, tetapi ikut menyikapi dan melihat action. Kalau
mungkin, jika siswa-siswa berteater, mereka melaksanakan tiga matra tujuan mengajar menurut Bloom, yaitu kognitif,
afektif, dan psikomotorik. Sebab itulah penggunaan teater dalam media pendidikan semakin populer.
Menurut Sumardjo periodisasi teater modern adalah :
1) Masa Perintisan (1885-1925)
- Teater Bangsawan (1885-1902)
- Teater Stamboel (1891-1906)
- Teater Opera (1906-1925)
2) Masa Kebangkitan (1925-1941)
- Teater Miss Riboet’s Oreon (1925)
- Teater Dardanela opera (1926-1934)
- Awal teater modern di Indonesia (1926)
3) Masa perkembangan (1942-1970)
- Teater zaman Jepang
- Teater tahun 1950-an
- Teater tahun 1960-an
4) Masa Teater mutakhir (1970-1980-an)

Akhir-akhir ini banyak keluhan karena bengkrutnya group-group teater tradisional. Di zaman modern ini para pengelola
group kesenian dituntut kemampuan yang lebih canggih, tidak hanya kemampuan dalam bidang kesenian atau
penyutradaraan. Kemampuan manajemen perusahaan, kemampuan pemasaran, kemampuan psikologi massa untuk membaca
selera penonton sangat diperlukan. Seniman-seniman teater tradisional kini juga sudah semakin sedikit jumlahnya karena
ditinggalkan oleh mereka yang senior. Nama-nama besar seperti Cokro Jiyo, Markuat, Atmonadi, Basiyo, Narto Sabdo, dan
sebagainya kini telah tiada. Siswo Budoyo dengan Siswondo dan Jusuf Agil juga mengalami kehancuran karena dua tokoh
itu telah tiada.
Kini kita berpaling ke drama-drama modern yang menggunakan naskah. Kiranya sukses drama tradisional dalam
kemandiriannya tidak dapat diwarisi oleh grup-grup drama modern. Walaupun begitu kehadiran mereka dalam khasanah
sastra Indonesia merupakan fenomena yang tidak dapat dilupakan. Kita kenal nama-nama besar seperti Bengkel Teater,
Teater Populer, Teater Starka, Teater Alam, dan sebagainya. Profesionalisme dalam berkesenian belum cukup untuk
menjawab tantangan jaman. Dibutuhkan pengelola keuangan dan organisator yang mampu memanjangkan nafas hidup
group-group teater modern. Paling tidak teater modern membutuhkan impresario atau tokoh semacam itu.
Di berbagai kota, banyak dramawan-dramawan muda yang masih memiliki idealisme tinggi meneruskan kegiatan berteater
meskipun secara finansial tidak menjajikan perbaikan nasib. Di Surakarta, kehidupan Taman Budaya Surakarta (TBS)
dimotori oleh dramawan-dramawan muda, seperti Hanindrawan, Sosiawan Leak, dan dramawan-dramawan muda dari 9
fakultas di UNS, serta dari perguruan tinggi lain di Surakarta.
Teater-teater sekolah marak tumbuh. Begitu juga teater di perguruan tinggi. Setiap fakultas biasanya memiliki group teater
karena ditunjang oleh dana kemahasiswaan yang memadai. Hal ini menyebabkan lahirnya dramawan-dramawan muda yang
penuh idealisme dan banyak berpikir pentas yang disertai dengan diskusi-diskusi tentang drama dan teater. Pertanyaannya,
seberapa besar peran kita (teater kampus) dalam dunia perteateran Indonesia?

Anda mungkin juga menyukai