Teater modern sebagai budaya serapan dari Barat masuk ke Nusantara melalui bangsa Eropa,
khususnya Belanda, yang pada saat itu menguasai berbagai sektor kebudayaan masyarakat. Munculnya
teater modern ke dalam wilayah budaya Nusantara tidak sekaligus, tetapi secara bertahap melalui
bentuk-bentuk pertunjukan kelompok teater profesional.
Menurut catatan sejarah, bentuk teater Eropa yang pertama kali ditampilkan terjadi pada saat bangsa
Indonesia dikuasai oleh Inggris pada tahun 1812. Tahun 1814 baru terdapat bentuk kegiatan teater Barat
yang pertama di Batavia ketika tentara Inggris membangun gedung teater yang terbuat dari bambu.
Lakon pertama yang dipentaskan pada tahun itu adalah ”The Hair at Law”. Setelah itu, berturut-turut
dipentaskan lakon-lakon besar karya William Shakespeare seperti “Hamlet, Prince of Denmark”.
Masyarakat sekitar gedung tersebut menyebut tempat itu sebagai Gedung Teater Militer Inggris.
Ketika Inggris kalah dari Belanda, gedung teater tersebut kemudian diambil alih oleh bangsa Belanda
dan direnovasi dan menjadi cikal bakal perkembangan teater di Hindia Belanda. Perkumpulan teater
pertama yang dibentuk tahun 1817 dinamakan sebagai Ut Desint. Kelompok ini menjadi kelompok
profesional dan menjadi inspirasi bagi terbentuknya kelompok-kelompok teater profesional lainnya di
Jawa. Gedung teater peninggalan Inggris pun telah diubah pula menjadi gedung teater permanen yang
diberi nama Schouwburg atauComediegebouw, yang dalam bahasa Indonesia berarti Gedung Kesenian.
Di gedung inilah kemudian digelar sejumlah pementasan teater standar dengan gaya Eropa, serta
menampilkan karya-karya besar dunia seperti Othello dan Saudagar dari Venesia yang keduanya karya
William Shakespeare. Kelompok teater Ut Desint ini bertahan cukup lama, yakni sekitar 20 tahun. Pada
tahun 1882, teater Ut Desintberakhir karena sejumlah permasalahan politis serta pertentangan budaya di
kalangan orang-orang Belanda.
Kebangkitan teater modern di Hindia Belanda mulai lagi dengan munculnya kelompok-kelompok
teater profesional. Jakob Sumardjo mengemukakan perkembangan teater di Indonesia dalam beberapa
periode sebagai berikut.
1. Masa Perintisan Teater Modern (1885 – 1925) yang terbagi atas periode:
1. Teater Bangsawan (1885 – 1902)
2. Teater Stamboel (1891 – 1906)
3. Teater Opera (1906 – 1925)
2. Masa Kebangkitan Teater Modern (1925 – 1941) yang terbagi atas periode:
1. Teater Miss Riboet Orion (1925)
2. Teater Opera Dardanella (1926 – 1934)
3. Awal Teater Modern Indonesia (1926)
3. Masa Perkembangan Teater Modern (1942 – 1970) yang terdiri atas periode:
1. Teater Zaman Jepang (1942 – 1945)
2. Teater Tahun 1950-an
3. Teater Tahun 1960-an
4. Masa Pertumbuhan Teater Mutakhir (1970 – 1980-an)
Masa perintisan teater modern yang diawali dengan kemunculan Komidie Bangsawan memberi
makna baru bagi perkembangan teater di Indonesia. Tradisi Komidie Bangsawan ini kemudian
dilanjutkan dengan berdirinya kelompok Komidie Stamboel yang didirikan olehAugust Mahieu, seorang
peranakan Indo Perancis kelahiran Surabaya (1860 – 1906). Komidie Stamboel ini populer karena
membawakan cerita-cerita dari Timur Tengah, terutama kisah-kisah yang terdapat dalam Hikayat 1001
Malam. Ketika rombongan ini tinggal di Batavia, mereka mulai menampilkan cerita-cerita asli karya
penulis-penulis Indo-Belanda dan orang Tionghoa, seperti Nyai Dasima, Oey Tam-bah-sia, Si Tjonat,
serta sejumlah certa lainnya. Bahkan pada perkembangan berikutnya, kelompok ini mulai pula
menggarap drama-drama besar dunia seperti Hamlet, Romeo dan Juliet, Carmen, Saudagar dari
Venesia, serta beberapa repertoar lainnya.
Komidie Stamboel kemudian bubar pada tahun 1906 setelah August Mahieu mengundurkan diri ke
Bumiayu dan meninggal dunia. Tradisi Komidie Stamboel kemudian dilanjutkan oleh para anggotanya
dengan mendirikan kelompok-kelompok sandiwara serupa seperti Komidie Opera Stamboel, Opera
Permata Stamboel, Wilhelmina, Sinar Bintang Hindia, Indra Bangsawan, dan Opera Bangsawan.
Kebangkitan teater modern Hindia Belanda dimulai dengan munculnya pembaharuan-pembaharuan
dalam segi pementasan dan manajemen pementasan. Hal ini dimungkinkan karena pemilik-pemilik
kelompok teater ini yang semula dari kalangan rakyat jelata atau saudagar, kini menjadi dari kaum
terpelajar. Permasalahan yang diangkat ke dalam teater pun semakin beragam dan menarik. Kelompok
teater pertama yang membawa warna ini adalah kelompok Miss Riboet’s Orion yang kemudian
didukung oleh seorang penulis naskah hebat, yakni Nyoo Cheong Seng.
Di tengah-tengah kejayaan Orion, muncullah kelompok baru di Sidoarjo yang diberi nama
dengan The Malay Opera Dardanella. Kelompok ini didirikan oleh Willy Klimanoff (nama lain dari A.
Piedro), seorang peranakan Rusia Putih kelahiran Penang. Repertoar awal yang dibawakan kelompok ini
berasal dari film-film yang sedang populer seperti The Thief of Bagdad, Mask of Zorro, Don O, The
Count of Monte Cristo, The Three Musketeers, dan sebagainya. Pemain yang terkenal pada kelompok ini
adalah Tan Tjeng Bok (yang sering digelar sebagai Douglas Fairbank form Java), Fifi Young, dan Dewi
Dja. Bahkan, Dewi Dja sempat digelari sebagai Miss Riboet II. Popularitas Dardanella ternyata kemudian
mengalahkan Orion sehingga pada tahun 1934 kelompok Orion ini bubar. Bahkan, sejumlah aktor dan
aktris dan penulis Orion kemudian bergabung dengan Darnadella. Repertoar yang dibawakan oleh
Dardanella pun semakin banyak dan kaya. Bahkan kelompok ini telah mulai menyuguhkan
permasalahan-permasalahan yang berat dan memiliki publik penonton dari kalangan terpelajar. Drama-
drama yang sering dipentaskan antara lain Dr. Samsi, Ex-Sawah Loento (karya Andjar Asmara), Biroe
Moeda, Mantoe Prijaji, Perantean 99 (karya A. Piedro), R.A. Soemantrie (karya T.D.Tio), serta sejumlah
repertoar lainnya.
Pada tahun 1935, kelompok Dardanella mengadakan perjalanan keliling Asia (Tour d’Orient) ke
sejumlah negara di Asia. Perjalanan ini kemudian berlanjut ke Eropa. Nasib kelompok Dardanella ini
kemudian tidak berlanjut. Willy Klimanoff bersama Dewi Dja kemudian melanjutkan perjalanan ke
Amerika Serikat dan menjadi warga negara di sana, sedangkan rombongan lainnya kembali ke Indonesia
persis sebelum meletusnya perang dunia kedua.
Perkembangan teater Dardanella ini kemudian merangsang tumbuhnya teater-teater kecil di sejumlah
kota di Indonesia. Teater-teater kecil ini merupakan teater amatir yang dikelola dan dimainkan oleh
orang-orang yang hanya sekedar menyukai teater. Keadaan ini kemudian berkembang terus, bahkan
sampai jauh setelah Indonesia merdeka.
Pertumbuhan teater modern Indonesia ini sesungguhnya makin diperkokoh pada masa pendudukan
Jepang. Pada masa ini para intelektual Indonesia tergabung dalam kelompok Sandiwara Penggemar
Maya yang didirikan pada tahun 1944 oleh Usmar Ismail, D. Djajakusuma, Rosihan Anwar, dan Dr. Abu
Hanifah. Berdirinya kelompok sandiwara ini menandai bergesernya kelompok teater profesional ke teater
amatir yang kemudian banyak berkembang di Indonesia.
Warna dan gaya pementasan teater-teater profesional yang sekian lama berkembang di Indonesia,
secara tidak sadar telah mempengaruhi pula bentuk-bentuk pementasan teater tradisional yang tumbuh
dan berkembang pada masyarakat. Dari hasil pengaruh pementasan teater tradisi dan teater modern ini
pula kemudian terlahir bentuk-bentuk baru teater modern yang berakar pada budaya daerah setempat.
Kelompok-kelompok sandiwara modern berbahasa daerah dengan pengelolaan konvensional banyak
bermunculan di berbagai daerah. Kelompok sandiwara Miss Tjitjih yang sering mengadakan pertunjukan
keliling di Jawa Barat dan Jakarta merupakan salah satu contoh bentuk teater modern dengan warna
kedaerahan.
B. Unsur Estetis Pertunjukan Teater Nontradisional
Karaktristik utama dari pertunjukan teater nontradisi adalah adanya pemisahan yang tegas antara
penonton dan tempat pemain. Bentuk pementasan serupa ini merupakan pengaruh budaya teater Eropa.
Pada awal perkembangan teater modern melalui kelompok-kelompok teater Bangsawan dikenal bentuk
pentas prosenium yang memisahkan panggung dengan penonton. Secara garis besar, bentuk pentas
prosenium tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
Prosenium adalah bingkai pembatas yang membatasi ruang pentas tempat bermain dengan letak
penonton. Antara prosenium dan penonton ini sesungguhnya masih terdapat ruang selasar depan layar
yang dinamakan dengan apron, serta ruang di bawah panggung tempat para pemain musik yang
dinamakan pit. Bentuk pentas ini pada pementasan teater-teater amatir di daerah dapat disederhanakan
lagi menjadi seperti berikut.
Aspek kedua dari pertunjukan teater modern adalah adanya naskah yang ditulis terlebih dahulu
sebelum melakukan pementasan. Naskah ini bukan lagi merupakan garis besar cerita, melainkan telah
berbentuk naskah lengkap yang dapat dihapal dan dipelajari oleh seluruh pemain. Adanya naskah
lengkap ini dalam pementasan membuat aspek-aspek dramaturgi menjadi lebih terjaga serta pertunjukan
lebih dapat dipertanggungjawabkan.
Hal ketiga yang ada pada pementasan teater modern adalah hilangnya pengisian hiburan dalam
bentuk nyanyian dan tarian pada jeda pergantian babak. Perpindahan antara babak yang satu ke babak
yang lain berlangsung cepat dan tidak banyak memakan waktu sehingga pementasan hingga menjelang
pagi dapat dihindari. Di samping itu, kelompok musik yang ada pada sebuah kelompok teater semata-
mata berfungsi sebagai pemberi efek suasana dalam pementasan teater dan bukan untuk keperluan lain.
Penataan lampu, penataan rias, penataan busana, serta penataan pentas (setting) telah diolah
sedemikian rupa sehingga tidak terlalu besar dan berlebihan. Kesederhanaan pementasan teater amatir
ini dianggap wajar mengingat tujuan utama kelompok-kelompok teater amatir ini adalah mencapai
kepuasan batin dan bukan mencari popularitas dan komersial.