Teater berasal dari kata “theatre” dalam bahasa Inggris atau “teatron” dalam bahasa Yunani yang memiliki makna sebagai tempat untuk menonton. Dahulunya teater merupakan tempat menonton sebuah pertunjukan seperti drama dengan penataan panggung berdasarkan cerita yang ditampilkan. Awalnya, teater di Indonesia berfungsi sebagai bentuk pemujaan. Seiring berjalannya waktu, fungsi tersebut berubah dengan teknologi terintegrasi Sejarah perkembangan teater di Indonesia 1. Teater Tradisional Sejarah teater tradisional di Indonesia dimulai sejak sebelum Zaman Hindu. Pada zaman tersebut, terdapat tanda-tanda bahwa unsur-unsur teater tradisional banyak digunakan untuk mendukung upacara ritual. Teater tradisional merupakan bagian dari suatu upacara keagamaan ataupun upacara adat-istiadat dalam tata cara kehidupan masyarakat. Setelah melepaskan diri dari kaitan upacara, unsur-unsur teater tersebut membentuk suatu seni pertunjukan yang lahir dari spontanitas rakyat. 2. Teater Transisi (modern) Teater transisi merupakan teater tradisional dengan model garapan yang memasukkan unsur-unsur teknik teater Barat. Unsur yang dimaksud adalah pada cerita yang sudah mulai ditulis, cara penyajian cerita dengan menggunakan panggung dan dekorasi, mulai memperhitungkan teknik yang mendukung pertunjukan. Pada periode transisi inilah teater tradisional berkenalan dengan teater non-tradisi. Selain pengaruh dari teater bangsawan, teater tradisional berkenalan juga dengan teater Barat yang dipentaskan oleh orang-orang Belanda di Indonesia sekitar tahun 1805 yang kemudian berkembang hingga di Betawi (Batavia) dan mengawali berdirinya gedung Schouwburg pada tahun 1821 (Sekarang Gedung Kesenian Jakarta). Pada masa teater transisi belum muncul istilah teater, melainkan sandiwara. Karenanya rombongan teater pada masa itu menggunakan nama sandiwara, sedangkan cerita yang disajikan dinamakan drama. Sampai pada Zaman Jepang dan permulaan Zaman Kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah teater bagi masyarakat Indonesia baru dikenal setelah Zaman Kemerdekaan. 3. Teater Indonesia Periode 1920-an Periode 1920an menjadi awal berkembangnya drama-drama Pujangga Baru. Naskah drama tersebut ditulis berdasarkan masalah penjajahan dan penindasan yang terjadi kala itu. Unsur teater ini disusun menggunakan Bahasa Indonesia dengan bentuk dialog antar tokoh dan sajak. 4. Teater Indonesia Periode 1930-an Teater pada masa ini merupakan lanjutan dari periode sebelumnya yang bertemakan perjuangan. Akan tetapi, terdapat tambahan warna dengan sentuhan cerita kerajaan dan kisah mistis. Beberapa di antaranya adalah Keris Empu Gandring yang ditulis oleh Imam Supardi, Hantu yang ditulis oleh Mr. Singgih, dan Nyai Blorong yang ditulis oleh Dr. Satiman Wirjosandjojo. Selain itu, Ir. Soekarno juga berkontribusi terhadap perkembangan teater di Indonesia di masa pengasingannya ke Bengkulu. Beliau menuliskan lakon Dr. Setan, Kriukut Bikutbi, dan Rainbow di tahun 1927. 5. Teater Indonesia Periode 1940-an Teater ini berkembang di masa penjajahan Jepang sebagai bentuk dukungan terhadap pemerintahan totaliter Jepang. Meskipun demikian, ide kreatif muncul dari Kamajaya dan Anjar Asmara yang menginisiasi Badan Pusat Kesenian Indonesia. Ide tersebut diwujudkan oleh Presiden Soekarno yang didukung oleh Sanusi Pane, Armijn Pane, Mr. Sumanang, Kama Jaya, ddan Sutan Takdir Alisjabana. 6. Teater Indonesia Periode 1950-an Periode teater 1950an juga disebut sebagai perkembangan teater di awal kemerdekaan. Teater ini pada umumnya terdiri atas kisah-kisah perenungan atas jasa pahlawan yang gugur memperjuangkan kemerdekaan. Kisah tersebut menggoreskan kesan dan nilai keberanian, kekecewaan, kemunafikan, pengorbanan, keikhlasan, sikap pengecut, dan kepahlawanan. Beberapa karya teater Indonesia periode 1950an adalah Awal dan Mira pada tahun 1952, Sayang Ada Orang Lain pada tahun 1953 oleh Utuy Tatang Sontani, Hanya Satu Kali oleh John Galsworthy pada tahun 1956, dan The Man in Grey Suit oleh Averchenko. 7. Teater Indonesia Periode 1960 – 1970-an Pada periode ini, teater berkreasi dengan menggabungkan unsur tarian, dagelan, dan unsur etnis lainnya. Beberapa karya terkenal di masa ini di antaranya adalah Paman Vanya oleh Anton Chekhov, Biduanita Botak dan Badak-badak oleh Ionesco di tahun 1960, Pangeran Geusan Ulun oleh Saini KM di tahun 1961, Teater Teror, dan Teater Koma. 8. Teater Indonesia Periode 1980 – 1990-an Perkembangan teater Indonesia pada periode ini mulai mendapatkan perhatian khusus dengan didirikannya lembaga teater. Dengan adanya lembaga teater tersebut, lahirlah beragam festival teater seperti Festival Teater Jakarta, Festival Seni Pertunjukan Rakyat di Yogyakarta, Teater Gapit di Solo, Teater Bel di Bandung, dan lainnya. 9. Teater Kontemporer Teater kontemporer Indoenesia menunjukkan perkembangan dunia teater dengan adanya sentuhan gaya baru. Beberapa seniman menggabungkan unsur teater konvensional dengan teater eksperimental dengan jangkauan ekspresi yang lebih luas.