Anda di halaman 1dari 7

TEATER INDONESIA TAHUN 1960-AN

1. Lanjutan Zaman Emas Teater 1 (1958-1963)

Masa semarak kehidupan teater di lingkungan para mahasiswa


dan seniman teater yang nampak tahun 1958, berlanjut terus
sampai sekitar tahun 1963. Kegiatan pentas bertambah banyak
jumlahnya, terutama di tiga kota teater di Jawa. Jakarta (ATNI),
Bandung (STB), dan Yogjakarta (SDD, Fakultas Sastra, Teater
Indonesia dan sebagainya).
Pilihan naskah terjemahan semakin meningkat sejak tahun
1957. Sebelum itu lebih banyak naskah asli karangan anggota
grup teater itu sendiri.
Terhitung 123 pementasan tercatat (1957-1963); terdapat 58
drama terjemahan, kurang lebih 46%.
Masa keemasan ini melahirkan “bintang”; Kaum pemikir, ketua
organisasi, pemain dan terjemah drama dunia. Dari ATNI dapat
disebut Asrul Sani dan D. Djajakusuma, Steve Lim; dari STB Jim Lim
dan Suyatna Anirun, dan dari Yogyakarta W.S. Rendra.

2. Festival Teater
Sudah sejak tahun 1950-an diselenggarakan festival, tapi tidak melembaga. Festival
teater di daerah-daerah (Palembang, Medan, Kaltim, Sulsel, Menado, Surabaya,
dan Jateng) hanya sekali dua kali saja diselenggarakan.
Festival agak melembaga, Pekan Kesenian Mahasiswa pada tahun 1958 di
Yogyakarta. PKM II di Jakarta tahun 1960, PKM III di Denpasar, dan PKM IV
Bandung. Dalam PKM ini tidak hanya Drama tapi juga seni pertunjukan lainnya;
seni musik vokal dan deklamasi.
Dalam PKM II di Jakarta, yang agal menarik adalah peristiwa pementasa STB yang
mewakili perguruan-perguruan tinggi Bandung di bawah koordinasi ITB, yakni
naskah Libretto Sangkuriang karya Utuy. Tampil dengan ide wayang, bentuk arena,
dan topeng Panji.
3. Teater dan Kegitan Keagamaan

Dasawarsa 1960-an ditandai dengan menonjolnya kegiatan teater yang didukung atau
ditopang oleh kegiatan keagamaan. Atau setidak-tidakanya ada misi keagamaan. Gejala
ini mengeras menjelang tahun 1965, yakni munculnya Lekra di bawah partai komunis
yang menekan kehidupan teater bebas.
Seni Teater Kristen (STK) di Jakarta berdiri pada tahun 1957, tokoh utamanya adalah
Steve Lim (Teguh Karta) dan Khouw Hok Goan. Sampai tahun 1963 telah memetaskan
tak kurang dari 11 pementasan.
Masih di Jakarta, Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI) yang berdiri pada tahun 1956.
Tujuan organisasi ini adalah “ membina kebidayaan/kesenian Islam dalam arti seluas-
luasnya dalam kehidupan budaya nasional”. Lakon disesuaikan dengan peringatan
keagamaan.
Di Bandung, STB bergiat pula untuk kepentingan gereja Kristen. Juga memetaskan pula
drama bernafas Islam.
Di Yogyakarta, Teater Muslim di bawah Muhmad Dipenogoro dan Arifin C. Noer giat
mementaskan karya-karya keagamaan.
Pada tahun 1965, lembaga-lembaga kebudayaan Islam Bandung-Yogya-
Jakarta mengadakan pementasan bersama dengan mementaskan “Api
Islam di Majapahit” karya Kuntowijoyo dan “Masyitoh” karya Ayip Rosidi.
Sedangkan W.S. Rendra sendiri pada tahun 1961 telah mementaskan
naskah Cinta dalam Luka dengan memerankan tokoh Jesus.

4. Teror Lekra
Tahun 1959 merupakan tahun perubahan penting dalam kehidupan
politik dan kebudayaan Indonesia.
Dalam bidang kebudayaan dan kesenian tugas memanfaatkan situasi
politik yang menguntungkan ini diserahkan kepada Lembaga Kebudayaan
Rakyat (Lekra). Lekra sebenarnya sudah berdiri sejak 17-8-1950 atas
inisiatif tokoh-tokoh komunis seperti Aidit, Dharta, dan Nyoto.
Dalam bidang teater, mereka berhasil menarik tokoh besar tahun 1950-an
dan 1960-an, yakni Utuy Tatang Sontani. Drama Utuy, “Sayang Ada Orang
Lain” yang ditulisnya sebelum masuk Lekra, diberi penekanan anti-haji.
Teater Indonesia Mutakhir
1. Teater Indonesia Setelah 1965

Aksi teror Lekra/PKI terhadap hidup kebudayaan dan kesenian Indonesia


sejak tahun 1960, memuncak pada tindak makar PKI dengan gerakan 30
September 1965. Makar ini berhasil ditumpas Oleh Angkatan Darat.
Meskipun setelah tahun 1965 semangat pembaharuan baru nampak pada
tahun 1968.
Munculnya usaha-usaha pembaharuan teater modern seperti dirintis oleh
Randra dengan mini-katanya, Jim Lim dengan pentas-pentas puitiknya
serta Arifin C Noer dengan pementasan Ionesconya, selama tahun 1960-
an akhir, akhirnya menemukan tanah persemaiannya yang subur pada
dasawarsa tahun 1970-an, dengan berdirinya Taman Ismail Marzuki (TIM)
di bawah pengelolaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). TIM menyediakan
gedung-gedung teater dengan peralatan modern, yang belum pernah
dibangun di Indonesia sebelumnya, kecuali Gedung Kesenian Jakarta (GKJ)
yang di bangun belanda pada abad ke-19.
2. Ciri-ciri Teater Mutakhir

Pada tahun 1973, Goenawan Muhamad menulis sebuah karangan


panjang berjudul “Sebuah Pebelaan Untuk Teater Indonesia Mutakhir”
yang merupakan tanggapan atas ceramah Rustandi Kartakusumah yang
menilai teater mutakhir sebagai ke barat-barat-an dan sok Absurd.
Menurut Goenawan ciri-ciri tersebut adalah;
pertama, Ambisi lakon-lakon mutakhir umunya ialah ke arah teater puisi
yang utuh.
Kedua, unsur humor yang menonjol dalam lakon-lakon mutakhir. Ketiga,
masuknya unsur-unsur teater rakyat tradisional etnik di Indonesia.
Keempat, berdasarkan pendapat Sapardi Djoko Damono, bahwa teater
modern banyak mengambil latar belakang kehidupan kaum gelandangan
atau kaum underdog yang diperlakukan sebagai seorang intelektual.
3. Zaman Emas Kedua Teater Indonesia.

Antara tahun 1968 sampai tahun 1988, di Taman Ismail Marzuki


Jakarta, hapir setiap bulan sekali terdapat pemetasan teater
modern oleh grup-grup teaterterkemukan di Indonesia. Selama
20 tahun telah dipentaskan sekurang-kurangnya 210 kali
pementasan di bawah sutradara-sutradara paling terkemuka di
Indonesia.
Hal ini belum meperhitungkan pementasan oleh sekian puluh
grup “teater remaja” di Ibukota setiap tahunnya. Juga belum
dihitung pementasan oleh gru-grup teater di daerah, seperti
grup-grup teater Medan, Ujung Pandang, Padang, Surabaya, dan
berbagai kota lain, yang sifaynya tidak periodik seperti grup-grup
teater terkemuka di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai