Anda di halaman 1dari 9

Macam-macam Pemplotan

(lanjutan)
Oleh
Willy F. Sembung

Ditinjau dari Ketergolongan Untaian Alur Cerita yang Terbentuk di


Dalamnya

Ditinjau dari ditinjau dari ketergolongan untaian alur cerita yang terbentuk di dalamnya, ada dua macam pemplotan yang dapat
disimpulkan; dan kedua macam pemplotan dimaksud, adalah: 1) pemplotan dengan alur pemeristiwaan yang tidak mengepisodik; dan
2) pemplotan dengan alur pemeristiwaan yang mengepisodik.

Pemplotan dengan Alur Pemeristiwaan yang Tidak Mengepisodik

1
Pemplotan dengan alur pemeristiwaan yang tidak mengepisodik adalah pemplotan dengan adanya plot-plot cerita tunggal yang
tidak terdiri dari bagian-bagian mengadegan, mengepisode, membabak dan lain-lain yang seakan-akan terlepas kesinambungannya
antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain.
Contoh dari pemplotan yang dimaksudkan ini adalah pemplotan yang terdapat dalam cerita pendek yang berjudul “A Work of
Art” yang telah dikemukakan dalam materi sebelumnya.

Pemplotan dengan Alur Pemeristiwaan yang Mengepisodik

Pemplotan dengan alur pemeristiwaan yang mengepisodik adalah pemplotan dengan plot-plot cerita yang terdiri dari sejumlah
potongan atau bagian plot yang disusun dalam bagian-bagian mengadegan, mengepisode, membabak, dan lain-lain; atau sejumlah
plot yang saling terpisah satu dengan yang lain, akan tetapi dapat menyatu sewaktu-waktu.
Merupakan pemplotan yang menghasilkan plot-plot yang disebut sebagai ‘plot-plot yang lepas’ (lihat uraian terdahulu);
pemplotan yang dimaksudkan ini adalah pemplotan yang dapat dianggap terdiri dari: 1) pemplotan dengan alur pemeristiwaan yang
mengepisodik secara linear; dan 2) pemplotan dengan alur pemeristiwaan yang mengepisodik secara paralel.

Pemplotan dengan Alur Pemeristiwaan yang Mengepisodik secara Linear

Pemplotan dengan alur pemeristiwaan yang yang mengepisodik secara linear yang dalam banyak waktu disebut sebagai
‘pemplotan yang linear’ adalah pemplotan di mana terdapat plot-plot yang tergolong sebagai plot tunggal yang berungkap secara
linear tentang yang terjadi dalam kehidupan satu atau sejumlah tokoh yang diceritakan, akan tetapi plot-plot dimaksud dibuat terdiri
2
dari bagian-bagian mengadegan, mengepisode, membabak dan lain-lain yang kesemuanya seakan-akan saling terputus
kesinambungannya satu dengan yang lain.
Banyak terdapat dalam novel dan film cerita yang berungkap tentang perjalanan hidup dengan penglataran waktu kejadian dan
tempat kejadian yang bergonta-ganti.
Contoh dari pemplotan yang dimaksudkan ini adalah pemplotan yang terdapat dalam lakon-lakon seperti “A Doll’s House” dan
“A Streetcar Named Desire”; serta film-film cerita seperti “Biola Tak Berdawai” dan “If You Are the One”.

Pemplotan dengan Alur Pemeristiwaan yang Mengepisodik secara Paralel

Pemplotan dengan alur pemeristiwaan yang mengepisodik secara paralel yang umumnya disebut sebagai ‘pemplotan
memparalel’ adalah pemplotan yang terjadi ketika dalam penciptaan lakon dan lain-lain, pencipta karya-karya itu memasukkan dalam
keberadaan karya-karya mereka, plot-plot atau jalan-jalan cerita yang terdiri dari beberapa plot yang masing-masing berdiri sendiri-
sendiri karena berungkap tentang perjalanan hidup masing-masing tokoh yang saling terpisah, akan tetapi tokoh utama dari plot yang
satu diceritakan mempunyai hubungan dengan tokoh utama dari plot yang lain.
Umumnya terdapat dalam novel dan film cerita di mana terdapat tokoh-tokoh cerita yang menjadi narator dari setiap cerita
mereka sendiri.
Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa plot-plot utama mayor dan minor yang terdapat dalam keberadaan novel “Para
Priyayi” adalah plot-plot yang berungkap tentang keberadaan-keberadaan dan perjalanan-perjalanan hidup pribadi para tokoh utama
novel itu, yakni: 1) Lantip atau Wage; 2) Sastrodarsono; 3) Hardoyo; 4) Noegroho; 5) Para Istri; dan lain-lain yang kesemuanya
tertaut dalam kehidupan keluarga besar Sastrodarsono; dan oleh Umar Kayam sebagai pengarang, para tokoh itu dibuat menjadi
narator-narator yang menceritakan sendiri secara bergantian keberadaan-keberadaan dan perjalanan-perjalanan hidup pribadi mereka.

3
Contoh Kutipan Bagian-Bagian Awal Episode-Episode Novel “Para Priyayi”

LANTIP

NAMA saya Lantip. Ah, tidak. Nama saya yang asli sangatlah dusun, ndeso. Wage. Nama itu diberikan, menurut embok saya, karena saya dilahirkan pada hari
Sabtu Wage. Nama Lantip itu saya dapat kemudian waktu saya mulai tinggal di rumah keluarga Sastrodarsono, di Jalan Setenan, di kota. Wanagalih.
Sebelumnya saya tinggal bersama embok saya di Desa Wanalawas yang hanya beberapa kilometer dari kota Wanagalih. Menurut ceritera, Desa Wanalawas itu
adalah desa cikal bakal, desa asal, Wanagalih. Waktu Mataram melihat bahwa kawasan yang sekarang menjadi kota Wanagalih adalah satu daerah yang
strategis karena dekat tempuran kali, Madiun diperintahkan oleh Mataram untuk mengembangkan kawasan itu menjadi kawasan yang ramai. Maka bedol desa
atau pemindahan desa pun diperintahkan untuk mengisi kawasan yang kemudian dinamakan Wanagalih di mana Desa Wanalawas adalah salah satu desa yang
dijebol untuk menjadi bagian Wanagalih. Dari satu desa yang lumayan besar Desa Wanalawas pun menCiut menjadi desa yang kecil. Salah satu dari keluarga-
keluarga yang sedikit, yang tinggal di Wanalawas, adalah nenek moyang eribuk saya. Menurut embok saya, mereka adalah orang-orang desa yan bertani padi,
palawija dan sedikit tembakau. Sawahnya tidak seberapa besar hanya satu atau dua bau saja. Itu pun sawah tadah hujan | karena letak sawah itu jauh dari sungai
yang dapat mengairi sawah itu, Selain bersawah, keluarga moyang saya adalah juga keluarga ....dst.

SASTRODARSONO

WAKTU dokar yang saya naiki membelok ke arah utara, meninggalkan jalan besar yang menghubungkan Surakarta dan Madiun, hati saya mulai berdebar. Di
depan saya jalan desa sepanjang kira-kira lima kilometer menuju langsung ke Kedungsimo, desa saya, tempat orang-tua saya. Di depan saya, lima kilometer
lagi, orang-tua saya akan menerima saya dengan tangan terbuka lebar dan senyum yang tidak kurang pula lebarnya. Bagaimana tidak. Hari itu saya, Soedarsono,
anak tunggal Mas Atmokasan, petani Desa Kedungsirno, pulang dari Madiun dengan berhaSil mengantongi beslit guru bantu di Ploso. Guru bantu. Itu berarti
sayalah orang pertama dalam keluarga besar kami yang berhasil menjadi priyayi, meskipun priyayi yang paling rendah tingkatnya. Itu tidak mengapa. Yang
penting kaki saya sudah melangkah masuk jenjang priyayi. Beberapa tahun lagi, kalau saya rajin dan setia ke. pada gupermen, saya akan menjadi guru penuh
sekolah desa. Itu akan lebih memantapkan kedudukan saya sebagai priyayi, sebagai abdi gupermen. Dan kalau saya sudah menjadi mantri guru, wah, itu Sudah
boleh dikatakan menjadi priyayi yang terpandang. Orang-tua saya adalah petani desa jekek, petani desa yang benar-benar asli. Demikian juga dengan paman-
paman dan pakde saya. Semuanya petani desa. Semua dari keluarga besar kami itu, seperti juga kebanyakan keluarga petani di desa, menginginkan pada satu
waktu salah scorang anggota keluarganya bisa maju menjadi priyayi dan tidak ...dst.

LANTIP

4
ALAM itu, sesudah saya mengantar Ndoro Guru Kakung pergi ke Wanagalih, saya pelan-pelan melangkah kembali ke dalam rumah. Orang-orang kelihatan
seorang demi seorang pada berdiri minta pamit kepada Pakde Soeto kemudian juga kepada saya. Akhirnya, tinggal Pakde Soeto dengan saya. Pe-. lan-pelan
saya mendekati Pakde Soeto dan menyilakan Pakde Soeto duduk di kursi yang cuma tiga buah jumlahnya di rumah embok saya. Pakde Soeto rupanya tahu
bahwa malam belum lagi selesai baginya. Dengan tenang dia duduk, mengambil tembakau dan klobot-nya dari slepi-nya, melintingnya kemudian menyalakan
dan . mengisapnya dalam-dalam. Dia begitu terus mengepul-ngepulkan Tokoknya hingga beberapa saat sambil terus memandangi saya dengan tenang dan
sabar. “Pakde, saya mohon banyak penjelasan.” “Penjelasan apa, Le?” Saya diam sebentar untuk mengambil ancangancang memulai Pertanyaan yang saya
rencanakan akan panjang sekali. “Pakde.” Saya berhenti mengambil ancang-ancang lagi. “Pakde. Saya ini sesungguhnya anak siapa, Pakde?” Pakde Soeto
tersenyum. : “Elho. Jelas anaknya Ngadiyem yang tadi sore sama-sama kita kubur begitu, kok.” ... Dst.

Ditinjau dari Jenis Pengkronologian atau Pengurutan Berbagai Kejadian,


Peristiwa atau Adegan yang Terdapat di Dalamnya

Ditinjau dari jenis pengkronologian atau pengurutan berbagai kejadian, peristiwa atau adegan yang terdapat di dalamnya, ada
tiga macam pemplotan yang dapat disimpulkan; dan ketiga macam pemplotan dimaksud, adalah: 1) pemplotan dengan alur cerita
mengkronologi maju; 2) pemplotan dengan alur cerita mengkronologi maju-mundur-maju; dan 3) pemplotan dengan alur cerita
mengkronologi terbalik.

5
Pemplotan dengan Alur Cerita Mengkronologi Maju

Pemplotan dengan alur cerita mengkronologi maju adalah pemplotan dengan plot-plot yang terdiri dari kejadian-kejadian atau
peristiwa-peristiwa yang disusun secara terurut maju menurut waktu kejadian masing-masing.
Contoh dari pemplotan yang dimaksudkan ini adalah pemplotan yang terdapat dalam lakon-lakon seperti “Oedipus Rex” dan
“Malam Jahanam”; serta film cerita seperti “Kung Fu Hustle”.

Pemplotan dengan Alur Cerita Mengkronologi Maju-Mundur-Maju

Pemplotan dengan alur cerita mengkronologi maju-mundur-maju atau yang umumnya disebut sebagai ‘pemplotan maju-
mundur’ adalah pemplotan yang terjadi ketika dalam penciptaan lakon dan lain-lain, pencipta karya-karya itu memasukkan dalam
keberadaan karya-karya mereka, plot-plot atau jalan-jalan cerita yang terdiri dari bagian-bagian mengadegan, mengepisode,
membabak dan lain-lain yang tersusun dalam urutan-urutan mengkronologi yang pada awalnya, maju, kemudian mundur karena
dibuat memflashback, kemudian mungkin dibuat maju lagi.
Contoh dari pemplotan yang dimaksudkan ini adalah pemplotan yang terdapat dalam cerita pendek “Robohnya Surau Kami”
yang telah dikemukakan dalam materi sebelumnya.

6
Pemplotan dengan Alur Cerita Mengkronologi Terbalik

Pemplotan dengan alur cerita mengkronologi terbalik (reverse-chronology) adalah pemplotan yang terjadi ketika dalam
penciptaan lakon dan lain-lain, pencipta karya-karya itu memasukkan dalam keberadaan karya-karya mereka, plot-plot atau jalan-
jalan cerita dalam mana terdapat bagian-bagian plot mengadegan, mengepisode, membabak dan lain-lain yang meskipun setiap
bagian terdiri dari kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang disusun secara mengkronologi maju, akan tetapi bagian-bagian itu
justru disusun dengan pengkronologian terbalik, yakni pengkronologian yang dimulai dari bagian yang paling akhir terjadi sampai ke
bagian yang paling awal terjadi.
Sebagai contoh mengilustrasi dapat dikemukakan bahwa jika dalam pemplotan dengan alur cerita mengkronologi maju, bagian-
bagian plot yang dimasukkan dalam plot itu adalah bagian-bagian plot yang dapat diidentitaskan sebagai ‘bagian mengadegan A
dengan kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa A1, A2 dan A3’, ‘bagian mengadegan B dengan kejadian-kejadian atau peristiwa-
peristiwa B1, B2 dan B3’ dan seterusnya sampai, misalnya ‘bagian mengadegan E dengan kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa
E1, E2 dan E3’; maka dalam pemplotan dengan alur cerita mengkronologi terbalik, bagian-bagian plot yang dimasukkan adalah
bagian-bagian yang disusun secara terbalik, dan dimulai dari, misalnya pemasukan ‘bagian mengadegan E dengan kejadian-kejadian
atau peristiwa-peristiwa E1, E2 dan E3’ yang berlanjut ke pemasukan ‘bagian mengadegan D dengan kejadian-kejadian atau
peristiwa-peristiwa D1, D2 dan D3’ dan seterusnya sampai akhirnya ditutup dengan pemasukan ‘bagian mengadegan A dengan
kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa A1, A2 dan A3’.
Contoh dari pemplotan yang dimaksudkan ini adalah pemplotan yang terdapat dalam lakon-lakon seperti “Merrily We Roll
Along” dan “Betrayal”; serta film-film cerita seperti “Memento” dan “Irrèversible”.

7
K. Ditinjau dari Ketergolongan Cara Mengakhiri Cerita yang Dilakukan

Ditinjau dari ketergolongan cara mengakhiri cerita yang diterapkan, ada dua macam pemplotan yang dapat disimpulkan; dan
kedua macam pemplotan dimaksud, adalah: 1) pemplotan dengan adanya pengakhiran cerita secara tertutup; dan 2) pemplotan
dengan adanya pengakhiran cerita secara terbuka.
Berikut ini adalah penjelasan-penjelasan mengenai kedua macam pemplotan dimaksud.

Pemplotan dengan Adanya Pengakhiran Cerita Secara Tertutup

Pemplotan dengan adanya pengakhiran cerita secara tertutup adalah pemplotan yang terjadi ketika dalam penciptaan lakon dan
lain-lain, pencipta karya-karya itu memasukkan dalam keberadaan karya-karya mereka, plot-plot yang mempunyai bagian resolusi
atau denoument.
Contoh dari pemplotan yang dimaksudkan ini adalah pemplotan yang terdapat dalam lakon-lakon seperti “Romeo and Juliet”
dan “Macbeth”; serta film cerita seperti “Crouching Tiger, Hidden Dragon”.

8
Pemplotan dengan Adanya Pengakhiran Cerita Secara Terbuka

Pemplotan dengan adanya pengakhiran cerita secara terbuka adalah pemplotan yang terjadi ketika dalam penciptaan lakon dan
lain-lain, pencipta karya-karya itu memasukkan dalam keberadaan karya-karya mereka, plot-plot atau jalan-jalan cerita yang tidak
mempunyai bagian resolusi, kesimpulan atau denoument.
Contoh dari pemplotan yang dimaksudkan ini adalah pemplotan yang terdapat dalam lakon-lakon seperti “Waiting for Godot”
dan “Dag Dig Dug”; serta cerita pendek seperti “Ambe Masih Sakit”.

Anda mungkin juga menyukai