Anda di halaman 1dari 17

Tugas Mata Kuliah Sejarah Sastra

Mencari Peristiwa Tentang Sejarah Sastra ; Manifes Kebudayaan, Lekra,


Pengadilan Puisi, Heboh Sastra, Sastra Majalah, Kompas, Bumi Poetra,
dan Majalah Horison.
Dosen Pengampu

Siti Jubei, M.Pd.

Oleh

Adelia Suhanda

201921500104

R3B

Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

Fakultas Bahasa dan Seni

Universitas Indraprasta PGRI


 Manifes Kebudayaan

Adalah konsep kebudayaan yang mengusung humanisme universal. Manifes


Kebudayaan ini muncul diprakarsai oleh H.B Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo
Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, A. Bastari Asnin, Bur
Rasuanto, Soe Hok Djin, D.S Moeljanto, Ras Siregar, Hartojo Andangdjaja, Sjahwil,
Djufri Tanissan, Binsar Sitompul, Gerson Poyk,Taufiq Ismail, M. Saribi, Poernawan
Tjondronegoro, Ekana Siswojo, Nashar dan Boen S. Oemarjati. Manifes Kebudayaan
ini adalah bentuk respon dari teror-teror dalam ranah budaya yang dilancarkan oleh
orang-orang yang tergabung dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Oleh
orang-orang Lekra, Manifes Kebudayaan yang sering disebut Manifes Kebudayaan
diplesetkan oleh orang-orang Lekra menjadi manikebo yang artinya sperma kerbau.

Naskah Manifes Kebudayaan selesai dikerjakan oleh Wiratmo Soekito pada


tanggal 17 Agustus 1963 pada pukul 04.00WIB. Kemudian naskah tersebut dapat
diterima oleh Goenawan Mohamad dan Bokor Hutasuhut sebagai bahan yang akan
diajukan ke diskusi pada 23 Agustus 1963 di Jalan Raden Saleh 19, Jakarta. Setelah
disetujui, naskah tersebut kemudian diperbanyak dan disebarkan kepada beberapa
kalangan seniman untuk dipelajari terlebih dahulu sebagai landasan ideologi.
Pada tanggal 24 Agustus 1963 diadakan sidang pengesahan Manifes Kebudayaan
dengan pimpinan sidang Goenawan Mohamad dan sekretaris Bokor Hutasuhut.
Sidang ini dilaksanakan di Jalan Raden Saleh 19 Jakarta dan dimulai pada pukul
13.00WIB. Atas nama panitia, Bokor Hutasuhut melaporkan hasil kerja panitia
perumus yang telah menetapkan Manifes Kebudayaan terdiri dari tiga bagian yaitu
Manifes Kebudayaan, Penjelasan Manifes Kebudayaan, dan Literatur Pancasila.
Secara aklamasi panitia menetapkan hasil sidang yaitu Manifes Kebudayaan tidak
bisa diubah lagi dan Manifes Kebudayaan tidak apriori melahirkan organisasi
kebudayaan. Kemudian, Manifes Kebudayaan ini dipublikasikan lewat surat kabar
Berita Republik dalam ruang “Forum” Sastra dan Budaya No.1, Th I, 19 Oktober
1963 dan majalah Sastra No. 9/10, Th III,1963.

Naskah Manifes Kebudayaan

Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan


sebuah Manifes Kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik
Kebudayaan Nasional kami.
Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi
hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor
kebudayaan lain. Setiap sector berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai
dengan kodratnya.
Dalam melaksanakan Kebudayaan Nasional, kami berusaha menciptakan
dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk
mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia
di tengah masyarakat bangsa-bangsa.
Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.
 Lekra

Lembaga Kebudayaan Rakyat atau dikenal dengan akronim Lekra, merupakan


organisasi kebudayaan sayap kiri di Indonesia. Lekra didirikan atas inisiatif D.N.
Aidit, Nyoto, M.S. Ashar, dan A.S. Dharta pada tanggal 17 Agustus 1950, Lekra
mendorong seniman dan penulis untuk mengikuti doktrin realisme sosialis. Semakin
vokal terhadap anggota non-Lekra, kelompok lain membentuk Manikebu (Manifesto
Kebudayaan), akhirnya mengarah ke Presiden Soekarno untuk melarang itu. Setelah
Gerakan 30 September, Lekra dilarang bersama dengan partai komunis.

Lekra didirikan pada bulan Agustus 1950 sebagai respons terhadap Gerakan
Gelanggang sosial-nasionalis, dengan A.S. Dharta sebagai sekretaris jenderal pertama.
Dengan menerbitkan Mukadimah, yang berarti "pengantar", sebagai panggilan nyata
bagi orang-orang muda, terutama seniman dan penulis, untuk membantu dalam
membangun republik rakyat demokratis. Upaya tersebut dilakukan di ibu kota
Sumatra Utara Medan dan berhasil di bawah Bakri Siregar.

Pada tahun 1956, Lekra merilis Mukadimah lain, berdasarkan realisme


sosialis, yang disebut seni untuk mempromosikan kemajuan sosial dan mencerminkan
realitas sosial, bukan mengeksplorasi jiwa manusia dan emosi. Lekra mendesak
seniman untuk berbaur dengan orang-orang (turun ke bawah) untuk lebih memahami
kondisi manusia. Lekra mengadakan konferensi nasional pertama di Surakarta pada
tahun 1959 yang dihadiri Presiden Soekarno.

Mulai tahun 1962, Lekra menjadi semakin vokal terhadap orang-orang itu
dianggap melawan gerakan rakyat, termasuk penulis dan pemimpin agama Haji Abdul
Malik Karim Amrullah dan dokumentarian HB Jassin. Mereka dikritik oleh Lekra,
termasuk Amrullah dan Jassin, kemudian menandatangani Manifes Kebudayaan, atau
Manifes Kebudayaan, pada tahun 1963 sebagai respon; setelah Lekra berkampanye
melawan manifesto, pemerintah Soekarno melarang itu pada tahun 1964, dan
dikucilkan dalam penandatangannya.

Pada tahun 1963, Lekra mengklaim memiliki total 100.000 anggota yang
tersebar di seluruh 200 cabang. Selama periode ini, berada di bawah pengawasan yang
lebih ketat oleh Tentara Nasional Indonesia. Setelah kudeta gagal Gerakan 30
September, yang populer diyakini telah dipromosikan oleh Partai Komunis, dan
diikuti dengan pembunuhan massal, Suharto pengganti Sukarno dan pemerintah Orde
Baru melarang Lekra bersama-sama dengan organisasi-organisasi komunis terkait
lainnya.
 Pengadilan Puisi

Pengadilan Puisi, tepatnya "Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir", merupakan


nama sebuah acara yang diselenggarakan Yayasan Arena. Acara ini diadakan di Aula
Universitas Parahyangan, Bandung, 8 September 1974 dan diikuti oleh sejumlah
pengarang Indonesia. Dalam acara ini, Slamet Kirnanto—yang bertindak sebagai
"Jaksa"—membacakan "tuntutan"-nya yang berjudul "Saya Mendakwa Kehidupan
Puisi Indonesia Akhir-Akhir Ini Tidak Sehat, Tidak Jelas dan Brengsek!"

Tuntutan Darmanto Jt dan tuntutan Slamet Kirnanto secara tersirat dan tersurat
memang terasa di dalam ketidakpuasan terhadap kehidupan puisi Indonesia pada saat
itu. Ketidakpuasan itu, antara lain, menyangkut:
(1) sistem penilaian terhadap puisi Indonesia,
(2) kritikus sastra Indonesia,
(3) media yang memuat karya sastra Indonesia, dan
(4) beberapa penyair Indonesia yang dianggap "mapan".
Itulah sebabnya, mereka yang banyak disebut-sebut dalam "Pengadilan Puisi" di
Bandung (karena dianggap "bertanggung jawab" terhadap kehidupan puisi Indonesia)
sengaja diundang untuk berbicara dalam "Jawaban Atas Pengadilan Puisi" yang
diselenggarakan Senat Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia di Teater
Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta, 21 September 1974; sebuah acara yang
dapat dianggap sebagai "kelanjutan" atau "sambungan" Pengadilan Puisi di Bandung.
Dalam acara "Jawaban Atas Pengadilan Puisi" itu, H.B. Jassin, M.S. Hutagalung,
Goenawan Mohamad, dan Sapardi Djoko Damono "menjawab" tuduhan-tuduhan
yang dilontarkan Slamet Kirnanto kepada mereka.

Slamet Kirnanto dalam "Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-


Akhir ini Tidak Sehat, Tidak Jelas dan Brengsek!" menyatakan "menimbang perlunya
menghembuskan lagi udara segar dalam kehidupan sastra puisi kita, dan menuntut
yang adil dan wajar dari kondisi sastra kita, membersihkan semak dan belukar yang
menghambat langkah dari kecenderungan yang sedang tumbuh sekarang; berdasarkan
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Puisi), seperti terjelma dalam pasal demi
pasalnya yang merupakan pencerminan dari aturan permainan sehat; dengan ini kami
sangat bertindak selaku Jaksa Penuntut Umum dalam "Peradilan Puisi Kontemporer",
mengajukan tuntutan sebagai berikut :
1. Para kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan kehidupan puisi
mutakhir, khususnya H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung harus "dipensiunkan"
dari peranan yang pernah mereka miliki.
2. Para editor majalah sastra, khususnya Horison (Sapardi Djoko Damono)
dicutibesarkan.
3. Para penyair established (mapan): Subagio, Rendra, Goenawan, dan
sebangsanya (dan lain-lain) dilarang menulis puisi dan epigon-epigonnya
harus dikenakan hukum pembuangan. Dan bagi inkarnasinya dibuang ke pulau
yang paling terpencil.
4. Horison dan Budaya Jaya harus dicabut "SIT"-nya dan yang terbit selama ini
dinyatakan tidak berlaku. Dan dilarang dibaca oleh peminat sastra dan
masyarakat umum sebab akan mengisruhkan perkembangan sastra puisi yang kita
harapkan sehat dan wajar (Eneste, 1986).

H.B. Jassin dalam "Beberapa Catatan Bertalian dengan Pengadilan Puisi


Indonesia Mutakhir" menyatakan bahwa "menurut programa, susunan personalia
pengadilan adalah sebagai berikut :
Hakim Ketua : Sanento Yuliman
Hakim Anggota : Darmanto Jt
Jaksa Penuntut Umum : Slamet Kirnanto
Tim Pembela : Taufiq Ismail
Sapardi Djoko Damono (absen)
(Handrawan Nadesul)
Terdakwa : Puisi Indonesia Mutakhir
Para Saksi
Saksi yang meringankan : Saini K.M. (Bandung)
Adri Darmadji (Jakarta)
Wing Kardjo (Bandung)
Abdul Hadi W.M. (Bandung)
Umbu Landu Paranggi (Yogya, absen)
Yudhistira Ardi Noegraha (Jakarta)
Saksi yang memberatkan : Sutardji Calzoum Bachri (Bandung)
Sides Sudyarto DS (Jakarta)

Selanjutnya, dikatakan pula bahwa biang keladi keadaan yang tidak sehat ini
adalah Goenawan Mohamad yang meneruskan epigonisme dari Barat, disempurnakan
oleh Sapardi Djoko Damono yang dibuntuti oleh Abdul Hadi W.M. Selain itu,
majalah Horison dan Budaya Jaya juga dianggap berdosa karena menjadi penyebar
dan juru bicara epigonisme yang dianggap berbahaya itu sehingga harus dicabut izin
terbitnya. Akhirnya, surat tuduhan itu menyebut para kritikus, antara lain H.B. Jassin
dan M.S. Hutagalung, sebagai orang-orang yang berdosa "selalu menghembus-
hembuskan angin sastra yang tidak sehat serta tidak sanggup melihat gejala dan
kenyataan adanya aliran baru yang lebih Indonesia" sehingga mereka harus segera
dipensiunkan (Eneste, 1986).

M.S. Hutagalung dalam "Puisi Kita Dewasa Ini: Jawaban Saya Terhadap
Slamet Kirnanto" menyatakan bahwa disenangi atau tidak disenangi pengarang, FSUI
harus tetap mengutarakan pendapat-pendapatnya terhadap karya sastra.

Untuk mengulangi hal-hal yang telah dikemukakan, diambil beberapa


kesimpulan :
1. Pandangan-pandangan Slamet Kirnanto adalah pandangan-pandangan yang
tidak sehat, bau apak yang cukup berbahaya sebenarnya bagi generasi muda,
terutama karena ia menganggap dirinya sebagai pembela seniman-seniman
muda itu. Memforsir suatu pengakuan dengan teriakan keras dan tidak
demokratis adalah tidak sehat bagi perkembangan kesusastraaan kita
khususnya, kebudayaan kita umumnya.
2. Saya berpendapat bahwa sebuah pernyataan atau statement tidak ada harganya
tanpa disertai bukti-bukti dan argumentasi.
3. Bahwa perkembangan puisi kita brengsek dan ini adalah akibat kesalahan para
kritikus, sebenarnya tidak benar. Sudut pandang Kirnantolah yang brengsek.
Dan saya tidak sependapat pada pandangan Kirnanto bahwa seakan-akan
perkembangan sastra hanya ditentukan oleh beberapa orang kritikus.
4. Untuk menilai seseorang, lebih baik langsung meneliti karyanya sebagaimana
adanya tanpa mengharapkan yang diteliti sebagai ini dan itu. Kalau menilai
H.B. Jassin atau M.S. Hutagalung, langsunglah menilai karyanya tanpa
menghubungkan harapan agar mereka sebagai "pengarah" sastra Indonesia.
Tuntutan itu menjadi tuntutan yang tidak wajar untuk mereka (Eneste, 1986).

Sapardi mengatakan bahwa "berita di Koran tentang peristiwa di Bandung itu


bisa menimbulkan kesan seolah-olah sekelompok penyair muda sedang memberontak
terhadap nilai-nilai yang ditegakkan oleh penyair yang sudah established, yang
biasanya lebih tua. Ternyata tidak demikian halnya. Darmanto Jt., Slamet Kirnanto,
Goenawan Mohamd, Sutardji Calzoum Bachri, Taufif Ismail dan beberapa nama lain
yang disebut-sebut adalah sebaya. Dari segi umur mereka memiliki kemungkinan
yang sama, namun karena ada yang suka belajar dan ada yang hanya suka mengeluh
maka nilai puisi yang mereka tulis berbeda. Dan peristiwa itu jelas bukan merupakan
pemberontakan kaum muda terhadap yang tua karena ternyata si "penuntut" adalah
Slamet Kirnanto yang usianya beberapa tahun lebih tua dari Abdul Hadi W.M.,
penyair yang dijadikan bahan ejekan dan tuduhan, yang jauh lebih berbakat dan telah
menerbitkan puisi yang jauh lebih baik kualitasnya dari, misalnya Slamet Kirnanto
sendiri. Lebih kocak lagi karena Slamet Kirnanto telah mendakwa Abdul Hadi
sebagai epigon; saya kira seharusnya mereka bertukar peran saja (1983).
 Heboh Sastra

"Langit Makin Mendung" cerpen Kipanjikusmin dimuat dalam majalah Sastra


No.8 Th. VI, Agustus 1968, hlm. 3—8. Kemudian cerpen ini menimbulkan kasus apa
yang disebut Jassin "Heboh Sastra 1968". Heboh Sastra 1968 (1970) adalah buku
Jassin yang merupakan pertanggungjawabannya sebagai pemimpin redaksi majalah
Sastra atas pemuatan cerpen Kipanjikusmin itu.

Cerpen "Langit Makin Mendung" (LMM) ini menimbulkan heboh karena


dianggap menghina Nabi Muhammad SAW dan agama/golongan Islam. Akibatnya,
Kejaksaan Tinggi Sumatra Utara di Medan menyita majalah tersebut (12 Oktober
1968), sementara kantor majalah Sastra di Jakarta didemonstrasi sekelompok orang.

LMM ini sendiri sebetulnya merupakan bagian pertama dari sebuah cerita
panjang. Akan tetapi, karena timbul heboh, bagian keduanya tidak dimuat majalah
Sastra. Sementara itu, Kipanjikusmin (pada tanggal 22 Oktober 1968) menyatakan
mencabut cerpen LMM dan menganggapnya tidak ada.

Sekalipun pengarangnya sudah mencabut cerpen tadi, majalah Sastra masih


tetap berurusan dengan pengadilan. Perlu diketahui, Kipanjikusmin (lahir tahun 1941)
adalah nama samaran. Nama sebenarnya hanya diketahui oleh redaksi majalah Sastra.
Dengan kata lain, mestinya Kipanjikusminlah yang mempertanggungjawabkan LMM
di pengadilan. Akan tetapi, karena redaksi majalah Sastra tidak mau membukakan
identitas Kipanjikusmin yang sebenarnya, maka penanggung jawab majalah Sastra
(dalam hal ini H.B. Jassin)-lah yang harus berhadapan dengan pengadilan.

Sebagai penulis, H.B. Jassin tahu betul bagaimana menata tanggapan atas
suatu polemik. Keempat esainya di awal buku ini telah menunjukkan paradigma H.B.
Jassin sebelum mendiskusikan lebih lanjut cerpen “Langit Makin Mendung”. Letak
keempat esainya itu di beberapa halaman awal juga memunculkan dugaan bahwa ia
memang sengaja mengajak publik mencerna alur berpikirnya terlebih dahulu.

Cara yang ditunjukkan olehnya dalam buku Heboh Sastra 1968, Suatu
Pertanggunganjawab menandai bentuk pengharagaannya pada ilmu pengetahuan dan
kematangan Jassin yang telah bertungkus lumus di bidang kesusastraan. Cara itulah
yang seharusnya diteladani oleh orang-orang seperti Runtung Sitepu agar tak kelewat
naik pitam hanya perkara cerpen.
 Sastra Majalah

Fenomena majalah yang secara khusus memuat karya fiksi, baik cerpen atau
novel (cerita bersambung) bukan barang baru dalam dunia penerbitan pers Indonesia.
Ketika membahas penerbitan majalah-majalah dan suratkabar pada permulaan tahun
1900-an, Sejarawan Marwati Djoened Poesponegoro, dan Nugroho Notosusanto
mengakui bahwa para penulis zaman itu sudah menggunakan bentuk prosa dan puisi
sebagai cara untuk menyatakan pikiran para penulisnya.

Menurut Ajip Rosidi, pada waktu itu hampir setiap majalah, juga majalah
yang tak ada saut pautnya dengan kesusastraan atau kebudayaan memuat cerpen
setiap terbit atau bahkan mempunyai ruangan khusus untuk cerpen walaupun cerpen
yang dimuatnya bukan cerpen yang berkadar sastra sama sekali.

Berikut sejumlah majalah yang banyak memuat cerpen di masa itu, sebagaimana yang
dapat dicatat:
1. Pada tahun 1953, terbit majalah Kisah. Majalah bulanan ini adalah majalah
pertama di Indonesia yang isinya menampilkan cerita pendek dan tidak
berpolitik. Sebelumnya, menurut Jassin, cerita pendek hanya dimuat sekali-
kali saja dalam majalah, atau hanya merupakan satu rubrik tertentu dalam
majalah yang bersifat umum. Ciri khas majalah ini, setiap terbit hanya
menampilkan cerita pendek. Pengasuh majalah ini adalah HB Jassin —yang
duduk sebagai redaksinya bersama Muhammad Balfas dan Idrus, yang kala itu
dikenal sebagai pengarang cerpen yang sohor. Setiap terbit, Kisah memuat
antara 10-15 cerita pendek pilihan karangan pengarang Indonesia, di samping
menyajikan cerita-cerita terjemahan dari para pengarang dunia terkemuka.

2. Pada tahun 1955, masih di Jakarta, terbit Kontjo. Kontjo, dalam bahasa Jawa
berarti "teman". Majalah bulanan ini didirikan dan diterbitkan pertama kali
pada 1 Oktober 1955. Motonya, ditulis dalam dua versi. Pertama, seperti
tertulis di cover depan, "Dalam Suka dan Duka"; sedangkan di halaman dua,
“Di Waktu Suka dan Duka". Isi majalah selain artikel juga banyak memuat
cerpen dan lelucon-lelucon bergambar. Dalam mazed, tertera nama
pengelolanya yaitu Sudjati S.A. Ramadhan K.H dan D.S. Moeljanto. Nama-
nama yang disebut itu dikenal sebagai pengarang pada zamannya.

3. Pada tahun 1956 juga di Jakarta terbit majalah Nafsu oleh penerbit Noeniek
Press Service. Sebagian besar isinya adalah cerita-cerita fiksi berupa cerpen
maupun cerita bersambung. Di beberapa bagian halamannya ditambah dengan
kartun dan foto yang tak ada hubungannya dengan isi cerita. Pada salah satu
edisinya, dimuat cerpen karya Asmar Hadi berjudul “Tjurang dan Kepuasan”
dan cerpen karya Jan Worang yang berjudul “Memperebutkan Gadis”.
4. Pada tahun 1959 di Surabaya terbit Peristiwa Njata. Majalah bulanan yang
diterbitkan oleh Sri Soendari Press ini, mengutamakan cerita-cerita fiksi dan
kisah nyata dari dalam maupun luar negeri. Cerita-cerita ini diharapkan bisa
menjadi cermin dari kehidupan.

5. Setahun berikutnya, 1960 juga di Surabaya, terbit majalah Terang Bulan.


Isinya didominasi oleh tulisan fiksi (berupa cerpen, cerita wayang, cerita
misteri, cerita detektif, humor). Di sini pula karya Toha Mohtar (cerpen dan
ilustrasi) banyak muncul.

Bertaburannya majalah yang memuat karya fiksi, utamanya cerpen pada waktu
itu, menyebabkan lahirnya istilah “Sastra Majalah,” sebuah istilah yang dilansir oleh
Nugroho Notosusanto dalam tulisannya “Situasi 1954” dimuat dalam majalah
mahasiswa Kompas yang dipimpinnya.
 Kompas

Ide awal penerbitan harian ini datang dari Jenderal Ahmad Yani, yang
mengutarakan keinginannya kepada Frans Xaverius Seda (Menteri Perkebunan dalam
kabinet Soekarno) untuk menerbitkan surat kabar yang berimbang, kredibel, dan
independen. Frans kemudian mengemukakan keinginan itu kepada dua teman
baiknya, Peter Kansius Ojong (Tionghoa: Auwjong Peng Koen) (1920-1980), seorang
pimpinan redaksi mingguan Star Weekly, dan Jakob Oetama, wartawan mingguan
Penabur milik gereja Katolik, yang pada waktu itu sudah mengelola majalah Intisari
ketika PT Kinta akan mengalami kebangkrutan yang terbit tahun 1963. Ojong
langsung menyetujui ide itu dan menjadikan Jakob Oetama sebagai editor in-chief
pertamanya.

Pada tahun 1964, Presiden Soekarno mendesak Partai Katholik untuk


mendirikan media cetak berbentuk surat kabar, maka dari wartawan bulanan Intisari
inilah sebagian wartawan Katolik direkrut. Selanjutnya, beberapa tokoh Katolik
tersebut mengadakan pertemuan bersama beberapa wakil elemen hierarkis dari
Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI): Partai Katolik, Perhimpunan
Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Pemuda Katolik dan Wanita
Katolik. Mereka sepakat mendirikan "Yayasan Bentara Rakyat".

Susunan pengurus pertama dari Yayasan Bentara Rakyat adalah Ignatius


Joseph Kasimo (ketua Partai Katolik) sebagai ketua, Frans Seda sebagai wakil ketua,
Franciscus Conradus Palaoensoeka sebagai penulis pertama, Jakob Oetama sebagai
penulis kedua, dan P.K. Ojong sebagai bendahara. Dari yayasan tersebut, harian ini
mulai diterbitkan.

Edisi perdana harian ini memuat karya terjemahan tentang bintang layar perak
Marilyn Monroe, pengalaman perjalanan Nugroho Notosusanto, seorang ahli sejarah
dari Universitas Indonesia, ke London, Britania Raya, dan kisah Usmar Ismail,
sutradara film kenamaan, ketika pertama kali membuat film.

Pada awal penerbitannya, Frans Seda disarankan oleh Jenderal Ahmad Yani
agar Kompas memberikan wacana untuk menandingi wacana Partai Komunis
Indonesia yang berkembang pada saat itu. Namun secara pribadi, Jacob Oetama dan
beberapa pemuka agama Katolik seperti Monsignor Albertus Soegijapranata dan I.J.
Kasimo tidak mau menerima begitu saja, karena mengingat kontekstual politik,
ekonomi dan infrastruktur pada saat itu tidak mendukung.

Tetapi, tekad Partai Katolik menerbitkan surat kabar sudah final. P.K. Ojong
dan Jakob Oetama ditugaskan membangun perusahaan. Mulailah mereka bekerja
mempersiapkan penerbitan surat kabar baru, corong Partai Katolik. Tapi, suhu politik
yang memanas saat itu membuat pekerjaan mereka bukan perkara yang mudah.
Rencananya, surat kabar ini diberi nama "Bentara Rakyat". Menurut Frans
Seda, PKI tahu rencana itu lantas dihadang. Namun, karena Bung Karno setuju jalan
terus hingga izinnya keluar. Frans Seda mengacu pada PKI yang merupakan salah
satu partai besar di Indonesia pada dasawarsa 1950-an dan 1960-an, serta PKI
memenangkan tempat keempat dalam pemilihan umum 1955.

Kompas edisi pertama dicetak oleh P.N. Eka Grafika, milik harian Abadi yang
berafiliasi pada Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Tepat 28 Juni
1965, Kompas mulai diterbitkan untuk pertama kalinya dengan motto “Amanat Hati
Nurani Rakyat.” Berita utama pada halaman pertama berjudul “Konferensi Asia-
Afrika II Ditunda Empat Bulan.” Sementara Pojok kanan bawah mulai
memperkenalkan diri dengan kalimat “Mari ikat hati. Mulai hari ini, dengan Mang
Usil”. Kompas sebuah surat kabar harian pertama kali yang terbit di Jakarta sejak
pada 28 Juni 1965, maka dari itu tanggal 28 Juni dijadikan hari lahir Kompas.

Di halaman pertama pojok kiri atas, tertulis nama staf: Pemimpin Redaksi
Jakob Oetama; Staf Redaksi J. Adisubrata, Lie Hwat Nio, Marcel Beding, Th.
Susilastuti, Tan Soei Sing, J. Lambangdjaja, Tan Tik Hong, Th. Ponis Purba, Tinon
Prabawa, dan Eduard Liem. Menurut Jakob Oetama, nama P. K. Ojong ketika itu tabu
politik. Lagipula, figur Ojong tidak disukai Soekarno.

Dalam kontekstual politik pada saat itu untung tak dapat diraih, malang tak
bisa ditolak. Pagi hari 30 September 1965, tepat tiga bulan usia Kompas, sebagian
besar warga Jakarta terlelap dalam tidur pulasnya, ketika sekelompok tentara
bersenjata menangkap beberapa jenderal yang dituduh terlibat dalam Dewan Jenderal.
Peristiwa ini mengubah jalannya republik. Sejarah mencatat sebagai upaya perebutan
kekuasaan terhadap pemerintahan Soekarno. Seperti beberapa harian yang terbit
bersama dengan Kompas, mereka tidak terlepas dari upaya untuk memberikan
tandingan kepada pers yang berafiliasi dengan ideologi kiri seperti PKI, dan harian
yang dituduh tidak revolusioner lainnya.

Sehari setelah peristiwa itu, Agus Parengkuan dan Ponis Purba yang tengah
mendapat giliran tugas malam, diberi tahu pihak percetakan bahwa Kompas beserta
surat-kabar lain tak boleh terbit. Hanya harian Angkatan Bersenjata, Berita Yudha,
kantor berita Antara, dan Pemberitaan Angkatan Bersenjata yang diperbolehkan
menyiarkan berita. Larangan untuk tidak naik cetak tersebut dikeluarkan oleh pihak
militer Jakarta. Dalam surat perintah itu disebutkan “dalam rangka mengamankan
pemberitaan yang simpang-siur mengenai pengkhianatan oleh apa yang dinamakan
Komando Gerakan 30 September atau Dewan Revolusi, perlu adanya tindakan-
tindakan penguasaan terhadap media-media pemberitaan.

Ketika itu, Agus Parengkuan dan Ponis Purba tetap yakin Kompas tak perlu
dilarang terbit. Alasannya, Kompas sudah mengecam pemberontakan, dan di dalam
lay out sudah disiapkan bahwa Kompas edisi 2 Oktober juga memuat pernyataan
sikap dari Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana RE Martadinata.

Penyerangan terhadap PKI ternyata tak menyelamatkan Kompas. Koran itu


baru boleh terbit lagi pada 6 Oktober 1965. Rentang waktu seminggu itu, hingga saat
ini menjadi misteri yang belum terkuak. Banyak asumsi, pertanyaan, dan analisis
bergentayangan. Mengapa seluruh koran dibredel dan hanya menyisakan koran milik
militer? Pertumbuhan Kompas meningkat. Saat pertama kali dicetak, oplah Kompas
sekitar 4.800 eksemplar. Ketika pindah ke percetakan yang lebih bagus, Percetakan
Masa Merdeka, tirasnya meningkat jadi 8.003 eksemplar, hingga menjelang
pembredelan yang dilakukan pada masa pemerintahan Soeharto.

Saat terbit kembali pada 6 Oktober 1965, tiras Kompas menembus angka
23.268 eksemplar. Zaman berganti. Soekarno diganti Jenderal Soeharto. Pada 1999,
setahun sesudah Soeharto dipaksa mundur, tiras Kompas mencapai angka lebih dari
600 ribu eksemplar per hari. Penelitian yang dilakukan oleh lembaga riset AC Nielsen
tahun 1999 menunjukkan pasar terbesar masih seputar Jakarta 46,77%, Bogor,
Tangerang, dan Bekasi 13,02%, Jawa Barat 13.02%, Jawa Tengah, Yogyakarta
6,67%, Jawa Timur 2,04%, Sumatra 8,81%, Kalimantan 2,16%, dan Indonesia Timur
4,23%. Gramedia sebagai perusahaan induk Kompas tercatat sebagai persuahaan yang
membayar pajak terbesar nomor 32 pada tahun 1980 sedang pada tahun pada tahun
1993 untuk perusahaan PT Kompas Media Nusantara saja diperkirakan menghasillkan
Rp 240 miliar setahun dengan keuntungan bersih Rp 30 sampai 35 triliun. Tahun 1991
PT Gramedia dengan penerbitan bukunya menduduki urutan ke-151.

Seiring dengan pertumbuhannya, seperti kebanyakan surat kabar yang lain,


harian Kompas saat ini dibagi menjadi tiga bagian (section), yaitu bagian depan yang
memuat berita nasional dan internasional, bagian berita bisnis dan keuangan, bagian
berita olahraga dan iklan baris yang disebut dengan "Klasika". Harian Kompas
diterbitkan oleh PT Kompas Media Nusantara.
 Bumi Poetra

Maka, pemerintah kolonial berupaya membungkam segala aktivitas Comite


Boemi Poetera. Ketika Residen Bandung, T.J. Janssen, selesai membaca tulisan
Soewardi itu, ia kemudian segera melaporkannya kepada penguasa di Batavia. 25 Juli
1913, pejabat kehakiman bernama H.V. Monsanto tiba di Bandung dari Batavia.
Dalam penilaian pemerintah, selain isinya yang sangat keras, pamflet tersebut juga
bertentangan dengan Pasal 26 Undang-undang Pers waktu itu. Ia pun segera
menginterogasi Soewardi dan para anggota komite lainnya serta memerintahkan agar
pamflet tersebut disita.

Dengan semua kejadian ini, sehari kemudian, 26 Juli 1913, Tjipto menulis
sebuah artikel untuk De Expres berjudul Kracht en Vrees (Kekuatan dan Ketakutan).
Ia menyatakan bahwa jika pemerintah semakin menekan aktivitas komitenya,
perlawanan lebih keras justru kian tumbuh dan konsekuensinya Comite Boemi
Poetera akan terus melanjutkan perjuangannya. Dua hari kemudian Soewardi
mengikuti jejak Tjipto menulis di De Expres dengan judul Een voor allen en allen
voor een (Satu untuk semua dan semua untuk satu).

Residen Janssen tentu saja cemas dan sangat khawatir melihat aktivitas
Comite Boemi Poetera atas terbitnya serangkaian tulisan para anggotanya yang isinya
dianggap berbahaya itu. Ia memandang perlu saatnya untuk bertindak keras terhadap
mereka karena telah mengganggu keamanan dan ketertiban umum di Hindia Belanda.

Pada 30 Juli 1913 serangkaian penangkapan dan interogasi mulai dilakukan


pemerintah kolonial berkaitan dengan aktivitas Comite Boemi Poetera dan isi pamflet
Als Ik eens Nederlander was. Tjipto, Soewardi, Moeis, dan Wignjadisastra ditangkap.
Jika alasan terhadap ketiga orang terdahulu jelas, maka alasan penangkapan terhadap
Wignjadisastra disebutkan karena ia telah mewartakan semua aktivitas Comite Boemi
Poetera dalam surat kabar Kaoem Moeda, tepatnya sebagai editor dan penerbit.
Namun lebih dari itu, dan yang terpenting, tampaknya justru karena ia dianggap tidak
murni dibawah pengaruh Tjipto dan Soewardi. Dua tokoh terkemuka ini sejak lama
telah mencemaskan pemerintah kolonial karena aktivitas-aktivitasnya di IP, berikut
serangkaian tulisan-tulisannya yang mempersoalkan pemerintah kolonial.
Kemungkinan inilah yang menjadi keberatan utama pihak pemerintah kolonial
terhadap penangkapan Wignjadisastra.
 Majalah Horison

Majalah Horison adalah majalah yang khusus memuat karya sastra di


Indonesia. Majalah ini kali pertama terbit pada bulan Juli 1966 di Jakarta.[1][2]
Majalah yang didirikan oleh Mochtar Lubis, P.K. Ojong, Zaini, Arief Budiman, dan
Taufiq Ismail, ini diterbitkan untuk para sastrawan dan pegiat sastra di seluruh
Indonesia. Namun, seiring perkembangannya, majalah ini tak hanya diminati oleh
kalangan sastrawan saja, melainkan juga diminati oleh masyarakat umum di seluruh
Indonesia.[3] Sejak 1996, Horison menambahkan sisipan baru yang ditujukan untuk
guru dan siswa. Sisipan yang kemudian menjadi rubrik tetap itu bernama Kakilangit.

Tahun 1966, di tengah menyongsong datangnya zaman yang menjanjikan


zaman baru itu, berbagai gagasan untuk menerbitkan majalah yang mampu
mengekspresikan kemerdekaan berpikir dan berbicara itu datang berbaur-baur.
Gagasan-gagasan itu datang bersamaan dengan mulai timbulnya aksi-aksi Tritura
demonstrasi mahasiswa sekitar tanggal 10 Januari hingga 11 Maret 1966. Soe Hok
Djien, seorang mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang juga dikenal
sebagai seorang tokoh demonstran, diam-diam pada hari-hari di sekitar itu, tanpa
banyak orang tahu, telah menemui Mochtar Lubis di Rumah Tahanan Salemba.
Mochtar adalah bekas pemimpin redaksi Indonesia Raya, yang sedang ditahan
Soekarno karena sikap korannya yang oposan. Kepada Mochtar, Hok Djien —dikenal
dengan nama Arief Budiman— mula-mula bercerita tentang keadaan kesusastraan:
antara lain tentang Manikebu yang dilarang pemerintah, sekaligus tentang H.B. Jassin
dan Wiratmo Soekito yang dinon-aktifkan dari kepegawaiannya. Tanpa disadari,
pembicaraan kemudian melenceng pada kemungkinan menerbitkan sebuah majalah
sastra yang baik. Majalah sastra terakhir yang pernah terbit adalah Sastra yang
dikelola HB Jassin. Namun, majalah itu berhenti terbit setahun sebelumnya akibat
gencarnya serangan Lekra. Mochtar ternyata setuju. Bahkan begitu antusiasnya, ia
berjanji kepada Arief, jika sudah bebas nanti, akan berusaha menghubungi kawan-
kawannya untuk mendapatkan dana. Setelah Mochtar Lubis dibebaskan pada tanggal
17 Mei, dia teringat Arief, dan mengajak Arief berkeliling kota menemui beberapa
teman pengusahanya. Kemudian setelah berhasil mengumpulkan dana sekadarnya dan
memperoleh tumpangan kantor, mereka mulai membentuk sebuah dewan redaksi.
Yang menjadi anggota dewan, selain Mochtar dan Arief adalah HB Jassin, DS
Moeljanto, Zaini, dan Taufiq Ismail. Majalah itu disepakati bernama Horison yang
artinya kaki langit yang jauh. Majalah ini memang diharapkan dapat memperluas
cakrawala pemikiran yang saat itu sempat terkotak-kotak.

Horison terbit bulanan. Untuk itu, sebelumnya didirikanlah sebuah yayasan


yang diberi nama Yayasan Indonesia, selaku penerbit majalah sastra ini. Yayasan itu
diketuai Mochtar Lubis dengan sekretaris Arief dan berdiri pada tanggal 31 Mei 1966
melalui Akta Notaris W. Silitonga, No. 54. Dalam rapat Yayasan tanggal 3 Juni di
rumah Mochtar di Jalan Bonang 17 dibentuk susunan pengasuh majalah terdiri dari
Mochtar Lubis sebagai Pemimpin Umum/ Penanggung Jawab, dengan anggota HB
Jassin, Zaini, DS Moeljanto, Taufik Ismail, dan Arief Budiman.

Sebuah kesulitan kecil terjadi ketika meminta surat izin terbit (SIT) untuk
majalah Horison. Dalam formulir dari PWI disebutkan bahwa Penanggung Jawab,
yakni Mochtar Lubis harus berjanji akan setia kepada Manipol-Usdek, Mochtar
langsung menolak. Dia mencoret kata-kata tersebut. Para sastrawan yang sudah begitu
rindu akan kehadiran sebuah majalah sastra, berusaha membujuk Mochtar supaya
tidak melakukan hal tersebut, karena ini hanya sekadar formalitas. Formulir ini adalah
formulir lama yang akan segera diganti. Tapi Mochtar tetap pada pendiriannya. "Kita
mau mendirikan sebuah majalah kebudayaan. Karena itu kita harus merintis sebuah
kebudayaan baru yang sehat. Tidak enak kalau kita mulai dengan menandatangani
sesuatu yang tidak kita setujui", kata Mochtar. Arief kemudian ditugaskan untuk
membawa formulir itu untuk ditandatangani Ketua PWI, Mahbub Djunaidi. Mahbub
ternyata mau menandatangani formulir yang sudah dicoret-coret oleh Mochtar.
Dengan demikian berarti Horison pun mendapatkan SIT bagi penerbitannya.

Untuk menyelenggarakan roda penerbitan sehari-hari, sementara waktu kantor


redaksi menempati rumah Mochtar Lubis, sedang kantor tata usaha bertempat di
kantor redaksi Kompas di Jalan Pintu Besar Selatan 86-88. Adapun majalah dicetak di
Percetakan Angin, Jalan Blora 36, yang juga merupakan kantor redaksi majalah
mingguan Pembina, itupun atas kebaikan AH Shahab, pemilik Pembina. Di sana,
menurut DS Moeljanto, untuk ruang kerja redaksi disediakan tempat di lantai tingkat
atas yang berhawa panas sekali. Perjuangan belum selesai karena Horison belum
punya Surat Izin Pembelian Kertas (SIPKI). Namun, berkat kegesitan Arief, Horison
mendapat utangan kertas dari Direktur PT Pembangunan, Hazil Tanzil, sebanyak 60
rim.

Pada pertengahan Juli 1966, Horison nomor perdana terbit. Gambar


sampulnya hanya selembar kertas koran yang dihiasi reproduksi hitam purih poster
Sriwidodo, berdasarkan sajak Taufiq Ismail yang populer masa itu, Karangan Bunga
yang fotonya dibuat DA Peransi.

Anda mungkin juga menyukai