Oleh
Adelia Suhanda
201921500104
R3B
Lekra didirikan pada bulan Agustus 1950 sebagai respons terhadap Gerakan
Gelanggang sosial-nasionalis, dengan A.S. Dharta sebagai sekretaris jenderal pertama.
Dengan menerbitkan Mukadimah, yang berarti "pengantar", sebagai panggilan nyata
bagi orang-orang muda, terutama seniman dan penulis, untuk membantu dalam
membangun republik rakyat demokratis. Upaya tersebut dilakukan di ibu kota
Sumatra Utara Medan dan berhasil di bawah Bakri Siregar.
Mulai tahun 1962, Lekra menjadi semakin vokal terhadap orang-orang itu
dianggap melawan gerakan rakyat, termasuk penulis dan pemimpin agama Haji Abdul
Malik Karim Amrullah dan dokumentarian HB Jassin. Mereka dikritik oleh Lekra,
termasuk Amrullah dan Jassin, kemudian menandatangani Manifes Kebudayaan, atau
Manifes Kebudayaan, pada tahun 1963 sebagai respon; setelah Lekra berkampanye
melawan manifesto, pemerintah Soekarno melarang itu pada tahun 1964, dan
dikucilkan dalam penandatangannya.
Pada tahun 1963, Lekra mengklaim memiliki total 100.000 anggota yang
tersebar di seluruh 200 cabang. Selama periode ini, berada di bawah pengawasan yang
lebih ketat oleh Tentara Nasional Indonesia. Setelah kudeta gagal Gerakan 30
September, yang populer diyakini telah dipromosikan oleh Partai Komunis, dan
diikuti dengan pembunuhan massal, Suharto pengganti Sukarno dan pemerintah Orde
Baru melarang Lekra bersama-sama dengan organisasi-organisasi komunis terkait
lainnya.
Pengadilan Puisi
Tuntutan Darmanto Jt dan tuntutan Slamet Kirnanto secara tersirat dan tersurat
memang terasa di dalam ketidakpuasan terhadap kehidupan puisi Indonesia pada saat
itu. Ketidakpuasan itu, antara lain, menyangkut:
(1) sistem penilaian terhadap puisi Indonesia,
(2) kritikus sastra Indonesia,
(3) media yang memuat karya sastra Indonesia, dan
(4) beberapa penyair Indonesia yang dianggap "mapan".
Itulah sebabnya, mereka yang banyak disebut-sebut dalam "Pengadilan Puisi" di
Bandung (karena dianggap "bertanggung jawab" terhadap kehidupan puisi Indonesia)
sengaja diundang untuk berbicara dalam "Jawaban Atas Pengadilan Puisi" yang
diselenggarakan Senat Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia di Teater
Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta, 21 September 1974; sebuah acara yang
dapat dianggap sebagai "kelanjutan" atau "sambungan" Pengadilan Puisi di Bandung.
Dalam acara "Jawaban Atas Pengadilan Puisi" itu, H.B. Jassin, M.S. Hutagalung,
Goenawan Mohamad, dan Sapardi Djoko Damono "menjawab" tuduhan-tuduhan
yang dilontarkan Slamet Kirnanto kepada mereka.
Selanjutnya, dikatakan pula bahwa biang keladi keadaan yang tidak sehat ini
adalah Goenawan Mohamad yang meneruskan epigonisme dari Barat, disempurnakan
oleh Sapardi Djoko Damono yang dibuntuti oleh Abdul Hadi W.M. Selain itu,
majalah Horison dan Budaya Jaya juga dianggap berdosa karena menjadi penyebar
dan juru bicara epigonisme yang dianggap berbahaya itu sehingga harus dicabut izin
terbitnya. Akhirnya, surat tuduhan itu menyebut para kritikus, antara lain H.B. Jassin
dan M.S. Hutagalung, sebagai orang-orang yang berdosa "selalu menghembus-
hembuskan angin sastra yang tidak sehat serta tidak sanggup melihat gejala dan
kenyataan adanya aliran baru yang lebih Indonesia" sehingga mereka harus segera
dipensiunkan (Eneste, 1986).
M.S. Hutagalung dalam "Puisi Kita Dewasa Ini: Jawaban Saya Terhadap
Slamet Kirnanto" menyatakan bahwa disenangi atau tidak disenangi pengarang, FSUI
harus tetap mengutarakan pendapat-pendapatnya terhadap karya sastra.
LMM ini sendiri sebetulnya merupakan bagian pertama dari sebuah cerita
panjang. Akan tetapi, karena timbul heboh, bagian keduanya tidak dimuat majalah
Sastra. Sementara itu, Kipanjikusmin (pada tanggal 22 Oktober 1968) menyatakan
mencabut cerpen LMM dan menganggapnya tidak ada.
Sebagai penulis, H.B. Jassin tahu betul bagaimana menata tanggapan atas
suatu polemik. Keempat esainya di awal buku ini telah menunjukkan paradigma H.B.
Jassin sebelum mendiskusikan lebih lanjut cerpen “Langit Makin Mendung”. Letak
keempat esainya itu di beberapa halaman awal juga memunculkan dugaan bahwa ia
memang sengaja mengajak publik mencerna alur berpikirnya terlebih dahulu.
Cara yang ditunjukkan olehnya dalam buku Heboh Sastra 1968, Suatu
Pertanggunganjawab menandai bentuk pengharagaannya pada ilmu pengetahuan dan
kematangan Jassin yang telah bertungkus lumus di bidang kesusastraan. Cara itulah
yang seharusnya diteladani oleh orang-orang seperti Runtung Sitepu agar tak kelewat
naik pitam hanya perkara cerpen.
Sastra Majalah
Fenomena majalah yang secara khusus memuat karya fiksi, baik cerpen atau
novel (cerita bersambung) bukan barang baru dalam dunia penerbitan pers Indonesia.
Ketika membahas penerbitan majalah-majalah dan suratkabar pada permulaan tahun
1900-an, Sejarawan Marwati Djoened Poesponegoro, dan Nugroho Notosusanto
mengakui bahwa para penulis zaman itu sudah menggunakan bentuk prosa dan puisi
sebagai cara untuk menyatakan pikiran para penulisnya.
Menurut Ajip Rosidi, pada waktu itu hampir setiap majalah, juga majalah
yang tak ada saut pautnya dengan kesusastraan atau kebudayaan memuat cerpen
setiap terbit atau bahkan mempunyai ruangan khusus untuk cerpen walaupun cerpen
yang dimuatnya bukan cerpen yang berkadar sastra sama sekali.
Berikut sejumlah majalah yang banyak memuat cerpen di masa itu, sebagaimana yang
dapat dicatat:
1. Pada tahun 1953, terbit majalah Kisah. Majalah bulanan ini adalah majalah
pertama di Indonesia yang isinya menampilkan cerita pendek dan tidak
berpolitik. Sebelumnya, menurut Jassin, cerita pendek hanya dimuat sekali-
kali saja dalam majalah, atau hanya merupakan satu rubrik tertentu dalam
majalah yang bersifat umum. Ciri khas majalah ini, setiap terbit hanya
menampilkan cerita pendek. Pengasuh majalah ini adalah HB Jassin —yang
duduk sebagai redaksinya bersama Muhammad Balfas dan Idrus, yang kala itu
dikenal sebagai pengarang cerpen yang sohor. Setiap terbit, Kisah memuat
antara 10-15 cerita pendek pilihan karangan pengarang Indonesia, di samping
menyajikan cerita-cerita terjemahan dari para pengarang dunia terkemuka.
2. Pada tahun 1955, masih di Jakarta, terbit Kontjo. Kontjo, dalam bahasa Jawa
berarti "teman". Majalah bulanan ini didirikan dan diterbitkan pertama kali
pada 1 Oktober 1955. Motonya, ditulis dalam dua versi. Pertama, seperti
tertulis di cover depan, "Dalam Suka dan Duka"; sedangkan di halaman dua,
“Di Waktu Suka dan Duka". Isi majalah selain artikel juga banyak memuat
cerpen dan lelucon-lelucon bergambar. Dalam mazed, tertera nama
pengelolanya yaitu Sudjati S.A. Ramadhan K.H dan D.S. Moeljanto. Nama-
nama yang disebut itu dikenal sebagai pengarang pada zamannya.
3. Pada tahun 1956 juga di Jakarta terbit majalah Nafsu oleh penerbit Noeniek
Press Service. Sebagian besar isinya adalah cerita-cerita fiksi berupa cerpen
maupun cerita bersambung. Di beberapa bagian halamannya ditambah dengan
kartun dan foto yang tak ada hubungannya dengan isi cerita. Pada salah satu
edisinya, dimuat cerpen karya Asmar Hadi berjudul “Tjurang dan Kepuasan”
dan cerpen karya Jan Worang yang berjudul “Memperebutkan Gadis”.
4. Pada tahun 1959 di Surabaya terbit Peristiwa Njata. Majalah bulanan yang
diterbitkan oleh Sri Soendari Press ini, mengutamakan cerita-cerita fiksi dan
kisah nyata dari dalam maupun luar negeri. Cerita-cerita ini diharapkan bisa
menjadi cermin dari kehidupan.
Bertaburannya majalah yang memuat karya fiksi, utamanya cerpen pada waktu
itu, menyebabkan lahirnya istilah “Sastra Majalah,” sebuah istilah yang dilansir oleh
Nugroho Notosusanto dalam tulisannya “Situasi 1954” dimuat dalam majalah
mahasiswa Kompas yang dipimpinnya.
Kompas
Ide awal penerbitan harian ini datang dari Jenderal Ahmad Yani, yang
mengutarakan keinginannya kepada Frans Xaverius Seda (Menteri Perkebunan dalam
kabinet Soekarno) untuk menerbitkan surat kabar yang berimbang, kredibel, dan
independen. Frans kemudian mengemukakan keinginan itu kepada dua teman
baiknya, Peter Kansius Ojong (Tionghoa: Auwjong Peng Koen) (1920-1980), seorang
pimpinan redaksi mingguan Star Weekly, dan Jakob Oetama, wartawan mingguan
Penabur milik gereja Katolik, yang pada waktu itu sudah mengelola majalah Intisari
ketika PT Kinta akan mengalami kebangkrutan yang terbit tahun 1963. Ojong
langsung menyetujui ide itu dan menjadikan Jakob Oetama sebagai editor in-chief
pertamanya.
Edisi perdana harian ini memuat karya terjemahan tentang bintang layar perak
Marilyn Monroe, pengalaman perjalanan Nugroho Notosusanto, seorang ahli sejarah
dari Universitas Indonesia, ke London, Britania Raya, dan kisah Usmar Ismail,
sutradara film kenamaan, ketika pertama kali membuat film.
Pada awal penerbitannya, Frans Seda disarankan oleh Jenderal Ahmad Yani
agar Kompas memberikan wacana untuk menandingi wacana Partai Komunis
Indonesia yang berkembang pada saat itu. Namun secara pribadi, Jacob Oetama dan
beberapa pemuka agama Katolik seperti Monsignor Albertus Soegijapranata dan I.J.
Kasimo tidak mau menerima begitu saja, karena mengingat kontekstual politik,
ekonomi dan infrastruktur pada saat itu tidak mendukung.
Tetapi, tekad Partai Katolik menerbitkan surat kabar sudah final. P.K. Ojong
dan Jakob Oetama ditugaskan membangun perusahaan. Mulailah mereka bekerja
mempersiapkan penerbitan surat kabar baru, corong Partai Katolik. Tapi, suhu politik
yang memanas saat itu membuat pekerjaan mereka bukan perkara yang mudah.
Rencananya, surat kabar ini diberi nama "Bentara Rakyat". Menurut Frans
Seda, PKI tahu rencana itu lantas dihadang. Namun, karena Bung Karno setuju jalan
terus hingga izinnya keluar. Frans Seda mengacu pada PKI yang merupakan salah
satu partai besar di Indonesia pada dasawarsa 1950-an dan 1960-an, serta PKI
memenangkan tempat keempat dalam pemilihan umum 1955.
Kompas edisi pertama dicetak oleh P.N. Eka Grafika, milik harian Abadi yang
berafiliasi pada Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Tepat 28 Juni
1965, Kompas mulai diterbitkan untuk pertama kalinya dengan motto “Amanat Hati
Nurani Rakyat.” Berita utama pada halaman pertama berjudul “Konferensi Asia-
Afrika II Ditunda Empat Bulan.” Sementara Pojok kanan bawah mulai
memperkenalkan diri dengan kalimat “Mari ikat hati. Mulai hari ini, dengan Mang
Usil”. Kompas sebuah surat kabar harian pertama kali yang terbit di Jakarta sejak
pada 28 Juni 1965, maka dari itu tanggal 28 Juni dijadikan hari lahir Kompas.
Di halaman pertama pojok kiri atas, tertulis nama staf: Pemimpin Redaksi
Jakob Oetama; Staf Redaksi J. Adisubrata, Lie Hwat Nio, Marcel Beding, Th.
Susilastuti, Tan Soei Sing, J. Lambangdjaja, Tan Tik Hong, Th. Ponis Purba, Tinon
Prabawa, dan Eduard Liem. Menurut Jakob Oetama, nama P. K. Ojong ketika itu tabu
politik. Lagipula, figur Ojong tidak disukai Soekarno.
Dalam kontekstual politik pada saat itu untung tak dapat diraih, malang tak
bisa ditolak. Pagi hari 30 September 1965, tepat tiga bulan usia Kompas, sebagian
besar warga Jakarta terlelap dalam tidur pulasnya, ketika sekelompok tentara
bersenjata menangkap beberapa jenderal yang dituduh terlibat dalam Dewan Jenderal.
Peristiwa ini mengubah jalannya republik. Sejarah mencatat sebagai upaya perebutan
kekuasaan terhadap pemerintahan Soekarno. Seperti beberapa harian yang terbit
bersama dengan Kompas, mereka tidak terlepas dari upaya untuk memberikan
tandingan kepada pers yang berafiliasi dengan ideologi kiri seperti PKI, dan harian
yang dituduh tidak revolusioner lainnya.
Sehari setelah peristiwa itu, Agus Parengkuan dan Ponis Purba yang tengah
mendapat giliran tugas malam, diberi tahu pihak percetakan bahwa Kompas beserta
surat-kabar lain tak boleh terbit. Hanya harian Angkatan Bersenjata, Berita Yudha,
kantor berita Antara, dan Pemberitaan Angkatan Bersenjata yang diperbolehkan
menyiarkan berita. Larangan untuk tidak naik cetak tersebut dikeluarkan oleh pihak
militer Jakarta. Dalam surat perintah itu disebutkan “dalam rangka mengamankan
pemberitaan yang simpang-siur mengenai pengkhianatan oleh apa yang dinamakan
Komando Gerakan 30 September atau Dewan Revolusi, perlu adanya tindakan-
tindakan penguasaan terhadap media-media pemberitaan.
Ketika itu, Agus Parengkuan dan Ponis Purba tetap yakin Kompas tak perlu
dilarang terbit. Alasannya, Kompas sudah mengecam pemberontakan, dan di dalam
lay out sudah disiapkan bahwa Kompas edisi 2 Oktober juga memuat pernyataan
sikap dari Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana RE Martadinata.
Saat terbit kembali pada 6 Oktober 1965, tiras Kompas menembus angka
23.268 eksemplar. Zaman berganti. Soekarno diganti Jenderal Soeharto. Pada 1999,
setahun sesudah Soeharto dipaksa mundur, tiras Kompas mencapai angka lebih dari
600 ribu eksemplar per hari. Penelitian yang dilakukan oleh lembaga riset AC Nielsen
tahun 1999 menunjukkan pasar terbesar masih seputar Jakarta 46,77%, Bogor,
Tangerang, dan Bekasi 13,02%, Jawa Barat 13.02%, Jawa Tengah, Yogyakarta
6,67%, Jawa Timur 2,04%, Sumatra 8,81%, Kalimantan 2,16%, dan Indonesia Timur
4,23%. Gramedia sebagai perusahaan induk Kompas tercatat sebagai persuahaan yang
membayar pajak terbesar nomor 32 pada tahun 1980 sedang pada tahun pada tahun
1993 untuk perusahaan PT Kompas Media Nusantara saja diperkirakan menghasillkan
Rp 240 miliar setahun dengan keuntungan bersih Rp 30 sampai 35 triliun. Tahun 1991
PT Gramedia dengan penerbitan bukunya menduduki urutan ke-151.
Dengan semua kejadian ini, sehari kemudian, 26 Juli 1913, Tjipto menulis
sebuah artikel untuk De Expres berjudul Kracht en Vrees (Kekuatan dan Ketakutan).
Ia menyatakan bahwa jika pemerintah semakin menekan aktivitas komitenya,
perlawanan lebih keras justru kian tumbuh dan konsekuensinya Comite Boemi
Poetera akan terus melanjutkan perjuangannya. Dua hari kemudian Soewardi
mengikuti jejak Tjipto menulis di De Expres dengan judul Een voor allen en allen
voor een (Satu untuk semua dan semua untuk satu).
Residen Janssen tentu saja cemas dan sangat khawatir melihat aktivitas
Comite Boemi Poetera atas terbitnya serangkaian tulisan para anggotanya yang isinya
dianggap berbahaya itu. Ia memandang perlu saatnya untuk bertindak keras terhadap
mereka karena telah mengganggu keamanan dan ketertiban umum di Hindia Belanda.
Sebuah kesulitan kecil terjadi ketika meminta surat izin terbit (SIT) untuk
majalah Horison. Dalam formulir dari PWI disebutkan bahwa Penanggung Jawab,
yakni Mochtar Lubis harus berjanji akan setia kepada Manipol-Usdek, Mochtar
langsung menolak. Dia mencoret kata-kata tersebut. Para sastrawan yang sudah begitu
rindu akan kehadiran sebuah majalah sastra, berusaha membujuk Mochtar supaya
tidak melakukan hal tersebut, karena ini hanya sekadar formalitas. Formulir ini adalah
formulir lama yang akan segera diganti. Tapi Mochtar tetap pada pendiriannya. "Kita
mau mendirikan sebuah majalah kebudayaan. Karena itu kita harus merintis sebuah
kebudayaan baru yang sehat. Tidak enak kalau kita mulai dengan menandatangani
sesuatu yang tidak kita setujui", kata Mochtar. Arief kemudian ditugaskan untuk
membawa formulir itu untuk ditandatangani Ketua PWI, Mahbub Djunaidi. Mahbub
ternyata mau menandatangani formulir yang sudah dicoret-coret oleh Mochtar.
Dengan demikian berarti Horison pun mendapatkan SIT bagi penerbitannya.