Anda di halaman 1dari 5

Lekra: Tentang Geliat Budaya yang Gugur oleh Prahara Politik 65

Judul: Komitmen Sosial dalam Sastra dan Seni: Sejarah Lekra 1950-1965

Penulis: Keith Foulcher

Penerjemah: Rima Febriani

Penerbit: Pustaka Pias

Cetakan: Pertama, September 2020

Tebal: xxiv+216 halaman

ISBN: 978-623-94655-0-6

Peresensi: Dimas Fakhri Br


Keith Foulcher mengawali bahasannya tentang sepak terjang Lekra (Lembaga Kebudayaan
Rakjat) dan huru-hara politik budaya 1950-1965 pada bukunya dengan premis yang bijak; Lekra,
bagaimanapun konstruksi sejarah Indonesia di bawah ortodoksi politik Orde Baru yang panjang
membingkainya, perlu dengan adil kita tempatkan sebagai pondasi kesadaran ideologis tentang
gagasan (konsepsi) kebudayaan nasional. Lekra di bawah pengaruh satu sosok karismatik dari
tiga serangkai Partai Komunis Indonesia (PKI), Njoto, tumbuh sebagai episentrum kebudayaan
organik yang dengan sigap menyadari keadaan genting negara; 1) bahwa penjajahan kolonial
Belanda belum berakhir, 2) bahwa proklamasi saja tidak cukup, 3) bahwa revolusi Agustus 1945
harus dikawal, 4) bahwa perlu ada pengarus utamaan gagasan nasional selepas okupasi kolonial
Belanda yang mencabik-cabik kondisi kebudayaan, kesenian, dan kesusastraan Indonesia melalui
upaya penjajahan dan kedok lini penerbitan yang mereka sokong, Balai Pustaka; yang puluhan
tahun lamanya mengalienasi gerakan kemerdekaan hanya berbekal karangan dongeng, dan
literatur minim ideologis yang hampir meninabobokan masyarakat dalam penjajahan.

Pada awal buku, Foulcher membuka pembahasan tentang lini masa terbentuknya sejarah sastra
Indonesia modern; dari munculnya kelompok sastrawan yang tergabung dalam Pujangga Baru,
dan geliatnya melalui sosok Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dalam mengusung modernitas
sebagai tujuan dari pemajuan kebudayaan pada circa 1930-an. Lalu pertentangan Lekra dengan
kelompok Gelanggang yang diakibatkan perbedaan kredo artistik satu sama lain; Kelompok
Gelanggang dengan kredo “Humanisme Universalnya”, dan Lekra dengan kredo “Realisme
Sosialisnya”. Keduanya tidak sepaham dalam usaha pengarusutamaan kebudayaan nasional, dan
pembentukan prinsip kreatif dan kritis dalam kesusastraan.

Kredo humanisme universal kelompok Gelanggang tersurat dalam pembuka “Surat Kepercayaan
Gelanggang” yang berbunyi: “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan
kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.” Secara esensial, Foulcher menafsirkan
isi dokumen tersebut bersandar pada keyakinan bahwa ‘budaya’ merupakan kategori yang
universal.

“,maka perkembangan budaya dan sastra Indonesia modern akan berlangsung dengan cara
yang intinya sama, serta dipahami dengan istilah yang sama, dengan kehidupan budaya di
Eropa modern,” (halaman 6).
Singkatnya, bila diartikan, maka humanisme universal memahami konsep seni dan sastra dalam
kategori pemahaman yang ahistoris dan asosial. Dengan demikian, sastra dinilai dalam kapasitas
kemampuannya untuk memperkaya kualitas pengalaman manusia, baik melalui estetika bentuk
maupun panndangan terhadap realitas yang coba ditawarkan oleh kecakapan kreatif inidividu.
Berbeda dengan pandangan Lekra yang menitikberatkan sastra sebagai fenomena yang spesifik
secara historis, serta secara sosial ditentukan dan dikendalikan. Itulah mengapa terkenal jargon
“seni untuk rakyat” atau “sastra untuk rakyat” sebagai manifestasi dari bentuk risalah perjuangan
Lekra yang termaktub dalam mukaddimah lembaga dengan bunyi, “Menyadari bahwa rakjat
adalah satu-satunya pentjipta kebudajaan, dan bahwa pembangunan kebudajaan Indonesia-baru
hanja dapat dilakukan oleh rakjat, maka pada hari 17 Agustus 1950 didirikan Lembaga
Kebudajaan Rakjat, disingkat Lekra.”

Lekra digagas oleh 15 orang seniman di Jakarta pada 17 Agustus 1950, sebagai sebentuk
perlawanan dari hasil kesepakatan Den Haag dan gagasan umum yang coba dikenalkan Sutan
Takdir mengenai modernisme kebudayaan pada konferensi “Kebudayaan Nasional dan Pengaruh
Asing” yang digelar 5-7 Agustus tahun 1950. Konferensi tersebut merupakan reaksi terhadap
“Kesepakatan Budaya” antara Indonesia dengan Belanda di Den Haag pada Konferensi Meja
Bundar di bulan November 1949, yang membahas pemajuan masing-masing kebudayaan pasca
berdaulatnya Indonesia secara utuh, maka dipandang perlu adanya alternatif gagasan nasional
mengenai konsepsi kebudayaan yang berbeda dengan hasil kesepakatan Den Haag.

Bertentangan dengan STA yang mendukung hasil kesepakatan Den Haag karena dapat
“membebaskan (Indonesia) diri dari rasa inferior terhadap bekas penjajahnya”, dan keuntungan
praktis demi jalur dan akses ke dunia internasional dalam pertukaran budaya, Ki Hadjar
Dewantara yang turut hadir pada konferensi, berpendapat bahwa bersikap pada kesepakatan
dengan Belanda mestinya dipahami secara wajar saja.

“Ki Hadjar berpendapat bahwa dengan mengadopsi kesepakatan tersebut sebagaimana


mestinya, Indonesia akan tunduk pada sebuah bentuk sensor nasional yang akan membahayakan
orang-orang Indonesia itu sendiri, tidak hanya pada masalah budaya, tetapi juga dalam arena
politik dan ekonomi." (halaman 23).
Tunduknya kita pada kesepakatan dengan Belanda mencerminkan kegagalan diplomatis dalam
membangun konsepsi kebudayan sendiri. Alih-alih saling bertukar budaya dengan Belanda, Ki
Hadjar lebih memilih untuk memperluas hubungan budaya dengan bangsa Asia. Sebab
menyepakati pertukaran budaya dengan Belanda khususnya kesepakatan Den Haag, menurut
Trisno Soemardjo yang juga hadir pada konferensi tersebut, hanya akan membawa Indonesia ke
arah kapitalisme dan pengaruh Amerika, yakni pengaruh yang membawa “unsur-unsur
imperialisme, yang bertentangan dengan prinsip kemerdekaan Indonesia, humanitarianisme dan
kerakyatan.” (halaman 23)

Menolak segala bentuk konsepsi kebudayaan Konferensi Meja Bundar, dan Konferensi Nasional
dan Pengaruh Asing yang diinisiasi STA, Ki Hadjar Dewantara, dan Trisno Soemardjo, Lekra
mendeklarasikan rumusan sikap dan keyakinan mereka pada versi Mukaddimah pertama, yang
Foulcher nilai dipengaruhi pemikiran Marxis sebagai kerangka untuk menjelaskan pandangan
nasionalis dan anti imperialis Lekra terhadap kesepakatan budaya. Foulcher juga menilai,
pemajuan kebudayaan yang Lekra usung dilihat dengan kondisi material dan perjuangan bagi
kesetaraan sosial beriringan dengan komitmen emosional terhadap nasionalisme serta anti
imperialisme sebagai elemen filosofi pembaruan kebudayaan.

Untuk memudahkan dalam menerka-nerka pandangan Lekra tentang kebudayaan, Foulcher


mengartikulasikan kebudayaan sebagai kesenian, sains, dan industri, sesuai dengan apa yang
termaktub dalam mukaddimah Lekra. Dan tujuan dari perjuangan kebudayaan yang Lekra
maksud adalah mengambil alih kendali bidang-bidang kebudayaan tersebut dari tangan elit dan
meletakkannya pada kuasa demokratis kerakyatan. Sehingga konsepsi kebudayaan tetap berpijak
pada komitmen pokok ideologi moderninasi dengan berprinsip pada kuasa pembebasan dari
konsep kemajuan material yang berasal dari luar. Foulcher menegaskan sikap anti imperialisme
Lekra bukan sebagai sikap anti asing, melainkan sikap kritis dalam rangka membangun
kebudayaan demokratis kerakyatan.

Sikap Lekra yang tegas mengundang ketertarikan banyak orang untuk bergabung. Hubungan
harmonis antara pemimpin Lekra dengan PKI menghasilkan inisiasi untuk mendirikan Lekra di
banyak daerah. Foulcher menulis, pada awal perkembangannya, melalui sekretariat level
nasional, cabang-cabang Lekra di level regional dan daerah-daerah diarahkan untuk membentuk
seksi-seksi khusus yang mengurus sastra, seni rupa, musik, drama, film, filsafat, dan olahraga.
(halaman 34) Pada 1952, Surat kabar milik PKI yang dipimpin Njoto, Harian Rakjat, juga ikut
serta menjadi media berekspresi Lekra lewat halaman mingguan bernama “Ruangan
Kebudayaan”. Sehingga dalam skala nasional, mudah untuk seniman dan sastrawan Lekra
mengorbitkan karya mereka secara masif untuk dibaca banyak orang.

Untuk mendapat gambaran riil dari bagaimana karya sastra hasil anggota Lekra, Foulcher
melengkapi buku ini dengan dua bab berisi lampiran kumpulan karya Puisi dan Prosa Lekra.
Masing-masing merangkum antologi puisi dan prosa dari 1950-1954, dan 1955-1965. Sebagai
penutup, Foulcher memuji usaha Lekra yang bagaikan representasi dari usaha awal berkelanjutan
dalam sejarah Indonesia modern; yang menunjukkan kepada kita semua, salah satu masa “geger
budaya” sebagai tema besar dalam sejarah intelektual dan budaya pada pertengahan abad
kesembilan belas.

“Ia merupakan respon pertama yang terorganisasi di Indonesia terhadap masalah masalah
hubungan antara komitmen terhadap perubahan sosial dan politik serta praktik kesenian dan
sastra,” (halaman 184).

Gugurnya Lekra karena suatu prahara politik pasca Gestapu, akibat aksi pembasmian bagi
mereka yang terasosiasi dengan gerakan coup d’etat oleh gerombolan oportunis politik
menyisakan isak yang begitu dalam pada sejarah kebudayaan Indonesia. Lekra, seperti tertuang
dalam epilog Fautcher, “Kekalahannya merupakan kekalahan bagi Revolusi Indonesia karena
kaum kirilah yang menyusunnya (konsepsi kebudayaan), yang merupakan keinginan rakyat bagi
perubahan sosial dan kemandirian serta identitas nasional.”

*Dimas Fakhri Br (peresensi merupakan kader aktif Lapmi dan relawan Amnesty UIN
Jakarta)

Anda mungkin juga menyukai