Anda di halaman 1dari 14

BAB V

IDEOLOGI PANCASILA
oleh Hendar Putranto

Tujuan Pembelajaran

Setelah mendapatkan materi Ideologi Pancasila ini, mahasiswa diharapkan mampu:


1. Memahami latar belakang peristilahan dan definisi dari Ideologi
2. Menangkap sejumlah alasan mengapa Pancasila disebut sebagai Ideologi Nasional dan
Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia
3. Menjelaskan sejumlah pokok pandangan ideologi-ideologi besar dunia yaitu Liberalisme-
Kapitalisme, Marxisme-Leninisme (Komunisme), Fasisme, Totalitarianisme,
Nasionalsosialisme (NAZI), Sosialisme, dan Sosial Demokrat
4. Menunjukkan keunggulan Ideologi Pancasila dibandingkan ideologi-ideologi besar dunia
lainnya, secara kritis dan komprehensif
5. Memeragakan secara teatrikal keunggulan Ideologi Pancasila dalam keseharian

Pengantar

Benarkah “ideologi” sudah mati seperti diramalkan ahli sosiologi dari Amerika, Daniel Bell,
dalam bukunya The End of Ideology: On the Exhaustion of Political Ideas in the Fifties (1960)?
Jika benar ideologi sudah mati bersamaan dengan berakhirnya era Perang Dingin, runtuhnya
Tembok Berlin (1989), dan bubarnya Uni Soviet (25 Desember 1991), lantas di manakah letak
tantangannya belajar dan mempelajari kembali ideologi, pada umumnya, dan Ideologi Pancasila,
pada khususnya, bagi para mahasiswa di tingkat Perguruan Tinggi? Ada baiknya kita cermati
sejumlah amatan dan pandangan para ahli berikut ini, juga gejala sosial-politik kontemporer di
Indonesia, sebagai latar belakang alasan pentingnya mahasiswa tetap menggali dan
mendiskusikan soal ideologi, utamanya Ideologi Pancasila, secara khusus dalam bingkai Mata
Kuliah Pendidikan Pancasila.
Pertama, sepenggal wawancara dengan ketua NU yang juga mantan Presiden RI ke-4,
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang dimuat dalam film dokumenter pendek Mass Grave
(2012) yang disutradarai Lexy Junior Rambadeta, tentang penggalian kuburan massal korban
pembantaian yang diduga sebagai anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) di Wonosobo,i Jawa
Tengah. Dikatakan Gus Dur bahwa “melarang ideologi atau pemikiran itu adalah sia-sia. Itu
tidak mungkin dilakukan.” Senada dengan beliau, dosen Sejarah Pergerakan Nasional & PPKN
sekaligus tim ahli Pusat Studi Pancasila UGε, Slamet Sutrisno, menegaskan bahwa “sebuah
ideologi pada dasarnya tidak bisa mati. Ideologi tertentu terkesan mati, sebetulnya paling-paling
hanyalah ‘diam’ sebagaimana gunung yang tidak berapi tidak bisa dinamakan gunung yang
mati” (Sutrisno, 2014: 3).
Kedua, Jurnal Kajian Lemhannas (Desember 2012: 13) mencatat keresahan yang sudah
menggejala umum yaitu bahwa “setelah dibubarkannya BP-7 Pusat dan dihentikannya program
penataran P4 pada tahun 1998, dan tidak atau belum dibentuknya sebuah lembaga pengganti
sebagaimana dikehendaki oleh MPR RI, maka proses pengkajian terhadap Pancasila telah jauh
merosot. Hal tersebut terlihat, antara lain, pada relatif minimnya tulisan-tulisan tentang Pancasila
dibandingkan dengan tentang ideologi lain. Kuliah-kuliah ke-Pancasila-an sebagai bentuk
diseminasi Pancasila yang masih diberikan pada berbagai perguruan tinggi lebih banyak bersifat
historis dan deskriptif sehingga kehilangan maknanya sebagai ideologi yang akan menjadi
rujukan dalam pengelolaan kehidupan berbangsa dan bernegara. Terlihat indikasi yang jelas
bahwa baik para mahasiswa maupun para dosen tidak bergairah mempelajari Pancasila.”
Ketiga, Pasca Tragedi World Trade Center di Amerika pada 11 September 2001, dunia
politik global semakin ditandai oleh menjamur dan meluasnya paham (ideologi) radikalisme dan
fundamentalisme berbasis agama dengan cakupan global seperti Al Qaeda dan, yang sekarang
sedang menjadi bahan perbincangan di media massa maupun Realpolitik, ISIS (Islamic State of
Iraq and Suriah) atau Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) – yang jelas-jelas ditolak dan dilarang
berkembang ideologinya di Indonesia baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat sipil.ii

A. Latar Belakang dan Definisi para Pakar tentang Ideologi


Jika ditelusuri secara filosofis, etimologi “ideologi” berasal dari pemikiran filsuf Yunani kuno,
Plato tentang dunia ide, ἶ ος (eidos) dan ἰ έα (idea). Dalam pandangan Plato,iii misalnya
dalam dialog-dialog yang termaktub dalam bukunya Phaedo, Symposium, Republic, dan
Timaeus, ada dunia Ide atau Bentuk yang keberadaannya independen dari siapapun yang
memikirkannya. Dunia ide ini merupakan cetak-biru sempurna (dalam arti tidak mengalami
perubahan) dari benda-benda material yang ada di dunia ini, yang berubah-ubah bentuk atau
penampakannya. Sementara itu, dunia yang tampak pada kita, yang kita alami dan cerap dengan
indera ini, adalah dunia yang jauh dari sempurna, penuh kekurangan dan kekeliruan, sehingga
tidak bisa diandalkan sebagai sumber pengetahuan yang sejati (ἐ πι ήμη).
Jika ditelusuri secara politis, istilah ideologi pertama kalinya dicetuskan oleh bangsawan,
ahli ekonomi, dan filsuf Perancis, Antoine Louis Claude Destutt de Tracy (1754-1836) pada
1796, dengan konteks pasca Revolusi Perancis, dalam magnum opus-nya, Elémens d’ idéologie
(1801-1815), sebuah traktat empat volume yang membahas metodologi sains dan filsafat.
Pengertian de Tracy tentang ideologi merujuk pada sains tentang ide-ide (science of ideas). Ideas
di sini dipahami dalam pengertian filsuf politik Inggris, John Locke (1632 – 1704), dan filsuf
Perancis Étienne Bonnot de Condillac (1714-1780) di mana sensasi serta pengalaman inderawi
mendapatkan tempat terhormat sebagai sumber ilmu pengetahuan yang valid, atau yang biasa
disebut sebagai paham empirisme (Inggris) atau sensasionisme (Perancis).
Ahli ideologi terkemuka dari Inggris, Terry Eagleton, dalam bukunya Ideology (1991),
mengakui sejak awal bahwa memperdebatkan dan mencari makna tunggal dari kata “ideology”
merupakan ikhtiar yang tidak terlalu menolong untuk memperjelas makna ideologi, dikarenakan
“ideologi merupakan sebuah teks yang tersusun dari beraneka macam jalinan konseptual yang
berbeda-beda, yang telah menempuh sejarah yang berbeda-beda pula sehingga lebih penting
untuk mencermati hal-hal yang berharga untuk diambil maupun sampah yang pantas dibuang
dari setiap jalinan tersebut alih-alih memaksakan mereka masuk dalam sejumlah bingkai Teori
Global Besar” (Eagleton, 1991: 1). Eagleton sendiri berhasil membuat kompilasi definisi tentang
ideologi (jumlahnya ada 16 poin),iv yang di antaranya berbunyi sebagai berikut:
(a) proses produksi gugus makna, tanda, dan nilai dalam hidup sosial;
(b) sekumpulan gagasan yang menjadi ciri khas dari sebuah kelompok atau kelas social
tertentu;
(c) gugus ide yang membantu melegitimasi kekuasaan politik yang dominan;
(d) gagasan-gagasan palsu yang membantu melegitimasi kekuasaan politik yang
dominan;
(e) jenis komunikasi yang terdistorsi secara sistematis;
(f) bentuk-bentuk pemikiran yang didorong oleh kepentingan-kepentigan sosial;
(g) seperangkat keyakinan yang berorientasi pada tindakan.

B. Pancasila sebagai Ideologi Nasional dan Negara Kesatuan Republik Indonesia

Pancasila bagi bangsa Indonesia merupakan ideologi (dalam pengertian a system of ideas) dalam
menyelenggarakan pemerintahan negara sehingga berkedudukan sebagai ideologi negara,
merupakan sumber dari segala sumber hukum, merupakan falsafah dan pandangan hidup bangsa
Indonesia. Sebagai ideologi negara, sila-sila dalam Pancasila nilai-nilainya merupakan ide dasar
dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai yang dicita-citakan dalam Preambule
UUD 195 yaitu “membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Dengan demikian, elaborasi,
internalisasi sekaligus kontekstualisasi nilai-nilai dan makna positif yang terkandung dalam sila-
sila Pancasila merupakan sebuah keniscayaan moral dan keharusan tugas bagi para
penyelenggara negara dan juga warganya (bdk. Lemhannas RI, 2012: 32 – 33).
Satu pertanyaan kritis bisa diajukan di awal bagian ini, yaitu sejauh mana Pancasila telah
menjadi dasar negara dan juga menjadi ideologi bangsa dan negara Indonesia? Berikut adalah
alasan-alasan pembenaran yang cukup ringkas, seperti disampaikan Pandji Setijo (2006: 14).
(1) Ideologi Pancasila telah sesuai serta berakar pada nilai-nilai budaya luhur bangsa sendiri,
digali dari kehidupan rakyat yang telah berabad-abad lamanya dari bumi Indonesia
semenjak zaman Nusantara,
(2) Pancasila juga telah terbukti dapat mempersatukan seluruh kebinekaan suku, kelompok,
agama, bahasa dalam kehidupan masyarakat bangsa Indonesia dari Sabang sampai
Merauke, menjadi satu kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia dalam bentuk
bhinneka tunggal ika,
(3) Dalam kondisi krisis multidimensi dewasa ini yang sedang melanda bangsa dan negara
Indonesia, pelaksanaan ideologi Pancasila telah membantu dalam mengatasi segenap
krisis melalui berbagai solusi yang bermanfaat baik,
(4) Dengan melaksanakan ideologi Pancasila, derajat dan martabat bangsa Indonesia telah
terangkat di tengah kehidupan bangsa dunia, juga untuk kehidupan masyarakat bangsa
sendiri.
Dapat ditambahkan dua alasan lain untuk melengkapi empat alasan pembenaran di atas:
(5) Ideologi Pancasila sebagai perisai dan benteng dari ancaman krisis identitas nasional.
Guna melanjutkan keberadaan serta eksistensinya, setiap bangsa selalu berupaya
memelihara ideologinya agar bangsa tersebut tidak kehilangan identitas nasionalnya. Jika
identitas nasional dipahami sebagai jati diri bangsa yang diperoleh berkat refleksi atas
nilai-nilai dasar yang dipercayai bangsa tersebut sebagai nilai yang benar dan luhur,
sekaligus upaya terus-menerus dan berkelanjutan untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut
dalam praktik hidup sehari-hari, maka identitas nasional bangsa Indonesia yang berbasis
Ideologi Pancasila adalah identitas yang dinamis dan memberdayakan para
penghayatnya, yang dalam hal ini, warga negara Indonesia.
(6) Pancasila sebagai ideologi terbuka: kekuatan dan kelemahannya
Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., mantan Ketua Mahkamah Konstitusi RI dan
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, “terdapat dua tipe ideologi
sebagai ideologi suatu negara, yaitu ideologi tertutup dan ideologi terbuka. Ideologi
terbuka hanya berisi orientasi dasar, sedangkan penerjemahannya ke dalam tujuan-tujuan
dan norma-norma sosial-politik selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan nilai
dan prinsip moral yang berkembang di masyarakat. Operasional cita-cita yang akan
dicapai tidak dapat ditentukan secara apriori, melainkan harus disepakati secara
demokratis. Dengan sendirinya ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter dan tidak
dapat dipakai melegitimasi kekuasaan sekelompok orang (dan inilah kekuatannya).
Ideologi terbuka hanya dapat ada dan mengada dalam sistem yang demokratis.”
(Asshiddiqie, TT: 2-3) Sementara itu, kelemahan dari “ideologi terbuka” ini – mengingat
sifat dasarnya yang hanya berisi orientasi dasar, sedangkan penerjemahannya ke dalam
tujuan dan norma sosial politik yang lebih konkret selalu dapat dipertanyakan dan
disesuaikan dengan nilai dan prinsip moral yang berkembang di masyarakat – terletak
pada proses penafsiran atau penerjemahannya tersebut yang rentan disalahgunakan atau
direduksi operasionalisasinya oleh pihak-pihak yang berkuasa atau dominan dalam
masyarakat, seperti budaya atau cara pandang Jawa (lih. Darmaputera, 1988: 203).v Juga
sifat “disesuaikan dengan nilai dan prinsip moral yang berkembang dalam masyarakat”
menunjukkan sifat ideologi terbuka yang dinamis, berubah, adaptatif, paling kurang
penafsiran dan pengejawantahannya dalam komunitas yang berbeda-beda. Contoh, nilai
keadilan dalam pandangan masyarakat tradisional tentu berbeda prioritasnya dengan nilai
kekeluargaan (guyub rukun), apalagi kalau penafsiran dan pelaksanaan nilai keadilan
tersebut dibandingkan dengan masyarakat industri di perkotaan.

Langkah awal kolektif dalam sejarah perumusan Pancasila sebagai dasar filosofis
(philosophische grondslag) maupun pandangan hidup (Weltanschauung) negara Indonesia
dimulai sejak tanggal 29 April 1945 tatkala kepala pemerintahan Jepang untuk Jawa (Gunseikan:
Pembesar Pemerintahan Balatentara Dai Nippon) membentuk Badan Penyelidik Usaha

Persiapan Kemerdekaan Indonesia (独立準備調査会, Dokuritsu Junbi Chōsakai) beranggotakan

60 orang, yang dianggap mewakili atau mencerminkan suku/golongan yang tersebar di seluruh
wilayah Indonesia. BPUPKI diketuai oleh Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman
Wedyodiningrat dengan dua wakil ketua yaitu Ichibangase Yosio (orang Jepang) dan Raden
Pandji Soeroso. BPUPKI mulai bersidang pada 29 εei 1945 untuk merumuskan “dasar negara”
Indonesia merdeka yang akan dibentuk.
Secara ringkas, berikut adalah garis-garis besar proses perumusan Pancasila yang
ditempuh dalam beberapa kali sidang BPUPKI:
Pada sidang BPUPKI yang pertama, 29 Mei 1945, Mr. Muhammad Yamin menyampaikan
rumusan asas dan dasar negara sebagai berikut:vi
1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ke-Tuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat.
Pada sidang BPUPKI yang kedua, 31 Mei 1945, Mr. Soepomo menyampaikan usulan lima
“Dasar Negara Indonesia Merdeka”, yaitu:
1. Persatuan;
2. Kekeluargaan;
3. Mufakat dan Demokrasi;
4. Musyawarah; dan
5. Keadilan Sosial.
Pada sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, yang di kemudian hari ditetapkan sebagai Hari
Lahirnya Pancasila, Ir. Soekarno mengusulkan rumusan dasar negara sebagai berikut:
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau peri kemanusiaan
3. Mufakat atau demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ke-Tuhanan yang berkebudayaanvii

Dari ketiga usulan asas atau sila atau prinsip dasar negara Indonesia para founding fathers
tersebut, yang masih digodog melewati beberapa kali sidang lagi, baik ketika masih bernama
BPUPKI maupun PPKI, akhirnya disepakatilah rumusan kelima sila dalam Pancasila yang baku
yang termaktub dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945. Kelima sila inilah yang bisa didaulat
sebagai Norma Fundamental Negara [Staatsfundamentalnorm menurut teori Hans Nawiasky
(1880-1961) atau Grundnorm, menurut teori ahli hukum dari Austria kelahiran Cekoslowakia,
Hans Kelsen (1881-1973)]viii sekaligus acuan utama ideologi nasional dan bentuk Negara NKRI
hingga sekarang.

C. Ideologi-Ideologi Besar Dunia: Sejarah Ringkas, Pokok-pokok Ajaran, Karakteristik

1. Liberalisme-Kapitalisme

Liberalisme, berakar pada kata Latin liber, artinya bebas. Seorang yang berjiwa dan berpikiran
liberal berarti orang yang percaya akan kebebasan sebagai nilai yang utama, di atas nilai-nilai
lainnya. Menurut filsuf dan ahli ekonomi liberal dari Austria, Ludwig von Mises (1881 – 1973),
ada empat ciri pokok dari doktrin liberalisme klasik, yaitu kesejahteraan material, kecenderungan
rasionalistik, kebaikan bagi lebih banyak orang, dan kepemilikan hak pribadi atau properti (von
Mises, 1985: 4 – 19).
Masyarakat yang menggunakan prinsip-prinsip liberal seperti disebut di atas disebut
masyarakat kapitalis, dan kondisi atau syarat kemungkinan adanya masyarakat semacam itu
berdiri disebut kapitalisme. Meskipun dalam praxis sejarahnya, kondisi-kondisi tersebut di atas
tidak bisa terpenuhi semuanya, sehingga pencapaian-pencapaian kapitalisme pun tidak
sempurna, namun bisa dikatakan bahwa tiga ratus tahun terakhir ini, khususnya di dunia Barat,
merupakan era kapitalisme. Sejumlah besar penduduk dunia, terutama yang hidup dalam
masyarakat kapitalis, menikmati standar kehidupan yang jauh melampaui yang dapat dinikmati
generasi-generasi sebelumnya, atau yang dulunya hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang
kaya dan diuntungkan.
Berbicara di tataran sosial-ekonomi, baik kapitalisme maupun sosialisme sama-sama
bertumpu pada prinsip pembagian kerja (division of labor), yang merupakan perwujudan dari
sistem kerjasama antar manusia dalam masyarakat. Yang satu didasarkan pada kepemilikan
pribadi sarana-sarana produksi (disebut kapitalisme), sementara yang satunya kepemilikan
bersama sarana-sarana produksi (disebut sosialisme). Hak milik pribadi dan kepemilikan atas
modal oleh pribadi, yang dilindungi oleh undang-undang, akan menjamin sebuah aturan
permainan yang objektif tanpa ada campur tangan kekuasaan (prinsip non-intervention) di
dalamnya. Mengapa demikian? Jika kekuasaan ikut campur tangan, apalagi sampai mengambil
alih hak milik, maka aturan permainan akan jadi berat sebelah dan kondisi semacam ini tidak
memungkinkan bagi perwujudan kebebasan yang merupakan nilai utama dalam ideologi
Liberalisme (Bdk. Arya Kresna, 2012: 56).
Filsuf politik yang dianggap membesarkan paham liberalisme klasik adalah John Locke
(1632 – 1704), Jean-Jacques Rousseau (1712 – 1778), Jeremy Bentham (1748 – 1832), dan John
Stuart Mill (1806 – 1873); sementara dari sudut pandang ekonomi, ada empat tokoh yang
mengemuka yaitu Adam Smith (1723 – 1790), yang sering disebut sebagai Bapak Ekonomi dan
pendiri model ekonomi pasar bebas, David Ricardo (1772 – 1823), James Mill (1773 – 1836),
dan Thomas Robert Malthus (1766 – 1834).

2. Marxisme-Leninisme (Komunisme)ix
Istilah Marxisme-Leninisme berasal dari nama Karl Marx (filsuf asal Jerman, ahli ekonomi,
seorang komunis dan revolusioner, bersama rekannya Friedrich Engels, 1820-1895, merumuskan
“kitab suci” kaum komunis, “The Communist Manifesto”, yang diterbitkan pada 1848) dan
Vladimir Lenin (1870-1924), seorang tokoh komunis revolusioner, politisi dan pemikir politik
kelahiran Rusia. Ideologi Marxisme-Leninisme merupakan ideology gabungan dari ide-ide kedua
tokoh ini, dan sering juga disebut sebagai penafsiran Lenin terhadap ideologi Marxis. Nama
ideologi ini awalnya diusulkan oleh Josef Stalin (1878 – 1953), tokoh penerus ideologi setelah
kematian Lenin, dan penamaan ini sengaja dibuat olehnya untuk menarik garis batas yang jelas
antara paham Marxisme dengan praktik revolusioner yang dilakukan oleh kaum Bolsheviks
(sebagai mayoritas yang memegang kekuasaan). Selanjutnya, Marxisme-Leninisme menjadi
ideologi resmi negara Uni Soviet (USSR) dan diajarkan di semua sekolah dan universitas yang
ada di USSR.
Ideologi Marxisme-Leninisme begitu kuat pengaruhnya hingga berhasil mereformasi
bangsa Rusia dan begitu dahsyat penetrasinya sampai berhasil menghapuskan iman kepercayaan
kepada Tuhan dari jutaan orang. Klaim ideologi ini sedemikian total dan radikal mencuci-otak
sejumlah besar penghayatnya, sehingga Marxisme-Leninisme menjadi semacam agama baru,
dengan “ayat-ayat suci” (doktrin ideologis) yang diikuti secara buta oleh para pengikutnya.
Dengan demikian, secara ringkas, beberapa ajaran kunci Marxisme-Leninisme adalah:
1. Doktrin partai komunis revolusioner yang memiliki peran kunci dalam masyarakat;
2. Kemungkinan terjadinya revolusi kelas proletar (kelas pekerja) dan terbentuknya
sosialisme di negara manapun yang sistem kapitalismenya berkembang lambat;
3. Peran revolusioner dari buruh tani, orang desa dan simpatisan gerakan pembebasan
nasional (yang disimbolkan dengan palu dan arit);
4. Penanaman doktrin secara terstruktur, sistematis, dan masif bahwa kapitalisme modern
adalah sebentuk penjajahan baru (imperalisme);
5. Paham Ateisme (Ма - е а е ) yang menolak eksistensi agama dan
menyebarkan pemahaman materialis tentang alam. Agama harus dihapuskan dari muka
bumi dan sebagai konsekuensinya, ateismelah yang harus dipeluk.
Sebagai ideologi, komunisme memang “baru” mulai diterapkan saat meletusnya Revolusi
Bolshevik di Rusia tanggal 7 November 1917, namun kiprah dan pengaruhnya masih terasa
hingga sekarang, berkat daya tarik ajaran ideologisnya untuk membebaskan manusia (kelas
proletar) dari belenggu penindasan kelas borjuis, dan untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas,
di mana cita-cita keadilan dan kesamaan meraja. Pada 25 Desember 1989, mengikuti gelombang
Perestroika, pemimpin besar Soviet dan satu-satunya President USSR, Mikhail Gorbachev
mundur dari jabatannya dan mengumumkan bahwa pemerintahan komunis sudah punah. The
Supreme Soviet (parlemen), yang merupakan lembaga berotoritas tertinggi di Uni Soviet,
mengumumkan kebangkrutan dan pembubaran negara, dan peristiwa bersejarah ini menjadi
sebuah lembaran baru dalam halaman sejarah Rusia. Banyak orang mungkin mengira bahwa
dengan runtuhnya pemerintahan Uni Soviet, maka komunisme sebagai ideologi resminya juga
sudah mati. Akan tetapi, cita-cita komunisme yang sesungguhnya yaitu “masyarakat tanpa kelas”
belum pernah terwujud sampai hari ini. Partai komunis, meskipun namanya berbeda-beda di
setiap negara, juga masih tetap ada dan aktif secara politis di berbagai penjuru dunia.x Mereka
terus berupaya memperjuangkan hak-hak buruh, serta melawan ekses-ekses negatif dari
kapitalisme dan neo-liberalisme. Sampai sekarang, Negara Kuba, Laos dan Vietnam secara resmi
masih mendaku diri sebagai negara komunis dan partai yang berkuasa di ketiga negara itu masih
memegang dan mengajarkan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi resmi negara, meskipun
penafsiran terhadap ajaran Marxisme ortodoks mungkin sudah mengalami perubahan-perubahan
tertentu.
Indonesia pun hampir saja menjadi salah satu negara berpaham komunis pada 1965 jika
saja Partai Komunis Indonesia, salah satu partai dengan jumlah massa riil terbesar di Indonesia
saat itu – bahkan partai komunis terkuat ketiga di dunia setelah partai komunis di Uni Soviet dan
Cina – berhasil merebut kekuasaan di Indonesia. Akan tetapi, alih-alih berhasil merebut
kekuasaan dan mengendalikan pemerintahan, PKI justru dihancurkan Angkatan Darat. Anggota-
anggota serta simpatisan-simpatisan PKI lantas diburu, disiksa, dan dibunuh tanpa melewati
proses fair trial. Diperkirakan antara 500.000 sampai 2 juta jiwa manusia dibantai di Jawa dan
Bali setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965.xi Peristiwa ini merupakan salah satu halaman
terhitam sejarah negara Indonesia pasca kemerdekaannya. Pasca lengser-nya Presiden Suharto
pada 21 Mei 1998, diduga aktivitas kelompok-kelompok Komunis, Marxis, dan haluan kirixii
lainnya pelan-pelan mulai kembali aktif di lapangan politik Indonesia, walaupun belum secara
terang-terangan.
Sampai sekarang, keberadaan partai komunis dan ajaran komunisme masih dilarang oleh
pemerintah Indonesia, berdasarkan Tap MPRS XXV/1966 dan strategi kekerasan budaya yang
dipraktikkan Orde Baru terhadap musuh bersama bernama “Komunisme” lewat media sastra dan
film,xiii serta ditentang keberadaannya oleh masyarakat luas, dengan stigma “komunis” atau
“antek-antek komunis”.

3. Fasisme-Totalitarianisme-Nasionalsosialisme (NAZI)

Kata fasisme (fascism) berasal dari kata Italia fascio (bentuk jamaknya: fasci), yang berarti
ikatan (bundle) seperti tampak dalam ikatan kelompok (entah politis, ideologis, berdasarkan
kelas, dsb.) atau ikatan kolektif seperti bangsa. Selain itu, bisa juga berasal dari kata fasces
(rumput atau akar yang dililitkan mengelilingi sebilah kapak), yang merupakan simbol
Kekaisaran Romawi kuno untuk otoritas hukum (magistrates). Penggunaan simbol “rumput atau
akar yang melilit” (fasces) menunjukkan makna terbentuknya kekuatan lewat persatuan: kalau
hanya sebatang ranting kecil akan mudah dipatahkan, sementara kalau sebundel akan sulit untuk
dipatahkan.
Kamus Merriam-Webster mendefinisikan fasisme sebagai “sebuah filsafat politik,
gerakan politik atau rezim (Fascisti) yang mengagung-agungkan bangsa dan ras di atas individu,
yang berjuang untuk mewujudkan pemerintahan otokrasi dan tersentral yang dikepalai seorang
diktator, dengan mekanisme pengaturan sosial dan ekonomi yang keras terkontrol, dan memakai
cara-cara kekerasan untuk menekan lawan politiknya (oposisi).”xiv
Sejak kejatuhan rezim fasisme Italia dan NAZI Jerman, juga kegagalan rezim-rezim fasis
di berbagai belahan bumi lainnya, istilah “fasis” menjadi olok-olok politik. Amat jarang ada
kelompok politik yang mendaku diri mereka “fasis” pasca 1945. Dalam diskursus politik
kontemporer, pengikut ideologi politik tertentu cenderung mengasosiasikan fasisme dengan
posisi musuh atau lawan politik mereka. Jadi, jika mau ditarik garis demarkasi yang jelas,
fasisme meliputi gerakan dan aliran politik sebelum Perang Dunia II, sementara gerakan
berikutnya menyebut diri sebagai neo-fasis.
Sementara itu, “totalitarianisme” dan “rezim totaliter” merupakan istilah politik khas
abad ke-20. Menurut seorang pakar politik dan hukum dari Australian National University,
Eugene Kamenka (1928-1994), istilah totaliter dan totalitarianisme menggambarkan negara,
ideologi, para pemimpin politik dan partai politik yang mengupayakan perubahan dan kendali
total terhadap masyarakat sebagai tujuan politisnya (Kamenka, 1995: 629 - 631). Paradigma
yang melatarbelakangi tujuan ini adalah konsep hidup yang total menyeluruh dan negara serta
komunitas yang organis-kohesif. Istilah ini pertama kali muncul di panggung politik ketika
digunakan oleh pemimpin rezim fasis di Italia, yaitu Benito Mussolini, dalam pidato kenegaraan
yang menyerang sisa-sisa anggota kelompok oposan dalam Parlemen pada 22 Juni 1925, dengan
istilah “la nostra feroce voluntà totalitaria.” (kehendak totaliter kita – yaitu kaum Fasis yang
dipimpinnya – yang kokoh). Berasal dari kata Italia totalitario, yang artinya komplit, mutlak,
istilah totaliter dengan cepat dipakai sebagai ideologi resmi negara Italia sebagaimana
dirumuskan pemikir rezim fasis, Giovanni Gentile (1875-1944). Beberapa tahun setelahnya,
Mussolini mengadopsi sistem pemikiran totaliter ini dan memasukkannya sebagai ideologi
negara “lo stato totalitario” (negara totaliter).
Di Jerman, penggunaan istilah total atau totalitär oleh rezim Nasionalsosialisme (NAZI)
tidak bertahan lama. Pertama kali digunakan oleh Ernst Juenger pada 1930, konsep ini identik
dengan “mobilisasi total” dalam pengertian militer. Pada tahun-tahun berikutnya, Carl Schmitt,
seorang pengacara yang kelak menjadi salah seorang ideolog terpenting dari NAZI,
mendiskusikan ide “negara totaliter”. Namun karena konsep ini jarang digunakan oleh Der
Führer, Adolf Hitler (1889 – 1945), mungkin karena ia tidak mau dianggap berhutang budi
secara ideologis pada Mussolini, maka istilah “totalitär” menjadi usang dan tidak lagi dipakai
para petinggi NAZI.
Dalam Realpolitik, termasuk yang baru-baru ini terjadi, dalam sidang gugatan hasil
Pilpres 2014 di Mahkamah Konstitusi pada 6 Agustus 2014, salah seorang calon Presiden
menyebutkan istilah ini sebanyak dua kali, dengan tekanan tertentu.xv Melihat arus sejarah dan
perkembangan politik selama seratus tahun terakhir, secara induktif bisa ditarik kesimpulan
bahwa ada kemungkinan fase-fase berikutnya dari “totalitarianism”, aplikabilitas konsep ini
dalam realpolitik dan flexibilitasnya dalam wacana akademis juga kemungkinan besar masih
akan terus berlanjut.
Daftar pertanyaan:
1. Buatlah skema / mind-mapping definisi dari “ideology” berdasarkan pendapat para ahli
yang dikutip dalam artikel di atas!
2. εengapa wacana tentang “ideology” masih saja bertebaran dewasa ini, padahal abad
ideologi-ideologi besar sudah bisa dikatakan “berlalu” sejak empat puluh tahun lalu?
3. Buatlah dalam bentuk bagan terstruktur, keunggulan ideologi Pancasila jika
dibandingkan:
a. Liberalisme – kapitalisme
b. Marxisme – Komunisme
c. Fasisme – Totalitarianisme – Nasionalsosialisme (NAZI)!
4. Menurut analisis kelompok Anda, sejauh mana Pancasila telah menjadi ideologi bangsa
dan negara Indonesia yang dapat dibanggakan selama 69 tahun kemerdekaan RI? Berikan
bukti-buktinya yang konkret-faktual!

Catatan Akhir

i Lih. Resensi dan ulasan cerdas serta objektif tentang film ini di http://katamaya.com/solodokumenter/2012/10/10/mass-grave/
ii Lih. Zuhairi Misrawi. 2014. “Proliferasi NIIS” dalam kolom opini KOMPAS, Rabu, 6 Agustus 2014, hlm. 7; Penolakan Majelis Ulama
Indonesia bersama 39 ormas Islam (termasuk di dalamnya ormas Islam dengan jumlah massa terbesar di Indonesia yaitu
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah) dimuat sebagai berita utama KOMPAS, 8 Agustus 2014, dengan judul “MUI dan Ormas Islam
Tolak NIIS.” Bdk. dengan puluhan artikel lain yang membahas tentang ISIS yang tersebar dan dengan mudah diakses di media
massa daring, seperti "Indonesia larang penyebaran ideologi ISIS"
(http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2014/08/140804_indonesia_larang_faham_isis.shtml: diakses pada 7 Agustus
2014 pukul 15:52 WIB), "Simpul-Simpul ISIS di Indonesia" (http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/08/03/n9ovd1-
simpulsimpul-isis-di-indonesia: diakses pada 7 Agustus 2014 pukul 15:55) dan "Kenapa ISIS Berpotensi Membahayakan Indonesia"
(http://www.tempo.co/read/news/2014/08/01/078596639/Kenapa-ISIS-Berpotensi-Membahayakan-Indonesia: diakses pada 7
Agustus 2014 pukul 15:58 WIB)
iii Bagian ini menyarikan pandangan Plato tentang “Ide” atau “Bentuk” dengan menggunakan tiga sumber rujukan berikut,
http://www.philosophicalsociety.com/archives/plato%20and%20the%20theory%20of%20forms.htm,
http://en.wikipedia.org/wiki/Theory_of_Forms, dan http://www.iep.utm.edu/plato/#SH6b (diakses pada 12 Agustus 2014, pukul
9.50 WIB)
iv Bdk. dengan daftar kompilasi definisi tentang ideologi yang berhasil dihimpun oleh Gerring (1997: 957 – 959); daftar versi
Gerring ini relatif lebih lengkap serta terperinci baik penjabaran maupun asal-usul rujukannya.
v Darmaputera menyatakan bahwa “pada tataran operasional praktik Pancasila sesuai dengan etos budaya Jawa … karena Pancasila
berakar pada budaya umum Indonesia, yang di dalamnya orientasi nilai Jawa merupakan budaya yang dominan, (maka) Pancasila
juga mewarisi kelemahan-kelemahan dari budaya Jawa tersebut.”
vi Untuk detil paparan lisan dari Prof. Muh. Yamin ini, lihat Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI yang dikeluarkan oleh Sekretariat
Negara Republik Indonesia, 1992, hlm. 7 - 24
vii Dalam pidatonya, Bung Karno juga menyebutkan prinsip ini sebagai “ke-Tuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, ketuhanan
yang hormat-menghormati satu sama lain…ke-Tuhanan Yang Maha Esa” (Risalah, 1992: 69)
viii Lih. http://id.wikipedia.org/wiki/Norma_Fundamental_Negara (diakses pada 14 Agustus 2014, pukul 15.17 WIB)
ix Untuk kerangka kronologis yang detil tentang ideologi ini, termasu ajaran-ajaran dan tokoh-tokohnya, penulis membandingkan
data dan info yang diperoleh dari http://en.wikipedia.org/wiki/Marxism%E2%80%93Leninism dan versi yang lebih ringkas di
http://russiapedia.rt.com/of-russian-origin/marxism-leninism/ (keduanya diakses pada 14 Agustus 2014, pukul 15.50 WIB)
x Lih. http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_communist_parties (diakses pada 14 Agustus 2014, pukul 16.23 WIB)
xi Untuk mendapatkan angka pasti jumlah korban jiwa yang terafiliasi dengan PKI amatlah sulit, untuk tidak mengatakan mustahil.
Berikut adalah tiga sumber yang digunakan penulis sebagai rujukan jumlah korban jiwa pasca G30S:
http://id.wikipedia.org/wiki/Pembantaian_di_Indonesia_1965%E2%80%931966;
http://en.wikipedia.org/wiki/Communist_Party_of_Indonesia; dan
http://www2.gwu.edu/~nsarchiv/NSAEBB/NSAEBB52/exhibit1.pdf (ketiganya diakses pada 18 Agustus 2014, pukul 15.15 WIB)
xii Menurut Leclerc (2011: 23 - 24), kata “kiri” dalam perbendaharaan kata politik internasional, agaknya merupakan konsekuensi
dari Revolusi Perancis; kata “kiri” seringkali digunakan dalam perempat abad ke-19, dan “kiri” menunjuk pada ide-ide wakil rakyat
yang duduk di sisi sebelah kiri ketua di ruang Parlemen Perancis. Kata “kiri” juga digunakan pada masa yang sama, di Inggris,
tanpa dihubungkan dengan letak duduk anggota parlemen di ruang sidang. Pada saat pengertian “kiri” mulai meluas di Eropa,
muncullah “sosialisme” dan “komunisme”. Lalu ketiga pengertian tersebut saling kait-mengkait. Di samping golongan kiri “liberal”
terdapat kelompok “ekstrem kiri,” sosialis, atau komunis. Namun ketiga-tiganya memiliki ide bersama yang berasal dari Revolusi
Perancis.
xiii Lih. Izzati, Fathimah Fildzah. 2014. "Orde Baru dan Kebencian terhadap Komunisme yang Tak Kunjung Usai," sebuah resensi
buku "Herlambang, Wijaya. 2013. Kekerasan Budaya pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui
Sastra dan Film. Tangerang Selatan: Marjin Kiri" yang dimuat dalam jurnal Indoprogress, LBR Edisi XXV/2014 (daring). Artikel bisa
diakses di http://indoprogress.com/2014/08/orde-baru-dan-kebencian-terhadap-komunisme-yang-tak-kunjung-usai/ (diakses pada
18 Agustus 2014, pukul 16.00 WIB)
xiv http://www.merriam-webster.com/dictionary/fascism (diakses pada 8 Agustus 2014 pukul 15.26 WIB)
xv Lih. cuplikan gugatan tersebut dengan judul “[FULL HD] Ini Dalil Prabowo Ajukan Gugatan Ke MK Rabu 06 Agustus 2014 #
Sidang Sengketa Pilpres” di http://www.youtube.com/watch?v=Lm37Fd7KzuY, terutama di menit 4’34” – 5’37”. Video diunggah
oleh Mata Najwa (http://www.youtube.com/channel/UCTPvJtLpNgCtze-K_DoLo9A/feed). Lengkapnya transkrip cuplikan pidato
sambutan Prabowo tersebut berbunyi sebagai berikut, “Saya tidak akan ulangi semua proses atau semua hal yang sudah
disampaikan oleh kuasa hukum saya, tetapi bayangken, di ratusan TPS, kami, pasangan yang didukung oleh 7 partai besar, 62%
dalam pemilihan legislatif, dapat 0. hundred, 100 persen dimenangkan oleh satu fihak. Ini hanya terjadi di negara totaliter, di
Korea Utara, bahkan...saya ralat, Majelis yang terhormat, yang saya muliakan, saya ralat, di Korea Utara pun tidak terjadi, mereka
bikin 97.8% atau 99%. Di kita ada yang 100%. Ini luar biasa. Ini hanya terjadi di negara totaliter, fasis atau komunis." (cetak
miring ditambahkan penulis). Bdk. dengan sejumlah artikel yang dimuat di media massa daring yang juga menyoroti isu ini, seperti
http://indonesiasatu.kompas.com/read/2014/08/06/1111086/prabowo.anggap.pilpres.di.indonesia.seperti.di.negara.totaliter.fasis.k
omunis; http://www.suarapembaruan.com/home/omongan-prabowo-soal-fasis-dan-komunis-sangat-menyakitkan/61568; dan
http://nasional.kompas.com/read/2014/08/06/1111086/Prabowo.Anggap.Pilpres.di.Indonesia.seperti.di.Negara.Totaliter.Fasis.Kom
unis

Anda mungkin juga menyukai