Anda di halaman 1dari 14

IDEOLOGI PANCASILA

DISUSUN SEBAGAI SYARAT MENGIKUTI UJIAN AKHIR

MATA KULIAH PANCASILA

DOSEN PENGAMPU :

Drs. Yanto Supriyatno, M.Si

DISUSUN OLEH :

Irfandi Nizar Gumiwang (41183507220103)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM “45” BEKASI

2023
IDEOLOGI PANCASILA

1) Pendahuluan
Pancasila terdiri dari dua kata dari Sanskerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau
asas. Kita memeperingati hari lahirnya Pancasila pada 1 Juni. Masa perumusan Pancasila bukanlah hal
sederhana, di tahun 1945 beberapa tokoh pendiri bangsa mengemukakan pemikiran mengenai
pengaturan penyelengaraan negara yang harus memiliki sebuah dasar fundamental berakar pada
sejarah, peradaban, agama, dan hidup ketatanegaraan yang telah lama berkembang di Indonesia.
Hingga tercetuslah nama Panca Sila oleh Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 lewat pidato spontanya
yang berjudul Lahirnya Pancasila dalam sidang BPUPKI I.

Benarkah “ideologi” sudah mati seperti diramalkan ahli sosiologi dari Amerika, Daniel Bell,
dalam bukunya The End of Ideology: On the Exhaustion of Political Ideas in the Fifties (1960)? Jika benar
ideologi sudah mati bersamaan dengan berakhirnya era Perang Dingin, runtuhnya Tembok Berlin
(1989), dan bubarnya Uni Soviet (25 Desember 1991), lantas di manakah letak tantangannya belajar dan
mempelajari kembali ideologi, pada umumnya, dan Ideologi Pancasila, pada khususnya, bagi para
mahasiswa di tingkat Perguruan Tinggi? Ada baiknya kita cermati sejumlah amatan dan pandangan para
ahli berikut ini, juga gejala sosial-politik kontemporer di Indonesia, sebagai latar belakang alasan
pentingnya mahasiswa tetap menggali dan mendiskusikan soal ideologi, utamanya Ideologi Pancasila,
secara khusus dalam bingkai Mata Kuliah Pendidikan Pancasila. Pertama, sepenggal wawancara dengan
ketua NU yang juga mantan Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang dimuat dalam film
dokumenter pendek Mass Grave (2012) yang disutradarai Lexy Junior Rambadeta, tentang penggalian
kuburan massal korban pembantaian yang diduga sebagai anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) di
Wonosobo,i Jawa Tengah. Dikatakan Gus Dur bahwa “melarang ideologi atau pemikiran itu adalah sia-
sia. Itu tidak mungkin dilakukan.” Senada dengan beliau, dosen Sejarah Pergerakan Nasional & PPKN
sekaligus tim ahli Pusat Studi Pancasila UGε, Slamet Sutrisno, menegaskan bahwa “sebuah ideologi pada
dasarnya tidak bisa mati. Ideologi tertentu terkesan mati, sebetulnya paling-paling hanyalah ‘diam’
sebagaimana gunung yang tidak berapi tidak bisa dinamakan gunung yang mati” (Sutrisno, 2014: 3).
Kedua, Jurnal Kajian Lemhannas (Desember 2012: 13) mencatat keresahan yang sudah menggejala
umum yaitu bahwa “setelah dibubarkannya BP-7 Pusat dan dihentikannya program penataran P4 pada
tahun 1998, dan tidak atau belum dibentuknya sebuah lembaga pengganti sebagaimana dikehendaki
oleh MPR RI, maka proses pengkajian terhadap Pancasila telah jauh merosot. Hal tersebut terlihat,
antara lain, pada relatif minimnya tulisan-tulisan tentang Pancasila dibandingkan dengan tentang
ideologi lain. Kuliah-kuliah ke-Pancasila-an sebagai bentuk diseminasi Pancasila yang masih diberikan
pada berbagai perguruan tinggi lebih banyak bersifat historis dan deskriptif sehingga kehilangan
maknanya sebagai ideologi yang akan menjadi rujukan dalam pengelolaan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Terlihat indikasi yang jelas bahwa baik para mahasiswa maupun para dosen tidak bergairah
mempelajari Pancasila.” Ketiga, Pasca Tragedi World Trade Center di Amerika pada 11 September 2001,
dunia politik global semakin ditandai oleh menjamur dan meluasnya paham (ideologi) radikalisme dan
fundamentalisme berbasis agama dengan cakupan global seperti Al Qaeda dan, yang sekarang sedang
menjadi bahan perbincangan di media massa maupun Realpolitik, ISIS (Islamic State of Iraq and Suriah)
atau Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) – yang jelas-jelas ditolak dan dilarang berkembang ideologinya
di Indonesia baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat sipil

2) Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang mucul adalah : “ apa itu ideologi
pancasila?”

3) Pembahasan

Jika ditelusuri secara filosofis, etimologi “ideologi” berasal dari pemikiran filsuf Yunani kuno, Plato
tentang dunia ide, iἶ hος (eidos) dan ἰ hέα (idea). Dalam pandangan Plato,iii misalnya dalam dialog-
dialog yang termaktub dalam bukunya Phaedo, Symposium, Republic, dan Timaeus, ada dunia
Ide atau Bentuk yang keberadaannya independen dari siapapun yang memikirkannya. Dunia
ide ini merupakan cetak-biru sempurna (dalam arti tidak mengalami perubahan) dari benda-
benda material yang ada di dunia ini, yang berubah-ubah bentuk atau penampakannya.
Sementara itu, dunia yang tampak pada kita, yang kita alami dan cerap dengan indera ini,
adalah dunia yang jauh dari sempurna, penuh kekurangan dan kekeliruan, sehingga tidak bisa
diandalkan sebagai sumber pengetahuan yang sejati (ἐπιjkήμη).
Jika ditelusuri secara politis, istilah ideologi pertama kalinya dicetuskan oleh
bangsawan, ahli ekonomi, dan filsuf Perancis, Antoine Louis Claude Destutt de Tracy (1754-
1836) pada 1796, dengan konteks pasca Revolusi Perancis, dalam magnum opus-nya, Elémens
d’ idéologie
(1801-1815), sebuah traktat empat volume yang membahas metodologi sains dan filsafat.
Pengertian de Tracy tentang ideologi merujuk pada sains tentang ide-ide (science of ideas).
Ideas di sini dipahami dalam pengertian filsuf politik Inggris, John Locke (1632 – 1704), dan
filsuf Perancis Étienne Bonnot de Condillac (1714-1780) di mana sensasi serta pengalaman
inderawi mendapatkan tempat terhormat sebagai sumber ilmu pengetahuan yang valid, atau
yang biasa disebut sebagai paham empirisme (Inggris) atau sensasionisme (Perancis).
Ahli ideologi terkemuka dari Inggris, Terry Eagleton, dalam bukunya Ideology (1991),
mengakui sejak awal bahwa memperdebatkan dan mencari makna tunggal dari kata “ideology”
merupakan ikhtiar yang tidak terlalu menolong untuk memperjelas makna ideologi,
dikarenakan “ideologi merupakan sebuah teks yang tersusun dari beraneka macam jalinan
konseptual yang berbeda-beda, yang telah menempuh sejarah yang berbeda-beda pula
sehingga lebih penting untuk mencermati hal-hal yang berharga untuk diambil maupun sampah
yang pantas dibuang dari setiap jalinan tersebut alih-alih memaksakan mereka masuk dalam
sejumlah bingkai Teori Global Besar” (Eagleton, 1991: 1). Eagleton sendiri berhasil membuat
kompilasi definisi tentang ideologi (jumlahnya ada 16 poin),iv yang di antaranya berbunyi
sebagai berikut:
(a) proses produksi gugus makna, tanda, dan nilai dalam hidup sosial;
(b) sekumpulan gagasan yang menjadi ciri khas dari sebuah kelompok atau kelas social
tertentu;
(c) gugus ide yang membantu melegitimasi kekuasaan politik yang dominan;
(d) gagasan-gagasan palsu yang membantu melegitimasi kekuasaan politik yang dominan;
(e) jenis komunikasi yang terdistorsi secara sistematis;
(f) bentuk-bentuk pemikiran yang didorong oleh kepentingan-kepentigan sosial; (g)
seperangkat keyakinan yang berorientasi pada tindakan.

B. Pancasila sebagai Ideologi Nasional dan Negara Kesatuan Republik Indonesia

Pancasila bagi bangsa Indonesia merupakan ideologi (dalam pengertian a system of ideas) dalam
menyelenggarakan pemerintahan negara sehingga berkedudukan sebagai ideologi negara, merupakan
sumber dari segala sumber hukum, merupakan falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
Sebagai ideologi negara, sila-sila dalam Pancasila nilai-nilainya merupakan ide dasar dalam mengatur
kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai yang dicita-citakan dalam Preambule UUD 195 yaitu
“membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Dengan demikian, elaborasi, internalisasi sekaligus
kontekstualisasi nilai-nilai dan makna positif yang terkandung dalam silasila Pancasila merupakan
sebuah keniscayaan moral dan keharusan tugas bagi para penyelenggara negara dan juga warganya
(bdk. Lemhannas RI, 2012: 32 – 33).

Satu pertanyaan kritis bisa diajukan di awal bagian ini, yaitu sejauh mana Pancasila telah
menjadi dasar negara dan juga menjadi ideologi bangsa dan negara Indonesia? Berikut adalah alasan-
alasan pembenaran yang cukup ringkas, seperti disampaikan Pandji Setijo (2006: 14).
(1) Ideologi Pancasila telah sesuai serta berakar pada nilai-nilai budaya luhur bangsa sendiri, digali
dari kehidupan rakyat yang telah berabad-abad lamanya dari bumi Indonesia semenjak zaman
Nusantara,

(2) Pancasila juga telah terbukti dapat mempersatukan seluruh kebinekaan suku, kelompok,
agama, bahasa dalam kehidupan masyarakat bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke,
menjadi satu kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia dalam bentuk bhinneka tunggal
ika,
(3) Dalam kondisi krisis multidimensi dewasa ini yang sedang melanda bangsa dan negara
Indonesia, pelaksanaan ideologi Pancasila telah membantu dalam mengatasi segenap krisis
melalui berbagai solusi yang bermanfaat baik,

(4) Dengan melaksanakan ideologi Pancasila, derajat dan martabat bangsa Indonesia telah
terangkat di tengah kehidupan bangsa dunia, juga untuk kehidupan masyarakat bangsa
sendiri.
Dapat ditambahkan dua alasan lain untuk melengkapi empat alasan pembenaran di atas:

(5) Ideologi Pancasila sebagai perisai dan benteng dari ancaman krisis identitas nasional. Guna
melanjutkan keberadaan serta eksistensinya, setiap bangsa selalu berupaya memelihara
ideologinya agar bangsa tersebut tidak kehilangan identitas nasionalnya. Jika identitas nasional
dipahami sebagai jati diri bangsa yang diperoleh berkat refleksi atas nilai-nilai dasar yang
dipercayai bangsa tersebut sebagai nilai yang benar dan luhur, sekaligus upaya terus-menerus
dan berkelanjutan untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam praktik hidup sehari-hari, maka
identitas nasional bangsa Indonesia yang berbasis Ideologi Pancasila adalah identitas yang
dinamis dan memberdayakan para
penghayatnya, yang dalam hal ini, warga negara Indonesia.

(6) Pancasila sebagai ideologi terbuka: kekuatan dan kelemahannya


Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., mantan Ketua Mahkamah Konstitusi RI dan Guru
Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, “terdapat dua tipe ideologi sebagai ideologi
suatu negara, yaitu ideologi tertutup dan ideologi terbuka. Ideologi terbuka hanya berisi
orientasi dasar, sedangkan penerjemahannya ke dalam tujuan-tujuan dan norma-norma sosial-
politik selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan nilai dan prinsip moral yang
berkembang di masyarakat. Operasional cita-cita yang akan dicapai tidak dapat ditentukan
secara apriori, melainkan harus disepakati secara demokratis. Dengan sendirinya ideologi
terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat dipakai melegitimasi kekuasaan
sekelompok orang (dan inilah kekuatannya). Ideologi terbuka hanya dapat ada dan mengada
dalam sistem yang demokratis.”
(Asshiddiqie, TT: 2-3) Sementara itu, kelemahan dari “ideologi terbuka” ini – mengingat sifat
dasarnya yang hanya berisi orientasi dasar, sedangkan penerjemahannya ke dalam tujuan dan
norma sosial politik yang lebih konkret selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan nilai
dan prinsip moral yang berkembang di masyarakat – terletak

pada proses penafsiran atau penerjemahannya tersebut yang rentan disalahgunakan atau
direduksi operasionalisasinya oleh pihak-pihak yang berkuasa atau dominan dalam masyarakat,
seperti budaya atau cara pandang Jawa (lih. Darmaputera, 1988: 203). v Juga sifat “disesuaikan
dengan nilai dan prinsip moral yang berkembang dalam masyarakat” menunjukkan sifat
ideologi terbuka yang dinamis, berubah, adaptatif, paling kurang penafsiran dan
pengejawantahannya dalam komunitas yang berbeda-beda. Contoh, nilai keadilan
dalam pandangan masyarakat tradisional tentu berbeda prioritasnya dengan nilai
kekeluargaan (guyub rukun), apalagi kalau penafsiran dan pelaksanaan nilai keadilan
tersebut dibandingkan dengan masyarakat industri di perkotaan.

Langkah awal kolektif dalam sejarah perumusan Pancasila sebagai dasar filosofis
(philosophische grondslag) maupun pandangan hidup (Weltanschauung) negara Indonesia
dimulai sejak tanggal 29 April 1945 tatkala kepala pemerintahan Jepang untuk Jawa
(Gunseikan: Pembesar Pemerintahan Balatentara Dai Nippon) membentuk Badan Penyelidik
Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (独立準備調査会, Dokuritsu Junbi Chōsakai)
beranggotakan

60 orang, yang dianggap mewakili atau mencerminkan suku/golongan yang tersebar di seluruh
wilayah Indonesia. BPUPKI diketuai oleh Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman
Wedyodiningrat dengan dua wakil ketua yaitu Ichibangase Yosio (orang Jepang) dan Raden
Pandji Soeroso. BPUPKI mulai bersidang pada 29 εei 1945 untuk merumuskan “dasar negara”
Indonesia merdeka yang akan dibentuk.
Secara ringkas, berikut adalah garis-garis besar proses perumusan Pancasila yang
ditempuh dalam beberapa kali sidang BPUPKI:
Pada sidang BPUPKI yang pertama, 29 Mei 1945, Mr. Muhammad Yamin menyampaikan
rumusan asas dan dasar negara sebagai berikut:vi
1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ke-Tuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat.
Pada sidang BPUPKI yang kedua, 31 Mei 1945, Mr. Soepomo menyampaikan usulan lima “Dasar Negara
Indonesia Merdeka”, yaitu:
1. Persatuan;
2. Kekeluargaan;
3. Mufakat dan Demokrasi;
4. Musyawarah; dan
5. Keadilan Sosial.
Pada sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, yang di kemudian hari ditetapkan sebagai Hari Lahirnya
Pancasila, Ir. Soekarno mengusulkan rumusan dasar negara sebagai berikut:

1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau peri kemanusiaan
3. Mufakat atau demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ke-Tuhanan yang berkebudayaanvii

Dari ketiga usulan asas atau sila atau prinsip dasar negara Indonesia para founding fathers
tersebut, yang masih digodog melewati beberapa kali sidang lagi, baik ketika masih bernama
BPUPKI maupun PPKI, akhirnya disepakatilah rumusan kelima sila dalam Pancasila yang baku
yang termaktub dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945. Kelima sila inilah yang bisa didaulat
sebagai Norma Fundamental Negara [Staatsfundamentalnorm menurut teori Hans Nawiasky
(1880-1961) atau Grundnorm, menurut teori ahli hukum dari Austria kelahiran Cekoslowakia,
Hans Kelsen (1881-1973)]viii sekaligus acuan utama ideologi nasional dan bentuk Negara NKRI
hingga sekarang.

C. Ideologi-Ideologi Besar Dunia: Sejarah Ringkas, Pokok-pokok Ajaran, Karakteristik

a. Liberalisme-Kapitalisme

Liberalisme, berakar pada kata Latin liber, artinya bebas. Seorang yang berjiwa dan berpikiran
liberal berarti orang yang percaya akan kebebasan sebagai nilai yang utama, di atas nilai-nilai
lainnya. Menurut filsuf dan ahli ekonomi liberal dari Austria, Ludwig von Mises (1881 – 1973),
ada empat ciri pokok dari doktrin liberalisme klasik, yaitu kesejahteraan material, kecenderungan
rasionalistik, kebaikan bagi lebih banyak orang, dan kepemilikan hak pribadi atau properti (von Mises,
1985: 4 – 19).

Masyarakat yang menggunakan prinsip-prinsip liberal seperti disebut di atas disebut masyarakat
kapitalis, dan kondisi atau syarat kemungkinan adanya masyarakat semacam itu berdiri disebut
kapitalisme. Meskipun dalam praxis sejarahnya, kondisi-kondisi tersebut di atas tidak bisa terpenuhi
semuanya, sehingga pencapaian-pencapaian kapitalisme pun tidak sempurna, namun bisa dikatakan
bahwa tiga ratus tahun terakhir ini, khususnya di dunia Barat, merupakan era kapitalisme. Sejumlah
besar penduduk dunia, terutama yang hidup dalam masyarakat kapitalis, menikmati standar kehidupan
yang jauh melampaui yang dapat dinikmati generasi-generasi sebelumnya, atau yang dulunya hanya
dapat dinikmati oleh segelintir orang kaya dan diuntungkan.
Berbicara di tataran sosial-ekonomi, baik kapitalisme maupun sosialisme sama-sama bertumpu
pada prinsip pembagian kerja (division of labor), yang merupakan perwujudan dari sistem kerjasama
antar manusia dalam masyarakat. Yang satu didasarkan pada kepemilikan pribadi sarana-sarana
produksi (disebut kapitalisme), sementara yang satunya kepemilikan bersama sarana-sarana produksi
(disebut sosialisme). Hak milik pribadi dan kepemilikan atas modal oleh pribadi, yang dilindungi oleh
undang-undang, akan menjamin sebuah aturan permainan yang objektif tanpa ada campur tangan
kekuasaan (prinsip non-intervention) di dalamnya. Mengapa demikian? Jika kekuasaan ikut campur
tangan, apalagi sampai mengambil alih hak milik, maka aturan permainan akan jadi berat sebelah dan
kondisi semacam ini tidak memungkinkan bagi perwujudan kebebasan yang merupakan nilai utama
dalam ideologi Liberalisme (Bdk. Arya Kresna, 2012: 56).

Filsuf politik yang dianggap membesarkan paham liberalisme klasik adalah John Locke (1632 –
1704), Jean-Jacques Rousseau (1712 – 1778), Jeremy Bentham (1748 – 1832), dan John Stuart Mill (1806
– 1873); sementara dari sudut pandang ekonomi, ada empat tokoh yang mengemuka yaitu Adam Smith
(1723 – 1790), yang sering disebut sebagai Bapak Ekonomi dan pendiri model ekonomi pasar bebas,
David Ricardo (1772 – 1823), James Mill (1773 – 1836), dan Thomas Robert Malthus (1766 – 1834).

b. Marxisme-Leninisme (Komunisme)ix

Istilah Marxisme-Leninisme berasal dari nama Karl Marx (filsuf asal Jerman, ahli ekonomi, seorang
komunis dan revolusioner, bersama rekannya Friedrich Engels, 1820-1895, merumuskan “kitab suci”
kaum komunis, “The Communist Manifesto”, yang diterbitkan pada 1848) dan Vladimir Lenin (1870-
1924), seorang tokoh komunis revolusioner, politisi dan pemikir politik kelahiran Rusia. Ideologi
Marxisme-Leninisme merupakan ideology gabungan dari ide-ide kedua tokoh ini, dan sering juga
disebut sebagai penafsiran Lenin terhadap ideologi Marxis. Nama ideologi ini awalnya diusulkan oleh
Josef Stalin (1878 – 1953), tokoh penerus ideologi setelah kematian Lenin, dan penamaan ini sengaja
dibuat olehnya untuk menarik garis batas yang jelas antara paham Marxisme dengan praktik
revolusioner yang dilakukan oleh kaum Bolsheviks (sebagai mayoritas yang memegang kekuasaan).
Selanjutnya, Marxisme-Leninisme menjadi ideologi resmi negara Uni Soviet (USSR) dan diajarkan di
semua sekolah dan universitas yang ada di USSR.

Ideologi Marxisme-Leninisme begitu kuat pengaruhnya hingga berhasil mereformasi bangsa


Rusia dan begitu dahsyat penetrasinya sampai berhasil menghapuskan iman kepercayaan kepada Tuhan
dari jutaan orang. Klaim ideologi ini sedemikian total dan radikal mencuci-otak sejumlah besar
penghayatnya, sehingga Marxisme-Leninisme menjadi semacam agama baru, dengan “ayat-ayat suci”
(doktrin ideologis) yang diikuti secara buta oleh para pengikutnya.

Dengan demikian, secara ringkas, beberapa ajaran kunci Marxisme-Leninisme adalah:

1. Doktrin partai komunis revolusioner yang memiliki peran kunci dalam masyarakat;

2. Kemungkinan terjadinya revolusi kelas proletar (kelas pekerja) dan terbentuknya sosialisme di
negara manapun yang sistem kapitalismenya berkembang lambat;
3. Peran revolusioner dari buruh tani, orang desa dan simpatisan gerakan pembebasan nasional
(yang disimbolkan dengan palu dan arit);

4. Penanaman doktrin secara terstruktur, sistematis, dan masif bahwa kapitalisme modern adalah
sebentuk penjajahan baru (imperalisme);

5. Paham Ateisme (Маë¡ïóïöï¡Ü-¿еÖóÖï¡óú аöеó£½) yang menolak eksistensi agama dan


menyebarkan pemahaman materialis tentang alam. Agama harus dihapuskan dari muka bumi
dan sebagai konsekuensinya, ateismelah yang harus dipeluk.

Sebagai ideologi, komunisme memang “baru” mulai diterapkan saat meletusnya Revolusi
Bolshevik di Rusia tanggal 7 November 1917, namun kiprah dan pengaruhnya masih terasa hingga
sekarang, berkat daya tarik ajaran ideologisnya untuk membebaskan manusia (kelas proletar) dari
belenggu penindasan kelas borjuis, dan untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas, di mana cita-cita
keadilan dan kesamaan meraja. Pada 25 Desember 1989, mengikuti gelombang Perestroika, pemimpin
besar Soviet dan satu-satunya President USSR, Mikhail Gorbachev mundur dari jabatannya dan
mengumumkan bahwa pemerintahan komunis sudah punah. The Supreme Soviet (parlemen), yang
merupakan lembaga berotoritas tertinggi di Uni Soviet, mengumumkan kebangkrutan dan pembubaran
negara, dan peristiwa bersejarah ini menjadi sebuah lembaran baru dalam halaman sejarah Rusia.
Banyak orang mungkin mengira bahwa dengan runtuhnya pemerintahan Uni Soviet, maka komunisme
sebagai ideologi resminya juga sudah mati. Akan tetapi, cita-cita komunisme yang sesungguhnya yaitu
“masyarakat tanpa kelas” belum pernah terwujud sampai hari ini. Partai komunis, meskipun namanya
berbeda-beda di setiap negara, juga masih tetap ada dan aktif secara politis di berbagai penjuru dunia. x
Mereka terus berupaya memperjuangkan hak-hak buruh, serta melawan ekses-ekses negatif
dari kapitalisme dan neo-liberalisme. Sampai sekarang, Negara Kuba, Laos dan Vietnam secara
resmi masih mendaku diri sebagai negara komunis dan partai yang berkuasa di ketiga negara
itu masih memegang dan mengajarkan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi resmi negara,
meskipun penafsiran terhadap ajaran Marxisme ortodoks mungkin sudah mengalami
perubahan-perubahan
tertentu.
Indonesia pun hampir saja menjadi salah satu negara berpaham komunis pada 1965 jika
saja Partai Komunis Indonesia, salah satu partai dengan jumlah massa riil terbesar di Indonesia
saat itu – bahkan partai komunis terkuat ketiga di dunia setelah partai komunis di Uni Soviet
dan Cina – berhasil merebut kekuasaan di Indonesia. Akan tetapi, alih-alih berhasil merebut
kekuasaan dan mengendalikan pemerintahan, PKI justru dihancurkan Angkatan Darat.
Anggotaanggota serta simpatisan-simpatisan PKI lantas diburu, disiksa, dan dibunuh tanpa
melewati proses fair trial. Diperkirakan antara 500.000 sampai 2 juta jiwa manusia dibantai di
Jawa dan Bali setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965.xi Peristiwa ini merupakan salah
satu halaman terhitam sejarah negara Indonesia pasca kemerdekaannya. Pasca lengser-nya
Presiden Suharto pada 21 Mei 1998, diduga aktivitas kelompok-kelompok Komunis, Marxis,
dan haluan kirixii
lainnya pelan-pelan mulai kembali aktif di lapangan politik Indonesia, walaupun belum secara terang-
terangan.

Sampai sekarang, keberadaan partai komunis dan ajaran komunisme masih dilarang oleh
pemerintah Indonesia, berdasarkan Tap MPRS XXV/1966 dan strategi kekerasan budaya yang
dipraktikkan Orde Baru terhadap musuh bersama bernama “Komunisme” lewat media sastra dan film,xiii
serta ditentang keberadaannya oleh masyarakat luas, dengan stigma “komunis” atau “antek-
antek komunis”.

c. Fasisme-Totalitarianisme-Nasionalsosialisme (NAZI)

Kata fasisme (fascism) berasal dari kata Italia fascio (bentuk jamaknya: fasci), yang berarti
ikatan (bundle) seperti tampak dalam ikatan kelompok (entah politis, ideologis, berdasarkan
kelas, dsb.) atau ikatan kolektif seperti bangsa. Selain itu, bisa juga berasal dari kata fasces
(rumput atau akar yang dililitkan mengelilingi sebilah kapak), yang merupakan simbol
Kekaisaran Romawi kuno untuk otoritas hukum (magistrates). Penggunaan simbol “rumput
atau akar yang melilit” (fasces) menunjukkan makna terbentuknya kekuatan lewat persatuan:
kalau hanya sebatang ranting kecil akan mudah dipatahkan, sementara kalau sebundel akan
sulit untuk dipatahkan.
Kamus Merriam-Webster mendefinisikan fasisme sebagai “sebuah filsafat politik,
gerakan politik atau rezim (Fascisti) yang mengagung-agungkan bangsa dan ras di atas individu,
yang berjuang untuk mewujudkan pemerintahan otokrasi dan tersentral yang dikepalai
seorang diktator, dengan mekanisme pengaturan sosial dan ekonomi yang keras terkontrol,
dan memakai cara-cara kekerasan untuk menekan lawan politiknya (oposisi).”xiv
Sejak kejatuhan rezim fasisme Italia dan NAZI Jerman, juga kegagalan rezim-rezim fasis
di berbagai belahan bumi lainnya, istilah “fasis” menjadi olok-olok politik. Amat jarang ada
kelompok politik yang mendaku diri mereka “fasis” pasca 1945. Dalam diskursus politik
kontemporer, pengikut ideologi politik tertentu cenderung mengasosiasikan fasisme dengan
posisi musuh atau lawan politik mereka. Jadi, jika mau ditarik garis demarkasi yang jelas,
fasisme meliputi gerakan dan aliran politik sebelum Perang Dunia II, sementara gerakan
berikutnya menyebut diri sebagai neo-fasis.
Sementara itu, “totalitarianisme” dan “rezim totaliter” merupakan istilah politik khas
abad ke-20. Menurut seorang pakar politik dan hukum dari Australian National University, Eugene
Kamenka (1928-1994), istilah totaliter dan totalitarianisme menggambarkan negara, ideologi, para
pemimpin politik dan partai politik yang mengupayakan perubahan dan kendali total terhadap
masyarakat sebagai tujuan politisnya (Kamenka, 1995: 629 - 631). Paradigma yang melatarbelakangi
tujuan ini adalah konsep hidup yang total menyeluruh dan negara serta komunitas yang organis-kohesif.
Istilah ini pertama kali muncul di panggung politik ketika digunakan oleh pemimpin rezim fasis di Italia,
yaitu Benito Mussolini, dalam pidato kenegaraan yang menyerang sisa-sisa anggota kelompok oposan
dalam Parlemen pada 22 Juni 1925, dengan istilah “la nostra feroce voluntà totalitaria.” (kehendak
totaliter kita – yaitu kaum Fasis yang dipimpinnya – yang kokoh). Berasal dari kata Italia totalitario, yang
artinya komplit, mutlak, istilah totaliter dengan cepat dipakai sebagai ideologi resmi negara Italia
sebagaimana dirumuskan pemikir rezim fasis, Giovanni Gentile (1875-1944). Beberapa tahun
setelahnya, Mussolini mengadopsi sistem pemikiran totaliter ini dan memasukkannya sebagai ideologi
negara “lo stato totalitario” (negara totaliter).

Di Jerman, penggunaan istilah total atau totalitär oleh rezim Nasionalsosialisme (NAZI) tidak
bertahan lama. Pertama kali digunakan oleh Ernst Juenger pada 1930, konsep ini identik dengan
“mobilisasi total” dalam pengertian militer. Pada tahun-tahun berikutnya, Carl Schmitt, seorang
pengacara yang kelak menjadi salah seorang ideolog terpenting dari NAZI, mendiskusikan ide “negara
totaliter”. Namun karena konsep ini jarang digunakan oleh Der Führer, Adolf Hitler (1889 – 1945),
mungkin karena ia tidak mau dianggap berhutang budi secara ideologis pada Mussolini, maka istilah
“totalitär” menjadi usang dan tidak lagi dipakai para petinggi NAZI.

Dalam Realpolitik, termasuk yang baru-baru ini terjadi, dalam sidang gugatan hasil Pilpres 2014 di
Mahkamah Konstitusi pada 6 Agustus 2014, salah seorang calon Presiden menyebutkan istilah ini
sebanyak dua kali, dengan tekanan tertentu. xv Melihat arus sejarah dan perkembangan politik
selama seratus tahun terakhir, secara induktif bisa ditarik kesimpulan bahwa ada kemungkinan
fase-fase berikutnya dari “totalitarianism”, aplikabilitas konsep ini dalam realpolitik dan
flexibilitasnya dalam wacana akademis juga kemungkinan besar masih akan terus berlanjut.

Daftar pertanyaan:

1. Buatlah skema / mind-mapping definisi dari “ideology” berdasarkan pendapat para ahli yang
dikutip dalam artikel di atas!
2. εengapa wacana tentang “ideology” masih saja bertebaran dewasa ini, padahal abad
ideologi-ideologi besar sudah bisa dikatakan “berlalu” sejak empat puluh tahun lalu?

3. Buatlah dalam bentuk bagan terstruktur, keunggulan ideologi Pancasila jika dibandingkan:

a. Liberalisme – kapitalisme

b. Marxisme – Komunisme

c. Fasisme – Totalitarianisme – Nasionalsosialisme (NAZI)!

4. Menurut analisis kelompok Anda, sejauh mana Pancasila telah menjadi ideologi bangsa dan
negara Indonesia yang dapat dibanggakan selama 69 tahun kemerdekaan RI? Berikan bukti-
buktinya yang konkret-faktual!
4) Kesimpulan

Ideologi adalah ajaran atau ilmu tentang gagasan dan buah pikiran(science des ideas).
Ideologi mencerminkan cara berpikir masyarakat, bangsa maupun Negara, namun juga
membentuk masyrakat menuju cita-citanya. Ideologi berfungsi sebagai pemberian
identitas nasional dan fungsi pemersatu. Ideologi dapat dibedakan menjadi dua mcam
yaitu:
a. Ideologi tertutup dan ideologi terbuka
b. Ideologi particular dan ideologi komprehensif
Pancasila sebagai ideologi bangsa indonesia menggambarkan jati diri bangsa indonesia
serta karakteristik bangsa indonesia. Sebagai sebuah ideologi, pancasila adalah sebuah
gagasan yang berorientasi futuristik yang berisi keyakinan yang jelas yang membawa
komitmen untuk diwujudkan atau berorientasi pada tindakan.
Ideologi pancasila tentunya berbeda dengan ideologi liberal dan ideologi sosialisme.
Ideologi pancasila menitikberatkan kepada hubungan warga negaranya dengan agama,
dalam ideologi pancasila agama merupakan hal yang sangat penting bagi warga Negara,
serta memberikan kebebsan bagi individu dalam mengembangkan kreativitasnya asalkan
tidak bertentangan dengan nilai-nilai pancasila. Pada ideologi liberal lebih menekankan
kepada rasionalisme, materialism dan empirisme sebagai nilai tertinggi dalam Negara,
sedangkan pada ideologi sosialisme lebih menekankan kepada masyarakat banyak tanpa
memandang kelas, hanya saja dalam ideologi sosialisme ini semuanya di atur oleh
pemerintah dan kebebasan individupun terbatas. Ideologi sosialisme ini merupakan
tempat berkembangnya paham komunisme.
Pancasila berfungsi baik dalam menggambarkan tujuan NKRI maupun dalam proses
pencapaian tujuan NKRI. Hal ini berarti tujuan negara yang dirumuskan sebagai
“melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial”, mutlak harus sesuai dengan semangat dan nilai-nilai Pancasila.
Oleh sebab itu pancasila dapat dijadikan sebagai identitas nasional, dengan ciri, ide,
gagasan dan karakteristik yang sama serta dapat menyatukan perbedaan sehingga
pancasila merupakan landasan bagi bangsa indonesia untuk bertindak dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara
DAFTAR PUSTAKA

Afrani, Riza Noer.1996. Demokrasi Indonesia Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Al Marsudi, Subandi. 2008. Pancasila dan UUD’45 dalam Paradigma Reformasi. Jakarta:
Rajawali Press

Ibrahim, Anis. 2010. Perspektif Futuristik Pancasila Sebagai Asas/Ideologi dalam UU


Keormasan. Jurnal Konstitusi, Volme III Nomor 2

Juremi, Radi Anky.2006. penerapan Ideologi dan Konstitusi Negara Indonesia Dewasa Ini. Law
Review , Fakultas Hukum, Universitas Pelita Harapan, Volume IV Nomor 2.

Kaelan. 2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Mubyarto. 1991. Pancasila sebagai Ideologi: Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan
Kebudayaaan. Jakarta: BP-7 Pusat.

Smith, Anthony D. 2003. Nasionalisme : Teori, Ideologi, Sejarah. Jakarta; Erlangga.

Tjarsono, Idjang. 2013. Demokrasi Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika Solusi Heterogenitas.
Jurnal Transnasional, Volume IV Nomor 2.

Anda mungkin juga menyukai