Anda di halaman 1dari 9

PERIODISASI SATRA INDONESIA

DAN KARANGAN ESAI


BAHASA INDONESIA

GURU Pembimbing

M. NURAHIM SUPRATO, S.Pd

Nama
Vronky Nyunando

SMA N 3 BENGKALIS
PROGRAM IPA
XII IPA 3

2017/2018
Periodisasi Sastra Indonesia

Sastra Indonesia berkembang dari waktu ke waktu, bahkan sebelum


bahasa Indonesia diresmikan pada 28 Oktober 1928. Pada zaman dahulu
bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kerajaan dan bahasa sastra
(Purwoko, 2004: 84), hasil-hasil sastra berbahasa Melayu yang tidak
tertulis juga sudah ditemukan sejak abad ke-19. Sementara itu, pondasi
pendirian sastra Indonesia baru tegak berdiri pada tahun 1920-an dengan
munculnya Balai Poestaka. Sejak saat itu sastra berkembang sampai saat
ini, sastra Indonesia secara umum terbagi oleh beberapa periode, yaitu
angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, angkatan 1945, angkatan 1950,
angkatan 1966, dan angkatan 1970—sekarang. Di era 2000-an seperti
sekarang mulai dikenal cyber sastra, yaitu sastra yang beredar luas di
dunia cyber atau internet. Berikut akan dipaparkan satu demi satu
penjelasan terkait periodisasi sastra Indonesia.

Angkatan Balai Pustaka (1920—1933)

Balai Pustaka didirikan pada tahun 1908, tetapi baru tahun 1920-an
kegiatannya dikenal banyak pembaca (Purwoko, 2004: 143). Berawal
ketika pemerintah Belanda mendapat kekuasaan dari Raja untuk
mempergunakan uang sebesar F.25.000 setiap tahun guna keperluan
sekolah bumi putera yang ternyata justru meningkatkan pendidikan
masyarakat. Commissie voor de Inlandsche School-en Volkslectuur, yang
dalam perkembangannya berganti nama Balai Poestaka, didirikan dengan
tujuan utama menyediakan bahan bacaan yang “tepat” bagi penduduk
pribumi yang menamatkan sekolah dengan sistem pendidikan Barat.
Sebagai pusat produksi karya sastra, Balai Poestaka mempunyai beberapa
strategi signifikan (Purwoko, 2014: 147), yaitu

1. merekrut dewan redaksi secara selektif

2. membentuk jaringan distribusi buku secara sistematis

3. menentukan kriteria literer

4. mendominasi dunia kritik sastra

Pada masa ini bahasa Melayu Riau dipandang sebagai bahasa Melayu
standar yang yang lebih baik dari dialek-dialek Melayu lain seperti Betawi,
Jawa, atau Sumatera. Oleh karena itu, para lulusan sekolah asal
Minangkabau, yang diperkirakan lebih mampu mempelajari bahasa Melayu
Riau, dipilih sebagai dewan redaksi. Beberapa diantaranya adalah Armjin
Pene dan Alisjahbana. Angkatan Balai Poestaka baru mengeluarkan novel
pertamanya yang berjudul Azab dan Sengsara karya Merari Siregar pada
tahun 1920-an. Novel yang mengangkat fenomena kawin paksa pada
masa itu menjadi tren baru bagi dunia sastra. Novel-novel lain dengan
tema serupa pun mulai bermunculan. Adapun ciri-ciri karya sastra pada
masa Balai Poestaka, yaitu
1. Gaya Bahasa : Ungkapan klise pepatah/pribahasa.

2. Alur : Alur Lurus.

3. Tokoh : Plot karakter ( digambarkan langsung oleh narator ).

4. Pusat Pengisahan : Terletak pada orang ketiga dan orang pertama.

5. Terdapat digresi : Penyelipan/sisipan yang tidak terlalu penting, yang


dapat menganggu kelancaran teks.

6. Corak : Romantis sentimental.

7. Sifat : Didaktis (pendidikan)

8. Latar belakang sosial : Pertentangan paham antara kaum muda


dengan kaum tua.

9. Peristiwa yang diceritakan saesuai dengan realitas kehidupan


masyarakat.

10. Puisinya berbentuk syair dan pantun.

11. Menggambarkan tema pertentangan paham antara kaum tua


dan kaum muda, soal pertentangan adat, soal kawin paksa,
permaduan, dll.

12. Soal kebangsaan belum mengemuka, masih bersifat


kedaerahan.

Angkatan Pujangga Baru (1933—1942)

Pada tahun1933, Armijn Pane, Amir Hamzah, dan Sultan Takdir


Alisjahbana mendirikan sebuah majalah yang diberi nama Poejangga
Baroe. Majalah Poedjangga Baroe menjadi wadah khususnya bagi
seniman atau pujangga yang ingin mewujudkan keahlian dalam berseni.
Poedjangga Baroe merujuk pada nama sebuah institusi literer yang
berorientasi ke aneka kegiatan yang dilakukan para penulis pemula.
Majalah ini diharapkan berperan sebagai sarana untuk mengoordinasi para
penulis yang hasil karyanya tidak bisa diterbitkan Balai Poestaka (Purwoko,
2004: 154).

Selain memublikasikan karya sastra, majalah ini juga merintis sebuah


rubrik untuk memuat esai kebudayaan yang diilhami oleh Alisjahbana dan
Armijn Pane. Kelahiran majalah Poedjangga Baroe menjadi titik tolak
kebangkitan kesusastraan Indonesia. S.T. Alisjahbana, dalam artikel
Menudju Masjarakat dan Kebudajaan Baru, menjelaskan bahwa sastra
Indonesia sebelum abad 20 dan sesudahnya memiliki perbedaan yang
didasari pada semangat keindonesiaan dan keinginan yang besar akan
perubahan.

Adapun karakteristik karya sastra pada masa itu terlihat melalui roman-
romannya yang sangat produktif dan diterima secara luas oleh masyarakat.
Pengarang yang paling produktif yaitu Hamka dan Alisjahbana. Hamka,
dalam Mengarang Roman, mengatakan Roman adalah bentuk modern dari
hikayat. Roman memperhalus bahasa yang sebelumnya sangat karut
marut menyerupai kalimat Tionghoa sehingga secara tidak langsung
roman-roman yang ada mampu memicu minat baca masyarakat yang
awalnya tidak gemar membaca.

Berdasarkan isi cerita, tema-tema yang ada memperlihatkan


kecenderungan para pengarang yang membuat tokoh-tokoh dalam
ceritanya berakhir pada kematian. Pengaruh Barat yang sangat kental
pada perkembangan sastra Indonesia dalam periode Pujangga Baru
menghasilkan beberapa perbedaan pandangan dalam kalangan sastrawan
pada saat itu.Sebagai contoh, novel pertama yang diterbitkan majalah ini,
Belenggu, pernah ditolak oleh Balai Pustaka karena dianggap
mengandung isu tentang nasionalisme dan perkawinan yang retak.
Dengan alasan didaktis, kedua isu budaya tersebut dianggap tidak cocok
dengan kebijakan pemerintah kolonial.

Angkatan 45

Munculnya Chairil Anwar dalam panggung sejarah sastra Indonesia


dengan menampilkan sajak-sajak yang bernilai tinggi memberikan sesuatu
yang baru bagi dunia sastra tanah air. Bahasa yang dipergunakannya
adalah bahasa Indonesia yang berjiwa. Bukan lagi bahasa buku, melainkan
bahasa percakapan sehari-hari yang dibuatnya bernilai sastra (Rosidi,
1965: 91). Dengan munculnya kenyataan itu, maka banyaklah orang yang
berpendapat bahwa suatu angkatan kesusateraan baru telah lahir.
Angkatan ini memiliki beberapa sebutan, yaitu Angkatan ’45, Angkatan
Kemerdekaan, Angkatan Chairil Anwar, Angkatan Perang, Angkatan
Sesudah Perang, Angkatan Sesudah Pujangga Baru, Angkatan
Pembebasan, dan Generasi Gelanggang.

Angkatan ’45 adalah angkatan yang muncul setelah berakhirnya Angkatan


Pujangga Baru. Angkatan ini terbentuk karena Angkatan Pujangga Baru
dianggap gagal menjalankan gagasannya. Pujangga Baru yang semula
memiliki gagasan baratisasi sastra Indonesia, nyatanya hanya mentok
pada belandanisasi. Dengan kata lain, tokoh-tokoh atau karya-karya seni
dan sastra yang diambil sebagai acuan dan sumber inspirasi hanya berasal
dari negeri Belanda saja, bukan dari penjuru Barat. Untuk meluruskan
persepsi tersebut, muncullah Angkatan ’45 sebagai gantinya.

Keberadaan angkatan ini erat hubungannya dengan Surat Kepercayaan


Gelanggang. Konsep humanisme universal menjadi acuan Perkumpulan
Gelanggang karena mereka merasa karya-karya yang dibuat oleh
Angkatan Pujangga Baru kurang realistis pada masa itu. Angkatan
Pujangga Baru yang beraliran romatis dinilai terlalu utopis dan hanya
mementingkan estetika. Berbeda dengan Angkatan Pujangga Baru,
Angkatan ’45 beraliran ekspresionisme-realistik. Karya-karya yang
dihasilkan bergaya ekspresif, menggambarkan identitas si seniman dan
juga realistis. Dalam hal ini, realistis berarti fungsional atau berguna untuk
masyarakat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Angkatan ’45
menganut pendapat seni untuk masyarakat, sementara Pujangga Baru
menganut pendapat seni untuk seni.

Tema yang banyak diangkat dalam karya-karya seni Angkatan ’45 adalah
tema tentang perjuangan kemerdekaan. Dari karya-karya bertemakan
perjuangan itulah amanat yang menyatakan bahwa perjuangan mencapai
kemerdekaan tak hanya dapat dilakukan melalui politik atau angkat
senjata, tetapi perjuangan juga dapat dilakukan melalui karya-karya seni.
Angkatan ’45 mulai melemah ketika sang pelopor, Chairil Anwar,
meninggal dunia. Selain itu, Asrul Sani, yang juga merupakan salah satu
pelopor mulai menyibukkan diri membuat skenario film. Kehilangan akan
kedua orang tersebut membuat Angkatan ’45 seolah kehilangan
kemudinya. Akhirnya, masa Angkatan ’45 berakhir dan digantikan dengan
Angkatan’50.

Angkatan ’45 memiliki gaya yang berbeda dengan Angkatan Pujangga


Baru. Gaya ini dipengaruhi oleh kondisi politik masing-masing angkatan.
Angkatan Pujangga Baru memiliki gaya romantis-idealis karena pada saat
itu perjuangan kemerdekaan belum sekeras yang dialami Angkatan ’45.
Sementara Angkatan ’45 yang terbentuk pada saat gencarnya perjuangan
kemerdekaan memilih gaya ekspresionisme-realistik agar dapat berguna
dan diterima oleh masyarakat. Pada akhirnya, semua angkatan yang ada
sepantasnya menyadari fungsi sosial mereka. Setiap angkatan harus
memikirkan letak kebermanfaatan mereka bagi masyarakat karena mereka
hidup dan tumbuh di dalam masyarakat.

Angkatan 1950

Angkatan ini dikenal krisis sastra Indonesia. Sejak Chairil Anwar


meninggal, lingkungan kebudayaan “Gelanggang Seniman Merdeka”
seolah-olah kehilangan vitalitas. Salah satu alasan utama terhadap
tuduhan krisis sastra tersebut adalah karena kurangnya jumlah buku yang
terbit. Sejak tahun 1953 , Balai Pustaka yang sejak dulu bertindak sebagai
penerbit utama buku-buku sastra, kedudukannya sudah tidak menentu
(Rosidi, 1965: 137). Sejak saat itu aktivitas sastra hanya dalam majalah-
majalah, seperti Gelanggang/Siasat, Mimbar Indonesia, Zenith,
Poedjangga Baroe, dll.

Karena sifat majalah, maka karangan-karangan yang mendapat tempat


terutama yang berupa sajak, cerpen, dan karangan-karangan lain yang
tidak begitu panjang. Sesuai dengan yang dibutuhkan oleh majalah-
majalah, maka tak anehlah kalau para pengarangpun lantas hanya
mengarang cerpen, sajak, dan karangan lain yang pendek-pendek (Rosidi,
1965: 138). Hal itulah yang memunculkan istilah “sastra majalah” pada
masa itu. Berikut pendapat Soeprijadi Tomodihardjo, dalam artikelnya
“Sumber-Sumber Kegiatan”1

1. Kesusastraan sedang memasuki masa krisis, masalah kualitas dan


kuantitas.

2. Ekspansi ideologi ke dalam dunia seni mengakibatkan banyak orang


meninggalkan nilai-nilai seni yang wajar, dan ideologi politik kian
menguat.

3. Seni dan politik adalah pencampuradukan yang lahir dari kondisi


masa itu.

4. Pada masa itu pula telah lahir organisasi-organisasi kegiatan


kesenian yang mengarahkan kegiatanya pada seni sastra dan seni
drama.

5. Hal ini mengindikasikan seni mendapat perhatian.

6. Kesusastraan berhubungan erat dengan adanya tempat berkegiatan,


Jakarta di angggap sebagai pusatnya. Anggapan ini diluruskan,
Jakarta hanya sebagai pusat produksi dan publikasi

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa angkatan 1950 merupakan


angkatan yang sepi oleh karya karena sastra Indonesia yang ada dianggap
sudah tidak lagi memiliki identitas, kesusasteraan mengalami krisis baik
kualitas maupun kuantitas karena lahirnya pesimisme dan penggunaan
seni ke ranah politik yang tidak dibarengi dengan tanggung jawab.

Angkatan1966
Adalah suatu kenyataan sejarah bahwa sejak awal pertumbuhannya
sastrawan-sastrawan Indonesia menunjukkan perhatian yang serius
kepada politik (Rosidi, 1965: 177). Pada masa ini sastra sangat
dipengaruhi oleh lembaga kebudayaan seperti Lekra dan Manikebu. Pada
tahun 1961 Lekra,organ PKI yang memperjuangkan komunisme,
dinyatakan sebagai organisasi kebudayaan yang memperjuangkan slogan
“politik adalah panglima”. Sementara Menifes Kebudayaan merupakan
sebuah konsep atau pemikiran di bidang kebudayaan dan merupakan
sebuah reaksi terhadap teror budaya yang pada waktu itu dilancarkan oleh
orang-orang Lekra. Manifes kebudayaan di tuduh anti-Manipol dan kontra
Revolusioner sehingga harus dihapuskan dari muka bumi Indonesia.
Pelarangan Manifes Kebudayaan diikuti tindakan politis yang makin
memojokkan orang-orang Manifes Kebudayaan, yaitu pelarangan buku
karya pengarang-pengarang yang berada di barisan. Adapun buku-buku
yang pernah dilarang, antara lain Pramudya Ananta Toer, Percikan
Revolusi, Keluarga Gerirya, Bukan pasar Malam ,Panggil Aku Kartini Saja ,
Korupsi dll; Utuy T. Sontani, Suling, Bunga Rumah makan,Orang-orang
Sial, Si Kabayan dll; Bakri Siregar, Ceramah Sastra, Jejak Langkah ,
Sejarah Kesusastraan Indonesia Modern.

Menurut H. B. Jassin, ciri-ciri karya pada masa ini adalah sebagai berikut

1. mempunyai konsepsi Pancasila

2. menggemakan protes sosial dan politik

3. membawa kesadaran nurani manusia

4. mempunyai kesadaran akan moral dan agama

Angkatan 70-an sampai sekarang


Pada masa ini karya sastra berperan untuk membentuk pemikiran tentang
keindonesiaan setelah mengalami kombinasi dengan pemikiran lain,
seperti budaya. Ide, filsafat, dan gebrakan-gebrakan baru muncul di era ini,
beberapa karya keluar dari paten dengan memperbincangkan agama dan
mulai bermunculan kubu-kubu sastra populer dan sastra majalah. Pada
masa ini pula karya yang bersifat absurd mulai tampak.

Di tahun 1980—1990-an banyak penulis Indonesia yang berbakat, tetapi


sayang karena mereka dilihat dari kacamata ideologi suatu penerbit. Salah
satu penerbit yang terkenal sampai sekarang adalah Gramedia. Gramedia
merupakan penerbit yang memperhatikan sastra dan membuka ruang
untuk semua jenis sastra sehingga penulis Indonesia senantiasa memiliki
kreativitas dengan belajar dari berbagai paten karya, baik itu karya populer,
kedaerahan, maupun karya urban. Sementara setelah masa reformasi,
yaitu tahun 2000-an, kondisi sastra tanah air dapat digambarkan sebagai
berikut2

1. Kritik Rezim Orde Baru

2. Wacana Urban dan Adsurditas

3. Kritik Pemerintah terus berjalan

4. Sastra masuk melalui majalah selain majalah sastra.


5. Sastra bersanding dengan Seni Lainnya, banyak terjadi alih wahana
pada jaman sekarang

6. Karya yang dilarang terbit pada masa 70-an diterbitkan di tahun


2000-an, banyak karya Pram yang diterbitkan, karya Hersri Setiawan,
Remy Sylado, dsb.

Contoh Esai Pendidikan


Pendidikan Berkarakter

Kebijakan pemerintah di bidang pendidikan yang lain adalah adanya


program wajib belajar sembilan tahun. Namun, apakah waktu sembilan
tahun itu cukup bagi seorang pelajar untuk berhenti begitu saja,
mengembangkan Salatiga sebagai kota yang tergolong maju? Kini, banyak
lowongan kerja di perusahaan yang membutuhkan lulusan minimal D3 dan
S1. Sedangkan, wajib belajar sembilan tahun hanya sampai SMP, lalu mau
jadi apa generasi muda mendatang, jika generasinya hanya tamatan SMP?

Sebagai pelajar di Salatiga, seharusnya kita lebih bisa mengembangkan


daya pikir kita agar lebih mengedepankan pendidikan daripada persoalan
yang tidak penting dan mungkin dapat menimbulkan masalah bagi kita.
Jangan sampai dekadansi moral menimpa anak bangsa di Salatiga karena
dampaknya sangat berpangaruh pada semangat belajar mereka dan
cenderung siswa akan mulai melakukan hal-hal yang bersifat kriminal.
Tentunya, hal itu dapat mencemari nama baik Kota Salatiga sebagai kota
pelajar.

Saya sebagai pelajar yang menginginkan Salatiga menjadi kota yang maju
dan ingin menciptakan suasana damai di kota ini.Salah satunya dengan
memajukan kebudayaannya, dengan mengikuti pelatihan seni di sanggar
seni. Itu telah membuktikan bahwa saya sebagai pelajar di Kota Salatiga
mempunyai bakat yang harus dikembangkan serta diabdikan.

Selain hal-hal tersebut, kita juga bisa menyalurkan bakat serta kemampuan
sehingga kita mendapatkan juara dalam berbagai event lomba di tingkat
provinsi atau bahkan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan begitu, nama
Salatiga juga bisa harum di kalangan publik.

Tidak hanya pelajar saja, para pemuda dapat memanfaatkan sampah-


sampah berserakan yang tidak berguna lagi untuk di daur ulang. Meskipun
kelihatannya jijik namun, proses tersebut dapat membuahkan hasil bagi
para mahasiswa. Dengan kondisi yang ada sekarang, kita harus jadikan
diri kita bersahabat dengan lingkungan jika kita ingin lingkungan juga
bersahabat dengan kita.

Generasi yang kreatif dan inovatif diperlukan untuk membangun Salatiga.


Salatiga ke depan adalah menjadi tanggung jawab generasi muda, maka
kobarkan terus semangat belajar kalau kita saat ini sebagai pelajar atau
mahasiswa. Dengan adanya tekad dan semangat yang tinggi maka
Salatiga akan menjadi kota yang diperhitungkan tidak hanya di tingkat
lokal, namun di tingkat nasional, bahkan tingkat internasional. Mari secara
bersama-sama kita bangun Salatiga dengan potensi masing-masing agar
akselerasi di bidang pembangunan di berbagai bidang kehidupan dapat
segera terealisasi. Kita berharap semua komponen bangga terhadap kota
tercinta ini. Bentuk kebanggan ini bisa diwujudkan dengan berbagai
apresiasi positif melalui profesi masing-masing

Anda mungkin juga menyukai