GURU Pembimbing
Nama
Vronky Nyunando
SMA N 3 BENGKALIS
PROGRAM IPA
XII IPA 3
2017/2018
Periodisasi Sastra Indonesia
Balai Pustaka didirikan pada tahun 1908, tetapi baru tahun 1920-an
kegiatannya dikenal banyak pembaca (Purwoko, 2004: 143). Berawal
ketika pemerintah Belanda mendapat kekuasaan dari Raja untuk
mempergunakan uang sebesar F.25.000 setiap tahun guna keperluan
sekolah bumi putera yang ternyata justru meningkatkan pendidikan
masyarakat. Commissie voor de Inlandsche School-en Volkslectuur, yang
dalam perkembangannya berganti nama Balai Poestaka, didirikan dengan
tujuan utama menyediakan bahan bacaan yang “tepat” bagi penduduk
pribumi yang menamatkan sekolah dengan sistem pendidikan Barat.
Sebagai pusat produksi karya sastra, Balai Poestaka mempunyai beberapa
strategi signifikan (Purwoko, 2014: 147), yaitu
Pada masa ini bahasa Melayu Riau dipandang sebagai bahasa Melayu
standar yang yang lebih baik dari dialek-dialek Melayu lain seperti Betawi,
Jawa, atau Sumatera. Oleh karena itu, para lulusan sekolah asal
Minangkabau, yang diperkirakan lebih mampu mempelajari bahasa Melayu
Riau, dipilih sebagai dewan redaksi. Beberapa diantaranya adalah Armjin
Pene dan Alisjahbana. Angkatan Balai Poestaka baru mengeluarkan novel
pertamanya yang berjudul Azab dan Sengsara karya Merari Siregar pada
tahun 1920-an. Novel yang mengangkat fenomena kawin paksa pada
masa itu menjadi tren baru bagi dunia sastra. Novel-novel lain dengan
tema serupa pun mulai bermunculan. Adapun ciri-ciri karya sastra pada
masa Balai Poestaka, yaitu
1. Gaya Bahasa : Ungkapan klise pepatah/pribahasa.
Adapun karakteristik karya sastra pada masa itu terlihat melalui roman-
romannya yang sangat produktif dan diterima secara luas oleh masyarakat.
Pengarang yang paling produktif yaitu Hamka dan Alisjahbana. Hamka,
dalam Mengarang Roman, mengatakan Roman adalah bentuk modern dari
hikayat. Roman memperhalus bahasa yang sebelumnya sangat karut
marut menyerupai kalimat Tionghoa sehingga secara tidak langsung
roman-roman yang ada mampu memicu minat baca masyarakat yang
awalnya tidak gemar membaca.
Angkatan 45
Tema yang banyak diangkat dalam karya-karya seni Angkatan ’45 adalah
tema tentang perjuangan kemerdekaan. Dari karya-karya bertemakan
perjuangan itulah amanat yang menyatakan bahwa perjuangan mencapai
kemerdekaan tak hanya dapat dilakukan melalui politik atau angkat
senjata, tetapi perjuangan juga dapat dilakukan melalui karya-karya seni.
Angkatan ’45 mulai melemah ketika sang pelopor, Chairil Anwar,
meninggal dunia. Selain itu, Asrul Sani, yang juga merupakan salah satu
pelopor mulai menyibukkan diri membuat skenario film. Kehilangan akan
kedua orang tersebut membuat Angkatan ’45 seolah kehilangan
kemudinya. Akhirnya, masa Angkatan ’45 berakhir dan digantikan dengan
Angkatan’50.
Angkatan 1950
Angkatan1966
Adalah suatu kenyataan sejarah bahwa sejak awal pertumbuhannya
sastrawan-sastrawan Indonesia menunjukkan perhatian yang serius
kepada politik (Rosidi, 1965: 177). Pada masa ini sastra sangat
dipengaruhi oleh lembaga kebudayaan seperti Lekra dan Manikebu. Pada
tahun 1961 Lekra,organ PKI yang memperjuangkan komunisme,
dinyatakan sebagai organisasi kebudayaan yang memperjuangkan slogan
“politik adalah panglima”. Sementara Menifes Kebudayaan merupakan
sebuah konsep atau pemikiran di bidang kebudayaan dan merupakan
sebuah reaksi terhadap teror budaya yang pada waktu itu dilancarkan oleh
orang-orang Lekra. Manifes kebudayaan di tuduh anti-Manipol dan kontra
Revolusioner sehingga harus dihapuskan dari muka bumi Indonesia.
Pelarangan Manifes Kebudayaan diikuti tindakan politis yang makin
memojokkan orang-orang Manifes Kebudayaan, yaitu pelarangan buku
karya pengarang-pengarang yang berada di barisan. Adapun buku-buku
yang pernah dilarang, antara lain Pramudya Ananta Toer, Percikan
Revolusi, Keluarga Gerirya, Bukan pasar Malam ,Panggil Aku Kartini Saja ,
Korupsi dll; Utuy T. Sontani, Suling, Bunga Rumah makan,Orang-orang
Sial, Si Kabayan dll; Bakri Siregar, Ceramah Sastra, Jejak Langkah ,
Sejarah Kesusastraan Indonesia Modern.
Menurut H. B. Jassin, ciri-ciri karya pada masa ini adalah sebagai berikut
Saya sebagai pelajar yang menginginkan Salatiga menjadi kota yang maju
dan ingin menciptakan suasana damai di kota ini.Salah satunya dengan
memajukan kebudayaannya, dengan mengikuti pelatihan seni di sanggar
seni. Itu telah membuktikan bahwa saya sebagai pelajar di Kota Salatiga
mempunyai bakat yang harus dikembangkan serta diabdikan.
Selain hal-hal tersebut, kita juga bisa menyalurkan bakat serta kemampuan
sehingga kita mendapatkan juara dalam berbagai event lomba di tingkat
provinsi atau bahkan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan begitu, nama
Salatiga juga bisa harum di kalangan publik.