c. Perkembangan yang mencolok di antara ketiga bentuk sastra dibandingkan dengan masa-
masa sebelumnya yaitu bentuk drama. Drama merupakan media propaganda yang paling
tepat sehingga pemerintah Jepang tidak segan-segan memberikan bantuan terhadap segala
usaha yang berhubungan dengan kegiatan drama. Film-film berbahasa Inggris dilarang
dipertunjukkan sehingga pementasan drama merupakan hiburan yang sangat dibutuhkan
oleh masyarakat. Drama modern pada masa itu tidak terlalu jauh jaraknya dengan seni
rakyat tradisional ketoprak sehingga cocok bagi tingkat selera seni rakyat. Situasi
ekonomi yang serba sulit memerlukan hiburan langsung sesuai dengan lingkungan
kehidupan rakyat. Selain yang tersebut di atas, pada masa jepang banyak dilakukan
usaha-usaha pembaharuan di bidang drama, terutama tentang teknik penulisan drama.
Juga beberapa perkumpulan drama didirikan pada waktu itu, baik yang amatir maupun
yang profesional.
2. Nama Angkatan ’66 dicetuskan oleh Hans Bague Jassin . Angkatan ’66 bersamaan
dengan kondisi politik Indonesia yan tengah kacau pada saat itu. Pada periode 60-an muncul
adanya angkatan, yaitu angkatan ’66. Lahirnya angkatan ’66 ini didahului adanya kemelut
dalam segala bidang kehidupan di Indonesia yang disebabkan ulah teror politik yang
dilakukan PKI dan ormas-ormas yang bernaung di bawahnya. Angkatan ’66 mempunyai
cita-cita ingin adanya pemurnian pelaksanaan Pancasila dan melaksanakan ide yang
terkandung di dalam Manifest Kebudayaan. Tumbuhnya angkatan ’66 yang dipelopori oleh
KAMMI/KAPPI untuk memperjuangkan Tritura. Munculnya nama angkatan ’66 telah
diumumkan oleh H.B. Jassin dalam majalah horison nomor 2 tahun 1966. Pada tulisan
tersebut dikatakan bahwa angkatan ’66 lahir setelah ditumpasnya pengkhianatan G.30S/PKI.
Penanaman angkatan ’66 ini pun mengalami adu pendapat. Sebelum nama angkatan ’66
diresmikan, ada yang memberi nama angkatan Manifest Kebudayaan (MANIKEBU). Karya
sastra pada angkatan 66 kebanyakan tentang protes terhadap sosial dan politik serta cerita
dengan berlatar perang. Masa 66 didominasi oleh karya-karya yang beraliran realisme sosial
kanan (Waluyo, 1995; 62). Termasuk di dalamnya puisi-puisi demonstrasi Taufik Ismail,
Mansur Samin, Bur Rusuanto, Slamet Sukirnanto, dll. Pada masa ini karya sastra lebih
banyak dikenal adalah karya sastra berbentuk puisi, terutama puisi-puisi demonstrasi atau
protes sosial. Dengan demikian, dalam membicarakan ciri karya sastra, masa 60-an lebih
banyak berbicara tentang ciri puisi. Beberapa karakteristik sastra angkatan ’66, seperti :
a. Tema yang diangkat banyak mengenai masalah kegelisahan batin dan rumah tangga.
Kegelisahan tersebut bersumber pada situasi budaya belum mapan dan situasi-situasi
tersebut karena adanya norma politik, norma ekonomi.
b. Adanya sastra protes, contoh: kumpulan sajak Tirani dan Benteng karya Taufik Ismail.
c. Arti penting sajak angkatan ’66 pertama bukanlah sebagai seni, tetapi merupakan curahan
hati khas anak-anak muda yang mengalami kelegaan perasaan setelah masa penindasan.
Munculnya periode 70-an karena adanya pergeseran sikap berpikir dan bertindak dalam
menghasilkan wawasan estetik dalam menghasilkan karya sastra bercorak baru baik di
bidang puisi, prosa maupun drama. Pergeseran ini mulai kelihatan setelah gagalnya kudeta G
30 S/PKI. Abdul Hadi W.M. dan damai Toda menamai sastra Indonesia modern pada tahun
1970-an dengan sastra periode 70-an. Korrie Layuan Rampan cenderung menamai Sastra
Indonesia sesudah angkatan ‘45 dengan nama angkatan ‘80. Dalam periode 70-an pengarang
berusaha melakukan eksperimen untuk mencoba batas-batas beberapa kemungkinan bentuk,
baik prosa, puisi, maupun drama semakin tidak jelas. Misalnya, prosa dalam bentuk cerpen,
pengarang sudah berani membuat cerpen dengan panjang 1-2 kalimat saja sehingga terlihat
seperti bentuk sajak. Dalam bidang drama mereka mulia menulis dan mempertunjukkan
drama yang absurd atau tidak masuk akal. Sedangkan dalam bidang puisi mulai ada puisi
kontemporer atau puisi selindro. Periode 70-an telah memperlihatkan pembaharuan dalam
berbagai bidang, antara lain; wawasan estetik, pandangan, sikap hidup, dan orientasi
budaya. Para sastrawan tidak mengabaikan sesuatu yang bersifat tradisional bahkan
berusahan untuk menjadikannya sebagai titik tolak dalam menghasilkan karya sastra
modern.
Terimakasih.