Anda di halaman 1dari 48

BAB V

PERIODE 1933 – 1942

Dalam bab ini dibicarakan karya-karya yang terbit pada periode 1933- 1942, terurut secara
kronologis. Terbitnya majalah Pujangga Baru, beberapa pengarang dan karyanya dibicarakan
riwayat hidupnya secara singkat, dengan tujuan untuk bisa membantu memahami karya-karyanya.
Riwayat hidup pengarang yang sudah dibicarakan pada bab IV tidak diulangi di sini sekalipun
pengarang yang bersangkutan tetap berkarya pada periode ini.

5.1 Majalah Pujangga Baru

Majalah Pujangga Baru merupakan sebuah momentum penting dalam perjalanan sejarah
sastra Indonesia. Majalah Pujangga Baru dapat diartikan sebagai majalah yang aslinya tertulis
Poejangga Baroe, yaitu sebuah gerakan kebudayaan Pujangga Baru tahun 30-an yang tidak
terpisahkan dari tokoh-tokoh pemuda terpelajar pada masa tersebut. Majalah Pujangga Baru terbit
pertama kali pada Mei 1933, dengan tujuan (a) menumbuhkan kesusastraan baru yang sesuai
dengan semangat zamannya dan (b) mempersatukan para sastrawan dalam satu wadah karena
sebelumnya cerai berai sana sini.
Sebenarnya usaha menerbitkan suatu majalah kesusastraan sudah muncul pada tahun 1921,
1925, dan 1929, tetapi selalu gagal. Baru pada tahun 1933 atas usaha S. Takdir Alisjahbana, Amir
Hamzah, dan Armijn Pane dapat diterbitkan majalah bernama Pujangga Baru. Tujuannya tampak
pada keterangan resmi yang berbunyi, “majalah kesusastraan dan bahasa serta kebudayaan umum”
kemudian berubah menjadi “pembawa semangat baru dalam kesusastraan, seni, kebudayaan dan
soal masyarakat umum”, dan berganti lagi menjadi “pembimbing semangat baru yang dinamis
untuk membentuk kebudayaan persatuan Indonesia” (Rosidi, 1969: 35).
Menurut Mantik (2006:4) subjudul “Majalah Kesusastraan dan Bahasa serta Kebudayaan
Umum” berlangsung tahun 1933-1934, kemudian berubah menjadi “Majalah Bulanan
Kesusastraan dan Bahasa serta Seni dan Kebudayaan” tahun 1934-1935, dan pada tahun 1935-
1936 menjadi “Pembawa Semangat Baru dalam Kesusastraan, Seni, Kebudayaan, dan Soal
Masyarakat Umum”. Pada penerbitan selanjutnya subjudulnya adalah “Majalah Bulanan
Pembimbing Semangat Baru yang Dinamis untuk Membentuk Kebudayaan Persatuan Indonesia”.
Dengan demikian, tujuan yang semula terbatas kesusastraan dan bahasa meluas ke masalah
masalah kebudayaan umum sejalan dengan makin maraknya kesadaran nasional untuk
membangun kebudayaan Indonesia baru. Hal itu dapat dipahami karena pada 28 Oktober 1928
telah tercetus Sumpah Pemuda yang merupakan momentum penting dalam sejarah kebangsaan
Indonesia. Tentu saja pada waktu itu belum terdengar atau tertulis kata-kata Indonesia Raya,
apalagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, semangat mereka masih terbatas pada harapan
membangun masyarakat yang makin sadar pada nasionalisme.
Terbitnya majalah ini menjadi perlambang betapa besar keinginan para pengarang dan
budayawan muda Indonesia untuk memiliki media sendiri. Sebelumnya memang telah terbit
beberapa majalah yang juga memuat karangan cerita, sajak, serta bahasan tentang sastra, yaitu
majalah Sri Pustaka (1919-1942), Panji Pustaka (1919-1942), Jong Java (1920-1926), Timbul
(1930-1 933).
Majalah Timbul mula-mula terbit dalam bahasa Belanda. Mulai tahun 1932 terbit juga edisi
dalam bahasa Indonesia. Redakturnya adalah Sanusi Pane. Ketika St. Takdir Alisjahbana masih
bekerja di Balai Pustaka, Ia membuka rubrik “Menuju Kesusastraan Baru” dalam majalah Panji
Pustaka, mulai tahun 1932. Majalah tersebut diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Ajip Rosidi (1969:35-41) membicarakan berdirinya dari perkembangan majalah Pujangga
Baru dengan panjang lebar. Terbitnya majalah Pujangga Baru didorong oleh semangat yang
tertuang dalam pernyataan para pendirinya : “Dalam zaman kebangunan sekarang inipun
kesusasteraan bangsa kita mempunyai tanggungan dan kewajiban yang luhur. Ia menjelmakan
semangat baru yang memenuhi masyarakat kita, ia harus menyampaikan berita kebenaran yang
terbayang-bayang dalam hati segala bangsa Indonesia yang yakin akan tibanya masa kebesaran
itu”

Majalah Pujangga Baru mendapat sambutan hangat dari Sejumlah terpelajar, seperti:
Adinegoro, Ali Hasjmy, Amir Sjarifuddin, Aoh K. Hadimadja, H.B. Jassin, I Gusti Nyoman Panji
Tisna, J. E. Tatengkeng, Karim Halim, L. K. Bohang, Muhamad Dimjati, Poerbatjaraka, Selasih,
Sumanang, Sutan Sjahrir, dan W.J.S. Poerwadarminta. Namun, di sisi lain, majalah itu tidak
ditanggapi oleh kaum bangsawan Melayu, dan bahkan dikritik keras oleh para guru yang setia
kepada pemerintah kolonial Belanda. Kata mereka, majalah tersebut merusak bahasa Melayu
karena memasukkan bahasa daerah dan bahasa asing.
Majalah itu bertahan terbit hingga tahun 1942, kemudian dilarang oleh penguasa militer
Jepang karena dianggap kebarat-baratan dan progresif. Akan tetapi, setelah Indonesia merdeka
dapat diterbitkan lagi pada tahun 1949-1953 di bawah kendali S. Takdir Alisjahbana dengan
dukungan tenaga-tenaga baru, seperti Achdiat K. Mihardja, Asrul Sani, Chairil Anwar, Dodong
Djiwapradja, Harijadi S. Hartowardojo, dan Rivai Apin. Tentu saja semangatnya sudah berbeda
dengan semangat tahun 1930-an karena kondisi sosial politik pun sudah berubah.
Sumbangan Pujangga Baru terhadap perkembangan pemikiran kebudayaan Indonesia
pantas dihargai tinggi karena memberikan kesempatan para sastrawan dan budayawan untuk
menyalurkan pendapat-pendapatnya sehingga berkembang polemik yang semarak sebagaimana
tampak pada buku Polemik Kebudayaan susunan Achdiat K. Mihardja (1977). Tokoh-tokoh yang
terlibat dalam polemik itu antara lain S. Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, R.M. Ng. Poerbatjaraka,
Dr. Sutomo, Adinegoro, Dr. M. Amir, dan Ki Hadjar Dewantara. Identitas mereka itu dapat dibaca
pada bagian akhir Polemik Kebudayaan, sedangkan kelengkapannya dapat dirunut pada pelbagai
sumber lain.
Pujangga baru mula-mula terbit dengan semboyan “ majalah kesusasteraan dan bahasa
serta kebudayan umum”. Mulai tahun 1935 diubah menjadi “pembawa semanngat baru dalam
kesusasteraan, seni, kebudayaan dan soal masyarakat umum”. Mulai tahun 1936 diubah lagi
menjadi “pembimbing semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan persatuan
Indonesia”.

Masa jaya majalah Pujangga Baru surut karena datangnya bala tentara Jepang pada Maret
1942. Janganlah dibayangkan kejayaan majalah tersebut seperti majalah sastra Horison yang
dewasa mi tercetak bagus dan tersebar luas. Menurut pengakuan H.B. Jassin sebagaimana
disampaikan dalam wawancara Wahyu Wibowo dan Kasijanto yang termuat di Basis Juli 1983
(halaman 263-270), majalah Pujangga Baru tidak terdukung modal keuangan dan sedikit saja
peminatnya. Pada zaman itu tercetak paling banyak 400 eksemplar dengan persebaran terbatas ke
kalangan guru dan mereka yang dianggap memiliki perhatian terhadap masalah kebudayaan dan
kesusastraan. Pernah juga dikirimkan kepada para sultan, tetapi tidak disambut hangat. Di antara
yang terbatas itu ada juga yang sampai ke Malaya sehingga ikut berpengaruh terhadap
perkembangan sastra Melayu di sana.
Majalah Pujangga Baru ternyata tidak menyediakan honorarium untuk para penyumbang,
bahkan tidak juga menggaji redaksinya, termasuk. H.B. Jassin yang pada tahun 194O1942:
menjadi Sekretaris Redaksi. Namun, pengaruhnya terhadap semangat para penulis dan pengarang
pantas dibanggakan, terbukti banyak tulisan yang mengalir ke redaksi Pujangga Baru. Kebanyakan
tergugah oleh tulisan-tulisan Takdir Alisjahbana yang pada waktu itu selalu bersemangat
menawarkan gagasan-gagasan menuju Indonesia baru. Di mata Jassin, majalah yang profilnya
sederhana itu ibarat perambah jalan atau pelopor.
Kesederhanaan majalah Pujangga Baru masih dapat dinikmati atau disaksikan di Pusat
Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di Jakarta. Perihal ketergantungannya kepada sumbangan
pembaca dapat disimak dalam salah satu edisi sebagai berikut.
Kepada pelanggan Pujangga Baru (jang) yang belum mengirimkan sumbangannya untuk
kwartal kedua tahun ini, bersama ini kami kirimkan postwissel-formulier. Setelah diisi haraplah
segera kirimkan kepada kami kembali. Sudilah mengingatkan bahwa Pujangga Baru semata-mata
bergantung kepada bantuan orang (jang) yang cinta kepada bahasa dan kesusasteraan Indonesia
dan hendak menolong berdaya upaya memberi kedudukan (jang) yang selayaknya kepadanya di
antara bahasa dan kesusasteraan bangsa lain di duma ini. Disisi itu kami berharap kepada segala
pembaca menolong memperluas jumlah teman Pujangga Baru agar lambat laun madjalah kita
dapat diperbaiki seperti semestinya. (Pujangga Baru Nomor 9 Tahun I Maret 1934)
Apa pun riwayatnya, selama hampir sepuluh tahun Pujangga Baru bertahan terbit (1933-1942)
telah berjejak kesuksesan yang pantas dibanggakan. Menurut Faruk H.T., majalah tersebut telah
memberi dasar bagi terbentuknya masyarakat sastra dan bahasa Indonesia.
Lewatnyalah sesungguhnya masyarakat bahasa dan kesusastra-an Indonesia yang berikutnya
belajar. Penemuan-penemuan bahasa seperti misalnya pemasukan kata-kata asing, kata-kata
Melayu kuno, dan kata-kata dan ragam bahasa sehani-hani, telah memberikan kemungkinan baru
bagi masyarakat bahasa dan sastra Indonesia yang kemudian, Tugas masyarakat yang berikutnya
tinggal memperkaya lebih banyak lagi kemungkinan-kemungkinan bahasa dan sastra Indonesia
sesuai dengan kebutuhan yang timbul pada zaman mereka sendiri.
Kesuksesan majalah Pujangga Baru karena terpenuhinya semangat idealisme dan kemampuan
membaca kenyataan di atasjuga telah memungkinkan terbangunnya konsep kebudayaan Indonesia
yang bani. Konsep ini penting karena bagaimanapun masyarakat Indonesia waktu itu berada dalarn
perubahan sosial yang besar dan ganda. (Faruk H.T, 1983: 263).
Mungkin posisi majalah Pujangga Baru yang sederhana pada waktu itu hanya di celah-celah
sekian surat kabar dan majalah umum yang lebih populer. Kalaupun kemudian semangatnya
ternyata menembus zaman adalah bukti bahwa semangat dan pemikiran budaya yang berwawasan
jauh ke depan sungguh merupakan roh kehidupan masyarakat. Semangat atau roh itulah yang
eksistensinya lebih kekal daripada hingar-bingar kehidupan sesaat. Jadi, wajarlah apabila nama
Angkatan Pujangga Baru pun menjadi mapan dalam sejarah sastra Indonesia karena telah
mewariskan semangat kebudayaan baru melalui roman, puisi, drama, kritik, dan esai.
Perubahan bunyi moto atau semboyan itu mencerminkan terjadinya perluasan dan sekaligus
penajaman dalam merumuskan cita-cita orang-orang yang “berhimpun” dalam Pujangga Baru.
Pada kenyataanya memang majalah tersebut berhasil menjadi media tempat berhimpunya pelbagai
gagasan dari pelbagai pihak dan golongan. Nama-nama penulis makin banyak bermunculan, dari
pelbagai daerah dan lingkungan etnis. Hal itu tidak mengandung arti bahwa mereka selalu
sepaham. Diantara para penulis itu telah terjadi polemik, yang pada umumnya berorientasi ke masa
depan. Keadaan ini merupakan dorongan baru dalam mematangkan gagasan-gagasan kebangsaan.
Sumbangannya bagi perkembangan sastra Indonesia menjadi lebih konkrit karena arah
perkembangannya makin diperjelas.
Menurut Takdir Alisjahbana, istilah Indonesia telah dipergunakan secara luas dengan
pengertian yang kabur sehingga tidak secara tegas menunjuk pada semangat keindonesiaan yang
baru sebagai awal pembangunan kebudayaan Indonesia Raya. Keindonesiaan baru itu tumbuh
setelah bangsa atau masyarakat Nusantara bertemu dengan kebudayaan Barat yang ditandai
dengan kesadaran kaum intelektual untuk membangun suatu kehidupan baru yang semangatnya
berbeda dengan masa lampau sebelum abad ke-19 yang disebutnya sebagai pra-Indonesia, bahkan
disebut sebagai zaman jahilliah keindonesiaan yang hanya mengenal sejarah Oost Indische
Compagnie, sejarah Mataram, sejarah Aceh, sejarah Banjarmasin, dan lain-lain. Takdir
Alisjahbana menegaskan bahwa pandu-pandu kebudayaan Indonesia harus bebas dari zaman pra-
Indonesia agar tidak timbul perselisihan tentang landasannya, apakah Melayu, Jawa, dan
sebagainya. Semangat keindonesiaan yang baru itu seharusnya berkiblat ke Barat dengan
menyerap semangat atau jiwa intelektualnya sehingga wajahnya berbeda dengan masyarakat
kebudayaan pra-Indonesia.
Pendapat yang teoretis dan idealis itu dikritik oleh Sanusi Pane yang berpendapat bahwa
keindonesiaan itu sebenarnya sudah ada sejak sekian abad yang silam dalam adat dan seni. Yang
belum terbentuk adalah natie atau bangsa Indonesia, tetapi perasaan kebangsaan itu sebenarnya
sudah ada walaupun belum terwujud. Sanusi Pane berpendapat bahwa kebudayaan Barat yang
mengutamakan intelektualitas untuk kehidupan jasmani tidak dengan sendirinya istmewa karena
terbentuk oleh tantangan alam yang keras sehingga orang harus berpikir dan bekerja keras juga.
Sementara itu, kebudayaan Timur pun memiliki keunggulan, yaitu mengutamakan kehidupan
rohani karena urusan jasmani sudah dimanjakan oleh alam yang serba berlimpah. Tawaran Sanusi
Pane adalah mempertemukan semangat intelektual Barat dengan semangat kerohanian Timur
seperti mempertemukan Faust dengan Arjuna.
Pendapat tersebut di mata Takdir Alisjahbana masih kabur dalam soal istilah Indonesia karena
Sanusi Pane dianggap mencampuradukkan arti Indonesia yang dipakai ahli ilmu bangsa-bangsa
(etnologi) dengan konsep yang dipakai kaum politik di awal kebangkitan nasional. Takdir
menegaskan bahwa di zaman Majapahit, Diponegoro, Teuku Umar, belum ada keindonesiaan yang
disadari oleh masyarakat.
Sementara itu, Poerbatjaraka berpendapat bahwa sumbangan kesejarahan itu sudah ada dan
tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian tentang jalannya sejarah sehingga
orang bisa menengok ke belakang sebagai landasan mengatur hari-hari yang akan datang.
Dengan pandangan yang segar mereka tampil sebagai pemikir-pemikir kebudayaan Indonesia
baru, termasuk kesusastraan, sehingga membedakan posisinya dengan para tokoh yang telah lebih
dahulu menerbitkan karyanya di Balai Pustaka. Oleh karena itu, wajar apabila kemudian mereka
disebut Angkatan Pujangga Baru sebab mereka memiliki kesamaan visi atau pandangan tentang
kesusastraan yang menawarkan nilai-nilai baru dengan gaya bahasa yang memperlihatkan potensi
perseorangan.

5.2 Daftar Karya

Karya-karya sastra yang dihasilkan pada periode ini secara kronologis adalah sebagai
berikut.
Pada tahun 1934 terbit lima buah buku : 3 buah novel, I buah cerita drama, dan 1 buah
kumpulan sajak. Ketiga buah novel itu adalah Hulubalang Raja karangan Nur St. Iskandar, novel
Sebabnya Rafiah Tersesat karya Dt. Aman Madjoindo bersama Hardjosumarto, dan Si Cebol
Rindukan Bulan karya Aman Dt. Madjoindo. Cerita drama yang terbit adalah Ken Angrok dan
Ken Dedes karya Muhammad Yamin, sedangkan kumpulan sajak adalah Rindu Dendam karya
J.E. Tatengkeng.
Hulubalang Raja adalah sebuah novel sejarah. Novel ini merupakan karya terpenting
pengarang Nur St. Iskandar. Ceritanya dirakit berdasarkan hasil penelitian sejarah H. Kroeskamp.
Peristiwa yang dilukiskan adalah yang terjadi di daerah Sumatra Barat pada periode tahun 1665-
1668. Komposisi cerita disusun dengan sangat baik, disertai gaya penceritaan yang memikat.
Karena pengetahuan pengarangnya tentang lingkungan setempat, gambaran peristiwa itu menjadi
sangat menarik; tentang bagaimana hubungan antara Minangkabau, Aceh, dan Belanda pada masa
itu.
Novel Sebabnya Rafiah Tersesat ditulis berdua. Novel ini merupakan kerja sama kedua
antara pengarang Nur St. Iskandar dan Hardjosumarto yang berasal dari Jawa. Novel Si Cebol
Rindukan Bulan merupakan novel Aman Dt. Madjoindo untuk orang dewasa, Pengarang ini lebih
dikenal sebagai penulis cerita anak-anak. Alur cerita novel ini terasa lemah, tetapi gaya
penulisannya serta kemampuan pengarang dalam mengamati kehidupan sangat baik.
Seperti terlihat dari judulnya, drama Ken Arok dan Ken Dedes menyajikan cerita sejarah.
Kedua nama itu adalah tokoh sejarah dalam sejarah lama kerajaan Jawa.
Sajak-sajak yang terkumpul dalam Rindu Dendam merupakan sebagian saja dari seluruh
karya J.E. Tatengkeng. Ia banyak memuat sajak-sajaknya dalam majalah, di antaranya dalam
Pujangga Baru. Ia juga menulis kritik dan esai. Struktur sajaknya serta bahasanya agak berlainan
dari penyair lain yang berasal dari Sumatra. Sajak-sajaknya banyak bernada keagamaan. J.E.
Tatengkeng (1907-1968) dilahirkan di Sangihe. Ia pemeluk agama Kristen yang taat.
Pada tahun 1935 terbit lima buah novel, yaitu novel Katak Hendak Jadi Lembu karangan
Nur St. Iskandar, novel Dewi Rimba masih karya Nur St. Iskandar yang ditulisnya berdasarkan
naskah M. Dahlan Idris, novel Kehilangan Mestika karya Fatimah H. Delais, novel Pembalasan
karya H.S.D. Muntu, dan novel Ni Rawit Ceti Penjual Orang karya I.GN. Pandji Tisna. Novel
Katak Hendak Jadi Lembu menceritakan seorang priyayi Sunda di Sumedang. Ia bekerja pada
kantor pemerintah di sana. (Ia memimpikan kedudukan dan kehidupan yang jauh di atas
jangkauannya. Karena itu, anak istrinya dianggapnya sebagai beban dan tidak menunjang cita-
citanya. Kebahagiaan hidup tidak dirasakannya. Manakala segala harapannya ternyata gagal, ia
hidup menanggung derita dan penyesalan.
Novel Dewi Rimba adalah cerita tentang sepasang muda-mudi yang percintaannya
digagalkan oleh orang tua mereka. Tempat cerita berlangsung di daerah Sumatra Selatan. Mahluk
halus orang bunian turut berperan dalam memecahkan masalah ini. Kedua tokoh utama berubah
wujud, sehingga terlepas dari perkawinan yang hendak dipaksakan oleh orang tuanya. Peristiwa
cerita seperti ini mengingatkan kita pada corak cerita lama.
Novel Kehilangan Mestika adalah rangkaian cerita penderitaan seorang wanita. Ketika
masih remaja Ia mengikuti pendidikan di sekolah guru. Ayahnya mendidiknya dengan cara yang
lebih bebas. Tidak lama kemudian ayahnya meninggal. Setelah ayahnya meninggal, la pun
kehilangan kekasihnya. Guru muda ini menyadari bahwa masyarakatnya masih belum bisa
menerima wanita yang “berdiri sendiri”. Akhirnya, ia mau dikawinkan dengan laki-laki yang
sebenarnya tidak dicintainya. Karena bertahun-tahun tidak juga mempunyai anak, Ia terpaksa
mengizinkan lain.
Cerita novel Pembalasan berlangsung di daerah Goa, Sulawesi Selatan, sekitar tahun 1905,
ketika daerah itu mulai dikuasai oleh pemerintah jajahan Belanda. Dengan demikian, novel ini
tergolong ke dalam novel sejarah. Ceritanya adalah mengenai penghianatan seorang pembantu
terhadap tuannya. Sebelum meninggal, Daeng Mapata berpesan kepada seorang pembantunya agar
mau mengurus kedua anaknya yang masih kecil-kecil beserta segala harta kekayaan yang akan
ditinggalkannya. Pembantu itu menyanggupinya, berpura-pura setia. Tetapi kenyataannya, Ia
malah bersekongkol dengan penyamun untuk membunuh anak itu, agar bisa menguasai harta
warisan yang banyak itu.
Novel Ni Rawit Ceti Penjual Orang adalah cerita yang berlatar belakang masyarakat Bali.
Pengarangnya sendiri memang berasal dari Bali. Novel ini bercerita tentang seorang ibu yang
hidupnya hanya memikirkan materi yang bakal diperolehnya. Sikap dan perbuatannya itu tanpa
disadari telah menjual anak gadisnya sendiri. Nasib malang yang dialaminya merupakan hukuman
atas segala perbuatan buruk yang telah dilakukannya pada masa lalu. Suasana cerita terasa keras
dan kejam, serta terasa adanya kritik pengarang terhadap beberapa cara dan kepercayaan yang
ketika itu masih hidup dalam masyarakat Bali.
Pada tahun 1936 terbit lima buah buku: 3 buah novel, 2 buah kumpulan sajak. Ketiga novel
itu adalah Sukreni Gadis Bali karangan I.G.N. Pandji Tisna, novel Layar Terkembang karya St.
Takdir Alisjahbana, dan Di bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka. Kedua kumpulan sajak
masing-masing berjudul Tebaran Mega karya St. Takdir Alisjahbana, dan Kisah Seorang
Pengembara karya A. Hasjmy. Novel Sukreni Gadis Bali adalah novel IG.N. Pandji Tisna yang
kedua. Cerita ini juga dengan latar suasana yang sama dengan novel yang pertama, penuh dengan
kekerasan dan petualangan.
Novel Layar Terkembang bercerita tentang dua tokoh wanita kakak beradik, Tuti dan
Maria. Tuti adalah perwujudan gadis berpaham kaum muda modern yang aktif dalam gerakan
kewanitaan. la seorang guru. Kegiatan-kegiatannya di luar tugas utama tidak lain karena ia merasa
terpanggil untuk membela kaumnya. Ia seperti melupakan dirinya sendiri, yang sebagai wanita
muda tentu mendambakan seorang suami. Maria, adiknya, adalah seorang gadis periang, lincah.
Perhatian seperti kakaknya tidak terlihat.
Kedua gadis itu berkenalan dengan Yusuf, seorang mahasiswa kedokteran. Ia kemudian
jadi kekasih Maria, meskipun sebelumnya ia lebih tertarik kepada Tuti. Mereka tidak sampai
menikah karena Maria jatuh sakit, dan kemudian meninggal. Sebelum meninggal, Maria pernah
berpesan agar Yusuf menikahi Tuti.
Novel Di bawah Lindungan Ka’bah bercerita tentang percintaan yang tersembunyi antara
sepasang muda-mudi yang sudah bersahabat sejak masa anak-anak. Si gadis akhirnya dikawinkan
dengan laki-laki lain, pasangan yang cocok menurut pilihan orang tua. Gadis itu mula-mula
menolak, namun akhirnya luluh hatinya oleh nasihat pemuda yang disayanginya itu. Pemuda itu
kemudian pergi ke Mekah, mencari ketentraman di bawah lindungan kabah. Ia meninggal di
Mekah.
Kumpulan sajak Tebaran Mega merupakan nomor khusus majalah Pujangga Baru. Dalam
sajak-sajaknya ini terasa adanya kebangkitan sebuah semangat. Sajak-sajaknya tergolong terang,
kadang-kadang terasa prosaik.
Kumpulan sajak Kisah Seorang Pengembara berisi 35 buah sajak, kebanyakan berbentuk
soneta dan sajak empat seuntai. lsinya merupakan gambaran pengembaraan seorang pemuda,
melukiskan pengalaman-pengalamannya, menghadapi kesukaran, kesedihan, kegembiraan.
Pada tahun 1937 terbit tiga buah buku: 2 novel, I kumpulan sajak. Kedua novel itu adalah
Naraka Dun/a karangan Nur St. Iskandar dan Pengaruh Keadaan karangan Selasih. Kumpulan
sajak berjudul Nyanyi Sunyi karya Amir Hamzah yang pertama.
Novel Naraka Dunia bercerita tentang sebuah keluarga muda di Jakarta yang hidupnya
terancam oleh penyakit kotor. Penderitaan itu sebagai akibat perilaku sang suami pada masa
sebelumnya. Ketegangan terlukis dari rasa takut dan khawatir yang menghantui kehidupan mereka.
Novel Pengaruh Keadaan bercerita di tanah Sumatra. Cerita dimulai dengan rangkaian
kesengsaraan dan kemalangan gadis Yusnani yang hidupnya di bawah tekanan ibu tirinya.
Keadaan itu berubah karena kemudian gadis itu diambil oleh saudaranya, serta ditolong oleh
Syahruddin sahabat saudaranya itu. Yusnani akhirnya menikah dengan pemuda penolong itu.
Kumpulan sajak Nyanyi Sunyi berlatarbelakangkan pengalaman hidup Amir Hamzah
sendiri. Ia terpaksa meninggalkan studinya, meninggalkan teman-temannya sepergerakan,
meninggalkan Pulau Jawa, dan konon juga kekasihnya, karena Ia harus pulang ke Langkat. Rasa
kesunyian itu rupanya yang kemudian mendorong timbulnya renungan-renungan mendalam.
Sebuah di antaranya dipetik di bawah ini.

Padamu Jua

Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu
Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau petik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu - - bukan giliranku
Mati hari -- bukan kawanku...

Pada tahun 1938 terbit lima buah buku: 4 buah novel, I buah kumpulan cerita pendek.
Keempat buah novel itu adalah I Swasta setahun di Bedahulu dan Dewi Karuna, keduanya
karangan l.G.N. Pandji Trisna, novel Tenggelamnya Kapal van der Wijk dan Karena Fitnah,
kedua-duanya karangan Hamka. Kumpulan cerita pendek yang diterbitkan itu benjudul Kawan
Bergelut karya Suman Hs.
Novel I Swasta Setahun di Bedahulu merupakan novel ketiga dari l.G.N. Padji Trisna.
Novel ini bercerita tentang kehidupan Bali pada abad kesepuluh. Karena itu, dapat digolongkan
sebagai novel sejarah. Akan tetapi, keadaan masyarakat jaman itu tidak tergambarkan. Novel ini
adalah sebuah cerita percintaan. Tokoh I Swasta, keturunan Manorbawa, terpaksa harus mengalah
terhadap I Lastya dalam memperebutkan gadis I Nogati. Kekalahan ini sebagai akibat peristiwa
masa lalu. Manorbawa diceritakan pernah merebut Kekasih I Kulup Bok, leluhur I Lastya. Dosa
Kakeknya terpaksa harus ditebus dengan pengorbanan I Swasta. Hukum karma seperti tidak
pernah lengah dengan kekuasaannya.
Novel Dewi Karuna atau Dewi Karuna, Salah Satu Jalan Pengembara adalah sebuah novel
pendek yang diterbitkan di Medan. Novel ini adalah sebuah cerita alegoris mengenai kehidupan
seorang manusia : Perjuangan hidupnya, berbagai godaan, serta tanggung jawabnya. Novel
Tenggelamnya Kapal van der Wijk adalah cerita tentang seorang pemuda yang berayah orang
Minangkabau, ibunya dari Makasar. Manakala Ia datang ke tanah leluhur ayahnya, ternyata Ia
hanya dianggap sebagai anak pisang. Lingkungan masyarakatnya tidak menerima sepenuhnya,
padahal selama berada di sana Ia telah menjalin percintaan dengan seorang gadis. Akhirnya ia
terpaksa pergi, meninggalkan gadisnya dari tanah leluhur ayahnya. Gadis yang dicintainya itu
mengalami musibah, kapal laut yang ditumpanginya tenggelam. Tahun 1962 timbul tuduhan
bahwa cerita ini hasil plagiat dari cerita berbahasa Arab karya Mustafa Luthfi al-Manfaluthi
pengarang Arab-Mesir. Mustafa sendiri menyadur cerita ini dari karya Jean Baptiste Alphonse
Karr pengarang Prancis.
Novel Karena Fitnah adalah cerita memilukan tentang seorang perempuan Minangkabau.
Ia difitnah dan dipaksa harus meninggalkan kampung halamanya. Akhirnya sampai ke Jawa
dengan segala penderitaan yang harus dialaminya. Secara langsung, atau tidak langsung, dalam
cerita ini terasa kritik pengarang atas adat yang menjadi tradisi masyarakat pada masa itu.
Judul Kawan Bergelut untuk kumpulan cerita pendek ini menyiratkan bahwa cerpen-
cerpen yang terdapat di dalamnya bernada segar, mengajak bercanda, atau sekalipun berisi kritik
adalah sindiran yang tidak menyakitkan. Gaya bahasa Suman Hs. dalam buku ini terasa lebih
lincah dan lebih hidup, sama seperti dalam karya-karyanya yang lain.
Pada tahun 1939 terbit sepuluh buah buku: 6 buah cerita novel, 4 buah kumpulan sajak.
Keenam novel itu adalah Cincin Stempel karangan Ardi Soma, Menjaga Kehormatan karya Sh.
Dwarsoprasonto. Tebusan Darah novel karya Suman Hs. yang kelima, novel Tuan Direktur dan
Merantau ke Deli keduanya karya Hamka, dan Zaman Gemilang karangan Matu Mona. Keempat
kumpulan sajak itu adalah Jiwa berjiwa karya Armijn Pane, Pantun orang Muda dan Sebab Aku
Terdiam - keduanya karya Or. Mandank dan Setanggi Timur kumpulan sajak terjemahan Amir
Hamzah.
Cerita Cincin Stempel juga adalah cerita yang terjadi di lingkungan masyarakat
Minangkabau. Seorang guru muda terpaksa menikahi gadis yang tidak dicintainya karena ia harus
membayar jasa orang-orang yang telah membiayainya semasa Ia sekolah. Perkawinan itu tidak
membawa kebahagiaan. Sang guru berpendapatan kecil, sementara istrinya mengharapkan
kehidupan serba ada. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun tiga puluhan menyebabkan mereka
terpaksa bercerai. Setelah melalui berbagai peristiwa lagi, guru muda itu akhirnya menikah dengan
gadis yang dahulu pernah dicintainya.
Novel Menjaga Kehormatan adalah cerita tentang seorang gadis yang terpaksa hidup
menyembunyikan diri untuk menjaga kehormatannya. Akhirnya Ia ditemukan serta diselamatkan
oleh kekasihnya yang baik budi.
Novel Tebusan Daerah adalah karya Suman Hs yang kelima. Buku ini diterbitkan bukan
oleh Balai Pustaka.
Novel Tuai Direktur bercerita mengenai perbedaan atau petentangan antara dua tokoh.
Yang satu adalah seorang pengusaha yang selalu kerja keras, dan yang paling penting adalah uang
dan kekayaan. Yang satu lagi adalah seorang muslim yang bijak, bernarna Yasin. Ia berusaha
membina masyarakat yang taat akan ajaran agama, masyarakat yang merdeka. Tokoh pertama
merupakan korban ambisinya, sementara kehidupan Yasin bertambah baik.
Dalam novel Merantau ke Deli Hamka bercerita tentang tokoh Leman, pemuda
Minangkabau, yang menikah dengan Poniem gadis Jawa. Keluarga ini berangsur sukses dalam
usahanya, terutama karena peranan istri yang mau bekerja keras penuh semangat. Tetapi
kemudian, rumah tangga mereka menjadi berantakan. Leman dipanggil pulang ke kampung
halamannya untuk dikawinkan dengan seorang gadis yang bersifat egois. Poniem kemudian
menikah dengan salah seorang pegawainya yang dulu bekerja pada Leman. Mereka memulai lagi
membuka usahanya dengan penuh perjuangan. Sementara itu, Leman mengalami kegagalan hidup.
Di sini terlihat kritik halus Hamka akan adat berjodoh yang sedang dipertahankan oleh kaum tua
di Iingkungan masyarakatnya.
Novel Zaman Gemilang karya Matu Mona diterbitkan di Medan. Ceritanya
berlatarbelakangkan peristiwa sejarah, pada masa jaya Hindu Budha di Indonesia, kerajaan
Majapahit. Matu Mona adalah nama samaran Hasbullah Parinduri (lahir tahun 1910 di Medam).
Ia seorang wartawan.
Kumpulan sajak Pantun Orang Muda dan Sebab Aku Terdiam adalah karya Or. Mandank.
Ia adalah Oemar gelar Datuk Radjo Mandank (lahir di Kotapanjang, Suliki, tanggal 1 Januari
1913). Sajak-sajaknya dalam kumpulan yang kedua banyak menyindir kelakuan sebagian ulama.
Apa yang mereka kerjakan sering berlainan dengan petuah-petuahnya sendiri. Or Mandank seperti
merasa berkewajiban untuk mengingat pars pemimpin. Tetapi sarannya tidak terlalu jelas.
Kumpulan sajak Setanggi Timur bukan karya asli Amir Hamzah, melainkan terjernahan,
Sajak-sajak yang diterjemahkannya adalah dari negeri-negeri timur, yang bernafaskan timur pula,
misalnya dari Jepang, India, Arab, Persia.
Kumpulan sajak Jiwa Berjiwa karya Armijn Pane sebenarnya tidak terbit berupa buku,
melairikan sebagai nomor istimewa majalah Pujangga Baru. Sebuah kumpulan sajak lainnya karya
Armijn Pane diterbitkan jauh lebih kemudian (1960) dengan judul Gemelan Jiwa.
Pada tahun 1940 terbit enam buah buku: 2 bush novel, I buah kumpulan cerita pendek, 2
buah cerita drama, dan I buah kumpulan sajak. Kedua novel itu adalah Karena Anak Kandung
karangan M. Enni, dan novel Belenggu karya Armijn Pane. Kumpulan cerita pendek yang terbit
adalah di dalam Lembah Kehidupaan karangan Hamka. Kedua buah buku cerita drama adalah
Pembalasannya karya Saadah Alim dan Manusia Baru karya Sanusi Pane. Dari kumpulan sajak
yang terbit itu adalah Dewan Sajak karya A. Hasjmy.
Novel Karena Anak Kandung bercerita dengan latar masyarakat Minangkabau. Sebuah
keluarga yang bahagia menjadi berantakan karena sang istri terhasut orang lain yang masih
kerabatnya. Ia memimpikan kehidupan yang berlimpah kekayaan, sementara sang suami berbekal
kesabaran dan kejujuran. Tekanan yang ditimbulkan oleh krisis ekonomi menyebabkan mereka
bercerai. Tetapi kemudian, Si istri menyesali kesalahannya serta menyadari bahwa perbuatannya
itu telah menyengsarakan kehidupan anaknya. Suaminya tidak mau mengambilnya kembali.
Walaupun ada kesempatan, ia tidak juga mau memperistri gadis yang dahulu pernah dicintainya
sebelum Ia menikah.
Novel Belenggu mula-mula dimulai dalam majalah Pujangga Baru. Pada saat mulai
diterbitkannya cerita ini mendapat reaksi pro dan kontra. Belenggu bercerita tentang sebuah rumah
tangga yang berakhir dengan keretakan. Dokter Sukartono merasa kurang mendapat perhatian dari
istrinya sehingga Ia menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Sebaliknya, istrinya pun merasa
dirinya diabaikan oleh suaminya. Pengolahan permainan rasa amat kuat dalam cerita ini. lstrinya,
Tini, berusaha untuk mengubah sikapnya. Sementara itu, hati suaminya sudah mulai terbahagiakan
oleh perempuan lain. Cerita berakhir dengan perpisahan di antara ketiga tokoh itu. Novel ini
dianggap novel yang paling berhasil dari pengarangnya, serta paling penting pada periode ini.
Kumpulan cerita pendek Di dalam Lembah Kehidupan menunjukkan sebuah keahilian lain
dari pengarang Hamka, yang namanya sebenarnya lebih dikenal sebagai penulis novel. Pengarang
ini sebenarnya tidak dibesarkan dengan pendidikan barat. Kemampuan dan minatnya lebih banyak
terbentuk oleh pengaruh sastra Arab modern.
Cerita Pembalasannya adalah sebuah komedi pendek. Temanya adalah perkawinan yang
dipaksakan oleh pihak orang tua terhadap anaknya. Saadah Aiim, pengarangnya, juga menulis
cerita pendek.
Cerita drama Manusia Baru karya Sanusi Pane agak berlainan dengan drama-drama
lainnya, terutama dalam suasananya. Tempat peristiwanya adalah di India, menyajikan problem
sosial, hubungan antara buruh dan pimpinan, serta tanggung jawab seseorang dalam kedua sisi itu.
Drama ini merupakan wadah pengarang tentang gagasannya mengenai Timur dan Barat. Dalam
hubungan itu, kita bisa memahami bila drama ini tergolong kloset drama; untuk dibaca, agak sulit
dipanggungkan.
Kumpulan sajak Dewan Sajak adalah buku A. Hasjmy yang kedua. Kumpulan sajak ini
dibagi atas tujuh bagian. Setiap bagian memuat sajak-sajak yang memiliki suasana dan motif yang
sama. A. Hasjmy banyak menulis sajak, yang dimuatnya dalam majalah-majalah. Tahun 1941
terbit sembilan buah buku: 3 buah novel, 1 buah kumpulan cerita pendek, 4 kumpulan sajak atau
puisi, dan 1 cerita drama. Ketiga novel tersebut adalah Andang Teruna karya Soetomo Djauhar
Arifin, Karena Kerendahan Budi karya H.S.D. Muntu, dan Cinta dan Kewajiban karya L. Wairata
yang disunting oleh Nur St. Iskandar. Kumpulan cerita pendek berjudul Taman Pen ghibur Hati
karya Saadah Alim. Kumpulan sajak atau puisi yang terbit adalah Buah Rindu karya Amir
Hamzah, Senandung Hidup karya Samadi, Kata Hati karya Rifa’i Ali, dan Puisi Lama sebuah
antologi puisi lama yang dikumpulkan dan dibicarakan oleh St. Takdir Alisjahbana.
Novel Andang Teruna bercerita tentang seorang pemuda Jawa yang berpendidikan
modern. Tokoh ini mengalami dua kali gagal dalam bercinta dengan gadis pilihannya. Akhirnya
ia menemukan segala sifat yang diidamkannya itu pada gadis yang telah menjadi saudara
angkatnya. Dalam cerita ini terlihat, contoh adaptasi nilai-nilai budaya tradisional dengan
kehidupan modern. Orang tua tampak lebih bijak daripada anak muda.
Novel Karena Kerendahan Budi adalah cerita yang terjadi di Sulawesi Selatan. Gadis
Nuripah yang sedang bersekolah di Jakarta dipanggil pulang oleh orang tuannya untuk dikawinkan
dengan Arung Maflawa, seorang kepala daerah. Tokoh Arung Mallawa yang sudah berusia tua ini
memiliki watak yang kuat. Serta berpegang teguh pada moral tradisi. Rumah tangga mereka
berantakan. Sang istri merasa lebih terpelajar, kehidupannya dirasakan tidak cocok dengan tingkat
pendidikan yang telah diterimanya. Ia meninggalkan suaminya, tetapi kehidupannya kemudian
lebih menyulitkan, sampai akhirnya membuat ia terjerumus ke dalam kehidupan yang hina.
Novel Cinta dan Kewajiban adalah cerita tentang gadis Annie yang penyabar, yang selalu
dengan setia mendampingi ibunya. Dari ibunyalah ia memperoleh pendidikan kemuliaan hati. Pada
akhirnya gadis ini mendapatkan kebahagian setelah melewati pelbagai penderitaan.
Kumpulan cerita pendek Taman Penghibur Hati berisi cerita-cerita yang bernada
mempermasalahkan perubahan kehidupan pergaulan. Pengarangnya cenderung berpihak kepada
mempertahankan tradisi dan adat lama.
Buah Rindu adalah salah satu kumpulan sajak Amir Hamzah. Sajak-sajak yang terkumpul
dalam buku ini diduga ditulis lebih dahulu daripada dalam Nyanyi Sunyi. Bagaimana kemampuan
Amir Hamzah dalam merakit kekayaan purwakanti serta keunggulan imajinya terlihat pada sajak
berikut.
Berdiri Aku

Berdiri aku di senja senyap


Camar melayang menepis buih
Melayah bakau mengurai puncak
Berjulang datang ubur terkembang
Angin pulang menyejuk bumi
Menepuk teluk mengempas emas
Lari ke gunung memuncak sunyi
Berayun-ayun di atas alas.
Benang raja mencelup ujung
Naik marak menyerak corak
Elang leka sayap tergulung
Dimabuk warna berarak-arak
Dalam rupa maha sempurna
Rindu-sendu mengharu kalbu
Ingin datang merasa sentosa
Menyecap hidup bertentu tuju
Karya Samadi berjudul Senandung Hidup diterbitkan di Medan. Samadi adalah nama
samaran. Nama sebenarnya Anwar Rasjid (lahir di Maninjau tanggal 18 November 1918). Ia
pernah lama menjadi kepala sekolah, kemudian juga bekerja sebagai redaktur majalah. Sajak-
sajaknya yang terkumpul dalam buku ini ditulisnya antara tahun 1935-1941. Dalam sajak-sajaknya
itu tak pernah terlepas nada keagamaan. Sebuah contoh dipetik di bawah ini.

Betapa Gerang Akan Jadinya?

Betapa gerang akan jadinya,


Bila sedang bersuka ria
Nyawa pun cerai dari badan,
Sedang lupa kepada Tuhan.
Sebab ajal tiadalah tentu,
Boleh tiba sebarang waktu.
Betapa gerang akan jadinya,
Bila durhaka di atas dunia,
Mabuk membilang-bilang rela
Gila dilambung gelombang alpa,
Bukankah neraka putusan diri,
Di negeri baka kemudian hari?

Kumpulan sajak Kata Hati berisi sajak-sajak yang berlandaskan agama (Islam). Rifa’i Ali,
pengarangnya, lahir di Padang Panjang pada tahun 1909. Isi sajak-sajaknya menanggapi kehidupan
modern, serta memperbandingkannya dengan ajaran agama.
Dalam buku Puisi Lama St. Takdir Alisjahbana menghimpun dan membicarakan puisi
lama. Ia menandaskan puisi lama sebagai pancaran masyarakat lama, dan puisi baru sebagai
pancaran masyarakat baru. Terjadinya perubahan pada masyarakat akan menimbulkan perubahan
pula pada sastranya.
Cerita drama Gadis Modern adalah sebuah komedi ringan. Cerita itu berpangkal pada tema
konvensional, kekeliruan dalam masalah cinta.
Berdasar pada daftar karya di atas, diketahui bahwa jumlah karya yang dihasilkan pada
periode 1933-1942 ini tidak kurang dari 48 judul. Jumlah ini tidak terlalu menyolok
peningkatannya bila dibandingkan dengan jumlah karya yang dihasilkan pada periode 1900-1933.
Dan 48 judul buku itu 29 buah di antaranya berbentuk novel, 13 buah kumpulan cerita drama.
Dalam hubungan ini, yang perlu mendapat perhatian adalah meningkatnya jumlah
kumpulan sajak dan munculnya kumpulan cerita pendek. Gejala ini ada hubungannya dengan
makin besarnya peranan majalah sebagai media karya sastra pada masa itu. Majalah merupakan
media yang lebih cepat untuk menyajikan karya-karya baru bila dibandingkan dengan penerbitan
buku. Bentuk karangan yang paling cocok untuk dimuat dalam media itu adalah cerita pendek dan
sajak. Dari segi ini, antara lain, kita bisa memahami mengapa pada periode ini penulisan karya
sastra dalam bentuk sajak berkembang pesat.
Para pengarang yang berkarya pada periode ini tidak kurang dari 28 orang, Berturut-turut
adalah (disusun menurut alfabet) A. Hasjmy, Adlin Affandi, Aman Dt. Madjoindo, Armijn Pane,
Amir Hamzah, Ardi Soma, Fatimah H. Delais, Hamka, H.S.D. Muntu, l.G.N. Pandji Trisna, J.E.
Tatengkeng, I. Wairata, M. Enri, Matu Mona, Muhamad Yamin, Nur St. Iskandar, Or. Mandank,
Rifa,i Ali, Saadah Alim, Samadi, Sanusi Pane, Selasih, Sh. Dwarsoprasonto, Soetomo Djauhar
Arifin, St. Takdir Alisjahbana, dan Suman Hs. Dari daftar itu terlihat bahwa di antara nama-nama
itu adalah pengarang-pengarang yang sudah aktif pada periode sebelumnya.
Sebuah “perkembangan” dalam segi ini adalah bahwa para pengarang baru sudah mulai
muncul dari luar lingkungan Sumatra. Sejalan dengan itu, tema-tema cerita pun mulai
menunjukkan warna lain.
Menurut Takdir Alisjahbana, istilah Indonesia telah dipergunakan secara luas dengan
pengertian yang kabur sehingga tidak secara tegas menunjuk pada semangat keindonesiaan yang
baru sebagai awal pembangunan kebudayaan Indonesia Raya. Keindonesiaan baru itu tumbuh
setelah bangsa atau masyarakat Nusantara bertemu dengan kebudayaan Barat yang ditandai
dengan kesadaran kaum intelektual untuk membangun suatu kehidupan baru yang semangatnya
berbeda dengan masa lampau sebelum abad ke-19 yang disebutnya sebagai pra-Indonesia, bahkan
disebut sebagai zaman jahilliah keindonesiaan yang hanya mengenal sejarah Oost Indische
Compagnie, sejarah Mataram, sejarah Aceh, sejarah Banjarmasin, dan lain-lain. Takdir
Alisjahbana menegaskan bahwa pandu-pandu kebudayaan Indonesia harus bebas dari zaman pra-
Indonesia agar tidak timbul perselisihan tentang landasannya, apakah Melayu, Jawa, dan
sebagainya. Semangat keindonesiaan yang baru itu seharusnya berkiblat ke Barat dengan
menyerap semangat atau jiwa intelektualnya sehingga wajahnya berbeda dengan masyarakat
kebudayaan pra-Indonesia.

Pendapat yang teoretis dan idealis itu dikritik oleh Sanusi Pane yang berpendapat bahwa
keindonesiaan itu sebenarnya sudah ada sejak sekian abad yang silam dalam adat dan seni. Yang
belum terbentuk adalah natie atau bangsa Indonesia, tetapi perasaan kebangsaan itu sebenarnya
sudah ada walaupun belum terwujud. Sanusi Pane berpendapat bahwa kebudayaan Barat yang
mengutamakan intelektualitas untuk kehidupan jasmani tidak dengan sendirinya istmewa karena
terbentuk oleh tantangan alam yang keras sehingga orang harus berpikir dan bekerja keras juga.
Sementara itu, kebudayaan Timur pun memiliki keunggulan, yaitu mengutamakan kehidupan
rohani karena urusan jasmani sudah dimanjakan oleh alam yang serba berlimpah. Tawaran Sanusi
Pane adalah mempertemukan semangat intelektual Barat dengan semangat kerohanian Timur
seperti mempertemukan Faust dengan Arjuna.
Pendapat tersebut di mata Takdir Alisjahbana masih kabur dalam soal istilah Indonesia karena
Sanusi Pane dianggap mencampuradukkan arti Indonesia yang dipakai ahli ilmu bangsa-bangsa
(etnologi) dengan konsep yang dipakai kaum politik di awal kebangkitan nasional. Takdir
menegaskan bahwa di zaman Majapahit, Diponegoro, Teuku Umar, belum ada keindonesiaan yang
disadari oleh masyarakat.
Sementara itu, Poerbatjaraka berpendapat bahwa sumbangan kesejarahan itu sudah ada dan
tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian tentang jalannya sejarah sehingga
orang bisa menengok ke belakang sebagai landasan mengatur hari-hari yang akan datang.
Dengan pandangan yang segar mereka tampil sebagai pemikir-pemikir kebudayaan Indonesia
baru, termasuk kesusastraan, sehingga membedakan posisinya dengan para tokoh yang telah lebih
dahulu menerbitkan karyanya di Balai Pustaka. Oleh karena itu, wajar apabila kemudian mereka
disebut Angkatan Pujangga Baru sebab mereka memiliki kesamaan visi atau pandangan tentang
kesusastraan yang menawarkan nilai-nilai baru dengan gaya bahasa yang memperlihatkan potensi
perseorangan.

5.3 Para Pengarang

Di bawah ini disajikan keterangan singkat tentang beberapa orang pengarang pada periode
ini.
Aman Dt. Madjoindo dilahirkan pada tahun 1896 di Solok, Sumatra Barat. Ia bekerja
beberapa tahun sebagai guru, kemudian pindah ke Balai Pustaka di Jakarta. Mula-mula sebagai
korektor, kemudian sebagai redaktur, sampai pensiun dari sana. Ia menulis beberapa novel, tetapi
lebih dikenal sebagai penulis anak-anak.
Armijn Pane adalah saudara kandung Sanusi Pane. Ia dilahirkan pada tahun 1908. Tahun
1923 Ia masuk sekolah kedokteran, kemudian pindah mempelajari bahasa dan satra Barat. di Solo.
Ia aktif di surat kabar dan pergerakan kebangsaan. Bersama St. Takdir Alihsjahbana dan Amir
Hamzah, Ia menerbitkan majalah Pujangga Baru. Selain menulis novel Belenggu yang membuat
namanya terkenal, ia juga menulis kumpulan cerita pendek Kisah Antara Manusia pada tahun
1953, menerbitkan cerita drama Jinak-jinak Merpati pada tahun 1954, dari kumpulan puisi
Gamelan Jiwa pada tahun 1960.
Amir Hamzah (1911-1946) adalah keturunan bangsawan Langkat di Sumatra Timur. Ia
menuntut ilmu di Fakuftas Hukum di Pulau Jawa, dibiayai oleh pamannya yang menjadi Sultan
Langkat. Ia aktif dalam gerakan kebangsaan. Bersama Armijn Pane dan St. Takdir Alisjahbana, Ia
menerbitkan majalah Pujangga Baru. Sebelum menyelesaikan studinya, Ia dipanggil pulang ke
Langkat untuk dikawinkan dengan putri kesultanan. Ketika terjadi revolusi sosial di sana, pada
tahun 1946, Amir Hamzah diculik kemudian dibunuh. Ia tergolong penyair religius. Karena karya-
karyanya Ia dijuluki “ Raja Penyair Pujangga Baru “.
Hamka adalah inisial dari nama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah.
Pendidikannya hanya sampai kelas II sekolah dasar, tetapi kemudian ia mendapat pendidikan
agama bahasa Arab Sumatra Thawalib, di Bukittinggi, dan dari ayahnya. Tahun 1924 Hamka pergi
ke Jawa, belajar lebih lanjut kepada H.O.S. Tjokroaminoto di Surabaya. Tahun 1927 Ia naik haji
ke Mekkah. Sepulang dari sana menjadi guru agama di Padang, turut pula memimpin pergerakan
Muhammadiyah. Selama tinggal di Medan Ia aktif dalam bidang jurnalistik.
H.S.D. Muntu nama lengkapnya adalah Haji Said Daeng Muntu. Ia adalah pemimpin
Muhammadiyah yang terkenal di Sulawesi. Ketika masih kecil, ia pernah dibuang oleh pemerintah
jajahan Belanda ke Sumatra Barat. IGN. Pandji Trisna nama Iengkapnya adalah I Gusti yoman
Pandji Trisna. Namanya kemudian adalah Anak Agung Pandji Trisna. Ia adalah anak bangsawan
Bali, dilahirkan di Singaraja pada tahun 1908. Kemudian ia memeluk agama Kristen.
BAB VI
PERIODE 1942-1945

6.1 Angkatan 45
Periode 1942-1945 tidak dapat dilepaskan dari lingkungan kelahirannya, yakni masa
pendudukan Jepang dan masa revolusi Indonesia. Masa revolusi merupakan sebuah masa yang
khas dengan segala permasalahan sosial budaya yang khas pula. Maka, generasi yang aktif pada
masa revolusi 45 dipaksa oleh keadaan yang dahsyat dan khas itu, untuk merumuskan diri dan
tampil menjawab tantangan-tantangan jaman yang mereka hadapi.
Masa revolusi ini menjadi problem besar karena masayarakat Indonesia saat itu, sama
sekali belum memiliki pengalaman menjadi sebuah bangsa yang merdeka. Sementara itu,
pengalaman masyarakat Indonesia sebagai bangsa terjajah demikian lama dan mendalam. Di
tengah suasana semacam itu, gerbang kemerdekaan yang disebut-sebut Soekarno sebagai
“jembatan emas” itu, merupakan sesuatu yang dahsyat dan menggetarkan, penuh pesona dan
sekaligus mencekam. Tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana Indonesia nanti setelah
kemerdekaan itu tercapai. Di tengah latar belakan semacam itu, para sastrawan generasi 45 selain
banyak yang berjuang secara fisik dalam perang kemerdekaan, juga menyibukkan diri untuk
mencoba merumuskan dan mencari orientasi pada pelbagai kemungkinan bangunan kebudayaan
bagi Indonesia yang merdeka.
Proses menjadi bangsa Indonesia yang merdeka itu sendiri memang bukan hanya dimulai
pada masa 40-45-an. Proses itu telah terjadi jauh sebelumnya. Kegiatan berserikat dan
berorganisasi dimulai oleh lahirnya Budi Utomo. Kelahiran Budi Utomo ini segera disusul oleh
pelbagai organisasi lain, Indische Partij, Serikat Dagang Islam (yang kemudian berubah menjadi
Serikat Islam), serta pelbagai perkumpulan pemuda yang secara bersama-sama kemudian
mengikrarkan Sumpah Pemuda (Ricklefs, 1993:247-274; Kartodirdjo, 1987). Dalam bidang sastra
dan budaya proses ini menjadi tegas pada generasi Pujangga Baru (Fouleher, 1991).
Nama Angkatan 45 sendiri, dimunculkan pertama kali oleh Rosihan Anwar pada lembar
kebudayaan “Gelanggang”. Sejak itu, penamaan yang dibuat Rosihan Anwar diakui dan disepakati
banyak kalangan sebagai nama angkatan sastra periode 40-an.
Angkatan 1945 memperoleh saluran resmi melalui penerbitan majalah kebudayaan Gema
Suasana, Januari 1948. Majalah ini diasuh oleh dewan redaksi yang terdiri dari Asrul Sani, Chairil
Anwar, Mochtar Apin, Riva’i Apin dan Baharudin. Majalah ini dicetak dan diterbitkan oleh
percetakan Belanda Opbouw (Pembangunan). Dalam konfrotasi dengan Belanda, mereka
kemudian pindah ke “Gelanggang”, sebuah suplemen kebudayaan dari jurnal mingguan Siasat
yang muncul pertama kali pada bulan Februani 1948 dengan redaktur Chairil Anwar dan Ida
Nasution. Di suplemen inilah mereka kemudian menerbitkan kredo Angkatan 45, yang dikenal
luas dengan nama “Surat Kepercayaan Gelanggang”.
Dengan itu, para penyair Angkatan 45 mendefinisikan diri dari konsep estetik budayanya.
Pendefinisian diri, dilakukan sastrawan Angkatan 45 lewat “pemisahan diri’ dan kritik keras
terhadap generasi sastra sebelumnya, khususnya kritik dan pemisahan diri dengan visi budaya yang
ditegakkan Sutan Takdir Alisjahbana. Hal ini ditunjukkan pula dengan terbitnya kumpulan sajak
Chairil Anwar, Asrul Sani dan Riva’i Apin yang berjudul Tiga Menguak Takdir. Baik Chairil
maupun Asrul Sani kerap mengajukan protes dan serangannya terhadap Sutan Takdir Alisjahbana
(Sani).
Pemisahan konsepsi sastra dan visi budaya inilah yang kemudian dijadikan banyak
pengamat sastra sebagai ciri utama Angkatan 45 dibanding angkatan sebelumnya. HB. Jassin
dalam banyak tulisannya mengemukakan terdapatnya pemisahan yang tegas antara konsepsi
sastrawan Pujangga Baru dengan konsepsi sastrawan generasi 45. Andaikan ini pulalah yang
dianut dan dipercayai banyak sastrawan Angkatan 45.

Sekalipun begitu, banyak kritisi dan pengamat yang kemudian, meragukan adanya
perpisahan visi yang tegas antara Angkatan 45 dan Pujangga Baru. Dengan caranya masing-
masing, Ajip Rosidi (1964), Subagio Sastrowardojo, Keith Foulcher (1997) dan Agus R Sarjono
(1997a), mengemukakan bahwa visi dan orientasi budaya Angkatan 45 masih merupakan
kelanjutan dari visi budaya Pujangga Baru, khususnya Takdir Alisjahbanta. Bagaimanapun,
Angkatan 45 merupakan buah dari pohon pikiran yang ditanam St. Takdir Alisjahbana (Foulcher,
1997; Sarjono 1976).
H.B. Jassin (1993) merumuskan ideologi sastra Angkatan 45 adalah humanisme universil
Namun, Keith Foulcher menunjukkan bahwa ideologi satra angkatan 45 merupakan gambaran dari
situasi politik saat itu. Foulcher yang melihat konsepsi Angkatan 45 dari konstelasi politik,
mengemukakan bahwa:

Dalam lapangan kesusastraan, Angkatan 45 adalah fenome dikenal. Saya percaya bahwa
kelahiran dan karakternya dapat secara paling baik difahami saat Ia dipandang terutama
sebagai ekspresi budaya dan gerakan nasionalisme Indonesia aliran Syahrir (Rosidi dkk,
1997:86).

Subago Sastrowardojo (1980:36-37) dan Ajip Rosidi (1973) dengan cara berbeda menyepakati
bahwa orientasi budaya Chairil Anwar dan Angkatan 45 adalah sastra dan budaya Barat. Agus R
Sarjono (1997) melihat persoalan orientasi budaya Angkatan 45 yang “Barat” itu sebagai sesuatu
yang tak terelakkan, sebagaimana dikemukakannya bahwa:

“Surat Kepercayaan Gelanggang” itu sendiri menggambarkan dengan bagus kondisi


psikologis sastrawan generasi 45-an. Menjadi kosmopolit dan mengklaim diri sebagai ahil
waris kebudayaan dunia, boleh jadi adalah satu-satunya hal yang mungkin. Tidak bisa
diharapkan sebuah genlerasi yang baru saja menghirup kemerdekaan akan memberi harga
pada budaya lama Nusantara, sebuah hamparan budaya yang dengan geram dan penuh sesal
diandaikani sebagai budaya yang telah membawa Indonesia menjadi bangsa terjajah dan
ternista sekian lama. Maka hanya kebudayaan dunia (baca: luar Indonesia, tepatnya Barat) Iah
satu-satunya yang dapat (dan mungkin) diklaim sebagi tempat berangkat.

Orientasi budaya yang mengarah ke Barat, dalam perspektif ini adalah sesuatu yang tak
terelakkan. “Menjadi Indonesia” dalam Nasionalisme Indonesia saat itu memang bukan sesuatu
yang gampang. Diakui atau tidak, satu-satunya kebudayaan Indonesia yang secara final dapat
disebut sebagai kebudayaan Indonesia hanyalah bahasa Indonesia. Selebihnya, pelbagai akar
budaya yang sering disebut kebudayaan Indonesia, kebudayaan nasional, kepribadian bangsa dan
pelbagai rumusan sejenis itu, masihlah merupakan silang siur pelbagai tradisi dan akar budaya
lokal yang saling berkecamuk dan berbenturan membentuk diri. Kebudayaan Indonesia adalah
sebuah transformasi yang masih akan panjang dan lama untuk membentuk diri.
Agus R Sarjono (1997) lebih jauh beranggapan bahwa para sastrawan Angkatan 45 tampil
sebagai pelopor sastra Indonesia modern dengan sejumlah dilema budaya. Nyaris semua sastrawan
generasi 45 adalah didikan Belanda. Ketika mereka menjalani pendidikan Belanda dan masuk
dunia modernitas, disadari atau tidak mereka sebenarnya sudah sebagaimana St. Takdir
Alisjahbana meninggalkan tasik yang tenang tiada beriak, (sajak “Ke Laut”) dan pergi tiada bertepi
ke pantai landasan matahari (sajak Asrul Sani Anak Laut”). Tidaklah mengherankan jika Asrul
Sani -salah seorang pemuka angkatan 45- dalam sajaknya “ Orang dan Gunung” menghardik
mereka yang mengajaknya pulang berakrab dengan kampung halaman lama.

Orang asing jangan berdiri diambang pintu.


Aku hidup depan pintu terbuka,
Di belakangmu jalan, batas entah ke mana.
Kau datang terlampau senja,
Kisahmu bagiku hanya kenangan.
Karena kau telah mati, toh telah bicara,
Kembalilah pulang,
Kabarkan:
Sajak terakhir akan lahir di dasar lautan

Kenyataan ini dilematis. Pada satu sisi, Belanda (dengan budaya Eropa-nya) tidak bisa
tidak adalah “guru” yang membuka mata mereka terhadap modernitas. Pada sisi lain, sang guru
itu pulalah yang harus mereka perangi habis-habisan hidup dan mati. Ketika Belanda sebagai guru
rohani itu dikalahkan dalam revolusi dan berhasil diusir pergi, sastrawan Angkatan 45 bisa
dikatakan tidak lagi mempunyai sandaran rohani. Mereka mau tidak mau harus berdikari (berdiri
di atas kaki sendiri), sebagaimana ungkapan-ungkapan Bung Karno yang sangat populer saat itu.
Namun, Angkatan 45 yang meninggalkan hamparan masyarakat awam kampung halaman
dan ditinggalkan Belanda dengan gugusan budaya Eropah-nya itu, harus menjalani sebuah situsi
homeless yang ekstrem misalnya dialami Sitor Sitomurang yang menjadi “Sianak Hilang” dan
mengalami keterasingan yang gawat di Eropah namun sekaligus misplaced dan tak bisa pulang ke
hamparan budaya asal di Toba sana (Sarjono, 1994; 1996; 1 997b).

6.2 Surat Kepercayaan Gelanggang


Sudah diketahui umum bahwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan
peristiwa bersejarah yang amat penting bagi bangsa Indonesia karena dengan momentum itulah
terbentuk atau berdiri Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tujuan mulia seperti tertulis
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Tentu saja pada waktu itu terjadi perubahan
besar-besaran atau revolusi di pelbagai bidang kehidupan, terutama politik, sosial, dan budaya.
Sejumlah peristiwa penting pada tahun-tahun awal kemerdekaan dapat disimak dalam pelbagai
buku sejarah sehingga tidak tepatlah disajikan dalam buku ini.
Yang jelas, peristiwa politik yang penting-penting pada masa itu berawal dari penetapan
Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia
dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 18 Agustus 1945, pembentukan
Komite Nasional pada 19 Agustus 1945, penetapan dua belas kementerian negara dan delapan
provinsi, pembentukan partai-partai, dan pelbagai organisasi kemasyarakatan. Di bidang sosial
tercatat pertempuran Surabaya 10 November 1945 yang kemudian diperingati sebagai hari
Pahlawan; berlanjut dengan perlawanan rakyat di pelbagai daerah yang diduduki militer asing
(Inggris dan Amerika). Pelbagai kisah awal revolusi Indonesia yang sudah ditulis banyak orang
pantaslah dibaca generasi sekarang agar diperoleh gambaran historis mengenai pelbagai peristiwa
di masa awal revolusi, termasuk perubahan yang terjadi di bidang sastra.
Sementara itu, buku Teeuw (1952), Ajip Rosidi (1969), dan Jakob Sumardjo (1992) masih
relevan dijadikan sumber rujukan mengenai kehidupan sastra Indonesia tahun-tahun 1945 hingga
1960-an. Tentu saja di luar buku-buku tersebut banyak tulisan (artikel) lepas di surat kabar dan
majalah yang pantas dijadikan bahan pengayaan. Akan tetapi, untuk kepentingan materi ini boleh
kiranya buku-buku tersebut dipandang sebagai modal dasar pembaca. Dengan kata lain, sebaiknya
pembaca buku ini pun menyimak sendiri buku-buku tersebut agar memperoleh pengetahuan yang
komprehensif dan lebih luas daripada rangkuman terbatas berikut ini.
Ketika menulis Pokok dan Tokoh dalam Kesusasteraan Indonesia Baru pada tahun 1951,
Teeuw mengaku tidak memiliki dokumentasi yang lengkap sehingga timbul keraguan untuk
menyusun ikhtisar kesusastraan Indonesia setelah tahun 1942 (hingga tahun 1951). Akibatnya,
Teeuw hanya bersumberkan sejumlah majalah yang penting sebagai pengantar masalah
kebudayaan dan medan perbincangan. Namun, Teeuw mencatat pertanyaan penting yang
berkembang dalam pelbagai perbincangan pada masa itu, apakah kesusastraan Indonesia dalam
masa sesudah perang itu sungguh-sungguh berlainan daripada kesusasteraan dari masa sebelum
perang? Pertanyaan itu dijawabnya sendiri dengan keyakinan bahwa pasti ada perbedaan asasi
antara Pujangga Baru dengan Angkatan 45. Kemudian dijelaskan oleh Teeuw (1952: 167) bahwa
perbedaan itu bukan semata-mata berdasarkan tahun lahirnya seseorang yang dapat dimasukkan
ke dalam suatu angkatan, melainkan pada perubahan-perubahan yang terjadi dalam sastra.
Dengan kalimat yang rumit, bagi pembaca masa kini dijelaskan oleh Teeuw bahwa
perubahan itu tidak terjadi secara tiba-tiba pada saat setelah proklamasi. Selama masa pendudukan
Jepang sudah terjadi tanda-tanda perubahan seperti diperlihatkan Chairil Anwar, Idrus, Usmar
Ismail, Achdiat K. Mihardja, tetapi tidak segera muncul ke permukaan karena tertekan oleh
kekuasaan Jepang. Baru setelah kemerdekaan dilakukan usaha-usaha menghimpun tenaga dan
semangat bersama, tetapi sungguh bukan pekerjaan yang gampang. Apabila pada tahun 1946 atas
usaha keras Chairil Anwar berdiri semacam organisasi kebudayaan Gelanggang, pada mulanya
tidak berjalan teratur karena pelbagai kesulitan.
Ajip Rosidi dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1969: 92) tidak berbicara tentang latar
belakang sosial dan politik masa awal revolusi, tetapi langsung menyajikan gambaran mengenai
maraknya pemikiran sastra berkat kepeloporan penyair Chairil Anwar, sedangkan Jakob Sumardjo
(1992: 104) menggambarkan Proklamasi Kemerdekaan sebagai kejadian yang teramat penting
dalam sejarah bangsa Indonesia itu berpengaruh sekali terhadap kegiatan kebudayaan, termasuk
kesusastraan. Suasana jiwa dan penciptaan yang sebelumnya amat terkekang telah memperoleh
kebebasan yang senyata nyatanya. Para sastrawan merasakan kemerdekaan dan tanggung jawab
untuk mengisinya.
Maraknya pemikiran kebudayaan dan kesusastraan itu tampak pada penerbitan majalah-
majalah yang segera bermunculan setelah proklamasi kemerdekaan, tercatat Panca Raya (1945-
1947) Pembangunan (1946-1947) Pembaharuan (1946-1947), Nusantara (1946-1947) Gema
Suasana, (1948-1950), Siasat dengan lampiran kebudayaan “Gelanggang” (1947-1959), Mimbar
Indonesia dengan lampiran kebudayaan “Zenith” (1947-1959) Indonesia (1949-1960), Pujangga
Baru (1948 dan mulai tahun 1954 bernama Konfrontasi), Arena (1946-1948 di Yogyakarta), dan
Seniman (1947-1948 di Solo),
Dari otobiografi Rosihan Anwar diperoleh catatan bahwa ketika bersama Soedjatmoko
menerbitkan mingguan Siasat pada tanggal 4 Januari 1947, modalnya hanya beberapa rim kertas
lembaran cukup untuk empat kali penerbitan dengan oplah 3.000 eksemplar terdiri atas 12 halaman
format tabloid dan uang tunai sejumlah 3.000 rupiah (Oeang Repoeblik Indonesia-ORI) yang
diberikan Kementerian Penerangan RI di Jalan Cilacap 4, Jakarta. Tenaga redaksinya hanya lima
orang, tenaga tata usaha empat orang, dan tiga bulan oplahnya meningkat dari 3.000 menjadi
12.000 eksemplar, suatu jumlah yang besar buat ukuran zaman tersebut. Beberapa bulan
kemudian, tepatnya pada 29 November 1948 diterbitkan harian Pedoman, tetapi pada 31 Januari
1949 diberendel oleh Belanda, dan baru terbit lagi Juni 1949 setelah tercapai kesepakatan
menjelang Konferensi Meja Bundar yang terkenal dalam sejarah politik Indonesia (Anwar, 1983:
161-162).
Dari Kratz (1988a: 32-33) diperoleh catatan majalah yang terbit pada tahun-tahun setelah
proklamasi kemerdekaan adalah Arena, Gelanggang, Media, Panji Masyarakat, Genta, Pedoman
Masyarakat, Panji Islam, Api, Gema Islam, Hikmah, Suara MIAI, Basis Yogyakarta), Liberty
(Surabaya), dan Waktu (Medan). Dapat dibayangkan bahwa gambaran kesulitan dan
kesederhanaan yang dialami Pedoman dan Siasat berlaku juga pada penerbitan yang lain.
Sementara itu, boleh juga dipertanyakan nasib Koran dan majalah yang pernah marak di tangan
pengusaha golongan Tionghoa semasa pemerintah kolonial Belanda. Dari tulisan Leo Suryadinata
(1996: 20) diperoleh catatan bahwa pada tahun-tahun setelah proklamasi itu tetap berkembang
sastra peranakan Tionghoa berupa cerpen dalam penerbitan umum seperti star (kemudian menjadi
Star Weekly), Panca Warna, Liberal (kemudian menjadi Liberty), dan mingguan Sadar.
Yang jelas, hal itu membuktikan betapa besar semangat kaum seniman dan budayawan
untuk ikut serta mengisi kemerdekaan dengaan pembangunan kebudayaan yang tidak kalah
pentingnya dibandingkan dengan pembangunan politik dan militer yang sangat mendesak pada
waktu itu. Maraknya penerbitan majalah itu memiliki kesempatan munculnya banyak karangan
sastra yang berupa sajak, cerpen, drama pendek, esai, dan terjemahan. Sementara itu, penerbit
Balai Pustaka yang mulai dikuasai Indonesia tidak lama kemudian dapat menerbitkan buku-buku
roman, antologi, dan lain-lain. Semuanya merupakan peristiwa kebudayaan yang tidak hanya
pantas dicatat, tetapi juga pantas diteliti dan dikaji lagi untuk kepentingan masa kini dan masa
depan, khususnya dalam masalah kebudayaan.
Seperti halnya kelompok Pujangga Baru yang telah berpolemik mengenai konsep
kebudayaan Indonesia baru, para seniman dan budayawan pada masa awal revolusi pun sempat
memikirkan konsep kebudayaan Indonesia sebagai landasan pemikiran. Mereka tidak lagi
berpolemik, tetapi sempat merumuskan suatu konsep yang kemudian terkenal dengan sebutan
“Surat Kepercayaan Gelanggang”. Disebut demikian karena konsep atau rumusan itu diumumkan
dalam ruang kebudayaan “Gelanggang” dalam majalah Siasat tanggal 22 Oktober 1950. Ruang
kebudayaan itu diasuh Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin, sedangkan pimpinan
majalahnya adalah Rosihan Anwar. Adapun teks selengkapnya sebagai berikut.

SURAT KEPERCAYAAN GELANGGANG

Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan
dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami
adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.
Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami
yang hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tapi lebih banyak oleh apa yang
diutarakan oleh wujud pernyataan hati kami. Kami tidak akan memberikan suatu kata-ikatan untuk
kebudayaan Indonesia. Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat
kepada melap-lap kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami
memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan
oleh kesatuan pelbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan oleh suara-suara yang dilontarkan
dan segala sudut dunia, dan yang kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami
akan menentang segala usaha-usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak betulnya
pemeriksaan ukuran nilai.
Revolusi bagi kami adalah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus
dihancurkan. Demikianlah, kami berpendapat bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum
selesai.
Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu asli; yang pokok ditemui itu adalah
manusia. Dalam cara mencari, membahas, dan menelaah kami membawa sifat sendiri.
Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-
orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman.

Jakarta, 18 Februari 1950

Surat Kepercayaan Gelanggang merupakan pemyataan sikap seniman budayawan yang


bergabung dalam Gelanggang Seniman merdeka dengan motor Chairl Anwar, Asrul Sani, dan
Rivai Apin. Ada juga Mochtar Apin, pelukis Henk Ngantung, pelukis Basuki Sobowo, pengarang
Pramoedya Ananta Toer, penyair Sitor Situmorang, dan lain-lain. Kelompok ini kemudian disebut
angkatan 45 oleh Rosihan Anwar, tetapi tidak dengan sendirinya disepakati oleh banyak orang.
Ada yang berkeberatan dengan alasan nama Angkatan 45 seolah-olah menumpang pada kehebatan
para juang bersenjata yang heroik, sedangkan yang mendukung pendapat bahwa berjuang di
bidang kebudayaan pun tidak kalah pentingnya daripada berjuang dengan senjata.
Nama-nama lain yang ditawarkan pelbagai pihak adalah Angkatan Kemerdekaan,
Angkatan Chairil Anwar, Angkatan perang, Angkatan Sesudah Perang, Angkatan Pembebasan,
dan Generasi Gelanggang. Namun, nama yang terlanjur populer adalah Angkatan 45 seperti
tampak dalam sejumlah buku pelajaran. Terlepas dari masalah nama itu, jelaslah bahwa pernyataan
sikap tersebut memperlihatkan kesadaran yang matang terhadap makna Indonesia sebagai sebuah
proses panjang di bidang kebudayaan. Di situ belum tampak ideologi politik (partai) yang kelak
berkembang setelah Pemilihan Umum pertama tahun 1955. Dalam Surat Kepercayaan Gelanggang
tampak jelas kesadaran berbangsa atau nasionalisme yang mengakomodasi keberagaman
masyarakat, termasuk pikiran-pikirannya, sedangkan perwujudannya dalam kesenian
(kebudayaan) bertumpu pada interaksi antara masyarakat dengan seniman. Jadi, mereka sadar
bahwa kebudayaan nasional Indonesia masih harus diperbulat dan bahwa kebudayaan itu
merupakan suatu faktor yang mutlak bagi penjadian manusia Indonesia yang dinamik.
Tujuan perkumpulan Gelanggang Seniman Merdeka adalah mempertanggungjawabkan
penjadian bangsa, mempertahankan dan mempersubur cita-cita yang lahir dari pergolakan pikiran
dan roh, serta memasukkan cita-cita dan dasar itu ke dalam segala kegiatan. Setelah pengakuan
kedaulatan Republik Indonesia, kesadaran itu dipertegas lagi dan disiarkan dalam Siasat tanggal
22 Oktober 1950.
Boleh jadi benar pendapat Maman S. (2005: 452- 456) dalam artikel “Di Balik Surat
Kepercayaan Gelanggang” bahwa publikasi Surat Kepercayaan Gelanggang itu dimaksudkan
sebagai reaksi terhadap publikasi Mukadimah Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang
dicetuskan pada 17 Agustus 1950. Kemungkinan itu dapat dipahami berdasarkan perbedaan
ideologi atau dasar pijakamiya. Surat Kepercayaan Gelanggang berpijak pada humanisme
universal atau kemanusiaan sejagat, sedangkan Lekra secara tegas hendak melaksanakan realisme
sosialis yang bersumber pada komunisme.
Selayang pandang tampaklah gejala tersebut merupakan awal pergolakan budaya yang
terjadi dalam masyarakat sastra Indonesia karena berkembangnya dinamika politik di tengah
kebidupan sosial ekonomi yang masih serba pahit dan semrawut akibat pendudukan Jepang dan
berlanjut dengan perang mempertahankan kemerdekaan. Kesulitan ekonomi yang meluas ke
segala bidang kehidupan menjadi penyebab terjadinya krisis penerbitan pada Balai Pustaka yang
kedudukamiya pada waktu itu tidak menentu. Penerbit Pustaka Rakyat, Pembangunan, dan Tinta
Mas pun mengalami krisis akibat revolusi. Yang marak pada masa itu adalah penerbitan majalah,
sampai-sampai kemudian dikenal sebutan “krisis sastra Indonesia” sebagaimana diungkapkan oleh
Soedjatmoko dalam majalah Konfrontasi.
Namun, telah tercatat dalam sejarah bahwa pada masa yang penuh kesulitan pun
bermunculan sejumlah pengarang yang pantas dihargai ketokohan dan prestasinya. Selain tokoh-
tokoh yang sudah disebut tadi, pantaslah disebut nama-nama: Achdiat Karta Mihardja, H.K.
Hadimadja, Dodong Djiwapardaja, Harijadi S. Hartowardojo, Mochtar Lubis, M. Balfas, Mh.
Rustandi Kartakusuma, Mohamad Ali, Rusman Sutiasumarga, Sitor Situmorang, dan Trisno
Sumardjo. Data pribadi mereka secara ringkas dapat dibaca dalam Pokok dan Tokoh dalam
Kesusasteraan Indonesia Baru (Teeuw, 1952), Ihtisar Sejarah Sastra Indonesia (Rosidi, 1969),
Lintasan Sejarah Sastra Indonesia I (Sumardjo, 1992), Buku Pintar Sastra Indonesia (Eneste,
2001b), dan sumber lain.
1. Achdiat K. Mihardja (lahir di Cibatu, Garut 6 Maret (1911) yang hingga usia lanjut masih juga
konsisten menulis. Kompas Juli 2006 memberitakan Achdiat telah menerbitkan Si Kabayan
Manusia Lucu (1997) dan pada usia 94 tahun meluncurkan kisah panjang Manifesto
Khalifatullah di Galeri Cipta II TIM Jakarta, 7 Juli 2006. Bahkan di tempat tinggalnya
(Canberra, Australia) Achdiat masih menulis naskah yang akan diberi judul Ki Separo Plus Ki
Setengah Sama dengan Insan Kamil. Achdiat pertama kali dikenal dengan roman Atheis
(hingga tahun 2006 dicetak ulang 28 kali), kemudian Bentrokan dalam Asrama (1952), Debu
Cinta Bertebaran (1973), dan drama Pak Dullah in Extremis (1977). Di samping itu Achdiat
pernah menjabat Kepala Jawatan Kebudayaan Perwakilan Jakarta Raya, dosen Fakultas Sastra
Universitas Indonesia (1956-1961), dan dosen kesusastraan Indonesia di Australian National
University, Canberra hingga pensiun.
2. Asrul Sani (lahir di Rao, Sumatra Barat, 10 Juni 1927 dan meninggal di Jakarta, 11 Januari
2004) hingga akhir hayatnya dikenal sebagai pribadi yang multi-ahli karena tidak hanya
mewariskan puisi, cerpen, esai, skenario film, pelajaran di bidang perfilman, dan karya
terjemahan, tetapi juga pernah berjuang dalam Laskar Rakyat Jakarta semasa awal revolusi,
pernah menjabat Ketua Dewan Film Nasional, Ketua dan Anggota Dewan Kesenian Jakarta,
anggota DPR-MPR mewakili NU, Rektor Institut Kesenian Jakarta, Anggota Akademi Jakarta,
dan menerima Bintang Mahaputra Utama dari Pemerintah RI tahun 2000. Kesastrawanannya
pernah dibahas M.S. Hutagalung yang menghasilkan Tanggapan Dunia Asrul Sani (1967).
3. Chairil Anwar (lahir di Medan 26 Juli 1922 dan meninggal di Jakarta, 28 April 1949)
berpendidikan MULO pun tidak tamat, tetapi semangat belajarnya luar biasa. Namanya seolah
menjadi ikon Angkatan 45, lebih-lebih setelah terbit Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45
(Jassin, 1956). Karya-karyanya yang penting dibukukan orang setelah dia meninggal, yaitu
kumpulan sajak Kerikil Tajam dan yang Terempas dan yang Putus (1949), Deru Campur Debu
(1949), Tiga Menguak Takdir (bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, 1950), Aku ini Binatang
Jalang (1986), dan Derai-Derai Cemara (1999). Kepenyairannya telah dibahas sejumlah pakar,
seperti S. Takdir Alisjahbana, Boen S. Oemarjati, Subagio Sastrowardoyo, Dick Hartoko, dan
Arief Budiman. Pantas dicatat juga bahwa tanggal meninggalnya sering diperingati orang
dengan sebutan Hari Chairil Anwar yang biasanya diisi dengan pelbagai kegiatan kesastraan.
4. Idrus (lahir di Padang, 21 September 1921, meninggal di Padang, 18 Mei 1979) berpendidikan
HIS, MULO, AMS, dan Sekolah Menengah Tinggi, tamat tahun 1943, meraih M.A. di
Universitas Monash, Australia tahun 1974. Pernah menjabat sebagai Kepala Bagian
Pendidikan GIA (1943-1952) dan dosen Universitas Monash (1965-4979). Pernah bermukim
di Kuala Lumpur (1960-1964) dan pernah menjadi redaktur Kisah dan Indonesia. Karyanya
yang penting: drama Dokter Bisma (1945), kumpulan cerpen dan drama Dari Ave Maria ke
Jalan Lain ke Roma (1948), drama Keluarga Surono (1948), novel Aki (1949) dan novel
Perempuan dan Kebangsaan (1949). Dia dikenal sebagai pembaru prosa di kalangan Angkatan
45.
5. Mochtar Lubis (lahir di Padang, 7 Maret 1922, meninggal di Jakarta, 2 Juli 2004) mengawali
karier kepengarangan di tahun 1950-an dengan novel Jalan Tak Ada Ujung (1952), kemudian
novel Tanah Gersang (1966), Senja di Jakarta (1970), Harimau!- Harimau! (1975), Maut dan
Cinta (1977), dan lain-lain. Dia menjadi tokoh penting di bidang pers dan kebudayaan, antara
lain sebagai wartawan LKBN Antara, pimpinan majalah Masa Indonesia (1947), pimpinan
harian Indonesia Raya (195 1- 1974), salah seorang pendiri majalah Horison (1966), dan tokoh
Yayasan Obor Indonesia.
6. Pramoedya Ananta Toer (lahir di Blora, 6 Februari 1925, meninggal di Jakarta, 30 April 2006)
berpendidikan Sekolah Tinggi Hakim Islam Jakarta (1945), pemah menjadi pegawai Kantor
Berita Jepang Domisili di Jakarta (1942-1945), letnan dua dalam Resimen 6 Divisi Siliwangi
(1946), redaktur Balai Pustaka (1950-1951), anggota Pimpinan Pusat Lekra (1958), Ketua
Delegasi Indonesia ke Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Tasjkent, Uni Sovyet (1958),
redaktur “Lentera” (1962-1965), dosen Fakultas Sastra Res Republica Jakarta, dan setelah
geger politik September 1965 Pramoedya menjadi tahanan politik di Pulau Buru hingga tahun
1979. Karyanya terlalu panjang untuk dituliskan di sini dan pantas kiranya dijadikan pokok
bahasan tersendiri.
Yang jelas, semasa revolusi Pramoedya telah menghasilkan novel Perburuan (1950),
Keluarga Gerilya (1950), Mereka yang Dilumpuhkan (1951), Bukan Pasar Malam (1951), Di Tepi
ali Bekasi (1951), kumpulan cerpen Subuh (1950), Cerita dan Jakarta (1957), dan lain-lain. Selama
bergabung dengan Lekra :1950-1965), ia menulis novel Korupsi (1954), novel Midah si Manis
Bergigi Emas (1954), dan Panggil Aku Kartini Saja 1962). Selasai menjadi tahanan politik di Pulau
Buru (Agustus 1969-November 1979) menghasilkan roman Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa,
Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Karya berikutnya tercatat novel Arok Dedes (1999), Larasati
(2000), Mangir (2000), Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer (2001), dan lain-lain. Tahun
1995 Pramoedya menerima Hadiah Magsaysay (Filipina) dan tahun 2000 menerima Hadiah
Fukuoka (Jepang) dan Le Chevalier del’Ordre des Arts et des Lettres (Prancis).
Kepengarangan Pramoedya telah dibahas sejumlah pakar, seperti Bahrum Rangkuti, H.B.
Jassin, A.Teeuw, dan Savitri Prastiti Scherer. Tentu saja masih terbuka peluang para peneliti dan
kritikus untuk mendalami kepengarangan dan karya Pramoedya. Misalnya, kepengarangan
Pramoedya sebelum bergabung dengan Lekra (1945-1950), selama bergabung dengan Lekra
(1950-1965), dan masa selanjutnya (1965-2006). Hingga meninggal di Jakarta (30 April 2006).
Pramoedya tidak juga menerima Hadiah Nobel untuk sastra meskipun beberapa kali namanya
masuk nominasi.
7. Rivai Apin (lahir di Padangpanjang 30 Agustus 1927, meninggal
21 April 1995) pernah bergiat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat, anggota
DPRD DKJ Jakarta, dan Pimpinan Pusat Lekra (1959-1965). Nasibnya menjadi suram dan tak
terdengar kabarnya lagi setelah terjadi geger politik September 1965. Nasib atau takdir
kehidupan memang tidak berlaku masaalah, terbukti sama-sama tokoh Lekra dan sama-sama
pemah menjadi tahanan politik, Pramoedya Ananta Toer masih dapat kembali ke tengah
masyarakat sastra Indonesia dengan roman- roman monumental pada usia lanjut.
8. Utuy Tatang Sontani dilahirkan di Cianjur, Jawa Barat, 31 Mei
1920, meninggal di Moskwa, Rusia 17 September 1979. Pendidikan terakhir Taman Dewasa
Bandung, kemudian bekerja di RRI Tasikmalaya, Balai Pustaka, Jawatan Pendidikan
Masyarakat, Jawatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Pengajaran & Kebudayaan,
Lembaga Bahasa dan Kesusastraan Indonesia, dan pernah menjadi anggota Pimpinan Pusat
Lekra (1959-1965). Karya dramanya yang penting Bunga Rumah Makan (1948), Suling (1948),
Awal dan Mira (1952), Sayang Ada Orang Lain (1954), dan Di Langit Ada Bintang (1955).
Apa pun kekurangan mereka sebagai pribadi “masa lampau”, ketokohan dan prestasinya
pantas dikaji lebih mendalam oleh para peneliti dan kritikus hingga diperoleh wawasan atau
cakrawala baru yang makin menyegarkan pengetahuan masyarakat sastra Indoneia kini dan
mendatang. Tentu saja selain mereka itu banyak pengarang yang pernah berkarya pada masa itu
dengan jejak terbatas, seperti S. Rukiah, Ida Nasution, St. Nuraini, Walujati, Suwarsih
Djojopuspito, Barus Siregar, S. Mundingsari (Suparman), Gayus Siagian, Muhamad Ali, dan P.
Sengodjo.
Apabila kepengarangan dan karya mereka dikaji lagi, pastilah terbuka kemungkinan
munculnya data dan penilaian baru yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu sastra Indonesia.
Pengkajian itu sekurang-kurangnya berupa apresiasi terhadap sejumlah karya sastra yang mewakili
masa awal revolusi. Kalaupun belum menjangkau seluruhnya, boleh kiranya mengutamakan buku-
buku berikut ini:
1. Atheis (roman Acbdiat K. Mihardja),
2. Bentrokan dalam Asrama (drama Achdiat K. Mihardja),
3. Bukan Pasar Malam (roman Pramoedya Ananta Toer),
4. Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (kumpulan cerpen drus),
5. Deru Campur Debu (kumpulan sajak Chairil Anwar),
6. Jalan Tak Ada Ujung (roman Mochtar Lubis),
7. Keluarga Gerilya (roman Pramoedya Ananta Toer), dan
8.Tiga Menguak Takdir (kumpulan sajak Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin).

Tema dan warna revolusi yang tampak dominan dalam karya astra pada masa itu membuktikan
eratnya hubungan antara kehidupan pengarang dan lingkungan sosial budayanya. Semangatnya
adalah menemukan atau membangun kemanusiaan yang universal di tengah gejolak revolusi
kemerdekaan. Apakah benar demikian, tentu saja pembaca sendirilah yang paling berhak
menjawabnya. Apabila selama ini telah tersaji ringkasan, ulasan, dan kritik dalam jumlah buku,
majalah, dan surat kabar, jelaslah bukan sebagai jawaban yang terbaik, melainkan sekadar panduan
pemikiran yang sepantasnya dikembangkan dan diperdalam para pembaca, lebih-lebih yang
sungguh berniat menjadi peneliti dan kritikus.
Misalnya, sepuluh novel yang terbit tahun 1946-1960 telah diteliti struktur estetika dan temanya
oleh Boen S. Oemarjati dkk. (2000) untuk Pusat Bahasa dalam kerangka kegiatan Majelis Sastera
Asia Tenggara (Mastera) tahun 1998/1999. Di antara sepuluh novel itu yang mewakili masa
perjuangan kemerdekaan adalah: Keluarga Gerilya (Pramoedya Ananta Toer), Jalan Tak Ada
Ujung (Mochtar Lubis), Atheis (Achdiat K. Mihardja), dan Aki (Idrus).
Novel-novel tersebut ditulis dalam kurun masa yang penuh gejolak pertikaian
mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan dengan warna konflik sosial politik yang keras, seperti
invasi serdadu Gurka, clash I Juli 1947, clash II Desember 1948, Peristiwa Madiun September
1948, pembentukan Negara Islam Indonesia pada Agustus 1949, dan pembentukan Republik
Maluku Selatan (RMS) tahun 1950. Tepatlah apabila dikaji mendalam sehingga terjawab apa saja
permasalahan di dalamnya dan bagaimana pengolahannya. Jawabannya dapat dibaca dalam Novel
Indonesia 15 Tahun Sesudah Kemendekaan (1946-1960): Telaah Struktur Estetika dan Tema
(Oemarjati, 2000).
Yang jelas, penerbitan sastra Indonesia tahun 1945-1950-an hanyalah sepenggal pengalaman
sejarah yang kelanjutannya semakin seru dengan hadirnya Lembaga Kebudayaan Rakyat dan
Manifes Kebudayaan hingga pecah tragedi nasional 30 September 1965.

6. 3 Lembaga Kebudayaan Rakyat


Semangat membangun kebudayaan Indonesia yang tertuang dalam Surat Kepercayaan
Gelanggang ternyata terdesak oleh perubahan yang deras di bidang sosial, budaya, dan politik.
Pengakuan kedaulatan Republik Indonesia pada akhir tahun 1949 tidak dengan sendirinya
menyelesaikan pelbagai krisis kehidupan bangsa yang memang sedang bergolak. Penerapan
demokrasi liberal dengan sistem kabinet parlementer ternyata tidak membuahkan hasil yang
menggembirakan karena yang terjadi adalah krisis kabinet dengan pergantian perdana menteri
yang jarak waktunya pendek-pendek sehingga tidak produktif di bidang pemerintahan.
Krisis itu kemudian diakhiri dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan prinsip kembali ke
Undang-Undang Dasar 1945. Sementara itu, di bidang keamanan terjadi krisis kepercayaan
sehingga pecah pemberontakan bersenjata di beberapa daerah, seperti Maluku, Sulawesi, Jawa
Barat, dan Sumatra Barat. Di bidang sosial budaya dapat dibayangkan terjadinya perubahan dan
pergeseran nilai-nilai kehidupan yang penuh gejolak.
Peristiwa penting yang besar pengaruhnya terhadap dinamika kehidupan sastra Indonesia
adalah berdirinya Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) pada 17 Agustus 1950 di tangan tokoh-
tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI), yaitu D.N. Aidit, Njoto, M.S. Ashar, dan A.S. Dharta.
Walaupun di balik organisasi itu adalah PKI, namanya tidak berpredikat “komunis”. Hal itu
tampak juga pada organisasi lain, seperti Barisan Tani Indonesia (BTI), Gerakan Wanita Indonesia
(Gerwani), Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), dan Himpunan Sarjana Indonesia
(HSI) yang kemudian diketahui merupakan sejumlah organisasi bentukan PKI. Lekra sendiri baru
pada tahun 1961 dinyatakan sebagai organisasi kebudayaan yang memperjuangkan slogan “politik
adalah panglima” dan membela realisme sosialis atau seni untuk rakyat. Dalam waktu singkat
Lekra diikuti oleh Henk Ngantung, Joebaar Ajoeb, Herman Arjuno, dan lain-lain. Lekra
menerbitkan majalah Zaman Baru di Surabaya dengan lembaran kebudayaan yang diasuh oleh
Iramani (Njoto), Klara Akustia (A.S. Dharta), dan MS. Ashar.
Sebagai organ PKI, tentu saja Lekra memperjuangkan komunisme yang berasal dari
Marxisme-Leninisme yang telah lama berkembang di Rusia dan Cina dengan semboyan
kemakmuran atau kesejahteraan rakyat berdasarkan penguasaan alat produksi di tangan kaum
buruh dan petani sebagai kelompok besar yang tertindas oleh feodalisme dan kapitalisme. Dengan
semboyan itulah komunisme hendak membela kepentingan kaum buruh dan petani atau kaum
proletar yang tidak berdaya. Jika ideologi tersebut berkuasa maka sistem politik, sosial, ekonomi,
dan budaya akan dengan sendirinya dipergunakan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat. Oleh
karena itu, target politiknya adalah menguasai pemerintahan agar kemudian dapat mewujudkan
komunisme.
Dari tulisan sejumlah tokoh Lekra, seperti Pramoedya Ananta Toer dan Bakri Siregar yang
terdokumentasikan dalam Prahara Budaya (Moeljanto, 1995:6799), dapat dipahami sekilas
percikan pemikiran mereka tentang realisme sosjalis, dan lebih rinci lagi dapat disimak dalam buku
Pramoedya Ananta Toer, Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (2003a).
Pramoedya Ananta Toer menulis artikel di harian Bintang Timur (22 April 1960) berjudul
“Dengan Datangnya Lenin Bumi Manusia Lebih Kaya” yang ringkasannya menyatakan bahwa
abad ke-20 merupakan abadnya rakyat dan ilmu pengetahuan dan Lenin serta Einstein merupakan
dua tokoh terpenting. Tanpa mereka itu kita akan kedodoran. Lenin telah mengembalikan harga
diri rakyat dan berhasil memimpin revolusi di Uni Sovyet sehingga menjadi negara besar yang
mengarahkan persahabatannya kepada seluruh rakyat di dunia, terbukti dengan bantuan-bantuan
tanpa bunga dan pengiriman duta-duta kebudayaan ke mana-mana. Negara Lenin telah
membangkitkan semangat hari depan yang gilang gemilang, termasuk untuk Indonesia.
Peran Uni Sovyet tidak dapat dipisahkan dari revolusi Indonesia 1945 karena besar sekali
bantuannya kepada Republik Indonesia, baik politik, ekonomi, maupun persenjataan militer. Oleh
karena itu, Pramoedya merasa heran apabila ada ke1ompok-ke1ompok yang menentang bantuan
negeri Lenin, bahkan tidak suka apabila rakyat Indonesia sendiri bertambah makmur. Sikap dan
tindakan seperti itu perlu diwaspadai dan bahkan perlu dilawan. Lenin telah memberikan pelajaran
berharga tentang pengabdian kepada rakyat, misalnya memimpikan seluruh rakyat Sovyet
menikmati listrik dan Lenin pun mernperjuangkamiya sampai terwujud. Bahkan dikatakan telah
menciptakan surga di dunia bagi 210 juta rakyat Sovyet.
Sementara itu, Bakri Siregar ketika berkunjung ke Rusia bersama sejumlah seniman Lekra
sebagai duta kebudayaan telah menyatakan pujiannya yang hebat terhadap revolusi Rusia, dan
kunjungan itu merupakan kesempatan belajar yang harus dimanfaatkan karena seniman Rusia telah
terbukti memiliki tradisi revolusioner yang mahabesar dan mahakaya. Seniman Indonesia yang
berpegang pada konsepsi seni untuk rakyat, mengabdi kepada rakyat pekerja, dan meyakini
ideologi kelas proletar pantas menundukkan kepala di hadapan Lenin sebagai mahaguru proletariat
dan berjanji akan menjadi murid Lenin yang patuh dan baik.
Di mata Bakri Siregar, seniman Sovyet telah terbukti mampu berbakti kepada rakyat
pekerja yang dengan tegas menolak kosmopolitanisme dan abstraksionisme. Jadi, seniman
Indonesia pun harus berjuang melawan imperialis dan membangun kemerdekaan nasional yang
penuh perdamaian dunia.
Dari percikan pemikiran itu saja tampaklah sikap seniman Lekra untuk berpihak kepada
komunisme yang bersemboyan membela kepentingan rakyat, buruh, tani, dan kaum proletar.
Semboyan mereka “politik adalah panglima” yang berarti segala kegiatan kesenian harus didasari
kepentingan politik dan ideologi partai. Semboyan itu merupakan sumber aliran di bidang kesenian
yang disebut realisme sosialis, suatu aliran kesenian yang semangatnya adalah membela
kepentingan rakyat.
Dalam Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (Pramoedya, 2003: 92-101) terbacalah
semangat dan latar belakang pendirian Lekra tahun 1950 kurang lebih sebagai berikut.
Lekra didirikan lima tahun setelah pecah revolusi Agustus, disaat revolusi tertahan oleh
rintangan hebat berupa persetujuan Konferensi Meja Bundar. Pada saat itu orang-orang
kebudayaan yang semula tampak satu kepalan tangan dan tegak di pihak revolusi menjadi
tergolong-golong. Mereka yang tidak setia kepada Republik lantas menyeberang, yang lemah
menjadi ragu dan putus asa, sedangkan yang taat dan teguh meneruskan pekerjaannya
berkeyakinan bahwa kekalahan revolusi hanyalah sementara. Lekra didirikan untuk mencegah
kemerosotan lebih lanjut karena menyadari tugas revolusi bukan hanya milik kaum politisi, tetapi
juga tugas pekerja kebudayaan. Jadi, Lekra didirikan untuk menghimpun kekuatan yang taat dan
teguh mendukung revolusi. Kehadirannya merupakan reaksi terhadap realitas politik kultural yang
mencemaskan dan mengusahakan pengucapan kebudayaan, khususnya sastra, berdasarkan realitas
yang sedang berkembang dan harus dipertanggungjawabkan secara politik.
Pembentukan semangat yang revolusioner itu dilaksanakan dengan perumuSan slogan-
s1ogan sebagai penguat kesadaran politik dan sekaligus pegangan taktis. Slogan “politik adalah
panglima” diperkenalkan ke kalangan Lekra karena merupakan semboyan pegangan. Jadi,
sebelum penggarapan seni harus ada pengkajian lebih dahulu dari jurusan politik. Dengan kata
lain, politik harus menjadi obor. Selanjutnya, penggarapan seni itu harus didasari penguasaan
realitas kehidupan massa sehingga setiap pengarang barus biasa dan membiasakan diri memasuki
kehidupan massa (rakyat) untuk belajar, menimba pengalaman dan menghayati suka dukanya.
Dari cuplikan itu tampaklah Lekra melaksanakan ideologi seni untuk rakyat. Akan tetapi,
konotasi rakyat itu terbatas pada konsep ideologi mereka sendiri, bukan rakyat yang selus-luasnya.
Dengan demikian, jelaslah Lekra memang tidak terpisahkan dari PKI. Gerakan dan strateginya
pun tidak berbeda dengan PKI yang menciptakan konflik di mana-mana sambil memobilisasi
pelbagai kelompok yang disebutnya sebagai kekuatan progresif revolusioner. Lekra menggalang
kekuatan bersama serikat buruh, petani, organisasi pemuda, mahasiswa, sarjana, dan lain-lain
secara demonstratif untuk melemahkan kekuatan lawan politiknya. Mereka pun secara
demonstrative menerbitkan buku-buku sastra seperti kumpulan sajak, kumpulan cerpen, dan drama
sehingga memikat perhatian banyak pengarang. Cara lain yang dilakukan Lekra adalah
menghancurkan kredibilitas tokoh-tokoh yang berbeda pandangan atau berseberangan politiknya.
Kasus yang terkenal antara lain tuduhan plagiat terhadap Hamka dengan roman
Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan tuduhan kontra revolusioner terbadap S. Takdir
Alisjahbana dan Idrus yang pada waktu itu sedang berada di Malaysia. Lekra pun menuntut kepada
pemerintah untuk melarang buku-buku pengarang yang dianggap kontra revolusioner itu. Di sisi
lain Lekra tidak malu-malu membesarkan jasa para seniman yang sehaluan dan berpihak kepada
idiologinya, bahkan memanfaatkan pengarang Motinggo Busye, Virga Belan, M. Poppy
Hutagalung, dan Usamah untuk menolak Hadiah Sastra dan majalah Sastra tahun 1962 dengan
alasan majalah tersebut antirevolusi. Dua tahun sebelumnya tiga pengarang yang dikenal sebagai
tokoh Lekra (Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, dan Hr. Bandaharo) membikin heboh
dengan tidak hadir dalam upacara pemberian Hadiah Sastra Badan Musyawarah Kebudayaan
Nasional (BMKN) di Bandung. Dapat dibayangkan bahwa ketidakhadiran mereka itu bermotif
politik juga.
Kasus plagiat yang berkembang dalam polemik itu dapat dibaca dalam buku Junus Amir
Hamzah, Tenggelamnya Kapal van der Wijck dalam Polemik (1963), atau dalam buku Rachmat
Djoko Pradopo, Kritik Sastra Indonesia Modern (2002). Pada waktu itu tuduhan tersebut bukan
sekadar kasus kritik sastra, melainkan kegiatan bertendens politik terhadap Hamka sebagai seorang
tokoh Islam. Akan tetapi, dalam perspektif sejarah kritik sastra, menurut Pradopo (2002: 393)
kasus tersebut dapat dipandang objektif sebagai masalah hubungan intertekstual.
Kegiatan yang secara agresif dilaksanakan orang-orang Lekra adalah memanfaatkan
lembaran kebudayaan “Lentera” harian Bintang Timur dan pelbagai forum diskusi sastra sebagai
sarana memaksakan ideologinya sambil memojokkan kelompok lain dengan tuduhan
kontrarevolusioner. Bahkan penyair Chairil Anwar yang sudah meninggal pun tak luput dari
gugatan mereka dengan penilaian yang rendah. Teror budaya itu berhasil menggiring Sejumlah
seniman untuk berpihak kepada Lekra, terbukti dalam tempo singkat telah berkembang cabang-
cabang Lekra di sejumlah provinsi dengan kegiatan yang marak di mana-mana.
Teater tradisional “ketoprak” di Pulau Jawa, misalnya, benar-benar digarap intensif oleh
Lekra sehingga pada tahun 1960-an tercatat 800 organisasi ketoprak yang tergabung dalam Badan
Kontak Organisasi Ketoprak Seluruh Indonesia (Bakoksi).
Sementara itu, sejumlah pengarang yang kemudian dikenal sebagai orang-Orang Lekra
adalah A. Kohar Ibrahim, Agam Wispi, Amarzan Ismail Hamid, B.A. Simanjuntak, Dodong
Djiwapradia, F.1. Risakota, Hadi S., Kuslan Budiman, Kusni Sulang, Rijono Pratikto, S.
Anantaguna S. Rukiah, S. Wisnu Kuntjahjo, Sobron Aidit, Sugiarti Siswadi, Zubir A.A, Hadi S.
dan lain-lain. Dalam Buku Pintar Sastra Indonesia (Eneste, 2001b) tercatat data mereka sebagai
berikut.
1. Agam Wispi, kelahiran Idi, Aceh tahun 1934, pernah menjadi anggota Pimpinan Pusat Lekra
(1959-1965) dan pernah mengunjungi Jerman Timur tahun 1959. Buku puisinya Sahabat (1959)
dan Matinya Seorang Sahabat (1962).
2. Dodong Djiwapradja kelahiran Garut, Jawa Barat, 25 Desember 1928, tamat Perguruan Tinggi
Hukum Militer, pernah bekerja di AURI, pernah menjadi guru SMA-IPI Jakarta (195 3- 1958)
dan dosen estetika Fakultas Sastra UI (1962-1964). Juga pernah menjadi anggota Komisi Istilah
Seksi penerbangan (1951-1960), peserta Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Tasjkent Uni
Sovyet (1958) dan menjadi anggota Pengurus Pleno BMKN (1960). Sajak-Sajaknya dimuat
dalam antologi Gema Tanah Air (1948), Laut Biru Langit Biru (1977), dan Tonggak 1(1987).
3. Riyono Pratikto dilahirkan di Ambarawa, Jawa Tengab, 17 Agustus 1932, berpendidikan
FakultaS Publisistik Universitas Padjadjaran Bandung, kemudian pernah menjadi pembantu
RRI Bandung, redaktur Warta Bandung, dan pengajar Fakultas Publisistik Universitas
Padjadjaran Bandung hingga tahun 1988. Karyanya kumpulan cerpen Api dan Beberapa Cerita
Pendek lain (1951), kumpulan cerpen Si Rangka dan Beberapa Cerita Pendek Lain (1958), dan
terjemahan Yang Keempat Puluh Satunya karya Boris Lavrenyov (1958).
4. S. Rukiah dilahirkan di Purwakarta, Jawa Barat, 25 April 1927, berpendidikan sekolah guru dan
pernah menjadi guru di Purwakarta, sekretaris Pujangga Baru (setelah masa pendudukan
Jepang), dan anggota Pimpinan Pusat Lekra (1959-1965). Karyanya: kumpulan sajak Tandus
(1952), novel Kejatuhan dan Hati (1950), dan sejumlah cerita anak.
5. Sobron Aidit, kelahiran Belitung, 2 Juni 1934, meninggal di Paris, 10 Februari 2007,
menghasilkan kumpulan sajak Pulang Bertempur (1959), Derap Revolusi (kumpulan sajak dan
novel 1962), kumpulan cerpen Kisah Intel dan Sebuah Warung (2000), dan kumpulan sajak
Ketemu di Jalan (bersama Ajip Rosidi dan S.M. Ardan, 1956). Hingga tahun 2001 tercatat
masih bermukim di Paris.

Kini nasib mereka memang sudah terlupakan karena tulisan mereka pun sudah sulit dibaca
masyarakat umum setelah penerbitan kalangan Lekra dinyatakan terlarang pada akhir tahun 1965
akibat tragedi politik 30 September 1965. Akan tetapi, hal itu tidak menutup kemungkinan para
peneliti dan kritikus untuk secara ilmiah membongkar kembali khazanah pemikiran mereka demi
kentingan sejarah dan ilmu pengetahuan, bahkan sekaligus sebagai pelajaran bagi generasi
kemudian.
Penelitian mengenai kepengarangan, misalnya, tidak mustahil membuka wawasan baru
yang mampu menjawab sejumlah pertanyaan esensial, seperti apakah mereka meyakini realisme
sosialis dengan sebenar-benarnya; apakah mereka telah menjadi komunis; apakah benar mereka
berada di lingkungan Lekra dengan penuh kesadaran, dan sebagainya. Penelitian tersebut tidak
kurang pentinganya apabila dikaitkan dengan situasi dan kondisi sosial politik pada masa itu,
termasuk dalam hubungannya dengan pekerjaan, jabatan, dan mata pencaharian. Barangkali
penelitian sosiosastra berpotensi membongkar masalah-masalah tersebut.
Lantas apakah pelajaran yang bisa dipetik dari kegiatan mereka? Jawaban singkat
barangkali adalah gagalnya sebuah ideologi yang diyakini sebagai satu- satunya kebenaran
sepihak. Dengan kata lain, jangan sampai generasi kemudian terjebak pada sebuah ideologi yang
dianggap paling benar dengan fanatisme yang berlebihan. Hal itu dapat dipahami berdasarkan
kenyataan bahwa pada masa jaya Lekra pun banyak juga seniman yang tidak terhanyut arus Lekra,
tetapi segera bergabung dengan organisasi kebudayaan partai-partai tertentu, seperti Lembaga
Kebudayaan Nasional (LKN) yang dibentuk Partai Nasional Indonesia (PMI) dan Lembaga
Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) yang didirikan Nahdlatul Ulama (NU).
Keberpihakan itu merupakan salah satu pilihan yang mendesak agar dapat bertahan
terhadap serangan Lekra. Situasi politik pada waktu itu menyulitkan orang untuk bersikap
independen atau nonpartisan. Namun, masih banyak pengarang dan cendekiawan yang bertahan
independen melalui majalah bulanan Kisah sebagai penerbitan sastra yang mengutamakan cerita
pendek.

6.4 Bacaan Terpilih

Sepuluh buku atau bacaan terpilih yang data ringkasnya disajikan pada bagian ini didasari
pertimbangan bahwa buku-buku tersebut merupakan penanda awal kepengarangan sejumlah tokoh
terkemuka dalam sastra Indonesia pada zamannya. Bukan Pasar Malam, misalnya, jelas bukan
karya terhebat Pramoedya Ananta Toer karena ada juga Perburuan, Keluarga Gerilya, dan lain-
lain. Demikian pula Jalan Tak Ada Ujung bukanlah satu-satunya karya Mochtar Lubis pada waktu
itu karena ada juga Senja di Jakarta. Akan tetapi, mengingat terbatasnya waktu untuk pelajaran ini,
sulitlah kiranya ditawarkan sebanyak-banyaknya buku kepada pembaca. Mudah-mudahan dengan
modal sepuluh bacaan terpilih berikut ini akan kembali segar apresiasinya dan mekarlah minat
penelitiannya.
1. Atheis (Novel Achdiat K. Mihardja)
Atheis yang terbit pertama kali pada Balai Pustaka tahun 1949 telah mengalami cetak ulang
ke-28 pada tahun 2006, masih pada penerbit yang sama, tebal 250 halaman. Pada tahun 1969 novel
ini memperoleh Hadiah Tahunan Pemerintah Republik Indonesia dan pada tahun 1972
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh R.J. Maguire. Di samping itu, terbit juga dalam bahasa
Melayu di Malaysia, dan pada tahun 1974 difilmkan oleh Sjuman Djaya dengan judul Atheis juga.
Tercatat pula buku-buku yang telah mengkaji novel tersebut antara lain Roman Atheis: Sebuah
Pembicaraan oleh Boen S. Oemarjati (1963) dan Memahami Novel Atheis oleh Kusdiratin (1985).
Dapat dipastikan puluhan skripsi dan tesis mengenai novel itu telah ditulis mahasiswa dan
sarjana di mana-mana. Apabila diterbitkan secara komersial tentulah menambah panjang deretan
judul buku tentang Atheis yang intisarinya adalah konflik batin tokoh Hasan dalam menghadapi
lingkungan kehidupan baru yang normanya jauh berbeda dengan lingkungan asalnya di desa.
Adapun sinopsisnya kurang lebih sebagai berikut.
Hasan lahir di tengah keluarga yang taat beragama Islam, bahkan ayahnya penganut aliran
tarekat yang kukuh. Setelah tamat MULO (setingkat SMP), Hasan bekerja di Bandung dan ikut
bergiat dalam aliran tarekat untuk melupakan kekecewaannya terhadap gadis Rukmini yang
terlanjur dinikahi seorang saudagar dari Jakarta. Di Bandung dia bertemu lagi dengan teman lama,
dan selanjutnya berkenalan dengan Kartini, teman Rusli. Pertemuan itu mengingatkan Hasan akan
mantan kekasih (Rukmini) dan tumbuhlah simpatinya kepada Kartini. Akan tetapi, pemikiran
Rusli. dan Kartini yang sosialis membikin keraguan hati Hasan, bahkan terbit niatnya hendak
menyadarkan kedua sahabat baru itu agar kembali ke jalan agama seperti dirinya.
Ternyata pada perkembangan kemudian justru Hasan yan terhanyut ke dalam norma
kebidupan baru sebagaimana ditawarkan Rusli dan Kartini. Perubahan pandangan Hasan sampai
pada tindakan yang konkret, yaitu menikah dengan Kartini tanpa restu orang tuanya. Akibatnya,
perkawinan mereka berantakan, lebih-lebih setelah muncul tokoh Anwar yang individualistis, dan
perkawinan itu berakhir dengan perceraian.
Kesendirian Hasan ternyata tidak sekaligus menghapus rasa berdosa dan bersalah, bahkan
merasa semakin ketakutan menghadapi kehidupan, lebih-lebih setelah menyadari permintaan
maafnya ditolak oleh sang ayah. Akibatnya, Hasan jatuh sakit dan berniat membalas dendam
kepada Anwar. Akan tetapi, dalam perjalanan mencari Anwar itulah Hasan ditembak oleh tentara
Jepang karena ketahuan terus melangkah di jalan ketika terdengar sirene tanda orang-orang harus
berlindung.
Menurut Kusdiratin (1985: 131), Atheis mengandung pesan bahwa keseimbangan antara
sikap hidup yang vertikal dan yang horisontal sangat perlu dijaga dan dikembangkan agar
seseorang dapat melaksanakan, membina, dan mengembangkan kehidupan dengan baik.
Penggarapan masalah dalam novel itu diperjelas pengarang dengan latar filasat eksistensialisme,
marxisme, dan mistik.
Dengan kata lain, novel im pantas dibaca oleh generasi kemudian yang berkemungkinan
mengalami konflik batin seperti Hasan. Apabila dewasa ini marak terjadi teror dan bunuh-
membunuh, baik karena masalah kebendaan maupun fanatisme terhadap ideologi dan aliran
tertentu sebagaimana sering terbaca di koran-koran, mungkin mengisyaratkan gejala orang
semakin gampang tergoda oleh hiruk pikuk kehidupan dunia dan tersisih dari kehidupan moral dan
agama. Jika anggapan seperti itu benar, ternyata Atheis telah mengungkannya puluban tahun yang
silam.

2. Ballada OrangOrang Tercinta


Kumpulan Sajak Rendra

Apabila Priangan si Jelita ditawarkan sebagai bacaan terpilih dengan harapan bisa
menyegarkan kesadaran pembaca terhadap apa pun yang dimilikinya, lantas apakah tawaran yang
penting dari Ballada Orang-Orang Tercinta karya penyair Rendra? Sebagian jawabannya sudah
ditulis oleh Bakdi Soemanto dalam Rendra: Karya dan Dunianya (2003). Jadi, tidak salah kiranya
apabila sebagian pendapatnya dipetik sana-sini demi kepenyairan Rendra.
Sebelum terbit sebagai sebuah buku, sajak-sajak dalam Ballada Orang-Orang Tercinta
sudah terbit dalam majalah Kisah sehingga popularitas Rendra sebagai penyair sudah berkembang
sebelumnya. Kemunculannya dengan sajak-sajak Ballada pada tahun 1950-an memikat perhatian
masyarakat sastra Indonesia, sebab Ballada itu sendiri terbilang bentuk sastra baru. Akan tetapi,
semangat bercerita dalam sajak bukanlah hal baru dalam tradisi sastra Melayu dan Jawa. Oleh
karena itu, sajak-sajak Rendra pun dengan gampang diterima oleh para pembaca.
Beberapa sajak yang terkenal adalah “Ballada Terbunuhnya Atmo Karpo”, “Ballada
Sumilah”, “Ballada Lelaki yang Luka”, dan “Tahanan”. Sajak “Ballada Terbunuhnya Atmo
Karpo” memang berkisah tentang matinya seorang perampok ulung (Atmo Karpo) justru di tangan
anak lakinya sendiri, Joko Pandan, sedangkan “Ballada Sumilah” berkisah tentang keterasingan
seorang pelacur yang melangkah pulang ke kampungnya. Aspek yang penting dari sajak-sajak
Rendra, adalah pencitraan dan dialog yang bisa menjadi warna sajak. Simpulan Bakdi Somanto
bahwa puisi-puisi dalam Ballada Orang-Orang Tercinta menunjukkan kekuatan plastisitas
citraannya. Di samping itu, penggunaan kata-kata sehari-hari menjadikan puisi Rendra lebih akrab
dengan pembaca. Sebagai penyegar, simaklah sajak “Ballada Terbunuhnya Atmo Karpo” sebagai
berikut.
Dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut bumi
bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya di pucuk-pucuk para mengapit kuat lutut
penunggang perampok yang diburu surai bau keringat basah, jenawi pun telanjang

Segenap warga desa mengepung hutan itu


dalam satu putaran pulang-balik Atmo Karpo
mengutuk bulan betina dan nasibnya yang malang Berpencaran bunga api anak panah di bahu
kiri
Satu demi satu maju tersadap darahnya
penunggang baja dan kuda mengangkat kaki muka

— Nyawanu barang pasar, hai orang-orang bebal!


Tombakmu pucuk daun dan matiku jauh orang papa
Majulah, Joko Pandan! Di mana ia?
Majulah ia kerna padanya seorang kukandung dosa

Anak panah empat arah, musuh tiga silang


Atmo Karpo masih tegak, luka tujuh liang
— Joko Pandan! Di mana ia!
hanya padanya seorang kukandung dosa

Bedah perutnya tapi masih setan ia


menggertak kuda di tiap ayun menungging kepala
Berberita ringkik kuda muncuhlah Joko Pandan
segala menyibak bagi derapnya kuda hitam
ridla dada bagi derunya dendam yang tiba
pada langkah pertama keduanya sama baja
pada langkah ketiga rubuhlah Atmo Karpo
panas luka-luka terbuka daging kelopak-kelopak angsoka

Malam bagai kodok hutan bopeng oleh luka


pesta bulan, sorak sorai, anggur darah

Joko Pandan menegak, menjilat darah di pedang


ia telah membunuh bapaknya

Apabila sajak itu diprosakan, barangkali kisahnya tidak kalah seru daripada novel Bukan
Pasar Malam atau cerpen-cerpen Di Tengah Keluarga seperti berikut ini.

3. Bukan Pasar Malam


Novel Pramoedya Ananta Toer (1925-2006)

Novel ini diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada tahun 1951, kemudian
dinyatakan terlarang pada tahun 1965, dan pada tahun 1999 diterbitkan oleh Bara Budaya
Yogyakarta, lantas diterbitkan lagi oleh Lentera Dipantara pada tahun 2004. Tercatat juga
penerbitannya oleh Abbas Bandong di Melaka, Malaysia pada tahun 1976; Horleman Jerman tahun
1993, Gallimard Prancis tahun 1993, dan De Geus Belanda tahun 1998.
Dalam pengantar penerbit Bara Budaya (1999: v-vi) terungkap penjelasan bahwa selama
Orde Baru kehidupan kebudayaan Indonesia tidak berdaya dalam bayang-bayang hegemoni
kekuasaan sehingga kehidupan sastra menjadi saksi bisu terhadap dekadensi yang hebat dengan
akibat tak banyak generasi baru bangsa ini dapat memperoleh karya sastra anak bangsanya yang
dapat dibanggakan. Karya sastra perlawanan yang lahir dari komitmen kuat pengarang sebagai
pribadi yang memikul tanggung jawab sosial akan menjadi tumbal sensor dan pembredelan. Dalam
hal ini, Pramoedya Ananta Toer menipakan simbolnya. Dia pengarang yang diakui dunia, tetapi
mengalami penindasan selama Orde Baru, baik sebagai pribadi maupun sebagai pengarang.
Penerbitan kembali Bukan Pasar Malam merupakan upaya mengoreksi kebijakan kebudayaan
Orde Baru.
Dalam catatan Lentera Dipantara (2006: 6) terbaca keterangan bahwa dalam Bukan Pasar
Malam “kita dapat menemukan ada pantulan suara mistik yang aneh dibuat oleh semangat
religiusitas.

6. 5 Para Sastrawan Angkatan 45

(1) Chairil Anwar


Chair Anwar bisa dikatakan merupakan sastrawan terpenting Angkatan 45, sekaligus
sastrawan Indonesia yang paling dikenal luas oleh masyarakat. Ia telah tumbuh menjadi legenda.
Banyak kalangan menjadikan hari kematiannya sebagai hari sastra nasional. Ia dikenal luas baik
oleh kalangan yang pernah membaca buku-bukunya ataupun tidak.
Namun, Chairil tidak tumbuh sendiri. Masa-masa kehadirannya merupakan masa-masa
yang subur dan menarik dilihat dari pelbagai segi. Secara sosial, saat itu merupakan masa
revolusioner, sebuah masa peralihan dari situasi sebagai bangsa terjajah menuju gairah
kemerdekaan dan sebuah bangsa yang muda. Masa itu, merupakan masa yang spektakuler dalam
tata dunia, di mana perang dunia tengah mencapai klimaksnya dan perlahan mulai menghitung
akibatnya.
Chairil juga tumbuh (dan terasuh) dalam sebuah komunitas Alisjahbana muda yang
membara, menolak ketentraman lama. Di sana, tradisi silam ditotak tegas serta dianggap mandul
dan membekukan. Chairil sudah dapat dipastikan menyimak pertikaian pikiran itu, dimana Ki
Hajar Dewantara, Dr. Poerbatjaraka, Dr. M. Amir, Tjindarbumi, Sanusi Pane, Dr. Sutomo dan
Adinegoro angkat pena bergiliran menanggapi St. Takdir Alisjahbana muda yang dengan tangkas,
tajam dan “keras kepala” menyuarakan gairah muda. Polemik ini direkam dengan baik oleh
Achdiat K. Mihardja, sastrawan segenerasi Chairil dalam buku Polemik Kebudayaan (1948).
Ketika Chairil mulai menulis sajak-sajaknya, pelbagai pikran dan ideologi besar sedang
ramai bertikai, yang dalam kasus Indonesia juga direkam Achdiat K. Mihardja dalam novelnya
Atheis yang monumental. Tidak sulit kemudian untuk melihat kesejajaran pikran St. Takdir
Alisjahbana dangan nafas surat “Kepercayaan Gelanggang” yang berisi pernyatan Chairil dan
generasinya sebagai ahli waris yang syah dari kebudayaan dunia dan menolak pengertian
kebudayaan nasional sebagai kegiatan melap-lap kebudayaan lama yang lapuk. Tak pelak lagi,
landas diskursif yang melahirkan sajak-sajak Chairil Anwar tidak lain tidak bukan adalah landasan
diskursif yang ditebarkan oleh St. Takdir Alisjahbana. Semua landas diskursif yang oleh St. Takdir
hanya mampu diejawantahkan dalam esai baru, berhasil diejawantahkan lewat bentuk sajak justru
oleh Chairil Anwar. St. Takdir terkesima, Ia tidak menduga “menghadap ke Barat” dan
“membesarkan api modernitas” yang diserukannya tiba pada konsekuensi yang “keras” sekaligus
“tragik” (Sarjono, 1997a). Sajak “Aku” Chairil Anwar yang keras dengan aroma individualitas
asosial itu membuat St. Takdir Alisjahbana (1977) angkat pena menolaknya. Ia menganggap sajak-
sajak Chairil Anwar sekadar rujak belaka, bagus untuk menghilangkan kantuk tapi kalau dimakan
berlebihan bikin perut mules.
Chairil adalah Chairil. Ia hidup bagai lilin yang dinyalakan kedua sumbunya. Kenangan
tentangnya penuh dengan kontroversi. Gaya hidupnya yang perlente tapi bohemian dan urakan
berjalin dengan affair-affairnya dengan pelbagai wanita. Pemikirannya yang tajam dan semangat
belajarnya yang tinggi berkelindan dengan pelbagai aksi pencurian buku. Dan -ini yang lebih
kontroversial- sajak-sajak otentiknya yang kuat dan indah bersambut gayung dengan sajak-sajak
saduran dan “pencurian” sajak-sajak penyair lain atas namanya sendiri.
Sajak-sajak Chairil sendiri sebenarnya tidaklah banyak jumlahnya. Bahkan, bisa dibilang
tidak semuanya berkualitas, meskipun tentu saja cukup banyak daripadanya yang hingga kini
terlihat menunjukkan kualitas yang prima. Chairil Anwar menjadi mashur lewat sajak-sajak:
“Aku”, “Perjanjian dengan Bung Karno”, “Dipenogoro”, “Siap Sedia” dan sadurannya “Kerawang
Bekasi”. Dikalangan kritikus, Chairil juga dipuji berkat sajak-sajaknya yang indah separti: “Senja
di Pelabuhan Kecil”, “Derai-derai Cemara”, “Kawanku dan Aku” serta “Cintaku Jauh di Pulau”.
Ada hal lain yang membuat Chairil beruntung. Sajak-sajaknya ditemukan oleh seorang
redaktur muda di kelompok “kaum tua”, H.B. Jassin. Jassin-lah yang dengan tekun mengikuti
proses penciptaan Chairit Anwar dan membuat bahasan-bahasan yang bagus dan memikat
mengenai Chairil Anwar. Jassin pu;a yang menjadi juru tafsir dan juru bicara yang menjembatani
pelbagai cobaan estetik Chairil ke tengah masyarakat luas, sehingga dengan mudah masyarakat
yang memang berada pada kondisi yang cocok bagi Chairil Anwar, merasa terwakili oleh sajak-
sajak Chairil. Jadilah Chairil Anwar sebagai seorang penyair yang meledak-ledak dengan gairah
muda, sebagai representasi bagi citra sebuah bangsa yang muda dan meledak-ledak pula.
Dalam proses kepenyairan Chairil sendiri “kemudaan” itu tidaklah berlangsung lama.
Ketika Chairil Anwar makin mengambil jarak dan gairah kemudaannya, Ia menghasilkan sebuah
sajak indah semacam ini:

Cemara menderai sampai jauh


terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangrnya bisa tahan
sudah beberapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dan cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum akhirnya kita menyerah.

Faktor penting lain yang menjadikan Chairil legenda, adalah gaya hidupnya yang
bohemian dan kenyataan bahwa Ia mati muda. Chairil bisa dianggap sebagai sosok seniman in
optima penforma dalam citra romantik.
Semua ini dapat dilihat dengan jelas pada beberapa karyanya di bawah ini:
Aku

Kalau sampai waktuku


Kumau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku akan tetap menendang menenjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
1943

Senja di Pelabuhan Kecil


buat Sri Ajati
ini kali tak ada yang mencari cinta
diantar gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
meninggung muram, desir hari lari berenang
menemu bukuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.
1946

DALAM KERETA

Dalam kereta
Hujan menebal jendela
Semarang, Solo...., makin dekat saja
Menangkup senja.
Menguak purnama
Caya menyayat mulut dan mata.
Menjengking kereta. Menjengking jwa,
Sayatan terus ke dada
1944

Derai-derai Cemara

Cemara menderai sampai jauh


Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan di tingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
Sudah berapa waktu bukan kanak lagi
Tapi dulu ada suatu bahan
Yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menunda kekalahan
Tambah terasing dan cinta sekolah rendah
Dan tahun, ada yang tetap tidak ducapkan
Sebelum akhirnya kita menyerah
1949

(2) Idrus
Idrus dilahirkan pada tanggal 21 September 1921 di Padang. Ia mengikuti pendidikan di
HIS, Mulo, AMS-SMT dan tamat dari sana pada tahun 1943. Selesai sekolah menjadi redaktur
Balai Pustaka. Pada tahun 1950, Idrus menjabat sebagai kepala bagian pendidikan Garuda
Indonesian Airways, sampai oktober 1952. Idrus mulai menulis berupa sketsa-sketsa, cerpen dan
naskah sandiwara. Sketsa “corat-coret di bawah tanah” ditulisnya semasa pendudukan Jepang dan
baru bisa diterbitkan setelah proklamasi Indonesia merdeka. Beberapa sandiwara yang ditulisnya
semasa Jepang adalah Ave Maria, Keluarga Surono, Lukisan Pujangga, Kejahatan Membalas
Dendam, Dr. Bhisma dan Jibaku Aceh.
Tulisan-tulisannya hampir semua berupa laporan pandangan mata. Namun, beberapa
daripadanya boleh dikatakan mencerminkan perjalanan pandangannya mengenai hidup dari
pelbagai persoalan. Cerminan perjalanan pandangan hidupnya, misalnya dapat kita dirasakan pada
cerpennya “Ave Maria” yang setelah melalui serangkaian cerpen dalam “Corat-coret di Bawah
Tanah” serta pandangan kritisnya dalam “Surabaya” kemudian menemukan semacam
“kedewasaan” pandangan dunia, sebagaimana terlihat pada cerpen “Jalan Lain ke Roma”. Karya
dramanya yang awal, beserta cerpen-cerpen dalam periode “Surabaya, diterbitkan secara lengkap
oleh Balai Pustaka dan terbit di bawah judul Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Buku ini,
terbit pertama kali pada tahun 1948 dan terus-menerus mengalami cetak ulang.
Tulisan-tulisan Idrus yang lain adalah Aki (1949) dan Perempuan dan Kebangsaan. Di
Malaysia, salah satu karyanya sempat diterbitkan, yakni Hati Nurani Manusia (1963). Idrus sempat
tinggal lama di Australia. Rupanya, cukup banyak sastrawan Indonesia yang mengajar dan tinggal
lama di Australia selain ldrus, misalnya Achdiat Kartarnihardja dan Subaglo Sastrowardojo. Karya
Idrus yang ditulis semasa Ia disana adalah sebuah novel berjudul Hikayat Putri Penelope.
Idrus banyak dipengaruhi oleh pengaarang-pengarang Rusia seperti llya Ehrenburg dan
Vsevolod lvanov. Buku Vsevolod lvanov bahkan diterjemahkan Idrus ke dalam bahasa Indonesia
dan terbit dengan judul Kereta Api Baja (1469). Idrus juga menerjemahkan karya G. Gonggrijp
berjudul Acoka (1948) serta karangan Willem Elschot, yang terbit dengan judul Keju. (Balai
Pustaka, 1948). Gaya cemoohnya yang luar biasa, bukan tidak mungkin diperolehnya pula dari
gaya pengarang-pengarang yang mashur dengan gaya satire-nya, seperti pengarang mashur
Hongaria Jarovlav Hasek, pengarang Italia Luigi Pirandelo dan pengarang Perancis Guy de
Maupassant. Cerpen dan petikan karya mereka, diterjemahkan dan disusun oleh Idrus dan
diterbitkan dengan judul Perkenalan (Balai Pustaka, 1949). Ia wafat pada tanggal 18 Mei 1979.
Jika Chairil Anwar begitu terkenal sebagai pelopor sastra Indonesia modern di bidang puisi, tidak
bisa tidak, Idrus merupakan pelopor di bidang prosa. Cerpen-cerpen Idrus, khususnya di masa
pendudukan Jepang dan selepas kemerdekaan, hadir demikian mengesankan. Gaya bercerita yang
serba mendayu-dayu sebagaimana lazim terdapat dalam karya-karya generasi Balai Pustaka dan
bahkan Pujangga Baru dipatahkan dengan gaya Idrus yang lugas.
Cerpennya Kota Harmoni” bisa dijadikan salah satu contoh. Cerpen ini hampir sepenuhnya berisi
sketsa-sketsa Idrus terhadap apa yang dilihatnya dalam trem Kota Harmoni selama perjalanan.
Pada masa kini, trem sebagai alat angkutan di kota, sudah ditiadakan diganti dengan bus kota.
Idrus melukiskan semua gerak-gerik para penumpang trem yang dianggapnya menarik. Ia tidak
menceritakan tokoh utama tertentu. Caranya bercerita seperti rekaman-rekaman kamera yang
disorotkan pendek-pendek dan satu objek ke objek lainnya. Pelukisannya kadang mampu
menangkap sifat-sifat orang yang dilukiskannya. Lukisan-lukisannya, juga mampu
menggambarkan jaman yang telah berubah dari jaman Belanda ke masa pendudukan Jepang dan
apa akibatnya bagi perilaku masyarakat. Jika kita perhatikan dengan seksama , segi-segi yang
dipilih untuk direkam dan dilukiskan Idrus dalam “Kota Harmoni” adalah segi-segi konyol
manusia yang semuanya dilukiskan dengan nada mencemooh.
Nada mencemooh tersebut terlihat jelas pula pada penggunaan bahasanya. Bersama Chairil
Anwar, Idrus bisa dibilang banyak menyumbang bentuk bahasa Indonesia menjadi bahasa yang
modern. Jika Chairil menyumbang bahasa Indonesia dengan spontanitas dan kepadatan kalimat
dan kata yang terpilih baik, Idrus memperkaya bahasa Indonesia dengan penggunaan yang lugas,
penuh cemooh dan kadang sinis.
Bahasa Indonesia yang bermula dari bahasa Melayu tinggi yang serba resmi itu berkat Idrus
dibuat sebuah bahasa yang modern, jernih, spontan dan jika perlu penuh cemooh dan sinis.
Sinisme dan nada penuh cemooh ini pula yang menjadi kehebatan Idrus. Berbeda dengan
Chairil Anwar yang memandang revolusi Indonesia dengan optimisme “mau hidup seribu tahun
lagi” yang menyala-nyala, sebagaimana terlihat pada sajaknya “Diponegoro”, “Aku” dan
sejenisnya, Idrus memandang revolusi Indonesia dengan nada yang murung, kemudian
berkembang menjadi sangat kritis dan bahkan tidak jarang sinis. Para pejuang kemerdekaan
dilihatnya sebagai “koboy-koboy” yang petantang-petenteng jumawa tapi ceroboh. Hampir semua
cerpen Idrus yang berkisah tentang revolusi Indonesia ditulis dengan nada cemooh semacam itu.
Tidak heran jika banyak kalangan menjadi kebakaran jenggot. Tapi, betapapun kerasnya reaksi
yang sempat muncul terhadap cerpen-cerpen Idrus, karya-karyanya tetap beredar dengan damai
dan dibaca orang. Tidak ada pihak yang jadi kekanak-kanakan untuk turun ke jalan menggelar
demonstrasi terhadap karya Idrus. Juga, karya-karyanya tidak dilarang oleh siapapun. Padahal
hampir semua karya Idrus dengan mudah dapat dicap sebagai “melemahkan revolusi”. Dan
memang jasa terbesar Idrus bagi bangsa Indonesia adalah cemoohnya yang tajam terhadap diri dan
bangsanya.
Heroisme yang menyala-nyala adalah ciri khas kemudaan. Anak muda yang tidak memiliki
heroisme ibarat sebuah tungku tanpa api. Dalam pada itu, kemampuan mencemooh dan
menertawakan diri adalah ciri khas kedewasaan dan kebijaksanaan. Idrus lewat karya-karyanya
telah memberi bangsa Indonesia yang muda dan penuh semangat serba menyala-nyala itu dengan
sebuah ruang untuk kritis dan mampu mentertawakan diri sendiri. Sebab lewat itulah kita justru
jadi bisa melihat segi-segi dalam diri kita yang menjengkelkan, konyol, menyedihkan, kocak
namun sekaligus mengharukan yang kesemuanya mungkin luput atau terkubur dalam gemuruh
heroisme revolusi.
Revolusi kemerdekaan adaah sebuah cita-cita mulia dan luhur. Namun, Idrus sadar bahwa
cita-cita luhur mulia itu jadi sering membuat mereka yang berbaris di bawah naungan cita-cita
luhur mulia itu jadi merasa dengan sendirinya ikut menjadi luhur dan mulia sebelum banyak
bertindak membuktikannya lewat sikap dan kerja keras. Idrus dengan cemooh-cemoohnya
memaksa kita untuk mengkaji ulang, adakah rencana-rencana luhur kita itu kita usahakan
pencapaiannya dengan cara-cara yang juga luhur? Adakah cita-cita suci yang kita canangkan itu
kita coba gapai dengan cara-cara yang juga suci.
Dilihat dalam perbandingannya dengan Chairil Anwar, ternyata idrus menjalani proses
revolusi dengan cara berbalikan. Pada Chairil Anwar, revolusi dipandang dengan semangat
menyala-nyala hingga pada akhirnya Chairil dihadapkan pada batas nasib yang memurungkan:
Hidup hanya menunda kekalahan (sajak “Derai-derai Cemara”). Sementara pada Idrus, revousi itu
dipandang dengan serba murung dan sinis, tapi kian lama justru berangsur optimis sebagaimana
tenlihat pada cerpennya “Jaian Lain ke Roma”. Cerpen ini merupakan cerpen penutup dalam buku
kumpulan cerpennya Dan Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Pada cerpen itu, Open - tokoh
utamanya - digambarkan sebagai seorang yang lugu dan lugas.
Lewat sekian proses penjalanan hidup, Open tiba pada tahap kedewasaan dan
kebijaksanaan. “Keterusterangan” yang dijadikan Open sebagai sikap hidup, pada awal cerpen ini
justru menimbulkan banyak kesulitan bagi Open karena pengertian “terus terang” itu diartikan
Open sebagai pengertian verbal yang kaku. Demikian pula sikapnya terhadap banyak hal lain.
Namun, kian lama Open makin menyadari dan memahami keterusterangan yang hakiki. Begitu
pula pandangan Open terhadap banyak hal di sekitarnya makin positif dan dewasa. Cerpen ini
menjadi gambaran cara pandang Idrus terhadap pelbagai hal, termasuk rnenunjukkan juga
perjalanan sebuah bangsa yang berproses menjadi dewasa, tempat Idrus menjadi bagian
daripadanya.
Sinisme dan gaya reatismenya dapat dilihat dari petikan cerpennya di bawah ini.

Kota Harmoni
Trem penuh sesak dengan orang, keranjang-keranjang, tong-tong kosong dan berisi, kambing dan
ayam. Hari panas, orang dan binatang keringatan. Trem bau keringat dan terasi. Ambang jendela
penuh dengan air ludah dan air sirih, kemerah-merahan seperti buah tomat.
Dalam trem susah bernafas. Tapi orang merokok juga, menghilangkan bau keringat dan
terasi. Seorang perempuan muda, Belanda Indo, mengambil sapu tangannya, kecil bagai daun
pembungkus temper, dihirupnya udara di sapu tangannya, lalu katanya: “Siapa lagi yang
membawa terasi ke atas trem. Tidak tahu aturan, ini kan kelas satu.”
Seorang Tionghoa, gemuk seperti Churchill, merasa tersinggung dan berkata dengan marah
kepada nona Belanda Indo itu. “Jangan banyak omong. Sekarang jaman kemakmuran bersama,
bukan Belanda.
Orang Tionghoa itu membungkuk, mengambil dari keranjang sayurannya sebuah
bungkusan dan katanya, sambil melihatkan bungkusan itu kepada nona Belanda Indo itu, “ini dia
terasi, mau apa?”. Seorang perempuan tua, bungkuk dan kurus, bajunya berlubang seperti
disengaja melubangkannya, seperti renda seperai, dimarahi kondektur, “Ini kelas satu, mengapa
di sini. Ayo ke belakang. Kalau tidak, bayar lagi.”
Perempuan tua itu beriba-iba, meminta supaya ia dibolehkan di kelas satu saja.
‘Terlalu sempit di sana, Tuan. Saya tidak bisa.” “Ya, kalau tidak bisa, bayar lagi.”
Lambat-lambat perempuan tua itu pergi ke kelas dua. Tiba di sana Ia melihat dengan marah
kepada kondektur dan katanya, “Ah, belagak betul. Sedikit saja dikasi Nippon kekuasaan sudah
begitu. Sama orang tua berani. Tapi coba kalau orang Nippon, membungkuk-bungkuk. Bah!”
Seorang laki-laki, kuat dan tak memakai baju, berdiri dan katanya kepada perempuan tua
itu, “Jangan banyak bicara. Duduk!”
Di sebuah tempat perhentian, trem berhenti. Orang berdesak-desakan, pekikan tukang jual karcis
kedengaran. ‘Yang turun dulu. Ayo cepat”
Orang-orang berasa lega sebentar. Tapi trem penuh sesak kembali. Dari bawah kedengaran suara
seorang Nippon.
“Kasi jaran Bagero.”
Orang-orang tambah berdesak-desakan memberi jalan kepada orang Nippon itu.
Seorang anak muda, melihat kepada Nippon itu dengan muka masam dan katanya lambat-lambat.
“Orang kelas satu dan orang kelas dua disamakan saja, seperti binatang saja dipenlakukannya.”
Tapi waktu orang Nippon itu berdiri di dekatnya, Ia diam dan melihat ke tempat lain.
Orang Nippon itu bergayut pada kulit di atas atap rem dan dan lengan bajunya yang pendek itu
keluar bau terasi. Pemuda itu mengambil sapu tangannya dan dilekapkannya ke hidungnya.
Di tengah jalan, trem berhenti. Orang tercengang-cengang. Pikir mereka tentu ada kerusakan atau
kecelakaan. Semua orang melihat keluar. Di tengah-tengah rel, kelihatan tiga orang Nippon berdiri
menahan trem. Kondektur takut dan untuk keselamatan kepalanya, diberhentikannya trem.
Ketika orang Nippon itu naik. Tangan orang tergores-gores kena pangkal pedangnya. Mereka
berdiri dan tertawa. Tawa kemenangan.

(3) Asrut Sani

Asrul Sani lahir di Rao, Sumatra Barat, 10 Juni 1927. Menempuh pendidikan: HIS
Bukittinggi; Koningen Wilhelmina School (KWS; Pendidikan Sekolah Menengah Teknik) di
Jakarta; Taman Dewasa, Perguruan Taman Siswa, Jakarta; Sekolah Dokter Hewan, Bogor;
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Indonesia, di Bogor; Akademi Seni Drama (Academie
voor de Dramatische Kunst), di Amsterdam; University of Southern California (USC),
Departement of Theatre-Departement of Cinema, di Los Angeles.
Pada masa revolusi memimpin lasykar rakyat, kemudian masuk tentara, jadi mahasiswa,
menerbitkan harian perlawanan Suara Bogor. Ia pernah menjadi korektor di percetakan, kemudian
menjadi redaktur majalah Gema Suasana. Bersama-sama dengan Riva’i Apin dan Siti Nuraini,
menyelenggarakan redaksi “Gelanggang dalam warta sepekan Siasat.
Sejak tahun 1951 mengelola majalah Zenith. Bersama-sama dengan Chairil Anwar dan
Riva’i Apin, Asrul Sani menerbitkan kumpulan puisi Tiga Menguak Takdir (Jakarta, Balai
Pustaka, 1950).
Bersama Usmar Ismail dan Djamaludin Malik, Asrul mendirikan Akademi Teater Nasional
Indonesia (ATNI) dan menjabat sebagai ketuanya. Ia juga seorang anggota Badan Formatur
Pembentukan Dewan Kesenian Jakarta; anggota Akademi Jakarta; anggota dan ketua DKJ dan
menjadi salah seorang pendiri Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta, kemudian menjadi Dekan
Akademi Teater LPKJ dan Rektor LPKJ.
Salah seorang anggota Badan Sensor Film ini pernah menjadi anggota DPR RI (1966-
1982), anggota MPR RI, Ketua Harian Dewan Film Nasional, anggota Badan Pertimbangan
Perfilman Nasional, dan berkali-kali menjadi anggota dan ketua juri Festival Film Indonesia serta
menjadi anggota juri Festival Film Moskow (1963) dan anggota juri Festival Film Malaysia
(1995).
Mendapat pelbagai penghargaan, antara lain: Piala Citra untuk skenario dan cerita film
terbaik (7 buah); Piala Golden Harvest, sebagai film terbaik dalam Festival Film Asia (1971) untuk
filmnya yang berjudul Apa Yang Kau Cari Palupi; meraih penghargaan dari Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan RI sebagai perintis teater modern di Indonesia; mendapat hadiah sastra ASEAN
(1994); dan sejumlah piagam penghargaan dalam bidang film; mendapat penghargaan dari
Pemenintah Daerah Tingkat 1 sebagai jasawan (yang berjasa) bagi tanah kelahirannya.
Asrul mungkin penerjemah terbanyak di Indonesia. Ia menerjemahkan tidak kurang dari
sembilan buah novel dari para novelis Jepang, Perancis, Rusia, dan Belanda serta menerjemahkan
tidak kurang dari 89 buah naskah drama dari pelbagai dramawan dunia.
Karya-karya skenarionya sudah 43 yang difilmkan, sementara cerita dan skenario televisi
yang difilmkan ada 22 buah. Ia menyutradarai 12 film dan menyutradarai teater, di antaranya
Burung Camar (Chekov), Pintu Tertutup (Jean Paul Sartre), Monserrat (Robles), dan Yerma
(Frederico Garcia Lorca). Naskah dramanya yang telah terbit sebagai buku adalah Naga Bonar dan
Mahkamah. Sajak terjemahan meliputi Awan dan Lumpur, antologi penyair Belanda; T.S. Eliot
dan buku The Wasteland.
Asrul Sani menjelajahi pelbagai bidang kesenian, mulai dari sastra hingga film, mulai dari
esai hingga sinetron. Dengan wilayah garapan seluas itu, memang konsentrasinya sebagai
sastrawan banyak terpecah. Namun, kehadirannya dalam dunia kesenian yang menghasilkan
pelbagai prestasi di banyak bidang itu dimulai lewat sajak-sajaknya. Gaya sajaknya mencerminkan
kecenderungan umum saat itu sebagaimana yang dipelopori oleh Chairil. Berikut ini petikan
beberapa buah sajak Asrul Sani.

Surat dan Ibu

Pergi ke dunia luas, anakku sayang


pergi ke hidup bebas! Selama angin masih angin buritan
dan matahari pagi menyinar daun-daunan
Dalam rimba dan padang hijau.
Pergi ke laut lepas anakku sayang
pergi ke alam bebas
Selama hari belum petang
dan warna senja belum kemerahan-merahan
menutup pintu waktu lampau
Jika bayang telah pudar
dan elang laut pulang ke sarang
angin bertiup ke benua
tiang-tiang akan kering sendiri
dan nakhoda sudah tahu pedoman
boleh engkau datang padaku!
Kembali pulang anakku sayang
kembali ke balik malam!
Jika kapalmu telah rapat ke tepi
kita akan bercerita
“Tentang cinta dan hidupmu pagi hari”.

Anak Laut

Sekali ia pergi tiada bertopi


ke pantai landasan mataharii
dan bermimpi tengah hari
akan negeri di jauhan.
Pasir dan air seakan
bercampur Awantiada menutup
mata dan hatinya rindu
melihat taut terbentang biru
Sekali aku pergi.
dengan perahu
ke negeri jauhan
dan menyanyi
kekasih hati
lagi menndukan daku”.
“Tenggelam matahari
ufuk sana tiada nyata
bayang-bayang bergerak perlahan
aku kembali kepadanya.”
Sekali ia pergi tiada bertopi
ke pantai landasan matahari
dan bermimpi tengah hari
akan negeri di jauhan.
1948

(4) Sitor Situmorang

Sitor Situmorang dilahirkan di Harian Boho, Samosir, tanggal 2 Oktober 1923. Setelah
lulus Mulo di Tarutung, Ia melanjutkan studinya ke AMS di Jakarta, tetapi tidak tamat. Pada awal
masa revolusi bekerja sebagai wartawan di Medan. Tahun 1948 berangkat ke Yogyakarta. Ketika
terjadi Aksi Militer I, Sitor ditawan di Wirogunan, Yogya, oleh Belanda.
Pada tahun 1950 Sitor Situmorang berangkat ke negeri Belanda atas undangan Sticusa
(Stichting voor Culturete Samenwerking) atau Lembaga Kerjasama Kebudayaan), kemudian ke
Paris dan bekerja di KBRI di sana hingga tahun 1953. Di sinllah pengaruh eksistensialisme dan
simbolisme
Perancis mulai meresap dan kemudian tampak dalam sajak, esai, dan cerpen-cerpennya.
Pada tahun 1956-1957 Sitor memperdalam drama di Amerika Serikat berkat kedudukannya di
ATNI. Karya-karyanya banyak dimuat di pelbagai koran dan majalah.
Karya-karyanya yang telah diterbitkan adalah Jalan Mutiara, Surat Kertas Hijau, Dalam
Sajak, Wajah tak Bernama, Zaman Baru, dan Angin Danau serta Dinding Waktu, Peta Perjalanan,
dan sebuah kumpulan cerpen berjudul Pertempuran dan Salju di Paris. Sitor menulis sebuah
autobiografi berjudul Sitor Situmorang Seorang Sastrawan 45: Penyair Danau Toba.
Karya-karya Sitor telah dibahas oleh beberapa kritikus, seperti J.U. Nasution (1953),
Subagio Sastrowardoyo (1980), dan Teeuw (1980). Sitor Situmorang pernah bekerja di Jawatan
Kebudayaan, memimpin koran Berita Indonesia dan Warta Dunia, pernah jadi anggota Dewan
Nasional, Dewan Perancang Nasional, dan MPRS sebagai wakil seniman. Pernah memimpin
Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN). Sejumlah karyanya telah diterjemahkan ke dalam
beberapa bahasa asing. Di samping itu, Ia menerjemahkan beberapa karya asing ke dalam sastra
Indonesia.
Berbeda dengan Chairil Anwar, Sitor Situmorang sering memanfaatkan khasanah
perpuisian lama, seperti pantun, dalam puisi-puisinya yang modern. Hal ini dapat dilihat pada
karyanya berikut ini.
Bunga

Bunga di atas batu


dibakar sepi
mengatas indera
Ia menanti
bunga di atas batu
dibakar sepi

Lagu Gadis Itali


buat Silavana Maccari

Kerling danau di pagi hari


lonceng gereja bukit Itali
Jika musimmu tiba nanti
jemputlah abang di teluk Napoli

Kerling danau di pagi hari


lonceng gereja bukit Itali
sedari abang lalu pergi
adik rindu setiap hari

Kerling danau di pagi hari


lonceng gereja bukit Itali
Andai abang tidak kembali
adik menunggu sampai mati

Batu tandus di kebun anggur


pasir teduh di bawah nyiur
abang lenyap hatiku hancur
mengejar bayang di salju gugur

Bunga Batu

kurasa kau tahu, lebih dari lagu


kebisuan lebih berkata dari duka
karena ditinggalkan Ia maka setia
pengetahuan, lama sudah membatu
kini di atasnya tumbuh bunga
indah seindah raut wajahmu
semerbak kenangan sepahit empedu
arah hitam yang mewarnai jiwa
seribu tahun sebelum kita dan nanti
dari dalam tanah orang menggali
wajah tertera pada lapisan batu
bergaris cerita mati - masih terharu

Sanur
kartu bergambar

ini kaki langit hatiku, sayang


tempat kasih alpa dan tugas banyak
Paris sekadar sajak dilupakan
- bercumbu, bekerja: 0, tanah air terlupa!
lnilah kisah cinta kita,
hidup lalu mati setiap detik
direntang dari tahun ke tahun,
mekar lagi,
setiap musim, kembali dan pergi,
0, tanah kesayangan!

(5) Muhammad Ali

Muhammad Ali lahir pada tanggal 23 April 1927, di kampung Ketapang kawasan Ampel,
Surabaya. Ia bersekolah di GHAS (Sekoiah Rendah), kemudian melanjutkan ke MULO (Meet
Uitgebreid Lager Onderwijs) namun tidak tamat. Pada masa pendudukan Jepang Ia mengikuti
kursus kebudayaan (Keimin Sidhoso) dan setelah itu ia belajar secara otodidak dalam pelbagai hal
yang berkaitan dengan dunia tulis-menulis.
Muhammad Ali yang otodidak tidak merasa rendah diri. Berkali-kali Ia berceramah di
lingkungan perguruan tinggi. Apa yang dikemukakannya dalam pelbagai ceramahnya dianggap
orang tidak kalah jika dibandingkan dengan mereka yang lulusan perguruan tinggi. Bahkan, pada
tahun 1978 Ia diangkat menjadi pengajar di Fakutas Sastra Universitas Negeri Jember, sebagai
tenaga honorer.
Muhammad Ali sendiri memang pernah bekerja sebagai pegawai negeri di Kotapraja.
Tidak seperti kebanyakan rekan sekerjanya, ia tidak terjatuh dalam kubangan rutinitas. Ia tetap
giat menulis. Karya-kanyanya tersebar di pelbagai media masa, seperti Pujangga Baru, Zenith,
Basis, Siasat, Mimbar Indonesia, Konfrontasi, Budaya, Gema Suasana, Mimbar, Forum,
Indonesia, Budaya Jaya, dan Horison.
Muhammad Ali menulis sejak tahun 1942. Sebagai pengarang, Ia pernah rnengasuh
majalah Mimbar Pemuda, Mingguan Pahlawan, Cetusan, Bakat, dan majalah Fithrah, Ketika ia
menulis drama radio yang berjudul “Lapar”, drama itu meledak dan demikian populer. Secara
kualitas, HB Jassin menilai drama radio itu memiliki nilai sastra hingga memuatnya di majalah
Zenith. Demikian populernya drama radio itu hingga Muhammad Ali dijuluki sebagai “sastrawan
Lapar”.
Ali dikenal sebagai sasatrawan serba bisa. Ia menulis cerpen, novel, naskah drama, dan
puisi. Naskah drama yang telah ditulisnya antara lain Si Gila (1969), Kembali kepada Fitrah
(1969), serta sandiwara radio seperti Lapar (1970) dan Sel 13 (1971). Ali juga menulis novel,
antara lain Kiamt (1971), Kubur Tak Bertanda (1971), dan Ibu Kita Raminten (1982), di samping
kumpulan cerpen Buku Harian Seorang Penganggur (1979) dan Gerhana (1997). Selain menulis
sebuah kumpulan puisi berjudul Bintang Dini, Muhammad Ali menulis juga sejumlah buku esai,
seperti Izinkan Saya Bicara (1977), Mari Mengarang Cerpen (1979), Nyanyian Burdah (1980),
Teknik Penulisan Skenario Drama dan Film (1981), Aktor dan Aktris (1981), Teknik Penghayatan
Puisi (1982), Ihwal Dunia Sastra (1993), Kamus Bahasa Indonesia (1985), dan Puitisasi Juz Amma
(1983).
Karya-karyanya yang telah terbit lebih dulu adalah 5 Tragedi (1952), Siksa dan Bayangan
(1954), Persetujuan dengan Iblis (1955), Tirai Besi (1956), Hitam atas Putih (1959), dan sepuluh
jilid buku Di bawah Naungan al-Qur’an (1957).
Muhamad Ali adalah seorang yang aktif. Sejak muda, Ia telah menjadi redaksi majalah
Mingguan Pahlawan, terbitan Batalyon 33, Divisi I Tentara Republik Indonesia, di bawah
pimpinan Gubernur Militer Jatim pada waktu itu, Kolonel Sungkono. Majalah itu dicetak dan
diselundupkan dari “daerah pedalaman” ke wilayah pendudukan NICA, khususnya Surabaya
(1947-1949). Setahun berikutnya Ia menjadi redaksi dan mengasuh majalah republik Mimbar
Pemuda di Surabaya. Tahun 1952-1953, selepas dari Mimbar Pemuda, Ia mengasuh majalah sastra
Cetusan bersama Fuad Hassan (pernah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan), serta Fajar
Sidik (kini Direktur ST ASRI, Yogyakarta). Di samping itu, Muhamad Ali secara periodik mengisi
acara siaran sastra di RRI Studio Surabaya, mendirikan Gabungan Sastrawan Muda Indonesia,
Surabaya, yang bergerak di bidang apresiasi sastra di kalangan muda-mudi Surabaya.
Selama empat tahun (1972-1976), Muhamad Ali menjadi anggota pleno dan pekerja harian
Dewan Kesenian Surabaya (DKS), dan menjadi Ketua DKS periode 1976-1978. Segala
aktivitasnya tersebut membuatnya ditunjuk sebagai anggota “Majelis Kehormatan Pembinaan
Kesenian Surabaya (MKSS)” dan koordinator acara “Siaran Apresiasi Sastra Indonesia”, di TVRI
Stasiun Surabaya.
Muhamad Ali berkali-kali mewakili Surabaya dalam “Pertemuan Sastrawan Indonesia” di
TIM Jakarta serta Pertemuan Sastrawan ASEAN. Cerpen-cerpennya banyak diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris. Cerpennya “Gerhana” diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang dengan judul
“Kiki” oleh Prof. Matsul Hiroshi (Universitas Bahasa-bahasa Asing Osaka) dan Prof Shibata
Nunlo, Universitas Tenri Nara.

(5) Toto Sudarto Bachtiar

Toto Sudarto Bachtiar dilahirkan tanggal 12 Oktober 1929 di Palimanan, Cirebon. Sebagai
anak Kartasasmita, nama Sudarto terasa janggal baginya. Ia sempat protes kepada orang tuanya.
Ternyata ayahnya sempat terkesan pada seorang jaksa bernama Sudarto. “Ia seorang pujangga,
ahli hukum, dan ahli agama,” demikian penjelasan sang ayah. Rupanya nama itu diambil agar
putranya suatu saat akan menjadi ahli hukum, pujangga dan ahli agama. Pada suatu hari Toto
Sudarto membaca sebuah buku yang sangat mengesankan dirinya berjudul Hikayat Bachtiar.
Tokoh Bachtiar dalam hikayat itu selalu saja beruntung. Dengan harapan menjadi orang yang
selalu beruntung, Toto Sudarto menambahkan nama Bachtiar di belakang namanya, sehingga
menjadi Toto Sudarto Bachtiar.
Setelah bersekolah di Cultuur school Tasikmalaya (tamat 1946) dan Mulo, Bandung (lulus
tahun 1948), Toto Sudarto Bachtiar memasuki dinas ketentaraan, di masa revolusi. Ketika TNI
melakukan hijrah dari Jawa Barat ke Jawa Tengah, Toto Sudarto Bachtiar justru ditugaskan oleh
komandannya untuk mempersiapkan segala sesuatu jika tentara kembali pulang ke Jawa Barat.
Perjalanan ke Bandung itu dilakukan dengan jalan memutar, dari Cirebon ke Subang lewat
Purwakarta, baru ke Bandung. Maklum, waktu itu Belanda menguasai Bandung dan banyak
serdadu KNIL berkeliaran.
Drs. Moh. Suhud Cakrakusumah, komandan Toto Sudarto Bachtiar, menyuruh Toto
Sudarto Bachtiar agar menggunakan waktu itu untuk bersekolah. Toto Sudarto Bachtiar masuk ke
SMA Belitung (kini SMUN 3 Bandung), komandannya pun menyusup ke Bandung dan menjadi
guru bahasa lnggris di SMA yang sama. Di sana, yang saat itu menjadi guru bahasa Perancis adalah
Moh. Rustandi Kartakusumah (sastrawan, kritikus sastra dan film). Pada tahun 1952, ia
melanjutkan sekolah ke Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Universitas Indonesia.
Toto Sudarto Bachtiar tidak menyelesaikan kuliahnya hingga sarjana hukum, dan memilih hidup
sebagai penyair.
Di tengah ketidakpastian hukum masa revolusi, banyak kekerasan terjadi di lingkungan
militer. Menjadi serdadu, rupanya tidak membahagiakannya. Ia pun meninggalkan dunia militer
tiga tahun setelah berdinas.
Toto menguasai beberapa bahasa, seperti Belanda, lnggris, Jerman, Perancis dan Jepang.
Kemampuan berbahasa asing itulah rupanya yang justru bisa membiayai hidupnya. Sulaiman yang
Agung, karangan Harold Lamb adalah buku sejarah yang pernah diterjemahkannya. Berdua
dengan Sugiarta Sriwibawa, ia menerjemahkan novel Breton de Nijs Bayangan Memudar
(Vergeelde portretten uit en Indisch famliealbum). Ia juga menerjemahkan karya besar Ernest
Hemingway Pertempuran Penghabisan (Farewel to Arm) dan Haji Murad karangan Leo Tolstoy,
serta sejumlah naskah drama untuk Bank Naskah DKJ dan tiles Miserables karya Victor Hugo.
Puisi-puisinya dimasukkan H.B. Jassin dalam antologi Gema Tanah Air. Kumpulan puisinya Suara
(memenangkan BMKN 1955-1956) dan Ets (1958). Toto Sudarto Bachtiar termasuk salah seorang
penyair yang menonjol selepas Chairil Anwar. Sajak-sajaknya menunjukkan pergeseran sikap dan
pengolahan tema terhadap sebagaimana dilakukan Chairil Anwar. Toto Sudarto Bachtiar sendiri,
dalam sajaknya Pernyataan (yang diberi keterangan “kepada C. A.”) menegaskan posisinya, yakni
: Aku makin menjauh! Dari tempatmu berkata kesekian kali/Laut-laut makin terbuka/Dibawah
langit remaja biru pengap melanda (“Pernyataan”, kepada C. A.).
Seberapa jauh perbedaan cara bersajak Toto Sudarto Bachtiar dengan cara bersajak Chairil
Anwar? Dilihat dari struktur dan pengolahan bahasanya, pergeseran itu tidak terlihat dengan tegas.
Perbedaan Toto Sudarto Bachtiar dengan Chairil Anwar terlihat cukup jelas pada sikap dan cara
pandang mereka terhadap kehidupan. Chairil Anwar menghadapi kehidupan dengan semangat
konfrontasi yang meradang-menerjang dalam sebuah pertarungan habis-habisan. Pandangan
Chairil bahwa hidup tak lain merupakan sebuah pertarungan habis-habisan. Hal ini bahkan terlihat
pada sikapnya terhadap Tuhan: ... ini ruang/Gelanggang kami berperang/Binasa membinasa/Satu
menista lain gila (Sajak “Di Mesjid”). Di saat-saat akhir hayatnya, ketika ia sudah mulai lebih
ikhlas dan pasrah terhadap kehidupan, Chairil menulis sajak “Derai-derai Cemara” yang indah itu,
dimana dalam sajak itu tertulis Hidup hanya menunda kekalahan/tambah terasing dan cinta
sekolah rendah/dan tahu, ada yang tetap tak terucapkan/sebelum akhirnya kita menyerah.
Perhatikan kata-kata yang dicetak tebal. Disana nyata, bahkan pada saat itu ia berada dalam situasi
pasrah pun, Chairil masih melihat kehidupan sebagai sebuah pertarungan, ada yang kalah dan ada
yang menang dan ada yang menyerah.
Toto Sudarto Bachtiar tidak melihat kehidupan dalam semangat konfrontasi. Segala gerak
kehidupan, alam dan orang-orang di sekitarnya, disapanya dengan mesra dan penuh kasih sayang.
Maka, jika Chairil Anwar menuliskan sajak-sajaknya dalam warna-warna yang terang dan
meledak-ledak seperti lukisan-lukisan Affandi, Toto Sudarto Bachtiar menuliskan sajak-sajaknya
seperti lukisan cat air, dalam sapuan-sapuan warna yang lembut dan berkabut.
Pandangan keduanya tentang peminta-minta, bisa dijadikan contoh perbedaan sikap Toto
Sudarto Bachtiar dengan Chairil.
Kepada Peminta-minta

Baik, baik aku akan menghadap Dia


Menyerahkan diri dari segala dosa
Tapi jangan tentang lagi
aku nanti darahku jadi beku

Bandingkan dengan petikan sajak Toto Sudarto Bachtiar


Gadis Peminta-minta

Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil


Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa

Pada sajak Chairil terasa ada nada kegeraman dan sekaligus kepedihan. Sementara pada
sajak Toto Sudarto Bachtiar yang ada adalah nada kemesraan dan keharuan terhadap si peminta-
minta. Bagi Chairil, kehadiran pemita-minta itu : Mengganggu dalam mimpiku/Menghempas aku
di bumi keras/Di bibirku terasa pedas/Mengaum di telingaku. Sementara bagi Toto Sudarto
Bachtiar, kehadiran peminta-minta itu demikian dirindukan, hingga mengatakan: Ingin aku ikut,
gadis kecil berkaleng kecil/Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok! Hidup dari kehidupan
angan-angan yang gemerlap/ Gembira dan kemayaan riang.
Dalam sebagian besar sajak-sajaknya, selain memotret kehidupan sehari-hari yang
diakrabinya, Toto Sudarto Bachtiar juga cenderung bercerita tentang orang-orang kecil. Rupanya
Toto Sudarto Bachtiar tidak kelewat tertarik untuk memotret saat-saat dramatis dalam kehidupan
manusia atau menuliskan tema-tema revolusioner, peralihan sebuah jaman atau situasi to be or not
to be manusia. Pandangannya terhadap kehidupan sebagai sesuatu yang bukan konfrontatif,
keakraban dan perhatiannya yang besar pada hidup keseharian dan serba biasa, serta kemesraanya
pada alam dan manusia membuat tema-tema yang bahkan keras sekalipun, hadir demikian lembut
dan tanpa gejolak. Kematian seorang serdadu dalam revousi yang banyak dituliskan orang dengan
nada kepahlawanan (heroik), serta dengan penggambaran yang dramatik, pada Toto Sudarto
Bachtiar justru ditulis dengan mengambil jarak 10 tahun kemudian, sebagaimana ditunjukkan oleh
sajaknya “Pahlawan Tak Dikenal”. Kematian seorang serdadu muda, dalam sajak itu hadir dalam
sebuah bentuk kenang-kenangan. Di sana, kematian dikontraskan (tapi juga disejajarkan) dengan
tidur. Serdadu itu, dimunculkan Toto tanpa nama, kecuali bahwa Ia seorang muda. Serdadu itu
tidak menjadi sesuatu yang ditokohkan atau dijadikan monumen, yang berteriak “kenang-
kenanglah kami”.
Nada dasar hampir semua sajak-sajak Toto Sudarto Bachtiar adalah kemesraan dan
kehangatan dalam menyapa segala sesuatu. Itulah boleh jadi yang menyebabkan sajak-sajaknya
hadir demikian penuh kesederhanaan dan kemesraan. Ajip Rosidi pernah membuat antologi
Jakarta dalam Puisi Indonesia (1972). Dalam buku itu, Ajip mengumpulkan sajak-sajak dari
pelbagai penyair mengenai kota Jakarta. Diantara sekian banyak penyair Indonesia yang menulis
tentang Jakarta, Toto Sudarto Bachtiar bisa dibilang satu-satunya penyair yang menulis tentang
ibu kota Indonesia itu dengan begitu mesra dan penuh kasih sayang.’. . .0 kota kekasih! Tekankan
aku pada pusat hatimu/Ditengah-tengah kesibukanmu dan penderitaanmu” , demikian tulis Toto
Sudarto Bachtiar dalam sajaknya yang terkenal “Ibu Kota Senja”.
Ternyata dalam sajak itu pula Toto Sudarto Bachtiar menuliskan sikap dan visinya dalam
menulis sajak yakni:...Aku tiada tahu apa-apa, di luar yang sederhana/Nyanyian-nyanyian
kesenduan yang bercanda kesedihan. Menunggu waktu keteduhan terlanggar pintu dinihari/Serta
di keabadian mimpi-mimpi manusia.
Rupanya, Toto Sudarto Bachtiar ingin menuliskan sajak-sajaknya sebagai nyanyian-
nyanyian kesenduan yang bercanda kesedihan/Menunggu waktu keteduhan terlanggar di pintu
dinihari/Serta di keabadian mimpi-mimpi manusia sebagai bahan bagi sajak-sajaknya. Hal ini
terlihat jelas pada sajak-sajaknya berikut ini:
Ibu Kota Senja

Penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari


Antara kuli-kuli berdaki dan perempuan telanjang mandi
Di sungai kesayangan, o kota kekasih
Klakson oto dan lonceng trem saing menyaingi
Udara menekan berat di atas jalan panjang berkelokan

Gedung-gedung dan kepala mengabur dalam senja


Mengurai dan layung-layung membara di langit barat daya
0, kota kekasih
Tekankan aku pada pusat hatimu
Di tengah-tengah kesibukanmu dan penderitaanmu

Aku seperti mimpi, bulan putih di lautan awan belia


Sumber-sumber yang murni terpendam
Senantiasa diselaputi bumi keabuan
Dan tangan serta kata menahan napas lepas bebas
Menunggu waktu mengangkut maut
Aku tiada tahu apa-apa, di luar yang sederhana
Nyanyian-nyanyian kesenduan yang bercanda kesedihan
Menunggu waktu keteduhan terlanggar di pintu dinihari
Serta di keabadian mimpi-mimpi manusia

Klakson dan lonceng bunyi bergiliran


Dalam penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari
Antara kuli-kuli yang kembali
Dan perempuan mendaki tepi sungai kesayangan
Serta anak-anak yang berenangan tertawa tak berdosa
Di bawah bayangan samar istana kejang
layung-layung senja melambung hilang
dalam hitam malam menjultur tergesa

Sumber-sumber murni menetap terpendam


Senantiasa diselaputi bumi keabuan
Serta senjata dan tangan menahan napas lepas bebas
0, kota kekasih setelah senja
Kota kediamanku, kota kerinduanku
1951
MALAM LAUT

Karena laut tak pernah takluk


Karena laut tak pernah dusta, lautlah aku
Terlalu hampir tapi terlalu sepi
Tetangkap sekali terlepas kembali
Ah, malam, gumpalan cahaya yang selalu berubah warna
Beginilah bila mimpi menimpa harapan banci
Tak kusangka serupa dara
Sehabis mencium bisa mendera
Karena laut tak pernah takluk, mereka tak tahu aku di mana
Karena laut tak pernah dusta, ‘ku tak tahu cintaku di mana
Terlalu hampir tetapi terlalu sepi
Tertangkap sekali terlepas kembali
1953

Gadis Peminta-minta

Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil


Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa
Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dan kehidupan angan-angan gemerlapan
Gembira dan kemayaan riang
Duniamu yang lebih tinggi dan menara katedral
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kau hafal
Jiwa begitu murni, terlalu murni
Untuk bisa membagi dukaku
Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu, tak ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda
1955

Tentang Kemerdekaan

Kemerdekaan adalah tanah air dan laut semua suara


Janganlah takut kepadanya
Kemerdekaan adalah tanah air penyair dan pengembara
Janganlah takut kepadanya
Kemerdekaan adalah cinta yang mesra
Bawalah daku kepadanya
1953
Pahlawan Tak Dikenal

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring


Tetapi bukan tidur, sayang
sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang
Dia tidak ingat bila dia datang
Kedua lengannya memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang
Wajah sunyi setengah tengadah
Menangkap sepi padang senja
Dia masih sangat muda
Hari itu 10 November, hujanpun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata: aku sangat muda
1955

Anda mungkin juga menyukai