Anda di halaman 1dari 8

Langkah-langkah dalam Membuat Deskripsi Perbedaan Unsur Kebahasaan

Analisis penentuan unsur-unsur bahasa yang berbeda dilakukan dengan menggunakan


metode padan intralingual (PI) dengan teknik dasar hubung banding intralingual (THBI) dan
teknik lanjutan hubung banding (HB) membedakan (HBB). Realisasinya, dilakukan melalui cara
pengidentifikasian bentuk-bentuk yang menjadi realisasi dari suatu makna tertentu pada setiap
daerah pengamatan. Bentuk realisasi yang berbeda dari satu daerah pengamatan dengan daerah
pengamatan lainnya didaftarkan dalam sebuah tabel tabulasi data, sedangkan bentuk realisasi
makna tertentu yang tidak memperlihatkan perbedaan diabaikan (tidak didaftarkan). Hal ini
dimaksudkan karena penelitian secara dialektologis bertujuan, salah satunya, mencari perbedaan
untuk tujuan pengelompokan isolek.
Ada dua jenis lembar tabulasi yang berhubungan dengan deskripsi perbedaan unsur
kebahasaan. Lembar tabulasi pertama, disebut juga tabulasi tahap I, berisi hal-hal yang berkait
dengan kode glos, bentuk yang menjadi realisasi makna tertentu itu menurut daerah
pengamatannya. Pada lembar tabulasi tahap I ini semua bentuk yang menjadi realisasi makna/glos
tertentu diurut menurut bentuk-bentuk yang dihipotesiskan sebagi bentuk-bentuk yang diturunkan
dari sebuah bentuk purba. Dengan kata lain, diurut menurut bentuk-bentuk yang diduga berasal dari
satu etimon. Untuk jelasnya akan ditampilkan contoh format tabulasi data tahap I sebagai berikut.
TABULASI DATA TAHAP I

No. Kode/Glos Bentuk Realisasi Daerah Pengamatan
1. I.1 abu abu 1,2,3,4,7,10,11,12
abuq 6,8
abu: 15
habu 19,20,24
habuq 5
ahuq 17,18
awau 9,13,16
awu: 14
apOq 22
amuq 23
blOnOr 25
2. 1.4 alir maŋalir 1,3,4,10,14
maqli 16
maqalir 17,19,20,33,34
halir 23
alir 9,30,31,38
larut 2,13,18
hayut 7
haňut 8,15
marEh 28
mar∂h 22
mandor 25
makandor 25
menculu 6
landas 5,12,35
luňňur 21
mac:O 27
ňuru:h 29
mandusur 32
mili 26,36,37
pasaŋ 11
mEpes 24
Catatan: Data ini diambil dari data pemetaan yang dikumpulkan di wilayah Kalimantan Selatan

Perhatikan cara pengurutan bentuk-bentuk yang menjadi realisasi glos/makna ‘abu’ dan
‘alir’ di atas. Untuk glos/makna ‘abu’ pada urutan pertama sampai urutan terakhir sebelum bentuk:
blOnOr adalah bentuk-bentuk yang diduga berasal dari satu etimon, yang dibedakan dari etimon
blOnOr itu sendiri. Dengan demikian, di wilayah Kalimantan Selatan ditemukan dua etimon yang
digunakan untuk merefleksikan makna ‘abu’, yaitu etimon habuq, yang refleksnyanya mulai dari
abu sampai dengan amuq dan etimon blOnOr.
Selanjutnya, untuk makna ‘alir’ direalisasikan dengan 21 bentuk, yang dapat dikelompokkan
ke dalam 13 etimon, yaitu etimon halir yang refleksnya mulai dari maŋalir sampai alir, etimon
haňut yang refleksnya mulai dari : larut dan haňut, etimon mar∂h yang refleksnya: marEh dan
mar∂h, etimon makandor yang refleksnya makandor dan mandor, etimon: menculuq, landas,
luňňur, mac:O, ňuru:h, mandusur, milih, pasaŋ, dan mEpes.
Apa yang tergambar pada tabulasi tahap I di atas merupakan klasifikasi data lapangan yang
belum mencerminkan pengkategorisasian data atas dasar aspek linguistik yang dideskripsikan
pebedaannya. Maksudnya, pada deskripsi perbedaan unsur kebahasaan di atas belum terlihat mana
perbedaan fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik. Dengan kata lain, kita belum
memperoleh gambaran, bentuk mana yang berbeda secara fonologi, morfologis, sintaktis, leksikal,
atau semantik, sesuai tujuan deskripsi yang hendak dilakukan. Kita andaikan tujuan penelitian kita
adalah membuat deskripsi perbeda pada tataran fonologi dan leksikon, maka kita akan memperoleh
tabulasi tahap II berikut ini, melalui tahapan berikut ini.
a. Tentukan kaidah fonologis bentuk-bentuk yang diduga merupakan refleks dari
etimon yang sama;
b. Untuk membuat kaidah yang memperlihatkan lingkungan tempat berlakunya
kaidah, maka tentukan secara hipotetis bahwa bentuk yang lebih kompleks
sebagai bentuk yang menjadi asal/etimon dari bentuk-bentuk yang seetimon
tersebut;
c. Pemilihan bentuk yang lebih kompleks sebagai bentuk etimonnya didasarkan pada
pandangan historis bahwa kecendrungan universal bahasa berkembang dari
bentuk yang lebih kompleks ke bentuk yang lebih sederhana (dari bentuk yang
panjang ke bentuk yang lebih pendek);
d. Penentuan pasangan perubahan bunyi dalam pembuatan kaidah fonologis juga
didasarkan pada pandangan historis bahwa bunyi konsonan akan berubah atau
selalu muncul sebagai konsonan bukan sebagai vokal dan bunyi vokal akan
berubah atau selalu muncul sebagai vokal, bukan sebagai konsonan;
e. Mulailah membuat kaidah perbedaan fonologi dengan mengidentifikasi perbedaan
pada posisi awal, menyusul ke posisi tengah (antarvokal atau antar konsonan), dan
akhir baik dalam silabe ultima, penultima, atau antepenultima.
f. Apabila beberapa bentuk yang seetimon memiliki lebih dari satu kemungkinan
pengkaidahan, maka setiap kemungkinan pengkaidahan ditempatkan dalam
alternatif pemetaan yang berbeda. Perhatikan misalnya, semua bentuk untuk glos
‘abu’ dapat dibuat kaidah fonolgis pada tiga posisi, yaitu awal (kaidah 1a), tengah/
antarvokal (kaidah 2a), dan akhir (kaidah 3a). Ketiga posisi itu masing-masing
munculnya tiga alternatif pemetaan, berbeda dengan kemungkinan pemetaan
untuk glos ‘alir’;
g. Setiap alternatif pemetaan (secara verbal) itu harus memuat informasi tentang
bentuk-bentuk yang menjadi realisasi makna tersebut serta sebaran geografisnya.
Perhatikan dan bandingkan misalnya alternatif peta pertama, kedua, atau ketiga
untuk makna ‘abu’ yang memperlihatkan semua refleks etimon habu?, terlihat
dalam ketiga alternatif pemetaannya, mulai dari abu sampai blOnOr, begitu pula
utnuk glos/makna ‘alir’, kedua alternatif pemetaannya memperlihatkan sebaran
pemakain bentuk-bentuk yang menjadi reflaks etimon-etimon yang menjadi
realisasi glos/makna itu: mulai dari maŋalir sampai mEpes.
h. Apabila bentuk-bentuk yang menjadi realisasi makna itu dapat dikelompokkan ke
dalam beberapa etimon, maka setiap kelompok yang mmiliki lebih dari satu
refleks harus dikaidahkan, kecuali refleks-refleks dari etimon itu memiliki sebaran
geografis yang sama. Sebagai contoh untuk glos/makna ‘alir’ yang terdapat 14
kelompok etimon, 4 etimon di antaranya memiliki refleks lebih dari satu bentuk.
Namun salah satu dari empat etimon yang memiliki lebih dari satu refleks itu
memiliki sebaran geografis yang sama, yaitu etimon makandor yang refleksnya
berupa: makandor dan mandor. Oleh karena kedua bentuk ini memiliki sebaran
geografis yang sama, maka keduanya hanya merupakan alternasi bebas dari
refleks sebuah etimon yang sama, maka tidak perlu dikaidahkan. Keduanya
berbeda secara fonologis tetapi tidak memperlihatkan perbedaan sebaran
geografis. Yang perlu dipetakan adalah bentuk yang berbeda secara fonologis
sekaligus menunjukkan perbedaan sebaran geografis.
i. Setiap kaidah fonologis untuk setiap etimonnya ditempatkan dalam alternatif
pemetaan yang berbeda, selama bentuk-bentuk yang seetimon itu dapat dikaidah
secara lengkap: posisi awal, tengah, dan akhir.
j. Apabila hanya dapat dikaidah satu kali, maka kaidah itu akan muncul berulang-
ulang pada alternatif pemetaan yang berbeda, sejumlah kemungkinan pemetaan
bentuk-bentuk yang menjadi realisasi makna tersebut. Perhatikan, misalnya
kaidah 2c pada makna ‘alir’ yang muncul dalam kedua alternatif pemetaan
bentuk-bentuk yang menjadi realisasi makna tersebut.
k. Urut-urutan bunyi dalam pengkaidahan harus konsisten. Artinya, apabila pada
pengkaidahan dalam glos/makna tertentu digunakan urutan kaidah: Ø ~ h / #-,
maka pemetaan pada alternatif pemetaan glos lainnya harus mengikuti urutan
tersebut. Bahwa mana yang lebih dahulu [Ø] atau [h] atau sebaliknya tidaklah
menjadi persoalan, karena pembedaan pada tataran ini masih bersifat horizontal
bukan vertikal, yang penting selalu konsisten dengan pengurutan terssebut.
l. Baik deskripsi perbedaan unsur kebaasaan dalam bentuk tabulasi I dan tabulasi
II,kedua-duanya disebut sebagai peta verbal, karena kedua-duanya
memperlihatkan semua bentuk yang menajasi realisasi makna itu ditampilkan
disertai dengan tempat bentuk itu digunakan. Hanya saja, tailannya tidak dalam
bentuk peta geografis, tetapi terurai secara verbal.

Penerapan prinsip-prinsip di atas dapat diperlihatkan dalam tabulasi atau peta verbal kedua
berikut ini.

TABULASI DATA/PETA VERBAL TAHAP II

No. Kode/Glos Bentuk Realisasi Daerah Pengamatan
1. I.1 abu 1. a. Ø ~ h / #-
abu, aw(u,u:), 1,2,3,4, 6, 7, 8, 9,10,11,12,13,
a(b,h)uq, 14,15,16,17,18,22,23
awau, apOq, amuq

hab(u,uq) 5, 19,20,24

b. blOnOr 25
2. a. b~w~h~p~m / V-V
hab(u,uq) 1,2,3,4, 5,6, 7, 8,10,11,12,15,19,20,24
ab(u,u:,uq)

Aw(au,u:) 9,13, 14,16

ahuq 17,18

apOq 22
amuq 23

b. blOnOr 25
3. a. u~u:~uq~au~~Oq/-#
(h)abu 1,2,3,4,7,10,11,12, 19,20,24

a(b,w)u: 14,15

habuq 5,6,8,17,18,23
a(b,h,m)uq

awau 9,13,16

apOq 22

b. blOnOr 25
2. 1.4 alir 1. a. Ø ~h/#-
(maŋ, maq,m)alir 1,3,4,9,10,14,16,17,19,20,30,31,33,34,38

halir 23

b. l~h/#-
larut 2,13,18

ha(y, ň)ut 7,8,15

c. E~∂/K-K#
marEh 28
mar∂h 22
d. m(ak)andor 25
e. larut 2,13,18
f. menculu 6
g. landas 5,12,35
h. luňňur 21
i. mac:O 27
j. ňuru:h 29
k. mandusur 32
l. mili 26,36,37
m. pasaŋ 11
n. mEpes 24
2. a. i~I/-r#
(maŋ, maq,m)alir 1,3,4,9,10,14,16,17,19,23,30,31,38
halir

maqalIr 20,33,34
b. r~y~ň/V-V
larut 2,13,18
layut 7
haňut 8,15
c. E~∂/K-K#
marEh 28
mar∂h 22
d. m(ak)andor 25
e. larut 2,13,18
f. menculuq 6
g. landas 5,12,35
h. luňňur 21
i. mac:O 27
j. ňuru:h 29
k. mandusur 32
l. mili 26,36,37
m. pasaŋ 11
n. mEpes 24

Data yang telah direduksi menjadi peta verbal II, selanjutnya dipindahkan ke dalam peta peragaan
(display map) atau peta geografis sehingga bentuk-bentuk tersebut terlihat dalam perspektif
geografis di mana bentuk itu digunakan. Pemetaan secara geografis ini merupakan tujuan akhir dari
tahapan kerja reduksi data di atas.

Anda mungkin juga menyukai