Anda di halaman 1dari 7

RESUME

MAKNA DAN MASALAHNYA


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah semantik

Dosen Pengampu:
Sari Ani, M.pd

Disusun Oleh:
1. Wafiqul Hidayat 21032037
3. Saidatul Wafiyah 20032120

UNIVERSITAS ISLAM DARUL ULUM LAMONGAN


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN BAHASA DAN SATRA INDONESIA
TAHUN 2022/2023

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................. ii

RESUME PEMBAHASAAN........................................................................1
1.1 Pengertian Makna........................................................................ 1
1.2 Informasi...................................................................................... 2
1.3 Maksud.........................................................................................2
1.4 Tanda, Lambang, Konsep, dan Definisi.......................................3
1.5 Beberapa Kaidah Umum..............................................................4

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 5

ii
RESUME PEMBAHASAN
MAKNA DAN MASALAHNYA
1.1 Pengertian Makna
Teori yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure, bapak linguistik modern yang
namanya sudah disebut-sebut pada bab pertama, yaitu mengenai yang disebut tanda
linguistik (Prancis: signe’ linguistique). Menurut de Saussure setiap tanda linguistik
terdiri dari dua unsur, yaitu yang diartikan (signifie”, signified) sebenarnya tidak lain dari
pada konsep atau makna dari sesuatu tanda bunyi. Sedangkan yang mengartikan (signfian
atau signifier) itu adalah tidak lain dari pada bunyi-bunyi itu, yang terbentuk dari fonem-
fonem bahasa yang bersangkutan. Jadi, dengan kata lain setiap tanda-linguistik terdiri dari
unsur bunyi dan unsur makna Kedua unsur ini adalah unsur dalam-bahasa (intralingual)
yang biasanya merujuk/mengacu kepada sesuatu referen yang merupakan unsur luar-
bahasa (ekstralingual).
Umpamanya tanda linguistik yang dieja <meja>. Tanda ini terdiri dari unsur makna
atau yang diartikan ‘meja’ (Inggris: table) dan unsur bunyi atau yang mengartikan dalam
wujud runtunan fonem [m, e, j, a]. Lalu tanda <meja> ini, yang dalam hal ini terdiri dari
unsur makna dan unsur bunyinya mengacu kepada suatu referen yang berada di luar
bahasa, yaitu sebuah meja, sebagai salah satu perabot rumah tangga. Kalau kata <meja>
adalah sebagai hal yang menandai (tanda-linguistik), maka sebuah <meja> sebagai
perabot ini adalah hal yang ditandai. Dalam bagan berikut sekali lagi secara lengkap
digambarkan kaitan antara kata (meja) dengan maknanya, yaitu ‘meja’, realisasi
bunyinya, yaitu (m, e, j, a) dan referennya yaitu sebuah meja. Apa setiap tanda linguistik
selalu berwujud sebuah kata? Jawabannya adalah tidak selalu. Sebuah tanda linguistik
dapat juga berwujud sebuah gabungan kata (yang dalam dunia pengajaran dikenal dengan
nama kata majemuk ), misalnya meja hijau yang bermakna ‘pengadilan’ sampul surat
yang bermakna ‘amplop’, dan mata sapi yang bermakna ‘telur yang digoreng tanpa
dihancurkan’. Sebetulnya dalam bidang semantik istilah yang biasa digunakan untuk
tanda-linguistik itu adalah leksem, yang lazim didefinisikan sebagai kata atau frase yang
merupakan satuan bermakna (Harimurti 1982: 98). Sedangkan istilah kata, yang lazim
didefinisikan sebagai satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri dan dapat terjadi dari
morfem tunggal atau gabungan morfem (Harimurti 1982: 76) adalah istilah dalam bidang
gramatika. Dalam buku ini kedua istilah itu dianggap pengertian yang sama sebab, baik
kata maupun leksem bisa berwujud kata tunggal maupun gabungan kata (frase idiomatik).
Bedanya hanya leksem adalah istilah dalam bidang semantik sedangkan kata adalah
istilah dalam bidang gramatika.
Pada bab terdahulu sudah disebutkan bahwa bahasa itu berupa sistem tanda-bunyi:
Oleh karena itu, banyak orang mengartikan sebuah kata atau leksem, sebagai tanda-bunyi,
sama dengan fonis atau deretan fonem-fonem yang membentuk kata itu. Lalu, oleh karena
itu pula dalam pembicaraan tentang semantik yang dibicarakan adalah hubungan antara
kata itu dengan konsep atau makna dari kata tersebut, serta benda atau hal yang dirujuk
oleh makna itu yang berada di luar dunia bahasa. Hubungan antara ketiganya itu disebut
hubungan referensial; biasanya dibagankan dalam bentuk segitiga semantik.
Segitiga semantik itu pada awalnya berasal dari Ogden dan Richard (1923). Untuk sudut
(a) Ogden dan Richard menggunakan istilah symbol, untuk sudut (b) digunakan istilah
thought atau reference dan untuk sudut (c) digunakan istilah referent. Hubungannya

1
adalah symbal melambangkan thought atau reference itu, sedangkan thought atau
reference merujuk kepada referent. Oleh Lyons (1977) istilah symbol diganti dengan sign,
istilah thought atau reference diganti dengan concept; dan istilah referent diganti dengan
significatum atau thing. Kemudian lyons menyamakan sign sama dengan leksem. Jadi,
menurut peristilahan lyons leksem melambangkan konsep dan konsep menandai sesuatu.

1.2 Informasi
Di atas sudah disebutkan bahwa makna adalah unsur dari sebuah kata atau lebih tepat
sebagai gejala dalam ujaran (Utte rance-internal phenomenon). Maka dari itu, ada prinsip
umum dalam semantik yang menyatakan bahwa kalau bentuk (maksudnya bentuk kata
atau leksem) berbeda maka makna pun berbeda, meskipun barangkali perbedaannya itu
hanya sedikit. Jadi, kata ayah dan bapak karena bentuknya berbeda maka maknanya pun
berbeda. Begitu juga dengan kalimat Dika menendang bola dan kalimat Bola ditendang
Dika, maknanya juga berbeda. Namun, sampai saat ini banyak orang, termasuk juga
banyak linguis, yang menyatakan bahwa kata ayah sama maksudnya dengan kata bapak,
sebab keduanya sama-sama mengacu pada orang tua laki-laki. Begitu pun kalimat Dika
menendang bola sama maknanya dengan Bola ditendang Dika, sebab keduanya memberi
pengertian, keterangan, atau informasi yang sama.
Sesungguhnya pendapat mereka itu keliru kalau dilihat dari prinsip umum di atas.
Tetapi, mengapa terjadi demikian? Di sini kiranya mereka mengacaukan pengertian
tentang makna dengan pengertian informasi. Makna, seperti sudah disebut-sebut di atas,
adalah gejala dalam ujaran (utterance-internal phenomenon), padahal informasi adalah
gejala-luar-ujaran futterance-external phenomenon ). Kata ayah dan bapak memang
memberi informasi yang sama, yaitu orang tua laki-laki; tetapi maknanya tetap tidak
persis sama karena bentuknya berbeda. Selain itu kita pun dapat menguji dan
distribusinya. Dalam kalimat Ayah saya sakit, kata ayah dapat kita ganti dengan kata
bapak sehingga menjadi Bapak saya sakit Tetapi dalam frase Bapak Presiden yang
terhormat, tidak dapat diganti menjadi Ayah Presiden yang terhormat Begitu juga dengan
kalimat Dika menendang bola dan Bola ditendang Dika Keduanya memang memberi
informasi yang sama, yaitu “Dika menendang bola Tetapi maknanya jelas tidak sama;
kalimat Dika menendang bola mengandung makna aktif, sedangkan kalimat Bola
ditendang Dika mengandung makna pasif. Bagaimana dengan kalimat Bola ditendang
Dika dan kalimat Bola ditendang oleh Dika? Banyak orang mengatakan bahwa kedua
kalimat itu pun sama, sebab kehadiran preposisi oleh pada kalimat itu bersifat opsional.
Tetapi sebenarnya makna kedua kalimat itu pun tidak sama Kehadiran preposisi oleh pada
kalimat kedua memberi makna penonjolan akan adanya pelaku, sedangkan pada kalimat
pertama penonjolan akan adanya pelaku itu tidak ada. Namun, memang informasi yang
diberikan oleh kedua kalimat itu sama.

1.3 Maksud
Di atas telah dibicarakan bedanya makna dengan informasi. Makna adalah gejala
dalam ujaran, sedangkan informasi adalah gejala-luar-ujaran. Selain informasi sebagai
sesuatu yang luar ujaran ada lagi sesuatu yang lain yang juga luar-ujaran, yaitu yang
disebut maksud.
Informasi dan maksud sama-sama sesuatu yang luar-ujaran. Hanya bedanya kalau
informasi itu merupakan sesuatu yang luar ujaran dilihat dari segi objeknya atau yang

2
dibicarakan; sedangkan maksud dilihat dari segi si pengujar, orang yang berbicara, atau
pihak subjeknya. Di sini orang yang berbicara itu mengujarkan suatu ujaran entah berupa
kalimat maupun frase, tetapi yang dimaksudkannya tidak sama dengan makna lahiriah
ujaran itu sendiri. Di simpang simpang jalan di Jakarta banyak pedagang asongan
menawarkan barang dagangannya kepada para pengemudi atau penumpang kendaraan
(yang kebetulan kendaraannya tertahan ans lalu lintasi dengan kalimat tanya “Koran,
korant” atau “Jeruk, Pak Padahal mereka tidak bermaksud bertanya, melainkan
bermaksud menawarkan. Contoh lain, seorang ayah setelah memeriksa buku rapor
anaknya, dan melihat bahwa angka-angka dalam buku rapor itu banyak yang merah,
berkata kepada anaknya dengan nada memuji “Rapormu bagus sekali, Nak!”, Jelas, dia
tidak bermaksud memuji walaupun nadanya memuji. Dengan kalimat itu dia sebenarnya
bermaksud menegur atau mungkin juga mengejek anaknya itu.
Maksud banyak digunakan dalam bentuk-bentuk ujaran yang disebut metafora, ironi,
litotes, dan bentuk-bentuk gaya bahasa lain. Selama masih menyangkut segi bahasa maka
maksud itu masih dapat disebut sebagai persoalan bahasa. Tetapi kalau sudah terlalu jauh
dan tidak berkaitan lagi dengan bahasa maka sudah tidak dapat lagi disebut sebagai
persoalan bahasa. Mungkin termasuk persoalan bidang studi lain; entah filsafat,
antropologi, atau juga psikologi.
Sekali lagi kita perhatikan, makna menyangkut segi lingual atau dalam-ujaran,
sehingga padanya kita menemukan persoalan semantik leksikal, semantik gramatikal, dan
semantik kalimat. Sedangkan informasi menyangkut segi objek yang dibicarakan. Jadi,
informasi tidak menyangkut persoalan semantik karena sifatnya yang berada di luar
bahasa (ekstralingual). Sebaliknya maksud yang menyangkut pihak pengujar masih
memiliki persoalan semantik, asal saja lambang-lambang yang digunakan masih
berbentuk lingual.

1.4 Tanda, Lambang, Konsep, dan Definisi


Tanda dalam bahasa Indonesia pertama-tama adalah berarti 'bekas. Pukulan rotan yang
cukup keras pada punggung akan memberi bekas. Bekas pukulan itu, yang berwarna
kemerahan, menjadi tanda akan telah terjadi suatu pukulan dengan rotan pada tempat
tersebut. Pada pagi hari secerah sinar matahari yang masuk ke dalam kamar melalui
celah-celah dinding merupakan tanda bahwa hari sudah siang. Terdengarnya suara azan
atau bunyi beduk dari sebuah mesjid menjadi tanda bahwa waktunya salat telah tiba.
Menyalanya lampu lalu lintas di simpang jalan menjadi merah menjadi tanda bahwa kita
harus stop, tidak boleh berjalan terus. Dari contoh-contoh di atas kita dapat melihat
bahwa tanda dengan hal yang ditandai bersifat langsung. Coba Anda renungkan apa yang
ditandai dengan hal-hal berikut: (a) bunyi petir, (b) kokok ayam jantan di pagi hari, (c)
asap mengepul yang tampak dari kejauhan, (d) seseorang yang terduduk dengan nafas
yang tersengal-sengal (ngos-ngosan), dan (e) kulit tangan yang menebal (kapalan).
Lambang sebenarnya juga adalah tanda. Hanya bedanya lambang ini tidak memberi
tanda secara langsung, melainkan melalui sesuatu yang lain. Warna merah pada bendera
Sang Merah Putih merupakan lambang "keberanian", dan warna putih merupakan
lambang "kesucian". Gambar padi dan kapas pada burung Garuda Pancasila
melambangkan "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, sedangkan banyaknya
bulu burung garuda yang tujuh helai itu melambangkan bahwa proklamasi kemerdekaan
terjadi pada tanggal 17 Agustus. Seperti kata Ogden dan Richard (1972: 9) lambang ini

3
bersifat konvensional, perjanjian, tetapi ia dapat diorganisasi, direkam dan
dikomunikasikan. Jadi, untuk mengetahui maksud lambang-lambang itu kita harus
mempelajarinya. Bunyi-bunyi bahasa atau satuan bahasa sebenarnya termasuk lambang
sebab sifatnya konvensional. Untuk memahami makna atau yang diacu oleh bunyi-bunyi
bahasa itu kita harus mempelajarinya. Tanpa mempelajarinya, orang Inggris tidak akan
tahu bahwa <meja> dalam bahasa Indonesia itu adalah ‘table” dalam bahasanya, dan dia
juga tidak akan tahu bahwa <anjing> dalam bahasa Indonesia sama dengan ‘dog’ dalam
bahasanya. Simbol adalah kata serapan yang berpadanan dengan kata Indonesia lambang
Dalam karangan ini kedua kata itu dianggap mewakili konsep yang sama, meskipun
mungkin distribusi penggunaannya berbeda.
Konsep sebagai referen dari suatu lambang memang tidak pernah bisa "sempurna".
Oleh karena itulah kalau kita menyebut <kursi> atau <pemuda> atau lambang apa saja,
orang sering bertanya "apa yang Anda maksud dengan kursi itu?", atau juga "apa atau
siapa yang Anda maksud dengan pemuda itu?". Semua ini membuat orang berusaha
merumuskan konsep konsep yang ada dalam dunia idenya dalam suatu rumusan yang
disebut definisi atau batasan Secara umum definisi atau batasan ini memberi Tumusan
yang lebih teliti mengenai suatu konsep, walaupun definisi itu sendin seringkali juga
banyak kelemahannya (tentang definisi lebih lanjut lihat 3.3).

1.5 Beberapa Kaidah Umum


Beberapa kaidah umum yang perlu diperhatikan berkenaan dengan studi semantik.
1) Hubungan antara sebuah kata/leksem dengan rujukan atau acuannya bersifat
arbitrer. Dengan kata lain tidak ada hubungan wajib di antara keduanya.
2) Secara sinkronik makna sebuah kata/leksem tidak berubah, secara diakronik ada
kemungkinan berubah. Maksudnya, dalam jangka waktu terbatas makna sebuah
kata tidak akan berubah, tetapi dalam jangka waktu yang relatif tidak terbatas ada
kemungkinan bisa berubah. Namun, bukan berarti setiap kata akan berubah
maknanya.
3) Bentuk-bentuk yang berbeda akan berbeda pula maknanya. Maksudnya, kalau ada
dua buah kata/leksem yang bentuknya berbeda, meskipun perbedaannya sedikit,
tetapi maknanya pasti akan berbeda. Oleh karena itu, dua buah kata yang disebut
bersinonim pasti kesamaan maknanya tidak persis seratus persen. Pasti ada
perbedaannya. Secara operasional hal ini dapat dibuktikan. Misalnya kata, kini
dan sekarang adalah dua buah kata yang bersinonim. Tapi kata sekarang dalam
frase bininya yang sekarang tidak dapat diganti dengan kata kini. Konstruksi
*bininya yang kini adalah tidak gramatikal.
4) Setiap bahasa memiliki sistem semantik sendiri yang berbeda dengan sistem
semantik bahasa lain karena sistem semantik itu berkaitan erat dengan sistem
budaya masyarakat pemakai bahasa itu, sedangkan sistem budaya yang
melatarbelakangi setiap bahasa itu tidak sama.
5) Makna setiap kata/leksem dalam suatu bahasa sangat dipengaruhi oleh pandangan
hidup dan sikap anggota masyarakat yang bersangkutan. Misalnya, makna kata
babi pada kelompok masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam tidak
sama dengan kelompok masyarakat Indonesia yang bukan beragama Islam.
6) Luasnya makna yang dikandung sebuah bentuk gramatikal berbanding terbalik
dengan luasnya bentuk tersebut. Sebagai contoh bandingkan bentuk-bentuk:

4
(a) Kereta
(b) Kereta api
(c) Kereta api ekspres
(d) Kereta api ekspres malam.
(e) Kereta api ekspres malam luar biasa.
Makna kereta pada (a) sangat luas, dan lebih luas dari (b); makna kereta pada (b) lebih
luas daripada (c); sedangkan (c) masih lebih luas daripada (d); dan makna (d) masih lebih
luas dari makna (e)

DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2013. Pengantar Semantik bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta 2013.

Anda mungkin juga menyukai