Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

MEDAN MAKNA DAN KOMPONEN MAKNA


Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Semantik Bahasa Indonesia

Dosen Pengampu:
BISARUL IHSAN, M.Pd.

Disusun oleh:
Halimah Nur Sa'adah (20032028)
Irfan Firmansyah (20032043)
Rossa Cahyani Putri (20032092)

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM DARUL ‘ULUM LAMONGAN
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT karena berkat Rahmat
dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul "Medan Makna dan Komponen
Makna" dapat terselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan dan tidak lupa
pula penulis mengucapkan terimakasih kepada Bisarul Ihsan, S.Pd.,M.Pd. yang
telah membimbing kami dalam mata kuliah "Semantik Bahasa Indonesia".
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak
kekurangan, khususnya menyangkut masalah pembahasan yang semuanya itu
disebabkan oleh minimnya pengetahuan kami, maka dari itu kami butuhkan saran
dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Lamongan, 13 April 2022

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................... i


DAFTAR ISI ......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................ 1
A. Latar Belakang ....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan ................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN .................................................................. 2
A. Medan Makna ........................................................................ 2
B. Komponen Makna ................................................................. 6
C. Kesesuaian Semantis dan Gramatis ........................................ 15

BAB III PENUTUP ............................................................................. 21

A. Kesimpulan .......................................................................... 21
B. Saran ..................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 22

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semantik adalah studi tentang makna. Bagi Lehrer, semantik merupakan
bidang kajian yang sangat luas karena turut menyinggung aspek-aspek struktur
dan fungsifungsi bahasa sehingga dapat dihubungkan dengan psikologi, filsafat,
dan antropologi. Semantik sebagai ilmu, mempelajari kemaknaan di dalam bahasa
sebagaimana adanya (das Sein), dan terbatas pada pengalaman manusia. Jadi,
secara ontologis semantik membatasi masalah yang dikajinya hanya pada
persoalan yang terdapat di dalam ruang lingkup jangkauan pengalaman manusia.
Benda, kegiatan, peristiwa, proses semuanya diberi label yang disebut
lambang. Setiap lambang dibebani unsur yang disebut dengan makna. Kadang-
kadang, meskipun lambang-lambang itu berbeda-beda, tetapi makna lambang-
lambang tersebut memperlihatkan hubungan, yaitu hubungan makna. Mengapa
kata-kata ada yang berdekatan makna, ada yang berjauhan, ada yang mirip, ada
yang sama, bahkan ada yang bertentangan. Dan jika kata tersebut digabungkan
dengan kata-kata lain sehingga membentuk kalimat, apakah aspek semantik dan
sintaksis sudah sesuai atau justru kalimat tersebut tidak berterima dan
memunculkan kesalahan semantik maupun kesalahan gramatikal. Untuk itu,
makalah ini akan membahas sedikit mengenai materi tersebut yakni; Medan
Makna, Komponen Makna, dan Kesesuaian Semantik dan Sintaksis.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan medan makna itu?
2. Apakah yang dimaksud dengan komponen makna itu?
3. Apakah yang dimaksud dengan kesesuain semantik dan sintaksis itu?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan medan makna
2. Mengetahui apa yang dimaksud dengan komponen makna
3. Mengetahui apa yang dimaksud dengan kesesuaian semantik dan sintaksis.

1
BAB II
PEMBAHASAN
Kata-kata atau leksem-leksem dalam setiap bahasa dapat dikelompokkan
dalam kelompok-kelompok tertentu yang maknanya saling berkaitan atau
berdekatan karena sama-sama berada dalam satu bidang kegiatan atau keilmuan.
Umpamanya kata-kata menyalin, menghapal, menyontek, belajar, ujian, tes, guru,
murid, catatan dan buku dapat dikelompokkan menjadi satu karena semuanya
berada dalam satu bidang kegiatan yaitu bidang pendidikan dan pengajaran.
Tetapi di samping itu setiap kata atau leksem dapat juga dianalisis maknanya atas
komponen-koponen makna tertentu sehingga akan tampak perbedaan dan persama
makna antara kata yang satu dengan kata yang lain.
Kedua masalah yang saling berkaitan ini akan dibicarakan berikut ini.
A. Medan Makna
Harimurti (1982) menyatakan bahwa medan makna (semantic ficld,
semantic domain) adalah bagian dari sistem senmantik bahasa yang
menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta
tertentu dan yang dircalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya
berthubungan. Umpamanya, nama- narma warna membentuk medan Makna
tertentu. Begitu iuga dengan nama perabot rumah tangga, istilah pelayaran, istilah
olahraga, istilah perkerabatan, istilah alat pertukangan, dan sebagainya.
Kata atau unsur leksikal yang maknanya berhubunean dalam satu bidang
tertentu jumlahnya idak Sama dari satu bahasa dengan bahasa lain, sebab
berkaitan erat dengan kemajuan atau situasi budaya masyarakat bahasa yang
bersangkutan. Nama-nama warna dalam bahasa Indonesia adalah cokelat, merah,
biru, hijau, kuning, dan abu-abu, dalam hal ini putih dan hitam menurut fisika
adalah bukan warna; atau lebih tepat, putih adalah kumpulan segala macam wama,
sedangkan hitam adalah tidak ada warna sama sekali. Lain, untuk membedakan
perbedaan nuansa warna dari nama-nama warna pokok itu biasanya diberi
keterangan perbandingan di belakang nama wama itu. Misalnya merah tua, merah
muda, merah darah, merah hati, dan sebagainya. Dengan demikian, kebutuhan
akan nama pembeda dan warna-warna itu terpenuhi. Bahasa Inggris membagi
2
wama dasar menjadi sebelas nama warna, yaitu: White 'putih', red 'merah', green
'hijau', yellow 'kuning', blue 'biru', brown 'cokelat, purple 'ungu', pink 'merah
muda', orange 'oranye', dan grey 'abu-abu'. Sedangkan bahasa Hunanco, salah satu
bahasa di Filipina, hanya mengenal empat nama warna, yaitu: (ma) biru 'hitam
dan warna gelap lain', (ma) langit 'putih dan warna cerah lain', (ma) rarar
'kelompok warna merah, dan (ma) latuy 'kuning, hijau muda, dan cokelat muda'.
Nama-nama istilah perkerabatan dalam bahasa Indonesia adalah anak,
cucu, cicit, piut, bapak/ayah, ibu, kakek, nenek, moyang, buyut, paman, bibi,
saudara, kakak, adik, sepupu, kemenakan, istri, suami, ipar, mertua, menantu, dan
besan.
Kiranya istilah perkerabatan dalam bahasa Indonesia masih belum
lengkap. Kita belum punya istilah untuk hubungan antara ego, misalnya, dengan;
(1) anak dari kemenakan, (2) anak dari sepupu, (3) anak dari besan yang bukan
menantu, (4) anak dari moyang. (5) anak dari piut, dan sebagainya. Apalagi
pembedaan istilah untuk paman dan bibi dari pihak ibu dan pihak ayah. Padahal
dalam bahasa lain, bahasa Arab misalnya, punya istilah-istilah itu.
Begitu pula bahasa Jawa memiliki kosakata perkerabatan yang lebih luas
daripada bahasa Indonesia. Bagaimana dengan istilah perkerabatan dalam bahasa
daerah Anda?
Kata-kata yang berada dalam satu medan makna dapat digolongkan
menjadi dua, yaitu yang termasuk golongan kolokasi dan golongan set.

3
Keterangan:
(1) menurun
(2) + menikah
(3) Semua istilah dilihat dari ego
Kolokasi (berasal dari bahasa Latin colloco yang berarti ada di tempat
yang sama dengan) menunjuk kepada hubungan sintagmatik yang terjadi antara
kata-kata atau unsur-unsur leksikal itu. Misalnya, pada kalimat Tiang layar perahu
nelayan itu patah dihantam badai, lalu perahu itu digulung ombak, dan tenggelam
beserta isinya, kita dapati kata-kata layar, perahu, nelayan, badai, ombak, dan
tenggelam yang merupakan kata-kata dalam satu kolokasi; satu tempat atau
lingkungan. Jadi, kata-kata yang berkolokasi ditemukan bersama atau berada
bersama dalam satu tempat atau satu lingkungan. Kata-kata layar, perahu, badai,
ombak, dan tenggelam di atas berada dalam satu lingkungan, yaitu dalam
pembicaraan mengenai laut. Contoh lain, kata-kata lahar, lereng, puncak, curam,
dan lembah berada dalam lingkungan mengenai pegunungan. Kata-kata garam,
gula, lada, bumbu, sayur, daging, dan garam berkolokasi dalam pembicaraan
tentang dapur. Sedangkan kata-kata gol, kiper, wasit, penjaga garis, penyerang

4
tengah, dan pemain belakamg berkolokasi dalam pembicaraan tentang olahraga
sepakbola.
Dalam pembicaraan tentang jenis makna ada juga istilah kolokasi, yaitu
jenis makna kolokasi. Yang dimaksud di sini adalah makna kata yang tertentu
berkenaan dengan keterikatan kata tersebut dengan kata lain yang merupakan
kolokasinya. Misalnya kata tampan, cantik, dan indah sama-sama bermakna
denotatif 'bagus'. Tetapi kata tampan memiliki komponen atau ciri makna [+laki-
laki] sedangkan kata cantik memiliki komponen atau ciri makna [- laki laki]; dan
kata indah memiliki komponen atau ciri makna [- manusia]. Oleh karena itulah,
ada bentuk-bentuk pemuda tampan, gadis cantik, dan pemandangan indah,
sedangkan bentuk *pemuda indah, "gadis tampan, dan pemandangan cantik tidak
dapat diterima.
Kalau kolokasi menunjuk pada hubungan sintagmatik karena sifatnya yang
linear maka set menunjuk pada hubungan paradigmatik karena kata-kata atau
unsur-unsur yang berada dalam suatu set dapat saling menggantikan. Suatu set
biasanya berupa sekelompok unsur leksikal dari kelas yang sama yang tampaknya
merupakan satu kesatuan. Setiap unsur leksikal dalam suatu set dibatasi oleh
tempatnya dalam hubungan dengan anggota-anggota dalam set tersebut. Misalnya
kata remaja merupakan tahap pertumbuhan antara kanak-kanak dengan dewasa;
sejuk adalah suhu di antara dingin dengan hangat. Maka kalau dibagankan kata-
kata yang berada dalam satu set dengan kata remaja dan sejuk adalah sebagai
berikut:
SET bayi dingin
(paradigmatik) kanak-kanak sejuk
remaja hangat
dewasa panas
manula terik
Pengelompokon kata berdasarkan kolokasi dan sel dapat memberikan
gambaran yang jelas mengenai teori medan makna, meskipun makna unsur-unsur
leksikal itu sering bertumpang tindih dan batas-batasnya seringkali juga menjadi
kabur. Selain itu pengelompokan ini juga kurang memperhatikan perbedaan antara
5
yang disebut makna denotasi dan makna konotasi; antara makna dasar dari suatu
kata atau leksem dengan makna tambahan dari kata itu. Misalnya kata remaja
dalam contoh di atas hanya menunjuk pada jenjang usia, yang barangkali antara
14 17 tahun. Padahal kata remaja juga sekaligus mengandung pengertian atau
makna tambahan belum dewasa, keras kepala, bersifat kaku, suka mengganggu
dan membantah, serta mudah berubah-ubah sikap, pendirian, atau pendapat.
Pendek kata pendirian mereka masih labil. Contoh lain, kata wanita, selain
bermakna dasar manusia dewasa berkelamin betina, juga memiliki makna
tambahan seperti modern, berpendidikan cukup, tidak berkebaya, dan sebagainya.
Oleh karena itu, secara semantik diakui bahwa pengelompokan kata atau
unsur-unsur leksikal secara kolokasi dan set hanya menyangkut satu segi makna,
yaitu makna dasarnya saja. Sedangkan makna seluruh tiap kata atau unsur leksikal
itu perlu dilihat dan dikaji secara terpisah dalam kaitannya dengan penggunaan
kata atau unsur leksikal tersebut di dalam pertuturan. Setiap unsur leksikal
memiliki komponen makna masing-masing yang mungkin ada persamaannya dan
ada perbedaannya dengan unsur leksikal lainnya.
B. Komponen Makna
Komponen makna atau komponen semantik (semantic feature, semantic
property, atau semantic marker) mengajarkan bahwa setiap kata atau unsur
leksikal terdiri dari satu atau beberapa unsur yang bersama-sama membentuk
makna kata atau makna unsur leksikal tersebut. Misalnya, kata ayah mengandung
komponen makna atau unsur makna: + insan, + dewasa, + jantan, dan + kawin;
dan ibu mengandung komponen makna: +insan, + dewasa, -jantan, dan + kawin.
Maka kalau dibandingkan makna kata ayah dan ibu adalah menjadi seperti terlihat
pada tabel dibawah ini.
Perbedaan makna antara kata ayah dan ibu hanyalah pada ciri makna atau
komponen makna: ayah memiliki makna 'jantan', sedangkan kata ibu tidak
memiliki makna 'jantan'.

6
Komponen makna Ayah Ibu
1. Insan + +
2. Dewasa + +
3. Jantan + -
4. kawin + +

Keterangan: tanda + berarti mempunyai komponen makna tersebut, dan


tanda - berarti tidak mempunyai komponen makna tersebut.
Cara menganalisis seperti ini sebenarnya bukan barang baru . R. Jacobson
dan Morris Halle dalam laporan penelitian mereka tentang bunyi bahasa yang
berjudul Preliminaries to Speech Analysis: The Distinctive Features and their
Correlates telah menggunakan cara analisis seperti itu. Dalam laporan itu mereka
mendeskripsikan bunyi-bunyi bahasa dengan menyebutkan ciri-ciri pembeda di
antara bunyi yang satu dengan bunyi yang lain. Bunyi-bunyi yang memiliki
sesuatu ciri diberi tanda plus (+) dan yang tidak memiliki ciri itu diberi tanda
minus (-). Umpamanya bunyi-bunyi /p/, /b/, /t/, dan /d/ memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:

Ciri – ciri /p/ /b/ /t/ /d/


pembeda
Hambat + + + +
Bilabial + + - -
bersuara - + - +

Analisis ini mengandaikan setiap unsur leksikal memiliki atau tidak


memiliki suatu ciri yang membedakannya dengan unsur lain. Dari contoh di atas
kita lihat perbedaan konsonan /p/ dan /b/ adalah bahwa konsonan /p/ tidak
bersuara sedangkan konsonan /b/ bersuara. Perbedaan konsonan /p/ dan /t/ adalah
bahwa yang pertama bilabial dan yang kedua bukan bilabial.
Konsep analisis dua-dua ini (lazim disebut analisis biner) oleh para ahli
kemudian diterapkan juga untuk membedakan makna Suatu kata dengan kata
7
yang lain. Misalnya, kata ayah dan ibu dapat dibedakan berdasarkan ada atau
tidak adanya ciri jantan.

Ayah Ibu
+ manusia + manusia
+ dewasa + dewasa
+ kawin + kawin
+ jantan - jantan

Sedangkan kata becak dan bemo dapat diperbedakan berdasarkan ada atau tidak
adanya ciri bermesin/bermotor.
becak bemo
+ kendaraan umum + kendaraan umum
+ beroda tiga + beroda tiga
- bermotor + bermotor

Perumusan makna di dalam kamus pun tampaknya memanfaatkan atau


berdasarkan analisis biner ini. Sebagai contoh Kamus Umum Bahasa Indonesia
susunan W.J.S. Poerwadarminta mendefinisikan kata kuda sebagai 'binatang
menyusui yang berkuku satu dan biasa dipiara orang untuk kendaraan'. Jadi, ciri
binatang menyusui, berkuku satu, dan biasa dipiara orang adalah yang menjadi
ciri umum. Lalu, ciri makna 'kendaraan' menjadi ciri khusus yang
membedakannya dengan sapi atau kambing. Sapi dan kambing juga biasa dipiara
tetapi bukan untuk kendaraan. Untuk lebih jelas coba simak bagan berikut!
Ciri – ciri kuda sapi Kambing
1. Menyusui + + +
2. berkuku satu + + +
3. dipiara + + +
4. kendaraan + - -

8
Dari bagian itu tampak ciri pembeda kud, sapi, dan kambing. Tetapi kalau
ditanya, apa bedanya sapi dan kambing karena dalam bagan tersebut belum
tampak perbedaannya. Dalam hal ini kita harus menambah ciri pembeda lain.
Mungkin ciri kemanfaatan sapi dan kambing itu. Sapi terutama dimanfaatkan
susunya (walaupun dagingnya juga), sedangkan kambing terutama dimanfaatkan
dagingnya.
Dengan analisis Biner ini kita juga dapat menggolong-golongkan kata atau
unsur leksika! seperti yang dimaui teori medan makna. Misalnya:

Dari diagram di atas dapat dilihat bahwa banyaknya ciri-ciri semantik


setiap kata tidak sama; jumlahnya sesuai dengan sifat unsur leksikal tersebut.
Analisis Biner ini dapat pula digunakan untuk mencari perbedaan semantik
kata-kata yang bersinonim. Umpamanya kata kata kandang, pondok rumah,
istana, keraton, dan wisma. Keenam kata itu dapat dianggap bersinonim dengan
makna dasar atau makna denotatif 'tempat tinggal' atau 'tempat kediaman'. Kata
kandang pada satu pihak dapat diperbedakan dengan kelima kata yang lain
berdasarkan ciri [+ manusia] dan [-manusia]. Kandang berciri [-manusia]
sedangkan yang lainnya berciri [+manusia]. Kemudian kata pondok dengan
9
keempat yang lain dapat diperbedakan berdasarkan ciri [+ jelata] dan [-jelata].
Pondok berciri [+ jelata] sedangkan rumah, keraton, dan wisma berciri [-jelata],
meskipun secara puitis kata pondok sering tidak berciri [-jelata]. Dan, malah di
Jakarta dalam dua puluh tahun terakhir ini bermunculan wilayah pemukiman
mewah dengan menggunakan nama pondok seperti Pondok Indah, Pondok
Kelapa, Pondok Timur Mas, dan sebagainya. Selanjutnya kata rumah di satu pihak
dapat diperbedakan dengan ketiga kata lainnya berdasarkan ciri [+ umum] dan [-
umum]. Kata rumah berciri [ + umum] sedangkan istana, keraton dan wisma
berciri [-umum]. Selanjutnya kata istana dan keraton di satu pihak dapat
diperbedakan dengan kata wisma berdasarkan ciri [ + kepala negara] dan [-kepala
negara]. Istana dan keraton memiliki ciri [+kepala negara] sedangkan wisma
berciri [-kepala negara]. Akhirnya istana dan keraton dapat diperbedakan
berdasarkan ciri [+raja] dan [-raja]. Istana dapat berciri [+ raja] dan [-raja]
(misalnya presiden) sedang keraton berciri [+ raja].
Dari pengamatan terhadap data/unsur-unsur leksikal, ada tiga hal yang
perlu dikemukakan sehubungan dengan analisis Biner tersebut.
Pertama, ada pasangan kata yang salah satu daripadanya lebih bersifat
netral atau umum sedangkan yang lain lebih bersifat khusus. Misalnya, pasangan
kata mahasiswa dan mahasiswi. Kata mahasiswa lebih bersifat umum dan netral
karena dapat termasuk "pria" dan "wanita". Sebaliknya kata mahasiswi lebih
bersifat khusus karena hanya mengenai "wanita". Jadi:

ciri mahasiswa mahasiswi


pria + -
wanita + +

Unsur leksikal yang bersifat umum seperti kata mahasiswa ini dikenal
sebagai anggota yang tidak bertanda dari pasangan itu. Dalam diagram anggota
yang tidak bertanda ini diberi tanda 0 atau ±, sedangkan anggota yang lebih
khusus dikenal sebagai anggota yang bertanda. Dalam diagram diberi tanda +
kalau memiliki ciri itu dan tanda - jika tidak memiliki ciri itu.

10
Pada contoh di atas ada pasangan keraton dan istana. Kata keraton lebih
bersifat khusus karena hanya berciri [+raja] sedangkan kata istana lebih bersifat
umum karena dapat berciri [+raja] dan sekaligus berciri [-raja].
Kedua, ada kata atau unsur leksikal yang sukar dicari pasangannya karena
memang mungkin tidak ada; tetapi ada juga yang mempunyai pasangan lebih dari
satu. Contoh yang sukar dicari pasangannya antara lain, kata-kata yang berkenaan
dengan nama wama. Selama ini kata putih memang dapat dipasangkan dengan
kata hitam (yang secara teknis ilmiah bukannya warna). tetapi nama-nama warna
lain tidak mudah untuk dicari pasangannya. Apakah merah pasangannya putih,
atau hitam, atau hijau, atau yang lainnya Sukar dijawab, sebab kiranya warna
diatur dalam suatu spektrum yang berkesinambungan dan sebagian dari ciri
cirinya saling bertumpang tindih. Orang Inggris jika ditanya tentang warna darah
akan menyebutnya red (merah); dan kalau ditanya warna matahari terbenam ada
yang mengatakan red, ada yang mengatakan orange. Kiranya memang warna red
dan orange saling berkesinambungan dan ada sebagian unsur red dan unsur
orange yang saling bertumpang tindih. Maka rupanya unsur yang saling
bertumpang tindih inilah yang merupakan warna matahari terbenam.

Red orange yellow

warna matahari terbenam


Dalam bahasa Indonesia pun kita tidak tahu mau mempertentangkan
merah dengan apa? Kalau ada yang mempertentangkan merah dengan putih, tentu
karena terpengaruh dengan warna bendera Sang Dwi Warna atau Sang Merah
Putih. Bukan karena merah memang bertentangan dengan putih. Dalam
pertentangan antara warna gelap dan warna terang maka sesungguhnya yang
dipertentangkan bukan warna itu, melainkan keadaan gelap dan terangnya. Begitu
juga antara merah tua dan merah muda; yang dipertentangkan bukan warna
merahnya, melainkan keadaan tua dan mudanya. Merah tua lebih gelap sedangkan
merah muda lebih terang.

11
Contoh kata atau unsur leksikal yang pasangannya lebih dari satu adalah
kata berdiri. Kata berdiri bukan hanya bisa dipertentangkan dengan kata duduk,
tetapi dapat juga dengan kata tiarap, rebah, tidur, Jongkok, dan berbaring.

Ketiga, kita seringkali sukar mengatur ciri-ciri semantik itu secara


bertingkat, mana yang lebih bersifat umum, dan mana yang lebih bersifat khusus.
Umpamanya ciri [jantan] dan [dewasa), mana yang lebih bersifat umum jantan
atau dewasa. Bisa jantan tetapi bisa pula dewasa, sebab tidak ada alasan bagi kita
untuk menyebutkan ciri [jantan] lebih bersifat umum daripada ciri (dewasa), atau
juga sebaliknya, karena ciri yang satu tidak menyiratkan ciri makna yang lain.
Karena itu, keduanya, [jantan] dan [dewasa], tidak dapat ditempatkan dalam suatu
hierarki. Keduanya dapat ditempatkan sebagai unsur yang "lebih tinggi dalam
diagram yang berlainan. Simaklah kedua diagram berikut!

12
Catatan Istilah "buyung" dan "upik" sengaja dipakai untuk mencari
padanan boy (buyung) dan girl (upik). Ciri-ciri semantik yang tidak dapat
ditempatkan secara hierarkial di antara sesamanya seperti pada 'jantan' dan
'dewasa' di atas dikenal sebagai ciri-ciri penggolongan silang.
Walaupun analisis komponen makna ini dengan pembagian biner banyak
kelemahannya, tetapi cara ini banyak memberi manfaat untuk memahami makna
kalimat. Para tata bahasawan tranformasional juga telah menggunakan teknik ini
sehingga minat terhadap analisis komponen makna ini menjadi meningkat. Malah
pernah disarankan agar daftar kosa kata yang dilampirkan pada tata bahasa
transformasi itu dilengkapi dengan sejumlah ciri semantiknya untuk dapat
dipersamakan dan diperbedakan antara yang satu dengan yang lainnya.
Umpamanya kalau kata benda warung, kebudayaan, dukun, anjing, dan Jakarta
diberi ciri-ciri semantiknya maka akan kita dapati daftar sebagai berikut:
warung
+ umum
+ konkret
- insan
- hidup
kebudayaan
+ umum
- konkret
- insan
- hidup

13
dukun
+ umum
+ konkret
+ insan
+ hidup
anjing
+ umum
+ konkret
- insan
+ hidup
Jakarta
-umum
+ konkret
- insan
- hidup
Dalam bagan berikut akan tampak lebih jelas persamaan dan perbedaan
ciri-ciri semantik kelima kata itu.

Ciri umum konkret Insan hidup


warung + + - -
kebudayaan + - - -
dukun + + + +
anjing + + - +
Jakarta - + - -

Daftar kata-kata di atas adalah kata-kata dari kelas nomina. Bagaimana


dengan kata-kata dari kelas verba, kelas ajektiva, atau kelas lainnya. Itu pun dapat
juga diberi ciri-ciri semantiknya. Kita ambil contoh kata-kata dari kelas verba
makan, menulis, dan terbit. Kata makan memiliki ciri + hidup, + makhluk,
+transitif, +tindakan; kata menulis memiliki ciri + hidup, +insan, +transitif, +
tindakan; dan kata terbit memiliki ciri + makhluk, +instransitif, +proses.

14
Di sini memang kita sukar menerapkan analisis Biner ini. Tetapi ciri-ciri
itu bisa diperinci untuk menentukan persamaan perbedaannya. Kata makan itu
bisa berciri makhluk hidup. Artinya kata tersebut berkenaan dengan manusia dan
juga binatang. Tetapi kata menulis hanya berkenaan dengan manusia, tidak
dengan binatang. Sebaliknya kata terbit tidak berkenaan dengan manusia maupun
binatang, melainkan hanya berkenaan dengan benda lain. Karena itu kalimat *Dia
terbit dari balik pintu dan *Harimau itu terbit dari semak-semak tidak terterima.
Tetapi kalimat matahari terbit dari balik bukit bisa diterima.
Analisis semantik kata yang dibuat seperti di atas tentu banyak memberi
manfaat dalam memahami makna-makna kalimat; tetapi pembuatan daftar
kosakata dengan disertai ciri-ciri semantiknya secara lengkap bukanlah pekerjaan
yang mudah sebab memerlukan pengetahuan budaya, ketelitian, waktu, dan
tenaga yang cukup besar.
C. Kesesuaian Semantis dan Gramatis
Seorang bahasawan atau penutur suatu bahasa dapat memahami dan
menggunakan bahasanya bukanlah karena dia menguasai semua kalimat yang ada
di dalam bahasanya itu, melainkan karena adanya unsur kesesuaian atau
kecocokan ciri-ciri semantik antara unsur leksikal yang satu dengan unsur leksikal
yang lain. Umpamanya, antara kata wanita dan mengandung ada kesesuaian ciri
semantik. Tetapi antara kata jejaka dan mengandung tidak ada kesesuaian ciri itu.
Mengapa demikian? Karena pada kata wanita ada ciri ( + mengandung)
sedangkan pada kata jejaka ada ciri (-mengandung).
Ciri wanita jejaka
insan + +
mengandung + -

Begitu pula antara kata makan dan bakso, jelas ada kesesuaian ciri. Tetapi
antara makan dan kursi tidak ada kesesuaian ciri itu. Kata bakso mengandung ciri
(+makanan) sedangkan kursi berciri (-makanan).

15
Ciri bakso kursi

makanan + -

Maka wajarlah kalau kalimat Nenek makan bakso dapat diterima; tetapi
kalimat *Nenek makan kursi tidak dapat diterima.
Kesesuaian ciri ini berlaku bukan hanya pada unsur-unsur leksikal saja
tetapi juga berlaku antara unsur leksikal dan unsur gramatikal. Umpamanya, kata
seekor hanya sesuai dengan kata ayam tetapi tidak sesuai dengan kata ayam-ayam,
yaitu bentuk reduplikasi dari kata ayam. Dengan demikian kalimat Nenek
membeli seekor ayam dapat diterima; tetapi kalimat *Nenek membeli seekor
ayam-ayam tidak dapat diterima. Kata seekor sesuai dengan kata ayam karena
keduanya mengandung ciri (+tunggal); sebaliknya kata seekor tidak sesuai dengan
kata ayam-ayam karena kata seekor berciri makna (+tunggal) sedangkan ayam-
ayam berciri makna (-tunggal).
Ciri seekor ayam ayam-ayam
tunggal + + -

Bagaimana dengan kata seekor dan guru? Kata seekor dan guru tidak
mempunyai kesesuaian karena kata guru berciri makna (+manusia) sedangkan
kata seekor berciri makna (-manusia). Kata seekor hanya sesuai dengan kata yang
berciri (-manusia), misalnya ayam dan kambing. Tetapi kata ayam ini pun tidak
sesuai dengan kata seorang karena kata seorang berciri (+ manusia). Perhatikan!

Ciri guru seekor ayam seorang


manusia + - - +

Adanya kesesuaian unsur-unsur leksikal dan integrasinya dengan unsur


gramatikal sudah banyak diteliti orang sejalan dengan pesatnya penelitian di
bidang semantik sejak tahun enam puluhan. Para ahli tata bahasa generatif
semantik seperti Chafe (1970) dan Fillmore (1971), malah berpendapat setiap
unsur leksikal mengandung ketentuan-ketentuan penggunaannya yang sudah
16
terpateri yang bersifat gramatikal dan bersifat semantis. Ketentuan ketentuan
gramatikal memberikan kondisi-kondisi gramatikal yang berlaku jika suatu unsur
gramatikal hendak digunakan. Umpamanya kata kerja makan dalam
penggunaannya memerlukan adanya sebuah subjek dan sebuah objek (walaupun
di sini objek ini bisa dihilangkan).

Subjek----- Makan -----Objek

Lalu, ketentuan-ketentuan semantis menunjukkan ciri-ciri semantis yang


harus ada di dalam unsur-unsur leksikal yang bersangkutan yang disebut di dalam
ketentuan gramatikal itu. Kata makan di atas, misalnya, menyiratkan bahwa
subjeknya harus mengandung ciri makna (+ bernyawa) dan objeknya mengandung
ciri makna (+ makanan). Jadi:

Oleh karena itulah kalimat Adik makan dendeng atau Kucing makan
dendeng dapat diterima, sebab adik maupun kucing mengandung ciri makna
(+bernyawa) dan dendeng mengandung ciri makna (+makanan). Tetapi kalimat
*pensil makan dendeng dan kalimat Adik makan lemari tidak dapat diterima
karena kata pensil pada kalimat pertama mengandung ciri makna (-bernyawa) dan
kata lemari pada kalimat kedua mengandung ciri makna (-makanan). Jadi, tidak
dapat diterimanya kedua kalimat itu bukanlah karena masalah gramatikal,
melainkan karena masalah semantik.
Untuk lebih memahami adanya keterkaitan ciri-ciri semantik dan
ketentuan-ketentuan gramatikal ini mari kita lihat kata kerja membaca. Kata kerja
membaca ini dalam penggunaannya memerlukan hadimya sebuah subjek yang
berupa sebuah nomina atau frase nomina berciri makna (+ manusia) dan sebuah
objek yang berciri makna (+bacaan) atau (+ tulisan).

17
Oleh karena itu, kalimat Bupati membaca koran dapat diterima karena kata
bupati berciri makna [+manusial dan koran berciri makna [+bacaan]. Sebaliknya
kalimat "Kucing membaca koran dan kalimat Bupati membaca pensil tidak dapat
diterima karena kata kucing pada kalimat pertama berciri makna [-manusia] dan
kata pensil kalimat kedua berciri makna [-bacaan].
Kalau kalimat Adik makan dendeng dan Kucing makan dendeng sama-
sama dapat diterima, lalu bagaimana dengan kalimat "Adik makan tikus dan
Kucing makan tikus? Kiranya di sini diperlukan pula adanya penjelasan mengenai
ciri [makanan] untuk [mahkluk bernyawal yang berbeda. Dendeng memiliki ciri
[makanan] untuk makhluk bernyawa manusia sedangkan tikus memiliki ciri
[makanan] untuk makhluk bernyawa bukan manusia. Lebih khusus lagi untuk
kucing. Rumput juga berciri [makanan] untuk makhluk bernyawa bukan manusia;
khususnya binatang memamah biak (kuda, sapi, dan kambing). Secara khusus;
dendeng, tikus, dan rumput memiliki ciri:

dendeng tikus rumput


(+manusia) (+kucing) (+kuda)

Seperti kata Langendoen (1970), kita sebenarnya dapat saja mengganti


subjek maupun objek dengan apa saja, seperti yang biasa kita lakukan dalam
kalimat-kalimat metaforis atau figuratif, tanpa mengubah arti kalimat itu.
Misalnya dalam kalimat Pucuk kelapa melambai-lambai; di sini kata pucuk kelapa
ditafsirkan secara personifikasi sebagai manusia. Tafsiran ini terjadi adalah karena
kata kerja melambai-lambai, dan bukan karena arti kata benda pucuk kelapa itu
sendiri. Bagaimana dengan kata uang pada kalimat Pimpinan itu banyak makan
uang rakyat? Secara "wajar" penggunaan kata uang pada kalimat tersebut tidak
dapat diterima sebab kata uang berciri makna [-makanan]. Namun secara figuratif
bisa saja diterima sebab uang itu ditafsirkan sebagai makanan secara kias.
18
Penggunaan kata secara figuratif ini dalam kehidupan kita memang hal yang
biasa.
Kalau subjek dan objek dapat diganti dengan apa saja tanpa mengubah arti
dan struktur kalimat tersebut, meskipun juga dalam penggunaan secara metaforis
atau figuratif, tetapi kalau bentuk atau struktur gramatikal predikatnya yang
diubah maka makna dan struktur kalimat itu akan berubah. Sebagai contoh mari
kita lihat kata kerja beredar, mengedarkan, dan diedarkan dalam kalimat-kalimat
berikut:
(a) Buletin itu sudah beredar.
(b) Pemerintah mengedarkan buletin itu
(c) Buletin itu diedarkan oleh pemerintah.
Kata kerja beredar dalam kalimat (a) hanya memerlukan adanya Kiranya
subjek, dan tidak memerlukan kehadiran objek atau lainnya karena makan sifatnya
yang intransitif. Kata kerja mengedarkan pada kalimat (b) memerlukan hadirnya
sebuah subjek pelaku dari sebuah objek penderita karena sifatnya yang aktif
transitif. Sedangkan kata kerja diedarkan memerlukan hadirnya sebuah subjek
penderita dan sebuah objek pelaku karena sifatnya yang pasif transitif.
Subjek pada kalimat (a) haruslah berciri [+kata benda, + konkret, +bacaan,
+relatif kecil]. Ciri [+relatif kecil] menyebabkan kata jembatan atau gedung,
disamping hambatan ciri lain, tidak dapat menjadi subjek dalam kalimat itu. Lain
halnya dengan subjek pada kalimat (b) yang harus berciri [+manusia]. Oleh
karena itu, kata kucing yang berciri [- manusia] tidak dapat menjadi subjek pada
kalimat (b) itu.
Untuk lebih memahami persoalan di atas, sebagai ilustrasi, perhatikan kata
kerja membelikan dan kata kerja tiba. Kata kerja membelikan membutuhkan
hadirnya sebuah subjek berciri [+ manusia), dan dua buah objek; yang satu berciri
benda umum, Seperti tampak dalam kalimat: ibu membelikan adik baju baru.
Dalam kalimat itu ibu adalah subjek, adik adalah objek pertama berciri [+
manusia] dan sepatu baru adalah objek kedua. Kata kerja membelikan tidak sama
dengan kata kerja membeli yang hanya mengharuskan hadirnya sebuah objek saja
seperti tampak dalam kalimat Ibu membeli sepatu baru (untuk adik). Pada kalimat
19
tersebut objeknya adalah sepatu baru. Sedangkan frase untuk adik yang berfungsi
sebagai keterangan tujuan kehadirannya bersifat opsional.
Kata kerja tiba selain mengharuskan hadimya sebuah subjek pelaku dan
juga mengharuskan hadirnya sebuah keterangan berciri [+ lokasi], seperti tampak
pada kalimat Beliau tiba di pasar. Kehadiran frase di pasar ini bersifat agak wajib
karena kata kerja tiba itu juga memiliki ciri makna [ + lokasi].

20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Medan makna (semantic ficld, semantic domain) adalah bagian
dari sistem senmantik bahasa yang menggambarkan bagian dari bidang
kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu dan yang
dircalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya
berthubungan.
Komponen makna atau komponen semantik (semantic feature,
semantic property, atau semantic marker) mengajarkan bahwa setiap kata
atau unsur leksikal terdiri dari satu atau beberapa unsur yang bersama-
sama membentuk makna kata atau makna unsur leksikal tersebut

B. Saran
Saran penulis melalui makalah ini adalah sebaiknya pembaca
senantiasa memperbanyak membaca buku-buku mengenai semantik dan
meningkatkan kecintaan terhadap semantic agar mendapat lebih informasi
mengenai semantik dan menunjang keaktifan mahasiswa dalam mata
kuliah semantik.

21
22
DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2013. Pengantar Semanti Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta

23

Anda mungkin juga menyukai