KOMPONEN MAKNA
DISUSUN OLEH:
MOHAMAD SYAHRUL BARHUN
1951040030
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih saying-Nya yang tidak pernah putus,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan yang
diharapkan. Makalah dengan judul Komponen Makna ini disusun untuk
memenuhi tugas individu dalam mata kuliah semantik Bahasa Indonesia yang
nantinya akan sebagai bahan penilaian pada semester genap ini. Penulisan
makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan serta pengetahuan kepada
teman-teman mahasiswa khususnya mahasiswa program studi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia angkatan 2019 ini.
Meskipun kami berharap isi dari makalah ini jauh dari kekurangan dan
kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, kami mengharapkan
kritik dan saran agar dalam penyusunan makalah berikutnya dapat lebih baik lagi.
Akhir kata kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi semua
pembaca.
Tim Penyusun
i
DAFTAR ISI
SAMPUL
KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................... 3
A. KESIMPULAN.................................................................................................... 15
B. SARAN................................................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 16
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Kata-kata atau leksem yang berada pada satu kelompok lazim dinamai
kata-kata atau leksem yang berada dalam satu medan makna atau satu medan
leksikal, sedangkan usaha untuk menganalisis kata-kata atau leksem-leksem
terhadap antar unsur makna yang dimilikinya dinamakan analisis komponen
makna atau analisis ciri-ciri makna, atau analisis ciri-ciri leksikal. Untuk
mengetahui seberapa jauh kedekatan, kemiripan, kesamaan, dan ketidaksamaan
makna, orang perlu mengetahui komponen makna. Untuk mengetahui makna
sampai sekecil-kecilnya, perlu analisis. Karena yang dianalisis adalah makna yang
tercermin dari komponen-komponennya, dibutuhkan analisis komponen makna.
Analisis komponen makna dapat dilakukan terhadap kata-katta dengan
menguraikannya sampai komponen makna yang sekecil-kecilnya.
1
Dalam pembahasan komponen makna, merupakan bagian dari kajian
semantik yang dianggap perlu dikuasai oleh seorang pengkaji bahasa atau
mahasiswa bahasa khususnya pada program studi pendidikan bahasa dan sastra
Indonesia. Oleh karena itu, perlu adanya pembahasan yang lengkap dan tersusun
melalui suatu bentuk ilmiah. Secara singkatnya akan dijelaskan pada makalah ini.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat disusun rumusan
masalah sebagai berikut.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Makna yang dimiliki oleh setiap kata, leksem, atau butir leksikal itu terdiri
dari sejumlah komponen yang dinamakan komponen makna, yang membentuk
keseluruhan makna kata, leksem, atau butir leksekal tersebut. Komponen makna
ini dapat dianalisis, dibutiri, atau disebutkan satu per satu berdasarkan
“pengertian-pengertian” yang dimilikinya (Chaer, 1994: 318).
3
kepada orang tua laki-laki, bedanya, kata ayah tidak memiliki komponen sapaan
kepada orang yang dihormati, sedangkan kata bapak memiliki komponen makna
sapaan kepada orang yang dihormati. Sehingga antara kata ayah dan bapak
memiliki beda makna yang hakiki yang menyebabkan keduanya tidak dapat
dipertukarkan.
4
B. ANALISIS KOMPONEN MAKNA
Perbedaan makna antara ayah dan ibu hanyalah ciri makna atau komponen
makna: ayah memiliki makna ‘jantan’, sedangkan ibu tidak memiliki makna
‘jantan’.
Cara menganalisis seperti ini bukan barang baru. R. Jacobson dan Morris
Halle dalam laporan penelitian mereka tentang bunyi bahasa yang berjudul
Preliminaries to Speech Analysis: The Distinctive Feature dan Their Correlates
telah menggunakan cara analisis seperti itu. Dalam laporan itu mereka
mendeskripsikan bunyi-bunyi bahasa dengan menyebutkan ciri-ciri pembeda di
antara bunyi yang satu dengan bunyi yang lain. Bunyi-bunyi ini memiliki sesuatu
ciri diberi tanda (+) dan yang tidak memiliki ciri diberi tanda (-). Umpamanya
bunyi /p/, /b/, /t/, dan /d/ memiliki ciri sebagai berikut.
5
bersuara - + _ +
Konsep analisis dua-dua ini (lazim disebut analisis Biner) oleh para ahli
kemudian diterapkan juga untuk membedakan makna suatu kata dengan kata yang
lain. Misalnya, kata ayah dan ibu dapat dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya
adanya ciri jantan.
ayah Ibu
+ manusia + manusia
+ dewasa + dewasa
+ kawin + kawin
+ jantan - jantan
Sedangkan kata becak dan bemo dapat diperbedakan berdasarkan ada atau tidak
adanya ciri bermesin/bermotor.
becak bemo
+ kendaraan umum + kendaraan umum
+ beroda tiga + beroda tiga
- bermotor + bermotor
6
binatang menyusui, berkuku satu, dan biasa dipiara orang adalah yang menjadi
ciri umum. Lalu, ciri makna ‘kendaraan’ menjadi ciri khusus yang
membedakannya dengan sapi atau kambing. Sapi dan kambing juga biasa dipiara
tetapi bukan untuk kendaraan. Untuk lebih jelasnya disusun bagan sebagai
berikut.
Dalam bagian itu tampak ciri pembeda kuda, sapi, dan kambing. Tetapi
kalau ditanya, apa bedanya sapi dan kambing karena dalam bagan tersebut belum
tampak perbedaan. Dalam hal ini harus ditambah ciri pembeda yang lain.
Mungkin ciri kemanfaatan sapi dan kambing itu. Sapi terutama dimanfaatkan
susunya (walaupun dagingnya juga), sedangkan kambing terutama dimanfaatkan
dagingnya.
Dengan analisis Biner ini kita juga dapat menggolongkan kata atau unsur
leksikal seperti yang dimaui teori medan makna. Misalnya.
Benda
+ bernyawa - bernyawa
+ hewan - hewan
7
8
Kata rumah berciri [+ umum] sedangkan istana, keraton dan wisma bercíri [-
umum]. Selanjutnya kata istana dan keraton di satu pihak dapat dibedakan dengan
kata wisma berdasarkan ciri [+ kepala negara] dan [- kepala negara]. Istana dan
keraton memiliki ciri [+ kepala negara] sedangkan wisma berciri [- kepala
negara]. Akhirnya istana dan keraton dapat dibedakan berdasarkan ciri [+ raja]
dan [- raja]. Istana dapat berciri [+ raja] dan [- raja] (misalnya presiden),
sedangkan keraton berciri [+ raja].
Persoalan kita sekarang: apakah analisis Biner ini selalu dapat diterapkan
pada setiap unsur leksikal? Dari pengamatan terhadap data/unsur-unsur leksikal,
ada tiga hal yang perlu dikemukakan sehubungan dengan analisis Biner tersebut.
Pertama, ada pasangan kata yang salah satu darinya lebih bersifat netral
atau umum sedangkan yang lain lebih bersifat khusus. Misalnya, pasangan kata
mahasiswa dan mahasiswi. Kata mahasiswa Icbih bersifat umum dan netral karena
dapat termasuk "pria" dan "wanita". Sebaliknya kata mahasiswi lebih bersifat
khusus karena hanya mengenai "wanita". Jadi:
Unsur leksikal yang bersifat umum seperti kata mahasiswa itu dikenal
sebagai anggota yang tidak bertanda dari pasangan itu. Dalam diagram anggota
yang tidak bertanda ini diberi tanda 0 atau ±, sedangkan anggota yang lebih
khusus dikenal sebagai anggota yang bertanda. Dalam diagram diberi tanda +
kalau memiiiki ciri itu dan tanda - jika tidak memiliki ciri itu.
Pada contoh di atas ada pasangan keraton dan istana. Kata keraton iebih
bersifat khusus karena hanya berciri [+ raja] sedangkan kata istana lebih bersifat
umum karena dapat berciri [+ raja] dan sekaligus berciri [-raja].
Kedua, ada kata atau unsur leksikal yang sukar dicari pasangannya karena
memang mungkin tidak ada; tetapi ada juga yang mempunyai pasangan lebih dari
9
satu. Contoh yang sukar dicari pasangannya antara lain, kata-kata yang berkenaan
dengan nama warna. Selama ini kata putih memang dapat dipasangkan dengan
kata hitam (yang secara teknis ilmiah bukannya warna), tetapi nama-nama warna
lain tidak mudah untuk dicari pasangannya. Apakah merah pasangannya putih,
atau hitam, atau hijau, atau yang lainnya? Sukar dijawab, sebab kiranya warna
diatur dalam suatu spektrum yang berkesinambungan dan sebagian dari ciri-
cirinya saling bertumpang tindih. Orang Inggris jika ditanya tentang warna darah
akan menyebutnya red (merah); dan kalau ditanya warna matahari terbenam ada
yang mengatakan red, ada yang mengatakan orange. Kiranya memang warna red
dan orange saling berkesinambungan dan ada sebagian unsur red dan unsur orange
yang saling bertumpang tindih. Maka rupanya unsur yang saling bertumpang
tindih inilah yang merupakan warna matahari terbenam.
Dalam bahasa Indonesia pun kita tidak tahu mau pertentangkan merah
dengan apa? Kalau ada yang mempertentangkan merah dengan putih, tentu karena
terpengaruh dengan warna bendera sang Sang Dwi Warna atau Sang Merah Putih.
Bukan karena merah memang bertentangan dengan putih. Dalam pertentangan
warna gelap dengan warna terang maka sesungguhnya yang dipertentangkan
bukan warna itu, melainkan keadaan gelap dan terangnya. Begitu juga antara
merah tua dan merah muda; yang dipertentangkan bukan warna merahnya,
melainkan keadaan tua dan mudanya. Merah tua lebih gelap sedangkan merah
muda lebih terang.
Contoh kata atau unsur leksikal yang pasangannya lebih dari satu adalah
kata berdiri. Kata berdiri bukan hanya bisa dipertentangkan dengan kata duduk,
tetapi dapat juga dengan kata tiarap, rebah/ tidur, jongkok, dan berbaring.
duduk
rebah
berdiri tidur
jongkok
berbaring
10
Ketiga, kita seringkali Sukar mengatur ciri-ciri semantik itu secara
bertingkat, mana yang lebih bersifat umum, dan mana yang lebih bersifat khusus.
Umpamanya ciri [jantan] dan [dewasa], mana yang lebih bersifat umum jantan
atau dewasa. Bisa jantan tetapi bisa pula dewasa, sebab tidak ada alasan bagi kita
untuk menyebutkan ciri [jantan] lebih bersifat umum daripada ciri (dewasa), atau
juga sebaliknya, karena ciri yang satu tidak menyiratkan ciri makna yang lain.
Karena itu, keduanya, [jantan] dan [dewasa], tidak dapat ditempatkan dalam suatu
hierarki. Keduanya dapat ditempatkan sebagai unsur yang “lebih tinggi” dalam
diagram yang berlainan. Berikut diagram.
11
Catatan istilah “buyung” dan “upik” sengaja dipakai untuk mencari
padanan boy (buyung) dan girl (upik). Ciri-ciri semantik yang tidak dapat
ditempatkan secara hierarkial di antara sesamanya sepetti pada ‘jantan’ dan
‘dewasa’ di atas dikenal sebagai ciri-ciri penggolongan silang.
warung
+ umum
+ konkret
- insan
- hidup
Kebudayaan
+ umum
+ konkret
- insan
- hidup
dukun
+ umum
+ insan
+ hidup
Anjing
+ umum
+ konkret
- insan
+ hidup
Jakarta
- umum
+ konkret
12
- insan
- hidup
Dalam bagan berikut akan tampak lebih jelas persamaan dan perbedaan
ciri-ciri semantik kelima kata itu.
Di sini memang kita sukar menerapkan analisis Biner ini. Tetapi ciri-ciri
makna itu bisa diperinci untük menentukan persamaan dan perbedaannya. Kata
makan itu bisa berciri makhluk hidup. Artinya kata tersebut berkenaan dengan
manusia dan juga binatang. Tetapi kata menulis hanya berkenaan dengan manusia,
tidak dengan binatang. Sebaliknya kata terbit tidak berkenaan dengan manusia
maupun binatang, melainkan hanya berkenaan dengan benda Iain, karena itu
kalimat *Dia terbit dari balik pintu dan *Harimau itu terbit dari semak-semak
tidak terterima. Tetapi kalimat matahari terbit dari balik bukit bisa diterima.
Analisis semantik kata yang dibuat seperti di atas tentu banyak memberi
manfaat dalam memahami makna-makna kalimat; tetapi pembuatan daftar kosa
kata dengan disertai ciri-ciri semantiknya secara lengkap bukanlah pekerjaan yang
13
mudah sebab memerlukan pengetahuan budaya, ketelitian, waktu, dan tenaga
yang cukup besar.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
14
Pertama, Pada hakikatnya komponen makna merupakan kandungan atau
komposisi makna kata (Parera, 2004: 159). Prosedur menemukan komposisi
makna kata disebut dekomposisi kata. Makna yang dimiliki oleh setiap kata,
leksem, atau butir leksikal itu terdiri dari sejumlah komponen yang dinamakan
komponen makna, yang membentuk keseluruhan makna kata, leksem, atau butir
leksekal tersebut. Komponen makna ini dapat dianalisis, dibutiri, atau disebutkan
satu per satu berdasarkan “pengertian-pengertian” yang dimilikinya (Chaer,
1994).
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
15