Anda di halaman 1dari 33

TUGAS KELOMPOK

Dosen Pengampu

Dr. Andi Muh. Taufiq, M.Pd.

SEMANTIK

“RAGAM MAKNA”

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK II

NAMA NIM

RIDWAN 318005

RINI ANDINI 318006

HAPSA 318007

NURUL KHAERANI 318008

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

STKIP MUHAMMADIYAH BONE

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan
hidayaNya sehingga kami dapat menyelasaikan tugas Mata Kuliah Semantik ini.
Dan tak lupa pula kami kirimkan salawat dan salam kepada junjungan Nabi besar
Muhammad SAW yang telah menggulung tikar kebatilan dan membawa umatnya
kealam terang benderang.

Dan ucapan terima kasih kepada dosen mata kuliah ini karena telah
membimbing kami dalam menyelesaikan tugas ini. Berkat bantuan dari teman-
teman, serta motivasi dari orang tua sehingga kami berhasil menyusun Makalah
yang berjudul “Ragam Makna”.

Kami menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, Oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami
harapkan demi kesempurnaan Makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak telah
berpran serta dalam penyusunan Makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Aamiin.

Watampone, 16 November 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

A. Latar Belakang..........................................................................................1

B. RUMUSAN MASALAH..........................................................................1

C. TUJUAN...................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3

A. Ragam Makna............................................................................................3

B. Relasi Makna dan Struktur Bahasa Indonesia...........................................9

C. Perubahan Makna dalam Bahasa Indonesia............................................17

D. Jenis-Jenis Perubahan Makna..................................................................20

E. Makna dan Penggunaan Bahasa dalam Bahasa Indonesia......................23

A. Simpulan..................................................................................................26

B. Saran........................................................................................................26

DAFTAR RUJUKAN............................................................................................28

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam mempelajari ilmu bahasa, ada empat komponen penting dalam
sebuah pembelajaran bahasa yang harus diketahui dan dipelajari oleh para pelajar
yang tengah mendalami ilmu bahasa. Empat komponen tersebut adalah fonologi,
morfologi, sintaksis dan semantik. Dari keempat cabang ilmu tersebut dapat
dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu tata bahasa (gramatika) atau struktur
bahasa dan di luar gramatika atau di luar struktur bahasa. Cabang ilmu bahasa
yang mencakup tata bahasa atau struktur bahasa (gramatika) adalah morfologi dan
sintaksis. Morfologi mempelajari tentang seluk-beluk kata sedangkan sintaksis
mempelajari bagian yang lebih besar dari kata yaitu frasa, klausa, dan kalimat.

Cabang ilmu bahasa yang tidak termasuk pada struktur bahasa adalah
fonologi dan semantik. Fonologi adalah sebuah cabang ilmu bahasa yang meneliti
fonem atau bunyi-bunyi bahasa. Sedangkan semantik adalah sebuah ilmu bahasa
yang mempelajari tentang makna, baik makna kata, makna frausa, makna klausa,
makna kalimat, maupun makna wacana sebagai satuan bahasa yang lengkap.

Dalam mata kuliah semantik mencakup pembahasan tentang teori


semantik secara umum dan sistem makna bahasa Indonesia. Adapun keseluruhan
bahasan dalam ilmu semantik sebagai berikut; hakikat makna kalimat, cakupan
studi semantik, ragam makna, struktur makna leksikal, relasi makna, perubahan
makna leksikal, dan makna dan penggunaan bahasa. Dalam makalah ini akan
membahas tentang, “ Ragam Makna ,Relasi Makna dan Struktur Bahasa
Indonesia; Perubahan Makna dalam Bahasa Indonesia; Makna dan Penggunaan
Bahasa dalam Bahasa Indonesia.”

B. RUMUSAN MASALAH
Materi yang akan kami bahas pada makalah ini di rangkum dalam rumusan
masalah, sebagai berikut:

1. Bagaina ragam makna dalam semantik?

1
2. Bagaimana Relasi makna dan struktur bahasa bahasa Indonesia?
3. Bagaimana perubahan makna dalam bahasa Indonesoia?
4. Apa jens-jeni perunahan makna ?
5. Apa makna dan penggunaan bahasa dalam bahasa Indonesia?

C. TUJUAN
Makalah ini kami susun dengan tujuan meningkatkan pemahaman pembaca
atau penyimak dalam hal sebagaia berikut:

1. Mengetahui ragam makna dalam semantik


2. Mengetahui Relasi makna dan struktur bahasa bahasa Indonesia
3. Mengetahui perubahan makna dalam bahasa Indonesoia
4. Mengetahui jens-jeni perubahan makna
5. Mengetahui makna dan penggunaan bahasa dalam bahasa Indonesia

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ragam Makna
Beberapa makna kata dalam Bahasa Indonesia, menurut Chaer (1990:61-
62) dapat dibedakan berdasarkan beberapa sudut pandang. Makna kata
berdasarkan semantiknya dapat dibedakan makna leksikal dan makna gramatikal.
Kalau makna kata didasarkan pada referennya, dibedakan antara makna
referensial dan nonreferensial. Bila berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada
kata/leksem, ada makna denotatif dan konotatif, serta makna-makna kata yang
lain. Berikut ragam makna yang dimaksud, ialah :

1. Makna Leksikal

Pengertian makna leksikal ialah makna yang sesuai dengan referennya,


atau makna yang sesuai dengan fungsi alat indera. Misalnya, kata tikus. Tikus
memunyai makna leksikal sebangsa binatang pengerat yang dapat menyebabkan
penyakit pes. Makna tersebut Nampak jelas pada kalimat Tikus itu mati diterkam
kucing. Adapun tikus pada kalimat Tikus berkepala hitamlah yang mencuri
minyak di gudang, bukan merupakan makna leksikal kata, karena merujuknya
pada manusia yang perbuatannya mirip dengan tikus. Jadi, makna leksikal adalah
gambaran nyata tentang suatu konsep seperti yang dilambangkan kata tersebut.
Tanpa melihat dari konteks kalimatnya, makna leksikal sudah sangat jelas dapat
dipahami.

Tidak semua kata bermakna leksikal. Kata tugas seperti dan, dalam, dan
karena tidak memiliki makna leksikal, sebab hanya memiliki tugas gramatikal.
2. Makna Gramatikal

Makna gramatikal adalah makna yang disebabkan adanya proses afiksasi,


reduplikasi, dan komposisi. Makna suatu kata baru dapat dipahami bila berada
dalam suatu konteks kalimat.

Proses afiksasi awalan ter- pada kata angkat dalam kalimat Batu seberat
itu terangkat juga oleh adik, memunyai makna “dapat”. Lain dengan kalimat

3
Ketika balok itu ditarik, papan itu terangkat ke atas, menimbulkan makna
gramatikal “tidak disengaja”.Awalan ter- baru memiliki makna bila sudah
berproses dengan kata lain. Seperti contoh di atas, awalan ter- yang berproses
dengan kata “angkat” memiliki kemungkinan makna 1) dapat dan 2) tidak
disengaja.Kepastian maknanya baru diperoleh bila ada dalam konteks kalimat
(lihat contoh kalimat sebelumnya). Dengan demikian, makna gramatikal selalu
berkenaan dengan struktur ketatabahasaan disebabkan proses dan satuan-satuan
gramatikal.

Proses reduplikasi atau pengulangan merupakan makna jamak dalam


bahasa Indonesia. Kata buku yang bermakna “sebuah buku” menjadi buku-buku
yang bermakna banyak buku. Berdasarkan hal tersebut, perubahan makna dari
tunggal (satu) menjadi jamak (banyak) disebabkan suatu kata mengalami proses
reduplikasi (pengulangan).

Proses komposisi atau proses penggabungan dalam bahasa Indonesia, juga


dapat menimbulkan makna baru. Makna gramatikal dari komposisi sate ayam
tidak sama dengan komposisi sate Madura. Yang pertama, sate ayam,
menyatakan asal bahan, sedangkan sate Madura, menyatakan asal tempat. Begitu
pula dengan komposisi “anak asuh” dengan “orang tua asuh”. Yang pertama
menyatakan “anak yang diasuh”, sedangkan yang kedua berarti “orang tua yang
mengasuh”.
3. Makna Referensial dan Makna Nonreferensial

Perbedaan dua makna ini berdasarkan ada tidaknya referen dari kata-kata itu.
Bila suatu kata memunyai referen atau sesuatu di luar bahasa yang diacu kata
tersebut, maka suatu kata bermakna referensial. Jika suatu kata tidak memunyai
referen, maka kata tersebut bermakna nonreferensial.Contohnya, kata meja dan
kursi, memiliki referen yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut “meja”
dan “kursi. Jadi, kata meja dan kursi bermakna referensial. Adapun kata-kata yang
termasuk preposisi, konjungsi, dan kata tugas lainnya, tidak memiliki referen,
sehingga bermakna nonreferensial.

4. Makna Denotatif dan Konotatif

4
Pembedaan makna denotatif dan konotatif didasarkan pada ada atau tidak
adanya nilai rasa. Setiap kata memunyai makna denotatif, tetapi tidak semuanya
memiliki makna konotatif. Hal tersebut disebabkan kata yang bermakna denotatif
tidak memiliki nilai rasa, sedangkan kata bermakna konotatif itulah yang
memunyai nilai rasa, baik positif maupun negatif.
Kata bermakna denotatif pada dasarnya sama dengan makna referensial,
karena sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman,
pendengaran, dan lain-lain. Makna denotasi sering dikatakan sebagai makna
sebenarnya. Sebagai contoh kata danperempuan, sama-sama bermakna manusia
dewasa bukan laki-laki. Makna tersebut adalah makna denotasi. Begitu pula
dengan kata gadis dan perawan, sama-sama bermakna denotasi wanita yang
belum bersuami. Kata wanita dan perempuan atau gadis dan perawan, bila
ditinjau dari makna konotatif, keduanya memiliki nilai rasa yang berbeda. Kata
wanita dan gadis, memiliki nilai rasa yang tinggi atau positif. Kata wanita dan
gadis, lebih menunjukkan peran dalam kehidupan yang tidak kalah dengan laki-
laki dan mengarahkan hal-hal berkemajuan. Lain halnya dengan kata perempuan
dan perawan, nilai rasanya rendah karena makna dua kata tersebut berhubungan
dengan jenis kelamin. Perbedaan nilai rasa antara wanita dan perempuan lebih
lanjut dapat dijelaskan sebagai berikut :

Wanita perempuan
1. Berpendidikan lebih 1. Pendidikan kurang

2. Modern dalam segala hal 2. Tidak atau kurang modern

3. Kurang berperasaan keibuan (makna 3. Berperasaan keibuan (makna


tambahan) tambahan)

4. Malas ke dapur (makna tambahan) 4. Rajin ke dapur (makna tambahan)


 Positif dan negatifnya nilai rasa (makna tambahan) seringkali terjadi sebagai
akibat digunakannya referen kata tersebut sebagai perlambang. Jika digunakan
sebagai lambing sesuatu yang positif, akan bernilai positif. Begitu pula
sebaliknya, jika digunakan sebagai lambang sesuatu yang negatif akan bernilai

5
rasa negatif. Pandangan hidup dan norma-norma penilaian kelompok masyarakat,
sebenarnya dapat dikatakan yang menyebabkan timbulnya lambang positif dan
negatif tersebut. Bisa jadi kelompok orang Jawa Tengah menilai perempuan lebih
tinggi nilai rasanya, karena lebih memerlihatkan kodrat, tapi kelompok orang
Jawa Barat lebih menyukai makna wanita, yang mungkin lebih menghargai
seorang perempuan yang dapat berperan lebih banyak walaupun terkadang tidak
memerdulikan kodratnya.
5. Makna Kata dan Makna Istilah

Pembedaan makna kata dan makna istilah berdasarkan ketepatan makna kata
tersebut dalam penggunaannya.  Kata yang digunakan secara umum digunakan
ketika berbahasa, merupakan makna kata. Penggunaannya secara umum seringkali
tidak cermat. Lain halnya dengan  kata yang digunakan secara khusus, berkaitan
dengan bidang kegiatan tertentu, dikatakan sebagai makna istilah .

Makna kata walaupun secara sinkronis tidak berubah, tetapi karena berbagai
faktor dalam kehidupan, dapat bersifat umum. Makna kata tersebut baru jelas
kalau sudah digunakan dalam suatu kalimat. Kalau lepas dari konteks kalimat,
makna kata itu menjadi umum dan kabur. Contohnya kata tahanan. Kata tersebut
bermakna orang yang ditahan, bisa juga hasil perbuatan menahan, atau mungkin
ada makna lainnya.

Berbeda dengan istilah, makna kata yang digunakan tetap dan pasti. Hal itu
disebabkan istilah hanya digunakan dalam bidang kegiatan atau keilmuan tertentu.
Kata tahanan sebagai istilah dalam bidang hukum, sudah pasti berarti orang yang
ditahan sehubungan dengan suatu perkara kriminal atau perdata. Jika
kata tahanan sebagai istilah dalam bidang kelistrikan, maknanya daya yang
menahan arus listrik.

Istilah yang sudah menjadi unsur leksikal bahasa umum disebut istilah umum.
Frekuensi pemakaiannya dalam bahasa sehari-hari cukup tinggi. Contoh istilah
umum ialah akomodasi, deposito,pakar, canggih, mantan, dan sebagainya. Tetapi
kata-kata seperti debil, klorofil, vektor, variabel masih tetap sebagai istilah yang
penggunaannya terbatas pada bidang ilmu yang terkait. Beberapa makna kata

6
sebagai istilah, juga dibuat tepat untuk menghindari kesalahpahaman dalam
bidang ilmu atau kegiatan tertentu. Contohnya, dalam bidang ilmu kedokteran,
istilah tangan dan lengan memunyai perbedaan. Tangan adalah pergelangan
sampai ke jari-jari, sedangkan lengan dari pergelangan sampai ke pangkal bahu.

Adapun deretan sinonim besar, agung, akbar, raya, dan kolosal merupakan


perbedaan kata sebagai makna umum dan kata dengan makna khusus (makna
yang lebih terbatas). Kata besar adalah kata bermakna umum dan pemakaiannya
lebih luas daripada kata agung, akbar, raya, dan kolosal. Misalnya, frase rapat
akbar dapat diganti dengan rapat besar.
6. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif

Pembedaan makna konseptual dan makna asosiatif didasarkan pada ada atau
tidak adanya hubungan makna kata dengan makna kata lain. Pengertiannya,
makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, referennya, dan
bebas dari asosiasi atau hubungan apa pun. Makna konseptual dapat disamakan
dengan makna referensial, leksikal, dan denotatif. Lain halnya dengan makna
asosiatif, yaitu makna sebuah kata yang berkenaan dengan adanya hubungan kata
itu dengan keadaan di luar bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan
makna suci atau kesucian, atau kata merah yang berasosiasi makna berani.

Mendalami makna asosiasi, sesungguhnya sama dengan lambing-lambang


yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan suatu konsep.
Mengacu pada contoh kata melati dan merah, maka melati digunakan
untuk lambang kesucian, sedangkan merah sebagai lambang keberanian.

Leech (1976) dalam Chaer (1990: 74-75) secara garis besar memasukkan
makna konotatif, stilistik,afektif, refleksi, dan kolokatif sebagai bagian dari makna
asosiatif. Makna asosiasi berhubungan dengan nilai-nilai moral dan pandangan
hidup dalam masyarakat bahasa yang berarti juga berkait dengan nilai rasa bahasa,
sehingga makna konotatif masuk ke dalam makna asosiasi. Makna stilistika
berkenaan dengan gaya pemilihan kata karena berkait adanya perbedaan sosial
dan bidang kegiatan di masyarakat. Makna kata rumah, pondok, istana, keraton,
kediaman, tempat tinggal, dan residensi. Kata istana hanya dipakai untuk orang-

7
orang dari keturunan raja, ningrat, atau berpangkat tinggi, tidak sesuai bila
dikaitkan dengan orang-orang kampung atau biasa. Begitu pula dengan kata-kata
lainnya. Untuk makna afektif, berkaitan dengan perasaan pembicara pemakai
bahasa secara pribadi, baik terhadap lawan bicara maupun objek yang
dibicarakan.Makna ini lebih terasa bila dituturkan dalam bahasa lisan. Contohnya:

a. “Tutup mulut kalian!” (membentak dan bahasa terasa kasar).


b. “Coba, mohon diam sebentar!” (pemakaian bahasa halus dan meminta
dengan baik).

Makna kolokatif dalam makna asosiasi, berkaitan dengan makna kata yang
memunyai “tempat” yang sama dalam sebuah frase. Dapat dikatakan gadis itu
cantik, pemuda itu tampan, dan bunga itu indah, tetapi kita tidak dapat gadis itu
tampan, pemuda itu cantik, dan bunga itu molek. Masing-masing memunyai
keterikatan dalam frase.
7. Makna Idiomatikal dan Peribahasa

Makna idiom tidak berkaitan dengan makna leksikal atau makna gramatikal
unsur-unsurnya. Hal tersebut sesuai dengan pengertian idiom, yakni satuan-satuan
bahasa (kata, frase, maupun kalimat) yang maknanya tidak dapat diperkirakan dari
makna leksikal unsure-unsurnya maupun makna gramatikalnya. Dicontohkan
kata-kata ketakutan, kesedihan, keberanian , dan kebimbangan, menurut kaidah
gramatikal memiliki makna hal yang disebut bentuk dasarnya.Tetapi kata
kemaluan, bermakna lain, tidak memiliki makna gramatikal. Kata tersebut
bermakna idiomatikal, yakni alat kelamin laki-laki atau perempuan.

Dua macam bentuk idiom dalam bahasa Indonesia, yaitu idiom sebagian dan
penuh. Idiom penuh ialah idiom yang unsur-unsurnya secara keseluruhan sudah
merupakan satu kesatuan dengan satu makna. Contohnya, membanting
tulang dan meja hijau. Lain dengan idiom sebagian yang masih memiliki makna
leksikalnya sendiri, seperti koran kuning yang berarti koran yang seringkali
memuat berita sensasi.

Makna peribahasa berbeda dengan makna idiom. Perbedaannya, makna


peribahasa berkaitan dengan asosiasi. Misalnya, ada dua orang yang selalu

8
bertengkar, dapat dimaknai dalam peribahasa bagai anjing dan kucing.
Sebenarnya peribahasa tersebut mengingatkan kita bahwa anjing dan kucing
memang binatang yang tidak pernah rukun.
8. Makna Kias

Makna kias merupakan oposisi dari arti sebenarnya. Tidak merujuk pada arti
sebenarnya. Misalnya, raja siang bermakna matahari, atau kata bunga dalam
kalimat Amanah adalah bunga di desa kami berarti gadis cantik. Makna kiasan
sangat berkaitan dengan kiasan, perbandingan, atau persamaan.

D. Relasi Makna dan Struktur Bahasa Indonesia


Relasi makna dalam bahasa Indonesia adalah hubungan arti kata dalam
sebuah kalimat. Relasi makna dalam bahasa Indonesia dibagi menjadi beberapa,
diantaranya adalah sinonim, antonim, homonim, hiponim, hipernim, homofon,
polisemi, ambiguitas dan redundansi. Berikut ini akan dibahas masalah-masalah
tersebut satu per satu.

1. Sinonim

Secara etimologi kata sinonim berasal dari bahasa Yunani kuno yang
terdiri dari dua kata yaitu, onoma yang berarti ‘nama’, dan ‘syn’ yang berarti
‘dengan’. Maka secara harfiah sinonim berarti ‘nama lain untuk benda atau dua
hal yang sama’, sedangkan secara semantis, sinonim dapat didefinisikan sebagai
ungkapan (dapat berupa kata, frase atau kalimat) yang maknanya kurang lebih
sama dengan makna ungkapan lain.

Contoh:

Buruk dan jelek rupa adalah dua buah kata yang bersinonim,

Bunga, kembang dan puspa adalah tiga buah kata yang bersinonim,

Mati, wafat, meninggal dan mampus adalah empat buah kata yang   bersinonim.

Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah. Jadi,
kalau kata bunga bersinonim dengan kata kembang, maka kata kembang juga

9
bersinonim dengan kata bunga. Begitu juga kalau kata buruk bersinonim dengan
kata buruk.

Pada definisi di atas tersirat “maknanya kurang lebih sama”. Ini berarti, dua buah
kata

yang bersinonim itu; kesamaannya tidak seratus persen, hanya kurang lebih saja,
kesamaannya tidak bersifat mutlak (Agusta 1971:89, Ullman 1972:141).
Kesamaannya bersifat tidak mutlak karena dalam semantik ada prinsip umum
yang mengatakan bahwa jika bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda,
walaupun perbedaannya hanya sedikit. Demikian juga dengan kata-kata yang
bersinonim, makna katanya pun tidak persis sama. Hal ini disebabkan karena
bentuknya tidak sama sehingga berpengaruh pada makna kata tersebut, walaupun
kata-kata tersebut bersinonim.

Kata- kata yang bersinonim tidak memiliki makna yang sama persis sama,
sehingga kata-kata tersebut tidak selalu dapat saling menggantikan kedudukan
masing-masing kata dalam sebuah kalimat yang berbeda, misalnya, kata mati dan
meninggal yang memiliki makna kata yang sama. Tetapi dalam konteks sebuah
kalimat, dua kata yang bersinonim tersebut memiliki kedudukan kata yang
berbeda. Hal ini bisa dilihat dari contoh di  bawah ini:

-Meninggal: Ayah Ani sudah meninggal sejak lima tahun yang lalu.

-Mati: Tikus itu mati diterkam kucing liar.

Dua buah kata tersebut sebenarnya bermakna kata sama, yaitu sudah tidak
bernyawa, akan tetapi dalam penggunaannya dalam sebuah kalimat sangat
berbeda. Meninggal dalam konteks bahasa Indonesia hanya boleh digunakan
untuk manusia, sedangkan mati bisa digunakan untuk manusia dan hewan, tetapi
umumnya hanya digunakan untuk hewan. Mengapa demikian? Karena kedudukan
kata meninggal lebih tinggi daripada mati. Jadi, kedua kata tersebut tidak dapat
saling menggantikan walaupun bermakna kata sama.

10
Penjelasan tentang dua kata yang bersinonim tidak memiliki makna yang
persis sama dapat memacu timbulnya pertanyaan seperti ini, lalu apakah yang
sama dari dua kata yang bersinonim tersebut? Menurut teori Verhaar yang sama
adalah informasinya; padahal jika kita analisa lagi, informasi bukanlah sebuah
makna karena informasi bersifat ekstralingual sedangkan makna bersifat bersifat
intralingual.

Ketidakmungkinan untuk menukar sebuah kata dengan kata lain yang bersinonim

disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya:

a. Faktor waktu

Hulubalang bersinonim dengan kata komandan. Kedua kata tersebut


bersinonim tetapi tidak dapat dengan mudah dipertukarkan. Hal ini disebabkan
karena kata hulubalang hanya cocok digunakan pada situasi kuno, klasik.
Sedangkan kata komandan hanya cocok digunakan untuk situasi masa kini
(modern).

b. Faktor tempat atau daerah

Kata saya dan beta. Dua kata tersebut bersinoim, tetapi tidak dapat
digunakan secara sembarangan. Dua kata yang bersinonim ini tidak dapat saling
menggantikan kedudukan masing-masing. Kata beta memang mempunyai arti
“saya”, tetapi kata beta hanya cocok digunakan untuk wilayah Indonesia bagian
timur (Maluku). Sedangkan kata saya bias digunakan di wilayah amanapun,
karena kata tersebut bersifat umum dan sudah banyak dimengerti oleh orang.

c. Faktor sosial

Misalnya kata saya dan aku. Kata saya dan aku merupakan dua kata yang
bersinonim dan dapat saling menggantikan kedudukan masing-masing, yang
membedakan adalah status sosial. Kata ‘Aku’ adalah kata yang hanya dapat
digunakan pada teman sebaya dan tidak dapat digunakan untuk orang yang lebih
tua atau lebih tinggi status sosialnya. Sedangkan kata ‘Saya’ bersifat umum dan
dapat digunakan oleh segala usia. Kata saya terdengar lebih halus dan sopan jika
digunakan untuk berkomunikasi dengan orang lain.

11
d. Faktor bidang kegiatan

Misalnya kata tasawwuf, kebatinan, dan mistik. Adalah tiga buah kata yang
bersinonim. Akan tetapi ketiga kata tersebut berbeda penggunaannya sehingga
makna dari ketiga kata tersebut agak sedikit berbeda. Kata tasawwuf lazimnya
digunakan dalam agama islam, sedangkan kata kebatinan untuk hal yang tidak
berhubungan dengan islam dan kata mistik lebih bersifat umum.

e. Faktor nuansa makna

Misalnya kata bekas dan mantan. Kedua kata tersebut bersinonim hanya saja
nuansa

maknanya berbeda. Kata bekas lazim digunakan untuk apa saja sedangkan kata
mantan hanya lazim digunakan dalam hal-hal tertentu, contohnya bekas rumah,
bekas teman, bekas pacar dsb. Sedangkan mantan hanya cocok seperti contoh kata
mantan presiden, mantan rektor, mantan menteri, dsb.

Mengenai sinonim dalam bahasa Indonesia, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan. Pertama, tidak semua kata dalam bahasa Indonesia tidak semua
bersinonim, kedua, ada kata-kata yang bersinonim pada bentuk dasar tetapi tidak
pada bentuk jadian, misalnya kata benar dan betul, tetapi kata kebetulan tidak
sama dengan kebenaran. Dua kata tersebut bemakna beda. Ketiga, ada kata-kata
yang tidak bersinonim pada bentuk dasar tetapi bersinonim pada bnetuk jadian,
misalnya kata pimpin. Kata pimpin tidak bersinonim, tetapi jika kata memimpin
ada sinonimnya yaitu membimbing, menuntun, mengetuai, dan menunjukkan.
Keempat, ada kata-kata yang “dalam arti sebenarnya” tidak mempunyai sinonim,
tetapi dalam arti “kiasan” justru mempunyai sinonim. Misalnya saja kata hitam.
Hitam dalam arti yang sebenarnya adalah sebuah warna, yang tidak ada
sinonimnya sama sekali. Tetapi jika dalam arti kiasan hitam memiliki banyak arti
seperti mesum, gelap, buruk, jahat dan tidak menentu.
2. Antonim dan Oposisi

Antonim dalam bahasa Indonesia berarti “lawan arti kata”. Jika sinonim
adalah persamaan arti kata, sedangkan antonym adalah lawan arti kata. Antonym

12
berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu onoma yang artinya nama dan anti yang
artinya melawan. Maka secara harfiah antonim berarti nama lain untuk benda lain
pula. Seacra semantic, Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai: ungkapan
(biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang
maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Misalnya saja kata
tinggi berantonim dengan kata rendah, kata panjang berantonim dengan kata
pendek, dsb.

Sama halnya dengan sinonim, antonim pun terdapat pada semua tataran
bahasa: Tataran morfem, tataran kata, tataran frase dan tataran kalimat. Dalam
bahasa Indonesia, untuk tataran morfem (terikat) barangkali tidak ada, sedangkan
dalam bahasa inggris sering kali kita jumpai contoh kata thankful dengan
thankless, di mana ful dan less berantonim; antara progresif dengan regresif, di
mana pro dan re- yang juga berantonim; juga antara bilingual dengan
monolingual, di mana bi- dan mono juga berantonim.

Pada hakikatnya, antonim sebenarnya sama halnya dengan sinonim, tidak


bersifat mutlak. Itulah sebabnya dalam batasan di atas, Verhaar menyatakan
“..yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain”. Jadi hanya
dianggap kebalikan, bukan mutlak berlawanan.

Sehubungan dengan ini banyak pula yang menyebutnya oposisi makna.


Dengan istilah oposisi, maka bias tercakup dari konsep yang betul-betul
berlawanan sampai kepada yang hanya bersifat kontras saja. Misalnya saja kata
hidup dan mati adalah contoh kata yang berlawanan; hitam dan putih merupakan
contoh kata yang hanya berkontras saja. Berdasarkan sifanya, oposisi dapat
dibedakan menjadi:

a. Oposisi Mutlak

Pada oposisi mutlak, terdapat pertentangan secara mutlak. Umpamanya


kata hidup dan mati. Antara kata hidup dan mati terdapat batas yang mutlak, sebab
sesuatu yang hidup tentu tidak (belum) mati tetapi sesuatu yang mati tidak akan
hidup lagi.

13
b. Oposisi Kutub

Makna kata-kata yang termasuk pada oposisi kutub ini pertentangannya


tidak bersifat mutlak, melainkan bersifat gradasi. Artinya terdapat tingkat-tingkat
makna pada kata-kata tersebut, misalnya, kata kaya dan miskin adalah dua buah
kata yang beroposisi kutub. Pertentangan antara kaya dan miskin tidak mutlak.
Orang yang tidak kaya belum tentu merasa miskin, dan begitu juga orang yang
miskin belum tentu tidak kaya. Kata-kata yang beroposisi kutub ini umumnya
adalah kata-kata dari kelas adjektif, seperti jauh-dekat, panjang-pendek, tinggi-
rendah, terang-gelap, dan luas-sempit.

c. Oposisi Hubungan

Makna kata-kata yang bersifat hubungan (relasional) ini bersifat saling


melengkapi. Artinya, kehadiran kata yang satu karena ada kata lain yang menjadi
oposisinya, tanpa kehadiran keduanya maka oposisi ini tidak ada. Misalnya saja
kata menjual dan membeli. Kedua kata ini memang berlawanan tapi proses
kejadiannya berlaku serempak.

d. Oposisi Hierarkial

Makna kata-kata yang beroposisi hierarkial ini menyatakan suatu deret


jenjang atau tingkatan. Oleh karena itu kata –kata yang beroposisi hirearkial ini
adalah kata-kata yang berupa nama satuan ukuran (berat,panjang dan isi), nama
satuan hitungan dan penanggalan, nama jenjang kepangkatan, dsb. Misalnya
satuan meter beroposisi hierarkial dengan kata kilometer karena berada dalam
deretan nama satuan yang menyatakan ukuran panjang.

e. Oposisi Majemuk

Oposisi majemuk adalah oposisi yang memiliki lebih dari satu kata,
misalnya berdiri beroposisi dengan duduk, berbaring, tiarap dan berjongkok.
3. Homonim, Homofon, Homograf

14
Homonim secara harfiah adalah nama yang sama untuk benda atau hal lain.
Kata homonym berasal dari bahasa Yunani yaitu onoma yang berarti nama dan
homo yang berarti sama. Secara semantic Veerhar (1978) mendefinisikan
homonym sebagai ungkapan (berupa kata atau kalimat) yang bentuknya sama
dengan ungkapan lain juga (juga berupa frase, kata atau kalimat) tetapi maknanya
tidak sama. Misalnya saja kata bisa. Kata bisa dapat dijadikan arti sebagai pertama
bisa yang artinya dapat, sedangkan bisa yang kedua artinya racun ular. Bagamana
dapat terjadi bentuk-bentuk homonim? Ada dua kemungkinan penyebabnya,
diantaranya adalah. Pertama, bentuk-bentuk berhomonim itu berasal sari bahasa
dialk yang berlainan. Misalnya ‘bisa’ berasal dari daerah Melayu, sedangkan kata
‘bisa’ yang artinya sanggup berasal dari bahasa Jawa. Kedua, bentuk-bentuk yang
bersinonim itu terjadi sebagai hasil proses morfologi, contoh: ibu mengukur
kelapa di dapur adalah berhomonim dengan kata petugas agraria itu mengukur
luasnya kebun kami. Kata mengukur yang pertama terjadi sebagai hasil proses
pengimbuhan awalan me-pada kata kukur (me+kukur mengukur); sedangkan kata
mengukur yang kedua terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada
kata ukur (me+ ukur mengukur).

Selain homonim ada pula istilah homofon dan homograf. Homofon artinya
dua kata yang berbeda tetapi sama pelafalannya. Misalnya saja kata bang dan
bank. Kata bang merupakan bentuk singkat dari panggilan abang yang artinya
kakak laki-laki, sedangkan kata bank adalah sebuah lembaga yang mengurus lalu
lintas uang. Selain homofon dan homonim ada juga homograf di mana yang
berarti dua kata yang sama tulisannya tetapi berbeda bunyi. Misalnya saja kata
apel dengan apel. Kata apel yang pertama adalah nama buah-buahan sedangkan
apel yang kedua artinya kencan.
4. Hiponim dan Hipernim

Kata hiponim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu ‘onoma berarti nama dan
‘hypo’ berarti ‘di bawah’. Jadi, secara harfiah hiponim adalah ‘nama yang
termasuk di bawah nama lain’. Secara semantic Veerhar (1978:137) menyatakan
bahwa hiponim adalah ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi kiranya juga berupa

15
frase atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu
ungkapan lain. Umpamanya kata mawar dan bunga, mawar berhiponim pada
bunga karena makna mawar berada atau di dalam kata bunga. Mawar memang
bunga tetapi bunga bukan hanya mawar saja melainkan juga termasuk melati,
kamboja, raflesia, anggrek, dsb.
5. Polisemi

Polisemi adalah satu kata yang mempunyai makna lebih dari satu. Misalnya
saja kata kaki, kata kaki bisa beragam makna tergantung pada konteks kata atau
frasenya. Kata kaki bisa dibagi menjadi beberapa kata seperti kaki gunung, kaki
bukit, kaki meja. Kata kaki sendiri merupakan bagian dari anggota tubuh yang
letaknya berada di bawah. Hal itu juga berfungsi sama dengan kata kaki gunung,
kaki bukit dan kaki meja. Kata kaki pada ketiga contoh kata tersebut menunjukkan
bahwa kaki adalah sesuatu yang terletak di bawah.

Bentuk-bentuk polisemi adalah sebuah kata yang yang memiliki makna


lebih dari satu. Polisemi sendiri adalah sebuah kata sehingga dalam kamus besar
bahasa Indonesia polisemi didaftarkan sebagai sebuah entri. Perbedaan antara
polisemi dan homonim, pada homonim makna-makna pada bentuk-bentuk tidak
ada kaitan atau hubungan sama sekali antara yang satu dengan yang lain.
Sedangkan pada polisemi, makna-makna pada kata yang berpolisemi masih ada
hubungannya karena memang dikembangkan dari kompone-komponen makna
kata-kata tersebut.
6. Ambiguitas

Ambiguitas adalah kata yang bermakna ganda yang berasal dari satuan
gramatikal yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat yang terjadi sebagai akibat
penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. Misalnya frase buku matematika
baru dapat ditafsirkan sebagai (1) buku matematika itu baru terbit, atau (2) buku
itu berisi matematika dengan cara-cara terbaru dalam menyelesaikan masalah-
masalah yang tersedia. Dalam bahasa lisan, penafsiran ganda tidak akan terjadi
karena struktur gramatikal itu dibantu oleh unsur intonasi. Sedangkan dalam
bahasa tulisan, penafsiran ganda banyak kemungkinan terjadi karena dapat saja

16
terjadi penanda-penanda ejaan yang tidak lengkap diberikan. Ambiguitas dan
homonim merupakan makna kata yang hampir mirip bentuknya, yang
membedakan homonym dengan ambiguitas adalah jika homonym dilihat sebagai
dua bentuk yang kebetulan sama dan dengan makna yang berbeda sedangkan
ambigutas adalah sebuah bentuk dengan makna yang berbeda sebagai akibat dari
berbedanya penafsiran struktur gramatikal bentuk tersebut. Ambiguitas hanya
terjadi pada satuan frase sedangkan homonim dapat terjadi pada semua satuan
gramatikal (morefem, kata, frase, dan kalimat).

7. Redundansi

Istilah redundansi lazim diartikan sebagai ‘berlebih-lebihan pemakaian


unsur segmental dalam suatu ujaran’. Misalnya kalimat Bola ditendang si Udin,
maknanya tidak akan berubah jika kalimat tersebut diubah menjadi bola ditendang
oleh si Udin. Pemakaian kata oleh pada kalimat yang kedua merupakan sebuah
redundansi, karena sebenarnya pada kalimat kedua tidak perlu menggunakan kata
oleh. Secara semantik menyatakan masalah redundansi sebetulnya tidak ada,
sebab salah satu prinsip dasar semantik adalah bila bentuk berbeda maka makna
pun akan berbeda. Jadi, kalimat bola ditendang si Udin akan tampak berbeda
maknanya dengan bola ditendang oleh si Udin. Hal itu disebabkan karena pada
kalimat yang kedua lebih menonjolkan makna pelaku (agentif) pada kalimat yang
pertama. Akan tetapi Chaer (1990:109) menyatakan sesungguhnya yang
mengatakan pemakaian kata oleh dalam contoh kalimat yang kedua adalah sebuah
redundansi, yang mubazir merupakan pernyataan yang keliru atau mengacaukan
pengertian makna dan informasi. Makna adalah suatu fenomena dalam ujaran
(utterance, internal phenomenon) sedangkan informasi adalah sesuatu yang luar
ujaran(utterance-external). Jadi, yang sama antara kalimat yang pertama dengan
yang kedua adalah informasinya bukan maknanya.

E. Perubahan Makna dalam Bahasa Indonesia


1. Sebab-Sebab Perubahan Makna Kata

Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan makna kata, yaitu :

17
a. Perkembangan dalam Bidang Ilmu dan Teknologi

Perubahan makna kata yang disebabkan berkembangnya ilmu dan teknologi,


lebih tepat disebabkan timbulnya pandangan-pandangan baru terhadap suatu
konsep atau teori. Sebuah kata yang semula bermakna sesuatu yang sederhana
menjadi makna yang mewakili pandangan baru. Contohnya, makna
kata sastra yang semula berarti tulisan, berkembang menjadi karya
imajinatif. Pandangan baru atau teori baru tentang sastra, mengubah makna kata
sastra yang semula buku yang baik isi dan bahasanya menjadi karya yang bersifat
imajinatif kreatif.

b. Perkembangan Sosial dan Budaya

Perubahan makna kata dapat terjadi dalam bidang sosial kemasyarakatan.


Perubahan tersebut disebabkan adanya perbedaan kedudukan, derajat atau status
sosial, suku, tingkat pendidikan ,dan lainnya yang masih berkait. Contohnya,
kata sarjana dalam bahasa jawa kuno diartikan orang pandai atau cendekiawan,
tetapi sekarang sudah berubah menjadi orang yang sudah lulus dari perguruan
tinggi, walaupun barangkali dengan indeks prestasi ala kadarnya. Perubahan
makna tersebut berarti juga seseorang tidak akan dipanggil sarjana walaupun
pandai, tapi tidak lulus dari perguruan tinggi.

c. Perbedaan Bidang Pemakaian

Perubahan makna kata dapat disebabkan dalam setiap bidang kehidupan atau
kegiatan, memiliki kosa kata tersendiri. Kosa kata dalam bidang pertanian akan
berbeda dengan bidang agama, contohnya. Bidang pertanian menggunakan kata-
kata benih, menuai, menggarap, menanam, pupuk, dan sebagainya. Bidang agama
menggunakan kata-kata halal, haram,imam, sholat, zakat, dan lain-lain.
Selanjutnya, kosa kata dalam bidang tertentu juga dapat digunakan secara umum.
Hal tersebut dapat dicontohkan dari kata menggarap yang berasal dari bidang
pertanian, sehingga timbul frase menggarap sawah, kini banyak dipakai oleh
bidang-bidang lain dengan makna mengerjakan, seperti menggarap generasi
muda. Kata menggarap menjadi berbeda maknanya ketika digunakan dalam

18
bidang yang lain, tidak seperti makna dalam bidang pertanian. Tetapi makna
baru menggarap dalam bidang lain, masih berkaitan dengan makna asalnya.
Makna yang baru digunakan secara metaforis, sedangkan makna asal tidak.

d. Adanya asosiasi

Perubahan makna kata yang disebabkan asosiasi, masih berhubungan dengan


makna asal kata dalam bidang tertentu dengan makna kata yang baru dalam
bidang yang lain. Makna baru yang timbul berkaitan dengan hal atau peristiwa
lain yang berkenaan dengan kata tersebut. Kata amplop yang berasal dari bidang
administrasi atau surat-menyurat, makna asalnya adalah sampul surat. Ternyata
penggunaan amplop tidak hanya sebagai sampul surat, tetapi dapat menjadi
“wadah” benda lain, seperti uang. Akhirnya, makna kata amplop dapat berubah
menjadi uang, yang secara umum berarti penghargaan atas jasa yang sudah
dilakukan (positif) atau uang sogokan (negatif). Asosiasi terjadi  antara amplop
dengan uang karena berkenaan dengan wadah. Yang disebutkan wadahnya, yaitu
amplop, tetapi yang dimaksudkan adalah isinya, yaitu uang.

e. Pertukaran Tanggapan Indera

Perubahan makna kata yang disebabkan adanya pertukaran tanggapan indera,


berarti adanya penggunaan kata dalam berbahasa yang berbeda dengan fungsi
indera sebenarnya. Bila melihat fungsi indera pengecap, misalnya, maka rasa
pahit, getir, manis, asin, pedas harus ditanggap. Namun dalam penggunaannya,
rasa-rasa tersebut dapat ditanggap oleh indera lainnya. Contoh kalimat yang dapat
menjelaskan terjadi pertukaran tanggapan indera ialah kata-katanya cukup pedas.
Rasa pedas seharusnya ditanggap oleh indera pengecap (lidah), tetapi tertukar
menjadi ditanggap indera pendengaran.

f. Perbedaan Tanggapan

Setiap kata sebenarnya memunyai makna leksikal yang tetap. Namun karena
pandangan hidup dan ukuran norma kehidupan di dalam masyarakat, banyak kata
yang memiliki nilai rasa yang rendah (kurang menyenangkan) dan nilai rasa yang
tinggi (yang mengenakkan). Nilai rasa yang timbul pada suatu kata, bisa berubah

19
lagi dengan adanya perubahan pandangan hidup yang sejalan dengan
perkembangan budaya dan kemasyarakatan. Sebagai contoh, kata jamban bernilai
rasa rendah, sehingga orang-orang menggantinya dengan kata W.C, tetapi
sekarang, kata jamban dipakai lagi dan bermakna lebih baik seperti dalam
frase jamban keluarga.

g. Adanya Penyingkatan

Ada sejumlah kata atau ungkapan dalam Bahasa Indonesia, karena sering
digunakan maka ketika tidak diucapkan atau dituliskan secara keseluruhan, orang
sudah dapat memahaminya. Oleh sebab itu, orang lebih sering menggunakan
singkatannya saja daripada bentuk utuhnya. Misalnya, kalau diucapkan “Ayahnya
meninggal” tentunya yang dimaksudkan adalah meninggal dunia.
Jadi, meninggal adalah bentuk singkat dari ungkapan meninggal dunia.

h. Proses Gramatikal

Proses gramatikal seperti afiksasi, reduplikasi, dan komposisi akan


menyebabkan terjadinya perubahan makna. Namun, sebenarnya yang terjadi
bukanlah perubahan makna, sebab bentuk kata itu sudah berubah sebagai hasil
proses gramatikal. Kalau bentuk kata mengalami perubahan maka makna kata pun
akan berubah.

i. Pengembangan Istilah

Adanya pemanfaatan kosa kata bahasa Indonesia dengan cara memberikan


makna baru, merupakan suatu upaya untuk mengembangkan atau membentuk
istilah baru. Misalnya kata papan yang semula bermakna lempengan kayu tipis,
kini diangkat menjadi istilah untuk makna “perumahan”. Yang lainnya, kata
“teras” yang semula bermakna inti kayu atau saripati kayu, kini digunakan sebagai
unsur pembentuk istilah untuk makna “utama” atau “pimpinan”, seperti
frase pejabat teras yang berarti pejabat utama atau pejabat yang merupakan
pimpinan.

20
F. Jenis-Jenis Perubahan Makna
Perubahan makna dalam bahasa Indonesia beragamam seperti halnya relasi
makna dalam bahasa Indonesia. Perubahan makna dibagi menjadi beberapa
bagian yaitu generalisasi (perluasan makna), spesialisasi (penyempitan makna),
ameliorasi (peninggian makna), peyorasi (penurunan makna), sinestesia
(pertukaran makna), dan asosiasi (persamaan makna). Semua macam perubahan
makna tersebut akan dibahas secara rinci seperti di bawah ini

1. Generalisasi

Generalisasi atau perubahan makna secara luas yaitu suatu proses perubahan
makna kata dari kata yang lebih khusus ke kata yang lebih umum, atau dari makna
kata yang sempit ke makna kata yang lebih luas. Atau dengan kata lain makna saat
ini lebih luas cakupannya daripada makna di masa lampau. Chaer (1990:145)
menyatakan bahwa perubahan makna yang meluas artinya gejala yang terjadi
pada sebuah kata atau leksem yang pada mulanya  hanya memiliki sebuah makna,
tetapi kemudian karena berbagai faktor, makna tersebut menjadi makna-makna
lain. Misalnya saja kata saudara, pada tempo dulu kata saudara bermakna seperut,
sekandungan. Kemudian berkembang menjadi siapa saja yang sepertalian sedarah.
Akibatnya, anak paman pun disebut saudara. Semakin berkembang zaman,
berkembang pula sebutan saudara hingga saat ini. Bahkan saat ini siapapun dapat
dipanggil saudara walaupun tidak ada ikatan darah sekalipun, contoh:

a) Saudara saya ada delapan orang


b) Surat saudara sudah saya terima
c) Sebetulnya dia masih saudara saya, tetapi sudah agak jauh

Pada kalimat awal (a) kata saudara di sini adalah orang yang masih sedarah,
pada kalimat yang kedua (b) kata saudara di sini adalah sapaan yang lebih sopan
kepada orang lain sebagai rasa hormat, sedangkan pada kalimat yang ketiga (c)
kata saudara di sini menunjukkan tentang seseorang yang masih ada hubungan
keluarga walaupun bukan hubungan sedarah dan pada kalimat yang terakhir (d)
kata saudara di sini adalah kata sapaan kepada orang lain agar tidak terlalu kaku
dan terlihat lebih akrab.

21
2. Spesialisasi

Spesialisasi adalah sebuah proses perubahan makna dari kata umum ke kata
yang khusus. Aatau dengan kata lain spesialisasi atau penyempitan adalah gejala
yang terjadi pada sebuah kata yang pada mulanya mempunyai makna yang cukup
luas kemudian berubah menjadi terbatas hanya pada sebuah makna saja. Misalnya
saja kata sarjana. Pada zaman dulu kata sarjana dapat disandang oleh orang-orang
yang pandai atau cendekiawan, tetapi pada saat ini. Kata sarjana pada saat ini
hanya dpat disandang oleh orang-orang yang telah lulus dari perguruan tinggi.
Orang yang cerdas sekalipun jika dia tidak lulus dari perguruan tinggi, maka dia
tidak akan disebut sarjana, tetapi beda halnya dengan orang yang telah lulus dari
perguruan tinggi walaupun dengan indeks prestasi rendah orang tersebut tetap
disebut sarjana. Itulah salah satu contoh dari spesialisasi.

3. Ameliorasi

Kata ameliorasi berasal dari bahasa latin yaitu melior yang artinya ‘lebih baik’
berarti membuat menjadi ‘lebih baik, lebih tinggi, lebih anggun, lebih halus’.
Dengan kata lain, ameliorasi mengacu pada peningkatan makna kata; makna baru
dianggap lebih baik atau lebih tinggi nilainya daripada dulu. Kita ambil contoh
yang sederhana saja, kata wanita dengan perempuan. Pemakaian kata wanita pada
saat ini dirasa lebih sopan untuk digunakan daripada kata perempuan. Demikian
pula halnya beberapa contoh pasangan kata-kata berikut ini:

Istri– lebih baik, lebih hormat daripada bini

Suami– lebih baik, lebih hormat daripada laki

Pria– lebih baik, lebih hormat daripada laki-laki

Hamil– lebih baik, lebih hormat daripada bunting

Melahirkan- lebih baik, lebih hormat daridapa beranak

Meninggal dunia – lebih baik, lebih hormat daripada mati

Tunaaksara – lebih baik, lebih hormat daripada buta huruf

Tunawicara – lebih baik, lebih hormat daripada bisu

22
Adapun contoh penggunaan kata-kata tersebut dalam sebuah kalimat seperti
di bawah ini:

Istri pak Rusdi adalah seorang perawat senior di rumah sakit ternama di Jakarta
(ameliorasi)

Sampai saat ini bang Ali belum juga mempunyai bini.

Jumlah tunaaksara di Indonesia semakin lama semakin berkurang karena sudah


banyaknya orang yang mau belajar. (ameliorasi)

Dia tidak pernah mengenyam bangku sekolah sama sekali sehingga dia buta
huruf hingga saat ini.

4. Peyorasi

Peyorasi adalah sebuah perubahan makna kata menjadi lebih jelek atau
menjadi lebih buruk dari makna yang sebelumnya. Kata peyorasi berasal dari
bahasa latin yaitu ‘Pejor’ yang artinya buruk atau jelek. Proses perubahan makna
peyoratif ini kebalikan dari perubahan makna amelioratif. Sebagai contoh kata
mampus dan meninggal. Pada masa lampau, kata mampus merupakan hal yang
biasa, tetapi pada saat ini kata mampus tidak tepat digunakan karena terlalu kasar.
Pada saat ini kata mampus diganti dengan kata yang lebih halus lagi yaitu
meninggal.

5. Sinestesia

Sinestesia adalah sebuah perubahan makna yang terjadi sebagai akibat


pertukaran tanggapan antara dua indera yang berbeda. Perubahan makna ini
disebut sinestesia. Contoh:

Ibu R.A Kartini adalah seorang pejuang wanita yang harum namanya.

Anis bukanlah seorang yang baik, hatinya sangat busuk.

Dua contoh kalimat di atas merupakan contoh perubahan makna sinestesia,


di mana kata harum dan busuk sebenarnya adalah tanggapan indera, tetapi dalam
konteks kalimatnya kedua kata tersebut bisa digunakan sebagai pertukaran
tanggapan.

23
6. Asosiasi

Dalam bahasa Indonesia terdapat perubahan makna yang disebut asosiasi.


Asosiasi adalah sebuah perubahan makna yang terjadi sebagai akibat persamaan
sifat. Untuk lebih memperjelas keterangan di atas, mari kita lihat contoh di bawah
ini:

Kursi itu telah lama diidam-idamkan oleh paman Aji. (jabatan)

Saya naik garuda ke Kalimantan. (pesawat)

Dia hanya numpang makan, minum dan tidur di rumah ini tanpa mau membantu
mengerjakan pekerjaan rumah. Dia memang seorang parasit. (pengganggu)

Ketiga contoh kalimat di atas adalah contoh konkrit dari perubahan makna
asosiasi,kita analisa satu per satu contoh-contoh kalimat di atas:

Kursi itu: kursi itu di sini maksudnya adalah jabatan, pangkat, kedudukan.

Naik garuda: naik garuda maksudnya adalah pesawat yang bermerek


garuda.

Seorang parasit: seorang parasit maksudnya adalah orang yang selalu


merugikan orang lain.

G. Makna dan Penggunaan Bahasa dalam Bahasa Indonesia


Dewasa ini, penggunaan bahasa dalam bahasa Indonesia sebenarnya sangat
menyedihkan. Hal ini disebabkan karena banyak masyarakat kita yang masih tetap
mempertahankan tradisi berbahasa yang salah kaprah, di mana masyarakat tetap
sangat bersikap acuh tak acuh dengan kesalahan tersebut yang jelas kesalahan-
kesalahan tersebut sangat merusak makna dan struktur bahasa Indonesia itu
sendiri. Contoh:

Para hadirin sekalian dipersilahkan memasuki aula agar rapat dapat segera


dilaksanakan.

Adik-adikku berebut mainan hingga mereka saling pukul-memukul.

24
Dua contoh kalimat di atas merupakan kalimat sederhana yang sering
digunakan oleh masyarakat kita dalam kehidupan sehari-hari. Padahal tiga contoh
kalimat di atas merupakan sebuah kesalah-kaprahan dalam berbahasa. Seharusnya
tiga contoh kalimat di atas tersebut menjadi seperti ini:

Para hadirin dipersilahkan memasuki aula agar rapat dapat segera


dilaksanakan.

atau

Hadirin sekalian dipersilahkan memasuki aula agar rapat dapat segera


dilaksanakan.

Adik-adikku berebut mainan hingga mereka saling pukul.

atau

Adik-adikku berebut mainan hingga mereka pukul memukul.

Untuk dapat memahami kalimat yang digunakan dalam bahasa Indonesia,


maka sebaiknya kita perlu memahami makna kata tersebut agar tidak terjadi salah
paham antara si pembicara dan si pendengar. Pengertian makna itu sendiri adalah
sesuatu yang bersifat intrinsic di mana terdapat sebuah hubungan khas yang tidak
teranalisis dengan hal-hal atau benda lain. Dengan kata lain makna juga bisa
berarti kata-kata yang dihubungkan dengan sebuah kata dalam kamus. Makna
mempunyai peranan penting dalam sebuah bahasan ataupun percakapan. Menurut
Fries dalam Tarigan (1990:11) makna dibagi menjadi dua bagian yaitu makna
linguistik dan makna sosial (kultiral). Ada pendapat lain yang berbeda pendapat
tentang pembagian makna, Heatherington (1980:135) menyatakan bahwa makna
dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu makna referensial dan makna
presedensial. Hearingthon juga berpendapat bahwa makna dibagi menjadi dua
yaitu makna leksikal dan makna leksikotruktural. Lebih jauh lagi makna leksikal
dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu makna denotative dan makna konotatif.
Relasi makna dan perubahan makna merupakan penjabaran dari sebuah penjelasan
tentang makna. Dalam bahasa Indonesia relasi makna dibagi menjadi beberapa
bagian dan dapat digunakan dalam penggunaan bahasa Indonesia sehari-hari baik

25
dalam lisan maupun tulisan. Tidak hanya relasi makna saja, akan tetapi terdapat
pula perubahan makna dalam bahasa Indonesia, di mana perubahan makna
tersebut bisa juga digunakan dalam bahasa lisan maupun tulisan dalam
berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.

Saat ini penggunaan makna dan bahasa dalam bahasa Indonesia tidak
hanya terbatas pada lingkup sekolah saja, bahkan orang-orang awam juga sering
memakai makna dan bahasa Indonesia dalam kehidupan mereka secara tidak
sengaja dan tidak disadari. Untuk penggunaan makna dalam kehidupan sehari-
hari, seringnya masyarakat menggunakan perubahan makna yang bersifat
peyorasi. Hal itu terjadi karena masyarakat kita sudah terbiasa menggunakan
kalimat-kalimat yang bermakna peyorasi, dan merupakan sebuah tradisi yang
berurat berakar dalam budaya masyarakat kita, sehingga hal tersebut tidak akan
mudah dihilangkan dalam budaya masyarakat sekitar.

26
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Jika dilihat dari ilmu semantik, pengertian makna adalah suatu hubungan
khas yang tidak teranalisis dengan hal-hal atau benda-benda lain yang bersifat
intrinsik. Makna dibedakan menjadi dua bagian yaitu makna linguistic dan makna
sosial (kultural), dan dapat juga dibagi atas dua biag yaitu makna leksikal dan
makna leksikostruktural. Terdapat relasi makna dan perubahan makna dalam
bahasa Indonesia. Relasi makna dalam bahasa Indonesia terbagi atas sinonim,
antonim dan oposisi, homonim, homofon, homograf, polisemi, redundansi,
hipernim, niponim dan ambiguitas. Sedangkan perubahan makna kata meliputi
generalisasi, spesialisasi, ameliorasi, peyorasi, asosiasi, sinestesia. Relasi makna
maupun perubahan dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Dewasa ini, penggunaan bahasa dalam bahasa Indonesia sebenarnya


sangat menyedihkan. Hal ini disebabkan karena banyak masyarakat kita yang

27
masih tetap mempertahankan tradisi berbahasa yang salah kaprah, di mana
masyarakat tetap sangat bersikap acuh tak acuh dengan kesalahan tersebut yang
jelas kesalahan-kesalahan tersebut sangat merusak makna dan struktur Bahasa
Indonesia itu sendiri. Untuk dapat memahami kalimat yang digunakan dalam
bahasa Indonesia, maka sebaiknya kita perlu memahami makna kata tersebut agar
tidak terjadi salah paham antara si pembicara dan si pendengar. Pengertian makna
itu sendiri adalah sesuatu yang bersifat intrinsik di mana terdapat sebuah
hubungan khas yang tidak teranalisis dengan hal-hal atau benda lain. Dengan kata
lain makna juga bisa berarti kata-kata yang dihubungkan dengan sebuah kata
dalam kamus. Makna mempunyai peranan penting dalam sebuah bahasan ataupun
percakapan.

H. Saran
Sebagai warga Negara Indonesia seharusnya menggunakan bahasa
Indonesia dengan baik untuk berkomunikasi sehari-hari. Rusaknya tatanan bahasa
Indonesia dilakukan oleh warga Negara Indonesia sendiri yang sangat acuh tak
acuh dengan bahasa nasional mereka sendiri. Banyak faktor penyebab rusaknya
bahasa Negara Indonesia diantaranya kurangnya kesadaran masyarakat kita akan
pentingnya bahasa Indonesia.

Sebagai warga Negara Indonesia yang baik, alangkah baiknya


menggunakan  bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan sesama warga
Indonesia sendiri, tanpa perlu dicampur aduk dengan bahasa asing. Tidak hanya
menggunakan bahasa yang tepat, alangkah baiknya pula jika mempelajari seluk
beluk bahasa Indonesia agar tidak terjajah oleh warga asing yang tinggal di
Indonesia.

28
DAFTAR RUJUKAN

Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta

Chaer, Abdul. 1990. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka


Cipta

Djajasudarma, T. Fatimah. 1999. Semantik I Pengantar Ke Arah Ilmu Makna.


Bandung: Rafika Aditama

Heatherington, Madelon E. 1980. How Language Works. Cambridge,


Massachusetts: Winthrop Publishers, Inc.

29
Tarigan, Henry Guntur. 1990. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa Cipta

J.W.U., Verhaar. 1981. Pengantar Linguistik I. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press
J.W.U., Verhaar. 1999. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada
Press

30

Anda mungkin juga menyukai