Anda di halaman 1dari 25

Dosen Pengampu : Rodli TL, M.Pd.

Mata Kuliah : Sastra Dunia


Nama : Mita Tania (20032056)
BIOGRAFI ANTON CHEKHOV

Anton Pavlovich Chekhov (Анто́ н Па́влович Че́хов) (29 Januari 1860 – 15 Juli 1904) adalah
seorang penulis besar Rusia yang terkenal terutama karena cerpen-cerpen dan dramanya.
Chekhov lebih dikenal di Rusia modern karena ratusan cerpennya, dan banyak di antaranya
dianggap merupakan adikarya dalam bentuk karangan tersebut. Namun drama-dramanya juga
memberikan pengaruh yang mendalam terhadap drama abad ke-20. Dari Chekhov, banyak
pengarang drama kontemporer belajar bagaimana memanfaatkan suasana hati, hal-hal yang
kelihatannya tidak berarti dan inaksi (berdiam diri) untuk menyoroti psikologi batin para
tokohnya.
Anton Chekhov dilahirkan di Taganrog, di Rusia selatan pada 29 Januari 1860. Ayahnya
seorang pedagang kebutuhan sehari-hari, Anton adalah anak ketiga dari enam bersaudara.
Anton Chekhov jatuh cinta dengan teater dan sastra sejak masa kanak-kanak. Pertunjukan
pertama yang ia tonton adalah opereta Elena si Cantik karya Jacques Offenbach di
panggung Teater Kota Taganrog pada 4 Oktober 1873. Anton saat itu seorang murid
Gimnasium yang berusia 13 tahun, dan sejak saat itu ia menjadi pencinta besar teater.
Ia menghabiskan praktis semua tabungannya untuk teater. Kursi favoritnya di teater itu
adalah barisan belakang karena murah (40 kopek perak), dan karena murid-murid Gimnasium
membutuhkan izin khusus untuk masuk ke teater. Seringkali izin tidak diberikan dan
kebanyakan hanya untuk hari-hari biasa. Kadang-kadang Chekhov dan teman-temannya
sesama murid sekolah menyamar dan bahkan mengenakan make up, kacamata atau janggut
palsu, untuk menipu staf sekolah biasa yang memeriksa kalau-kalau ada murid yang
menonton tanpa izin.
Ibu si pengarang, Yevgeniya, adalah seorang juru cerita yang hebat, dan Chekhov diduga
memperoleh bakatnya untuk bercerita dan belajar membaca dan menulis daripadanya.
Ayahnya, Pavel Yegorovich Chekhov, seorang yang sangat berdisiplin dan fanatik, menuntut
semua anaknya mengabdikan diri kepada Gereja Ortodoks Timur dan bisnis keluarganya.
Pada 1875, ketika terancam bangkrut, ia terpaksa melarikan diri dari
para kreditur ke Moskwa, tempat kedua anak sulungnya belajar di universitas. Selama
beberapa tahun berikutnya keluarganya hidup dalam kemiskinan.
Anton tetap tinggal di Taganrog selama tiga tahun berikutnya untuk menyelesaikan
sekolahnya. Ia berusaha mencukupi kebutuhannya dengan memberikan les privat, menjual
barang-barang rumah tangga, dan belakangan, bekerja di gudang pakaian. Pada 1879,
Chekhov menyelesaikan sekolahnya di gimnasium dan bergabung dengan keluarganya di
Moskwa, setelah ia diteima di sekolah kedokteran di Universitas Negara Moskwa.
Untuk mendukung keluarganya, Chekhov mulai mengarang cerita-cerita pendek, sketsa
humor dan vignet dari kehidupan Rusia masa itu, banyak di antaranya dengan
menggunakan pseudonim seperti misalnya Antosha Chekhonte (Антоша Чехонте), Laki-laki
tanpa perasaan (Человек без селезенки), dan lain-lain. Karyanya yang pertama diterbitkan
muncul di mingguan St Petersburg Strekoza (Стрекоза, "Capung") pada Maret, 1880. Tidak
diketahui berapa banyak cerita yang ditulis Chekhov selama periode ini, tetapi ia dengan
cepat menjadi penulis yang matang. Ia segera mendapatkan reputasi sebagai penulis satir
kehidupan jalanan Rusia.
Nicolas Leykin, salah seorang penerbit terkemuka pada masa itu dan
pemilik Oskolki (Осколки, "Fragmen-fragmen"), yang kepadanya Chekhov mulai
memasukkan karya-karyanya yang lebih indah, mengenali bakat si penulis namun membatasi
prosa Chekhov, hanya pada sketsa-sketsa sepanjang satu setengah halaman. Sebagian percaya
bahwa batasan inilah yang mengembangkan ciri khas gaya penulisan Chekhov yang ringkas
padat.
Chekhov lulus sebagai dokter pada 1884, tetapi tetap menulis untuk terbitan-terbitan
mingguan dan pada 1885 mulai mengirimkan tulisannya ke Peterburgskaya Gazeta ("Gazeta
Petersburg") karya-karya yang lebih panjang dan sifatnya lebih serius. Leykin menolak
karya-karya ini. Pada Desember 1885 ia diundang untuk menulis untuk salah satu koran yang
paling dihormati di St Petersburg, Novoye vremya (Новое Время, "Zaman Baru"), yang
dimiliki dan disunting oleh milyuner Alexey Suvorin. Pada 1886 Chekhov sudah menjadi
penulis terkenal, tetapi ia masih menganggap mengarang sebagai hobi.
Dmitrii Grigorovich, salah seorang dari banyak penulis yang tertarik pada cerita-cerita
Chekhov, membujuknya agar ia lebih serius dengan bakatnya. Dalam suatu tahun yang sangat
produktif, Chekhov menulis lebih dari seratus cerita pendek dan menerbitkan kumpulannya
yang pertama, "Aneka Cerita" (Pestrye rasskazy) dengan dukungan dari Suvorin, dan pada
tahun berikutnya kumpulan cerita pendeknya "Di Kala Senja" (V sumerkakh)
memenangkannya Penghargaan Pushkin yang sangat diincar. Ini menandai awal kariernya
yang sangat produktif sebagai pengarang.
Karya Anton Chekhov :
That Worthless Fellow Platonov (Platonov yang Tidak Berguna) (l.k.1881) - satu babak
On the Harmful Effects of Tobacco (Bahaya Racun Tembakau) (1886, 1902)
Ivanov (1887) - empat babak
The Bear (1888) – (Orang Kasar) komedi satu babak
The Proposal atau A Marriage Proposal (Pinangan) (l.k.1888-1889) - satu babak
The Wedding (1889) (Pesta Perkawinan) - satu babak
The Wood Demon (Hantu Kayu) (1889) – komedi empat babak
The Seagull (Burung Camar) (1896)
Uncle Vanya (Paman Vanya) (1899-1900) – berdasarkan The Wood Demon
Three Sisters (Tiga Saudari) (1901)
The Cherry Orchard (Kebun Ceri) (1904)
Perjalanan ke Sakhalin (1895), termasuk:
Pulau Saghalien [atau Sakhalin] (1891-1895)
Melintasi Siberia
Surat-surat
Banyak dari cerita-cerita yang lebih awal ditulis dengan nama samaran "Antosha Chekhonte".
"Intrigues" (1879-1884) - sembilan cerita
"Late-Blooming Flowers" (1882)
"The Death of a Government Clerk" (1883) (difilmkan di Indonesia oleh Syuman
Djaya dengan judul "Si Mamad")
"The Swedish Match" (1883)
"Lights" (1883-1888)
"Oysters" (1884)
"Perpetuum Mobile" (1884)
A Living Chronology (1885)
"Motley Stories" ("Pëstrye Rasskazy") (1886)
"Excellent People" (1886)
"Misery" (1886)
"The Princess" (1886)
"The Scholmaster" (1886)
"A Work of Art" (1886)
"Hydrophobia" (1886-1901)
"At Home" (1887)
"The Beggar" (1887)
"The Doctor" (1887)
"Enemies" (1887)
"The Examining Magistrate" (1887)
"Happiness" (1887)
"The Kiss" (1887)
"On Easter Eve" (1887)
"Typhus" (1887)
"Volodya" (1887)
"The Steppe" (1888) - memperoleh Penghargaan Pushkin
"An Attack of Nerves" (1888)
"An Awkward Business" (1888)
"The Beauties" (1888)
"The Swan Song" (1888)
"Sleepy" (1888)
"The Name-Day Party" (1888)
"A Boring Story" (1889)
"Gusev" (1890)
"The Horse Stealers" (1890)
"The Duel" (1891)
"Peasant Wives" (1891)
"Ward No 6" (1892)
"In Exile" (1892)
"The Grasshopper" (1892)
"Neighbours" (1892)
"Terror" (1892)
"My Wife" (1892)
"The Butterfly" (1892)
"The Two Volodyas" (1893)
"An Anonymous Story" (1893)
"The Black Monk" (1894)
"The Head Gardener's Story" (1894)
"Rothschild's Fiddle" (1894)
"The Student" (1894)
"The Teacher of Literature" (1894)
"A Woman's Kingdom" (1894)
"Three Years" (1895)
"Ariadne" (1895)
"Murder" (1895)
"The House with an Attic" (1896)
"My Life" (1896)
"Peasants" (1897)
"In the Cart" (1897)
"The Man in a Case", "Gooseberries", "About Love" - the 'Little Trilogy' (1898)
"Ionych" (1898)
"A Doctor's Visit" (1898)
"The New Villa" (1898)
"On Official Business" (1898)
"The Darling" (1899)
"The Lady with the Dog" (1899)
"At Christmas" (1899)
"In the Ravine" (1900)
"The Bishop" (1902)
"The Bet" (1889)
"Betrothed" atau "A Marriageable Girl" (1903)
"Agafya"
"The Pipe"
"The Lottery Ticket"
"Verochka"

SINOPSIS NASKAH ORANG KASAR


Secara ringkas drama yang berjudul “Orang Kasar” karya Anton Chekov
menceritakan tentang seorang janda yang ditinggalkan (meninggal) oleh suami tercinta
dengan gelimangan utang. Hidup sang janda terusik ketika sang penagih utang suaminya
datang. Si janda enggan membayar karena merasa ia tidak meminjam dan memakai uang
tersebut. Akhirnya, perseteruan antara si janda dan lelaki penagih utang itu pun terjadi sangat
histeris, humoris, sekaligus romantis. Si janda berusaha keras untuk menembaknya. Namun
begitu, si janda tidak bisa menggunakan senjata tersebut. Karena merasa aneh, si penagih
utang malah mengajari si janda cara memakai senjata yang benar. Alhasil mereka saling
beradu pandang dan muncul perasaan yang disebut jatuh cinta. Akibatnya, si penagih utang
jatuh cinta kepada si janda.

NILAI MORAL
Naskah drama “Orang Kasar” karya Anton Chekov, terdapat nilai-nilai moral atau
amanat yang telah disampaikan. Nilai moral ataupun pesan yang disampaikan, yaitu tentang
sejatinya manusia yang hidupnya layak dan terlihat bahagia belum tentu ia memiliki cinta di
dalam kehidupannya dan manusia juga perlu meyakini adanya kehidupan selanjutnya dalam
kenyataan, meskipun sudah dirundung masalah berat. Selain itu, janganlah berlebihan dalam
membenci atau melakukan sesuatu dalam kehidupan, bisa-bisa berbalik arah dengan perasaan
yang keadaan semula dan dirasakan.
ORANG KASAR

Drama Komedi Satu Babak

Karya ANTON CHEKOV

Saduran WS RENDRA

Pelaku:

NYONYA MARTOPO : Janda muda, gundik seorang pemilik tanah

BAITUL BILAL : Seorang pemilik perkebunan

MANDOR DARMO : Tangan Kanan Nyonya Martopo

TIGA ORANG PEKERJA

Kejadian : Masa kini


Tempat kejadian :

DI SATU TEMPAT DAERAH PERKEBUNAN KOPI DI JAWA TIMUR. SUATU


DAERAH YANG BERALAM INDAH, SEGAR DAN KAYA. DI SINILAH PEMILIK-
PEMILIK PERKEBUNAN MEMPUNYAI RUMAH-RUMAH YANG BESAR, BAGUS
DAN MEWAH.

MEREKA SUKA MEMELIHARA KUDA DAN WAKTU SENGGANG SUKA BERBURU


TUPAI ATAU BURUNG. MEREKA SUKA PULA BERTAMASYA DENGAN KERETA
DAN KUDA MEREKA YANG BAGUS.

KETIKA LAYAR DIBUKA, NAMPAKLAH KAMAR TAMU DI RUMAH TUAN


MARTOPO YANG MEWAH ITU. PERABOTAN DI KAMAR ITU SERBA BAGUS. DI
DINDING TERDAPAT TUPAI-TUPAI YANG DIISI KAPAS, TERPAKU DENGAN
LUCU. JUGA TERDAPAT TANDUK-TANDUK RUSA, BURUNG-BURUNG BERISI
KAPAS DIJADIKAN HIASAN DISANA-SINI. SEDANG DI LANTAI BEREBAHLAH
SEEKOR HARIMAU YANG DAHSYAT YANG TENTU SAJA JUGA BERISI KAPAS.

BERMACAM GOLOK, PEDANG DAN SENAPAN ANGIN TERSIMPAN DI SEBUAH


LEMARI KACA YANG BESAR.

PADA SUATU SIANG HARI, KIRA-KIRA JAM 12.00, DI KAMAR TAMU YANG
MEWAH ITU, NYONYA MURTOPO, SANG JANDA, DUDUK DI ATAS SOFA
SAMBIL MEMANDANG DENGAN PENUH LAMUNAN KE GAMBAR ALMARHUM
SUAMINYA YANG GAGAH, BERMATA BESAR DAN BERKUMIS TEBAL ITU.
MAKA MASUKLAH MANDOR DARMO YANG TUA ITU.

DARMO : Lagi-lagi saya jumpai nyonya dalam keadaan seperti ini. Hal ini tidak
bisa dibenarkan, nyonya Martopo. Nyonya menyiksa diri! Koki dan babu bergurau di kebun
sambil memetik tomat, semua yang bernafas sedang menikmati hidup ini, bahkan kucing
kitapun tahu bagaimana berjenakanya dan berbahagia, berlari-lari kian kemari di halaman,
berguling-guling di rerumputan dan menangkapi kupu-kupu, tetapi nyonya memenjarakan
diri nyonya sendiri di dalam rumah seakan-akan seorang suster di biara.

Ya, sebenarnyalah bila dihitung secara tepat, nyonya tak pernah


meninggalkan rumah ini selama tidak kurang dari satu tahun.

NYONYA : Dan saya tak akan pergi ke luar! Kenapa saya harus pergi keluar?
Riwayat saya sudah tamat. Suamiku terbaring di kuburnya, dan sayapun telah mengubur diri
saya sendiri di dalam empat dinding ini. Kami berdua telah sama-sama mati.

DARMO : Ini lagi ! Ini lagi ! Ngeri saya mendengarkannya, sungguh! Tuan
Martopo telah mati, itu kehendak Allah, dan Allah telah memberikannya kedamaian yang
abadi. Itulah yang nyonya ratapi dan sudah sepantasnya nyonya menyudahinya. Sekarang
inilah waktunya untuk berhenti dari semua itu. Orang toh tak bisa terus menerus melelehkan
air mata dan memakai baju hitam yang muram itu! Istri sayapun telah meninggal dunia
beberapa tahun yang lalu. Saya berduka cita untuknya, sebulan penuh saya melelhkan air
mata, sudah itu selesai sudah.

Haruskah orang berkabung selama-lamanya? Itu sudah lebih dari


yang sepantasnya untuk suami nyonya!

(IA MENGELUH)

Nyonya telah melupakan semua tetangga nyonya. Nyonya tidak pergi


keluar dan tidak menjamu seorangpun juga. Kita hidup, maafkanlah, seperti laba-laba, dan
kita tak pernah menikmati cahaya matahari yang gemilang.

Pakaian-pakaian pesta telah dikerikiti tikus, seakan-akan tak ada lagi


orang baik di dunia ini. Tetapi di daerah ini penuh dengan orang-orang yang menyenangkan.
Di desa ini Perfini mengadakan location, wah, bintang-bintang filmnya kocak! Orang tak
akan puas-puas melihat mereka. Setiap malam minggu mereka mengadakan malam
pertemuan, bintang-bintang yang cantik pada bernyanyi dan Raden Ismail bermain pencak.
Oh, nyonyaku, nyonyaku, nyonya masih muda dan cantik. Ah, seandainya memberi
kesempatan pada semangat nyonya yang remaja itu… Kecantikan toh tak akan abadi. Jangan
sia-siakan. Apabila sepuluh tahun lagi nyonya baru mau keluar ke pesta, ya, sudah terlambat!

NYONYA : (TEGAS)

Saya minta, jangan bicara seperti itu lagi. Pak Darmo telah tahu,
bahwa sejak kematian mas Martopo, hidup ini tak ada harganya lagi bagi saya. Bapak kira
aku ini hidup? Itu hanya nampaknya saja, mengertikah Pak Darmo? Oh, saya harap arwahnya
yang telah pergi itu melihatbagaimana aku mencintainya. Saya tahu, ini bukan rahasia pula
bagimu, suamiku sering tidak adil terhadap saya, kejam, dan ia tidak setia, tetapi saya akan
setia, kepada bangkainya dan membuktikan kepadanya betapa saya bisa mencinta. Di sana, di
akhirat ia akan menyaksikan bahwa saya masih tetap sebagai dulu.

DARMO : Apakah faedahnya kata-kata semacam itu, bila lebih patut nyonya
berjalan di kebun atau memerintahkan orang memasang kuda kesayangan kita si Tobby dan
si Hero di depan kereta, dan kemudian pergi pesiar ataupun mengunjungi para tetangga?

NYONYA : (MENANGIS)

DARMO : (SETELAH KEHERANAN SEJENAK) Nyonyaku, nyonyaku, ada


apa? Nyonya Martopo, demi Tuhan ada apa?

NYONYA : Suami sangat mencintai kuda itu, si Tobby itu. Ia selalu tahu
mengendarainya apabila meninjau kebun-kebun. Bahkan ia pernah pula membawanya
mendaki gunung Bromo. Ia sangat gagah kalau naik kuda. Alangkah gayanya apabila ia
menarik kekang kuda dengan tangan-tangannya yang perkasa itu. Tobby, Tobby, berilah ia
rumput dua kali lipat hari ini.

DARMO : Baiklah, nyonya, baik.


BEL DIBUNYIKAN ORANG DENGAN KERAS

NYONYA : (GUGUP) Siapa itu? Saya tak mau terima tamu!

DARMO : Ya, nyonya. (PERGI KELUAR, KE PINTU TENGAH)

NYONYA : (MENATAP GAMBAR SUAMINYA)

Engkau akan melihat, Martopo, betapa aku dapat mencintai dan


mengampunimu. Cintaku bisa mati hanya bila akupun telah mati. (IA TERSENYUM
MELEHKAN AIR MATA) Dan tidakkah engkau baik dan setia, aku telah memalu? Aku
adalah istri yang mengurung dirku sendiri dan saya akan tetap tinggal setia sampai mati,
dank au, kau, kau tak punya malu, monyet yang tercinta. Kau selalu mengajak bertengkar dan
meninggalkan aku berminggu-minggu lamanya.

DARMO MASUK DENGAN GUGUP

DARMO : Oh, nyonya, ada orang ingin bertemu dengan nyonya, mendesak
untuk bertemu dengan nyonya…

NYONYA : Sudah bapak katakana bahwa sejak kematian suami saya, saya tak
mau menerima seorang tamupun?

DARMO : Sudah, tetapi ia tidak mau mendengarkannya, katanya urusannya


sangat penting.

NYONYA : Sudah bapak katakana tak menerima tamu!?

DARMO : Saya sudah berkata begitu, tetapi ia orang yang ganas, ia mencaci
maki dan nekad saja masuk ke dalam kamar, ia sekarang sudah menerobos ke kamar makan.

NYONYA : (MARAH SEKALI)

Baiklah! Bawa dia kemari! Orang tak tahu adat!

DARMO KELUAR KE PINTU TENGAH

NYONYA : Orang-orang tanpa guna! Apa pula yang mereka kehendaki dari saya!
Kenapa mereka mengganggu ketentramanku? (MENGELUH) Ya, sekarang sudah tenang,
saya harus masuk biara. (MERENUNG) Ya, biara.

BILAL MASUK DIIRINGI DARMO

BILAL : (KEPADA DARMO)

Orang goblog! Engkau terlalu banyak omong! Engkau keledai!


(MELIHAT NYONYA MARTOPO, SOPAN)
Nyonya, saya merasa terhormat untuk memperkenalkan diri saya.
Mayor Lasykar Rakyat di jaman revolusi, sekarang mengundurkan diri dan menjadi
pengusaha perkebunan, adapun nama saya: Baitul Bilal. Saya terpaksa menggangu nyonya
untuk suatu urusan yang luar biasa mendesak.

NYONYA : (RINGKAS) Tuan mau apa?

BILAL : Almarhum suami nyonya, denga siapa saya merasa beruntung bisa
bersahabat, meninggalkan kepada saya dua buah bon yang jumlahnya duabelas ribu rupiah.
Berhubung saya harus membayar bunga untuk sebuah hutang di Bank Rakyat besok pagi,
maka saya akan memohon kepada nyonya, hendaknya nyonya suka membayar hutang
tersebut, hari ini.

NYONYA : Dua belas ribu, suami saya ngebon apa saja pada tuan?

BILAL : O, macam-macam, beras, kacang, kedelai, minyak dan oh, ya –dan


juga rumput untuk kuda-kudanya.

NYONYA : (DENGAN MENGELUH, KEPADA DARMO) Oh, rumput, Pak


Darmo jangan lupa bahwa si Tobby harus diberi rumput duakali lipat hari ini.

DARMO KELUAR

Nyonya : (KEPADA BILAL) Bila mas Martopo berhutang kepada tuan, tentu
saya akan membayarnya, tapi sayang hari ini uangnya tidak ada pada saya. Besok pagi
bendahara saya akan kembali dari kota, dan saya akan memintanya untuk membayar apa
yang sepantasnya harus tuan terima, tapi, pada saat ini saya tidak bisa memenuhi permintaan
tuan. Lebih daripada itu, baru tepat tujuh bulannya suami saya meninggal dunia dan saya
tidak bernafsu untuk membicarakan masalah uang.

BILAL : Dan saya sangat bernafsu untuk bunuh diri bila saya tak bisa
membayar bunga hutang saya besok pagi. Mereka akan menyita perkebunan saya.

NYONYA : Besok lusa tuan akan menerima uang itu.

BILAL : saya tak membutuhkannya besok lusa, tapi hari ini.

NYONYA : Saya menyesal, tapi hari ini saya tak bisa membayar.

BILAL : Dan saya tak bisa menunggu sampai besok lusa.

NYONYA : Tapia pa daya saya kalau memang tak punya uang hari ini?

BILAL : Jadi nyonya tak bisa bayar.

NYONYA : Tak bisa!

BILAL : Hm, itukah kata nyonya yang terakhir?


NYONYA : Yang terakhir.

BILAL : Sungguh-sungguh.

NYONYA : Sungguh-sungguh.

BILAL : Terima kasih (MENGANGKAT BAHU)

Dan mereka mengharapkan saya untuk menahan diri. Penagih Pajak


di jalan tadi bertanya kepada saya, kenapa saya selalu kuatir? Saya membutuhkan uang, saya
merasa leher saya terjerat. Sejak kemarin pagi saya meninggalkan rumah saya di waktu hari
masih subuh dan menagih hutang kesana kemari. Seandainya ada saja yang membayar
hutangnya kan lumayan juga! Tapi tidak! Saya telah berusaha keras. Setanpun menyaksikan
bagaimana aku terpaksa menginap di penginapan terkutuk itu. Di dalam kamar yang sempit
dengan balai-balai penuh kepiding! Dan akhirnya sekarang saya mengharap untuk menerima
uang sekedarnya dan nyonya Cuma bilang “tidak bernafsu”.

Kenapa saya tidak boleh khawatir begini halnya?

NYONYA : Saya kira saya telah cukup menjelaskannya, bahwa bendahara akan
kembali dari kota, dan kemudian tuan akan mendapatkan uang tuan kembali!

BILAL : Saya datang tidak untuk bertemu dengan bendahara nyonya, saya
datang untuk bertemu dengan nyonya. Saya tak peduli pada bendahara itu! Demi syetan tidak
peduli! – Maafkan bahasa saya ini!

NYONYA : Sesungguhnyalah tuan, saya tak biasa dengan bahasa seperti itu,
ataupun tingkah laku seperti itu, saya tidak bernafsu untuk berbicara lebih lanjut.

NYONYA MARTOPO PERGI KE KIRI

BILAL : Apa bisa kukatakan sekarang? Tidak bernafsu. Tepat tujuh bulan
setelah suaminya mati! Saya harus membayar bunga bukan? Suaminya mati begitu saja,
bendaharanya pergi entak kemana – semoga ditelan syetan dia! Sekarang, terangkanlah, apa
yang harus saya lakukan? Apakah saya harus lari dari penagih dari Bank itu dengan
helicopter. Ataukah saya harus membenturkan kepala saya ke tembok batu?

Ketika saya datang ke Sudargo itu untuk menagih hutangnya, ia


pakai taktik “tak ada di rumah” dan Irwan itu terang-terangan saja lari sembunyi, saya telah
pula bertengkar dengan si KArto dan hampir-hampir saya lempar ia keluar jendela, Marno
pura-pura sakit, dan wanita ini, “tak bernafsu” katanya! Tak seorangpun diantara mereka mau
membayar hutang mereka! Dan semuanya ini sebab saya terlalu memanjakan mereka, saya
terlalu ramah dan terlalu sopan santun. Saya terlalu lembut hati terhadap mereka! Tapi
tunggulah! Saya tak akan membiarkan seseorangpun memperdayakan saya, syetan akan
menghajar mereka! Saya akan tinggal di sini dan tak akan beranjak sebelum ia membayar
utangnya!
Brrr! Betapa marah saya! Betapa heibat marah saya! Segenap urat
saya gemetar, karena marah dan saya hampir-hampir tak bisa bernafas! Oh, sampai-sampai
saya hampir sakit. Syeitan! (MEMANGGIL)

Mandor! Pak Mandor!

DARMO : Ada apa?

BILAL : Ambilkan saya kwas dan sitrun.

(DARMO KELUAR)

Nah, apa yang bisa kita perbuat. Ia tak punya uang kontan di
dompetnya? Logika macam apa ini? Saya merasa terjerat leher saya, membutuhkan uang
dengan sangat, dan hampir-hampir bunuh diri, dan ia tak mau membayar utangnya sebab ia
tak bernafsu untuk memperbincangkan masalah uang. Inilah logika perempuan! Itulah
sebabnya saya benci bicara dengan perempuan dan sekarang ini benci saya luar biasa. Lebih
baik saya duduk di atas kotak dinamit daripada berbicara dengan perempuan!

Brrr! Saya merasa dingin seperti es. Soal ini menyebabkan saya
sangat marah. Melihat mahluk romantis seperti dia itu dari jauh saja sudah cukup untuk
membuat orang berteriak minta tolong.

DARMO MASUK

DARMO : (MEMBERIKAN SEGELAS AIR KWAS)

Nyonya Martopo sakit dan tidak mau bicara dengan tamu.

BILAL : Minggat!! (DARMO PERGI)

Sakit dan tak mau bicara dengan tamu! Baiklah, boleh saja. Sayapun
juga tak mau bicara! Saya akan duduk di sini dan tinggal di sini sampai kau bayar hutang
saya. Kalau kau sakit seminggu, saya akan duduk di sini seminggu. Kalau kau sakit setahun,
saya akan duduk di sini setahun. Seluruh isi sorga menjadi saksinya, saya harus mendapatkan
kembali uang saya! Kau tidak akan mengguncangkan saya dengan duka citamu itu—dan juga
tidak dengan alis matamu yang bagus itu! Bah! Aku tak lagi heran melihat alis matamu itu!

(IA BERTERIAK KELUAR JENDELA)

Ali! Lepaskan kuda dari kereta. Kita tak akan buru-buru pulang.
Saya akan tinggal di sini. Katakana pada orang-orang di kandang itu supaya memberinya
rumput. Dua kali lipat! Kuda yang kiri itu rewel sekali. Jangan dipukul, goblog! Ya, ya, boleh
juga dipukul tapi pelan-pelan saja! Nah, begitu. (MENINGGALKAN JENDELA) Jahanam
betul! Puasnya tak terkira, tak ada uang semalam tak bisa tidur dan sekarang, baju berkabung
yang hitam dan “tidak bernafsu”.

Kepala saya sakit, mungkin saya harus minum.


Ya, saya harus minum.

(MEMANGGIL)

Mandor! Mandor!

DARMO MASUK

DARMO : Ada apa?

BILAL : Saya minta minum!

(DARMO KELUAR. BILAL DUDUK LAGI DAN MELIHAT


PADA PAKAIANNYA) Ugh, gagalnya sudah nyata. Tak bisa dibantah lagi. Debu, sepatu
kotor, belum mandi, belum bersisir, jerami mengotori pakaian – nyonya itu barangkali
mengira saya ini seorang garong. (IA MENGUAP)

Memang agak kurang sopan masuk ke ruang tamu seperti pakaian


seperti ini. Nah, ya, ya tak ada salahnya sampai sekarang. Saya datang kemari tidak sebagai
tamu. Saya penagih hutang, dan taka pa pakaian yang khusus bagi penagih hutang !

DARMO : (MASUK DENGAN SEGELAS KWAS)

Wah, tuan tampak bebas betul di sini.

BILAL : (MARAH) Apa?

Kepada siapa kau tujukan ucapanmu itu? Diam! Tak usah ngomong!

DARMO : (MARAH) Kacau! Kacau! Orang ini tak mau pergi! (KELUAR)

BILAL : Ya, syeitan, betapa marahnya saya! Cukup marah untuk melempari
seluruh dunia ini dengan Lumpur! Sampai saya merasa sakit! – Mandor!

NYONYA MARTOPO MASUK DENGAN MATA MEREDUP KE BAWAH

NYONYA : Tuan, selama hidup saya sepi ini saya tak bisa mendengar suara
manusia dan saya tak bisa tahan mendengar bicara orang keras-keras. Saya minta kepada
tuan, sukalah hendaknya supaya tidak menggangu kedamaian saya.

BILAL : Bayarlah saya dan saya akan pergi.

NYONYA : Tadi sudah saya katakana dengan jelas, dalam bahasa Indonesia
bahwa saya tak punya uang kontan, tunggulah sampai besok lusa.

BILAL : Dan sayapun merasa terhormat untuk menerangkan kepada nyonya,


juga dalam bahasa Indonesia, bahwa saya membutuhkan uang sekarang tidak besok lusa.

NYONYA : Tapi apa daya saya, bila saya tak punya uang?
BILAL : Jadi nyonya tak akan membayar segera? Begitu bukan?

NYONYA : Saya tak bisa.

BILAL : Kalau begitu saya akan duduk di sini sampai saya mendapat uang.
(IAPUN DUDUK)

Nyonya akan membayar besok lusa? Bagus sekali! saya akan tinggal
di sini sampai besok lusa. (MELOMPAT BANGKIT) Saya Tanya kepada nyonya, saya harus
membayar bunga besok pagi, bukan? Ataukah nyonya kira saya Cuma berolok-olok?

NYONYA : Tuan, saya minta tuan jangan berteriak. Ini bukan kandang kuda!

BILAL : Saya bukannya sedang membicarakan kandang kuda, saya sedang


bertanya, saya akan membayar bunga besok pagi bukan?

NYONYA : Tuan tak tahu bagaimana caranya memperlakukan seorang wanita.

BILAL : Tentu saja saya tahu.

NYONYA : Tidak! Tuan tidak tahu! Tuan ini orang kampung, orang tak tahu
adat! Seorang tuan yang terhormat tak akan bicara seperti itu di depan seorang wanita!

BILAL : Wah, hebat betul! Nyonya tau, bagaimana seharusnya orang bicara
kepada nyonya dalam bahasa Inggeris, barangkali? Dear lady, would yau like to lend me your
beautiful eyes? Pardon me for having disturb you! What a beautiful wheather

We are having today! Shell we meet again tomorrow?

(MEMBUNGKUK MEMBERI HORMAT DENGAN CARA


MENGEJEK)

NYONYA : Sama sekali tak lucu, biadab namanya!

BILAL : (MENIRU)

Sama sekali tak lucu, biadab!

Saya tak tahu bagaimana bersikap terhadap orang-orang wanita.


Nyonya yang terhormat, sepanjang umur saya ini, saya telah melihat wanita lebih banyak
daripada nyonya melihat burung gereja. Sudah tiga kali saya berkelahi karena urusan wanita,
dua belas wanita telah saya tinggalkan dan sembilan wanita telah meninggalkan saya.
Memang pernah pada saya bertingkah bagaikan bahasa yang bermadu, membungkuk-
bungkuk, dan kemalu-maluan. Saya pernah mencinta, menderita, mengeluh kepada bulan,
melelh disiksa oleh cinta. Saya pernah mencinta dengan dahsyat, mencinta sampai gila,
mencinta dalam semua tangga nada, berkicau sebagai burung ketilang tentang emansipasi,
mengorbankan separo dari harta bendaku dalam pengaruh nafsu yang lembut, tetapi sekarang,
demi syeitan, itu semua telah cukup.
Hambamu yang patuh ini tak mau lagi ditarik-tarik kesana kemari
seperti lembu yang bodoh. Cukup! Mata yang hitam mata yang bergairah, bibir yang mungil,
dekik di pipi, bisikan di terang bulan, keluh kesah yang menawan.

Bah Untuk semua itu, nyonya, aku tak mau membayarnya setalen!
Yang saya maksud bukannya teman saya berbicara sekarang, tetapi wanita pada umumnya,
dari yang kecil sampai yang besar, mereka itu sombong hipokritis, cerewet, menjengkelkan,
tak setia dari kaki sampai kepala, pongah tanpa guna, picisan, kejam dengan logika yang
memusingkan, dan … (MEMUKUL DAHINYA) dalam hal ini, harap dimaafkan
keterusterangan saya ini, seekor burung gereja dapat mengalahkan sepuluh filsuf yang
memakai kebaya, apabila orang melihat seorang wanita yang romantis di depan matanya,
maka ia lalu membayangkan bahkan yang dilihatnya itu suatu mahluk yang suci, begitu hebat
sehingga apabila ia tersentuh oleh nafas mahluk itu maka iapun merasa dirinya terapung
dalam lautan pesona yang mengagumkan, tetapi apabila orang melihat ke dalam jiwanya, tak
lain tak bukan hanya buaya!

(MENGHANTAM SEBUAH KURSI)

Tetapi yang lebih buruk dari semuanya ialah bahwa buaya ini
menganggap dirinya sebagai mahluk yang sangat artistik, seakan-akan mengambil monopoli
sebagai mahluk yang menggiurkan. Biarlah syeitan menggantung diriku jungkir balik kalau
memang ada yang pantas dicinta pada wanita!

Apabila ia jatuh cinta, apa yang ia tahu Cuma mengaduk dan


melelehkan air mata. Apabila lelakinya sudah mulai menderita dan suka berkorban, maka si
wanita mulai melagak dan mencoba menyeret lelaki itu seperti keledai.

Nyonya mempunyai nasib yang malang karena lahir sebagai seorang


wanita, dan tentu saja nyonya tahu bagaimana sifat wanita itu, coba katakana pada saya, demi
kehormatan nyonya apakah nyonya pernah menjumpai wanita yang benar-benar jujur dan
setia? Tak pernah, tentu saja! Hanya wanita yang tua dan jelek saja yang bisa setia. Lebih
gampang mencari kucing yang bertanduk atau gagak yang berbulu putih daripada mencari
wanita yang bisa setia.

NYONYA : Tapi ijinkanlah saya bertanya, siapakah yang jujur dan setia dalam
bercinta? Lelaki, barangkali?

BILAL : Ya, tepat sekali! Lelaki tentu saja!

NYONYA : Lelaki ! (IA TERTAWA KASAR)

Lelaki bisa jujur dan setia dalam bercinta! Nah, inilah suatu berita
yang baru!

(PAHIT)
Bagaimana tuan sampai bisa berkata begitu?Lelaki jujur dan setia!
Sementara sola ini sudah sampai begitu jauh, saya bisa menyatakan di sini bahwa dari segala
lelaki yang saya kenal, suami saya adalah lelaki yang terbaik, saya mencintainya dengan
hangat, dengan segenap jiwa saya, seperti yang hanya bisa dilakukan oleh seorang wanita
yang muda dan bijaksana, saya serahkan kepada kemudaan saya, kebahagiaan saya, kekayaan
saya dan hidup saya. Saya menyembah kepadanya sebagai seorang kafir. Dan apakah yang
terjadi?

Lelaki yang terbaik ini mengkhianati saya pada segala macam


kesempatan….

Setelah ia meninggal dunia, saya temukan laci mejanya penuh


dengan surat-surat cinta. Ketika ia masih hidup ia suka meninggalkan saya berbulan-bulan
lamanya, memikirkannya saja sudah ngeri. Ia bercinta-cintaan dengan wanita lain dihadapan
saya, ia memboroskan uang saya, dan memperolok-olokkan perasaan saya, tetapitoh saya
masih tetap jujur dan setia kepadanya. Dan lebih daripada itu, ia sudah mati dan saya masih
tetap setia kepadanya. Saya kuburkan diri saya di dalam empat tembok ini dan saya akan
tetap memakai baju hitam ini sampai keliang kubur saya.

BILAL : (TERTAWA KAMPUNGAN)

Berkabung! Nyonya berkabung! Nyonya kira saya ini apa? Jangan


dikira saya tak tahu kenapa nyonya memakai baju bagus yang hitam ini dan mengubur diri
nyonya diantara empat dinding ini! Rahasia macam itu. Betapa romantisnya! Nyonya mau
meniru dongeng!

Seorang bangsawan berkuda akan lewat di depan puri, ia akan


berkata dalam hatinya: “Di sinilah tinggal sang putrid Candra Kirana, yang demi cintanya
kepada suaminya telah mengubur dirinya dalam empat dinding kamarnya”.

Oh, saya sudah mengerti akan sandiwara ini!

NYONYA : (MELONCAT)

Apa? Apa maksud tuan dengan mengatakan kata-kata itu kepadaku?

BILAL : Nyonya telah mengubur hidup-hidup diri nyonya, tetapi sementara


itu nyonya lupa tak lupa membedaki hidung nyonya!

NYONYA : Alangkah lancangnya mulut tuan!

BILAL : Saya mohon untuk tidak membentak saya, saya bukannya bendahara
nyonya! Ijinkanlah saya menyebutkan kenyataan-kenyataan. Saya bukannya seorang wanita,
dan saya sudah biasa serba berterus terang mengeluarkan apa isi hati saya. Maka dari itu
dengan hormat saya minta, jangan menjerit.
NYONYA : Saya tidak menjerit. Tuanlah yang menjerit. Saya minta tuan
meninggalkan rumah ini!

BILAL : Bayarlah dan saya akan pergi.

NYONYA : Saya tak mau bayar!

BILAL : Nyonya tak mau?1 Nyonya tak mau membayar uang yang menjadi
hak saya?

NYONYA : Saya tak perduli tuan mau bertindak apa? Satu rupiahpun saya tak
mau membayar! Pergi dari sini!

BILAL : Sebab saya bukan suami nyonya atau tunangan saya, maka janganlah
nyonya membikin rebut.

(DUDUK)

Saya tak tahan lagi.

NYONYA : (MENARIK NAFAS JENGKEL)

Apakah tuan berniat akan duduk?

BILAL : Saya memang sudah duduk.

NYONYA : Dengan hormat, pergilah!

BILAL : Dengan hormat, bayarlah uang saya!

NYONYA : Saya tak sudi bicara dengan orang biadab. Pergi !

(PAUSE)

Pergi, atau tidak.

BILAL : Tidak.

NYONYA : Tidak ?

BILAL : Tidak.

NYONYA : (MENGEBEL, DARMO MASUK)

Pak Darmo, antarkan tuan Baitul Bilal ini pergi.

DARMO : (DENGAN GAGAH MENGHAMPIRI BILAL)

Tuan, mengapa tuan tidak pergi kalau memang diminta pergi? Mau
apa sebenarnya tuan ini?
BILAL : (MELONCAT BANGUN)

Kau kira kau bicara dengan siapa? Kugilas lumat-lumat kau nanti.

DARMO : (MEMEGANG JANTUNGNYA) Ya Tuhan. (JATUH DI KURSI)


Oh, saya sakit, saya tak bisa bernafas.

NYONYA : Dimana Suto?

(MEMANGGIL) Suto ! Suto !Amat ! Amat ! (MENGEBEL)

DARMO : Mereka sedang pergi semua! Dan saya mendadak sakit. Oh, air!

NYONYA : Tuan Baitul Bilal! Pergilah… Oh, pergi! Keluar!

BILAL : Dengan hormat, agak sopankah sedikit!

NYONYA : (MENINJU UDARA MENGHENTAKKAN KAKI)

Engkau kasar! Engkau biadab! Engkau monyet!

BILAL : Apa katamu?

NYONYA : Engkau biadab, engkau monyet!

BILAL : (CEPAT MENHAMPIRINYA)

Ijinkanlah saya bertanya, atas hak apa nyonya menghina saya?

NYONYA : Habis, mau apa lagi? Tuan kira saya takut pada tuan?

BILAL : Nyonya kira karena nyonya ini mahluk yang romantis lalu nyonya
bebas menghina saya tanpa mendapat balasan? Saya menentang nyonya!

DARMO : Ya, Robbi! Air!

BILAL : Ini harus diselesaikan dengan duel.

NYONYA : Apakah tuan mengira karena tuan begitu gagah, lalu saya takut
kepada tuan?

BILAL : Saya jelaskan di sini bahwa saya tak mengijinkan seorangpun


menghina saya, dan saya tak akan mengecualikan nyonya hanya semata-mata karena nyonya
seorang wanita, seorang “sex yang lemah”, katanya.

NYONYA : (MENCOBA MENGALAHKANNYA DENGAN TANGIS)

Badak ! Kamu badak ! Badak!

BILAL : Inilah saatnya untuk membuang tahyul lama yang beranggapan


bahwa hanya lelaki saja yang harus memberi kepuasan. Bila ada persamaan antara laki dan
wanita, mestinya persamaan itu dalam segala hal. Emansipasi wanita! Bah! Akhirnya toh ada
batasnya! Inilah buktinya!

NYONYA : Jadi tuan betul-betul menantang duel atau bagaimana? Baiklah…

BILAL : Segera.

NYONYA : Segera. Aku kurang berlatih tinju, tapi suamiku punya banyak
senapan di sini. Beberapa tupai dan burung saja sudah gugur karenanya, dan sekarang
senapan itu dengan mudah akan menggugurkan tuan juga.

BILAL : Oh, senapan angin! Boleh saja!

NYONYA : Dengan gembira saya akan menembus kepala tuan. Semoga tuan
dimakan syeitan! (MENGAMBIL SENAPAN, MASUK)

BILAL : Akan saya tembak alis matanya yang bagus itu. Saya bukan orang
banyak cincong, bukan pula pemuda hijau yang sentimental. Bagi saya tak ada “sex yang
lemah”.

DARMO : Oh, tuan! (BERLUTUT) Kasihanilah saya, seorang tua seperti saya
ini. Pergilah. Tuan sudah menakut-nakuti saya sampai hampir mati, dan sekarang tuan ingin
berduel pula.

BILAL : (TAK PERDULI) Ya, duel! Itulah persamaan, itulah emansipasi.


Dengan begitu lelaki dan wanita sama. Saya akan menembaknya demi prinsip ini. Apalagi
yang harus saya katakana terhadap wanita semacam dia.

(MENIRUKAN) “Dengan gembira saya akan menembus kepala


tuan. Semoga tuan dimakan syeitan!”

Apalagi yang bisa dikatakan tentang ini? Ia marah, matanya


berkilauan, ia menerima tantangan. Demi kehormatan saya, baru inilah pertama kalinya saya
jumpai wanita seperti itu!

DARMO : Oh, tuan. Pergilah. Pergi!

MASUK NYONYA MARTOPO, MEMBAWA DUA SENAPAN ANGIN

NYONYA : Inilah senapannya. Tetapi sebelum kita berduel, saya minta ajarilah
dulu caranya menembak.

Saya agak kurang biasa dengan senapan tadinya.

DARMO : Ya robbi, kasihanilah kami! Saya akan pergi dan memanggil orang.
Oh, kenapa malapetaka ini menimpa kepala kami! (PERGI KELUAR)

BILAL : (MEMERIKSA SENAPAN)


Ini namanya senapan angin. Ya, ini pelurunya, memang bagus untuk
menembak burung, tetapi ini lain dari senapan biasa, ya, ya, boleh juga.

Lihatlah, BSA, caliber 5,5. Dua senapan ini harganya tak kurang dari
dua belas ribu. Beginilah cara memakai.

(KESAMPING)

Aduh, alis matanya! Sungguh wanita sejati!

NYONYA : Sudah ?

BILAL : Ya, beginilah, lalu tariklah bila ditembakkan.

(MENGAJAR)

Begini – bidiklah. Coba miringkan sedikit kepala nyonya. Popornya


harus tepat di bahu ini. Ya, begitu. Tangan hendaknya jangan kaku. Lemas tapi kuat – coba –
ya, jangan gemetar. Pelan-pelan bernafas. Bidiklah baik-baik. – aha, enak bukan?

NYONYA : Tak enak menembak di dalam rumah, marilah kita keluar kebun.

BILAL : Ya, tapi saya belum selesai mengajar, saya beri contoh dulu. Saya
ajar cobanya menembak ke udara.

NYONYA : Terlalu! Itu tak perlu! Kenapa?

BILAL : Sebab.. sebab. Itu urusan saya.

NYONYA : Tuan takut? Ya, memang! Aaaah! Jangan begitu, tuan terhormat
jangan gila-gilaan.

Ayo, ikut saya. Saya belum merasa tentram sebelum membuat


lubang di dahi tuan yang saya benci itu. Apakah tuan takut?

BILAL : Ya, saya takut.

NYONYA : Bohong! Kenapa tak mau bertempur?

BILAL : Sebab…, sebab…, sebab…, saya suka kepada nyonya.

NYONYA : (TERTAWA MARAH)

Tuan suka saya! Begitu berani ya bilang kalau suka saya!


(MENUNJUK) Pergi!!

BILAL : (MELETAKKAN SENAPAN PELAN-PELAN DI ATAS MEJA,


MENGAMBIL TOPINYA DAN PERGI KE PINTU. DI PINTU IA BERHENTI
SEBENTAR DAN MENATAP NYONYA MARTOPO, LALU IA MENGHAMPIRINYA
AGAK BIMBANG)
Dengarlah! Apa nyonya masih marah? Saya begitu gila seperti
syeitan, tetapi saya harap nyonya bisa mengerti, ah, bagaimana saya akan menyatakannya?
Soalnya adalah begini…, soalnya ialah…, (MENINGGIKAN SUARA) Lihatlah apakah salah
saya bahwa nyonya berhutang kepada saya? Saya tak bisa disalahkan bukan? Saya suka
kepada nyonya! Mengertikah? Saya… saya hampir jatuh cinta.

NYONYA : Pergi! Saya benci kepada tuan!

BILAL : Ya, Robbi! Alangkah hebatnya wanita ini! Saya belum pernah
melihat wanita yang sehebat ini. Saya kalah, remuk redam! Saya seperti tikus yang kena
perangkap.

NYONYA : Pergilah, atau saya tembak nanti!

BILAL : Tembaklah! Nyonya tak tahu bagaimana bahagia rasanya mati di


depan pandangan mata sepasang mata yang berkilauan itu. – ah, alisnya! – Mati ditembak
oleh senapan angin yang dipegang oleh tangan yang halus dan mungil itu! Saya gila! Cobalah
pertimbangkan baik-baik, dan cepatlah putuskan, sebab bila saya pergi sekarang, itu artinya
kita tak akan pernah berjumpa lagi. Putuskanlah, bicaralah, -- saya masih priyayi, orang
terhormat, penghasilan saya sebulan tak kurang dari sepuluh ribu, saya bisa menembak
burung yang sedang terbang. Saya banyak punya kuda yang bagus. Maukah nyonya menjadi
istriku?

NYONYA : (MEMBIDIK) Saya tembak!

BILAL : Ah, saya bingung, saya kurang mengerti! – Mandor, air!

Saya telah jatuh cinta seperti anak sekolahan saja.

(IA MENJAMAH TANGAN NYONYA MURTOPO DAN


WANITA ITUMENANGIS)

Saya cinta kepadamu!

(BERLUTUT)

Saya belum pernah mencinta wanita seperti ini. Dua belas wanita
telah saya tinggalkan dan sembilan meninggalkan saya, tetapi tak seorangpun pernah saya
cintai sebagaimana saya mencintaimu. Saya sudah kalah, tunduk seperti orang tolol, saya
meniarap dilantai memohon tanganmu.

Terkutuklah saya ini! Sudah lima tahun saya tidak jatuh cinta, saya
seperti sebuah kereta yang terkait pada kereta lain. Saya mohon pertolonganmu! Ya, atau
tidak? Sudikah nyonya? –Baiklah!

(IA BANGKIT DAN CEPAT-CEPAT MENUJU PINTU)

NYONYA : Tunggu dulu!


BILAL : (BERHENTI) Ya?

NYONYA : Tidak apa-apa. Tuan boleh pergi. Tetapi tunggu dulu. Tidak, pergilah,
pergi. Saya bensi kepada tuan. Atau… tidak, jangan pergi, oh,kalau tuan tahu bagaimana
marah saya! (MEMBUANG SENAPAN)

Jari saya linu-linu memegang barang seperti ini.

(MENHAPUS AIR MATA DENGAN MARAH)

Untuk apa tuan berdiri di situ? Keluar!

BILAL : Selamat tinggal!

NYONYA : Ya, pergilah

(MENANGIS)

Kenapa pergi? Tunggu! – Tidak, pergi! Oh alangkah marahnya saya


ini!

Jangan mendekat…, oh…, kemarilah…, jangan!... jangan dekat-


dekat.

BILAL : (MENGHAMPIRI)

Saya marah kepada diri saya sendiri. Jatuh cinta seperti anak sekolah,
berlutut dan menghiba-hiba. Saya merasa demam. (TEGAS) Saya cinta kepadamu. Ini sehat.

Apa yang saya butuhkan, ialah jatuh cinta. Besok pagi saya harus
membayar bunga ke bank, panen kopi sudah tiba, dan kemudian muncullah nyonya!

(MENCIUM TANGAN NYONYA MARTOPO)

Tak akan saya maafkan diri saya ini.

NYONYA : Pergilah! Ngan cium di tangan saya!

O, saya benci… saya benci… saya…

(TANGANNYA YANG SATUNYA MEMBELAI KEPALA


BILAL)

MASUK DARMO DAN DUA ORANG YANG LAINNYA.

MEREKA MEMBAWA SAPU, SABUT DAN SEKOP.

DARMO : (TERPESONA)

Ya, Tuhan! Ya, Robbi!


Yogyakarta, Februari 2007

Diketik ulang oleh studio teater PPPG Kesenian Yogyakarta.

DAFTAR PUSTAKA

Penerbitan Pro Aliansi Internasional, CreateSpace, Bloomsbury, Ullstein bild / Getty Images.

Waluyo, Herman. J. (2011).


Pengkajian dan Apresisasi
Prosa Fiksi. Surakarta:
Sebelas Maret University
Press.
Wiyatmi. 2006. Pengantar
Kajian Sastra. Yogyakarta:
Pustak
Waluyo, Herman. J. (2011).
Pengkajian dan Apresisasi
Prosa Fiksi. Surakarta:
Sebelas Maret University
Press.
Wiyatmi. 2006. Pengantar
Kajian Sastra. Yogyakarta:
Pustak

Anda mungkin juga menyukai