PENDAHULUAN
Bagi generasi muda sekarang mungkin cukup aneh bila mendengar kata
cersil/tjersil tapi bagi generasi 1960an pastilah tahu kalau yang dimaksud adalah
cerita silat. Cerita silat dapat didefinisikan sebagai suatu cerita yang mengandung
jurus-jurus silat dan inti dari sifat-sifat kependekaran (sifat yang dimaksud adalah
berani bertindak membela yang benar, menegakkan keadilan, menolong yang lemah,
melawan musuh, menjunjung tinggi persahabatan, cinta negara, dan rela berkorban
nyawa). Cerita silat yang dimaksud juga hanya mencangkup cerita Cina klasik yang
sarat dengan iklim kependekaran (perguruan/aliran silat, jurus-jurus maut, dll) dan
cerita-cerita lainnya yang terinspirasi dari cerita-cerita tersebut, jadi jika anda
bertanya kepada maniak cerita silat, ia pasti tidak mempunyai buku “Mushashi”
karya Eiji Yoshikawa. Cerita silat pada umumnya kental dengan nuansa negeri Cina,
karena memang berasal dari Cina, tetapi ada juga cerita silat garapan asli Indonesia
yang bersetting Indonesia (contohnya cerita silat jawa). Konon cerita silat awalnya
bukan bacaan yang populer, malahan sastra rendah yang hanya dinikmati oleh
bahwa cerita sejenis ini (baca:cerita silat) seringkali diulang-ulang dan penggunaan
bahasanya sangat buruk, cerita seperti ini tidak ada bedanya dengan roman picisan
biasa. Wang Du Lu, salah satu penulis cerita silat terbesar, pengarang Crouching
Tiger Hidden Dragon, pernah menyesali pekerjaannya sebagai penulis cersil karena
menganggap pekerjaan itu hanya pekerjaan rendahan untuk menyambung hidup.
Sampai awal abad ke 20, cersil memang merupakan bacaan ‘rendah’ dan dibayang-
bayangi oleh roman sejarah yang megah dan terkenal seperti San Guo Yanyi
Brothers), atau roman klasik seperti Hong Lou Meng (Dream of the Red
Chamber/The Story of the Stone/Impian Dari Paviliun Merah), dan Qin Ping Mei
(Ching Ping Mei/The Golden Lotus/Teratai Emas). Usai runtuhnya Dinasti Qing
masyarakat mulai berpaling pada cerita silat yang lebih mengandung nilai
penulis-penulis cersil modern seperti Huanzhu Louzhu (penulis The Legend of Zu)
dan Wang Du Lu. Kemudian genre cersil terbagi menjadi dua bagian yaitu, genre
utara yang lebih mengikuti standar sejarah, dan genre selatan yang lebih terpengaruh
terhadap roman barat dan lebih bebas. Setelah kemenangan partai komunis,
penulisan cerita silat beralih ke selatan, yaitu Hongkong. Muncullah penulis cersil
kenamaan seperti Jin Yong atau Chin Yung/Louis Cha Liang Yong penulis trilogi
cersil yang paling sukses yaitu, Sia Tiauw Eng Hiong/She Diao Ying Xiung
Zhuan/Legend of the Condor Heroes, Sin Tiauw Hiap Lu/She Diao Xia Lu/Return of
the Condor Heroes, dan Ie Thian To Liong/Yi Tian Du Long Ji/Heaven Sword &
Dragon Sabre/Golok Pembunuh Naga; lalu penulis terkenal lainnya seperti Liang
Yusheng, penulis saga pendekar Thian San. Kemudian penulis yang tak kalah
hebatnya yaitu Gu Long atau Khu Lung/Xiong Yaohua dari Taiwan dengan Jue Dai
Shuang Jiao/The Legendary Twins/Bakti Pendekar Binal. Dengan modal cersil yang
luar biasa dan melegenda, Cina melebarkan sayapnya dengan mengangkat cersil
menjadi film serial maupun film lepas. Produksi film serial bertemakan cerita silat
sampai sekarang masih diproduksi dan diputar di berbagai negara. Kisah Kembalinya
televisi sebanyak empat kali yaitu tahun 1983, 1995, 1998, dan 2005/2006;
kemudian dibuat juga versi animenya di Jepang tahun 2001; serial ini juga sempat
oleh Andy Lau. Masyarakat awam mungkin tak kenal dengan karakter Yang Guo
dari serial ini, tapi siapa yang tak kenal dengan Yoko (ejaan Yang Guo yang
disesuaikan) dan alunan soundtrack oleh Yuni Sarah. Selain film, media alternatif
untuk cersil adalah komik. Nama besar Tony Wong pasti bergema di telinga para
pencinta komik silat, dengan karya-karyanya yang terkenal yaitu Tiger Wong/Long
Hu Men, Tapak Sakti, Tapak Buddha, dll. Beliau masih aktif sampai sekarang,
yaitu Lee Chi Ching yang mengilustrasikan karya-karya Jin Yong yaitu Pendekar
Cersil pertama yang diterbitkan di Indonesia adalah Sam Hiap Ngo Gie/San Hsieh
Wu Yi/Tiga Pendekar dan Lima Budiman karya Shie Yu Kun. Cersil kebanyakan
diterbitkan dengan bahasa Hokkian yang sering kemudian disebut sebagai bahasa
melayu rendah. Mula-mula cersil dimuat di harian Sin Po dan Keng Po, kemudian
seiring dengan waktu, cersil mulai diterbitkan per jilid. Kebanyakan cersil yang
beredar adalah saduran atau terjemahan dari cersil Cina. Banyak penyadur yang
sudah dikenal namanya di ‘dunia persilatan’ seperti Oey Kim Tiang/OKT, Gan Kok
Liong/Gan KH, Gan Kok Hwie/Gan KH, Tjan Ing Djoe/Tjan ID, dll. Mereka kerap
kali menyadur karya-karya Jin Yong, Gu Long, dll. Kemudian munculah penulis
cersil Indonesia yaitu Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo/KPH dari Solo. Chen
Wei An, pengamat cersil, menjuluki beliau sebagai ‘pendekar asmara dari gunung
lawu’. KPH sebagai penulis Indonesia yang paling aktif sudah menerbitkan ratusan
judul cersil. Tidak hanya berkutat dengan budaya tionghoa, beliau juga menerbitkan
cersil jawa. Selain cersil serial televisi dan film lepas bertemakan cersil juga beredar
Berkembang pesat pada tahun 60-70an, cersil sempat ‘mandek’ dari peredaran
pada awal 90an. Pada tahun 2000an, penerbitan cersil mulai jalan lagi. Karya-karya
saduran mulai muncul di toko buku. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa cersil
sekarang tidak bisa menyaingi masa keemasannya pada tahun 60an. Pada tahun 60-
70an cersil memang menjadi bacaan yang populer Indonesia masih dalam suasana
perjuangan, tema tentang jiwa ksatria dan cinta tanah air memang cocok untuk masa-
masa itu. Pada masa itu bukan saja cersil Cina yang laris, banyak cersil jawa (tema
Jepang dan Amerika. Salah satu nama besar yang berhasil memikat generasi muda
adalah manga atau komik Jepang. Komik Jepang dan Amerika memang sangat lihai
mencuri hati generasi muda. Mereka membuat merchandise, film, film animasi,
jaman dan teknologi. Sedangkan saat ini penggemar cersil rata-rata adalah orang-
orang yang sudah berumur. Tetapi di sisi lain mulai muncul penggemar-penggemar
bicara tentang dunia cersil pasti tidak luput dari nama Kho Ping Hoo. Penulis cersil
Indonesia dengan ratusan judul ini memang luar biasa. Memilih tidak untuk
menyadur karya orang lain tetapi malah menerbitkan cersil karangan sendiri. Beliau
juga tidak bisa membaca aksara mandarin dan sering melakukan kesalahan tentang
rujukan sejarah maupun geografis Cina, tetapi sambutan dari para penggemar tetap
meriah. Kepopuleran karya-karya Kho Ping Hoo juga akibat proses pencetakan
ulang yang terus menerus (cetakan terakhir tahun 2005). CV Gema, perusahaan yang
Gema masih diurus oleh anak-anak beliau. Harta karun kesusastraan Indonesia yang
seperti inilah yang sangat disayangkan bila memudar bersama dengan waktu.
“Tiga Dara Pendekar Siauw Lim” merupakan salah satu serial lepas karya
KPH. Yang dimaksud dengan serial lepas di sini adalah serial pendek yang ceritanya
tidak berhubungan dengan cerita-cerita lain (hal ini tidak mencakup kesamaan
setting secara umum karena hampir semua cersil memiliki persamaan seperti
perguruan-perguruan silat, dinasti, dll). Cerita ini berputar pada pembalasan dendam
tiga gadis terhada[p kematian ayah mereka. Yang menarik di sini adalah tema “tiga
pendekar wanita” yang diangkat di sini bukanlah tema yang cukup asing. Liang
Yusheng pernah mengankat dua kali tema “tiga pendekar wanita” dalam karya San
Dara Pendekar.
1.2 Alasan Pemilihan Tema Tugas Akhir
Alasan saya memilih tema ini adalah untuk mengangkat kembali cerita silat
Cina-Indonesia yang sempat berkembang di tahun 60an bagi generasi sekarang agar
Melahirkan kembali kisah “Tiga Dara Pendekar Siauw Lim” karya Asmaraman
S. Kho Ping Hoo dalam kemasan yang lebih menarik yaitu cergam.