Anda di halaman 1dari 6

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bagi generasi muda sekarang mungkin cukup aneh bila mendengar kata

cersil/tjersil tapi bagi generasi 1960an pastilah tahu kalau yang dimaksud adalah

cerita silat. Cerita silat dapat didefinisikan sebagai suatu cerita yang mengandung

jurus-jurus silat dan inti dari sifat-sifat kependekaran (sifat yang dimaksud adalah

berani bertindak membela yang benar, menegakkan keadilan, menolong yang lemah,

melawan musuh, menjunjung tinggi persahabatan, cinta negara, dan rela berkorban

nyawa). Cerita silat yang dimaksud juga hanya mencangkup cerita Cina klasik yang

sarat dengan iklim kependekaran (perguruan/aliran silat, jurus-jurus maut, dll) dan

cerita-cerita lainnya yang terinspirasi dari cerita-cerita tersebut, jadi jika anda

bertanya kepada maniak cerita silat, ia pasti tidak mempunyai buku “Mushashi”

karya Eiji Yoshikawa. Cerita silat pada umumnya kental dengan nuansa negeri Cina,

karena memang berasal dari Cina, tetapi ada juga cerita silat garapan asli Indonesia

yang bersetting Indonesia (contohnya cerita silat jawa). Konon cerita silat awalnya

bukan bacaan yang populer, malahan sastra rendah yang hanya dinikmati oleh

masyarakat kecil. Lu Xun, sastrawan kenamaan negeri Tiongkok, berpendapat

bahwa cerita sejenis ini (baca:cerita silat) seringkali diulang-ulang dan penggunaan

bahasanya sangat buruk, cerita seperti ini tidak ada bedanya dengan roman picisan

biasa. Wang Du Lu, salah satu penulis cerita silat terbesar, pengarang Crouching

Tiger Hidden Dragon, pernah menyesali pekerjaannya sebagai penulis cersil karena
menganggap pekerjaan itu hanya pekerjaan rendahan untuk menyambung hidup.

Sampai awal abad ke 20, cersil memang merupakan bacaan ‘rendah’ dan dibayang-

bayangi oleh roman sejarah yang megah dan terkenal seperti San Guo Yanyi

(Samkok/Romance of Three Kingdom), Shui Hu Chuan (Water Margin/All Men Are

Brothers), atau roman klasik seperti Hong Lou Meng (Dream of the Red

Chamber/The Story of the Stone/Impian Dari Paviliun Merah), dan Qin Ping Mei

(Ching Ping Mei/The Golden Lotus/Teratai Emas). Usai runtuhnya Dinasti Qing

masyarakat mulai berpaling pada cerita silat yang lebih mengandung nilai

kebebasan dan kesetaraan daripada feodalisme kuno. Kemudian mulai muncul

penulis-penulis cersil modern seperti Huanzhu Louzhu (penulis The Legend of Zu)

dan Wang Du Lu. Kemudian genre cersil terbagi menjadi dua bagian yaitu, genre

utara yang lebih mengikuti standar sejarah, dan genre selatan yang lebih terpengaruh

terhadap roman barat dan lebih bebas. Setelah kemenangan partai komunis,

penulisan cerita silat beralih ke selatan, yaitu Hongkong. Muncullah penulis cersil

kenamaan seperti Jin Yong atau Chin Yung/Louis Cha Liang Yong penulis trilogi

cersil yang paling sukses yaitu, Sia Tiauw Eng Hiong/She Diao Ying Xiung

Zhuan/Legend of the Condor Heroes, Sin Tiauw Hiap Lu/She Diao Xia Lu/Return of

the Condor Heroes, dan Ie Thian To Liong/Yi Tian Du Long Ji/Heaven Sword &

Dragon Sabre/Golok Pembunuh Naga; lalu penulis terkenal lainnya seperti Liang

Yusheng, penulis saga pendekar Thian San. Kemudian penulis yang tak kalah

hebatnya yaitu Gu Long atau Khu Lung/Xiong Yaohua dari Taiwan dengan Jue Dai

Shuang Jiao/The Legendary Twins/Bakti Pendekar Binal. Dengan modal cersil yang

luar biasa dan melegenda, Cina melebarkan sayapnya dengan mengangkat cersil

menjadi film serial maupun film lepas. Produksi film serial bertemakan cerita silat
sampai sekarang masih diproduksi dan diputar di berbagai negara. Kisah Kembalinya

Pendekar Pemanah Rajawali (Return of the Condor Heroes) diangkat ke serial

televisi sebanyak empat kali yaitu tahun 1983, 1995, 1998, dan 2005/2006;

kemudian dibuat juga versi animenya di Jepang tahun 2001; serial ini juga sempat

booming dan ditayangkan berkali-kali di televisi swasta terutama yang dibintangi

oleh Andy Lau. Masyarakat awam mungkin tak kenal dengan karakter Yang Guo

dari serial ini, tapi siapa yang tak kenal dengan Yoko (ejaan Yang Guo yang

disesuaikan) dan alunan soundtrack oleh Yuni Sarah. Selain film, media alternatif

untuk cersil adalah komik. Nama besar Tony Wong pasti bergema di telinga para

pencinta komik silat, dengan karya-karyanya yang terkenal yaitu Tiger Wong/Long

Hu Men, Tapak Sakti, Tapak Buddha, dll. Beliau masih aktif sampai sekarang,

komiknya banyak juga yang mengadaptasi karya-karya Gu Long. Komikus lainnya

yaitu Lee Chi Ching yang mengilustrasikan karya-karya Jin Yong yaitu Pendekar

Pemanah Rajawali dan Pendekar Hina Kelana/Xiao Ao Jiang Hu.

Di Indonesia cersil mula-mula digandrungi oleh warga Melayu-Tionghoa.

Cersil pertama yang diterbitkan di Indonesia adalah Sam Hiap Ngo Gie/San Hsieh

Wu Yi/Tiga Pendekar dan Lima Budiman karya Shie Yu Kun. Cersil kebanyakan

diterbitkan dengan bahasa Hokkian yang sering kemudian disebut sebagai bahasa

melayu rendah. Mula-mula cersil dimuat di harian Sin Po dan Keng Po, kemudian

seiring dengan waktu, cersil mulai diterbitkan per jilid. Kebanyakan cersil yang

beredar adalah saduran atau terjemahan dari cersil Cina. Banyak penyadur yang

sudah dikenal namanya di ‘dunia persilatan’ seperti Oey Kim Tiang/OKT, Gan Kok

Liong/Gan KH, Gan Kok Hwie/Gan KH, Tjan Ing Djoe/Tjan ID, dll. Mereka kerap
kali menyadur karya-karya Jin Yong, Gu Long, dll. Kemudian munculah penulis

cersil Indonesia yaitu Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo/KPH dari Solo. Chen

Wei An, pengamat cersil, menjuluki beliau sebagai ‘pendekar asmara dari gunung

lawu’. KPH sebagai penulis Indonesia yang paling aktif sudah menerbitkan ratusan

judul cersil. Tidak hanya berkutat dengan budaya tionghoa, beliau juga menerbitkan

cersil jawa. Selain cersil serial televisi dan film lepas bertemakan cersil juga beredar

luas, tidak lupa komik-komik Tony Wong tentunya.

Berkembang pesat pada tahun 60-70an, cersil sempat ‘mandek’ dari peredaran

pada awal 90an. Pada tahun 2000an, penerbitan cersil mulai jalan lagi. Karya-karya

saduran mulai muncul di toko buku. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa cersil

sekarang tidak bisa menyaingi masa keemasannya pada tahun 60an. Pada tahun 60-

70an cersil memang menjadi bacaan yang populer Indonesia masih dalam suasana

perjuangan, tema tentang jiwa ksatria dan cinta tanah air memang cocok untuk masa-

masa itu. Pada masa itu bukan saja cersil Cina yang laris, banyak cersil jawa (tema

Indonesia) bermunculan, mulai karya-karya RA Kosasih, Ganesh TH, dll. Seiring

dengan perkembangan jaman, Indonesia mulai dibombardir oleh bacaan-bacaan dari

Jepang dan Amerika. Salah satu nama besar yang berhasil memikat generasi muda

adalah manga atau komik Jepang. Komik Jepang dan Amerika memang sangat lihai

mencuri hati generasi muda. Mereka membuat merchandise, film, film animasi,

permainan, dan lain sebagaimana lainnya, pada intinya mengikuti perkembangan

jaman dan teknologi. Sedangkan saat ini penggemar cersil rata-rata adalah orang-

orang yang sudah berumur. Tetapi di sisi lain mulai muncul penggemar-penggemar

cersil yang masih muda-muda. Forum-forum internet Indonesia yang membahas


cersil juga sudah banyak (contohnya : serialsilat.tunging.com, www.tjersil.com). Jika

bicara tentang dunia cersil pasti tidak luput dari nama Kho Ping Hoo. Penulis cersil

Indonesia dengan ratusan judul ini memang luar biasa. Memilih tidak untuk

menyadur karya orang lain tetapi malah menerbitkan cersil karangan sendiri. Beliau

juga tidak bisa membaca aksara mandarin dan sering melakukan kesalahan tentang

rujukan sejarah maupun geografis Cina, tetapi sambutan dari para penggemar tetap

meriah. Kepopuleran karya-karya Kho Ping Hoo juga akibat proses pencetakan

ulang yang terus menerus (cetakan terakhir tahun 2005). CV Gema, perusahaan yang

menerbitkan karya KPH, merupakan perusahaan keluarga, sampai sekarang CV

Gema masih diurus oleh anak-anak beliau. Harta karun kesusastraan Indonesia yang

seperti inilah yang sangat disayangkan bila memudar bersama dengan waktu.

“Tiga Dara Pendekar Siauw Lim” merupakan salah satu serial lepas karya

KPH. Yang dimaksud dengan serial lepas di sini adalah serial pendek yang ceritanya

tidak berhubungan dengan cerita-cerita lain (hal ini tidak mencakup kesamaan

setting secara umum karena hampir semua cersil memiliki persamaan seperti

perguruan-perguruan silat, dinasti, dll). Cerita ini berputar pada pembalasan dendam

tiga gadis terhada[p kematian ayah mereka. Yang menarik di sini adalah tema “tiga

pendekar wanita” yang diangkat di sini bukanlah tema yang cukup asing. Liang

Yusheng pernah mengankat dua kali tema “tiga pendekar wanita” dalam karya San

Hoa Liehiap/San Hua Nu Xia/Three Flower Heroine/Pendekar Wanita Penjebar

Bunga, dan Kang Ouw Sam Liehiap/Jiang Hu San Nu Xia/Three Heroines/Tiga

Dara Pendekar.
1.2 Alasan Pemilihan Tema Tugas Akhir

Alasan saya memilih tema ini adalah untuk mengangkat kembali cerita silat

Cina-Indonesia yang sempat berkembang di tahun 60an bagi generasi sekarang agar

mereka tidak melupakan warisan yang sangat berharga ini.

1.3 Lingkup Tugas Akhir

Melahirkan kembali kisah “Tiga Dara Pendekar Siauw Lim” karya Asmaraman

S. Kho Ping Hoo dalam kemasan yang lebih menarik yaitu cergam.

Anda mungkin juga menyukai