Anda di halaman 1dari 28

ANALISIS STRUKTUR DAN TEKSTUR NASKAH LAKON

BUNGA RUMAH MAKAN


KARYA : UTUY TATANG SONTANI
oleh fauzi

A.Pengarang dan karyanya


a.a.Biografi pengarang
Utuy Tatang Sontani dilahirkan di Cianjur pada tanggal 1 Mei 1920. Dramawan
berdarah Sunda ini kelak di kemudian hari dikenal sebagai salah seorang
sastrawan Angkatan 45 terkemuka. Karyanya yang pertama adalah Tambera
(versi bahasa Sunda 1937), sebuah novel sejarah yang berlangsung di Kepulauan
Maluku pada abad ke-17. Novel ini pertama kali dimuat dalam koran daerah
berbahasa Sunda Sipatahoenan dan Sinar Pasundan pada tahun yang sama.
Setelah itu Utuy menerbitkan kumpulan cerita pendeknya, Orang-orang Sial
(1951), yang diikuti oleh karya-karya lakonnya yang membuatnya menjadi
terkenal. Lakon pertamanya (Suling dan Bunga Rumah makan, 1948) ditulis
sebagaimana cerpen-cerpen sebelumnya yakni terkesan ‘sederhana’ dengan
bobot karakter yang belum mendalam, tetapi selanjutnya ia menemukan cara
menulis lakon yang unik, yang bentuknya seperti cerita pendek sehinga terasa
enak untuk dibaca. Di antara lakon-lakonnya terkenal yang kemudian lahir
sebagai buah tangannya adalah Awal dan Mira (1952), Sajang Ada Orang Lain
(1954), Di Langit Ada Bintang (1955), Sang Kuriang (1955), Selamat Djalan Anak
Kufur (1956), Si Kabajan (1959), dan Tak Pernah Mendjadi Tua (1963).
Dalam perjalanan kreatifnya, Utuy pernah diutus oleh pemerintah pada 1958
sebagai salah seorang wakil Indonesia dalam Konferensi Pengarang Asia-Afrika
di Tashkent, Uzbekistan. Ketika hubungan politik Indonesia-Uni Soviet semakin
dekat, banyak karya pengarang Indonesia yang diterjemahkan dan diterbitkan
ke dalam bahasa Rusia, termasuk karya Utuy, Tambera, yang dianggap
mencerminkan semangat revolusi dan perjuangan rakyat. Sementara itu, Orang-
Orang Sial, hanya terbit di Tallin, dalam bahasa Estonia, karena dianggap terlalu
pesimistik dan hanya mengungkapkan sisi gelap revolusi.
Karya-karya Utuy sejak awal memang selau mencerminkan kecenderungan
pikiran-pikirannya yang sangat rasional (penganut paham materialisme),
menolak kekolotan dan menentang ‘idealisme-idealisme’ yang tidak realistis
tetapi juga dikenal sebagai penulis yang humanis. Dalam beberapa karya-karya
(seperti Sayang Ada Orang Lain, Awal dan Mira, Bunga Rumah Makan) selain
mencibir moralitas dan dogma agama, yang dimunculkan lewat tokoh-tokoh
ustad. Utuy juga menentang dan melakukan pembelaan terhadap tokoh-tokoh
yang mengalami eksploitasi secara stratifikasi sosial dan mereka yang menjadi
korban ketidakadilan (manusia-manusia marjinal) yang dilakukan oleh orang-
orang kaya. Lakon-lakon tersebut mengarisbawahi dampak-dampak psikologis
orang-orang marjinal tersebut akibat tekanan dan himpitan materi tetapi di sisi
lain, juga menegaskan pentingnya harkat kemanusiaan. Kesadaran inilah yang
kelak mempengaruhi pilihan politik Utuy dan mendorongnya untuk bergabung
dengan organisasi LEKRA (lembaga Kesenian Rakyat), salah satu ormas
underbow PKI (Partai komunis Indonesia)
Pada 1 Oktober 1965 Utuy Tatang Sontani bersama sejumlah pengarang dan
wartawan Indonesia menghadiri perayaan ‘1 Oktober’ di Beijing atas undangan
pemerintah Tiongkok. Pecahnya G-30-S pada 1965 di Indonesia membuat
mereka terlunta-lunta di tanah asing. Kembali ke Indonesia berarti ditangkap
dan dituduh terlibat G-30-S, seperti yang dialami oleh begitu banyak kawan
mereka. Situasi mereka semakin sulit ketika di RRC sendiri pecah Revolusi
Kebudayaan pada 1966. Sebagian orang Indonesia yang terdampar di Tiongkok
akhirnya memutuskan untuk meninggalkan negara itu dan pergi ke Eropa Barat
dengan menumpang kereta api Trans Siberia. Sebagian dari penumpang ini
berhenti di Moskwa, termasuk Utuy dan sejumlah kawannya, Kuslan Budiman,
Rusdi Hermain, dan Soerjana, wartawan Harian Rakyat.
Kedatangan Utuy di Moskwa pada 1971 disambut hangat oleh pemerintah Uni
Soviet dan masyarakat ilmiah di sana, terutama karena nama Utuy sudah
dikenal luas lewat karya-karyanya dan kehadirannya dalam Konferensi
Pengarang Asia-Afrika pada 1958. Utuy diminta mengajar Bahasa dan Sastra
Indonesia di Moskwa dan sempat pula menghasilkan sejumlah karya tulis. Ia
menyusun sekurang-kurangnya empat buah novel dan tiga otobiografi hingga ia
wafat pada 1979 di Moskwa. Salah satu novelnya yang ditulisnya dan
diterbitkan di Moskwa adalah Kolot Kolotok. Novel ini hanya dicetak terbatas
untuk bahan studi di Jurusan Indonesia, Universitas Negara Moskwa. Di Bawah
Langit Tak Berbintang adalah memoar dan otobiografinya yang mengisahkan
pengalamannya hidup di pengasingan di RRT dan di Rusia. Ketika ia meninggal,
ia mendapatkan penghormatan karena nisannya ditempatkan sebagai nisan
pertama di pemakaman Islam di Moskwa. Untuk lebih jelas karya- tulis Utuy
Tatang Sontani ebagai brikut :
Tambera (1948)
Orang-orang Sial: sekumpulan tjerita tahun 1948-1950 (1951)
Selamat Djalan Anak Kufur (1956)
Si Kampeng (1964)
Si Sapar: sebuah novelette tentang kehidupan penarik betjak di Djakarta (1964)
Kolot Kolotok
Di bawah langit tak berbintang (2001)
Menuju Kamar Durhaka - kumpulan cerpen (2002)
Suling (1948)
Bunga Rumah Makan: pertundjukan watak dalam satu babak (1948)
Awal dan Mira: drama satu babak (1952)
Sajang Ada Orang Lain (1954)
Di Langit Ada Bintang (1955)
Sang Kuriang: opera dua babak (1955)
Si Kabajan: komedi dua babak (1959)
Tak Pernah Mendjadi Tua (1963)
Manusia Kota: empat buah drama (1961)
Selain ke dalam bahasa Rusia dan Estonia, karya-karya Utuy juga diterjemahkan
ke dalam bahasa-bahasa lain, mis. bahasa Inggris, Mandarin, Tagalog, Di masa
Orde Baru, sama seperti para penulis yang mendapatkan stigma komunis, karya-
karya Utuy dilarang beredar oleh pemerintah.
a.b. Foin of view (sudut pandang)
Karya-karya Utuy sejak awal memang selau mencerminkan kecenderungan
pikiran-pikirannya yang sangat rasional (penganut paham materialisme),
menolak kekolotan dan menentang ‘idealisme-idealisme’ yang tidak realistis
tetapi juga dikenal sebagai penulis yang humanis. Dalam beberapa karya-karya
(seperti Sayang Ada Orang Lain, Awal dan Mira, Bunga Rumah Makan) selain
mencibir moralitas dan dogma agama, yang dimunculkan lewat tokoh-tokoh
ustad. Utuy juga menentang dan melakukan pembelaan terhadap tokoh-tokoh
yang mengalami eksploitasi secara stratifikasi sosial dan mereka yang menjadi
korban ketidakadilan (manusia-manusia marjinal) yang dilakukan oleh orang-
orang kaya. Lakon-lakon tersebut mengarisbawahi dampak-dampak psikologis
orang-orang marjinal tersebut akibat tekanan dan himpitan materi tetapi di sisi
lain, juga menegaskan pentingnya harkat kemanusiaan. Kesadaran inilah yang
kelak mempengaruhi pilihan politik.
a.c. Sinopsis
Lakon Bunga Rumah Makan karya Utuy Tatang Sontani menceritakan
serangkaian kejadian di sebuah rumah makan. Lakon ini diawali dengan
kehadiran beberapa pengunjung di rumah makan ‘Sembara” yang nampaknya
datang hanya untuk menjadikan kebutuhan belanjanya sebagai kedok agar
dapat mendekati pelayan rumah makan tersebut yang bernama Ani. Dalam
perjalanannya, Ani ternyata hanya jatuh cinta pada seorang perwira tentara yang
bernama kapten Suherman.
Ani juga sering menerima kemarahan majikannya (Sudarma) karena
ketelodorannya dalam bekerja. Hal tersebut dikarenakan ulah seorang pengemis
dan seorang gelandangan yang seringkali mendatangi rumah makan tersebut.
Sudarma menganggap Ani terlalu lunak pada pengemis dan gelandangan
tersebut, padahal merekalah yang menurut Sudarma telah menyebakan
berkurangnya pengunjung di rumah makannya.
Pada bagian lain, Karnaen, anak Sudarma, tenyata juga jatuh cinta pada
Ani. Hal tersebut terungkap ketika Ani menolong Karnaen, sesaat setelah
berkelahi dengan Iskandar, seorang gelandangan yang sering mengganggu dan
menghina Ani. Melihat kejadian tersebut, Usman, adik Sudarma, yang juga
seorang ustad menasehati Ani agar segera kawin dengan Karnaen. Ani
bergeming karena cintanya memang hanya untuk Kapten Suherman. Di akhir
cerita, Ani akhirnya memilih meningalkan rumah makan ‘Sembara’ bersama
Iskandar, seorang gelandangan yang selama ini selalu menghinanya dengan
perkataan keji: bahwa Ani adalah pelayan yang telah sengaja menjajakan
kecantikannya demi memikat para pengunjung rumah makan tersebut. Terlebih
lagi setelah ia tahu bahwa kapten Suherman ternyata juga tidak pernah serius
untuk mencintainya. Ani justru menjadi semakin sadar akan kejujuran Iskandar.
Kepergian Ani bersama Iskandar tersebut membuat Sudarma dan Usman
tersentak. Terlebih bagi Karnaen, kepergian Ani bersama Iskandar adalah
‘pukulah telak’ dalam hidupnya.
B. Analisis Stuktur
b.a. Alur atau Plot
Progresi dramatik sebuah lakon tercipta oleh adanya kejadian demi kejadian
yang membentuk jalinan. Setiap kejadian muncul karena serangkaian dialog
yang menimbulkan progresi emosi dan perubahan suasana. Pada akhirnya
jalinan kejadian (peristiwa) itulah yang kemudian membentuk alur cerita atau
plot. Plot sebagai jalinan peristiwa dalam karya sastra (termasuk sastra drama)
yang bertujuan untuk mencapai efek tertentu, terkait denga hubungan temporal
(waktu) dan hubungan kausal (sebab akibat). Rangkaian peristiwa dalam alur
dijalin dengan seksama melalui pergerakan cerita yang mengalami perumitan
(komplikasi) kearah klimaks dan penyelesaian.
Berdasarkan hubungan temporal atau waktu, alur bisa berwujud alur maju (alur
yang bergerak kedepan) dan alur mundur (gaya penceritaan yang kembali
kebelakang atau di mulai datri peristiwa sebelumnya). Dua wujud alur tersebut
menandakan bahwa alur bisa bergerak menanjak atau menurun dalam bentuk
episodik dan tidak terpisahkan. Merujuk penjelasan tersebut maka lakon karya
Utui Tatang Sontani memiliki alur maju dan bergerak secara linier.
Plot yang merupakan rangkaian kejadian membentuk jalinan yang terbagi dalam
lima tahap, yaitu eksposisi (pelukisan), komplikasi (perumitan masalah atau
peristiwa), klimaks (puncak peristiwa), resolusi (peleraian) dan konklusi
(penyelesaian). Hal di atas adalah alur yang diteorikan oleh Aristoteles, yang
biasa disebut sebagai alur konvensional.
Alur dalam naskah Bunga Rumah Makan karya Utuy Tatang Sontani terbentuk
melalui dinamika yang diakibatkan oleh perubahan emosi para tokohnya.
Perubahan emosi itu memiliki progresi karena respon terhadap prilaku masing-
masing tokoh yang berinteraksi dalam rumah makan Sembara tersebut. Progresi
emosi itulah yang kemudian melahirkan perjalanan alur dari permulaan yang
terlihat sederhana menuju pada kondisi yang lebih kritis. alur yang berjalan itu
maka naskah Bunga Rumah Makan karya Utuy Tatang Sontani menggunkan
pendekatan alur yang konvensional (linier). Tahap-tahap alur (konvensional)
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
Eksposisi : Adalah bagian awal atau pembukaan dari sebuah cerita yang
memberikan penjelasan dan keterangan mengenai tokoh-tokoh cerita,masalah-
masalah yang sedang dilakoni, tempat dan waktu ketika cerita
berlangsung.dalam naskah Bunga Rumah makan eksposisi Dimulai saat ani
kedatangan dua orang tamu yang berkunjung kerumah makan,mereka hannya
menggoda ani.setelah itu iskandar mengalihkan perhatian mereka,sesaat
kemudian datanglah kapten suherman ternyata dia adalah kekasih ani.untuk
lebih jelas dapat di lihat dari petikan dialog : (105-197)
Komplikasi : adalah ketegangan yang merupakan kelanjutan dan peningkatan
dari eksposisi,pada bagian ini salah seseorang mengambil prakarsa untuk
mencapai tujuan tertentu.walaupun dibayang-bayang oleh ketidak
pastian,keteguhan sikap sang tokoh tidak mennyurutkan niatnya.timbulah
komflik-komflik yang saling bertabrakan dengan tokoh lainnya, Pertentangan ini
terjadi setelah masing-masing menceritakan jati dirinya sehingga
ngga konflik mulai terlihat. Konflik terjadi ketika pertengkaran ani dengan
Iskandar lalu muncul Kurnaen mencuba melerai tapi Iskandar memarahi
kurnaen yang ahirnya terjadi perkelahian. Untuk lebih jelas dapat dilihat petikan
dialog (233-290).
Klimaks : Adalah tahapan peristiwa dramatik yang telah di bangun oleh komflik
puncak dari peristiwa. Tahapan ini melibatkan pihak-pihak yang berlawanan
untuk saling berhadapan dalam situasi yang menegangkan,ketegangan tersebut
mempertaruhkan nasip, juga merupakan momen yang paling menentukan bagi
mereka untuk eksis atau tersingkir. Naskah Bunga Rumah Makan ini kelimaks
terjadi pada saat Ani dimarahi majikannya karna melalaikan nama penelpon
rumah makan Sambara situasi semakin rumit ketka suherman datang untuk
bersenang-senang tetapi justru dinasehati oleh usman untuk segera menikahi
Ani, membuat suherman marah dan menuduh usman mencampuri urusan
pribadinya dan ia memutuskan hubungan dengan ani. Untuk lebih jelas dapat
dilihat dari petikan dialog : (371-406)
Resolusi : Adalah bagian struktur dramatik yang mempertemukan masalah-
masalah yang di timbulkan oleh para tokoh dengan tujuan untuk mendapatkan
selusi atau pemecahan masalah. Resulusi dalam naskah bunga Rumah Makan
dimulai saat Ani memutuskan untuk memaafkan iskandar yang telah
menghinanya dan memutuskan untuk pergi bersama iskandar. Hal ini juga
ditunjukan atas kesadaran ani terhadap perlakuan orang-orang yang berada
disekelilingnya.untuk lebih jelas dapat dilihat dari petikan dialog : (428-472)
b.b. Penokohan atau perwatakan
Penokohan merupakan pemaparan karakter tokoh menyangkut kualitas,
ciri atau sifat-sifatnya sebagai hasil penafsiran dalam lakon. Pemahaman tokoh
dengan demikian tidak sekedar melihat identifikasi tokoh tetapi juga menelusuri
perkembangan watak yang didapat dari hubungannya dengan tokoh lain. Sudut
pandang ini didasarkan pada kenyataan bahwa karakter tokoh tidak saja
beranjak dari ciri-ciri tokoh tetapi sekaligus ciri psikologis dan ciri-ciri
kehidupan sosial yang melekat di dalamnya.
Jenis jenis tokoh
· Protagonis : Adalah tokoh utama yang menggrakkan plot (alur cerita) dari
awal hingga akhir dan memiliki itikad, namun dihalangi oleh tokoh lain. naskah
lakon Bunga Rumah Makan untuk peran protagonis ialah ani dan iskandar.
· Antagonis : Adalah tokoh yang menentang keinginan dari tokoh
protagonis.dalam naskah rumah makan untuk peran antagonis ialah sudarman
dan suherman
· Tritagonis dan Confidante : Adalah tokoh yang dipercaya oleh tokoh
protagonis dan antagonis. Naskah Bunga Rumah Makan untuk peran tritagonis
ialah kurnaen,usman dan polisi.
· Untility : Adalah tokoh pembantu dalam naskah Bunga Rumah amakan
ialah rukayah, perempuan yang belanja, pengemis dan dua pegawai kantoran.
Bentuk tipe perwatakan
· Flat character : Adalah tokoh yang di bekali karakterisasi oleh pengarang
secara datar atau lebih bersifat hitam putih.dalam naskah rumah makan yang
mewakili tokoh flat character iailah iskandar, sudarman, kurnaen, usaman, dan
polisi.
· Round character : Adalah tokoh yang kompleks.dalam naskah bunga
rumah makan tokoh yang roun charakter diwakili oleh ani.
Ciri-ciri pisikologis
Tidak ada penggambaran khusus dan spesifik mengenai keadan fisik tokoh Ani
dalam lakon. Walaupun begitu penamaan Ani dengan panggilan nona oleh
beberapa pengunjungnya jelas memperlihatkan tokoh Ani sebagai perempuan
yang masih muda. Begitu juga dengan daya tarik Ani yang berhasil memikat
banyak pengunjung rumah makan (Pemuda 1, Pemuda 2, Karnaen, Iskandar dan
Suherman) telah dengan tegas menunjukan bahwa Ani adalah perempuan
berparas cantik dengan keadaan fisik yang terlihat ideal. Hal ini secara rinci
dapat dilihat pada kutipan dialog (78-82)
Ciri-ciri Sosilogis
Tokoh Ani dalam lakon Bunga Rumah Makan tidak digambarkan secara tegas
terkait asal-usul dan latar belakang kehidupannya tetapi merujuk profesinya
sebagai pelayan rumah makan maka bisa dipastikan bahwa Ani tidak memiliki
pengalaman pendidikan yang tinggi. Hal tersebut juga mengisyaratkan bahwa
Ani besar kemungkinan berasal dari lingkungan masyarakat bawah. Bahkan
dalam salah satu dialognya Ani adalah anak sebatang kara. Secara lebih jelas hal
ini dapat dilihat dalam kutipan dialog (dialog 301-30) untuk Iskandar tak jauh
berbeda dengan Ani, Cuma bedanya Iskandar bersahaja dan bersipat apa adanya
jujur walaupun dia seorang pengangguran untk lebih jelas lihat petikan dialog :
(462-475) Sudarman yang punnya rumah makan orangnya pelit dan suka marah-
marah,hannya mementingkan usahanya saja, untuk lebih jelas lihat petikan
dialog : (68-85) kurnaen anak sudarman yang punnya rumah makan orangnya
baik sederhana tapi tertutup tidak mau berterus terang bahwa ia mencintai Ani.
Lebih jelas bisa dilihat dari petikan dialog : (1-21) usman seorang kyai kawan
sudarman yang selalu berfikir agamais, dan suka memberi nasehat untuk lebih
jelas bisa dilihat dari dialog (346-358) sedang kan kapten Suherman orangnya
berwibawa suka mempermainkan wanita dan tidak teguh pendirian dan juga
kasar. Lebih jelas bisa dilihat dari petikan dialog : (378-399) untuk Polisi menjadi
orang penengah baik dan taat hukum untuk lebih jelas dapat dilihat dari petikan
dialog : (402-448)
Ciri-ciri Psikologis
Jika merujuk pada pernyataan-pernyataan Ani di awal adegan maka dapat
disimpulkan bahwa karakter dasar Ani sebenarnya merupakan gadis lugu, dan
polos. Hal ini dapat dilihat dari dialog Ani dan Rukayah saat membicarakan
perasaan hatinya pada Suherman. Secara jelas hal tersebut dapat dilihat dalam
kutipan dialog di bawah ini : dialog ( 205-232)
Di awal adegan juga digambarkan bahwa Ani adalah gadis pemalu dan tidak
suka mencari perhatian, meskipun tuntutan profesinya membuat dia harus
bersikap ramah dan sedikit berani. Hal tersebut setidaknya dapat dilihat dari
penilaian para pemuda yang mengunjungi rumah makan tempat Ani bekerja.
Secara lebih jelas hal ini dapat dilihat pada kutipan dialog di bawah ini: (dialog
11-16)
Pada bagian akhir lakon tokoh Ani mengalami perkembangan emosi yang
sangat dratis. Hal tersebut dikarenakan wujud kesadaran dirinya atas
kebohongan dan tekanan lingkungan yang selama ini telah ia terima. Ani yang
pemalu akhirnya memiliki keberanian untuk melawan (majikan) sekaligus
menjatuhkan pilihan hidupnya secara tegas yakni pergi dari tempat ia
mendapatkan nafkah untuk mengarungi hidup secara lebih jujur bersama
seorang gelandangan (Iskandar). Hali ini dapat dilihat dalam petikan dialog
( 411-422)
Merujuk penjelasan di atas maka karakter Ani dapatlah digolongkan dalam
karakter melingkar (round charackter) karena mengalami perubahan watak yang
signifikan pada bagian akhir lakon. Hal ini berbeda dengan beberapa tokoh lain
(Sudarma, Usman dan Kapten Suherman) yang memang sejak awal hingga akhir
tidak mengalami perubahan watak sehingga tokoh-tokoh tersebut merupakan
tokoh datar (flat charackter)
Iskandar kasar tapi jujur dengan perasaannya sendiri untuk lebih jalas dapat
dilihat dari petikan dialog : (237-263) sudarman orangna kasar dan semenamena
terhadap orang lain untuk lebih jelas dapat dilihat petikan dialog : (369-375)
kurnaen baik dan perhatian untuk lebih jelas dapat dilihat dari petikan dialog :
(1-20) Usman baik suka menasehati dan orang yang taat pada ajaran
agama.untuk lebih jelas dapat diliahat dari petikan dialog : (340-382) Kapten
Suherman suka menmanfaatkan kepolosan orang lain dan sombong. lebih jelas
dapat dilihat petikan dialog : (397-406) Polisi orang yang berwibawa penegak
hukum yang taat. Lebih jelas dapat dilihat dialog : (411-433)
b.c. Konflik
Konflik dalam lakon Bunga Rumah Makan berawal sekaligus bermuara pada
daya tarik Ani. Seluruh pekembangan alur sesungguhnya berangkat dari
perubahan emosi tokoh-tokoh lain akibat interaksinya dengan tokoh Ani.
Kejelitaan sekaligus kepolosan Ani lah yang menyebabkan pertikaian antara
Kapten Suherman, Karnaen, dan Iskandar. Sementara itu, dalam sudut pandang
Ani, Kapten Suherman lah yang sebenarnya pantas dicintai. Selain karena
penampilanya yang gagah dan tutur katanya yang manis dia adalah seorang
perwira yang sudah pasti menjanjikan kemapanan masa depan.
Konflik pun merunyam karena kehadiran Iskandar. Dalam pandangan Ani,
Iskandar adalah manusia yang menyebalkan dan tidak memiliki perasaan.
Iskandar juga tak tahu adat sehingga setiap kali datang di rumah makan selalu
bersikap tidak sopan dan menghina Ani dengan mengatainya sebagai penjual
kecantikan dan pendusta. Sebaliknya, bagi Iskandar, Ani adalah wanita murahan
yang sengaja memikat para pengunjung rumah makan dengan kecantikannya.
Tetapi, di balik semua itu, Iskandar sesengguhnya selalu mendapati rasa sayang
yang tersembunyi dalam hatinya. Rasa sayang yang tertutupi keangkuhannya.
Sehingga di balik sikapnya yang posesif terhadap Ani, ia sebenarnya
merindukan kehadiran Ani.
Pada bagian lain, Karnaen seperti tak pernah berhenti untuk mencintai Ani.
Sayang sekali cintanya bertepuk sebelah tangan. Di mata Karnaen, Ani adalah
wanita yang memiliki banyak kelebihan cantik, mandiri dan penuh pengabdian.
Sayang sekali dia harus mengalah pada kapten Suherman, seseorang yang
sebenarnya selalu menyuburkan perasaan iri hati dalam dirinya.
Ani pada akhirnya memang harus memilih. Dia tidak mungkin memilih
Karnaen karena hatinya hanya menganggap Karnaen sebagai kakak sendiri.
Lebih dari itu Ani terasa sulit mempercayai Karnaen karena ia menganggap
karnaen pasti tak jauh dari perangai Ayahnya, Sudarma, yang egois dan selalu
memanfatkan orang lain untuk mencari keuntungannya sendiri. Ia juga tidak
mungkin memilih Kapten Suherman, karena laki-laki itu ternyata lebih
mencintai diri sendiri.
Akhirnya, ia menjatuhkan pilihan pada Iskandar. Laki-laki yang semula dinilai
oleh Ani sebagai gelandangan yang tak punya perasaan tersebut ternyata
menyadarkan dirinya pada kebenaran sikap bahwa selama ini ia hanya di
jadiakan ‘komoditas’ oleh Sudarma, dan bahwa Iskandar yang sering berkata
kasar tersebut ternyata menyimpan kejujuran dan kepedulian yang mendalam
pada nasib Ani. Bahwa antara dirinya dan Iskandar sebenarnya dihadapkan
pada persoalan yang sama yakni rasa sendiri dalam menjalani hidup.
b.d. Latar Cerita
Latar cerita adalah berbagai persoalan yang terkait dengan hal-hal yang
melandasi atau menjadi bagian dari peristiwa, tempat terjadinya peristiwa dan
kurun waktu yang terjadi dalam lakon. Pemahaman latar cerita ini dimaksudkan
untuk memahami keseluruhan cerita sebagai pijakan untuk diwujudkan dalam
realitas panggung.
Latar Ruang Atau Tempat
Latar ruang dalam lakon Bunga Rumah Makan adalah sebuah interior
rumah makan yang terkesan rapi meskipun tidak terlalu mewah. Gambaran
detail mengenai rumah makan tersebut tidak didiskripsikan secara jelas dalam
naskah. Naskah hanya menggambarkan sebuah rumah makan dengan tiga stel
kursi, rak kaca tempat kue, meja tulis, telpon, radio dan lemari. Merujuk
perwujudan pentas yang ditampilkan dengan pendekatan realisme (sesuai gaya
atau aliran lakon) maka visualisai ruangan juga diwujudkan dalam konsep
ruang tiga dimensional yang dibuat mendekati kenyataan dengan pengaturan
perspektif yang mendukung arah hadap penonton. Impresi yang menonjol dari
latar ruang ini adalah sebuah ruman makam kelas menengah atau sederhana
yang tertata rapi dan solah-olah berlokasi di dekat jalan raya.

Latar Waktu
Sesuai rujukan konflik yang terjadi dalam lakon (mekipun ditulis pada
tahun 1948), maka kurun waktu terjadinya peristiwa dalam lakon Bunga Rumah
Makan bisa terjadi kapan saja. Artinya, situasi yang ditimbukan oleh interaksi
antara pemilik, pelayan rumah makan dan para pengunjung adalah persoalan
yang tetap kontekstual sampai kapanpun. Sedangkan untuk kisaran harinya
maka bisa dipastikan bahwa kejadian di rumah makan Sembara terjadi pada
pagi (menjelang siang) hingga siang hari. Hal ini dapat dibuktikan pada adegan
awal lakon dimana para pemuda mendatangi rumah makan tersebut untuk
sekedar minum meskipun waktunya sudah mendekati jam kerja. Jika dirujuk
dari salah satu properti yang digunakan dalam ruangan rumah makan yakni
bentuk telpon manual yang digunakan sebagai alat komunikasi maka latar
waktu dalam lakon Bunga Rumah Makan dapat ditafsirkan berlangsung
sebelum merebaknya penggunaan ponsel, yakni sebelum tahun 1990-an itu
berdasarkan naskah, namun untuk latar waktu sutradara ingin menampilkan
kejadian tahun 2000 an (kekinian)
Latar Suasana
Secara umum suasana lakon Bunga Rumah Makan dilatari oleh
kehidupan masyarakat segmen menengah dengan beragam profesi. Kondisi
yang melatari suasana konflik adalah suatu masyarakat yang memilki
keragaman sudut pandang pada hidup. Ada pandangan yang tidak
mementingkan kejujuran, pandangan yang menggangap pentingnya
penghargaan pada orang lain tetapi juga pandangan pragmatis bahwa manusia
harus diukur dari tampilan luarnya. Inilah kondisi yang acapkali menciptakan
pertikaian antar manusia yang didasari rasa cemburu, kedengkian dan
pertentangan satu sama lain. Dengan demikian suasana dominan yang melatari
lakon ini adalah suasana emosianal akibat keinginan manusia untuk dapat
memiliki (dicintai) orang lain.
b.e. Amanat
Amanat dalam naskah Bunga Rumah Makan kerya Utuy Tatang Sontani
tergambar jelas oleh tokoh- tokoh dalam naskah tersebut. Iintinya kita tidak
boleh menilai orang lain dari luarnya saja, kerna apa yang kita anggap baik
belum tentu baik begitu juga yang kita lihat jahat belum tentu itu jahat. Jelasnya
lagi kita harus mengenal orang dari luar dan dalam baru bisa kita
menyimpulkan orang itu jahat atau baik.

b.f. Tema
Lakon terbentuk dari sebuah gagasan dasar yang mengarahkan dan menopang
seluruh unsur-unsur pembentuk lakon. Gagasan dasar itulah yang lazim disebut
sebagai tema. Sudiro Satoto menyebut tema sebagai dasar pikiran utama dan
sumber ide yang mengawali terbentuknya lakon. Sementara itu RMA
Harymawan memahami tema dari sudut pandang watak manusia, yakni sebagai
falsafah mendasar suatu obsesi yang fundamental.[1] Merujuk pendapat-
pendapat tersebut, dapat dipahami bahwa tema merupakan unsur awal yang
akan mengilhami unsur-unsur lain dalam lakon.
Panuti Sudjiman membagi tema menjadi dua jenis tema mayor dan tema minor.
Tema mayor adalah tema yang menopang keseluruhan lakon, sedangkan tema
minor adalah sub-sub tema yang dapat dipahami dari alur maupun penokohan
yang ada.[2] Tema mayor dalam lakon Bunga Rumah Makan karya Utuy Tatang
Sontani adalah sebuah ungkapan tentang nilai manusia yng ternyata tidak hanya
cukup disimpulkan dari apa yang nampak. Bahwa kepribadian manusia tidak
akan bisa dinilai hanya melalui apa yang terlihat di ‘permukaan’. Hati manusia
terkadang justru berpijak dari kenyataan yang paradoks bahwa dalam kekasaran
seringkali menyimpan kelembutan, bahwa dalam keangkuhan seringkali
menyimpan kesungguhan, dan dalam tindakan atau ucapan yang menyakitkan
terkadang justru menyimpan kejujuran dan ketulusan paling dalam. Lakon
Bunga Rumah Makan dengan demikian menegaskan situasi yang dialami tokoh
utamanya Ani, pada kenyataan paradoks yang ditemukan dalam kepribadian
seorang Kapten Suherman, seorang Karnaen dan Seorang Iskandar.
Tema minor pada lakon Bunga Rumah Makan karya Utuy Tatang Sontani
tercermin pada tokoh-tokoh yang berinteraksi di dalamnya. Tokoh-tokoh dalam
lakon Bunga Rumah Makan karya Utuy Tatang Sontani ini memperlihatkan
suatu pandangan yang beragam tentang kehidupan. Tokoh Sudarma
menegaskan bahwa kehidupan merupakan pilihan-pilihan yang bersifat
pragmatis, oleh karenanya setiap tindakan harus berpedoman pada keuntungan
materi semata. Sementara itu, bagi Usman hidup pada dasarnya merupakan
realisasi dari sikap keberagamaan, sehingga Usman selalu mempercayai Agama
lah yang seharusnya menjadi solusi dalam kehidupan. Pada sisi lain, kehadiran
Iskandar merupakan penegasan pentingnya manusia untuk bersikap apa-adanya
dan selalu berlaku jujur pada dirinya sendiri. Hal ini berbeda dengan Kapten
Suherman yang selalu berusaha ‘merekayasa’ penampilannya untuk memenuhi
keinginan dan ambisinya.
C. Analisis Tekstur Lakon
Tekstur Lakon adalah unsur-unsur dalam lakon yang menjadi pijakan
dalam penyusunan desain pementasan. Jika penjabaran dan analisa struktur
lakon merupakan unsur yang bertujuan untuk menciptakan pemahaman maka
tekstur lakon merupakan bagian dari proyeksi lakon yang sudah dapat
dirasakan dan di raba. Adapun yang menjadi bagian dari tekstur lakon adalah:
dialog, suasana dan spektakel. Penjabaran tekstur Bunga Rumah Makan
selengkapnya adalah sebagai berikut:
a.a. Dialog
Dialog adalah percakapan yang terjadi antara tokoh satu dengan tokoh yang lain
dalam sebuah lakon. Dialog selain berfungsi memberikan informasi tentang
karakter tokoh, juga berperan dalam menciptakan alur cerita, menegaskan tema,
latar cerita juga menentukan tempo atau irama permainan. lakon Bunga Rumah
Makan karya Utuy Tatang Sontani, para tokoh-tokohnya tidak memiliki dialog-
dialog yang terkesan simbolik. Dialog yang dominan adalah dialog yang bersifat
keseharian meskipun sesekali terkesan sarkastis (blak-blakan). Selain hal di atas,
meskipun nama-nama tokoh mencerminkan identitas etnik tertentu, namun
secara keseluruhan dialog yang dipergunakan adalah dialog berbahasa nasional
(Indonesia)
a.b. Moud / Rhytem
Yudiaryani dalam “ panggung Teater dunia” mengatakan bahwa irama kalimat,
bunyi kata, dan gambaran tokoh yang kaya imajinasi membantu aktor untuk
menghadirkan suasana atau Mood. Seorang sutradara harus dapat
mendiskusikan gerakan – gerakan ritmis kepada aktor untuk memasuki nuansa
kelembutan music. (2002:367)
Dalam naskah ini pencipta akan menyusun keterlibatan dari irama
kalimat dari tokoh satu ke tokoh yang lain untuk menghadirkan suasana. Selain
itu musik juga akan dihadirkan pencipta untuk memeberikan impuls agar aktor
mampu memasuki suasana yang telah dicipta bersama. Moud dan rithem sangat
penting dalam pementasan teater kerna berpungsi sebagai pembangun suasana
dalam pementasan.
a.c. Spektakel
Spektakel (mise on scene) adalah perwujudan keseluruhan unsur-unsur
pementasan yang bersifat audio visual. Spektakel meliputi unsur lakuan, tata
artistik, tata cahaya, tata suara atau musik dan segenap pedukung pementasan
yang lain. Merujuk gaya dan aliran realisme yang penyaji pilih dalam
pementasan lakon Bunga Rumah Makan ini maka spektakel yang dihadirkan
adalah spektakel realis di mana segala unsur-unsur pemangungan ditampilkan
agar menyerupai kenyataan, selain juga berpedoman pada waktu kejadian yang
dipilih yakni sebelum tahun tahun 2000 an
Lighting
Lighting atau pencahayaan adalah cara menggunakan lampu untuk memberi
penerangan dan melennyapkan gelap agar para penonton bisa melihat, kerna
melihat dan mendengar bisa membantu penonton untuk memahami jalannya
pementasan dan apa yang tidak dilihat oleh penonton dirasakan tidak
mendengar.Lighting juga berpungsi sebagai mendukung suasana kejadian, Dan
juga dapat dijadikan sebagai penanda waktu kapan terjadinya kejadian tersebut
seperti pagi,siang,malam. penggunaan lighting harus membuat bagian-bagian
panggung sesuai dengan keadaan dramatik lakon.
Kostum dan rias
Tata rias dan busana dirancang untuk memberikan penajaman karakter tokoh
yang dimainkan para pemeran. tata busana juga sangat penting untuk
menggambarkan kondisi sosial tokoh-tokoh dalam lakon. Tujuan kostum untuk
membantu memperlihatkan adanya hubungan peran yang satu dengan yang
lainnya, pungsi kostum yang paling penting untuk menghidupkan perwatakan
pelaku.warna kostum juga dapat membedakan pemeran yang satu dengan
pemeran yang lain dan dari seting serta latar belakang. memberi fasilitas dan
membantu geraknya aktor sehingga aktor bisa melakukan busnees akting. Tipe-
tipe kostum yang menjadi ukuran dalam sebuah pementasan kostum historis
yaitu pereode-pereode spesifik dalam sejarah. Kostum moderen kostum yang
dipakai sekarang, kostum nasional kostum yang melambangkan ciri khas negara
serta kostum tradisional menunjukan krakter secara simbolis yang melambang
kan sebuah daerah.
Musik
Musik yang baik dan tepat dapat membantu aktor membawakan warna dan
emosi perannya dalam adegan. Musik juga dapat membantu penonton
mennambah daya dan pengaruh imajinasinya serta memilih momen-momen
ketika musik itu tidak di tiadakan,kerna beberapa drama dramatik ada jenis
adegan yang harus sepi dari segala efek bunnyi. Karakter musik yang
dipergunakan dalam Bunga Rumah Makan karya Utuy Tatang Sontani adalah
jenis musik yang disesuaikan dengan perubahan suasana dan penekanan-
penekanan (suspen) dalam perjalanan alurnya.
Penataan artistik
Visualisasi yang diwujudkan dalan lakon Bunga Rumah Makan adalah
panggung yang di dekorasikan menjadi sebuah rumah makan sederhana yang
rapi dan bersih. Yang meliputi beberapa buah meja saji lengkap dengan kursinya
yang arah hadapnya disesuaikan dengan perspektif penonton, sementara disut
kiri depan nya akan dihadirkan sebuah bofet yang bertulis Rumah Makan
Sambara dan juga terdapat sebuah meja kasir disudut kanan nya. Diatas meja
kasir terdapat sebuah telfon sebagai property
D. Bentuk Dan Gaya lakon
a.a. Bentuk Lakon
Perkembanghan teater yang di mulai dari perkembangan teater Yunani,
telah menggolongkan bentuk teater dalam dua jenis, yaitu: lakon tragedi dan
lakon komedi.[3] Jakob Sumardjo menggambarkan lakon tragedi sebagai lakon
yang dipenuhi dengan pembunuhan, dendam dan penyesalan yang sering
terjadi pada tokoh utamanya. Berbeda dengan lakon komedi yang selalu
menggambarkan kegembiraan atau yang membuat penonton tertawa dan
gembira.[4] Perkembangan selanjutnya muncul drama tragikomedi, yakni lakon
yang menggambarkan tokoh utamanya dalam konflik atau peristiwa yang lucu
atau konyol. Lakon drama tragikomedi, tokoh utamanya seringkali mengalami
peristiwa menyedihkan, menegangkan atau menimbulkan rasa iba, prihatin dan
simpati.
Bunga Rumah Makan Karya Utuy Tatang Sontani adalah lakon
tragikomedi. Indikasi-indikasi yang dapat dijabarkan untuk menjawab
kesimpulan di atas antara lain dapat di lihat dari dinamika emosi para tokoh di
dalamnya yang seringkali melahirkan pertengkaran dan serapah-serapah yang
sarat dengan situasi penuh kegetiran. Tetapi pada saat yang lain terdapat tokoh-
tokoh (Usman dan Karnaen) yang melakukan tindakan naïf dan penuh
kekonyolan (dapat dilihat dari penyesalan Karnaen di akhir cerita).

a.b. Gaya lakon


Gaya lakon adalah ekspresi penyampaian yang berasal dari kebiasaan
atau spontanitas yang segaja diciptakan untuk mengungkapkan atau
menyatakan diri terhadap lingkungan sekitarnya. Gaya di dalam teater adalah
upaya mengekspresikan bentuk permainan tertentu tanpa mengaburkan atau
mengubah substansi lakon. Perwujudan gaya tersebut merupakan
keterpengaruhan munculnya aliran-aliran dalam perkembangan teater, seperti:
klasik, realisme, naturalisme, realisme impresionis dan realisme ekspresionis.
Persoalan gaya adalah persoalan sudut pandang dalam mementaskan naskah
lakon oleh sutradara dengan berpedoman pada tema lakon.
Naskah Bunga Rumah Makan adalah lakon yang sebenarnya sangat jelas
mengindikasikan suatu gaya dalam lakon. Jika ditilik dari sisi tematis,
keseluruhan dialog-dialog yang masih terkesan keseharian dengan motif dialog
(spine) yang sangat terlacak secara jelas, maka lakon ini merupakan lakon
realisme. Begitu juga penanjakan alurnya yang dinamik dengan progresi alur
yang terkesan sangat jelas. Juga perubahan emosi yang timbulkan oleh para
tokoh yang memiliki "tensi" meningkat sehingga kausalitasnya yang dapat
terbaca secara gamblang menempatkan lakon ini sebagai lakon bergaya realisme.
Merujuk penjelasan RMA Harymawan yang memaparkan ciri-ciri
realisme psikologis dalam dua ciri yakni: pertama, permainan ditekankan pada
peristiwa internal atau kejiwaan dan kedua, secara teknis segala perhatian
diarahkan pada akting para pemeran,[5] maka lakon Bunga Rumah Makan
Karya Utuy Tatang Sontani dapatlah digolongkan dalam lakon yang bergaya
realisme psikologis.
BAB III
PERANCANGAN PENYUTRADARAAN

A. Konsep penyutradaraan
Perwujudan realisme yang pencipta pakai dalam pementasan ini yaitu paham
naturalisme. panggung Teater Dunia yudiaryani menyatakan seting panggung
gaya naturalisme tampak sangat detil dan akurat, sehingga kehidupan
keseharian mampu dihayati oleh penonton.
rancangan ini penyutradaraan mewujudkan setting pentas naskah “ Bunga
Rumah Makan sangat naturalisme menggambarkan rumah makan sederhana.
Rancangan pentas dibuat detil untuk pencapaian penghayatan penonton
terhadap latar tempat, waktu, dan kejadian dalam lakon.
Pencipta sebagai sutradara menginginkan aktor sebagai kreator yang
peranannya cukup besar dalam proses penciptaan. Sutradara memberikan
kebebasan dalam pencarian aktor terhadap karakter lalu mengarahkan sesuai
dengan konsep yang pencipta rancang. Selain itu sutradara juga memberi impuls
pada pencarian aktor agar lebih mudah mendapatkan karakter yang ingin
sutradara transformasi. Teori penyutradaraan yang pencipta gunakan yaitu teori
laissez faire.
Teori laissez faire, dalam teori ini aktor dan aktris adalah pencipta dalam teater.
Merekalah seniman-seniwati yang memungkinkan penonton menikmati lakon.
Tugas sutradara ialah membantu aktor dan aktris mengekspresikan dirinya
dalam sebuah pementasan.
Segi akting yang pencipta gunakan yaitu konsep Stanislavsky “To be”, dimana
pencipta mengharapkan aktor dapat memerankan tokoh dengan menghadirkan
tokoh kedalam dirinya. Sutradara memposisikan dirinya untuk mengarahkan
pencarian-pencarian actor lalu menyamakan persepsi untuk dapat mencapai
konsep dan pencapaian dramatik naskah.
Pendekatan presentasi adalah pendekatan akting yang dipakai pencipta.
Pendekatan ini mengutamakan identifikasi antara jiwa si aktor dengan jiwa si
karakter, sambil memberi kesempatan kepada tingkah laku untuk berkembang.
Tingkah laku yang berkembang ini berasal dari situasi-situasi yang diberikan si
penulis naskah.
Pendekatan ini pencipta gunkan sebab tokoh dalam naskah jarang
dijumpai dikehidupan, jadi naluri pemeran dalam mengekspresikan karakter
tokoh dengan bantuan suasana yang diberikan pengarang naskah yang akan
melahirkan ekspresi yang spontan ketika bertindak. Aksi ini disebut
Stanislavsky dengan the magic if.
a.a. Visi Sutradara
Adapun visi pennyutradaraan ini ialah bagai mana sutradara memberi
pemahaman kepada aktor tentang pemeranan persentatif lalu diaplikasikan
diatas panggung.
a.b. Misi Sutradaraa
Adapun misi dalam penggarapan mennyadarkan penonton bahwa tak
selama yang kita lihat baik akan selalu baik begitu juga sebaliknya yang di
gambarkan dalam penggarapan ini.

B. Metode Penyutradaraan
Setiap sutradara memiliki masing-masing metode dalam proses penciptaan yang
dilakukan. Metode ini dilakukan untuk pencapaian pementasan dengan taret-
target tertentu yang telah pencipta rancang. Adapun metode yang pencipta
gunakan dalam proses penciptaan naskah Bunga Rumah Makan adalah :

. Reading
Reading merupakan latihan awal dalam perancangan untuk menjajaki
penafsiran naskah. Orientasi lain dari reading adalah pencarian nada dasar vokal
bagi kebutuhan peran. Pusat perhatian sutradara kemudian diarahkan pada
diksi, intonasi dan artikulasi vokal. Selain mengantarkan pada pemahaman
lakon, reading pada akhirnya difungsikan untuk menemukan karakter dan
perubahan emosi setiap tokoh dalam lakon.
Wujud latihan ini diawali dengan latihan dasar olah vokal, yaitu latihan yang
diformulasikan untuk merenggangkan alat pengucapan, pengaturan alat ucap
bagi kebutuhan daya lontar dan penstabilan alat ucap dari pengendoran
stamina. Latihan selanjutnya adalah dengan cara membaca naskah antara
pemain satu dengan pemain yang lain, sesuai karakter tokoh yang diperankan.
Selain hal di atas, maka pusat perhatian sutradara juga diarahkan pada
penciptaan dinamika dialog, pengaturan tempo dialog, ketepatan dalam aksi
dan reaksi verbal, juga keterlibatan emosi dalam kata demi kata. Dalam
pementasan Bui karya Akhudiat, pelaksanaan reading dilakukan dalam delapan
kali pertemuan.

Blocking Kasar
Bloking adalah teknik pengaturan langkah-langkah para pemain untuk
membentuk pengelompokan dikarenakan perubahan suasana dalam lakon.
Sebelum pencapaian bloking yang baku maka para pemain melakukan
pencarian gesture dan Move secara acak dan seringkali masih berubah-ubah.
Pencarian inilah yang kemudian disebut sebagai bloking kasar. Bloking kasar
juga digunakan untuk mengukur kemampuan dramatik aktor-aktor yang terkait
dengan kesadaran ruang dan elastisitas tubuh dalam mengukur kemampuan
berucap yang disertai kemampuan gerak. Tahapan bloking kasar dalam
perancangan pementasan Bui karya Akhudiat dilakukan secara intensif selama
delapan kali latihan.
Posisi sutradara dalam tahapan bloking ini adalah menentukan gesture dan
move yang telah dieksplorasi pemeran agar dapat terwujud bloking baku. Selain
hal tersebut, satradara juga menyeleksi beberapa bloking yang telah di buat
pemain dengan berpijak pada kebutuhan irama, dramatika, suasana dan
komposisi panggung.
Blocking Halus
Bloking halus merupakan tahapan latihan yang bertitik tolak dari bloking kasar.
Seluruh gerak dan gestur pemain yang membentuk blok, telah menjadi susunan
pola lantai yang baku. Pada tahapan ini latihan lebih diarahkan pada
penumbuhan motivasi passsda setiap move-move yang di buat. Pembakuan
bloking juga dilandasi oleh tercapainya aksentuasi makna (spine) dalam dialog.
Kegiatan kongkret yang dilakukan dalam bloking halus ini adalah menyeleksi
semua capaian-capain bloking kasar dengan mengamati bloking dan movement
dalam adegan demi adegan. Pengurangan movement atau perombakan bloking
dilakukan secara dialogis agar setiap bloking yang dibakukan dapat
menghasilkan permainan yang meyakinkan.
Secara menyeluruh bloking halus bertujuan untuk mengembangkan
penghayatan peran, menciptakan inner acting, dan mengembangkan permainan
yang bersifat kolektif. Bloking halus dalam latihan pementasan Bunga Rumah
Makan karya utuy Tatang Sontani dilakukan dalam enam kali pertemuan.

Finishing
Tahapan finishing merupakan tahapan pematangan dari bloking halus yang
telah dicapai sebelumnya. Tahapan ini dilakukan untuk mengembangkan
'kekayaan' akting para pemeran dengan berbagi detail-detail permainan. Detail-
detail permainan yang dimaksud adalah berbagai respon pemeran terhadap
keberadaan elemen-elemen pementasan yang lain yang meliputi penataan set
dekor, daya dukung ilustrasi musik, penggunaan properti, dan kostum yang
dipakainya. Detail-detail permainan juga menyangkut penggunaan gertur-gestur
kecil (bussines act) yang menyatu dengan keutuhan perannya. Pada tahap ini
pemeran sudah harus mampu membangun penghayatan dirinya, sehingga
setiap gerak dan ucapannya terkesan 'wajar'.
Dalam penataan artistik, maka para penata sudah harus melakukan
penyelarasan akhir terhadap semua komponen artistik yang meliputi warna,
letak set dekor yang diperlukan, perspektif tontonan, perubahan warna karena
efek cahaya, daya dukung musik terhadap emosi dan suasana kejadian,
kontekstualisasi pilihan instrumen terhadap latar cerita dan harmonisasi dengan
seni peran yang akan disajikan.

Pementasan
Tahapan pementasan merupakan penyajian keseluruhan unsur pentas dalam
suatu pertunjukan yang utuh. Masing-masing unsur merupakan kekuatan yang
saling terkait dalam menciptakan harmoni dan unity.
Perancangan artistik
Set dekor dalam pementasan Lakon Bunga Rumah Makan ini berpedoman pada
konsep perancangan secara keseluruhan yakni penghadiran lakon secara
presentatif. Wujud kongkret dari perancangan secara presentatif tersebut adalah
terjadinya kesesuaian antara Set dekor Bunga Rumah Makan dengan pilihan
bentuk pementasan, yakni realisme. Secara menyeluruh visualisasi setting
diwujudkan sesuai penekanan (emphasis) dalam perancangan yang di rujuk dari
tema lakon. Gambaran setting dengan demikian tidak sekedar ditampilkan
dalam kerangka untuk mendekati kenyataan, tetapi juga harus menghadirkan
kesan sebuah keasrian rumah makan dengan pilihan latar waktu di akhir tahun
80-an. Merujuk hal tersebut penataan set dekor dalam pementasan Bunga
Rumah Makan karya Utuy Tatang sontani meliputi: sebuah ruang rumah makan
dengan tiga meja saji lengkap dengan masing-masing kursinya dengan arah
hadap yang disesuaikan perspektif penonton, sementara pada sudut belakang
akan dihadirkan suatu ruangan kecil tempat untuk meramu aneka minuman dan
pada bagian tengahnya juga di hadirkan meja kerja pemilik rumah makan
dengan sebuah telpon sebagi propertinya.
Adapun bahan-bahan yang digunakan untuk membuat setting ini meliputi:
kertas pembungkus semen, kertas padang larang, kayu kerangka, cat sebagai
pewarna dan penegas tekstur dinding, beberapa kayu untuk pembuatan jeruji
dan pintu besi.

Penataan Cahaya
Secara mendasar cahaya dalam pementasan ini berfungsi sebagai pendukung
suasana kejadian, penanda waktu dan spasi adegan. Pada konteks penanda
waktu tata cahaya diarahkan kepada pengaturan intensitas yang disesuaikan
dengan waktu kejadian dalam lakon. Dalam fungsinya sebagai pendukung
suasana lakon, lampu di desain dalam penempatan maupun kombinasi
warnanya. Sementara untuk awal dan akhir lakon di gunakan teknik black in
out. Konsep black in out adalah memulai dan mengakhiri adegan dengan
mematikan atau menghidupkan cahaya. Impresi yang ingin dicapai dari
penataan lampu adalah penghadiran suasana ruangan yang ‘familier’. Adapun
jenis lampu yang digunakan dalam pementasan Bunga Rumah Makan adalah
fresnel dan zoom spot (elipsodal) yang akan di gunakan untuk membuat pose
pada akhir lakon.

Penataan Musik
Karakter musik yang dipergunakan dalam Bunga Rumah Makan karya
Utuy Tatang Sontani adalah jenis musik yang disesuaikan dengan perubahan
suasana dan penekanan-penekanan (suspen) dalam perjalanan alurnya.
Pembentukan accord maupun melodi musik didasarkan pada musik tema yang
dicipta dengan bertolak pada suasana dominan dalam lakon. Musik yang
digunakan adalah beberapa jenis intrumen akustik, antara lain gitar dan biola,
conra bas dan vokal.
Pada bagian awal pementasan musik yang diperdengarkan adalah suatu
ansemble bernuansa musik keroncong (sebagai musik yang masih ngetrend
diakhir 1900-an) dengan pilihan melodi lagu-lagu keroncong metropolis
(perkotaan). Di pilihnya musik nuansa keroncong selain bercorak kebudayaan
urban di kota-kota besar (terutama di Jawa) juga musik tersebut dapat
mewakilisegmentasi sosial menengah ke bawah.
Sedangkan musik yang dipergunakan untuk ilustrasi adalah beberapa jenis
musik dengan melodi tertentu yang dimainkan secara solo. Irama, tempo dalam
iringan dan nuansa lagu (melodi) yang di pilih disesuaikan dengan suasana dan
ketegangan-ketegangan dalam lakon.

Penataan Rias dan Busana


Tata rias dan busana dirancang untuk memberikan penajaman karakter
tokoh yang dimainkan para pemeran. Penegasan karakter tokoh itu meliputi
penegasan secara fisikis dan sosial. Khusus untuk tata busana juga sangat
penting untuk menggambarkan kondisi sosial tokoh-tokoh dalam lakon. Kondisi
sosial yang dimaksud adalah kalangan karyawan perkantoran, Pemilik rumah
makan, seorang pemuka Agama, seorang tentara dan seorang pelayan Rumah
Makan. Sedangkan rias yang dipergunakan dalam pementasan Bunga Rumah
makan Karya Utuy Tatang Sontani meliputi dua jenis rias, yakni rias korektif
dan rias karakter. Rias korektif adalah rias yang bertujuan ‘mengoreksi’ setiap
proporsi wajah dengan elemen-elemenya, sedangkan rias karakter adalah rias
yang menegaskan karakter fisik, psikis dan sosiologis tokoh. Rias korektif
ditampilkan pada tokoh Tokoh Ani dan Rukayah, Kapten Suherman, Iskandar
dan Karnaen, sedangkan rias karakter digunakan pada tokoh Sudarma ,Usman
dan Pengemis

B. Proses latihan penyutradaraan


1. a.a. memilih pemain Casting (memilih dan menetukan pemain)
Pada tahap ini sutradara mendapatkan sebuah tantangan, dimana seorang
sutradara harus mampu untuk meng-casting aktor sesuai dengan karakter tokoh
yang ada di dalam naskah. Ada banyak metode casting, diantaranya:
a. Casting by Ability
Berdasarkan yang terpandai dan terbaik dipilih untuk peran penting / utama
dan kesulitan yang tinggi.
b. Casting to Emosional Temprament
Memilih seorang pemain berdasarkan hasil observasi hidup pribadinya, karena
mempunyai banyak kesamaan atau kecocokan dengan peran yang
dimainkannya (kesamaan emosi, temprament, kebiasaan dll).
c. Casting to Tipe
Pemilihan pemain berdasarkan kecocokan fisik sipemain (tinggi badan, berat
badan, bentuk tubuh dll).
d. Antytipe Casting
Pemilihan yang bertentangan dengan watak atau fisik, ini menentang
keumuman jenis perwatakan manusia secara konvensional, sering disebut
Education Casting.
e. Therapeutic Casting
Menentukan seorang pemain atau pelaku yang bertentangan dengan watak
aslinya dengan maksud dan tujuan untuk menyembuhkan atau mengurangi
ketidak seimbangan jiwanya

BAB IV

A.Kesimpulan

Proses kreatif dalam seni teater pada dasarnya menempatkan aspek peneranan
sabagai bidang kerja yang penting. Seluruh jalinan materi-materi
pemanggungan, baik yang bersifat visual maupun auditif sangat dipengarihi
oleh 'sentuhan' pemeranan. Pemeran dengan sendirinya, tidak sekedar harus
menguasai aspek-aspek pemanggungan (spektakel) tetapi juga harus mampu
menerjemahkan secara tuntas gagasan-gagasan dasar yang tersirat dalam lakon
sebagai titik tolak yang melandasi wujud pengemasan (gaya lakon).
Materi-materi pemanggungan diwujudkan dengan bertitik tolak pada
penafsiran terhadap lakon. Keberadaan lakon, dengan demikian adalah ruang
terhadap berbagai kemungkinan artistik (estetis) yang kemudian dipilih
sutradara untuk merealisasikan keseluruhan imajinasinya. Imajinasi tersebut
muncul melalui telaah terhadap naskah, yang dilakukan dengan menyeleksi
kemungkinan-kemungkinan tafsir yang sudah didapatkan. Imajnasi-imajinasi
itulah yang kemudian ditetapkan dalam rencana perancangan pementasan
sesara keseluruhan, baik yang tercermin dalam seni peran maupun penataan
artistiknya.
Lakon Bunga Rumah Makan karya Utuy Tatang Sontani adalah lakon
yang dapat digolongkan sebagai lakon realisme. Secara umum kenyataan ini
dapat dilihat dari gaya dialognya yang masih keseharian, kejelasan identitas
tokoh yang terlibat konflik, ketegasan dalam penggambaran latar cerita, dan
suspen-suspen pertujukan yang menunjukan kausalitas yang jelas.
Secara umum, lakon Bunga Rumah Makan karya Utuy Tatang Sontani juga
mengetengahkan konflik yang dialami para pengunjung sebuah rumah makan.
Para pengujung dan pekerja Rumah makan tersebut dihadapakan pada
persaingan di antara mereka untuk mendapatkan cinta seorang pelayan yang
bernama Ani. Kejelitaan sekaligus kepolosan Ani lah yang menyebabkan
pertikaian antara Kapten Suherman, Karnaen, dan Iskandar. Lakon ini secara
umum berusaha menegaskan bahwa kepribadian manusia tidak akan bisa dinilai
hanya melalui apa yang terlihat di ‘permukaan’. Hati manusia terkadang justru
berpijak dari kenyataan yang paradoks: bahwa dalam kekasaran seringkali
menyimpan kelembutan, bahwa dalam keangkuhan seringkali menyimpan
kesungguhan, dan dalam tindakan atau ucapan yang menyakitkan terkadang
justru menyimpan kejujuran dan ketulusan paling dalam. Lakon Bunga Rumah
Makan dengan demikian menegaskan situasi yang dialami tokoh utamanya Ani,
pada kenyataan paradoks yang ditemukan dalam kepribadian seorang Kapten
Suherman, seorang Karnaen dan Seorang Iskandar.
Inilah jalinan konflik yang kemudian akan dipaparkan dalam wujud
pementasan dengan pendekatan presentasi (realisme). Pendekatan presentasi
tersebut pada akhirnya akan membingkai konsep lakuan menjadi sebuah gaya
pementasan yang presentatif pula. Merujuk hal tersebut maka mekanisme kerja
pemeranan (tokoh Ani) masihlah mengarah pada upaya untuk memproyeksinya
naskah ke dalam pementasan yang bergaya realisme.
Realisme adalah gaya ungkap dalam teater yang berusaha mewujudkan konflik
dalam lakon lewat sudut pandang yang nyata atau sering terlihat dalam
keseharian. Hal tersebut juga menegaskan bahwa realisme harus mampu
"memindahkan" kenyataan sehari-hari ke dalam gambaran umum di atas
panggung, bukan dalam bentuk penambahan (stilisasi) atau merusak
(mendistorsi).
Penjabaran pendekatan presentatif tersebut, diwujudkan dalam optimalisai
keaktoran sebagai pusat perhatian tontonan, dengan penggunaan dua gesture
pemeranan, sebagai gesture yang dominan yang dipakai dalam pementasan.
Gesture tersebut meliputi gesture empatik dan gestur indikatiff. Gesture empatik
dipergunakan saat para tokoh tampil dalam situasi 'wajar', dan pada saat para
tokoh didera kesedihan atau kemarahan, sedangkan gesture indikatif adalah
gerakan yang menujukan tujuan-tujuan dan maksud tertentu ketika berinteraksi
dengan tokoh lain. Dengan demikian penyajian lakon secara umum dihadirkan
secara realis dengan pendekatan lakuan yang bergaya realisme pula..
Proses perwujudan pentas direalisasikan melalui suatu metode penciptaan
peran. Tahapan penciptaan peran tersebut meliputi: relaksasi, konsentrasi, dan
observasi, satuan dan sasaran, keyakinan terhadap kebenaran, emosi efektif dan
bermain ensamble. Secara umum proyeksi lakuan yang harus dicapai dalam
tahapan-tahapan tersebut adalah sebagaimana tahapan pencapaian peran yang
pernah diteorikan Stanislavsky yang berintikan dua hal: yakni menghadirkan
tokoh dalam batin dan memproyeksikan ‘kehadiran’ itu dalam instrumen lakuan
yakni tubuh dan vokal.

B.Saran
Pembelajaran seputar penyikapan naskah oleh pemeran perlu dilakukan
secara intensif. Pembelajaran tersebut menyangkut metode-metode pengkajian
naskah, telaah terhadap gaya awal (orisinil) naskah, kemungkinan-kemungkinan
terhadap kemasan baru dalam proses trnsformasi naskah ke dalam lakuan (seni
peran). Pembelajaran tersebut juga dibutuhkan agar pertunjukan tidak
mendistorsi makna naskah tapi justru mampu mengaksentuasikan gagasan
pengarang pada khalayak. Hal ini juga sangat penting untuk mengasah para
penyaji agar peka dalam melihat ragam penafsiran terhadap lakon, bagi
kemungkinan-kemungkinan visual.
DAFTAR PUSTAKA
Harymawan, RMA, Dramaturgi, Bandung: CV. Rosdakarya, 1988.

Yudiaryani, Panggung Teater Dunia, Yogyakarta: Pustaka Gondho Suli, 2002.

Rikrik El Saptaria, Acting hanbook, Jakarta, Rekayasa sains, 2006.

RMA Harymawan, Bandung: CV Rosda, 1988, p. 46.

RMA Harymawan, Op Cit., hal 25.

Anda mungkin juga menyukai