Latar Waktu
Sesuai rujukan konflik yang terjadi dalam lakon (mekipun ditulis pada
tahun 1948), maka kurun waktu terjadinya peristiwa dalam lakon Bunga Rumah
Makan bisa terjadi kapan saja. Artinya, situasi yang ditimbukan oleh interaksi
antara pemilik, pelayan rumah makan dan para pengunjung adalah persoalan
yang tetap kontekstual sampai kapanpun. Sedangkan untuk kisaran harinya
maka bisa dipastikan bahwa kejadian di rumah makan Sembara terjadi pada
pagi (menjelang siang) hingga siang hari. Hal ini dapat dibuktikan pada adegan
awal lakon dimana para pemuda mendatangi rumah makan tersebut untuk
sekedar minum meskipun waktunya sudah mendekati jam kerja. Jika dirujuk
dari salah satu properti yang digunakan dalam ruangan rumah makan yakni
bentuk telpon manual yang digunakan sebagai alat komunikasi maka latar
waktu dalam lakon Bunga Rumah Makan dapat ditafsirkan berlangsung
sebelum merebaknya penggunaan ponsel, yakni sebelum tahun 1990-an itu
berdasarkan naskah, namun untuk latar waktu sutradara ingin menampilkan
kejadian tahun 2000 an (kekinian)
Latar Suasana
Secara umum suasana lakon Bunga Rumah Makan dilatari oleh
kehidupan masyarakat segmen menengah dengan beragam profesi. Kondisi
yang melatari suasana konflik adalah suatu masyarakat yang memilki
keragaman sudut pandang pada hidup. Ada pandangan yang tidak
mementingkan kejujuran, pandangan yang menggangap pentingnya
penghargaan pada orang lain tetapi juga pandangan pragmatis bahwa manusia
harus diukur dari tampilan luarnya. Inilah kondisi yang acapkali menciptakan
pertikaian antar manusia yang didasari rasa cemburu, kedengkian dan
pertentangan satu sama lain. Dengan demikian suasana dominan yang melatari
lakon ini adalah suasana emosianal akibat keinginan manusia untuk dapat
memiliki (dicintai) orang lain.
b.e. Amanat
Amanat dalam naskah Bunga Rumah Makan kerya Utuy Tatang Sontani
tergambar jelas oleh tokoh- tokoh dalam naskah tersebut. Iintinya kita tidak
boleh menilai orang lain dari luarnya saja, kerna apa yang kita anggap baik
belum tentu baik begitu juga yang kita lihat jahat belum tentu itu jahat. Jelasnya
lagi kita harus mengenal orang dari luar dan dalam baru bisa kita
menyimpulkan orang itu jahat atau baik.
b.f. Tema
Lakon terbentuk dari sebuah gagasan dasar yang mengarahkan dan menopang
seluruh unsur-unsur pembentuk lakon. Gagasan dasar itulah yang lazim disebut
sebagai tema. Sudiro Satoto menyebut tema sebagai dasar pikiran utama dan
sumber ide yang mengawali terbentuknya lakon. Sementara itu RMA
Harymawan memahami tema dari sudut pandang watak manusia, yakni sebagai
falsafah mendasar suatu obsesi yang fundamental.[1] Merujuk pendapat-
pendapat tersebut, dapat dipahami bahwa tema merupakan unsur awal yang
akan mengilhami unsur-unsur lain dalam lakon.
Panuti Sudjiman membagi tema menjadi dua jenis tema mayor dan tema minor.
Tema mayor adalah tema yang menopang keseluruhan lakon, sedangkan tema
minor adalah sub-sub tema yang dapat dipahami dari alur maupun penokohan
yang ada.[2] Tema mayor dalam lakon Bunga Rumah Makan karya Utuy Tatang
Sontani adalah sebuah ungkapan tentang nilai manusia yng ternyata tidak hanya
cukup disimpulkan dari apa yang nampak. Bahwa kepribadian manusia tidak
akan bisa dinilai hanya melalui apa yang terlihat di ‘permukaan’. Hati manusia
terkadang justru berpijak dari kenyataan yang paradoks bahwa dalam kekasaran
seringkali menyimpan kelembutan, bahwa dalam keangkuhan seringkali
menyimpan kesungguhan, dan dalam tindakan atau ucapan yang menyakitkan
terkadang justru menyimpan kejujuran dan ketulusan paling dalam. Lakon
Bunga Rumah Makan dengan demikian menegaskan situasi yang dialami tokoh
utamanya Ani, pada kenyataan paradoks yang ditemukan dalam kepribadian
seorang Kapten Suherman, seorang Karnaen dan Seorang Iskandar.
Tema minor pada lakon Bunga Rumah Makan karya Utuy Tatang Sontani
tercermin pada tokoh-tokoh yang berinteraksi di dalamnya. Tokoh-tokoh dalam
lakon Bunga Rumah Makan karya Utuy Tatang Sontani ini memperlihatkan
suatu pandangan yang beragam tentang kehidupan. Tokoh Sudarma
menegaskan bahwa kehidupan merupakan pilihan-pilihan yang bersifat
pragmatis, oleh karenanya setiap tindakan harus berpedoman pada keuntungan
materi semata. Sementara itu, bagi Usman hidup pada dasarnya merupakan
realisasi dari sikap keberagamaan, sehingga Usman selalu mempercayai Agama
lah yang seharusnya menjadi solusi dalam kehidupan. Pada sisi lain, kehadiran
Iskandar merupakan penegasan pentingnya manusia untuk bersikap apa-adanya
dan selalu berlaku jujur pada dirinya sendiri. Hal ini berbeda dengan Kapten
Suherman yang selalu berusaha ‘merekayasa’ penampilannya untuk memenuhi
keinginan dan ambisinya.
C. Analisis Tekstur Lakon
Tekstur Lakon adalah unsur-unsur dalam lakon yang menjadi pijakan
dalam penyusunan desain pementasan. Jika penjabaran dan analisa struktur
lakon merupakan unsur yang bertujuan untuk menciptakan pemahaman maka
tekstur lakon merupakan bagian dari proyeksi lakon yang sudah dapat
dirasakan dan di raba. Adapun yang menjadi bagian dari tekstur lakon adalah:
dialog, suasana dan spektakel. Penjabaran tekstur Bunga Rumah Makan
selengkapnya adalah sebagai berikut:
a.a. Dialog
Dialog adalah percakapan yang terjadi antara tokoh satu dengan tokoh yang lain
dalam sebuah lakon. Dialog selain berfungsi memberikan informasi tentang
karakter tokoh, juga berperan dalam menciptakan alur cerita, menegaskan tema,
latar cerita juga menentukan tempo atau irama permainan. lakon Bunga Rumah
Makan karya Utuy Tatang Sontani, para tokoh-tokohnya tidak memiliki dialog-
dialog yang terkesan simbolik. Dialog yang dominan adalah dialog yang bersifat
keseharian meskipun sesekali terkesan sarkastis (blak-blakan). Selain hal di atas,
meskipun nama-nama tokoh mencerminkan identitas etnik tertentu, namun
secara keseluruhan dialog yang dipergunakan adalah dialog berbahasa nasional
(Indonesia)
a.b. Moud / Rhytem
Yudiaryani dalam “ panggung Teater dunia” mengatakan bahwa irama kalimat,
bunyi kata, dan gambaran tokoh yang kaya imajinasi membantu aktor untuk
menghadirkan suasana atau Mood. Seorang sutradara harus dapat
mendiskusikan gerakan – gerakan ritmis kepada aktor untuk memasuki nuansa
kelembutan music. (2002:367)
Dalam naskah ini pencipta akan menyusun keterlibatan dari irama
kalimat dari tokoh satu ke tokoh yang lain untuk menghadirkan suasana. Selain
itu musik juga akan dihadirkan pencipta untuk memeberikan impuls agar aktor
mampu memasuki suasana yang telah dicipta bersama. Moud dan rithem sangat
penting dalam pementasan teater kerna berpungsi sebagai pembangun suasana
dalam pementasan.
a.c. Spektakel
Spektakel (mise on scene) adalah perwujudan keseluruhan unsur-unsur
pementasan yang bersifat audio visual. Spektakel meliputi unsur lakuan, tata
artistik, tata cahaya, tata suara atau musik dan segenap pedukung pementasan
yang lain. Merujuk gaya dan aliran realisme yang penyaji pilih dalam
pementasan lakon Bunga Rumah Makan ini maka spektakel yang dihadirkan
adalah spektakel realis di mana segala unsur-unsur pemangungan ditampilkan
agar menyerupai kenyataan, selain juga berpedoman pada waktu kejadian yang
dipilih yakni sebelum tahun tahun 2000 an
Lighting
Lighting atau pencahayaan adalah cara menggunakan lampu untuk memberi
penerangan dan melennyapkan gelap agar para penonton bisa melihat, kerna
melihat dan mendengar bisa membantu penonton untuk memahami jalannya
pementasan dan apa yang tidak dilihat oleh penonton dirasakan tidak
mendengar.Lighting juga berpungsi sebagai mendukung suasana kejadian, Dan
juga dapat dijadikan sebagai penanda waktu kapan terjadinya kejadian tersebut
seperti pagi,siang,malam. penggunaan lighting harus membuat bagian-bagian
panggung sesuai dengan keadaan dramatik lakon.
Kostum dan rias
Tata rias dan busana dirancang untuk memberikan penajaman karakter tokoh
yang dimainkan para pemeran. tata busana juga sangat penting untuk
menggambarkan kondisi sosial tokoh-tokoh dalam lakon. Tujuan kostum untuk
membantu memperlihatkan adanya hubungan peran yang satu dengan yang
lainnya, pungsi kostum yang paling penting untuk menghidupkan perwatakan
pelaku.warna kostum juga dapat membedakan pemeran yang satu dengan
pemeran yang lain dan dari seting serta latar belakang. memberi fasilitas dan
membantu geraknya aktor sehingga aktor bisa melakukan busnees akting. Tipe-
tipe kostum yang menjadi ukuran dalam sebuah pementasan kostum historis
yaitu pereode-pereode spesifik dalam sejarah. Kostum moderen kostum yang
dipakai sekarang, kostum nasional kostum yang melambangkan ciri khas negara
serta kostum tradisional menunjukan krakter secara simbolis yang melambang
kan sebuah daerah.
Musik
Musik yang baik dan tepat dapat membantu aktor membawakan warna dan
emosi perannya dalam adegan. Musik juga dapat membantu penonton
mennambah daya dan pengaruh imajinasinya serta memilih momen-momen
ketika musik itu tidak di tiadakan,kerna beberapa drama dramatik ada jenis
adegan yang harus sepi dari segala efek bunnyi. Karakter musik yang
dipergunakan dalam Bunga Rumah Makan karya Utuy Tatang Sontani adalah
jenis musik yang disesuaikan dengan perubahan suasana dan penekanan-
penekanan (suspen) dalam perjalanan alurnya.
Penataan artistik
Visualisasi yang diwujudkan dalan lakon Bunga Rumah Makan adalah
panggung yang di dekorasikan menjadi sebuah rumah makan sederhana yang
rapi dan bersih. Yang meliputi beberapa buah meja saji lengkap dengan kursinya
yang arah hadapnya disesuaikan dengan perspektif penonton, sementara disut
kiri depan nya akan dihadirkan sebuah bofet yang bertulis Rumah Makan
Sambara dan juga terdapat sebuah meja kasir disudut kanan nya. Diatas meja
kasir terdapat sebuah telfon sebagai property
D. Bentuk Dan Gaya lakon
a.a. Bentuk Lakon
Perkembanghan teater yang di mulai dari perkembangan teater Yunani,
telah menggolongkan bentuk teater dalam dua jenis, yaitu: lakon tragedi dan
lakon komedi.[3] Jakob Sumardjo menggambarkan lakon tragedi sebagai lakon
yang dipenuhi dengan pembunuhan, dendam dan penyesalan yang sering
terjadi pada tokoh utamanya. Berbeda dengan lakon komedi yang selalu
menggambarkan kegembiraan atau yang membuat penonton tertawa dan
gembira.[4] Perkembangan selanjutnya muncul drama tragikomedi, yakni lakon
yang menggambarkan tokoh utamanya dalam konflik atau peristiwa yang lucu
atau konyol. Lakon drama tragikomedi, tokoh utamanya seringkali mengalami
peristiwa menyedihkan, menegangkan atau menimbulkan rasa iba, prihatin dan
simpati.
Bunga Rumah Makan Karya Utuy Tatang Sontani adalah lakon
tragikomedi. Indikasi-indikasi yang dapat dijabarkan untuk menjawab
kesimpulan di atas antara lain dapat di lihat dari dinamika emosi para tokoh di
dalamnya yang seringkali melahirkan pertengkaran dan serapah-serapah yang
sarat dengan situasi penuh kegetiran. Tetapi pada saat yang lain terdapat tokoh-
tokoh (Usman dan Karnaen) yang melakukan tindakan naïf dan penuh
kekonyolan (dapat dilihat dari penyesalan Karnaen di akhir cerita).
A. Konsep penyutradaraan
Perwujudan realisme yang pencipta pakai dalam pementasan ini yaitu paham
naturalisme. panggung Teater Dunia yudiaryani menyatakan seting panggung
gaya naturalisme tampak sangat detil dan akurat, sehingga kehidupan
keseharian mampu dihayati oleh penonton.
rancangan ini penyutradaraan mewujudkan setting pentas naskah “ Bunga
Rumah Makan sangat naturalisme menggambarkan rumah makan sederhana.
Rancangan pentas dibuat detil untuk pencapaian penghayatan penonton
terhadap latar tempat, waktu, dan kejadian dalam lakon.
Pencipta sebagai sutradara menginginkan aktor sebagai kreator yang
peranannya cukup besar dalam proses penciptaan. Sutradara memberikan
kebebasan dalam pencarian aktor terhadap karakter lalu mengarahkan sesuai
dengan konsep yang pencipta rancang. Selain itu sutradara juga memberi impuls
pada pencarian aktor agar lebih mudah mendapatkan karakter yang ingin
sutradara transformasi. Teori penyutradaraan yang pencipta gunakan yaitu teori
laissez faire.
Teori laissez faire, dalam teori ini aktor dan aktris adalah pencipta dalam teater.
Merekalah seniman-seniwati yang memungkinkan penonton menikmati lakon.
Tugas sutradara ialah membantu aktor dan aktris mengekspresikan dirinya
dalam sebuah pementasan.
Segi akting yang pencipta gunakan yaitu konsep Stanislavsky “To be”, dimana
pencipta mengharapkan aktor dapat memerankan tokoh dengan menghadirkan
tokoh kedalam dirinya. Sutradara memposisikan dirinya untuk mengarahkan
pencarian-pencarian actor lalu menyamakan persepsi untuk dapat mencapai
konsep dan pencapaian dramatik naskah.
Pendekatan presentasi adalah pendekatan akting yang dipakai pencipta.
Pendekatan ini mengutamakan identifikasi antara jiwa si aktor dengan jiwa si
karakter, sambil memberi kesempatan kepada tingkah laku untuk berkembang.
Tingkah laku yang berkembang ini berasal dari situasi-situasi yang diberikan si
penulis naskah.
Pendekatan ini pencipta gunkan sebab tokoh dalam naskah jarang
dijumpai dikehidupan, jadi naluri pemeran dalam mengekspresikan karakter
tokoh dengan bantuan suasana yang diberikan pengarang naskah yang akan
melahirkan ekspresi yang spontan ketika bertindak. Aksi ini disebut
Stanislavsky dengan the magic if.
a.a. Visi Sutradara
Adapun visi pennyutradaraan ini ialah bagai mana sutradara memberi
pemahaman kepada aktor tentang pemeranan persentatif lalu diaplikasikan
diatas panggung.
a.b. Misi Sutradaraa
Adapun misi dalam penggarapan mennyadarkan penonton bahwa tak
selama yang kita lihat baik akan selalu baik begitu juga sebaliknya yang di
gambarkan dalam penggarapan ini.
B. Metode Penyutradaraan
Setiap sutradara memiliki masing-masing metode dalam proses penciptaan yang
dilakukan. Metode ini dilakukan untuk pencapaian pementasan dengan taret-
target tertentu yang telah pencipta rancang. Adapun metode yang pencipta
gunakan dalam proses penciptaan naskah Bunga Rumah Makan adalah :
. Reading
Reading merupakan latihan awal dalam perancangan untuk menjajaki
penafsiran naskah. Orientasi lain dari reading adalah pencarian nada dasar vokal
bagi kebutuhan peran. Pusat perhatian sutradara kemudian diarahkan pada
diksi, intonasi dan artikulasi vokal. Selain mengantarkan pada pemahaman
lakon, reading pada akhirnya difungsikan untuk menemukan karakter dan
perubahan emosi setiap tokoh dalam lakon.
Wujud latihan ini diawali dengan latihan dasar olah vokal, yaitu latihan yang
diformulasikan untuk merenggangkan alat pengucapan, pengaturan alat ucap
bagi kebutuhan daya lontar dan penstabilan alat ucap dari pengendoran
stamina. Latihan selanjutnya adalah dengan cara membaca naskah antara
pemain satu dengan pemain yang lain, sesuai karakter tokoh yang diperankan.
Selain hal di atas, maka pusat perhatian sutradara juga diarahkan pada
penciptaan dinamika dialog, pengaturan tempo dialog, ketepatan dalam aksi
dan reaksi verbal, juga keterlibatan emosi dalam kata demi kata. Dalam
pementasan Bui karya Akhudiat, pelaksanaan reading dilakukan dalam delapan
kali pertemuan.
Blocking Kasar
Bloking adalah teknik pengaturan langkah-langkah para pemain untuk
membentuk pengelompokan dikarenakan perubahan suasana dalam lakon.
Sebelum pencapaian bloking yang baku maka para pemain melakukan
pencarian gesture dan Move secara acak dan seringkali masih berubah-ubah.
Pencarian inilah yang kemudian disebut sebagai bloking kasar. Bloking kasar
juga digunakan untuk mengukur kemampuan dramatik aktor-aktor yang terkait
dengan kesadaran ruang dan elastisitas tubuh dalam mengukur kemampuan
berucap yang disertai kemampuan gerak. Tahapan bloking kasar dalam
perancangan pementasan Bui karya Akhudiat dilakukan secara intensif selama
delapan kali latihan.
Posisi sutradara dalam tahapan bloking ini adalah menentukan gesture dan
move yang telah dieksplorasi pemeran agar dapat terwujud bloking baku. Selain
hal tersebut, satradara juga menyeleksi beberapa bloking yang telah di buat
pemain dengan berpijak pada kebutuhan irama, dramatika, suasana dan
komposisi panggung.
Blocking Halus
Bloking halus merupakan tahapan latihan yang bertitik tolak dari bloking kasar.
Seluruh gerak dan gestur pemain yang membentuk blok, telah menjadi susunan
pola lantai yang baku. Pada tahapan ini latihan lebih diarahkan pada
penumbuhan motivasi passsda setiap move-move yang di buat. Pembakuan
bloking juga dilandasi oleh tercapainya aksentuasi makna (spine) dalam dialog.
Kegiatan kongkret yang dilakukan dalam bloking halus ini adalah menyeleksi
semua capaian-capain bloking kasar dengan mengamati bloking dan movement
dalam adegan demi adegan. Pengurangan movement atau perombakan bloking
dilakukan secara dialogis agar setiap bloking yang dibakukan dapat
menghasilkan permainan yang meyakinkan.
Secara menyeluruh bloking halus bertujuan untuk mengembangkan
penghayatan peran, menciptakan inner acting, dan mengembangkan permainan
yang bersifat kolektif. Bloking halus dalam latihan pementasan Bunga Rumah
Makan karya utuy Tatang Sontani dilakukan dalam enam kali pertemuan.
Finishing
Tahapan finishing merupakan tahapan pematangan dari bloking halus yang
telah dicapai sebelumnya. Tahapan ini dilakukan untuk mengembangkan
'kekayaan' akting para pemeran dengan berbagi detail-detail permainan. Detail-
detail permainan yang dimaksud adalah berbagai respon pemeran terhadap
keberadaan elemen-elemen pementasan yang lain yang meliputi penataan set
dekor, daya dukung ilustrasi musik, penggunaan properti, dan kostum yang
dipakainya. Detail-detail permainan juga menyangkut penggunaan gertur-gestur
kecil (bussines act) yang menyatu dengan keutuhan perannya. Pada tahap ini
pemeran sudah harus mampu membangun penghayatan dirinya, sehingga
setiap gerak dan ucapannya terkesan 'wajar'.
Dalam penataan artistik, maka para penata sudah harus melakukan
penyelarasan akhir terhadap semua komponen artistik yang meliputi warna,
letak set dekor yang diperlukan, perspektif tontonan, perubahan warna karena
efek cahaya, daya dukung musik terhadap emosi dan suasana kejadian,
kontekstualisasi pilihan instrumen terhadap latar cerita dan harmonisasi dengan
seni peran yang akan disajikan.
Pementasan
Tahapan pementasan merupakan penyajian keseluruhan unsur pentas dalam
suatu pertunjukan yang utuh. Masing-masing unsur merupakan kekuatan yang
saling terkait dalam menciptakan harmoni dan unity.
Perancangan artistik
Set dekor dalam pementasan Lakon Bunga Rumah Makan ini berpedoman pada
konsep perancangan secara keseluruhan yakni penghadiran lakon secara
presentatif. Wujud kongkret dari perancangan secara presentatif tersebut adalah
terjadinya kesesuaian antara Set dekor Bunga Rumah Makan dengan pilihan
bentuk pementasan, yakni realisme. Secara menyeluruh visualisasi setting
diwujudkan sesuai penekanan (emphasis) dalam perancangan yang di rujuk dari
tema lakon. Gambaran setting dengan demikian tidak sekedar ditampilkan
dalam kerangka untuk mendekati kenyataan, tetapi juga harus menghadirkan
kesan sebuah keasrian rumah makan dengan pilihan latar waktu di akhir tahun
80-an. Merujuk hal tersebut penataan set dekor dalam pementasan Bunga
Rumah Makan karya Utuy Tatang sontani meliputi: sebuah ruang rumah makan
dengan tiga meja saji lengkap dengan masing-masing kursinya dengan arah
hadap yang disesuaikan perspektif penonton, sementara pada sudut belakang
akan dihadirkan suatu ruangan kecil tempat untuk meramu aneka minuman dan
pada bagian tengahnya juga di hadirkan meja kerja pemilik rumah makan
dengan sebuah telpon sebagi propertinya.
Adapun bahan-bahan yang digunakan untuk membuat setting ini meliputi:
kertas pembungkus semen, kertas padang larang, kayu kerangka, cat sebagai
pewarna dan penegas tekstur dinding, beberapa kayu untuk pembuatan jeruji
dan pintu besi.
Penataan Cahaya
Secara mendasar cahaya dalam pementasan ini berfungsi sebagai pendukung
suasana kejadian, penanda waktu dan spasi adegan. Pada konteks penanda
waktu tata cahaya diarahkan kepada pengaturan intensitas yang disesuaikan
dengan waktu kejadian dalam lakon. Dalam fungsinya sebagai pendukung
suasana lakon, lampu di desain dalam penempatan maupun kombinasi
warnanya. Sementara untuk awal dan akhir lakon di gunakan teknik black in
out. Konsep black in out adalah memulai dan mengakhiri adegan dengan
mematikan atau menghidupkan cahaya. Impresi yang ingin dicapai dari
penataan lampu adalah penghadiran suasana ruangan yang ‘familier’. Adapun
jenis lampu yang digunakan dalam pementasan Bunga Rumah Makan adalah
fresnel dan zoom spot (elipsodal) yang akan di gunakan untuk membuat pose
pada akhir lakon.
Penataan Musik
Karakter musik yang dipergunakan dalam Bunga Rumah Makan karya
Utuy Tatang Sontani adalah jenis musik yang disesuaikan dengan perubahan
suasana dan penekanan-penekanan (suspen) dalam perjalanan alurnya.
Pembentukan accord maupun melodi musik didasarkan pada musik tema yang
dicipta dengan bertolak pada suasana dominan dalam lakon. Musik yang
digunakan adalah beberapa jenis intrumen akustik, antara lain gitar dan biola,
conra bas dan vokal.
Pada bagian awal pementasan musik yang diperdengarkan adalah suatu
ansemble bernuansa musik keroncong (sebagai musik yang masih ngetrend
diakhir 1900-an) dengan pilihan melodi lagu-lagu keroncong metropolis
(perkotaan). Di pilihnya musik nuansa keroncong selain bercorak kebudayaan
urban di kota-kota besar (terutama di Jawa) juga musik tersebut dapat
mewakilisegmentasi sosial menengah ke bawah.
Sedangkan musik yang dipergunakan untuk ilustrasi adalah beberapa jenis
musik dengan melodi tertentu yang dimainkan secara solo. Irama, tempo dalam
iringan dan nuansa lagu (melodi) yang di pilih disesuaikan dengan suasana dan
ketegangan-ketegangan dalam lakon.
BAB IV
A.Kesimpulan
Proses kreatif dalam seni teater pada dasarnya menempatkan aspek peneranan
sabagai bidang kerja yang penting. Seluruh jalinan materi-materi
pemanggungan, baik yang bersifat visual maupun auditif sangat dipengarihi
oleh 'sentuhan' pemeranan. Pemeran dengan sendirinya, tidak sekedar harus
menguasai aspek-aspek pemanggungan (spektakel) tetapi juga harus mampu
menerjemahkan secara tuntas gagasan-gagasan dasar yang tersirat dalam lakon
sebagai titik tolak yang melandasi wujud pengemasan (gaya lakon).
Materi-materi pemanggungan diwujudkan dengan bertitik tolak pada
penafsiran terhadap lakon. Keberadaan lakon, dengan demikian adalah ruang
terhadap berbagai kemungkinan artistik (estetis) yang kemudian dipilih
sutradara untuk merealisasikan keseluruhan imajinasinya. Imajinasi tersebut
muncul melalui telaah terhadap naskah, yang dilakukan dengan menyeleksi
kemungkinan-kemungkinan tafsir yang sudah didapatkan. Imajnasi-imajinasi
itulah yang kemudian ditetapkan dalam rencana perancangan pementasan
sesara keseluruhan, baik yang tercermin dalam seni peran maupun penataan
artistiknya.
Lakon Bunga Rumah Makan karya Utuy Tatang Sontani adalah lakon
yang dapat digolongkan sebagai lakon realisme. Secara umum kenyataan ini
dapat dilihat dari gaya dialognya yang masih keseharian, kejelasan identitas
tokoh yang terlibat konflik, ketegasan dalam penggambaran latar cerita, dan
suspen-suspen pertujukan yang menunjukan kausalitas yang jelas.
Secara umum, lakon Bunga Rumah Makan karya Utuy Tatang Sontani juga
mengetengahkan konflik yang dialami para pengunjung sebuah rumah makan.
Para pengujung dan pekerja Rumah makan tersebut dihadapakan pada
persaingan di antara mereka untuk mendapatkan cinta seorang pelayan yang
bernama Ani. Kejelitaan sekaligus kepolosan Ani lah yang menyebabkan
pertikaian antara Kapten Suherman, Karnaen, dan Iskandar. Lakon ini secara
umum berusaha menegaskan bahwa kepribadian manusia tidak akan bisa dinilai
hanya melalui apa yang terlihat di ‘permukaan’. Hati manusia terkadang justru
berpijak dari kenyataan yang paradoks: bahwa dalam kekasaran seringkali
menyimpan kelembutan, bahwa dalam keangkuhan seringkali menyimpan
kesungguhan, dan dalam tindakan atau ucapan yang menyakitkan terkadang
justru menyimpan kejujuran dan ketulusan paling dalam. Lakon Bunga Rumah
Makan dengan demikian menegaskan situasi yang dialami tokoh utamanya Ani,
pada kenyataan paradoks yang ditemukan dalam kepribadian seorang Kapten
Suherman, seorang Karnaen dan Seorang Iskandar.
Inilah jalinan konflik yang kemudian akan dipaparkan dalam wujud
pementasan dengan pendekatan presentasi (realisme). Pendekatan presentasi
tersebut pada akhirnya akan membingkai konsep lakuan menjadi sebuah gaya
pementasan yang presentatif pula. Merujuk hal tersebut maka mekanisme kerja
pemeranan (tokoh Ani) masihlah mengarah pada upaya untuk memproyeksinya
naskah ke dalam pementasan yang bergaya realisme.
Realisme adalah gaya ungkap dalam teater yang berusaha mewujudkan konflik
dalam lakon lewat sudut pandang yang nyata atau sering terlihat dalam
keseharian. Hal tersebut juga menegaskan bahwa realisme harus mampu
"memindahkan" kenyataan sehari-hari ke dalam gambaran umum di atas
panggung, bukan dalam bentuk penambahan (stilisasi) atau merusak
(mendistorsi).
Penjabaran pendekatan presentatif tersebut, diwujudkan dalam optimalisai
keaktoran sebagai pusat perhatian tontonan, dengan penggunaan dua gesture
pemeranan, sebagai gesture yang dominan yang dipakai dalam pementasan.
Gesture tersebut meliputi gesture empatik dan gestur indikatiff. Gesture empatik
dipergunakan saat para tokoh tampil dalam situasi 'wajar', dan pada saat para
tokoh didera kesedihan atau kemarahan, sedangkan gesture indikatif adalah
gerakan yang menujukan tujuan-tujuan dan maksud tertentu ketika berinteraksi
dengan tokoh lain. Dengan demikian penyajian lakon secara umum dihadirkan
secara realis dengan pendekatan lakuan yang bergaya realisme pula..
Proses perwujudan pentas direalisasikan melalui suatu metode penciptaan
peran. Tahapan penciptaan peran tersebut meliputi: relaksasi, konsentrasi, dan
observasi, satuan dan sasaran, keyakinan terhadap kebenaran, emosi efektif dan
bermain ensamble. Secara umum proyeksi lakuan yang harus dicapai dalam
tahapan-tahapan tersebut adalah sebagaimana tahapan pencapaian peran yang
pernah diteorikan Stanislavsky yang berintikan dua hal: yakni menghadirkan
tokoh dalam batin dan memproyeksikan ‘kehadiran’ itu dalam instrumen lakuan
yakni tubuh dan vokal.
B.Saran
Pembelajaran seputar penyikapan naskah oleh pemeran perlu dilakukan
secara intensif. Pembelajaran tersebut menyangkut metode-metode pengkajian
naskah, telaah terhadap gaya awal (orisinil) naskah, kemungkinan-kemungkinan
terhadap kemasan baru dalam proses trnsformasi naskah ke dalam lakuan (seni
peran). Pembelajaran tersebut juga dibutuhkan agar pertunjukan tidak
mendistorsi makna naskah tapi justru mampu mengaksentuasikan gagasan
pengarang pada khalayak. Hal ini juga sangat penting untuk mengasah para
penyaji agar peka dalam melihat ragam penafsiran terhadap lakon, bagi
kemungkinan-kemungkinan visual.
DAFTAR PUSTAKA
Harymawan, RMA, Dramaturgi, Bandung: CV. Rosdakarya, 1988.