Anda di halaman 1dari 52

Sejarah Film pada Masa Pergerakan Nasional dan Masa Jepang

Pengertian Film

Film adalah gambaran-hidup yang juga sering disebut movie. Film secara kolektif
sering disebut sebagai sinema. Sinema itu sendiri bersumber dari kata kinematik atau geark.
Film juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan seluosa, bisa di kenal di dunia para
sineas sebagai seluloid.1

Pengertian secara harfiah film (sinema) adalah sinematoghrafie yang berasl dari cinema
+ tho = phytos (cahaya) + grafhie = grhap (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah
melukis dengan cahaya. Agar kita dapat melukis gerak dengan cahaya, kita harus menggunakan
alat khusus, yang biasa kita sebut kamera.

Film adalah gambar yang bergerak, dapun pergerakannya dim sebut sebagai, intermitten
movment, gerakan yang muncul karena hanya keterbatasan kemampuan mata dan otak manusia
menengkap sejumlah pergantian gambar, dalam sepersekian detik. Film menjadi media yang
sangat berpengaruh, mekebihi media-media yang lain, karena secara audio dan visual di bekerja
sama dengan baik dalam membuat penontonya tidak bosan dan lebih mudah meningat, karena
formatnya yang menarik. 2

Definisi film menurut UU 8/1992, adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan
media komunikasi pandang-dengaryang dibuat atas dasar sinematografi dengan di rekam dad
pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya
dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses imiawi, proses elektronik, atau proses
lainya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukan dan/atau ditayangkan dengan sistem
proyeksi mekanik, elektronik, dan/atau lainnya.3

Film bersifat dinamis, mengikuti kepentingan mayoritas massa, dan film memainkan
peran penting didalamnya. Selain menjadi cerminan sosial dan budaya masyarakat pada era
tertentu, film secara sadar dapat juga difungsikan sebagai media penyampai pesan persuatif.
Lenih dari itu sebagai kepanjangan pemikiran dari idiologi tertentu yang baik sadar atau tidak
dapat meresap dalam pola berfikir masyarakat secara luas, dan luar biasanya lagi film
merupakan media yang bersifat menghibur.4

Dan bahkan siapa saja yang memiliki posisi kuat dapat memonopolinya melebihi
kekuasaan/ pemerintah sejauh tidak mengoyahkan stabilitas nasioanal. Dari dulu film telah
dianggap memiliki kekuatan luar biasa sebagai kanal yang efektif menyamapaikan pesan
melalui bahan baku produksinya yang bersifat audiovisual. Disisi lain film dinamis mengikuti
perkembangan dimana pun masyarakat berada. Oleh karena itu banyak bermunculan genre jika
dilihat dari sisi konseo dan ide cara bercerita dalam film.5

11
file pdf e-journal.ac.id di akses pada tanggal 08/10/2018 pada pukul 17.00 wib
22
file pdf e-journal.ac.id di akses pada tanggal 08/10/2018 pada pukul 17.00 wib
3
file pdf e-journal.ac.id di akses pada tanggal 08/10/2018 pada pukul 17.00 wib
4
file pdf e-journal.ac.id di akses pada tanggal 08/10/2018 pada pukul 17.00 wib
55
file pdf e-journal.ac.id di akses pada tanggal 08/10/2018 pada pukul 17.00 wib
1
1906 sampai tahun 1916 merupakan periode paling penting dalam sejarah perfilman d. Amerika
Serikat. karena pada dekade ini lalnr film feature, lahir pula bintang film serta pusat yang Inta
kenal sebagai Hollywood. Periode ini juga disebut sebagai the age of anfith karena David Wark
Griffithlah yang telah membuat film sebagai media yang dmamis. Diawali dengan 51m The
Adventures of Dolly (1908) dan puncaknya film The Birth of a Nation (1915) serta Elm
Intolerance (1916). Griffith memelopori gaya berakting yang lebih alamiah, organisasi cerita
yang makin baik. dan yang paling utama mengangkat hlm sebagai media yang memiliki
karakteristik unik, dengan gerakan kamera yang dinamis, sudut pengambilan gambar yang baik,
dan teknik editing yang baik. 6

Pada periode ini pula perlu dicatat nama Mack Sennett dengan Keystone Company,
yang telah membuat mm komedi bisu dengan bintang legendaris Charlie Chaplin. Apabila film
permulaannya merupakan film bisu, maka pada tahun 1927 di Broadway Amerika Serikat
muncul film bicara yang pertama meskipun belum sempurna.
Perfilman di Indonesia '

Dari catatan sejarah perfilman di Indonesia, film pertama yang diputar berjudul Lady
Van Java yang diproduksi di Bandung pada tahun 1926 oleh David. Pada tahun 1927/1928
Kmeger Corporation memproduksi film Eulis Atjih, dan sampai tahun 1930, masyarakat
disuguhi film Lutung Kasarung, Si Conat dan Pareh. Film-film tersebut, merupakan film bisu
dan diusahakan oleh orang-orang Belanda dan Cina.

Film bicara yang pertama berjudul Terang Bulan yang dibintangi oleh Roekiah dan R.
Mochta rberdasarkan naskah seorang penulis lndonasia Saerun. Pada saat perang Asia Timur
Raya di penghujung tahun 1941, perusahaan perfilman yang diusahakan oleh orang Belanda
dan Cina itu berpindahh tangan kepada pemerintah Jepang. Film yang diubah namanya menjadi
Nippon Eiga Sha, yang selanjutnya memproduksi film feature dan film dokumenter. Jepang
telah memanfaatkan film untuk media infomasi dan propaganda Namun, tatkala bangsa
Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaannya, maka pada tanggal 6 Oktober 1945
Nippon Eiga Sha diserahkan secara resmi kepada Pemerintah Republik Indonesia. Serah terima
dilakukan oleh Ishimoto dari pihak Pemerintah Militer Jepang kepada R.M. Soetarto yang
mewakili Pemerintah Republik Indonesia. Sejak tanggal 6 Oktober 1945 lahirlah Berita Film
Indonesia atau BFI. Bersamaan dengan pindahnya Pemerintah RI dari Yogyakarta, BFI pun
pindah dan bergabung dengan Perusahaan Film Negara, yang pada akhimya berganti nama
menjadi Perusahaan Film Nasional.
Fungsi Film 7

Seperti halnya televisi siaran. tujuan khalayak menonton film terutama adalah ingin
memperoleh hiburan. Akan tetapi dalam film dapat terkandung fungsi informatif maupun
edukatif, bahkan persuasif. Hal ini pun sejalan dengan misi perfilman nasional sejak tahun
1979, bahwa selain sebagai media hiburan, film nasional dapat digunakan sebagai media
edukasi untuk pembinaan generasi muda dalam rangka nation and character building. Fungsi

6
file pdf e-journal.ac.id di akses pada tanggal 08/10/2018 pada pukul 17.00 wib
7
file pdf e-journal.ac.id di akses pada tanggal 08/10/2018 pada pukul 17.00 wib
2
edukasi dapat tercapai apabila film nasional memproduksi film-film sejarah yang objektif, atau
film dokumenter dan film yang diangkat dari kehidupan sehari-hari secara berimbang.8

Sifat dinamis ini nampaknya menjadi kekuatan film yang suatu saat dapat berubah
menjadi boomerang bagi pengendali (dalam hal ini pemguasa) kalau tidak peka dan cermat
dalam perkembangannya, film dalam sifatnya yang massif menawarkan berbagai kesulitan
untuk dikendalikan. Film bisa mempengaruhi pola fikir masyarakat seperti hal-nya hasutan dan
agitasi yang dikemas dalam cerita-cerita yang sifatnya audiovisual. Disisi lain meskipun
kelahirannya dinilai sebagai sebuah kesenian, jika dikaitkan dengan dunia politik film dapat
digunakan sebagai alat poilitik untuk mempengaruhi masa. Hitler, Stalin, Mao, F. Marcos,
memanfaatkan film sebagai alat politik selama mereka memegang tampuk pemerintahan. Maka
yang biasa dikuasai adalah film dikuasai, dan menjadi medai propaganda pemerintah, untuk
menyampaikan program-program pemerintah, prestasi yang diaraih, serta keberhasilan-
keberhasilan yang patut di apresiasi.9

Sejarah Film
Film atau motion fictures ditemukan dari hasil pengembangan prinsif-prinsif potografi
dan proyektor. Film yang pertama kali diperkenalkan kepada pubilk Amerika Serikat adalah
The Life Of American Fierman dan film The Great Train Robbery yang dibuat oleh Edwin
S.Porter pada tahun 1903. Tetapi film The Great Train Robbry yang masa putarnya hanya 11
menit dianggap sebagai film cerita pertama karena telah menggambarkan situasi secara
ekspresif, dan menjadi peletak dasar teknik editing yang lebih baik.

A. Film pada Masa Pergerakan Nasional


Maksud dari "pergerakan" di sini meliputi segala macam aksi dengan mengggunakan
"organisasi modern" untuk menentang penjajahan dan mencapai kemerdekaan. Dengan
organisasi ini menunjuk bahwa aksi tersebut disusun secara teratur dalam arti ada
pemimpinnya, anggota, dasar dan, tujuan yang ingin dicapai. Penggunaan organisasi modern
ini menunjukkan adanya perbedaan dengan upaya melawan penjajah sebelum tahun 1908
Istilah "nasional" menunjuk sifat dari pergerakan, yakni semua aksi dengan organisasi
modern yang mencakup semua aspek kehidupan, seperti ekonomi, sosial, politik, budaya dan
kultural dengan tujuan yang sama, yakni melawan penjajahan.
1. Perusahaan pada Tahun 1940-1942
a. Star Film
Sebelum membahas tentang star film, perusahaan Golden Arrow merupakan
perusahaan film milik Cho’ Chin Shin yang merupakan teknisi dan produser film di
Sanghai. Kemudian masuk ke Jakarta pada 1940 karena studionya bangkrut karena
terpojok oleh film impor dari Amerika. Di Jakarta ia kemudian bergabung dengan

8
Drs. Elvinaro Ardianto, M. Si. Dkk. Komunikasi Massa. 2010. Symbiosa Rekatama Media. Hlm 147
9
File pdf eprints.undip.ac.id di akses pada 08/10/18 pada pukul 19.00 wib
3
perusahaan Star Film yang memiliki orientasi pada film China. Bahkan
sutradara di perusahaan Star Film pun berasal dari keturunan China.10
Star Film merupakan perusahaan pembuatan film di Hindia Belanda yang
di dirikan oleh pebisnis Tionghoa yang bernama Jo Eng Sek pada tahun
1940. Pada periode 1940-1941 perusahaan Star Film telah memproduksi 5
Film, yang dua diantaranya di sutradarai oleh Jo dan lainnya di sutradarai
oleh Wu Tsun.11
Cho’ Chin Shin senang membuat film yang menggunakan trik-trik
animasi, seperti sapu yang terbang dan menari. Ia tidak mempunyai misi
apapun selain untuk mencari uang. Kemudian pada masa pendudukan
Jepang, Cho’ membuka bengkel reparasi accu mobil. Karena pada zaman
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/co
mmons/d/dd/Pah_Wongso_Pendekar_Boe perang, di Indonesia tidak ada accu yang baru. Maka ia memperoleh tanda
diman.jpg
kehormatan dari TNI.12
Studio perusahaan Star Film berada di sebrang Pegadaian Pasar Senen yang
merupakan sepetak bangunan China Kuno. Dari penampilannya memang tidak
representatif. Namun di belakang bangunan itu ada tempat yang representatif untuk
pembuatan film yang disana Cho’ membuat studio dengan fasilitas yang ala kadarnya,
bahkan bercampur dengan Dapur. Meski studionya kecil dan kumuh, namun tetap aktif
berpoduksi. Bintang utama studio ini adalah Hamid Arif. Dan dari studio ini pula lahir
sutradara yang terkenal yaitu Wim Umboh.13
Perusahaan ini memulai membuat film pertamanya berjudul Pah Wongso Pendekar
Boediman, film ini di sutradarai oleh Jo Eng Sek. Film ini bergaya detektif yang
menceritakan Pah Wongso yang berperan sebagai detektif yang sedang menginvestigasi
kasus pembunuhan yang melibatkan dia agar membersihkan nama baiknya.14 Film ini
sukses dan mampu meraup untung besar dalam dunia perfilman di Indonesia pada masa
itu.
Kemudian pada tahun 1941 Star Film kembali memproduksi film dengan penulis
naskah Rd. Ariffien, ia menulis naskah film hasil dari adaptasi legenda sunda, berasal
dari Legenda Tjioeng Wanara. Yang kemudian di sutradarai oleh Joe Eng Sek.15
Setelah selesai dalam pembuatan Tjioeng Wanara, sebelum film tersebut di rilis, Star
Film telah kembali memulai produksi film lintah darat. Naskah film ini di tulis oleh
Saeroen yang menceritakan sebuah keluarga yang terlilit hutang oleh seorang rentenir,
film ini mendapat tanggapan baik dari para penonton.
Pada tahun 1941 Saeroen menulis kembali film untuk Star yang berjudul, Ajah
Berdosa. Film ini menceritakan seorang warga desa yang bernama Mardiman yang

10
Misbach Yusa Biran, Peran Pemuda dalam Kebangkitan Film Indonesia, Kementrian Negara Pemuda dan
Olahraga. 2009. Hlm 70
11
Sari Wulan. Sejarah Industri Perfilman dari Batavia tahun 1900-1942
12
Misbach Yusa Biran, Peran Pemuda dalam Kebangkitan Film Indonesia, Kementrian Negara Pemuda dan
Olahraga. 2009. Hlm 70
13
Misbach Yusa Biran, Peran Pemuda dalam Kebangkitan Film Indonesia, Kementrian Negara Pemuda dan
Olahraga. 2009. Hlm 71
14
Taufik Abdullah, Film Indonesia, Dewan Film Nasional. 1997. Hlm 240
15
Misbach Yusa Biran, Sejarah Film, 1900-1950 : Bikin Film di Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm. 384
4
kehilagan hartanya karena terus menerus mengejar seorang perempuan modern. Dan ini
adalah film terakhir yang di tulis oleh Saeroen di Star Film.
Kemudian star film kembali memproduksi film adaptasi dari Kisah Seribu Satu
Malam. Dan film ini adalah film terakhir yang di produksi oleh Star Film.
Pada awal 1942, pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai mengkhawatirkan
kemungkinan penyerbuan oleh Kekaisaran Jepang. Ketakutan ini juga menyebar ke
masyarakat. Majalah film Pertjatoeran Doenia dan Film edisi Februari 1942 melaporkan
bahwa beberapa studio sedang mempertimbangkan untuk pindah ke luar Batavia atau
berhenti beroperasi sementara. Star, meskipun 1001 Malam buatannya belum selesai,
dikabarkan sedang bersiap-siap untuk pindah. Ketika Jepang menduduki Hindia
Belanda bulan Maret 1942, Star ditutup dan tidak pernah beroperasi lagi.

b. Tan’s Film
Tan’s film merupakan perusahaan film milik Toean Tan Koen
Yauw yang di dirikan pada tanggal 1 September 1929 di
Welteverden. Pada tahun 1940 perusahaan Tan’s Film membuat film
Roekihati yang di bintangi oleh Roekiah dan Rd Djoemala.16
Film Roekihati bercerita tentang Roekihati yang merupakan
seorang gadis desa yang di peristri oleh Mansur (Djoemala), walau
aya Mansur tidak mensetujui pernikahan antara Roekihati dengan
https://id.wikipedia.org/wiki/Be Mansur. Kemudian mansur terkena bujukan dari teman-temannya
rkas:Tan%27s_Film_Company_l
ogo,_Roekihati_poster,_1941.p dan kemudian Mansur tertarik pada seorang gadis kota bernama
ng
Aminah. Yang walau di sia-siakan Roekiah tetap setia pada
suaminya dengan kelemah-lembutan yang pada akhirnya membuat mansur sadar dari
kekeliruannya.17
Film Roekihati di perankan oleh Roekiah sebagai Roekihati dan Djoemala sebagai
Mansur.
Roekiah adalah wanita pertama dari Indonesia yang menyandang gelar bintang film
atau selebritis. Bersama Raden Mochtar menjadi pasangan pertama yang
memperkenalkan sistem bintang. Bintang film yang menjadi pusat perhatian dalam
suatu film. 18
Film Terang Bulan yang membuatnya terkenal, meledak dan membuat tren film baru
yang meledak dari tahun 1938 sampai tahun 1942. Miss Roekiah merupakan orang
panggung yang di tarik oleh Tan’s Film. Sejak itu, perusahaan-perusahaan film lainnya
berbondong-bondong mencari perkumpulan tonil. Seperti perusahaan The Teng Chun
merekrut Miss Nonie dan Ferry Kock dari Daranella yang barusaja ikut rombongan
Miss Dja di Amerika, sedangkan oriental film menambil Fifi Young.19

16
Film Majalah, Volume 144-157, Yayasan Pengembangan Media Audio Visual, 1992
17
Film Majalah, Volume 144-157, Yayasan Pengembangan Media Audio Visual, 1992
18
Ekky Imanjaya, A to Z about Indonesian Film. DAR! Mizan. 2006. Hlm 109
19
Ekky Imanjaya, A to Z about Indonesian Film. DAR! Mizan. 2006. Hlm 109
5
Reokiah lahir dalam perjalanan tour sandirawa di Cirebon pada 1916 dari ibu seorang
sunda dan ayahnya seorang Belitung. Roekiah besar dalam pengambangna opera
bangsawan hingga tidak mengecap pendidikan.20
Dalam usia 16 tahun dia menjadi pemain drama profesional dan pemain keroncong
dalam perkumpulan Palestina. Disinilah tempatnya bertemu dengan musisi Kartolo
yang menjadi suaminya. Pada 1934, bersama sang suami, Roekiah mengikuti
rombongan farokah yang mengikuti tour ke Singapura.21
Pada 1939, Albert Balink membuatnya terkenal lewat Film Terang Boelan. Film ini
berlangsung di pulau khayalan bernama Sawoba, dengan desain dan kostum mirip
Hawaii, lengka dengan kalungan bunga di kalung dan gitar.22
Lantas, Roekiah pun menjadi primadona di Perusahaan Tan’s Film, yang dicitrakan
sebagai idolakan sebagai rakyat jelata. Dia mendapat honor f 150 perbulan, dan f 50
untuk Kartolo. Dua kali lipat dari honornya di Terang Boelan.23
Tak hanya itu, dia juga mendapat rumah di Tanah Rendah, Jakarta. Film berikutnya,
Fatima, dengan pemain yang sama, juga meledak dan menghasilkan f 200 ribu.
Demikian pula dengan film Gagak Item (1939) yang meniru Zorro.24
Pada 1940, setelah bersama Roekiah membintangi Siti Akbari, Rd. Mochtar keluar
dari Tan’s Film. Roekiah lantas di pasangkan dengan Rd. Djoemala, tetapi film-filmnya
tetap Box Office. Diantaranya, Roekihati (19 40), dan Koeda Soembrani (1941).25
Selain membuat filam Roekihati, Tan’s Film pada tahun 1940 juga membuat Film
yang berjudul Soerga ka Toejoe, yang di sutradarai oleh Joshua dan Othniel Wong
bersaudara. Film ini mengisahkan tentang seorang pasangan tua yang setelah sekian
nlama berpisah kemudian dipersatukan kembali. Di perankan oleh Roekiah dan
Djomala, setelah Tan’s Film kehilangan Rd. Mochtar. Film hitam putih ini
menampilkan musik keroncong. Film ini di targetkan kepada penonton film kelas bawah
dan menengah yang kemudian di sukses di pasaran dan di sambut baik oleh kritikus.
Roekiah dan djoemala kemudian kembali memainkan film dari perusahaan Tan’s Film
hingga tahun 1942 dimana Tan’s Film di bubarkan oleh Jepang.26
Pada tahun 1941, Tans Film kembali merilis fil barunya dengan judul Koeda Sembrani
yang kembali di perankan oleh Roekiah dan Djoemala. Film Koeda Sembrani
merupakan film terakhir yang diperankan oleh Roekiah dan Djomala sebagai film yang
menceritakan hubungan kemesraan dan keromantisan keduanya. Film ini mulai di garap
pada tahun 1942 dan rampung di tahun 1943. Yang kembali di sutradarai oleh Joshua
dan Othniel Wong dan dirilis oleh Tan’s Film. 27

20
Ekky Imanjaya, A to Z about Indonesian Film. DAR! Mizan. 2006. Hlm 110
21
Ekky Imanjaya, A to Z about Indonesian Film. DAR! Mizan. 2006. Hlm 110
22
Ekky Imanjaya, A to Z about Indonesian Film. DAR! Mizan. 2006. Hlm 110
23
Ekky Imanjaya, A to Z about Indonesian Film. DAR! Mizan. 2006. Hlm 111
24
Ekky Imanjaya, A to Z about Indonesian Film. DAR! Mizan. 2006. Hlm 111
25
Ekky Imanjaya, A to Z about Indonesian Film. DAR! Mizan. 2006. Hlm 111
26
Ekky Imanjaya, A to Z about Indonesian Film. DAR! Mizan. 2006. Hlm 113
27
Taufik Abdullah, Film Indonesia : Volume 1. Dewan Film Nasional. 1995. Hlm 178
6
Selain itu, ada film-film lain yang di rilis oleh Tan’s Film seperti, Poesaka Terpendami
dengan produser Tan Hoem Hian, dan Aladin dengan Lampoe Wasiat yang kembali
diproduseri oleh Tan Hoem Hian.28
c. Action Film
Action Film merupakan anak perusahaan dari perusahaan Film Java Industrial Film.
Java Industrial Film mempunyai 2 anak perusahaan, yaitu Action Film dan Jacarta
Film.29
Salah satu produk dari Action Film adahah film berjudul
Matjan Berbisik yang di sutradarai oleh Tan Tjoei Hock dan
di Produseri oleh The Teng Chun. Film ini di rilis pada tahun
1940 dan di bintangi oleh Hadidjah dan Mochammad
Mochtar.30
Film ini bercerita tentang kakak beradik, Usman dan
Hamid. Setelah keduanya dewasa, Usman bertemu dengan
Zainab (Hadidjah) dan jatuh cinta kepadanya. Namun, Zainab
menolak dan lebih memilih Hamid. Karena cemburu,
https://matjan_berbisik_ Usman meminta teman-temannya untuk mengikat Hamid
poster.jpg/ dan melemparkannya ke dalam jurang. Mengira Hamid tela
mati, Usman terus saja merayu Zainab. Sayangnya saat
Zainab hendak menerima Usman, Hamid datang. Dan alur film ini memuncak hingga
Hamid dan Usman berada dalam suatu perkelaihan yang sangat menegangkan.31

d. Union Films Batavia


Union Films di dirikan pada tahun
1940 dengan pemodal utmananya Ang
Hok Liem dan yang menjadi pimpinan
perusahaan adalah Tjoa Ma Tjoen. Akan
tetapi yang berdiri di belakang pernyataan
diatas ialah Rd. Ariefin, kelahiran Cimahi
1902. Ia memasuki dunai pergerakan
pada sejak 1923 di Serikat Buruh Kereta
Api dan sempat dipenjarakan pada tahun
1926-1929. Ia masuk Partai Nasional
Indonesia (PNI) dan di penjarakan
kembali pada tahun 1930-1931. Setelah
https://en.wikipedia.org/wiki/Union keluar dari penjara kedua, ia mulai masuk
_Films#/media/File:Union_Films_log
ke dalam bidang pers. Pada 1936, ia ikut pada
o.jpg
rombongan tonil Bolero pimpinan Andjar

28
Sejarah Film halaman 383
29
Fandy Hutari, Sandiwara dan perang: politisasi terhadap aktivitas sandiwara modern masa Jepang di Jakarta,
1942-1945. Obor. 2009. Hlm 33
30
Taufik Abdullah, Film Indonesia : Volume 1. Dewan Film Nasional. 1995. Hlm 176
31
Taufik Abdullah, Film Indonesia : Volume 1. Dewan Film Nasional. 1995. Hlm 177
7
Asmara, sambil menjadi redaktur di harian Berita Priangan dan Sinar Pasoendan.
Selanjutnya ia menjadi pembantu aktif koran Keng Po dan menjadi suyradara sandiwara
radio. Wartawan ini kemudian diajak bekerja oleh union films sebagai pembantu aktif.
Dia juga mengajak tokoh pergerakan A. K. Gani untuk main dalam film Asmara
Moerni.32
Produksi film pertama
dari Union film adalah,
Kedok Ketawa, ynag
dipertunjukan pada Juli
1940 di Batavia, mendapat
banyak pujian dari Saroen
dalam koran
Pemandangan. Ia
mengacungkan jempol atas
keberanian membuat
reklame besar ala Amerika.
Filmnya sendiri dinilai berada di jajaran paling atas dar semua film buatan negeri ini.
Belum ada yang film Indonesia, kata Saeroen, ynag opnamenya sebagus film ynag
disutradarai oleh Yo An Djan ini. Dekor dan interiornya dijaga betul, ceritanya
sederhana dan wajar.33
Sesudah puji-pujian tersebut, nama Saeroen tercsntum sebagai penulis cerita dari
dua produksi Union Films beriktnya, Harta Berdarah (1940) dan Bajar dengan Djiwa
(1940).34
Tabel Produksi Union Film
1940 1941
Kedok Ketawa Asmara Moerni
Harta Berdarah Wanita dan Siram
Bajar Dengan Jiwa Soeara Berbisa
Mega Mendoeng
Darmawoelan

Pada studio Union Film yang berlokasi di bilangan Mangga Besar ini, tumpuan
utamanya adalah sutradara R. Hu, Cina Totok, yang mempunyai kemempuan berbahasa
Indonesia terbatas. I atampil setelah Yo An Djan pindah ke Popular’s Film. Selanjutnya,
Boen Kin Nam, Cina peranakan, dicoba untulk manjadi pendamping R. Hu. Ia yang
menyutradarai Soeara Berbisa. Boen Kim Nam sebetulnya adalah juru suara. Sesudah
menyutradarai Mega Mendoeng, ia tidak pernah lagi bertindak sebagai sutradara.35

32
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 232
33
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 232
34
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 233
35
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 233
8
Film Soeara Berbisa adalah film yang di terbitkan oleh Unions Fil pada tahun 1941.
Film ini di produseri oleh Ang Hock Liem untuk Union Films dan di sutradarai oleh R.
Hu. Film ini muncul masih dalam warna ynag hitam putih dan di bintangi oleh Raden
Soekarno, Ratna Djoewita, Oedjang, dan Soehana. Alur kisahnya di tulis oleh
Djojopranoto, mengkisahkan dua pemuda yang memperebutkan hati seorang wanita
mengetahui bahwa mereka berdua dalah saudara yang terpisah lama.36
Atlet muda Mitra dan
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/e/e8/
Neng Mardinah akan
Soeara_Berbisa_ad.jpg
menikah. Namun, seorang
pemuda yang bernama Mardjohan jatuh cinta dengan Mardinah, dan kemudian
menyebarkan fitnah bahwa Mitra anak perampok. Tak tahan akan fitnah tersebut, Mitra
pergi ke luar kota dan bekerja pada sebuah perkebunan. Ternyata penguasa perkebunan
itu Mardjohan. Sekali waktu Mardjohan mengalami kecelakaan. Ia selamat karena
ditolong Mitra. Di rumah, ibu Mardjohan mengenali Mitra sebagai anaknya yang telah
lama hilang. Ternyata, Mitra adalah adik kandung Mardjohan.37
e. Oriental Film Coy
Modal utama perusahaan ini adalah suami isteri Nyoo Cheong Seng dan Fifi Young.
Mereka adalah orang-orang terakhir yang mampu membuat kecemerlangan di atas
gunung, setelah perginya Dardanella lewat perkumpulan Fifi Young’s Pagoda. Pada
1936, Albert Balink pernah menawarakan kontrak ANIF kepada Fifi Young’s selama
satu tahun dengan honorarium f 100 perbulan. Fifi merasa terhina karena penawaran itu,
meskipun telah diberitahukan bahwa Roekiah hanya terima f 75 sebulan. Selanjutnya
Wong Brother’s juga pernah mengajaknya ke film. Namun demikian, perusahaan yang
pertamakali berhasil “memanfaatkan” Fifi dan Nyoo Choeng Seng adalah Oriental Film
Company yang dimodali oleh Tjo Seng Han. 38
Untuk menjadi produser pelaksanaan, ditunjuklah Tjan Hok Siong. Produksi
pertama Oriental adalah Kris Mataram, berdasarkan cerita Nyoo yang juga
menyutradainya. Adapun pemain utama perempuan adalah Fifi Young’s. Pertunjukan
perdananya diadakan pada 29 Juni 1940 di Bioskop Rex, Baatvia. Ia berhasil menaraik
Joshua Wong dari Tan’s Film untuk membuat film pertama itu (dalam ikatan namanya
di tonjolkan sebagai jaminan, J. WONG’s garantie is better en noit”, dijamin lebih baik
dari yang pernah ada). Entah bagaimana perjanjian dengan Tan’s Film mengenai tenaga
Joshua, sebeb ini berarti membantu saingan. Tapi hampir bisa di pastikan, bahwa hal ini
adalah upaya Nyoo Choeng Seng, yang selalu senang pada kecemerlangan dan penuh
sensasi.39
Pada pembuatan produksi kedua, Zoebaida, langkah Oriental Film lebih sensasional
lagi, yaitu dengan menyewa studio milik Belanda, ANIF. Studio ini mempunyai
peralayan serba modern. Juru kaeranya adalah J. J. W. Steffenson. Sewa studio ini

36
Taufik Abdullah, Film Indonesia : Volume 1. Dewan Film Nasional. 1995. Hlm 263
37
Taufik Abdullah, Film Indonesia : Volume 1. Dewan Film Nasional. 1995. Hlm 263
38
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 228
39
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 228
9
selama sebulan f. 1500. Dibelakang studio terhampar halaman luas, dimana terdapat
sungai kecil, hutan, pepohonan sehingga bisa di bangun set sebuah kampung.40
Dengan peralatan serba canggih dan modern, serta fasilitas yang tersedia, ditambah
pula dengan tenaga-tenaga yang baik di studio milik ANIF ini, maka pengambilan
gambar (shooting) Joebaida bisa diselesaikan dalam waktu hanya 27 hari saja, termasuk
9 hari pengmabilan di luar pada waktu malam. Pada Desember 1940, Filmnya sudah
bisa di pertunjukkan. Disamping itu, pernyewaan studio hebat ini berarti menaikkan
gengsi Oriental Film tetapi sebaliknya ini merupakan beban biaya yang sangat berat. 41
Setelah film Zoebaida, Nyoo Chen Sheng hanya membuat satu Film lagi di studio
ANIF , yaitu Pantjawarna sebuah film musikal, sesuai dengan selera serba hebat-hebatan
kahs Choeng Sen. Ia menjemput parade Keroncong, musik gambuss serta musik
sunda.42
Setelah kepindahdn Nyoo Cheng Sheng, sayap Oriental menjadi patah. Akan tetapi
pihak produser tidak segera mundur, mereka menaraik wartawan soeska yang segera di
percayakan untulk menyutradarai Panggilan Darah. Film ini mendapat sambutan ynag
baik dari penonton. Produser bahkan juga mendapat pemasukan tambahan dari ikaln
terselubung pabrik roko kretek Nitisemnito (Kurus), pabrik batik Tan Tjauw Lin
(Pekalongan) dan dari 2 majalah. Nama Seoska segeera terkenal sebagai soetradar nama
pemain utama wanita, Dahlia, yang memulai karirnya dari panggung, mendadak populer
lewat debutnya pada filmyang pertujukan perdananya di bioskop Orion Batavia pada 30
Juni 1941. 43
Panggilan darah adalah produksi Oriental Film yang terakhir. Hal ini disebabkan
sebagai pemilikan yang baru, yakni perusahaan Belanda multi film menggunakan studio
ANIF untuk produksi film-film non cerita namun., penyebab utamanya adalah
perusahaan ini telah kehabisan nafas akibat terlalu beratnya pengeluaran. Sebenarnya,
perusahaan ini bisa saja meneruskan kegiatan tana dukungan studio canggih, seperti
waktu membuat produksi yang pertama.44
Oriental Film hany asempat melahirkan 4 film, yakni Kris Mataram (1940),
Zoebaida (1940), Panjtawarna (1941), dan Panggilan Darah (1941).45
f. Popular’s Film
Yo Kim Tjan, pemilik perusahaan ini, adalah pemilik toko poulair, di Pasar Baru,
Batavia Centrum. Ia juga mempunyai usaha di bidang rekaman piringan hitam. Menurut
Rd, Mochtar, perusahaan inilah yang pertama kali merekam lagu Indonesia Raya,. Jadi,
pengusaha ini memang rupanya menpunyai minat terhadap usaha yang berbau seni.
Sudak sejak 1935, ia terpikat pada pembutan film. Ketika mendirikan Batavia Film
Industrie, yang melahirakan satu-satunya produksi, Poei Sie Pa Loei Tay, ia ingin

40
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 228
41
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 229
42
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 229
43
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 229
44
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 229
45
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 229
10
mengikutu jejak The Teng Chun membuat film-film cerita persilatan dari khazanah
cerita Tiongkok klasik. Usaha itu tidak berhasil tapi Yo Kim Tjan tidak putus asa. 46
Dengan pembuatan film Garoeda Mas (1940), Kim Tjan ikut dalam ledakan
pertama ini. Sejak 1940, ia menggunakan nama tokonya, yang waktu itu memang sudah
terkenal. Studio ini terletak di rumahnya sendiri, yang berada di daerah Tanah Nyonya,
(sekarang jalan gunung sahari). Adapu yang menjadi suradara adalah Yo An Djan.
Nampaknya, yang menjadi modal utama adalah Rd. Mochtar. Setelah mendampingi
Reokiah dalam Siti Akbari(1939), Rd. Mochtar sudah tiba pada puncak kekecewaanya
terhadap pelayanan dan imbalan yang sudah diberikan oleh Tan’s Film, yang telah
banyak sekali mendapatkan untung dari film-film yang dibintanginya besama Roekiah.
Tapi Tan’s Film rupanya tidak khawatir kalau Rd. Mochtar meninggalkan studionya.
Rd. Mochtar kabur, Yo Kim Tjan menangkapnya. Namun demikian, persyaratan Rd.
Mochtar ini sangat tinggi dibanding dengan calon bintang pada masa itu. 47
Akan tetapi, perusahaan ini kurang produktif dalam dua tahun pertama. Pada 1940,
perusahaann ini hanya mengasilkan Garoeda Mas. Adapun pada 1941, perusahaan ini
menghasilkan Boejoekan Iblis dan Moestika dari Djemar. Ketiganya dibintangi oleh Rd.
Mochtar dan disutradarai Yo An Djan.48
Setelah produksi kedua pada pada 1941, Rd. Mochtar keluar dan digantikan oleh
Moch. Mochtar dari Action Film. Awal 1942 disiapkan film Poeloe Inten dan Boenga
Sambodja. Akan tetapi, film kedua ini terhenti karena masuknya Jepang. 49

2. Film yang di produksi pada tahun 1940-1943


Tahun 1940

No Judul Film Nama Perusahaan Produser

1 Dasima Action Film The Teng Chun

2 Kedok Ketawa Union Film Coy Ang Hock Lim

3 Bayar dengan Djiwa Union Film Coy Idem

4 Harta Berdarah Union Film Coy Idem

5 Matjan Berbisik Action Film The Teng Chun

6 Kris Mataram Oriental Film Coy Nyoo Cheong


Seng

46
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 227
47
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 227
48
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 227
49
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 227

11
7 Zubaida Oriental Film Coy Idem

8 Pak Wongso Pendekar Star Film Idem


Boediman

9 Melati Van Agam Java Industrial The Teng Chun


Film

10 Rentjong Atjeh Java Industrial Idem


Film

11 Kartinah Java Industrial Idem


Film

12 Soraga Palsoe Java Industrial Idem/Fred Young


Film

13 Roekihati Tan's Film Tan Khioen Hian

14 Soerga ka Toeraja Tan's Film Tan Khioen Hian

Tahun 1941

No Judul Film Nama Perusahaan Produser


12
1 Moestika dari Djemar Populer Film Jo An Djan

2 Boedjokan Iblis Populer Film Idem

3 Air Mata Iboe Majestic Film Fred Young


Coy

4 Djantoeng Hati Majestic Film Idem


Coy

5 Asmara Moemi Union Film Ang Hock liem

6 Koeda Sembrani Tan's Film Tan Khoen Hian

7 Garuda Mas Populer Film Jo An Djan

8 Elang Darat Jakarta Pict The Teng Chun

9 Matoela Action Film Idem

10 Mega Mendoeng Union Film Ang Hock liem

11 Lintah Darat Star Film Jo Eng Sek

12 Boedjokan Iblis Populer Film Jo An Djan

13 Ikan Doejoeng Standard Film Tauw Ting Iem

14 Ajah Berdosa Star Film Jo Eng Sek

15 Pak Wongso Tersangka Idem Idem

16 Tjioeng Wanara Idem Idem

17 Panggilan Darat Oriental Film Tjo Seng Han

18 Pantjawarna Idem Idem

19 Poesaka Terpendam Tan's Film Tan Khoen Hian

20 Poetri Rimba Jacarta Film Coy The Teng Chun

21 Singa Laoet Action Film Idem

22 Serigala Item Idem Idem

23 Tengkorak Hidoep Idem Idem

13
24 Wanita dan Satria Union FIlm Ang Hock liem

25 Soeara Berbisa Union Film Idem

26 Selendang Delima Standard Film Taouw Timg Iem

27 Si Gomar Action Film The Teng Chun

28 Ratna Moetoe The New JIF The Teng Chun

29 Noesa Penida The New JIF Idem

30 Aladin dengan Lampoe Tan's Film Tan Khoen Hian


Wasiat

Tahun 1942

No Judul Film Nama Perusahaan Produser

1 Bunga Sembodja Populer Film Jo Kim Tjan

2 Poelo Itan Populer Film Idem

3 1001 Malam Star Film Jo Eng Sek

Tahun 1943

No Judul Film Nama Perusahaan Produser

1 Berdjoeang Nippon Eigasha

2 Di Desa (Film Pendek) Idem

B. Film Pada Masa Jepang (1942-1945)


Yang sekarang berkuasa adalah Pemerintahan Militer, Gunseikanbu. Pihak Jepang sendiri
tidak mau mengatakan dirinya sebagai "penguasa atas Indonesia". Mereka datang dari Utara
dengan tugas membebaskan negara-negara Asia dari penjajahan negara-negara Barat, dan
membentuk suatu k satuan Asia sebelah Timur, yang mereka sebut sebagai Dai Toa, atau "Asia
Timur Raya". Kawasan itu meliputi M nchuria, Korea, Cina, Taiwan, Burma, Laos,
Kamboja,fhai land, jajahan Perancis Vietnam, jajahan lnggris Malaya dan Borneo Utara,

14
jajahan Belanda Hindia Belanda, jajahan Amerika Filipina dan sekitarnya, dan pulau-pulau
Polynesia.50
Jepang yang waktu itu menyebut dirinya Nippon, berada di negara-negara Asia Timur
sebagai "saudara tua", bukan penjajah. Untuk membuktikan itu, maka jabatan kepala kepala
kantor akan diduduki oleh orang Jepang dan lndonesia. Jepang mengangkat pemimpin bangsa
Indonesia, yang disebut Empat Serangkai: Ir. Soekarno, Ors. Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantoro
dan K.H. Mas Mansyur. Keempatnya adalah orang-orang yang pada masa penjajahan dikenal
sebagai pejoang bangsa. Soekarno dan Hatta di bidang politik, Ki Hajar Dewantoro di bidang
pendidikan, dan K. H. Mas Mansyur di bidang agama.51
Bangsa Indonesia benar-benar terkejut menyaksikan Belanda yang selama ini tidak
terkalahkan oleh perlawanan pribumi bisa bertekuk lutut oleh Jepang hanya dalam tempo 10
hari. Secara sinis, Jepang minta maaf kepada Indonesia karena tidak bisa memperlihatkan film
dokumentasi pertempuran penaklukan Belanda alasannya karena pertempuran yang begitu
singkat dan cepat. Bangsa Belanda yang selama ini dijadikan ukuran kemajuan oleh “pribumi
modern” tiba-tiba dibanting oleh Jepang sebagai Bangsa yang Tidak berharga. Cita-cita jepang
adalah mendirikan suatu kawasan yang disebut sebagai “Asia Timur Raya” termasuk
Indonesia.52
Seperti juga dialami oleh cabang kesenian yang lain, begitu Jepang masuk, film Indonesia
mulai mengalami kepudaran. Kalau pada tahun 1941 sempat mengalami kejayaan dengan 32
film setahun, yang dihasilkan oleh sepuluh pembuat film, maka tahun 1942 sudah tak berbekas.
Keadaaan tersebut tentu saja sangat berpengaruh pada dunia perbioskopan.53
Bibitnya dimulai ketika pecah perang dunia II di Eropa pada tahun 1939, lalu menyeruak
ke Asia sejak Desember 1941. Yaitu, saat Jepang secara tiba-tiba menyerang Pearl Harbour,
pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat terbesar di Pasifik. Dengan kekatan laksana air bah,
Jepang menyerbu Indonesia melalui Tarakan, Kalimantan Timur, 10 January 1942, yang diikuti
penyerahan komandan pasukan Belanda dikota tersebut pada 13 January 1942. Dan setelah itu,
satu demi satu daerah Indonesia dikuasi oleh Jepang, hingga akhirnya Belanda menyerah total
kepada Jepang di Kalijati, Jawa Barat, 8 Maret 1942.54
Kehadiran tentara Jepang di Indonesia mula-mula memang mendapat sambutan karena
dianggap sebagai pembebas dari tekanan bangsa kulit putih. Tetapi, ternyata pada
perkembangan kemudian, sikap Jepang tidak sejalan dengan harapan rakyat Indonesia. Jepang
mulai mengeluarkan kebijakan pelanggaran kegiatan politik, pembubaran partai politik, dan
penggunaan bendera nasional sejak 20 Maret 1942. Mereka memang mencoba mengatasi
kekecawaan para nasionalis itu, dengan membentuk organisasi yang kemudian dikenal dengan
nama Gerakan Tiga A oleh kantor propaganda Sendenbu, yang merupakan bagian dari struktur
organisasi militer Jepang di Indonesia. 55

50
H. Misbach Yusa Biran. Peran Pemuda Dalam Kebangkitan Film Indonesia. Kementrian Negara Pemuda dan
Olahraga. 2009. Hlm 11
51
H. Misbach Yusa Biran. Peran Pemuda Dalam Kebangkitan Film Indonesia. Kementrian Negara Pemuda dan
Olahraga. 2009. Hlm 11
52
Rita Sri Hartuti, Layar Perak (90 Tahun Bioskop di Indonesia). Hal 39
53
Rita Sri Hartuti, Layar Perak (90 Tahun Bioskop di Indonesia). Hal 39
54
Rita Sri Hartuti, Layar Perak (90 Tahun Bioskop di Indonesia). Hal 40
55
Rita Sri Hartuti, Layar Perak (90 Tahun Bioskop di Indonesia). Hal 40
15
Organisasi tersebut tidak berumur panjang. Sebagai pengganti kemudian dibentuk
berbagai organisasi, seperti Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dan Jawa Hokarai. Mereka juga
menarik para nasionalis untuk menjadi pimpinan para organisasi tersebut. Belakangan
diketahui, pembentukan organisasi-organisasi tersebut dipergunakan untuk kepentingan perang
Jepang. Mereka ingin mempergunakan tenaga dan pikiran-pikiran para nasionalis itu untuk
kepentingan Jepang. 56
Dalam kerangka upaya menjajah bangsa Indonesia itulah, Jepang bermaksud
mempropagandakan kehebatan bangsa mereka melalui kesenian, antara lain lewat film yang
diputar di bioskop-bioskop. Sampai-sampai, beberapa organisasi mereka dirikan untuk bisa
melaksanakan program mereka itu. Dimulai pada 1 April 1943, pemerintah militer Jepang
mendirikan pusat kebudayaan dengan nama Keimin Bunka Shidoso, yang maksudnya
merangkul empat bidang kesenian: kesusteraan, kesenian, lukisan, dan ukiran.57
Kemudian didirikan pula sebuah organisasi khusus untuk mengenai film, Oktober 1942,
bernama Jawa Eiga Kosha (Perusahaan Film Jawa), dikepalai S. Oya, seorang penulis Jepang
terkenal yang menjadi anggota staff Sendenbu dan juga menjadi kepala Keimin Bunka
Shidoso.58
Sesudah itu, menyusul pendirian beberapa badan usaha film oleh pemerintah Jepang di
Indonesia, yaitu Nippon Eiga Sha, yang dikenal pula dengan Nichi’ei, perusahaan yang
tugasnya memonopoli distribusi film, terhitung sejak didirikannya perusahaan tersebut pada
1942.59
Dengan begitu, semakin tidak berkutiklah bangsa Indonesia dalam berkreasi. Apalagi,
kebijakan organisasi-organisasi tersebut di atas berdasarkan pada undang-undang fil (Eiga ho),
yang dikeluarkan Departemen Dalam Negeri Jepang di Tokyo pada bulan Juli 1938 dan
mendapat perbaikan Oktober 1939.60
Isi undang-undang tersebut adalah perluasan kontrol pemerintah atas perusahaan film.
Selain itu, disebutkan pula, organisasi-organisasi film itu diingatkan bahwa pada dasarnya film-
film mereka harus menghilangkan ide-ide individualistik Barat, harus tetap dengan semangat
Jepang, semangat pengorbanan diri untuk bangsa dan masyarakat, mendidik massa,
menghilangkan sikap santai, dan berusaha lebih memperkuat hormat kepada yang lebih tua.61
Terhadap perusahaan-perusahaan swasta di Indonesia, Pemerintah Jepang bertindak
tegas, dengan menutup perusahaan-perusahaan seperti Java Industrial Film (JIF) dan tan’s Film.
Perusahaan-perusahaan film itu diserahkan kepada Nippon Eiga Sha, perusahaan pemerintah
Jepang di Indonesia. Setelah bergabung, barulah kemudian dibuka kembali. Popular Film
Compagnie, misalnya, dibuka kembali pada tanggal 1 Mei 1942, dengan merekrut dua artis
Indonesia untuk menangani. Kemudian juga Union, yang setelah dibuka, langsung
memproduksi film yang berjudul Sampaikan salamkoe Kepada dia.62

56
Rita Sri Hartuti, Layar Perak (90 Tahun Bioskop di Indonesia). Hal 40
57
Rita Sri Hartuti, Layar Perak (90 Tahun Bioskop di Indonesia). Hal 40
58
Rita Sri Hartuti, Layar Perak (90 Tahun Bioskop di Indonesia). Hal 41
59
Rita Sri Hartuti, Layar Perak (90 Tahun Bioskop di Indonesia). Hal 41
60
Rita Sri Hartuti, Layar Perak (90 Tahun Bioskop di Indonesia). Hal 41
61
Rita Sri Hartuti, Layar Perak (90 Tahun Bioskop di Indonesia). Hal 41
62
Misbach Yusa Biran. Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film di Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 325
16
Film-film propaganda yang dimaksud berupa slide tentang tentara Nippon, diputar
sebelum pemutaran film cerita. Tujuannya, membuat masyarakat mengetahui betapa besar dan
kuat tentara Jepang yang menghasilkan kemenangan-kemenangan didalam peperangan.
Dengan begitu, secarapsikologis masyarakat Indonesia yang melihat film dokumenter itu
diharapkan terpengaruh. Jepang juga ingin memperlihatkan kepada masyarakat Indonesia
bahwa Jepang bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ide Lingkungan Kemakmuran
Bersama Asia Timur Raya dengan jalan apapun, termasuk menyingkirkan penghalang yag
dapat menggagalkan tujuannya.63
Situasi ini juga diperumit pula dengan produksi film cerita di Indonesia akhir tahun 1943.
Itupun dalam jumlah minim, hanya sekitar 1-2 film setahun. Ada yang dibuat dalam masa putar
panjang full length, seperti Berdjoang dan habis Hoedjan. Ada juga yang dibuat dengan masa
putar 30 menit, seperti Mimpikoe, Ke Seberang, Di Menara, Djatoeh, Berkait, Amat Heiho, dan
Tonari Kumi. Diperkenalkan pula film boneka berjudul Pak Kromo, dengan semboyan awas
mata-mata moesoeh, dibuat oleh Seseo Ono.64
Film-film itu tidak lepas dari selipan propaganda untuk kepentingan perang Jepang.
Dalam film Berdjoang, misalnya, digambarkan seorang pemuda bernama Anang yang dianggap
bermoral tinggi karena lebih mengutamakan meninggalkan kampung halaman dan berperang
daripada mengurus keluarga. Di situ diceritakan, Anang lebih suka menunda perkawinannya
agar bisa ikut Heiho.65
Yang lebih tampak jelas lagi kesan propagandanya adalah sebuah produksi tahun 1945,
berjudul Koeli dan Romusha. Karya penulis Indonesia, J.Hoetagalong, yang mula-mula
berbentuk naskah sandiwara, jelas-jelas menggambarkan perbedaan nasib kuli di zaman
Belanda yang sangat merana dan romusha di zaman Jepang yang nasibnya lebih baik. Katanya,
romusha bernasib baik karena berjasa mengabdi pada negara.66
Tidak heran kalau sebuah majalah ditahun itu memberitakan bahwa film yang
dipersembahkan oleh Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa tersebut memperoleh hadiah
pertama untuk skenario tentang romusha.67
Propaganda Jepang juga diperlihatkan melalui film-film yang didatangkan langsung dari
Jepang, yang penuh dengan gambaran tentang keunggulan Jepang, seperti Nankai no Hanataba
(Bunga dari Selatan), Shogun to Sanbo to Hei (Jendral dan Prajurit), Singapore Soko Geki
(Serangan atas Singapura), Eikoku Koezeoroeroe no Hi (Saat Inggris Runtuh).
Yang menarik, meski film Jepang terus masuk dan juga diproduksi di Indonesia, film-
film barat tetap boleh beredar. Keadaan itu tampak jelas pada deretan iklan dimedia massa
ketika itu. Bahkan, perbandingan film barat dengan non-barat seimbang. Sebagaimana
gambaran iklan film di surat kabar Asia Raya, terbitan Jakarta. Diketahui, pada tanggal 30 April
1942 saja terdapat 12 bioskop yang memutar film Eropa dan Amerika, 3 bioskop memutar film
Indonesia/Melayu, dan 1 bioskop memutar film Cina atau Tionghoa.68

63
Misbach Yusa Biran. Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film di Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 324
64
Misbach Yusa Biran. Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film di Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 322
65
Misbach Yusa Biran. Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film di Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 322
66
Misbach Yusa Biran. Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film di Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 323
67
Misbach Yusa Biran. Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film di Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 325
68
Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia, … Hal 37.
17
Film-film barat yang beredar di masa itu, Wizzard of Oz, sebuah cerita dongeng yang
dibintangi oleh Judy Garland, Ice Faillies dibintangi Joan Crawford, dan Tarzan Finda & Son
dibintangi oleh aktor terkenal ketika itu, Jhonny Weismuller. Beredar juga film-film Cina yang
dulu disebut film Tionghoa, seperti Hua Chan Lui, yang dibintangi bintang-bintang Tionghoa,
dan film-film Indonesia (film Melajoe), seperti Boedjoekan Iblis yang dibintangi Rodiah dan
Rd. Mochtar.69
Sampai disitu tampaknya, perbioskopan masih mengalami masa menyenangkan. Sebab,
pada mulanya, masa pendudukan Jepang di Indonesia masih menjalankan fungsi film dan
bioskop sebagai alat hiburan, dengan membolehkan masyarakat memilih film di luar film
Jepang. Meski fungsi sebagai propaganda juga semakin menderas karena pada setiap pemutaran
film apapun, lebih dulu masyarakat harus menonton film-film dokumenter dan slide-slide
tentang bala tentara serta kehidupan di Negeri Matahari Terbit.70
Tetapi, ternyata sikap Jepang yang anti-Barat tak bisa dibendung lagi. Pada tahun-tahun
itu juga, dijalankan proses dewesternisasi dalam bidang apapun, termasuk dalam dunia film dan
bioskop. Bukan saja dengan menghentikan impor film barat, tetapi juga dengan mengganti
nama-nama bioskop. Yang semula memakai nama bukan Jepang, diubah dengan nama Jepang.
Misalnya, di Jakarta, bioskop Rex dan Emma di Malang diganti menjadi Kyo Le Kwan dan Ki
Rak Kwan. Istilah bioskop atau teater pun diganti dengan Gekidjo, seperti bioskop Central di
Bogor diganti dengan Thoeo Gekidjo.71
Disinilah nasib bioskop di Indonesia mulai menjadi pertanyaan. Apalagi, propaganda
melalui bioskop pun semakin berkembang. Selain itu, Jepang juga mencoba mengaitkan
bioskop dengan dunia pendidikan. Lima buah bioskop di Jakarta, misalnya, secara khusus
diminta mempertunjukan keadaan di Jepang kepada murid-murid di sekolah. Disediakan juga
bioskop yang khusus untuk murid-murid sekolah, yang juga mengadakan pemutaran film-film
berita dan film-film budaya tentang Jepang. Hal itu menunjukan bahwa kontrol pemerintahan
pendudukan Jepang sudah berjalan sangat jauh. Keadaan itu dipertegas lagi dengan pembukuan
studio film Djawa, yang tugasnya secara khusus membuat film-film dokumenter mengenai
Jepang.72
Berkecambuknya perang kala itu, semakin membuat film dan bioskop pudar. Sebab selain
impor film dihentikan, ternyata produksi film sendiri juga semakin mundur dalam jumlah
maupun mutu, dibandingkan zaman sebelum perang. Situasi ini diperburuk oleh kenyataan
bahwa pada masa itu permodalan bisnis bioskop nyaris seluruhnya dibawah pengawasan
Jepang. Meski, untuk beberapa bioskop, pemilik lama bioskop tersebut secara formal tetap
disebut sebagai pemilik. Terdapat juga modal orang-orang Cina sebanyak 95% untuk
mendukung bioskop-bioskop tersebut.
Jepang tak tanggung-tanggung, mereka mendatangkan enam orang ahli bioskop keliling
ini dari negerinya. Operasi dilakukan dengan pimpinan seorang Jepang atau Pribumi, yang
dilakukan dengan menggunakan truk-truk yang masuk keluar kampung, menyajikan film gratis
berupa rangkaian propaganda Jepang.73

69
Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia, … Hal 37.
70
Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia, … Hal 38
71
Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia, … Hal 38
72
Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia, … Hal 38
73
Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia, … Hal 38
18
Tentang layar tancap ini, dikabarkan pada masa sebelum perang Dunia II, Belanda telah
merintisnya dengan pertunjukan di tengah lapangan gambir, berupa film penerangan tentang
penyakit pes. Belakangan orang sering menyebutnya sebagai film pes. Semua bentuk layar
tancap ini gratis.

Film suatu bangsa, menurut Sigfreid Kracauer, “mencerminkan mentalitas bangsa


itu lebih dari yang tercermin lewat media artistik lainnya. Ada dua alasan yang
dikemukakan Kracaueur untuk menopang teorinya. Pertama, film adalah karya bersama,
artinya dalam proses pembuatan film, sutradara memang pemimpin dari suatu kelompok
yang terdiri dari berbagai seniman dan teknisi. Kedua, film dibuat untuk orang banyak. Dan
karena memperhitungkan selera sebanyak mungkin orang itulah maka film tidak bisa jauh
beranjak dari masyarakatnya.74

Yang sekarang berkuasa adalah Pemerintahan Militer, Guiseikanbu. Pihak Jepang


sendiri tidak mau mengatakan dirinya sebagai “penguasa atas Indonesia”. Mereka datang
dari utara dengan tugas membebaskan negara-negara Asia dari penjajahan negara-negara
Barat dan membentuk suatu kesatuan Asia sebelah timur, yang mereka sebut sebagai Dai
Toa, atau “Asia Timur Raya”. Kawasan itu meliputi Manchuria, Korea, Cina, Taiwan,
Burma, Laos, Kamboja, Thailand, (jajahan Prancis) Vietnam, (jajahan Inggris) Malaya dan
Borneo Utara, (jajahan Belanda) Hindia Belanda, (jajahan Amerika) Filipina dan sekitarnya
serta pulau-pulau Polynesia. Pada waktu itu, Jepang menyebut dirinya Nippon. Mereka
berada di negara-negara Asia Timur sebagai “saudara tua”, bukan penjajah.75

Bangsa Indonesia benar-benar terkejut menyaksikan Belanda yang selama ini tidak
terkalahkan oleh perlawanan pribumi bisa bertekuk lutut oleh Jepang hanya dalam tempo
10 hari. Secara sinis, Jepang minta maaf kepada Indonesia karena tidak bisa
memperlihatkan film dokumentasi pertempuran penaklukan Belanda alasannya karena
pertempuran yang begitu singkat dan cepat. Bangsa Belanda yang selama ini dijadikan
ukuran kemajuan oleh “pribumi modern” tiba-tiba dibanting oleh Jepang sebagai Bangsa
yang Tidak berharga. Cita-cita jepang adalah mendirikan suatu kawasan yang disebut
sebagai “Asia Timur Raya” termasuk Indonesia.76

Seperti juga dialami oleh cabang kesenian yang lain, begitu Jepang masuk, film
Indonesia mulai mengalami kepudaran. Kalau pada tahun 1941 sempat mengalami kejayaan
dengan 32 film setahun, yang dihasilkan oleh sepuluh pembuat film, maka tahun 1942 sudah
tak berbekas. Keadaaan tersebut tentu saja sangat berpengaruh pada dunia perbioskopan.

Bibitnya dimulai ketika pecah perang dunia II di Eropa pada tahun 1939, lalu
menyeruak ke Asia sejak Desember 1941. Yaitu, saat Jepang secara tiba-tiba menyerang
Pearl Harbour, pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat terbesar di Pasifik. Dengan

74
Salim Said. 1991. Pantulan Layar Putih. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hlm. 36

75
Misbach Yusa Biran, 2009. Sejarah Film 1900-1950 (Bikin Film di Jawa). Jakarta: Komunitas Bambu. Hal. 321.

76
(_______), Diunduh dari https://musa666.wordpress.com/2011/05/08/sejarah-film-indonesia-part-iii/ pada
tanggal 23 Oktober 2015.
19
kekatan laksana air bah, Jepang menyerbu Indonesia melalui Tarakan, Kalimantan Timur,
10 January 1942, yang diikuti penyerahan komandan pasukan Belanda dikota tersebut pada
13 January 1942. Dan setelah itu, satu demi satu daerah Indonesia dikuasi oleh Jepang,
hingga akhirnya Belanda menyerah total kepada Jepang di Kalijati, Jawa Barat, 8 Maret
1942.

Kehadiran tentara Jepang di Indonesia mula-mula memang mendapat sambutan


karena dianggap sebagai pembebas dari tekanan bangsa kulit putih. Tetapi, ternyata pada
perkembangan kemudian, sikap Jepang tidak sejalan dengan harapan rakyat Indonesia.
Jepang mulai mengeluarkan kebijakan pelanggaran kegiatan politik, pembubaran partai
politik, dan penggunaan bendera nasional sejak 20 Maret 1942. Mereka memang mencoba
mengatasi kekecawaan para nasionalis itu, dengan membentuk organisasi yang kemudian
dikenal dengan nama Gerakan Tiga A oleh kantor propaganda Sendenbu, yang merupakan
bagian dari struktur organisasi militer Jepang di Indonesia. 77

Organisasi tersebut tidak berumur panjang. Sebagai pengganti kemudian dibentuk


berbagai organisasi, seperti Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dan Jawa Hokarai. Mereka juga
menarik para nasionalis untuk menjadi pimpinan para organisasi tersebut. Belakangan
diketahui, pembentukan organisasi-organisasi tersebut dipergunakan untuk kepentingan
perang Jepang. Mereka ingin mempergunakan tenaga dan pikiran-pikiran para nasionalis
itu untuk kepentingan Jepang.78

Dalam kerangka upaya menjajah bangsa Indonesia itulah, Jepang bermaksud


mempropagandakan kehebatan bangsa mereka melalui kesenian, antara lain lewat film yang
diputar di bioskop-bioskop. Sampai-sampai, beberapa organisasi mereka dirikan untuk bisa
melaksanakan program mereka itu. Dimulai pada 1 April 1943, pemerintah militer Jepang
mendirikan pusat kebudayaan dengan nama Keimin Bunka Shidoso, yang maksudnya
merangkul empat bidang kesenian: kesusteraan, kesenian, lukisan, dan ukiran.

Kemudian didirikan pula sebuah organisasi khusus untuk mengenai film, Oktober
1942, bernama Jawa Eiga Kosha (Perusahaan Film Jawa), dikepalai S. Oya, seorang penulis
Jepang terkenal yang menjadi anggota staff Sendenbu dan juga menjadi kepala Keimin
Bunka Shidoso.79

Sesudah itu, menyusul pendirian beberapa badan usaha film oleh pemerintah Jepang
di Indonesia, yaitu Nippon Eiga Sha, yang dikenal pula dengan Nichi’ei, perusahaan yang
tugasnya memonopoli distribusi film, terhitung sejak didirikannya perusahaan tersebut pada
1942.

77
Rita Sri Hartuti, 1992. Layar Perak (90 Tahun Bioskop di Indonesia). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hal
35

78
Rita Sri Hartuti, 1992. Layar Perak (90 Tahun Bioskop di Indonesia). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Hal. 36.
79
Rita Sri Hartuti, Layar Perak (90 Tahun Bioskop di Indonesia). Hal. 36.
20
Dengan begitu, semakin tidak berkutiklah bangsa Indonesia dalam berkreasi.
Apalagi, kebijakan organisasi-organisasi tersebut di atas berdasarkan pada undang-undang
fil (Eiga ho), yang dikeluarkan Departemen Dalam Negeri Jepang di Tokyo pada bulan Juli
1938 dan mendapat perbaikan Oktober 1939.

Isi undang-undang tersebut adalah perluasan kontrol pemerintah atas perusahaan


film. Selain itu, disebutkan pula, organisasi-organisasi film itu diingatkan bahwa pada
dasarnya film-film mereka harus menghilangkan ide-ide individualistik Barat, harus tetap
dengan semangat Jepang, semangat pengorbanan diri untuk bangsa dan masyarakat,
mendidik massa, menghilangkan sikap santai, dan berusaha lebih memperkuat hormat
kepada yang lebih tua.
Terhadap perusahaan-perusahaan swasta di Indonesia, Pemerintah Jepang bertindak
tegas, dengan menutup perusahaan-perusahaan seperti Java Industrial Film (JIF) dan tan’s
Film. Perusahaan-perusahaan film itu diserahkan kepada Nippon Eiga Sha, perusahaan
pemerintah Jepang di Indonesia. Setelah bergabung, barulah kemudian dibuka kembali.
Popular Film Compagnie, misalnya, dibuka kembali pada tanggal 1 Mei 1942, dengan
merekrut dua artis Indonesia untuk menangani. Kemudian juga Union, yang setelah dibuka,
langsung memproduksi film yang berjudul Sampaikan salamkoe Kepada dia.

Film-film propaganda yang dimaksud berupa slide tentang tentara Nippon, diputar
sebelum pemutaran film cerita. Tujuannya, membuat masyarakat mengetahui betapa besar
dan kuat tentara Jepang yang menghasilkan kemenangan-kemenangan didalam peperangan.
Dengan begitu, secarapsikologis masyarakat Indonesia yang melihat film dokumenter itu
diharapkan terpengaruh. Jepang juga ingin memperlihatkan kepada masyarakat Indonesia
bahwa Jepang bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ide Lingkungan Kemakmuran
Bersama Asia Timur Raya dengan jalan apapun, termasuk menyingkirkan penghalang yag
dapat menggagalkan tujuannya. 80

Situasi ini juga diperumit pula dengan produksi film cerita di Indonesia akhir tahun
1943. Itupun dalam jumlah minim, hanya sekitar 1-2 film setahun. Ada yang dibuat dalam
masa putar panjang full length, seperti Berdjoang dan habis Hoedjan. Ada juga yang dibuat
dengan masa putar 30 menit, seperti Mimpikoe, Ke Seberang, Di Menara, Djatoeh, Berkait,
Amat Heiho, dan Tonari Kumi. Diperkenalkan pula film boneka berjudul Pak Kromo,
dengan semboyan awas mata-mata moesoeh, dibuat oleh Seseo Ono.
Film-film itu tidak lepas dari selipan propaganda untuk kepentingan perang Jepang.
Dalam film Berdjoang, misalnya, digambarkan seorang pemuda bernama Anang yang
dianggap bermoral tinggi karena lebih mengutamakan meninggalkan kampung halaman dan
berperang daripada mengurus keluarga. Di situ diceritakan, Anang lebih suka menunda
perkawinannya agar bisa ikut Heiho.

Yang lebih tampak jelas lagi kesan propagandanya adalah sebuah produksi tahun
1945, berjudul Koeli dan Romusha. Karya penulis Indonesia, J.Hoetagalong, yang mula-
mula berbentuk naskah sandiwara, jelas-jelas menggambarkan perbedaan nasib kuli di

80
Rita Sri Hartuti, Layar Perak (90 Tahun Bioskop di Indonesia). Hal 37.
21
zaman Belanda yang sangat merana dan romusha di zaman Jepang yang nasibnya lebih
baik. Katanya, romusha bernasib baik karena berjasa mengabdi pada negara. 81

Tidak heran kalau sebuah majalah ditahun itu memberitakan bahwa film yang
dipersembahkan oleh Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa tersebut memperoleh hadiah
pertama untuk skenario tentang romusha.

Propaganda Jepang juga diperlihatkan melalui film-film yang didatangkan langsung


dari Jepang, yang penuh dengan gambaran tentang keunggulan Jepang, seperti Nankai no
Hanataba (Bunga dari Selatan), Shogun to Sanbo to Hei (Jendral dan Prajurit), Singapore
Soko Geki (Serangan atas Singapura), Eikoku Koezeoroeroe no Hi (Saat Inggris Runtuh).

Yang menarik, meski film Jepang terus masuk dan juga diproduksi di Indonesia,
film-film barat tetap boleh beredar. Keadaan itu tampak jelas pada deretan iklan dimedia
massa ketika itu. Bahkan, perbandingan film barat dengan non-barat seimbang.
Sebagaimana gambaran iklan film di surat kabar Asia Raya, terbitan Jakarta. Diketahui,
pada tanggal 30 April 1942 saja terdapat 12 bioskop yang memutar film Eropa dan Amerika,
3 bioskop memutar film Indonesia/Melayu, dan 1 bioskop memutar film Cina atau
Tionghoa.

Film-film barat yang beredar di masa itu, Wizzard of Oz, sebuah cerita dongeng yang
dibintangi oleh Judy Garland, Ice Faillies dibintangi Joan Crawford, dan Tarzan Finda &
Son dibintangi oleh aktor terkenal ketika itu, Jhonny Weismuller. Beredar juga film-film
Cina yang dulu disebut film Tionghoa, seperti Hua Chan Lui, yang dibintangi bintang-
bintang Tionghoa, dan film-film Indonesia (film Melajoe), seperti Boedjoekan Iblis yang
dibintangi Rodiah dan Rd. Mochtar.

Sampai disitu tampaknya, perbioskopan masih mengalami masa menyenangkan.


Sebab, pada mulanya, masa pendudukan Jepang di Indonesia masih menjalankan fungsi
film dan bioskop sebagai alat hiburan, dengan membolehkan masyarakat memilih film di
luar film Jepang. Meski fungsi sebagai propaganda juga semakin menderas karena pada
setiap pemutaran film apapun, lebih dulu masyarakat harus menonton film-film dokumenter
dan slide-slide tentang bala tentara serta kehidupan di Negeri Matahari Terbit.82
1. Keadaan Penduduk
Sampai akhir penjajahan Belanda, rakyat jelata merupakan penduduk terbanyak di Hindia
Belanda. Mereka tidak mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pendidikan formal. Yang
bisa belajar di sekolah pemerintah, HIS (HollandsInlandsche School=Sekolah Belanda untuk
Pribumi), hanya anak pegawai guvernemen, pemerintah, mulai jenjang jabatan tertentu atau
anak keluarga berdarah biru atau bangsawan.83

81
Rita Sri Hartuti, Layar Perak (90 Tahun Bioskop di Indonesia). Hal 38

82
Rita Sri Hartuti, Layar Perak (90 Tahun Bioskop di Indonesia). Hal 39
83
Misbach Yusa Biran. Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film di Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 323
22
Selebihnya, mereka dipersilahkan belajar di sekolah pemerintah yang hanya sampai kelas II
(Ongko Loro),yaitu sekolah untuk mereka yang ingin bekerja di kelurahan atau di sekolah
partikelir. Sekolah ini didirikan oleh organisasi seperti Muhammadiyah atau Taman Siswa,
yang ijazahnya tidak bisa dipakai untuk melamar pekerjaan atau untuk melanjutkan ke
perguruan tinggi. Oleh sebab itu, sebagian besar rakyat Hindia Belanda tidak bisa merubah
nasibnya jadi orang yang terpelajar tinngi, betapapun pandainya ia atau kaya orangtuanya.
Dengan begitu, cita-cita orang kebanyakan “mentok” samapi pada pekerjaan-pekerjaan kecil
saja. Mereka menjadi petani tradisional, pedagang sayuratau bakul di pasar, atau pedagang
keliling seperti tukang roti, tukang kembang atau tukang sol sepatu. Mereka yang bisa sekolah
sampai kelas tujuh, di sekolah dasar swasta, seperti Muhammadiyah atau Taman Siswa,
jatuhnya pada pekerjaan kecil juga, meskipun tergabung di badan usaha besar. Di Balai Pustaka,
umpamanya, ia jadi tukang cetak atau bagian pembundel buku. Sistem penjajahan yang
didukung oleh feodalisme mengerdilkan rakyat kebanyakan. Maka, mereka hanya menjadi
manusia yang tidak punya cita-cita tinggi.84

Mereka yang bisa mengenyam bangku sekolah disebut “orang terpelajar”. Jumlahnya amat
sedikit. Pada umumnya, orang terpelajar yang belajar di sekolah Belanda hanya bisa bicara
dalam bahsa daerah (bahasa Ibu) dan bahasa Belanda. Orang seperti amtenar Jawa,
umpamanya, hanya bisa berbahasa Jawa dan Belanda. Mereka yang bisa berbahasa Melayu
Cuma beberapa, seperti Usmar Ismail, itu pun karena ia senang mebaca karya sastera berbahasa
Melayu terbitan Balai Pustaka.85 Para pelajar sekolah Belanda diajarkan penegtahuan yang
terinci mengenai Negeri Belanda. Tapi buta terhadap budaya sendiri. Mereka dibuat jadi
pengagum budaya Barat dan berpikir secara Barat. Maka ketika Jepang mengahruskan semua
orang hanya bercakap atau menulis dalam bahasa Indonesia, orang terpelajar didikan Belanda
harus bekerja keras kalau mau membuat tulisan. Ia harus menulis dulu dalam bahasa Belanda
lalu baru diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan cara berpikirnya masih
dengan bahsa Belanda.86
Jepang membalikkan semua ukuran yang diciptakan Belanda. Mereka “mendongkrak “ rakyat
jelata untuk memiliki cita-cita dan kemampuan besar dengan cara bekerja keras dan melalui
sejumlah kekerasan. Kalau salah langkah dalam baris berbaris,pantat mereka akan disodok
keras oleh instruktur dengan bambu panjang dari belakang. Pemain film W.D. Mochtar, era
1950-1980, pada zaman Jepang tergabung dalam Heiho, tentara Jepang, bertempat di
Kalimantan Tengah. Markasnya di kaki gunung. Suatu hari ia dipaksa atasannya untuk belajar
naik sepeda motornya harus meluncur ke bawah. W.D. Mochtar tidak mau, tetapi Jepang
memaksa dengan kekerasan. Ia terpaksa menaiki motor karena takut. Dengan penjelasan ala
kadarnya dari si Jepang tentang cara menggunakan gas dan rem, lalu ia dibentak agar maju.
Maka, sepeda motor W.D. Mochtar meluncur kebawah. Sejak itu, ia bisa naik motor.87

Semua orang dikerahkan untuk bekerja dan bertanggungjawab pada perang Asia Timur Raya.
Halaman rumah penduduk dan halaman sekolah harus ditanami pohon jarak. Buahnya

84
Misbach Yusa Biran. Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film di Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 324
85
Onghokham, RuntuhnyaHindia Belanda, Gramedia 1980, hlm 142
86
Onghokham, RuntuhnyaHindia Belanda, Gramedia 1980, hlm 150
87
Misbach Yusa Biran. Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film di Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 325
23
diperlukan sebagai alat pelumas untuk menjalankan mesin perang Asia Timur Raya. Anak
sekolah ditugaskan konrohoshi, kerja bakti, bikin lobang perlindungan, bahkan mencari
puntung rokok. Buat apa ? Akan didaur ulang menjadi rokok.88
2. Kondisi Perfilman Indonesia Pada Masa Jepang

Mula-mula bangsa Indonesia menyambut gembira kedatangan Jepang yang dalam waktu
yang singkat dapat membuat Belanda bertekuk lutut. Tetapi rupanya niat Jepang tidak seperti
yang diharapkan oleh bangsa Indonesia, sebab 12 hari setelah itu, tepatnya pada tanggal 20
Maret 1942, seluruh kegiatan politik dihentikan, dan untuk meredam rasa tidak puas masyarakat
Gunseikanbu (Pemerintah Militer) membentuk Sendenbu (semacam lembaga propaganda)
yang dipimpin oleh Kolonel Machida (Agustus 1942-Oktober 1943) dan digantikan oleh Mayor
Madachi (Oktober 1943-Maret 1945).89

Pada bulan Oktober 1942 Sendebu membawahi 3 bidang, yaitu Domei, Hoso Kanri Kyoku
(Administrasi). Desember 1942 membentuk Jawa Sinbungkai (Pers) lembaga-lembaga itu
meskipun ditujukan bagi masyarakat sipil tetapi dipimpin oleh militer berpangkat Letnan.
Sedang di bidang propaganda didirikan Jawa Engkai Kyokai (Sandiwara), Jawa Eiga Kosha
(Perusahaan Film Jawa) dipimpin oleh Soeitji Oja seorang penulis Jepang terkenal yang juga
menjadi staf pada Sendenbu. Tidak berhenti di situ, Jepang juga mendirikan badan usaha yaitu
Eigha Haikyusha, perusahaan yang memonopoli distribusi film yang dikepali oleh Nechi’ei.
Menyusul Nippon Eigha Sha perusahaan produksi Film yang dipimpin oleh Bunjin Kurata
(sutradara film). Lalu pada tanggal 1 April 1943 mendirikan Keimin Bunka Shidoso (Pusat
Kebudayaan). Semua lembaga yang dibentuk bertujuan merangkul para peminat dari empat
bidang kesenian, yaitu kesusasteraan, kesenian, lukis dan ukir, yang menjalankan
kebijaksanaan berdasarkan Eiga Ho (Undang-undang Perfilman Jepang) yang dikeluarkan oleh
Departemen Luar Negeri pada tahun 1938, dan diperbaiki pada tahun 1939.90

Berikutnya menyusul seluruh perusahaan produksi film seperti Java Industrial Film (JIF),
Tan’s Film ditutup, sementara Populer Film Coy, dan Union Film setelah digabung dengan
Jawa Eiga Kosha dan Nippon Eiga Sha dibuka kembali dengan merekrut dua artis karyawan
film untuk memproduksi film, antara lain Sampaikan Salamkoe.91

Setelah itu 12 bioskop di Jawa Barat, 3 di Jawa Tengah dan 9 di Jawa Timur dijadikan
tempat khusus pemutaran film propaganda. Dari catatan yang ditemukan pada tanggal 30 April
1942, terdapat 12 bioskop memutar film Eropa dan Amerika. Adapun film-film Amerika yang
diputar antara lain Wizard of Oz yang dibintangi oleh aktris terkenal AS Judy Garland, Ice
Fallies yang dibintangi oleh Joan Crawford, dan Tarzan yang dibintangi oleh Johnny
Weismuller. Tiga bioskop memutar film Melayu, antara lain Boedjoekan Iblis yang dibintangi
oleh Rodiah dan Rd. Mochtar. Satu bioskop untuk film Tiongkok, memutar antara lain Hua
Chan Lui tetapi semua bioskop diwajibkan menayangkan slide dan memutar film-film pendek
yang merupakan bahan penerangan dan propaganda dari Pemerintah Pendudukan Jepang.

88
Misbach Yusa Biran. Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film di Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 325
89
Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900-1950. Hal. 332.
90
Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900-1950. Hal. 332.
91
Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900-1950. Hal. 332.
24
Rupanya kiat the show must go on juga menjadi pegangan bagi Pemerintah Pendudukan Jepang
di negeri bekas jajahan Hindia Belanda. Itu sebabnya demi kelangsungan hidup bioskop, untuk
sementara film impor masih diijinkan untuk diputar, asal menayangkan Slide dan film pendek
propaganda Jepang.92

Setelah Jawa Eiga Kosha (perusahaan film) dan Jawa Eiga Haikyu Sha (perusahaan
distribusi) memiliki stok yang cukup, maka pertunjukan film Amerika dan Inggris dilarang.
Impor film asing dihentikan, malah nama bioskop diganti, misalnya Rex Bioscoop di Jakarta
menjadi “Yo Le Kwan”, Emma Bioscoop Malang menjadi Ki Rak Kwan, Centraal Bioscoop
Bogor menjadi Thoeo Gekijo, selain daripada itu demi menarik simpati dari kaum Muslimin,
pertunjukan di waktu maghrib dan isya dilarang. Maka pertunjukan yang biasanya berlangsung
pada pukul 18:30 diundur menjadi pukul 21:30. Tambahan lagi bioskop-bioskop yang semula
hanya diperuntukan bagi orang kulit putih seperti Capitol dan Deca Park, kini terbuka untuk
kaum pribumi. Bahkan penonton kulit putih sudah berusia 17 kalau mau menonton harus
mendaftar lebih dulu dan membayar sekitar Rp. 50 s/d 150, padahal harga beras seliter hanya
Rp. 0, 10 saja.
Tidak cukup dengan itu, di wilayah Jawa Timur ada 9 Unit bioskop keliling melayani desa-
desa di sekitar Surabaya, Malang, Kediri Madiun, Basuki, dan Kedu. Jawa Tengah memiliki 3
unit bioskop keliling melayani desa-desa sekitar Semarang, Solo, Yogyakarta Banyumas. Jawa
Barat 23 unit bioskop keliling melayani desa-desa sekitar Banten, Jakarta, Bandung Priangan
sampai ke Cirebon. Pada Akhir tahun 1943 bioskop keliling sudah mampu beroperasi dan
menyebar secara bergantian ke hampir seluruh pelosok pulau jawa. Pada waktu itu tercatat
sebanyak 117 bioskop terdapat di seluruh Indonesia. Sayangnya daftar nama dan kota di mana
bioskop itu berada tidak dapat ditemukan hingga hari ini.93

Tetapi lama kelamaan tanpa suplisi dari film impor menyebabkan banyak bioskop
kekurangan pasokan film dan terpaksa berganti usaha. Thalia Bioscoop di Jakarta menjadi
tempat kegiatan perkumpulan pemuda Chung Hwa Tsing Nien Hui melakukan kegiatan sosial
dengan pagelaran tonneel untuk keperluan amal. Sedang Hollywood Bioscoop di Bali menjadi
tempat pertunjukan sulap. 94

April 1945, semua bidang di bawah lembaga propaganda khusus untuk masyarakat sipil
yang semula dipimpin oleh Soetji Oja dirangkap oleh Kolonel Takashi yang mengepalai bidang
propaganda untuk kepentingan militer.
Pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia pemimpin tertinggi Gunseinkanbu
(Pemerintahan Militer Jepang di bekas negeri jajahan Belanda), Nederlands Indiesch
mendirikan Keimin Bunka Shidosho (Pusat kebudayaan) yang dpimpin oleh seorang penulis
kenamaan dari Jepang Soeitji Oa. Di bawah itu juga dibentuk beberapa bagian atau bidang.95

92
Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900-1950. Hal. 334
93
Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900-1950. Hal. 334
94
M. Johan Tjasmadi. 100 Tahun Sejarah Bioskop Di Indonesia. PT. Megindo Tunggal Sejahtera. hal. 27
95
M. Johan Tjasmadi. 100 Tahun Sejarah Bioskop Di Indonesia. PT. Megindo Tunggal Sejahtera. hal. 27
25
Terdapat beberapa orang seniman/budayawan Indonesia yang diperbantukan pada Kantor
Pusat Kebudayaan itu yang mendampingi para kepala bagian yang dijabat oleh orang Jepang.96
Begitu Jepang memegang kekuasaan di negeri ini, mereka menutup semua studio film, yang
semuanya milik Cina, kecuali yang satu milik Belanda, Multi Film. Alasan pertama adalah agar
jangan digunakan untuk membuat film yang anti-Jepang. Kedua, Jepang pasti tidak percaya
kepada para produser film Cina peranakan, yang budayanya tidak menentu, bisa memahami
perjuangan “Dai Toa”.97

Di Jepang sendiri, pemerintah menggariskan dengan tajam panduan tentang apa saja yang
boleh dibuat oleh perfilman Jepang:98

1. Ide hidup individualistik pengaruh Barat harus dilenyapkan.


2. Semangat Jepang, khususnya mengenai keindahan sistem hidup kekeluargaan
harus diangkat, dan semangat pengorbanan diri demi kepentingan bangsa dan
masyarakat harus didorong.
3. Film harus mengambil peran yang positif dalam mendidik massa, khususnya dalam
menghilangkan westernisasi di kalangan anak muda, terutama anak gadis.
4. Kelakuan dan ucapan yang seenaknya dan sembrono harus dihilangkan dari layar
serta harus dilakukan dorongan untuk memperkuat rasa dan sikap hormat kepada
yang lebih tua.
Pada 1940, tambahan pengarahan diberikan Departemen Dalam Negeri sebagai berikut:
1. Apa yang diinginkan adalah hiburan melalui suara dan gambar dengan tema positif.
2. Penampilan dan dialog lawak yang biasanya tidak lazim pada sajian film harus
dikurangi kalau member akibat buruk.
3. Hal-hal berikut harus dilarang:
a) Cerita tentang tokoh borjuis kecil.
b) Cerita yang mengisahkan hanya tentang kebahagiaan orang secara indivisu.
c) Adegan wanita meroko.
d) Adegan café (tempat hiburan yang menyuguhkan minuman keras).
e) Watak sembrono dan seenaknya.
3. Direkomendasikan film yang menceritakan sektor produktif dari masyarakat, seperti
kehidupan di pedesaan.
4. Skrip harus disensor secara ketat, kalau terdapat masalah, maka harus diminta menulis
ulang.
Hampir semua film Jepang yang dipertontonkan di Jawa adalah film-film yang
mematuhi “kebijakan nasional tentang film” tersebut di atas.99

Pengelolaan tata perfilman dan Bioskop pada masa Jepang


Masuknya Jepang ke kota Sukabumi mampu membuka runag-ruang hiburan di
Sukabumi, pada mulanya terkesan membuka kran dari kekerasa rasial yang sebelumnya

96
Johan Tjasmadi, 2008. 100 Tahun Bioskop di Indonesia (1900-2000). Bandung: Megindo. Hal. 27
97
Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900-1950. Hal. 332.
98
Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900-1950. Hal. 332.
99
Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900-1950. Hal. 337.
26
terbentuk dan terwacanakan pada masa kolonial menjadi hubiran milik rakyat. Misalnya kabar
tentang tontonan, bahkan di fasilitasi dengan mengubah sistem penerimaanya dengan
membolehkan siapa saja untuk memasuki ruang-rung publik. Pada masa sebelum masuknya
Jepang, fasilitas hiburan seperti bioskop, maupun hotel tiak boleh untuk dimasuki kalangan
pribumi biasa. Namun pada masa pendudukan Jeoang, pribumi dengna mudah untuk masu ke
dalam tempat-tempat hiburan yang ada.100
Bentuk itu terlihat di ruang Kota Sukabumi dengna memberi akses untuk menonton
gratis. Untuk menonton gratistersebut, massa rakyat biasanya di kumpulkan di alun-alun untuk
melihat film yang isinya bertemakan untuk membangkitkan semangat juangmembela perang
Asia Timur Raya. Sedangkan untu aktifitas menonton di Sukabumi masih terdapat regilaritas
ynag intens. pada masa ini terdapat dua nama bioskop tersebut. Nama-nama bioskop itu
bernama Sho wa Kan Soekabumi dan Tji to se E. K. Soekaboemi.101
Judul-judul ayng di putar di bioskop, kurang lebih sama dengan yang dipertunjukkan di
lapangan secara gratis. terlihat dari beragam judul film kurang lebih seperti "Djosei koro"
(Zaman/masa penguasaan laki-laki), Poelau Inten, 'Ai No Ikka" (Cinta Keluarga), Noesa
Penida, dll. Otomatis dari judul-judul itu terlihat unsur berbau propaganda. sehingga, dapat di
simpulkan bahwa ruang hiburan tyang di ciptakan penguasa Fasis jepang ini, meski dapat di
akses secara luas, namun berujung pada unsur kekerasan pula dalam bentuk ynag lain.102
Kekerasan yang berada di ruang itu adalah berupa di putarnya film-film yang berbau
propaganda. Selain itu, tata cara untuk berlaku ketika menonton ada aturannya tersendiri.
BIasanya pemutaran film harus dilakukan dengan cara yang tertib dan dilarang untuk keluar
bioskop sebelum pemutaran film berakhir. Bahkan untuk mengadakan tempat pertunjukan
tersebut, harus melalui perizinan tertentu serta harus di tambah dengan tujuan propaganda.
Elemen-elemen pendukung dunia pertunjukkan pun mengalami kondisi yang represif seperti
dunia perfilman yang depresi secara tidak langsung dengan muatan film-film ynag di produksi
adalah film yang bertemakan propaganda. tidak jarang isi dari film menunjukkan karakter
penguasa pendudukan Jepang karena berisikan tema-tema yang mengandung unsur kekrasan.103

5. Hal-Hal yang terjadi pada masa Jepang


a. Seni Propaganda
Enam bulan sesudah Jepang menduduki negeri ini, Gunseikanbu, Pemerintahan
Militer, mendirikan Sindenbu Badan Propaganda dan Penerangan, dipimpin oleh Pemra
Menengah. Pada April 1943, Sindenbu mendirikan Keunin Bunka Sxdhosho (Pusat
Pendidikan Populer dan Pengembangan Kebudayaan), bahasa Indonesianya disebut Pusat
Kebudayaan.104
Badan yang berkantor di kawasan Harmoni, Jakarta. itu …' (1) mengembangkan
kebudayaan tradisi lndonesia; (2) memperkenalkan dan menyebarkan kebudayaan Jepang;
dan (3) mendidik dan melatih seniman Indonesia.” Di dalamnya ada lima Bagian: (1)
Bagian Sastera; (2) Bagian Sandiwara dan Seni Tari; (3) Bagian Seni Rupa; (4) Bagian

100
Budi Susanto, Ge(mer)lap Nasionalitas Postkolonial. Kanikus. 2008. Hlm 231
101
Budi Susanto, Ge(mer)lap Nasionalitas Postkolonial. Kanikus. 2008. Hlm 231
102
Budi Susanto, Ge(mer)lap Nasionalitas Postkolonial. Kanikus. 2008. Hlm 232
103
Budi Susanto, Ge(mer)lap Nasionalitas Postkolonial. Kanikus. 2008. Hlm 232
104
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 326
27
Musik; dan (5) Bagian Nm. Semua pimpinannya terdiri dari orang Jepang dan orang
Indonesia.105
HIerarki Ras pada masa Kependudukan Jepang berubah derastis. Pemerintah
pendudukan Militer Jepang, Gunseikanbu, meletakan film di bawah departemen
Propaganda (Sendenbu). Semua perusahaan swasta ditutup, alat-alat disita, dam impor film
di hentikan. akibatnya jumlah bioskop yang beroprasi turun drastis. Sejalan dengan
kampanye "Saudara Tua", Jepang memperbolehkan pribumi masuk di bioskop yang
semula khusus orang eropa, misalnya Capitol dan Decapark. 35 dari 117 bioskop yang
tersisa dioperasikan langsung oleh Eiga Haikyusha.106
Meskipun Sindenbu dan Pusat Kebudayaan ini adalah badan-badan darurat masa
perang, namun Jepang menganggap penting kedua badan ini. Orang-orang yang diserahi
tugas memimpin Pusat Kebudayaan adalah mereka yang memang memiliki orientasi dan
kemampuan di bidang-bidang yang dipimpinnya. Pimpinan Sindenbu, Kolonel Machlda
Kenji, adalah orang yang mempunyai perhatian besar pada kesusasteraan dan mempunyai
hubungan luas dengan para budayawan.” Soichi Oya, pimpinan Pusat Kebudayaan dan
pxmpinan Bagian Film, adalah pengarang Jepang terkenal. Sebelum dikirim ke Jawa, ia
adalah personil dari Perusahaan Film Manchun'a. Manchuria adalah negeri yang sudah
lebih dulu diduduki Jepang. Jadi, penguasa militer itu bukanlah serdadu yang bisa dicuekin
saja. Apalagi orang-orang Indonesia yang dilibatkan dalam pimpinan jelas bukan orang
sembarangan.107
Sebagai bukti slogan Jepang bahwa “Jepang Indonesia Sama” dan Jepang itu bukan
penjajah, melainkan “saudara tua', maka tiap pimpinan badan pemerintah, akan diduduki
oleh pimpinan Jepang dan Indonesia. Pimpinan orang Indonesia di Pusat Kebudayaan
adalah pengarang Sanusi Pane.108
Seniman-seniman terkenal Indonesia banyak yang menggabungkan diri dalam Pusat
Kebudayaan, antara lain penulis Armijn Pane, pelukis Agus Jaya, pemusik Koesbini,
penulis esei Sutomo Jauhar Arifin dan St. Takdir Alisyahbana. Adapun tokoh-tokoh muda,
seperti pemusik Cornel Simanjuntak, penulis Usmar Ismail, D. Djajalmsuma, Suryo
Sumanto dan Gayus Siagian serta penyair Chairil Anwar termasuk mereka yang memilih
jalan “membebaskan diri dari keterlibatan dalam usaha-usaha kesenian dan kebudayaan
Pemerintah Balatentara J epang”. Namun Chairil sering datang ke sana, bicara dengan
Takdir Alisyahbana, yang duduk dalam Komisi Bahasa. Mereka “membicarakan soal
sastera dan politik dengan penuh kebebasan dan kebahasaan Indonesia yang
sesungguhnya".“109
Kegiatan sandiwara segera digalalkan karena sebagai alat penting propaganda. Kata
K. Yasuda, “sandiwara dan tari' tarian, dalam zaman peperangan modern merupakan
senjata yang tajam dalam melakukan peperangan-pikiran”.” Karena semua studio film
ditutup Jepang, maka orang film tumplek ke sandiwara. Kembali seperti masa jaya

105
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 326
106
Budi Susanto, Penghibur(an) Masa Lalu dan Budaya Hidup Masa Kini Indonesia. Penerbit Kanisius. 2005. Hlm
157
107
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 326
108
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 327
109
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 327
28
stamboel-toneel,grup-grup sandiwara melakukan pertunjukan keliling. antara lain grup
Nusantara pimpinan Dewi Mada, Tjahaya Timoer pimpman AndjarAsmam dan Bintang
Surabaya pimpinan Fred Young. Pemuda Djamaluddin Malik, yang kemudian nantinya
menjadi produser film, mendirikan dua grup sandiwara Bintang Timoer dan Pancawama,
masing-masing pimpinan diserahkan kepada Darussalam dan Awaludin.110

b. Kebijakan Terhadap Perusahaan Film dan Film di Indonesia


Begitu J epang memegang kekuasan di negeri ini, mereka menutup semua studio Elm,
yang kesemuanya milik Cina, kecuali satu milik Belanda, Multi Film. Alasan pertama
adalah agarjangan digunakan untuk membuat film yang anti-Jepang. Kedua, Jepang pasti
tidak percaya kepada para produser film Cina peranakan, yang budayanya tidak menentu,
bisa memahami perjuangan “Dai Toa”.111
Di Jepang sendiri, pemerintah menggariskan dengan tajam panduan tentang apa saja
yang boleh dibikin oleh perfilman Jepang: '
1. Ide hidup individualistik pengaruh Barat harus dilenyapkan.
2. Semangat Jepang khususnya mengenai keindahan sistem hidup kekeluargaan harus
diangkat, dan semangat pengorbanan diri demi kepennngan bangga dan masyarakat
harus didorong.
3. Film harus mengambil peran yang positif dalam mendidik massa, khususnya dalam
menghilangkan westernisasi di kalangan anak muda terutama anak gadis.
4. Kelakuan dan ucapan yang seenaknya dan sembrono hams dihilangkan dari layar
serta harus dilakukan dorongan untuk memperkuat rasa dan sikap hormat kepada
yang lebih tua.112
Pada 1940, tambahan pengarahan dibenkan Departemen
Dalam Negeri sebagai berikut:
1. Apa yang diinginkan adalah hiburan melalui suara dan gambar dengan tema
positif.
2. Penampilan dan dialog lawak yang biasanya tidak lazim pada sajian film harus
dikurangi kalau memberi akibat buruk.
3. Hal-hal berikut hams dilarang:
Cerita tentang tokoh borjuis kecil, Cerita yang mengisahkan hanya tentang
kebahagiaan orang secara individu. Adegan wanita merokok.' Adegan cafe
(tempat niburan yang menyuguhkan minuman keras).Watak sembrono dan
seenaknya.
4. Direkomendasikan film yang menceritakan sektor produktif dari masyarakat,
seperti kehidupan di pedesaan.
5. Skrip harus disensor secara ketat, kalau terdapat masalah, maka harus diminta
menulis ulang.

110
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 328
111
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 333
112
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 333
29
Hampir semua film Jepang yang dipertontonkan di Jawa ini juga ada yang berasal dari
repertoar masa lampau, sepem Mai Dasima, Dr. Samsi dan Noesa Pemda. Meskipun tidak
mengandung pesan perjuangan, tetap: rupanya oleh Jepang dianggap tidak mengandung
bahaya.113
Dalam kerangka upaya menjajah bangsa Indonesia itulah, Jepang bermaksud
mempropagandakan kehebatan bangsa mereka melalui kesenian, antara lain lewat film
yang diputar di bioskop-bioskop. Sampai-sampai, beberapa organisasi mereka dirikan
untuk bisa melaksanakan program mereka itu. Dimulai pada 1 April 1943, pemerintah
militer Jepang mendirikan pusat kebudayaan dengan nama Keimin Bunka Shidoso, yang
maksudnya merangkul empat bidang kesenian: kesusteraan, kesenian, lukisan, dan
ukiran.
Kemudian didirikan pula sebuah organisasi khusus untuk mengenai film, Oktober
1942, bernama Jawa Eiga Kosha (Perusahaan Film Jawa), dikepalai S. Oya, seorang
penulis Jepang terkenal yang menjadi anggota staff Sendenbu dan juga menjadi kepala
Keimin Bunka Shidoso.114
Sesudah itu, menyusul pendirian beberapa badan usaha film oleh pemerintah Jepang
di Indonesia, yaitu Nippon Eiga Sha, yang dikenal pula dengan Nichi’ei, perusahaan yang
tugasnya memonopoli distribusi film, terhitung sejak didirikannya perusahaan tersebut
pada 1942.
Dengan begitu, semakin tidak berkutiklah bangsa Indonesia dalam berkreasi. Apalagi,
kebijakan organisasi-organisasi tersebut di atas berdasarkan pada undang-undang fil
(Eiga ho), yang dikeluarkan Departemen Dalam Negeri Jepang di Tokyo pada bulan Juli
1938 dan mendapat perbaikan Oktober 1939.
Isi undang-undang tersebut adalah perluasan kontrol pemerintah atas perusahaan film.
Selain itu, disebutkan pula, organisasi-organisasi film itu diingatkan bahwa pada dasarnya
film-film mereka harus menghilangkan ide-ide individualistik Barat, harus tetap dengan
semangat Jepang, semangat pengorbanan diri untuk bangsa dan masyarakat, mendidik
massa, menghilangkan sikap santai, dan berusaha lebih memperkuat hormat kepada yang
lebih tua.
Terhadap perusahaan-perusahaan swasta di Indonesia, Pemerintah Jepang bertindak
tegas, dengan menutup perusahaan-perusahaan seperti Java Industrial Film (JIF) dan
tan’s Film. Perusahaan-perusahaan film itu diserahkan kepada Nippon Eiga Sha,
perusahaan pemerintah Jepang di Indonesia. Setelah bergabung, barulah kemudian
dibuka kembali. Popular Film Compagnie, misalnya, dibuka kembali pada tanggal 1 Mei
1942, dengan merekrut dua artis Indonesia untuk menangani. Kemudian juga Union, yang
setelah dibuka, langsung memproduksi film yang berjudul Sampaikan salamkoe Kepada
dia.
Film-film propaganda yang dimaksud berupa slide tentang tentara Nippon, diputar
sebelum pemutaran film cerita. Tujuannya, membuat masyarakat mengetahui betapa
besar dan kuat tentara Jepang yang menghasilkan kemenangan-kemenangan didalam
peperangan. Dengan begitu, secarapsikologis masyarakat Indonesia yang melihat film

113
114
Rita Sri Hartuti, Layar Perak (90 Tahun Bioskop di Indonesia). Hal. 36.
30
dokumenter itu diharapkan terpengaruh. Jepang juga ingin memperlihatkan kepada
masyarakat Indonesia bahwa Jepang bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ide
Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya dengan jalan apapun, termasuk
menyingkirkan penghalang yag dapat menggagalkan tujuannya. 115
Situasi ini juga diperumit pula dengan produksi film cerita di Indonesia akhir tahun
1943. Itupun dalam jumlah minim, hanya sekitar 1-2 film setahun. Ada yang dibuat dalam
masa putar panjang full length, seperti Berdjoang dan habis Hoedjan. Ada juga yang
dibuat dengan masa putar 30 menit, seperti Mimpikoe, Ke Seberang, Di Menara, Djatoeh,
Berkait, Amat Heiho, dan Tonari Kumi. Diperkenalkan pula film boneka berjudul Pak
Kromo, dengan semboyan awas mata-mata moesoeh, dibuat oleh Seseo Ono.
Film-film itu tidak lepas dari selipan propaganda untuk kepentingan perang Jepang.
Dalam film Berdjoang, misalnya, digambarkan seorang pemuda bernama Anang yang
dianggap bermoral tinggi karena lebih mengutamakan meninggalkan kampung halaman
dan berperang daripada mengurus keluarga. Di situ diceritakan, Anang lebih suka
menunda perkawinannya agar bisa ikut Heiho.
Yang lebih tampak jelas lagi kesan propagandanya adalah sebuah produksi tahun 1945,
berjudul Koeli dan Romusha. Karya penulis Indonesia, J.Hoetagalong, yang mula-mula
berbentuk naskah sandiwara, jelas-jelas menggambarkan perbedaan nasib kuli di zaman
Belanda yang sangat merana dan romusha di zaman Jepang yang nasibnya lebih baik.
Katanya, romusha bernasib baik karena berjasa mengabdi pada negara. 116
Tidak heran kalau sebuah majalah ditahun itu memberitakan bahwa film yang
dipersembahkan oleh Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa tersebut memperoleh
hadiah pertama untuk skenario tentang romusha.117
Propaganda Jepang juga diperlihatkan melalui film-film yang didatangkan langsung
dari Jepang, yang penuh dengan gambaran tentang keunggulan Jepang, seperti Nankai no
Hanataba (Bunga dari Selatan), Shogun to Sanbo to Hei (Jendral dan Prajurit), Singapore
Soko Geki (Serangan atas Singapura), Eikoku Koezeoroeroe no Hi (Saat Inggris Runtuh).
Yang menarik, meski film Jepang terus masuk dan juga diproduksi di Indonesia, film-
film barat tetap boleh beredar. Keadaan itu tampak jelas pada deretan iklan dimedia massa
ketika itu. Bahkan, perbandingan film barat dengan non-barat seimbang. Sebagaimana
gambaran iklan film di surat kabar Asia Raya, terbitan Jakarta. Diketahui, pada tanggal
30 April 1942 saja terdapat 12 bioskop yang memutar film Eropa dan Amerika, 3 bioskop
memutar film Indonesia/Melayu, dan 1 bioskop memutar film Cina atau Tionghoa.
Film-film barat yang beredar di masa itu, Wizzard of Oz, sebuah cerita dongeng yang
dibintangi oleh Judy Garland, Ice Faillies dibintangi Joan Crawford, dan Tarzan Finda
& Son dibintangi oleh aktor terkenal ketika itu, Jhonny Weismuller. Beredar juga film-
film Cina yang dulu disebut film Tionghoa, seperti Hua Chan Lui, yang dibintangi

115
Rita Sri Hartuti, Layar Perak (90 Tahun Bioskop di Indonesia). Hal 37.

116
Rita Sri Hartuti, Layar Perak (90 Tahun Bioskop di Indonesia). Hal 38

117
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 337
31
bintang-bintang Tionghoa, dan film-film Indonesia (film Melajoe), seperti Boedjoekan
Iblis yang dibintangi Rodiah dan Rd. Mochtar.
Sampai disitu tampaknya, perbioskopan masih mengalami masa menyenangkan.
Sebab, pada mulanya, masa pendudukan Jepang di Indonesia masih menjalankan fungsi
film dan bioskop sebagai alat hiburan, dengan membolehkan masyarakat memilih film di
luar film Jepang. Meski fungsi sebagai propaganda juga semakin menderas karena pada
setiap pemutaran film apapun, lebih dulu masyarakat harus menonton film-film
dokumenter dan slide-slide tentang bala tentara serta kehidupan di Negeri Matahari
Terbit.118
Tetapi, ternyata sikap Jepang yang anti-Barat tak bisa dibendung lagi. Pada tahun-
tahun itu juga, dijalankan proses dewesternisasi dalam bidang apapun, termasuk dalam
dunia film dan bioskop. Bukan saja dengan menghentikan impor film barat, tetapi juga
dengan mengganti nama-nama bioskop. Yang semula memakai nama bukan Jepang,
diubah dengan nama Jepang. Misalnya, di Jakarta, bioskop Rex dan Emma di Malang
diganti menjadi Kyo Le Kwan dan Ki Rak Kwan. Istilah bioskop atau teater pun diganti
dengan Gekidjo, seperti bioskop Central di Bogor diganti dengan Thoeo Gekidjo.
Disinilah nasib bioskop di Indonesia mulai menjadi pertanyaan. Apalagi, propaganda
melalui bioskop pun semakin berkembang. Selain itu, Jepang juga mencoba mengaitkan
bioskop dengan dunia pendidikan. Lima buah bioskop di Jakarta, misalnya, secara khusus
diminta mempertunjukan keadaan di Jepang kepada murid-murid di sekolah. Disediakan
juga bioskop yang khusus untuk murid-murid sekolah, yang juga mengadakan pemutaran
film-film berita dan film-film budaya tentang Jepang. Hal itu menunjukan bahwa kontrol
pemerintahan pendudukan Jepang sudah berjalan sangat jauh. Keadaan itu dipertegas lagi
dengan pembukuan studio film Djawa, yang tugasnya secara khusus membuat film-film
dokumenter mengenai Jepang.119
Berkecambuknya perang kala itu, semakin membuat film dan bioskop pudar. Sebab
selain impor film dihentikan, ternyata produksi film sendiri juga semakin mundur dalam
jumlah maupun mutu, dibandingkan zaman sebelum perang. Situasi ini diperburuk oleh
kenyataan bahwa pada masa itu permodalan bisnis bioskop nyaris seluruhnya dibawah
pengawasan Jepang. 120 Meski, untuk beberapa bioskop, pemilik lama bioskop tersebut
secara formal tetap disebut sebagai pemilik. Terdapat juga modal orang-orang Cina
sebanyak 95% untuk mendukung bioskop-bioskop tersebut.121
Jepang tak tanggung-tanggung, mereka mendatangkan enam orang ahli bioskop
keliling ini dari negerinya. Operasi dilakukan dengan pimpinan seorang Jepang atau
Pribumi, yang dilakukan dengan menggunakan truk-truk yang masuk keluar kampung,
menyajikan film gratis berupa rangkaian propaganda Jepang.
Tentang layar tancap ini, dikabarkan pada masa sebelum perang Dunia II, Belanda
telah merintisnya dengan pertunjukan di tengah lapangan gambir, berupa film penerangan
tentang penyakit pes. Belakangan orang sering menyebutnya sebagai film pes. Semua

118
Rita Sri Hartuti, Layar Perak (90 Tahun Bioskop di Indonesia). Hal 39
119
Rita Sri Hartuti, Layar Perak (90 Tahun Bioskop di Indonesia). Hal 40
120
Rita Sri Hartuti, Layar Perak (90 Tahun Bioskop di Indonesia). Hal 40
121
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 337
32
bentuk layar tancap ini gratis.Pada mulanya, kegiatan bidang film adalah hanya memutar
film yang didatangkan dari Jepang, Film yang berbahasa Jepang dengan subtitle atau teks
bahasa Indonesia. Beberapa film Jepang yang khusus dibuat untuk penduduk Asia
Tenggara, termasuk lndonesia, narasi bahasa Indonesianya dibuat di Tokyo. Akan tetap:,
sebagian besar film tidak menggunakan subtitle maupun narasi.” 122
Perfilman Jepang sudah jauh lebih maju dibanding dengan negara Asia mana pun. Hal
ini terbukti pada 1953, (tidak lama setelah PD II berakhir) ketika film Akira Kurosawa "
..... berhasil menang di Festival Film lntemasional Cannes yang sangat bergengsi. Film-
Glm dengan resep propaganda yang dtpertunjukan di Indonesia pada Zaman Jepang juga
secara amsnk adalah baikWYang pertama dipertunjukan Singapura Soko Gala a’au
Penyerangan Umum di Singapura. Ini adalah 6 m dokumenter yang memperlihatkan
betapa mudahnya pertahanan lnggns dl Malaya dan Singapura dilumpuhkan oleh
kehebatan tentara Jepang.123
Film dimulai dari keadaan Hongkong sebelum pecah perang Asia Timur Raya.
Keadaan berubah menjadi genting karena perundingan Jepang-Amerika hendak berjalan
baik. Bangsa Inggris di Hongkong semakin memperlihatkan sikap permusuhan dan
pertahanan militer kota pulau itu terus diperkuat. Sementara itu, sebagian daratan Cina
telah diduduki Jepang. Karyawan Fujimoto meninggalkan Hongkong karena dipanggil ke
Tokyo. Guren (gadis Cina) kecewa karena Fujimoto tidak pamitan dulu. Fujimoto
menjadi wartawan perang dan bertemu dengan teman masa kecil, Kimuwa, yang kini
telah menjadi Letnan [I pada pasukan yang menduduki 'h'ongkok. Dari tempat Kitazawa
sudah nampak Hongkong. maka ia sudah sangat gemas untuk menyerbu ke situ. Kepada
Fujimoto Leman Kitazawa mengkhawatirkan adik dan ibunya yang masih berdomisili di
Hongkong.124
Pada 8 Desember, Kaisar J epang telah memerintahkan untuk menyerbu Hongkong.
Benteng Kyuriyu dikepung, seminggu kemudian jatuh ke tangan Jepang. Celaka bagi
Kitazawa, karena adik dan ibunya ditawan Inggris di Penjara Stanley. Pihak Jepang
mengkhawatirkan juga keselamatan 1.500.000 penduduk Hongkong, maka Jepang
mengimbau Gubernur Inggris, Young, agar Inggris menyerah saja. Inggris menolak. Jam
12.30 meriam dimuntahkan Jepang ke Hongkong. Yang gugur termasuk kekasih
Fujimoto, Guren. Penyerbuan diteruskan terhadap musuh yang bersarang di Bukit
Victoria. Kitazawa terluka. Inggris menyerah tanpa syarat. Ketika keadaan telah aman,
kakak Guren menjumpai adik Kitazawa, menjelaskan bahwa adiknya telah gugur. Kata
adik Kitazawa. abangnya pun mengalami musibah. Menurut adik Kitazawa, semua
pengorbanan itu adalah untuk Nipon dan Tiongkok, bahkan untuk Asia.125
Film tersebut memperlihatkan adegan pertempuran yang seru dan betapa hebatnya
tentara J epang dalam mengalahkan kekuatan tentara Barat yang selama ini diagung-
agungkan. Film-Glm dokudrama mengenai peperangan di Hongkong, Cina dan wilayah
lain sepertri Sina No Yoru, TankNisizumi, Sayap 126

122
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 337
123
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 337
124
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 337
125
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 338
126
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 337
33
Meliputi Burma, Kemenangan Sayap, Harimau Melayu sangat membantu memperkuat
kepercayaan bangsa Indonesxa bahwa Jepang memang hebat-terutama karena di depan
mata bangsa Indonesia sendiri, Jepang bisa menyapu Belanda begitu cepat. Film perang
J epang juga bisa sangat menyentuh perasaan penonton masa itu. Umpamanya lagu tema
(theme song) film Sina No Yoru, atau Cina di Waktu Malam, sempat menjadi populer di
Indonesia. Lagu ini dinyanyikan dan disukai orang di mana-mana.
c. Kegiatan Nippon Eigasha
Kegiatan di Nippon Eig'asha segera terasa berbeda dengan kegiatan di studio film
milik keturunan Cina. Di sini tenaga lndonesia boleh menjabat pekerjaan apa saja, seperti
juru hmera, juru suara, editor dan jabatan-jabatan penting lainnya, yang di studio film
milik keturunan Cina hanya dipegang oleh orang-orang Cina, dan di studio Multi Film
juga hanya dipegang oleh orang-orang Belanda. Lebih dari itu, di Nippon Eigasha
diselenggarakan pendidikan. Semua karyawan harus belajar di Balai Film. Materinya
didatangkan dari Jepang.“ Orang batu tergugah bahwa membuat film adalah pekerjaan
serius yang benar-benar harus dipelajari cara pembuatannya dengan serius pula. Jadi,
bukan asal bikin seperti pada masa lalu. Pada 1962, Bunjin Kurata pernah datang ke
Indonesia untuk menangani proyek produksi bersama Indonesia-Jepang. Orangnya sangat
lembut dan pengharu. Kalau ketemu orang hun, seperti Sofia W.D atau Pak Ardi, ia segera
melelehkan air mata. Tapi, kata Sofia W.D, orang ini pada zaman Jepang galak aekali dan
disiplin, kalau ada yang salah ditempelengnya. Ternyata, mendidik dengan kekerasan
berlaku juga di bidang alm. Salahsatu latihan yang harus dialami oleh calon juru kamera,
Mujitaba, adalah memanggul kamera Bell & Howell, kamera studio yang besar, keliling
lapangan, bukan main beratnya. Padahal kalau untuk vhmmng di luar, cukup dengan
memakai kamera Arillox yang ringan Latihan menggotong kamera itu harus ia lakukan
tiap pagi, bukan main beratnya * Film cerita yang dibuat oleh Nippon Elgaulia adalah
beberapa film pendek dan satu full length, yang panjangnya penuh seperti lazimnya lilm
cerita.127
Film pendek yang dihasilkan
adalah Di Desa (1943), Di Menara
(1943). Djatoeh Berakit (1944),
Gelombang (1944), Hoedjan
(1944), Keris Poesaka (1944), dan
Ke Seberang (1944). Adapun film
yang panjang adalah Berdjoang
(1943). Pembuatan film
Berdioang dimulai sejak 1
September 1943. Penulisan
skenario dan penyutradaraan
dilakukan oleh Rd. Arifin. Namun,
sebetulnya Bunjin Kurata yang

127
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 339
34
menyutradarai dan Rd. Arifin hanya sebagai pembantu.128
“ Ringkasan ceritanya sebagai berikut:
Di Baledesa Legok, orang sedang asyik mendengarkan pidato seorang soco yang
mengobarkan semangat untuk memasuki balatentara. Di antara mereka terdapat pemuda
Saman (Sambas) dan Anang (Moh. Mochtar). yang ingin berkorban untuk membela tanah
air. Karena Saman kakinya pincang. maka tidak bisa mendaftar sebagai Heiho (serdadu
Jepang). Saman dan Anang bersahabat erat, antara lain karena kekasih Anang, Hasanah
(Dahlia), adalah adik Saman. 129

Ahmad (Chatir Ham), seorang pemuda terpelajar, yang juga tinggal sekampung
dengan Anang dan Saman, telah terpikat juga pada kecantikan Hasanah. Tapi sebaliknya.
Hasanah tidak tertarik karena Ahmad pemuda pemalu dan berkelakuan tidak baik. Ahmad
juga tidak menerima anjuran Saman dan Anang untuk masuk Heiho. 130

Anang kemudian menjadi Heiho yang terkemuka. Karena rajin, maka ia diangkat
menjadi Banco. Adapun Saman yang tidak bisa menjadi prajurit tidak putus asa mencari
jalan agar bisa menyumbangkan tenaganya kepada pemerintah label kerja
dipemaahunCerem-imilikcoali Mahmud), seorang hartawan dan pemurah. Semula la
hanya menjadi kuli lepas, tapi kemudian diangkat jadi mandor. Selanjutnya, ia naik lagi
jadi mandor besar. Karena kecakapan dan kejujurannya, Saman diangkat sebagai Kuasa

Perusahaan Ceremai, di bawah pemilikan putri Gozali, Nani (R.A. Pulunggana).


Perusahaan Ceremai semakin maju. Yang diutamakan adalah keperluan Pemerintah.
Umpamanya kopi, teh, kapas dan sebagainya. Ini sesuai dengan cita-cita Saman yang
ingin menyumbangkan tenaganya di garis belakang. Takdir kemudian menentukan
Saman memperisteri N ani. Mereka hidup damai dalam satu tujuan yang berguna bagi
negeri dan masyarakat.131

Bagaimana dengan Hasanah? Ia tetap setia menanti Anang, meskipun Ahmad sudah
sering mengatakan bahwa Anang telah meninggal di J akarta ditabrak mobil. Ternyata
Hanco Anang telah kembali ke kampung bersama pasukannya, mendatangi Saman. Di
situ ia ketemu Hasanah. Saman menerangkan bahwa ia tidak bisa menjadi prajurit, tapi
berhasil dalam pertanian. Hanco Anang setuju. Kemudian Anang minta maaf pada
Saman, karena kepincangan Saman

_ adalah akibat kesalahan mereka ketika masih kecil.

128
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 340
129
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 340
130
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 342
131
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 34
35
Ketika mereka tengah bercakap itu, terdengar orang meneriakkan: “Maling! Maling”.
Di luar orang sedang mengejar seseorang. Anang ikut mengejar. Yang diteriald maling
tertangkap. Orang itu tak lain adalah Ahmad. Ia mencuri di kantor Gozali.

Atas permintaan Saman, Kuasa Perusahaan Gozali, Ahmad dilepaskan. Tapi sempat
juga mendapat beberapa pukulan dari Anang. Suara terompet berbunyi, Hanco Anang
harus pergi kembali, untuk berjuang. Saman, Hasanah dan Nani melihat kepergian Hanco
Anang dengan penuh semangat dan kegembiraan.“
d. Mengubah Pendekatan
Bagaimana sikap pihak Pribumi mengenai pendekatan berbeda yang diperlihatkan
oleh pihak Jepang? Pada tahun pertama kedatangan Jepang ke negeri ini, para semman
Indonesm belum segera bisa menentukan sikap, meskipun beberapa dari mereka
sebelumnya banyak yang memben komentar tentang berbagai kekurangan dalam 61m
lndom pada 51:th masa penjajahan dan mengusulkan ini itu. Hanya ada dun tulisan yang
bisa ditemukan mengenai bagaimana Em Indonesia seharusnya pada masa itu, yakni tulisan
R.M. Soetarto dan Andjar Asmara.132
R.M. Soetartu adalah juru kamera dan pembuat film dokumenter dl perusahaan
Belanda, Multi Fam, menjélang penah perang. J epang, yang mengambilalih studio Muh:
Film, mengangkat Soetarto untuk mengepalai Bagian Film Non Cerita di Nippon Eigasha.
Soetarto menulis, “Di dalam masyarakat baru, film akan menjadi alat pembangunan
semangat ra'yat; memberi penerangan sehari-hari; memberikan pendidikan bathin kepada
si terpelajar maupun si buta huruf; memberi kesenangan dan hiburan yang bersih; anjuran
untuk merapatkan dan mengekalkan persaudaraan antara bangsa-bangsa di Asia Timur dan
sebagainya. Hendaknya si seniman menyesuaikan diri dengan kehendak panggilan
zaman”.133
Menanggapi keinginan Jepang untuk meningkatkan derajat bangsa Asia, maka Andjar
Asmara mengharapkan pihak Jepang akan menggunakan film sebagai alat pendidikan yang
begitu penting. Sebagai alat penyebaran cita-cita bangsa. Tokoh pembaharu sandiwara
pada 1930-an dan belakangan menjadi sutradara film ini percaya “bahwa film di masa
depan akan memasuki masa yang gilang gemilang, dan hapusnya pembuatan film yang
dilakukan hanya untuk mencari uang tanpa peduli akibatnya”. Ia berharap agar J epang
yang punya pengalaman lebih banyak dalam pembu atau film, mau mempertinggi teknik
pembuatan film di sini.134
Kedua orang di atas belum pernah melakukan tindakan pembaruan di bidang film, juga
tidak pernah dalam bentuk sekedar memberikan pikiran tertulis berisi gagasan yang
inovatif. Andjar memang pemah mempe'rbami cara penyajian pertunjukan panggung pada
awal 1930-an, dari penyajian yang mengutamakan hiburan menjadi pertunjukan yang
menekankan pada cerita. Namun, isi seluruh pertunjukan adalah hiburan. Ketika Andjar
berkesempatan membuat film, Kartinah (1941) yang dikexjakannya adalah film
propaganda mengenai tugas palang merah pada masa perang dan petugas penjaga

132
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 344
133
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 344
134
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 344
36
keamanan bahaya udara. Seperti kita ingat, pada 1941 itu ams balatentara J epang sudah
dekat akan memasuki kawasan Hindia Belanda. Jadi, film propaganda AndJar nu
sebenarnya adalah untuk memperkuat pertahanan pihak Belanda di Indonesia. Teman
teman dekat sepexjuangannya di bidang pembaruan teater, ketika ikut membuat film pada
1941, hanya berhasil membuat film acnon hiburan, Si Gomar. Bahkan yang lain
memfilmkan kisah Komedi Stamboel masa lampau berjudul Ratna Moeloe Manikam.
Adapun menurut R.M. Soctarto, ia pernah membuat film dokumenter pendek So'osche
Film Culture (1037) dan masuk Multi Fllm pada 1940.‘6 Karya Soetarto tentang Borobudur
ndak ada dokumentasinya. Ketika Nippon Eigasha berdiri, ia diangkat sebagai Wakil Ketua
Bagian Film Keimin Bunka Sidoso.135
Tulisan kedua tokoh di atas mencerminkan bahwa kedatangan Jepang ke negeri ini
berikut film-film propagandanya, telah membuat suatu goncangan besar sekali pada pikiran
bangsa Indonesia mengenai fungsi film dan membawanya kepada pemikiran baru.136
Perlu juga dicatat, bahwa Jepang hanya mengajak R.M. Soetarto ke Nippori Eigasha,
sedang Andjar Asmara, selama Pendudukan Jepang, kembali ke dunia panggung. Orang
panggung/film yang diajak masuk oleh Jepang adalah Rd. Arifin. Karena orang ini konon
dekat dengan kegiatan "pergerakan".47 Sambil aktif di sandiwara, belakangan di film, ia
juga menulis di koran48 • Tapi sayangnya belum pernah ditemukan tulisannya di koran itu.
Tapi rupanya Jepang sudah yakin bahwa Rd. Arifin orang pergerakan, maka Rd. Arifin
sebagai satu-satunya orang film yang diajak Jepang masuk ke Nippon Eigasha. Yang
memang agak mengusik pertanyaan adalah tidak diajaknya Saeroen, seorang wartawan
yang sangat terkenal tajam sentilan-sentilannya pada rubrik "Pojok"-nya terhadap
Pemeritah Belanda. Tapi rupanya Jepang menilai bahwa cerita-cerita film yang ditulis
Saeroen termasuk jenis realitas lama yang harus disingkirkan oleh film Indonesia di masa
depan.137

e. Dampak pada Penonton


Dampak dari pertunjukan film, baik film perang yang didatangkan dari Jepang,
maupun film propaganda yang dibuat Nippon Eigasha, sangat besar bagi rakyat jelata. Film
mengenai praktik gotong royong dalam mengangkut air untuk memadamkan kebakaran,
secara beranting, segera dijadikan cara praktis untuk mengerjakan sesuatu bersama-sama.
Film tentang Tonari Gumi, melahirkan onganisasi warga, yang sampai sekarang menjadi
organisasi Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW). Penunjukan film perang, yang
selalu ditonton berjubel oleh masyarakat akar rumput,” sangat memantapkan keyakinan
mereka. bahwa kekuatan balatentara Jepang itu maha hebat. Orang bersorak-eorai
menyaksikan kemenangan tentara Jepang. Bahkan pesawat udara Jepang lebih hebat.
Ketika diadu sayapnya dengan pesawat musuh, sayap pesawat musuh patah (dalam film

135
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 344
136
H. Misbach Yusa Biran. Peran Pemuda Dalam Kebangkitan Film Indonesia. Kementrian Negara Pemuda dan
Olahraga. 2009. Hlm 36
137
H. Misbach Yusa Biran. Peran Pemuda Dalam Kebangkitan Film Indonesia. Kementrian Negara Pemuda dan
Olahraga. 2009. Hlm 36
37
Kemenangan Sayap). Akibatnya, ketika pada Agustus 1945 terdengar berita bahwa J epang
kalah, orang Indonesia susah untuk mempercayainya.“138
f. Dampak Bagi Usmar Ismail
Meskipun seniman muda Usmar Ismail tercatat aktif melakukan pembaharuan di
bidang teater, namun tidak ada tulisan ·yang menjelaskan tanggapannya mengenai
pendekatan baru terhadap fungsi film . Orang-orang ex Nippon. Eigasha menjelaskan
bahwa Usmar Ismail dkk tidak pernah mampir ke studio di Polonia untuk sesekali
menyaksikan orang bikin film. Oleh karena itu agak membingungkan ketika tiba-tiba, sejak
awal revolusi, Usmar Ismail memperlihatkan perhatian yang besar pada media film.
Respons Usmar Ismail berbentuk tulisan barulah muncul sekitar sebelas tahun kemudian,
di majalah Star News.139
Menurut Usmar Ismail, "datangnya para instruktur Jepang ke Indonesia telah
menyadarkan pengertian funksi film. Hal itu perlu dikembangkan pada usaha dalam
membangun perfilman nasional. "Usmar Ismail, yang pada Zaman Belanda adalah
pencandu nonton film Amerika dan film Barat mengatakan, bahwa barulah pada Masa
Jepang itu orang sadar akan fungsi film sebagai a/at komunikasi sosial. Usaha
menumbuhkan kesadaran kebangsaan terasa pada film (pendek) "Ke Seberang". Di situ
digunakan bahasa Indonesia yang terjaga, hingga film itu lebih mendekatkan diri kepada
perasaan kebangsaan.140
Masa Zaman Jepang ini mendadak berhenti, bertepatan dengan mendadaknya Kaisar
Jepang menyerah kepada negara-negara Sekutu. Dan negeri kita kemudian memasuki
Zaman Revolusi.141
g. Sekilas Bioskop
Distribusi film diatur langsung oleh Pemerintah, yakni Jawa Eihai, yang didirikan
bulan April 1943, setahun setelah Jawa diduduki Jepang. Pimpinannya adalah Mitsuhashi
Tessei, bekas manajer di Perusahaan Film Toho, Jepang. Sangat erat dengan pihak
Sindenbu, pihak distribusi mengatur peredaran film dan penggunaan film sebagai alat
propanda. Film-film buatan negeri Jepang, sangat diseleksi untuk didatangkan ke Jawa.
Semua bioskop di Jawa diambil alih Jepang. Tahun 1943 beroperasi 117 gedung. Semula
95% dari gedung bioskop itu adalah milik etnik Cina. Gedung- Gedung bioskop dibagi
dalam empat tingkat dengan harga tiket berbeda.142
Tingkat Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4
I 80 Sen 40 Sen 20 Sen -
II 60 Sen 40 Sen 20 Sen -
III 50 Sen 30 Sen 20 Sen 10 Sen

138
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 348
139
H. Misbach Yusa Biran. Peran Pemuda Dalam Kebangkitan Film Indonesia. Kementrian Negara Pemuda dan
Olahraga. 2009. Hlm 37
140
H. Misbach Yusa Biran. Peran Pemuda Dalam Kebangkitan Film Indonesia. Kementrian Negara Pemuda dan
Olahraga. 2009. Hlm 38
141
H. Misbach Yusa Biran. Peran Pemuda Dalam Kebangkitan Film Indonesia. Kementrian Negara Pemuda dan
Olahraga. 2009. Hlm 38
142
H. Misbach Yusa Biran. Peran Pemuda Dalam Kebangkitan Film Indonesia. Kementrian Negara Pemuda dan
Olahraga. 2009. Hlm 38
38
IV 40 Sen 25 Sen 15 Sen 10 Sen

Perbedaan antara harga tiket yang 80 sen dengan yang 10 sen tidak sebesar perbedaan
pada Zaman Belanda. Waktu ltu perbedaannya adalah 6 sen dan 2 gulden (rupiah Beanda).
Sedang nilai uang juga berbeda, 6 sen pada Zaman Belanda ekarang/ bernilai 13 sen.
Kebijaksanaan Jawa Eihei menetapkan bahwa 50% dari tempat duduk di semua gedung t
bioskop semua kelas, haruslah yang karcisnya paling mu rah. 1 lingga pribumi miskin
banyak yang bisa menonton , ementara di zamannya Belanda hanya menyediakan 5-10%
persen kursi dengan harga karcis termurah . Karcis termurah di Zaman Jepang sama
nilainya dengan harga satu kilo gram beras.
Bioskop yang digunakan hanya untuk keperluan propaganda, di seluruh Jawa ada 35
gedung bioskop: 23 di Jawa barat, 3 di Jawa Tengah, 9 di Jawa Timur.
Bioskop yang hanya boleh dimasuki oleh orang Jepang ada 6 gedung: Tokyo di
Jakarta, Ginza di Bandung, Nippon II Semarang, Toa di Yogya, Nippon di Surabaya, Kyoei
di Malang.143
Ada satu Gedung bioskop yang khusus disediakan untuk rnemutar film pendek Hodo
Gekijo, tidak bayar, di Semarang.
Satu bioskop di Jakarta disediakan bagi anak sekolah untuk kepentingan pendidikan,
bebas harga tiket masuk, Ya'eshio Gekijo.
Meskipun Jepang sangat ingin membawa sebanyak mungkin orang miskin untuk
nonton film, namun terhamba oleh sedikitnya gedung bioskop. Pada tahun 1943
penduduk pulau Jawa ada 50 juta orang. Gedung bioskop yang ada dihitung rata-rata
adalah 400.'oo orang untuk satu bioskop. Jumlah itu menurut Jepang terlalu sedikit.
Untuk mengatasi hal itu, Jepang mengerahkan pemutaran di alam terbuka, dalam bentuk
bioskop keliling. Tapi pemutaran film keliling ini lebih banyak dikhususkan bagi
penonton tertentu, seperti romusha, pegawai pabrik, atau anak sekolah. Antara tanggal 16
sampai 30 Desember 1943, mobil film keliling sudah beroperasi di 13 tempat di Banten,
memutar untuk 126.000 romusha.144
h. Arsip Zaman Jepang
Menurut Hirai Masao, staf Nichi’ei cabang J akarta, sebagian besar film yang dibuat
pada zaman Jepang telah dirusak atau dibuang oleh pihak Jepang ketika mereka menyerah.
Hanya sedikit yang dapat d_amarkan oleh pihak Sekutu (Belanda). Semula, semua film
itu &simpan ch Film Musaml (11 Amsterdam, Belanda, tetapi belakangan dipindahkan ke
Seksi Arsip Fllm Rijk Vorlichting Dienst, RVD, Dmas Penerangan Kerajaar Belanda.”145
1. Kondifi Perfilman Indoesia Pada Masa Jepang
Mula-mula bangsa Indonesia menyambut gembira kedatangan Jepang yang dalam
waktu yang singkat dapat membuat Belanda bertekuk lutut. Tetapi rupanya niat Jepang
tidak seperti yang diharapkan oleh bangsa Indonesia, sebab 12 hari setelah itu, tepatnya
pada tanggal 20 Maret 1942, seluruh kegiatan politik dihentikan, dan untuk meredam rasa

143
H. Misbach Yusa Biran. Peran Pemuda Dalam Kebangkitan Film Indonesia. Kementrian Negara Pemuda dan
Olahraga. 2009. Hlm 39
144
H. Misbach Yusa Biran. Peran Pemuda Dalam Kebangkitan Film Indonesia. Kementrian Negara Pemuda dan
Olahraga. 2009. Hlm 39
145
Misbach Yusa Birain, Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film Jawa. Komunitas Bambu. 2009. Hlm 350
39
tidak puas masyarakat Gunseikanbu (Pemerintah Militer) membentuk Sendenbu (semacam
lembaga propaganda) yang dipimpin oleh Kolonel Machida (Agustus 1942-Oktober 1943)
dan digantikan oleh Mayor Madachi (Oktober 1943-Maret 1945).
Pada bulan Oktober 1942 Sendebu membawahi 3 bidang, yaitu Domei, Hoso Kanri
Kyoku (Administrasi). Desember 1942 membentuk Jawa Sinbungkai (Pers) lembaga-
lembaga itu meskipun ditujukan bagi masyarakat sipil tetapi dipimpin oleh militer
berpangkat Letnan. Sedang di bidang propaganda didirikan Jawa Engkai Kyokai
(Sandiwara), Jawa Eiga Kosha (Perusahaan Film Jawa) dipimpin oleh Soeitji Oja seorang
penulis Jepang terkenal yang juga menjadi staf pada Sendenbu. Tidak berhenti di situ,
Jepang juga mendirikan badan usaha yaitu Eigha Haikyusha, perusahaan yang memonopoli
distribusi film yang dikepali oleh Nechi’ei. Menyusul Nippon Eigha Sha perusahaan
produksi Film yang dipimpin oleh Bunjin Kurata (sutradara film). Lalu pada tanggal 1 April
1943 mendirikan Keimin Bunka Shidoso (Pusat Kebudayaan). Semua lembaga yang
dibentuk bertujuan merangkul para peminat dari empat bidang kesenian, yaitu
kesusasteraan, kesenian, lukis dan ukir, yang menjalankan kebijaksanaan berdasarkan Eiga
Ho (Undang-undang Perfilman Jepang) yang dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri
pada tahun 1938, dan diperbaiki pada tahun 1939.
Berikutnya menyusul seluruh perusahaan produksi film seperti Java Industrial Film
(JIF), Tan’s Film ditutup, sementara Populer Film Coy, dan Union Film setelah digabung
dengan Jawa Eiga Kosha dan Nippon Eiga Sha dibuka kembali dengan merekrut dua artis
karyawan film untuk memproduksi film, antara lain Sampaikan Salamkoe.146
Setelah itu 12 bioskop di Jawa Barat, 3 di Jawa Tengah dan 9 di Jawa Timur
dijadikan tempat khusus pemutaran film propaganda. Dari catatan yang ditemukan pada
tanggal 30 April 1942, terdapat 12 bioskop memutar film Eropa dan Amerika. Adapun film-
film Amerika yang diputar antara lain Wizard of Oz yang dibintangi oleh aktris terkenal
AS Judy Garland, Ice Fallies yang dibintangi oleh Joan Crawford, dan Tarzan yang
dibintangi oleh Johnny Weismuller. Tiga bioskop memutar film Melayu, antara lain
Boedjoekan Iblis yang dibintangi oleh Rodiah dan Rd. Mochtar. Satu bioskop untuk film
Tiongkok, memutar antara lain Hua Chan Lui tetapi semua bioskop diwajibkan
menayangkan slide dan memutar film-film pendek yang merupakan bahan penerangan dan
propaganda dari Pemerintah Pendudukan Jepang. Rupanya kiat the show must go on juga
menjadi pegangan bagi Pemerintah Pendudukan Jepang di negeri bekas jajahan Hindia
Belanda. Itu sebabnya demi kelangsungan hidup bioskop, untuk sementara film impor
masih diijinkan untuk diputar, asal menayangkan Slide dan film pendek propaganda
Jepang.147
Setelah Jawa Eiga Kosha (perusahaan film) dan Jawa Eiga Haikyu Sha (perusahaan
distribusi) memiliki stok yang cukup, maka pertunjukan film Amerika dan Inggris dilarang.
Impor film asing dihentikan, malah nama bioskop diganti, misalnya Rex Bioscoop di Jakarta
menjadi “Yo Le Kwan”, Emma Bioscoop Malang menjadi Ki Rak Kwan, Centraal Bioscoop
Bogor menjadi Thoeo Gekijo, selain daripada itu demi menarik simpati dari kaum
Muslimin, pertunjukan di waktu maghrib dan isya dilarang. Maka pertunjukan yang

146
Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900-1950. Hal. 332.
147
Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900-1950. Hal. 332.
40
biasanya berlangsung pada pukul 18:30 diundur menjadi pukul 21:30. Tambahan lagi
bioskop-bioskop yang semula hanya diperuntukan bagi orang kulit putih seperti Capitol dan
Deca Park, kini terbuka untuk kaum pribumi. Bahkan penonton kulit putih sudah berusia
17 kalau mau menonton harus mendaftar lebih dulu dan membayar sekitar Rp. 50 s/d 150,
padahal harga beras seliter hanya Rp. 0, 10 saja.
Tidak cukup dengan itu, di wilayah Jawa Timur ada 9 Unit bioskop keliling
melayani desa-desa di sekitar Surabaya, Malang, Kediri Madiun, Basuki, dan Kedu. Jawa
Tengah memiliki 3 unit bioskop keliling melayani desa-desa sekitar Semarang, Solo,
Yogyakarta Banyumas. Jawa Barat 23 unit bioskop keliling melayani desa-desa sekitar
Banten, Jakarta, Bandung Priangan sampai ke Cirebon. Pada Akhir tahun 1943 bioskop
keliling sudah mampu beroperasi dan menyebar secara bergantian ke hampir seluruh
pelosok pulau jawa. Pada waktu itu tercatat sebanyak 117 bioskop terdapat di seluruh
Indonesia. Sayangnya daftar nama dan kota di mana bioskop itu berada tidak dapat
ditemukan hingga hari ini.
Tetapi lama kelamaan tanpa suplisi dari film impor menyebabkan banyak bioskop
kekurangan pasokan film dan terpaksa berganti usaha. Thalia Bioscoop di Jakarta menjadi
tempat kegiatan perkumpulan pemuda Chung Hwa Tsing Nien Hui melakukan kegiatan
sosial dengan pagelaran tonneel untuk keperluan amal. Sedang Hollywood Bioscoop di Bali
menjadi tempat pertunjukan sulap.
April 1945, semua bidang di bawah lembaga propaganda khusus untuk masyarakat
sipil yang semula dipimpin oleh Soetji Oja dirangkap oleh Kolonel Takashi yang
mengepalai bidang propaganda untuk kepentingan militer.
Pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia pemimpin tertinggi Gunseinkanbu
(Pemerintahan Militer Jepang di bekas negeri jajahan Belanda), Nederlands Indiesch
mendirikan Keimin Bunka Shidosho (Pusat kebudayaan) yang dpimpin oleh seorang penulis
kenamaan dari Jepang Soeitji Oa. Di bawah itu juga dibentuk beberapa bagian atau bidang.
Terdapat beberapa orang seniman/budayawan Indonesia yang diperbantukan pada
Kantor Pusat Kebudayaan itu yang mendampingi para kepala bagian yang dijabat oleh
orang Jepang.148
Begitu Jepang memegang kekuasaan di negeri ini, mereka menutup semua studio
film, yang semuanya milik Cina, kecuali yang satu milik Belanda, Multi Film. Alasan
pertama adalah agar jangan digunakan untuk membuat film yang anti-Jepang. Kedua,
Jepang pasti tidak percaya kepada para produser film Cina peranakan, yang budayanya tidak
menentu, bisa memahami perjuangan “Dai Toa”.149
Di Jepang sendiri, pemerintah menggariskan dengan tajam panduan tentang apa saja
yang boleh dibuat oleh perfilman Jepang:150
5. Ide hidup individualistik pengaruh Barat harus dilenyapkan.
6. Semangat Jepang, khususnya mengenai keindahan sistem hidup kekeluargaan
harus diangkat, dan semangat pengorbanan diri demi kepentingan bangsa dan
masyarakat harus didorong.

148
Johan Tjasmadi, 2008. 100 Tahun Bioskop di Indonesia (1900-2000). Bandung: Megindo. Hal. 27
149
Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900-1950. Hal. 332.
150
Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900-1950. Hal. 332.
41
7. Film harus mengambil peran yang positif dalam mendidik massa, khususnya dalam
menghilangkan westernisasi di kalangan anak muda, terutama anak gadis.
8. Kelakuan dan ucapan yang seenaknya dan sembrono harus dihilangkan dari layar
serta harus dilakukan dorongan untuk memperkuat rasa dan sikap hormat kepada
yang lebih tua.

Pada 1940, tambahan pengarahan diberikan Departemen Dalam Negeri sebagai


berikut:
4. Apa yang diinginkan adalah hiburan melalui suara dan gambar dengan tema positif.
5. Penampilan dan dialog lawak yang biasanya tidak lazim pada sajian film harus
dikurangi kalau member akibat buruk.
6. Hal-hal berikut harus dilarang:
a) Cerita tentang tokoh borjuis kecil.
b) Cerita yang mengisahkan hanya tentang kebahagiaan orang secara indivisu.
c) Adegan wanita meroko.
d) Adegan café (tempat hiburan yang menyuguhkan minuman keras).
e) Watak sembrono dan seenaknya.
7. Direkomendasikan film yang menceritakan sektor produktif dari masyarakat,
seperti kehidupan di pedesaan.
8. Skrip harus disensor secara ketat, kalau terdapat masalah, maka harus diminta
menulis ulang.

Hampir semua film Jepang yang dipertontonkan di Jawa adalah film-film yang
mematuhi “kebijakan nasional tentang film” tersebut di atas.151

Jepang sangat menyadari amat pentingnya media film sebagai alat propaganda. Hal
ini terlihat saat Gunseikanbu mendirikan Sindenbu, badan propaganda. Pada Oktober 1942,
badan ini juga segera mendirikan Jawa Eiga Kosha (Perusahaan Film Jawa). Pimpinannya
diserahkan kepada Soichi Oya, yang sudah kita singgung di atas. Sebelum itu, Pemerintah
Jepang telah menentukan kebijaksanaan bagi film propaganda di wilayah Asia Tenggara
(Nampo Eigha Kosha).

Perfilman Jepang sudah jauh lebih maju dibanding dengan negara Asia mana pun.
Hal ini terbukti pada 1953, (tidak lama setelah PD II berakhir) ketika film Akira Kurosawa
“……berhasil menang di Festival Film Internasional Cannes yang sangat bergengsi. Film-
film dengan resep propaganda yang dipertunjukan di Indonesia pada Zaman Jepang juga
secara artistic adalah baik”. Yang pertama dipertunjukan Singapuro Soko Geki atau
Penyerangan Umum di Singapura. Ini adalah film dokumenter yang memperlihatkan betapa
mudahnya pertahanan Inggris di Malaya dan Singapura dilumpuhkan oleh kehebatan
tentara Jepang. Adapun film Saat Inggris Runtuh (Eikoku Kuzururu No Hi) yang
dipertunjukan pada Agustus 1943, yaitu kisah jatuhnya Hongkong ke tangan Jepang,

151
Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900-1950. Hal. 337.
42
merupakan gabungan film dokumenter dan film cerita. Ringkasan ceritanya sebagai
berikut:152

Film dimulai dari keadaan Hongkong sebelum pecah perang


Asia Timur Raya. Keadaan berubah menjadi genting karena
perundingan Jepang-Amerika tidak berjalan baik. Bangsa Inggris di
Hongkong semakin memperlihatkan sikap permusuhan dan pertahanan
militer kota pulau itu terus diperkuat. Sementara itu, sebagian daratan
Cina telah diduduki Jepang. Karyawan Fujimoto meninggalkan
Hongkong karena dipanggil ke Tokyo. Guren (gadis Cina) kecewa
karena Fujimoto tidak pamitan dulu. Fujimoto menjadi wartawan
perang dan bertemu dengan teman masa kecil, Kitazawa, yang kini
telah menjadi Letnan II pada pasukan yang menduduki Tiongkok. Dari
tempat Kitazawa sudah Nampak Hongkong, maka ia sudah sangat
gemas untuk menyerbu ke situ. Kepada Fujimoto Letnan Kitazawa
mengkhawatirkan adik dan ibunya yang masih berdomisili di
Hongkong.

Pada 8 Desember, Kaisar Jepang telah memerintahkan untuk


menyerbu Hongkong. Benteng Kyuriyu dikepung, seminggu kemudian
jatuh ke tangan Jepang. Celaka bagi Kitazawa, karena adik dan ibunya
ditawan Inggris di Penjara Stanley. Pihak Jepang mengkhawatirkan
juga keselamatan 1.500.000 penduduk Hongkong, maka Jepang
mengimbau Gubernur Inggris, Young, agar Inggris menyerah saja.
Inggris menolak. Jam 12. 30 meriam dimuntahkan Jepang ke
Hongkong. Yang gugur termasuk kekasih Fujimoto, Guren. Penyerbuan
diteruskan terhadap musuh yang bersarang di Bukit Victoria. Kitazawa
terluka. Inggris menyerah tanpa syarat.153

Ketika keadaan telah aman, kakak Guren menjumpai adik


Kitazawa menjelaskan bahwa adiknya telah guguh. Kata adik
Kitazawa, semua pengorbanan itu adalah untuk Nipon dan Tiongkok,
bahkan untuk Asia.

Film tersebut memperlihatkan adegan pertempuran yang seru dan betapa hebatnya
tentara Jepang dalam mengalahkan kekuatan tentara Barat yang selama ini diagung-
agungkan. Film-film dokudrama mengenai peperangan di Hongkong. Cina dan wilayah lain
seperti Sina No Yoru, Tank Nisizumi, Sayap Meliputi Burma, Kemenangan Sayap, Harimau
Melayu, sangat membantu memperkuat kepercayaan bangsa Indonesia bahwa Jepang
memang hebat terutama karena di depan mata bangsa Indonesia sendiri, Jepang bisa
menyapu Belanda begit cepat. Film perang Jepang juga bisa sangat menyentuh perasaan
penonton masa itu. Umpamanya lagu bisa sangat menyentuh perasaan penonton masa itu.

152
Johan Tjasmadi, 2008. 100 Tahun Bioskop di Indonesia (1900-2000). Bandung: Megindo. Hal. 30.
153
Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900-1950. Hal. 337.
43
Umpamanya lagu tema (theme song) film Sina No Yoru, atau Cina di Waktu Malam, sempat
menjadi populer di Indonesia. Lagu ini dinyanyikan dan disukai orang dimana-mana.154

Film Jepang nonperang juga dipertunjukan di sini. Film ini memperlihatkan sisi lain
dari propaganda perang Asia Timur Raya, seperti film Otoko No Iki atau semangat Lelaki,
yang dipertunjukan Juli 1943. Otoko No Iki menekankan pada perubahan pola pikir antara
generasi tua dan generasi muda dalam berusaha. Kalangan tua susah menerima bahwa
sekarang orang harus berusaha bukan hanya untuk kepentingan diri sendiri, melainkan juga
untuk kepentingan bersama di Asia. Golongan muda menang, perusahaan-perusahaan
pengangkutan di-merger.155

Semua kegiatan pembuatan film di seluruh Asia Tenggara harus dikoordinasikan


oleh badan di Tokyo yang bernama Nichi’ei (Perusahaan Film Jepang) dan distributor film
dikoordinasikan oleh Eihai (Perusahaan Distribusi Film Jepang). Kegiatan pembuatan film
di Jawa ditempatkan di studio milik Belanda, Multi Film pimpinan J.C. Moll, yang berada
dalam tawanan Jepang. Studio yang terletak di Polonia Jatinegara /Cawang itu diberi nama
Nippon Eigasha sehingga nama J.C. Moll buruk di mata dunia film Belanda. Staf Belanda
yang juga dipaksa membantu Jepang adalah Piket untuk bidang teknik dan Verdorf untuk
menangani musik. Pimpinan bangsa Indonesia untuk bidang film berita adalah
R.M.Soetarto, orang Multi Film. Pimpinan film cerita adalah Bunjin Kurata dan Rd. Arifin.
Bunjin Kurata terkenal sebagai sutradara film dokumenter yang menghasilkan film hebat
Yugikumi atau Kota Salju. Adapun Rd. Arifin adalah orang panggung yang kemudian
menjadi asisten sutradara pada pembuatan film Tjioeng Wanara. Pemilihan tema film Rd.
Arifin tersebut, kisah legenda Indonesia, merupakan usaha yang menyimpang dari main
stream saat itu, yaitu cerita-cerita yang meniru cerita-cerita romantic film Shanghai.156

Ketika pendudukan Jepang, hal yang sangat nyata terjadi adalah berubahnya sifat
dan fungsi film yang awalnya bercorak komersialisme dan Amerikanisme menjadi
propaganda politik dan kemasyarakatan. Barulah pada saat itu orang sadar akan fungsi film
sebagai alat komunikasi sosial yang mengakibatkan film semakin tumbuh dan
menimbulkan kesadaran perasaan kebangsaan. Hal ini ditandai dengan diproduksinya film
Ke Seberang yang menjadikan kesadaran akan semangat kebangsaan menjadi pokok
ceritanya.157

Di era kedudukan Jepang pula, perfilman Jepang lebih dikenal masyarakat setelah
Yayasan Jepang (Japan foundation) mendatangkan dua tokoh film terkemuka mereka ke
Jakarta yaitu Tadao Sato sebagai kritikus dan Yoji Yamada sebagai sutradara dengan
membawa empat film yang selanjutnya akan diputar di Kine Klub. Lembaga ini merupakan
lembaga diskusi perfilman masih terbilang baru terbentuk namun sudah mulai dilirik para
produser cukup terkemuka dan sutradara yang membawa film hasil karyanya untuk

154
Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900-1950. Hal. 336.
155
Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900-1950. Hal. 337.
156
Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900-1950. Hal. 339.
157
Usmar Ismail, Usmar Ismail Mengupas Film, … Hal 56.
44
dilakukan diskusi. Setelah berdirinya Kine Klub yang terletak di Taman Ismail Marzuki
tersebut sedikit banyak era perfilman di Indonesia mulai dikenal oleh pihak luar negeri.

Namun dalam era selanjutnya setelah perfilman dari Jepang mulai lama mulai
memudar dari wajah masyarakat indonesia, dengan demikian berakhir hingga tahun 1970-
an. hal ini dikarena banyak faktor seperti adanya kemunculan televisi yang serentak dan
diminati. Sehingga semakin jauhnya perfilman dari jepang dan bahkan karya seorang
sutradara terkenal dari jepang yang bernama Kuroshawa dan Nagasi Osima untuk
menikmati film terbarunya orang harus pergi ke Paris.

2. Kondisi Perkembangna Perfileman di Indonesia Pada masa Jepang


Perkembangan yang mencolok selama pendudukan Jepang adalah meningkatnya
dengan hebat kesadaran nasional serta kehendak memperoleh kebebasan politik.
Pemerintahan Jepang yang keras dan sewenang-wenang mempengaruhi hampir semua
penduduk. Sebagai perbandingan, pemerintahan Belanda yang dulu moderat tidak begitu
dirasakan kehadirannya oleh orang-orang Indonesia. Tapi pemerintahan Jepang
menimbulkan kesadaran terhadap penderitaan bersama serta penghinaan dan kedongkolan
terhadap Jepang. Kesadaran bersama inilah yang semakin memperkuat kesadaran nasional
Indonesia yang sebelumnya me mang sudah ada.158

Untuk mencapai tujuan ini melalui medium film antara lain mereka mendirikan
PERSATUAN ARTIS FILM INDONESIA (PARFI), yang bekerjasama dengan Nippon
Eiga Sha, di bawah pimpinan Bunjin Kurata alias B. Kusuma, seorang pegawai Sendenbu
(Departemen Propaganda Tentara Pendudukan Jepang, yang berpretensi dan berkedok
seniman). Pada waktu itu terkenal sebagai sutradara Raden Arifin dan Sutan Palindih, yang
disamping Anjar Asmara, R. Ibnu Perbatasari, dan Suska yang telah pernah membuat film
sebelum zaman pendudukan Jepang. Kiranya tidaklah tepat dan adil untuk mencap mereka
sebagai collaborator atau penghianat karena melawan perintah/permintaan kaum penguasa
pada waktu itu sama artinya dengan bunuh diri.

Film-film yang terkenal dari zaman itu antara lain : “Keseberang” produksi
PERSAFI & NIPPON EIGA SHA, disutradarai oleh R. Arifin, dengan pemain-pemain
Rukiah, Moh. Mochtar, Chatir Harro dan Kartolo ; “Hujan”, disutradarai oleh Ibnu
Perbatasari (1943) : “Berjuang” (1943), disutradarai oleh R. Arifin, dengan pemain-pemain
Chatir Harro, Dhalia, Surip dan Kartolo. Produksi tahun 1944 dari perusahaan yang sama
adalah “Di Desa”, disutradarai oleh Rustam Sutan Palindih dan Matsum Lubis, “Jatuh
Berkait”, oleh kedua sutradara yang disebut belakangan, dengan pemain-pemain Dhalia,
Chatir Harro, Surip dan Kartolo ; “Di Menara”, disutradarai ole Rustam Sutan Palindih
dengan pemain-pemain R. Sukarno, Garkiah, Epen dan Enjek.159
Dengan segala kemauan Jepang, sebagai alat propaganda dan indoktrinasi film-film
yang dibuat di Jepang, maupun di Indonesia, tidaklah dapat dikatakan sangat berhasil

158
Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia, … hal 32
159
(______), diunduh dari http://elangkhatulistiwa.blogspot.co.id/2010/01/film-indonesia-di-masa-periode-
jepang.html pada tanggal 23 Oktober 2015.
45
dibanding dengan film-film propaganda NAZI yang dibuat oleh sutradara wanita Jerman,
Leni Riefenstahl yang dengan segala “Raffinement” yang tak ada taranya menjelmakan
kenyataan-kenyataan semu melalui pemakaian teknik editing dan soundtrack yang lihai dan
menggerakkan penonton dengan emosi-emosi yang dalam terpendam di bawah sadar.
Karena penyebarannya tidak begitu luas, maka daerah lingkupnya juga, dan dengan
sendirinya efeknya, tidak seperti yang diharapkan. Lagi pula keadaan ekonomi rakyat sudah
begitu parah, sehingga bagi sebagian terbesar dari publik yang biasa menonton pada masa
normal adalah suatu kemewahan untuk membuang uang dan waktu di bioskop, betapapun
hausnya mereka akan hiburan. Dan film-film propaganda ini memang jauh daripada
menarik bagi publik yang sudah biasa dimanjakan oleh film-film Barat yang lebih bermutu
dari zaman sebelum zaman pendudukan. Memang dalam film-film propaganda ini yang
dipentingkan adalah terutama tema dan isi propaganda dan bukan segi artistiknya, bahkan
juga tidak sifat hiburannya, yang menurut kaum penguasa adalah racun yang menyusup
melalui infiltrasi kebudayaan Barat.

Untuk alasan praktis dan efektivitas bagi kelancaran propaganda perangnya,


pemerintah dan bala tentara Jepang tidak menempatkan film di bawah Pusat Kebudayaan,
tapi berdiri sendiri di bawah pimpinan langsung seorang Jepang yang bernama Ishi Moto.
Studio yang dipergunakan oleh Jepang adalah bekas milik ANIF, yang setelah Indonesia
merdeka menjadi milik PFN. Perusahaan film milik Jepang itu bernama Nippon Eigsha, dan
memegang monopoli. Ini bisa terjadi karena semua studio milik orang Tionghoa, maka
hanya orang-orang Indonesia Inoe Perbatasari, Raden Arifin, Roestam Soetan Palindih dan
lain-lain yang sempat bekerja di studio film milik Jepang itu. Film-film yang dibuat oleh
Nippon Eigsha pada umumnya film-film pendek untuk tujuan propaganda. Hal terakhir ini
bisa dilihat pada judul-judul film masa itu seperti Kesebrang, Berdjuang, Amat Heiho, dan
Di Desa. Pemain-pemain untuk film ini adalah pemain-pemain yang sudah dikenal sebelum
perang, seperti Roekiah, Chatir Harro, dan Wolly Soetinah. Tapi karena jumlah produksi
sangat kecil, banyak bintang film yang tak kebagian. Mereka yang menganggur inilah yang
meramaikan sandiwara keliling yang hampir semuanya milik orang Tionghoa yang
studionya ditutup oleh Jepang.160

Harapan dan keinginan Andjar Asmara tidak menjadi kenyataan ketika harapan dia
ingin menggunakan film sebagai alat pendidik, sebagai alat yang berpengaruh untuk
menyebarkan cita-cita bangsa. Bukan lantaran masa pendudukan bala tentara Dai Nippon
terlalu singkat, tapi masa yang singkat itu , dalam bidang film, seluruhnya diisi dengan
membuat film-film propaganda. Tapi arti masa pendudukan Jepang bagi hari depan
perfilman kita memang tidak terletak pada banyak sedikitnya film yang dibuat masa itu,
melainkan pada sikap baru terhadap film dan cara pembuatannya yang lain sama sekali dari
zaman sebelumnya.161

Jalan pikiran yang sama dalam menghadapi film antara Andjar Asmara dan Umar
Ismail kemudian membawa keduanya bekerja sama jauh setelah Jepang bertekuk lutut.

160
Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia, … Hal 30
161
Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia, … Hal 30
46
Perkenalan pribadi kedua tokoh semasa pendudukan Jepang nampaknya cukup berkesan,
sehingga di tahun 1948 ketika Andjar membuat film untuk perusahaan milik Netherlans
Indies Civil Administration (NICA), South Pasific Film, Usmar Ismail mendapat
kesempatan pertama kali untuk memulai karier filmnya sebagai asisten sutradara.

Pergerakan berbau politik kebanyakan diusung lewat kelompok-kelompok


sandiwara. Di antaranya: Usmar Ismail, Cornel Simanjuntak, D. Jajakusuma, Suryosumanto
dan lain-lain mendirikan perkumpulan Seniman Merdeka. Sementara itu di Sumatera Barat
ada Sjamsoedin Syafei yang menggerakkan kelompok Ratu Asia. Studio film Jepang dan
Nippon Eigha Sha, direbut dengan kekerasan oleh kelompok pribumi di bawah pimpinan
RM Soetarto. Pada masa ini pula lahir Berita Film Indonesia atau BFI.
Kekalahan Jepang, proklamasi kemerdekaan, pendaratan sekutu dan kembalinya
pemerintah Belanda secara bersama mengakibatkan ketidaktentraman di Jakara menjelang
akhir tahun empat puluhan. Studio-studio yang ditutup oleh Jepang belum bisa dibuka,
sedang studio yang pernah dipakai oleh Nippon Eigsha ditinggal pergi oleh orang-orang
Indonesia yang mengungsi ke Yogya. Akibatnya selama tiga tahun (1945, 1946, 1947) tidak
ada satu pun film dibuat di Indonesia. Tapi pemerintah pendudukan Belanda yang
nampaknya ingin memberi kesan bahwa Jakarta secara sempurna telah dikuasainya, di
tahun 1948 membuka kembali pintu-pintu studio yang lama tertutup itu. Selain South
Pasific Film Co (SPF), yang didirikan oleh pihak pemerintah pendudukan Belanda, maka
perusahaan film yang muncul di Jakarta waktu itu adalah dua perusahaan milik Tionghoa
yang sudah ada sebelum perang: Tan dan Wong Bros dan bintang Surabaya (Nama baru
buat JIF, milik The Teng Choen). Film-film buatan kedua studio film milik Tionghoa itu
pun pada dasarnya sama saja dengan film-film yang mereka buat sebelum perang dahulu,
dan karena tenaga Indonesia yang bekerja untuk South Pasifik Film adalah tenaga yang
terdidik di studio-studio Tionghoa sebelum perang, maka film-film yang mereka buat pun
akhirnya sama saja corak dan ragamnya dengan buatan perusahaan milik Tionghoa.162

Efek dari campur tangan Jepang terhadap perfilman Indonesia adalah terciptanya
pengertian fungsi film sesungguhnya, yang kemudian disadari sangat berguna bagi usaha-
usaha membangun perfilmn nasional di masa kemerdekaan.163
Memang nyatanya kondisi perindustrian film nasional pada masa awal pendudukan
Jepang sebenarnya mengalami kemerosotan tajam yang diakibatkan pecahnya perang dunia
kedua di Eropa dan juga penyerangan Jepang di Indonesia pada tahun 1942 hingga
membuahkan hasil dengan menyerahnya Belanda kepada Jepang pada tanggal 13 Januari
1942.164 Dampak dari penyerangan ini berimbas kepada produktifitas perfilmn Nasional.
Padahal sebelumnya pada tahun 1941 dapat dihasilkan 30 judul film dalam satu tahun.
Setelahnya, yaitu pada tahun 1942 hanya menghasilkan 3 buah judul film saja.165 Hal ini
membuktikan bahwa pada masa awal kependudukan Jepang perfilman Indonesia

162
Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia, … Hal 37.
163
Usmar Ismail, Usmar Ismail Mengupas Film, Jakarta : Sinar Harapan, 1983. Hal 55.
164
Rita Sri Hartuti, Layar Perak 90 Tahun Bioskop di Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1992. Hal 35.
165
Rita Sri Hartuti, Layar Perak 90 Tahun Bioskop di Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1992. Hal 33.
47
mengalami penurunan drastis walaupun ditahun-tahun berikutnya justru mengalami
peningkatan yang signifikan.

Masa Jepang, film Indonesia dikuasai oleh Tionghoa. Jatuhnya Hindia-Belanda ke


tangan Jepang pada bulan Maret 1942 mengakibatkan terhentinya secara serentak semua
kegiatan perfilman di negeri ini pada masa itu. Tahun 1948 terlihat lagi upaya untuk
membuat film cerita yang dimulai oleh Tan dan Wong bersaudara. Politik perfilman
Indonesia mengalami perubahan besar-besaran. Pemerintahan Militer Jepang menjadikan
film sebagai sebagai media propaganda politik Asia Timur Raya. Hal pertama yang
dilakukan mereka adalah menutup semua perusahaan film yang ada, termasuk JIF milik Te
Teng Chun serta Tan’s. Sementara Te Teng Chun memimpin sandiwara Djantoeng Hati.
Sementara para artisnya menutup semua perusahaan kembali ke media tonil atau sandiwara.
Naskah dan tampilan harus disensor oleh Sindenbu atau Badan Propaganda. Badan ini juga
membentuk organisasi pengedar film bernama Jawa Eigha Kosha(cikal bakal lahirnya PFN
di masa kini) Pada masa ini, setiap bioskop di Hindia Belanda diwajibkan menayangkan
slide dan memutar film-film pendek berisi bahan penerangan dan propaganda Jepang. Dan
menjadi awal pelarangan bagi film impor (Amerika dan Inggris).

Ketika Belanda menyerah pada Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, politik perfilman
Indonesia mengalami perubahan besar-besaran. Pemerintahan Militer Jepang menjadikan
film sebagai media propaganda politik Asia Timur Raya. Naskah dan tampilan harus
disensor oleh Sindenbu atau Badan Propaganda. Badan ini juga membentuk organisasi
pengedar film bernama Eiga Hai kyusha, organisasi sandiwara bernama Jawa Engeki
Kyokai dan Pusat Kebudayaan bernama Keimin Bunka Shidoso.166

Pemerintah Militer Jepang mendirikan perusahaan film bernama Jawa Eigha Kosha
(cikal bakal lahirnya PFN di masa kini) pada bulan September 1942. Dan berubah menjadi
Jepang Nippon Eiga Sha pada April 1943, Perusahaan ini gencar memproduksi film-film
propaganda. Di kantor ini pula menjadi tempat pertama kali sineas pribumi mempelajari
dan membuat sebuah film, antara lain: Mohammad Jamin, Chaeroel Saleh, R.M Soetarto,
Kaharudin, Armijn Pane, Usmar Ismail, Cornel Simandjoentak.

Tapi karena produksi film makin hari makin surut, maka kegiatan para aktivis lebih
banyak ke arah diskusi dan strategi politik. Dari aktifitas ini mulai muncul nama-nama
seperti: Usmar Ismail, Jayus Siagian, D. Jayakusuma. Ketiga orang inilah yang
menghidupkan klub diskusi film lalu merintis sekolah film di Yogya. Namun baru beberapa
bulan kemudian ditutup oleh Pemerintah Militer Jepang. Di masa ini Usmar Ismail
membuat sajak berjudul Tjitra dan digubah oleh Cornel Simanjuntak menjadi lagu. Sajak
dan lagu Tjitra pertama kali dipublikasikan di majalah Djawa Baroe pada Desember 1943.
Di tahun 1946, sajak dan lagu tersebut difilmkan oleh Usmar Ismail. Untuk menarik hati
kaum Muslimin, bioskop dilarang beroperasi pada waktu maghrib dan isya. Bioskop yang
semula hanya diperuntukkan bagi warga kulit putih, seperti Deca Park dan Capitol, dibuat
terbuka untuk pribumi. Perfilman dan bioskop pada masa pendudukan Jepang ini juga

166
(_______), diunduh dari https://annkwannie.files.wordpress.com/2012/09/perfilman-indonesia-di-masa-
pendudukan-jepang-dan-revolusi.pdf pada tanggal 24 Oktober 2015.
48
mengalami masa sulit. Jumlah bioskop semakin menurun tajam. Dari semula sekitar 300
gedung menjadi hanya 52 gedung, masing-masing tersebar di Surabaya, Malang,
Yogyakarta, Semarang, dan Jakarta. Penyebabnya harga tiket yang mahal, setara harga satu
kilogram beras jatah pemerintah (10 sen) dan film yang diputar hanya berisi propaganda
tanpa sedikitpun mengandung unsur hiburan. Sejarah mencatat hanya sedikit film yang lahir
masa ini, seperti: Berdjoeang dan Ke Seberang karya sutradara Rd. Arifien; Di Desa dan Di
Menara karya sutradara Rustam Sutan Palindih; Hoedjan karya sutradara Inu Perbatasari.
Para pembuat film ini adalah orang-orang pribumi yang punya jabatan dalam Pemerintahan
Militer Jepang.167

Pada tahun pertama kedatangan Jepang ke negeri ini, para seniman Indonesia belum
segera bisa menentukan sikap, meskipun beberapa dari mereka sebelumnya banyak yang
memberi komentar tentang berbagai kekurangan dalam film Indonesia pada akhir
penjajahan dan mengusulkan ini itu. Hanya ada dua tulisan yang bisa ditemukan mengenai
bagaimana film Indonesia seharusnya pada masa itu, yakni tulisan R.M. Soetarto dan
Andjar Asmara.
R.M. Soetarto adalah juru kamera dan pembuat film dokumenter di perusahaan
Belanda, Multi Film, menjelang pecah perang. Jepang, yang mengambil alih studio Multi
Film, mengangkat Soetarto untuk mengepalai Bagian Film Non Cerita di Nippon Eigasha.
Soetarto menulis, “Di dalam masyarakat baru, film akan menjadi alat pembangunan
semangat rak’yat, memberi penerangan sehari-hari, memberikan pendidikan bathin kepada
si terpelajar maupun si buta huruf, memberi kesenangan dan hiburan yang bersih, anjuran
untuk merapatkan dan mengekalkan persaudaraan antara bangsa-bangsa di Asia Timur dan
sebagainya. Hendaknya si seniman menyesuaikan diri dengan kehendak panggilan
zaman.168

Gambaran Film-film Indonesia pada Masa Jepang diantaranya sebagai berikut:169

167
(_______), diunduh dari https://annkwannie.files.wordpress.com/2012/09/perfilman-indonesia-di-masa-
pendudukan-jepang-dan-revolusi.pdf pada tanggal 24 Oktober 2015.
168
Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900-1950. Hal. 345.
169
Widiatmoko. 2010. Film sebagai media propaganda politik di Jawa pada Masa Pendudukan Jepang 1942-
1945. Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga. Hal. 158.

49
a. Film Kota Berdjoang, yang isinya menekankan persahabatan antara bangsa jepang
dengan bangsa-bangsa Asia serta pengajaran Jepang: Kota Berdjoang menceritakan
bagaimana Jepang akan melindungi dan mengusir penjajah Barat dari kota di Asia.
Setiap kota yang dijajah bangsa Barat akan dilawan oleh prajurit-prajurit Jepang untuk
membebaskan Asia dari para penjajah.

b. Film Kati Doki Ondo, yang Isinya: Dari seorang kepala pabrik menjadi penjaga malam,
karena ingin terus bekerja tanpa lelah dengan ikhlas dan ingin terus menyumbangkan
tenaga terusmenerus demi kejayaan Asia Timur Raya.
Bekerja…bekarja…bekerja…Sorak kemenangan pasti terdengar. Itulah gambaran
cerita film Kati Doki Ondo. (Sorak Kemenangan) yang juga menggambarkan kekerasan
hati dan ketebalan semangat pekerja Nippon dalam jaman peperangan untuk
kemenangan Asia dari penjajahan Barat.

c. Film documenter dengan judul “Indonesia Raya”, pahamilah sepaham-pahamnya lagu


Indonesia Raya, lagu kebangsaan, lagu kemegahan “Indonesia Raya” penuh gaya dan
jaya selalu Indonesia. Nyanyian “Indonesia Raya” tua muda bergelora di angkasa merdu
dan suara gemuruh melayang keseluruhan ke penjuru “Indonesia Raya”. Itulah pesan

50
yang ada di film documenter “Indonesia Raya” Film yang isinya melukiskan operasi
militer dan menekankan kekuatan militer Jepang.
Dalam usaha mengambil hati lewat propaganda terhadap masyarakat Jawa melalui
media film, pemutaran dan distribusi film berada di bawah tanggung jawab Eihai, dan
cabang Jakarta (Jawa Eihai) dibentuk pada bulan April 1943, setahun setelah Jepang
menduduki Jawa, dengan Mitshuhashi Tessei sebagai kepalanya yang berhubungan erat
dengan Sendenbu, Eihai merumuskan dan menjalankan program umum dengan
memanfaakan film demi tujuan propaganda. Tugasnya meliputi pemilihan film yang akan
diedarkan, penyebaran film kebioskop setempat, pengelolahan seluruh gedung bioskop
yang disita, dan memutar film dengan konsep dilapangan terbuka.
Untuk memperlancar jalannya pengedaran dan penyebaran film ke setiap daerah di
Jawa, hal lain yang dirasa perlu ialah membuat jaringan-jaringan propaganda ke setiap sudut
dan pelosok desa (desa mempunyai arti penting sebagai sumber bahan baku dan sumber
tenaga manusia) untuk pulau Jawa dibentuk Chiho Kosakutai (Unit Operasi Distrik) yang
meliputi kota-kota besar yakni: Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, dan
Malang. 270 Unit setiap Unit Operasi Distrik mempunyai wilayah kerja yang meliputi tiga
sampai empat Karesidenan sebagai berikut:
1. Unit Operasi Distrik Jakarta meliputi Banten, Jakarta, Bogor, Kotamadya Khusus
Jakarta.
2. Unit Operasi Distrik Bandung Meliputi Priangan, Cirebon, dan Banyumas.
3. Unit Operasi Distrik Yogyakarta meliputi Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan
Surakarta, Madiun, dan Kedu.
4. Unit Operasi Distrik Semarang meliputi Semarang, Pekalongan, dan Pati.
5. Unit Operasi Distrik Surabaya meliputi Surabaya, Bojonegoro, dan Madura.
6. Unit Operasi Distrik Malang meliputi Malang, Kediri, dan Besuki.
Dengan demikian di samping Unit Operasi Distrik, juga terdapat seksi propaganda
dan informasi di setiap karesidenan. Demikian juga di setiap kabupaten dan kecamatan
ditempatkan pejabat-pejabat yang bertanggung jawab atas menjalankan propaganda. Hanya
perlu diperhatikan Unit Operasi Distrik di bawah kendali Sendenbu, sedangkan aktifitas
propaganda pemerintah daerah berada di bawah badan-badan propaganda yg ditanggung
jawabkan.170

170
Widiatmoko. 2010. Film sebagai media propaganda politik di Jawa pada Masa Pendudukan Jepang 1942-
1945. Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga. Hal. 170.

51
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. Film Indonesia, Dewan Film Nasional. 1997
Biran, Misbach Yusa. Peran Pemuda dalam Kebangkitan Film Indonesia, Kementrian
Negara Pemuda dan Olahraga.
Biran, Misbach Yusa. Sejarah Film, 1900-1950 : Bikin Film di Jawa. Komunitas Bambu.
2009.
Film Majalah, Volume 144-157, Yayasan Pengembangan Media Audio Visual, 1992
File pdf eprints.undip.ac.id di akses pada 08/10/18 pada pukul 19.00 wib
Hutari, Pemuda.Sandiwara dan perang: politisasi terhadap aktivitas sandiwara modern masa
Jepang di Jakarta, 1942-1945. Obor. 2009.
Hartuti, Rita Sri. Layar Perak (90 Tahun Bioskop di Indonesia).
Hartuti, Rita Sri. Layar Perak (90 Tahun Bioskop di Indonesia).
Ismail, Usmar. Usmar Ismail Mengupas Film, Jakarta : Sinar Harapan, 1983. Hal 55.
Onghokham, RuntuhnyaHindia Belanda, Gramedia 1980,
Said, Salim. Profil Dunia Film Indonesia,
Susanto, Budi. Ge(mer)lap Nasionalitas Postkolonial. Kanikus. 2008.
Susanto, Budi. Penghibur(an) Masa Lalu dan Budaya Hidup Masa Kini Indonesia. Penerbit
Kanisius. 2005.
Tjasmadi, M. Johan. 100 Tahun Sejarah Bioskop Di Indonesia. PT. Megindo Tunggal
Sejahtera.
Tjasmadi, Johan. 2008. 100 Tahun Bioskop di Indonesia (1900-2000). Bandung: Megindo
Wulan, Sari. Sejarah Industri Perfilman dari Batavia tahun 1900-1942
Widiatmoko. 2010. Film sebagai media propaganda politik di Jawa pada Masa Pendudukan
Jepang 1942- 1945. Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga.
(______), diunduh dari http://elangkhatulistiwa.blogspot.co.id/2010/01/film-indonesia-di-
masa-periode-jepang.html pada tanggal 23 Oktober 2015.
(_______), diunduh dari https://annkwannie.files.wordpress.com/2012/09/perfilman-
indonesia-di-masa-pendudukan-jepang-dan-revolusi.pdf pada tanggal 24 Oktober 2015.
(_______), diunduh dari https://annkwannie.files.wordpress.com/2012/09/perfilman-
indonesia-di-masa-pendudukan-jepang-dan-revolusi.pdf pada tanggal 24 Oktober 2015.

52

Anda mungkin juga menyukai