3/15
SELEPAS BIOGRAFI :
MEMAKNAI KEMBALI
CAHAYA, BUNYI DAN RUPA
Press conference FTJ-43, Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki.
S ore itu seorang jurnalis bertanya kepada para narasumber press conference FTJ ke 43 tahun 2015 ;
Dewi Noviami (Ketua Komite Teater DKJ), Malhamang Zamzam (PO-FTJ), Anto Ristargie (SC-
FTJ) dan Irawan Karaseno (Ketua DKJ). Jurnalis ; Maaf, mengapa akhirnya tema cahaya yang
menjadi gagasan festival, bukan tema yang mempersoalkan keadaan sosial dan lingkungan Kota Jakarta ?
maaf, sepenting apakah cahaya sehingga harus dijadikan tema festival ?
Press Conference yang dimulai dari pukul 14.00 WIB ini menelusuri inchi demi inchi
pembentukan lembaga FTJ. Dimulai dari kesejarahannya secara pribadi hingga institusi yang
menaunginya secara lebih besar, yaitu ; DKJ (Dewan Kesenian Jakarta). Irawan Karaseno sebagai ketua
DKJ memberikan pintu masuk imaji mengenai lembaga yang masih diketuainya, dimana sejak tahun 1968
kali pertama DKJ didirikan. Gairah penciptaan dan persaingan artistik telah hadir menjadi semangat
Dewi Noviami (Ketua Komite Teater DKJ) memberikan penjelasan yang mengurutkan pertama- pertumbuhan, baik pertarungan yang terjadi antar komite maupun di dalam komite masing-masing. Sejak
tama ikhwal kronologis tematik FTJ dari tahun ke tahun dan kenapa akhirnya harus tema 'Teater dan 1970, ketika Ali Sadikin mengesahkan DKJ pertama kali-dirinya berkata bahwa “sejak dahulu,
Cahaya' (2015) yang menjadi acuan artistik di tahun ini. FTJ sendiri memiliki tradisi penciptaan platform dimanapun juga, roh setiap kota berada di dalam pusat kesenian dan museum-museum”. Maka jelaslah,
konseptual, yang dari sanalah maka setiap tiga tahun sekali akan diuraikan secara lebih spesifik sub-sub melalui pernyataan tersebut, sewajarnya mesti hadir program-program yang mampu menggelorakan
tema yang lebih rinci. Tema pada tahun ini adalah sub-tema pertama dibawah platform besar festival kegelisahan artistik di dalam tubuh komite DKJ. Kehadiran FTJ sendiri menjadi tawaran kongkrit dari
'Menata Laku, Menata Panggung'. Yaitu sebuah sikap artistik festival, untuk kembali menelaah dan komite teater untuk menjawab antusiasme Ali Sadikin pada kesenian sebagai pemberadaban kota.
memeriksa kondisi dapur penciptaan bentuk, di masing-masing kelompok. Memahami dan memaknai Tetapi pertanyaannya kini adalah, apakah hanya pergulatan artistik di atas panggung yang diusung
kembali (panggung) inilah yang pada akhirnya menjadi terurai dalam 3 rangkaian sub-tema setiap oleh FTJ-43. Dewi Noviami selaku ketua Komite Teater, didampingi oleh Malhamang Zamzam (P.O FTJ)
tahunnya, yaitu 'Teater dan Cahaya' (2015), 'Teater dan Bunyi' (2016), hingga terakhir 'Teater dan Rupa' menjelaskan, selalu ada program yang juga beririsan dengan jalannya kompetisi, dan yang selalu berbeda
(2017). Obsesi akhirnya adalah para teaterawan festival mampu fasih dalam mengulik dan menggunakan di tiap tahunnya. Pada FTJ-43 sendiri akan ada beberapa irisan program, yaitu ; 'Dokumata-Meruangnya
berbagai elemen intrinsik panggung dan mampu menciptakan sebuah bahasa artistik yang menjadi ciri Penglihatan ; Pameran Dokumentasi Foto Pertunjukan FTJ' di Lobi Teater Kecil, 'Diskusi Tematik ; Masa
khasnya sendiri. Depan Arsip ; Teknologi dan Akses Pengetahuan' bersama Endo Suanda & Ugeng T Moetidjo, 'Diskusi
Menyoal pertanyaan ikhwal pembacaan terhadap teks sosial dan lingkungan, Dewi Noviami Tematik ; Peran Cahaya dalam Pertunjukan' bersama Joko Kurnain, 'Pembacaan Naskah dan Diskusi ;
menjelaskan bahwa penajaman terhadap teks-teks yang berelasi dengan diri dan sekitar sendiri telah Album Keluarga #50 tahun 1965' bersama Benny Yohanes & Dolorosa Sinaga, 'Diskusi Pertunjukan
dilakukan sejak tahun 2010 hingga 2012. Caranya adalah dengan menggagas tema 'Membaca aku, Peserta oleh Pengamat' bersama Azuzan JG & Semi Ikra Anggara, 'Pertunjukan Pembuka' dari Teater
Membaca Laku' sebagai platform dasar festival. Platform tersebut bertitik berat pada cara pembacaan Satu Lampung ; 'Orang-Orang Setia' ; karya/sutradara Iswadi Pratama, dan 'Pertunjukan Penutup' dari
narasi kultural sebagai teks, dibandingkan proses penerjemahan teks melalui siasat artistik di atas Teater Ghanta ; 'Ruang Tunggu Darurat', adaptasi buku puisi 'Berlin Proposal' Afrizal Malna - Sutradara
panggung. Di tahun tersebut, konsepsi festival lebih mengkhususkan pada pengamatan terhadap teritori Yustiansyah Lesmana.
biografis, agar para teaterawan festival mampu (pulang) dan menyuntuki narasi-narasi yang lahir dari diri Jika teater adalah sebuah proses mencari bahasa, maka cahaya sebagai salah satu elemen artistik
mereka, juga lingkungan di sekelilingnya. dalam panggung teater haruslah mampu membantu penciptaan tersebut. Jika proses pulang kembali pada
hal-hal elementer dalam panggung disikapi dengan intens, bukan tidak mungkin akan membukakan diri
Menggentingnya kembali dapur bentuk terhadap tersingkapnya bahasa baru dalam teater. Melalui titik tolak cahaya yang elementer tersebut, juga
bukan tidak mungkin akan lahir tema tersendiri. Sebuah tema yang lahir dari bentuk. Sebuah peristiwa,
Bertempat di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki, press conference FTJ yang ke 43 dimana teks teknislah yang melahirkan tema pada teater. 'Teater dan Cahaya', FTJ-43 (2015) akan
dilaksanakan. Acara yang berlangsung pada tanggal 25 November 2015 ini bertujuan menjadi jembatan mencari dan menguji coba berbagai asumsi artistik, menjadi laboratorium bagi eksperimen teknik cahaya
informasi kepada awak media dan perwakilan peserta. Dimana mereka dapat mengulik mengenai seluk- dan efek sosial yang dihasilkan olehnya. Riyadhus Shalihin
beluk penyelenggaraan festival, baik dari sisi tematik hingga rincian teknis per harinya.
Redaksi
Riyadhus Shalihin-redaktur
Ganda Swarna-penulis
John Heryanto-penulis
Fidelis Krus Yosua-desain & layouter
Shabrina Salsabila-Editor
Dyan Sinta Indriyani-Fotografer
PADA KOPI YANG TINGGAL SEUJUNG SENDOK
Pembukaan FTJ-43, Teater Satu Lampung - “Orang-Orang Setia”, Karya/Sutradara: Iswadi Pratama.
Serupa hidup dalam ruangan tembok yang gelap, kedua lelaki tua itu-pun
hanyalah tipis cahaya yang menembus lubang dinding. Ketika seluruhnya telah “Kita hanya hidup dalam cerita-ceritamu dan seolah-olah kita seperti tokoh-
bolong, bahkan tembok pun tak ada. Ia bukan apa-apa, sebab ia hanya cahaya yang tokoh tersebut” (Rahman)
dipantulkan dari terang ke mata dan hilang diujung tatapan.
Apa yang dilakukan Sarmin dan Rahman dalam pertunjukan “Orang-Orang
Kiranya, begitulah nasib Sarmin (guru honorer) dan Rahman (penjaga mayat)
sepanjang hidupnya. Tak ada siapa pun yang memberi mereka penghargaan, Setia”, yang berlangung selama 90 menit, merupakan sebuah alternatif bagi kondisi
bahkan untuk sekedar mengingat nama. Apa yang mereka miliki pun hanyalah hari ini. Kondisi dimana tidak setiap orang dapat merasakan aliran waktu dalam
sepotong kisah, seperti pula bayangan dari cahaya lampu yang menimpa tubuh wujudnya yang murni, dari tubuh yang menjalani bahwa ; “masa lalu hanyalah satu-
mereka. Dimana gubuk menjadi panggung tumpahnya segala pikiran dan angan- satunya yang kita ingat hari ini, ketika perubahan demi perubahan terus berlanjut”.
angan. Berkali-kali bercerita dan berlatih menerima penghargaan, namun tetap saja Mulai dari asal usul dirinya lahir, hingga menjadi tua di tengah-tengah mitos negara
tak ada siapapun yang mengantarkannya, kecuali para 'pendemo' yang datang dan kota. Lantas bagaimanakah perubahan dapat dibaca ? tentunya tak ada cara
merubuhkan gubuk. lain selain daripada menjalaninya, apa lagi di tengah kehidupan masyarakat kini,
ketika seluruh pertanyaan kembali pada pertanyaan lagi.
Dalam pertunjukan ini, dramaturgi tidak hanya sekedar memperlihatkan
bagaimana keduanya menjalani hidup, “adil sejak dalam pikiran seperti kata Pram,
katamu”, juga sekaligus berfungsi sebagai kritik pada diri sendiri-yang terlanjur Cahaya pada pertunjukan ini hadir melalui dua ruang ; pertama, melalui
berhasrat menginginkan penghargaan. Lewat cerita-cerita yang dibawakan Sarmin cahaya yang menandakan bahwa waktu tidak akan pernah menunggu, dan kedua,
itulah keduanya dapat menemukan jawaban atas dunia nyata, juga atas melalui cahaya harapan di waktu tua. Namun dimanakah negara ketika
kebingungan mereka di masa tua. segeromboloan massa meruntuhkan rumah Sarmin dan Rahman, apakah mereka
bersembunyi di dalam dinding rumah dan piagam-piagam palsu, ataukah mereka
Keaktoran Budi Laksana (Sarmin) dan Deri Efwanto (Rahman) tak dapat terselip diantara baju lusuh, meja-kursi dan buku-buku cerita, atau pada kopi yang
diragukan lagi, teks-teks di mulut mereka seumpama kayu bakar dalam tungku, tinggal seujung sendok.
telah menubuh menjadi bayangan dari kompleksitas. Baik Sarmin maupun
Rahman, dalam menyusuri hari-harinya tak henti menggali, Menangguhkan dan
Sarmin dan Rahman mungkin menyimpan negara di dalam surat undangan
membangun kembali hal yang mereka yakini. Sebuah situasi dimana kecemasan
terus ditangguhkan dan kesadaran digantung, kiranya begitulah situasi yang buatan sendiri, ketika pada akhirnya “kebaikan dan penghinaan-pun tak ada
diusung oleh Iswadi Pratama (Teater Satu Lampung) dalam pertunjukan “Orang- bedanya”. Ketika Sarmin dan Rahman terlanjur ditinggalkan oleh anak-istrinya,
orang setia” (1/12), pada pembukaan Festival Teater Jakarta yang berlangsung di senyum mereka pun menjadi akhir dari identitas kewargaan, sebagai Black-Out dari
Teater Kecil-TIM. Kenyataan ini menunjukan bahwa manusia tak lebih dari sekedar Indonesia yang absen.
ruang yang kosong. Menemukan, merasa puas, lalu kecewa dan mencari lagi.
Begitulah manusia hidup, ia akan terus tumbuh dalam siklus kehilangan. Jhon Heryanto
CAHAYA DAN KETER
Workshop FTJ-43, Tata C
C
ahaya menjadi kajian dan praktik yang
akan diuji coba dalam helatan Festival
Teater Jakarta yang ke-43. Pada tahun
2015 ini, perumus platform festival
telah menetapkan bahwa hal-hal intrinsik
dalam pemanggungan teater-lah yang akan
menjadi olahan utama dalam bereksperimen.
Dengan tema besar 'Menata Laku, Menata
Panggung' yang akan diurai selama tiga tahun
festival secara berurutan, yaitu : 'Teater dan
Cahaya', 'Teater dan Bunyi' serta 'Teater dan
Rupa'.
D
i panggung terlihat seorang laki-laki berkaca mata sedang berdiam di belakang meja dan
menyembunyikan tubuhnya di balik laptop, barangkali ia sedang mengetik. Begitulah Peristiwa
'Istahar' bermula. Hingga lahirlah kisah roro mendut dan pronocitro, superman melawan gatot
kaca, dan pimpinan pemberontak yang membunuh raja. Semua kisah tersebut disertai dengan kisah
sampingan, sebuah narasi tentang keluarga anjing yang menjadi ayah dari semua tokoh.
Tata cahaya dalam pertunjukan hadir sebagai latar peristiwa antara yang nyata dan yang hanya
berlangsung di dalam kepala. Kehadiran data-data gambar dari infokus seperti usaha menyapu seluruh
set yang hadir. Infokus menjadi perebut teks, menyudahi lampu, kursi, dinding dan gambar-gambar
anak-anak. Sedangkan laptop dan kacamata yang digunakan Surya menjadi artefak dari
berlangsungnya peristiwa di panggung. Pada laptop-lah seluruh gagasan naskahnya tumpah.
Sedangkan kacamata menjadi penanda tentang bagaimana dirinya hidup bersama keluarga anjing.
Sang tokoh dalam 'istahar' hadir dengan laku tubuh yang distorsif dan gestur-gestur komikal.
Berubah dan berulang dalam peristiwa yang sama. Tubuh bagi Surya serupa museum, dimana sistem
penyimpanan arsip dilakukan secara manual. Misalnya, ketika muncul narasi keluarga anjing, Surya
tidak hanya sekedar menceritakannya-tetapi ia juga memperagakannya, seperti menjadi gatot kaca
ataupun menjadi superman. Tubuhnya senantiasa berada pada situasi ombang-ambing, antara tubuh
yang bimbang dan teks-teks ujaran yang lebih berbahasa daripada pertunjukannya. Berbagai ikon tokoh
populer hadir menyusupi tubuh remaja (anak-anak papa anjing). Tantra yang digambarkan surya
sebagai gadis pemberontak, memiliki kecenderungan mengikuti karakter tokoh film yang populer akhir-
akhir ini.
Secara keseluruhan peristiwa dalam 'Istahar', Teater nonoton memperlihatkan bagaimana cara
mencintai apa yang dipilih. Bila Antonin Artaud masuk rumah sakit jiwa dalam proses mencari bahasa
Teater, maka Surya masuk rumah sakit jiwa semata-mata karena suntuk menulis naskah teater dan
nyatanya teks-teks 'Istahar' memang benar-benar 'gila'.
Jhon Heryanto
S
emakin larut, malam-pun telah menjadi orang lain.
Pemuda tersebut tidak ingin masuk lebih dalam pada
orang lain yang telah dibangun ayahnya. Sebab baginya,
orang tua hanyalah omong kosong.
dari dulu
penonton dan memotret apapun berakting memotret. Kesadaran-
yang ada di atasnya. Cklek,cklek kesadaran pemeranan yang
Bunyi dari dasar kamera yang menghasilkan produksi
berusaha membekukan apa-apa pembesaran dalam posisi
T
mengarsipkan ragam kesenian.
idak ada sejarah tanpa kuasa arsip, dan tidak dokumen mengenai etnis Indian-terutama yang
ada arsip tanpa kuasa teknologi. Lalu, berelasi dengan musik, namun kerja yang dimulainya Ugeng T Moetidjo lebih banyak
pertanyaannya adalah ; kapankah sebuah sejak tahun 1904 tersebut baru mampu diapresiasi mempertanyakan ulang kembali mengenai sifat arsip
teks/peristiwa dinyatakan sebagai sejarah, dan oleh publik pada tahun 1920, sekitar 15 tahun sebagai dokumentasi, dan apa yang sebenarnya
siapakah yang melembagakannya sebagai sejarah. kemudian. Ugeng T Moetidjo (peneliti seni rupa dan mengkonstruksi arsip. Mungkinkah arsip dapat steril
film) , juga salah satu pembahas diskusi tematik- dari makna kuasa. Sebuah foto pertunjukan misalnya,
Kuasa dan teknologi, kedua hal penting yang tak mengasosiasikan kerja pengarsip sebagai tindakan yang telah menjadi arsip, dan tidak pernah kita lihat
mungkin hilang dalam medan pengarsipan. Dimana kerja di antara kuburan, profesi bagi mereka yang pertunjukannya, sudah diselubungi oleh berlapis-lapis
kuasa hadir sebagai pencipta pemaknaan atas tindak kegirangan di antara tumpukan kematian, menggali kuasa terhadapnya, lapisan kuasa dari ; fotografer,
pengarsipan, dan teknologi hadir sebagai medium dan mendata ulang jenazah peristiwa. editor dan scanner foto, penulis berita, hingga berakhir
perekam bakal arsip. di tangan museolog. Sebuah arsip selalu adalah lilitan
Kerja pengarsip memang kerja yang tak dari banyak lapisan kuasa, dan pemaknaan pada arsip-
Misalnya saja, Francis Densmore (1867-1957) berpenghuni, diantara produksi agenda seni yang pun menjadi tindakan aktif perawatan atasnya.
etnografer dan musikolog Indian ; pertama kali membengkak setiap harinya, kerja pengarsip tentu
meletakkan sejarah pengarsipan, dengan merekam menjadi berlipat berat sebab pra-syarat yang harus Terakhir, Ugeng T Moetidjo mengajak publik
suara seorang kepala suku Indian melalui teknologi dimilikinya. Selain membutuhkan waktu bertahun- untuk membaca kembali arsip-arsip foto FTJ, dirinya
perekam Gramofone. Pertanyaannya adalah, apakah tahun untuk mengerami satu objek pengarsipan, memperlihatkan beberapa foto pertunjukan teater-
tidak ada hubungan kekuasaan yang berlangsung di pengarsip-pun membutuhkan dana,ruang dan waktu FTJ. Diantaranya adalah pentas teater yang
sana. Antara antropolog dengan objek riset-nya, antara yang memadai. dipertunjukkan di Teater Arena dan Teater Kecil,
yang datang dari eropa dan yang wajib direkam di luar kedua bangunan yang telah dihancurkan dan diganti
eropa, antara Gramofone sebagai teknologi juga Endo Suanda menyebutkan bahwa seorang menjadi Teater Kecil dan Graha Bakti Budaya.
Gramafone sebagai pembeku kuasa makna. pengarsip yang berada di bawah institusi penelitian Mungkinkah kita sendiri sedang berdiri di atas arsip,
profit akan lebih mudah dalam melakukan kerja menduduki dan menginjaknya. Ataukah kita tetap
Endo Suanda (etnomusikolog,arsipis), salah kearsipannya. Karena selain disokong oleh dana berada bersama mereka melalui foto. Berdiri juga
satu pembahas diskusi tematik 'Masa Depan Arsip ; penelitian dari Institusi, pengarsip-pun lebih mudah bersama-sama dalam sebuah museum kematian.
Teknologi dan Akses Pengetahuan' memutarkan video dalam melakukan akses riset kemanapun. Berbeda
tersebut sebagai skema awal pembahasan. misalnya dengan pengarsip mandiri yang mesti Riyadhus Shalihin
mendanai dan mencari sendiri akses-akses
kearsipannya.
Riyadhus Shalihin-Redaktur
lahir di Bandung, 1989. Menyelesaikan studi penyutradaraan di Jurusan Teater STSI Bandung (2010-2015). Karya terakhir ; Biografi Tomat dan Batu (Afrizal Malna & Hanafi), Pertemuan Dalam Lubang Jarum (Hanafi
& Kiki Sulistyo), Jarak Tajam (Pina Bausch) dan Kapai-Kapai (Arifin C Noer). Residensi dramaturgi di lab-virgin Filipina, penyutradaraan di studiohanafi depok, dance-lab di nuart sculpture park Bandung dan penelitian
seni rupa di ruangrupa jakarta. Sejak 2010 bekerja di mediateater bandung sebagai peneliti dan penulis
John Heryanto-Penulis
Performance artist. Mahasiswa studi penelitian Jurusan Teater STSI Bandung. Karya terakhir : Underdog (International Mask & Puppet Festival) artefak (Sokaraja Bigar#2-Performance Art Festival) Mikrophonik
(International Mask & Festival). Berkolaborasi bersama Larry Red (Meksiko), Caterina Hassal & William Brugmen (Australia). Saat ini sedang melakukan penelitian tentang Teater Sae dalam rangka studi skripsi S-1.
Bergiat di LPM Daunjati, sebagai peneliti dan penulis.
Ganda Swarna-Penulis
Lahir di medan, 1992. mahasiswa studi penelitian di Jurusan Teater Institut Seni Budaya Indonesi (ISBI) Bandung. Aktif di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Daunjati. pernah menempuh studi di Sekolah Menengah
Kejuruan Musik (SMKN 11) Medan. Karya terakhir : aktor di naskah kapai-kapai karya arifin c noer, video performance : fuck art dan my name is disappear (Reanactment dari Antonin Artaud)
Shabrina Salsabila-Editor
Pengkaji sastra. Studi linguistik pada Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Negeri Jakarta. Sedang meneliti hubungan syaraf manusia dan struktur tanda bahasa-pada beberapa pusat syaraf dan rumah sakit di
Jakarta