Anda di halaman 1dari 8

Des

3/15
SELEPAS BIOGRAFI :
MEMAKNAI KEMBALI
CAHAYA, BUNYI DAN RUPA
Press conference FTJ-43, Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki.

S ore itu seorang jurnalis bertanya kepada para narasumber press conference FTJ ke 43 tahun 2015 ;
Dewi Noviami (Ketua Komite Teater DKJ), Malhamang Zamzam (PO-FTJ), Anto Ristargie (SC-
FTJ) dan Irawan Karaseno (Ketua DKJ). Jurnalis ; Maaf, mengapa akhirnya tema cahaya yang
menjadi gagasan festival, bukan tema yang mempersoalkan keadaan sosial dan lingkungan Kota Jakarta ?
maaf, sepenting apakah cahaya sehingga harus dijadikan tema festival ?
Press Conference yang dimulai dari pukul 14.00 WIB ini menelusuri inchi demi inchi
pembentukan lembaga FTJ. Dimulai dari kesejarahannya secara pribadi hingga institusi yang
menaunginya secara lebih besar, yaitu ; DKJ (Dewan Kesenian Jakarta). Irawan Karaseno sebagai ketua
DKJ memberikan pintu masuk imaji mengenai lembaga yang masih diketuainya, dimana sejak tahun 1968
kali pertama DKJ didirikan. Gairah penciptaan dan persaingan artistik telah hadir menjadi semangat
Dewi Noviami (Ketua Komite Teater DKJ) memberikan penjelasan yang mengurutkan pertama- pertumbuhan, baik pertarungan yang terjadi antar komite maupun di dalam komite masing-masing. Sejak
tama ikhwal kronologis tematik FTJ dari tahun ke tahun dan kenapa akhirnya harus tema 'Teater dan 1970, ketika Ali Sadikin mengesahkan DKJ pertama kali-dirinya berkata bahwa “sejak dahulu,
Cahaya' (2015) yang menjadi acuan artistik di tahun ini. FTJ sendiri memiliki tradisi penciptaan platform dimanapun juga, roh setiap kota berada di dalam pusat kesenian dan museum-museum”. Maka jelaslah,
konseptual, yang dari sanalah maka setiap tiga tahun sekali akan diuraikan secara lebih spesifik sub-sub melalui pernyataan tersebut, sewajarnya mesti hadir program-program yang mampu menggelorakan
tema yang lebih rinci. Tema pada tahun ini adalah sub-tema pertama dibawah platform besar festival kegelisahan artistik di dalam tubuh komite DKJ. Kehadiran FTJ sendiri menjadi tawaran kongkrit dari
'Menata Laku, Menata Panggung'. Yaitu sebuah sikap artistik festival, untuk kembali menelaah dan komite teater untuk menjawab antusiasme Ali Sadikin pada kesenian sebagai pemberadaban kota.
memeriksa kondisi dapur penciptaan bentuk, di masing-masing kelompok. Memahami dan memaknai Tetapi pertanyaannya kini adalah, apakah hanya pergulatan artistik di atas panggung yang diusung
kembali (panggung) inilah yang pada akhirnya menjadi terurai dalam 3 rangkaian sub-tema setiap oleh FTJ-43. Dewi Noviami selaku ketua Komite Teater, didampingi oleh Malhamang Zamzam (P.O FTJ)
tahunnya, yaitu 'Teater dan Cahaya' (2015), 'Teater dan Bunyi' (2016), hingga terakhir 'Teater dan Rupa' menjelaskan, selalu ada program yang juga beririsan dengan jalannya kompetisi, dan yang selalu berbeda
(2017). Obsesi akhirnya adalah para teaterawan festival mampu fasih dalam mengulik dan menggunakan di tiap tahunnya. Pada FTJ-43 sendiri akan ada beberapa irisan program, yaitu ; 'Dokumata-Meruangnya
berbagai elemen intrinsik panggung dan mampu menciptakan sebuah bahasa artistik yang menjadi ciri Penglihatan ; Pameran Dokumentasi Foto Pertunjukan FTJ' di Lobi Teater Kecil, 'Diskusi Tematik ; Masa
khasnya sendiri. Depan Arsip ; Teknologi dan Akses Pengetahuan' bersama Endo Suanda & Ugeng T Moetidjo, 'Diskusi
Menyoal pertanyaan ikhwal pembacaan terhadap teks sosial dan lingkungan, Dewi Noviami Tematik ; Peran Cahaya dalam Pertunjukan' bersama Joko Kurnain, 'Pembacaan Naskah dan Diskusi ;
menjelaskan bahwa penajaman terhadap teks-teks yang berelasi dengan diri dan sekitar sendiri telah Album Keluarga #50 tahun 1965' bersama Benny Yohanes & Dolorosa Sinaga, 'Diskusi Pertunjukan
dilakukan sejak tahun 2010 hingga 2012. Caranya adalah dengan menggagas tema 'Membaca aku, Peserta oleh Pengamat' bersama Azuzan JG & Semi Ikra Anggara, 'Pertunjukan Pembuka' dari Teater
Membaca Laku' sebagai platform dasar festival. Platform tersebut bertitik berat pada cara pembacaan Satu Lampung ; 'Orang-Orang Setia' ; karya/sutradara Iswadi Pratama, dan 'Pertunjukan Penutup' dari
narasi kultural sebagai teks, dibandingkan proses penerjemahan teks melalui siasat artistik di atas Teater Ghanta ; 'Ruang Tunggu Darurat', adaptasi buku puisi 'Berlin Proposal' Afrizal Malna - Sutradara
panggung. Di tahun tersebut, konsepsi festival lebih mengkhususkan pada pengamatan terhadap teritori Yustiansyah Lesmana.
biografis, agar para teaterawan festival mampu (pulang) dan menyuntuki narasi-narasi yang lahir dari diri Jika teater adalah sebuah proses mencari bahasa, maka cahaya sebagai salah satu elemen artistik
mereka, juga lingkungan di sekelilingnya. dalam panggung teater haruslah mampu membantu penciptaan tersebut. Jika proses pulang kembali pada
hal-hal elementer dalam panggung disikapi dengan intens, bukan tidak mungkin akan membukakan diri
Menggentingnya kembali dapur bentuk terhadap tersingkapnya bahasa baru dalam teater. Melalui titik tolak cahaya yang elementer tersebut, juga
bukan tidak mungkin akan lahir tema tersendiri. Sebuah tema yang lahir dari bentuk. Sebuah peristiwa,
Bertempat di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki, press conference FTJ yang ke 43 dimana teks teknislah yang melahirkan tema pada teater. 'Teater dan Cahaya', FTJ-43 (2015) akan
dilaksanakan. Acara yang berlangsung pada tanggal 25 November 2015 ini bertujuan menjadi jembatan mencari dan menguji coba berbagai asumsi artistik, menjadi laboratorium bagi eksperimen teknik cahaya
informasi kepada awak media dan perwakilan peserta. Dimana mereka dapat mengulik mengenai seluk- dan efek sosial yang dihasilkan olehnya. Riyadhus Shalihin
beluk penyelenggaraan festival, baik dari sisi tematik hingga rincian teknis per harinya.

Redaksi
Riyadhus Shalihin-redaktur
Ganda Swarna-penulis
John Heryanto-penulis
Fidelis Krus Yosua-desain & layouter
Shabrina Salsabila-Editor
Dyan Sinta Indriyani-Fotografer
PADA KOPI YANG TINGGAL SEUJUNG SENDOK
Pembukaan FTJ-43, Teater Satu Lampung - “Orang-Orang Setia”, Karya/Sutradara: Iswadi Pratama.

Serupa hidup dalam ruangan tembok yang gelap, kedua lelaki tua itu-pun
hanyalah tipis cahaya yang menembus lubang dinding. Ketika seluruhnya telah “Kita hanya hidup dalam cerita-ceritamu dan seolah-olah kita seperti tokoh-
bolong, bahkan tembok pun tak ada. Ia bukan apa-apa, sebab ia hanya cahaya yang tokoh tersebut” (Rahman)
dipantulkan dari terang ke mata dan hilang diujung tatapan.
Apa yang dilakukan Sarmin dan Rahman dalam pertunjukan “Orang-Orang
Kiranya, begitulah nasib Sarmin (guru honorer) dan Rahman (penjaga mayat)
sepanjang hidupnya. Tak ada siapa pun yang memberi mereka penghargaan, Setia”, yang berlangung selama 90 menit, merupakan sebuah alternatif bagi kondisi
bahkan untuk sekedar mengingat nama. Apa yang mereka miliki pun hanyalah hari ini. Kondisi dimana tidak setiap orang dapat merasakan aliran waktu dalam
sepotong kisah, seperti pula bayangan dari cahaya lampu yang menimpa tubuh wujudnya yang murni, dari tubuh yang menjalani bahwa ; “masa lalu hanyalah satu-
mereka. Dimana gubuk menjadi panggung tumpahnya segala pikiran dan angan- satunya yang kita ingat hari ini, ketika perubahan demi perubahan terus berlanjut”.
angan. Berkali-kali bercerita dan berlatih menerima penghargaan, namun tetap saja Mulai dari asal usul dirinya lahir, hingga menjadi tua di tengah-tengah mitos negara
tak ada siapapun yang mengantarkannya, kecuali para 'pendemo' yang datang dan kota. Lantas bagaimanakah perubahan dapat dibaca ? tentunya tak ada cara
merubuhkan gubuk. lain selain daripada menjalaninya, apa lagi di tengah kehidupan masyarakat kini,
ketika seluruh pertanyaan kembali pada pertanyaan lagi.
Dalam pertunjukan ini, dramaturgi tidak hanya sekedar memperlihatkan
bagaimana keduanya menjalani hidup, “adil sejak dalam pikiran seperti kata Pram,
katamu”, juga sekaligus berfungsi sebagai kritik pada diri sendiri-yang terlanjur Cahaya pada pertunjukan ini hadir melalui dua ruang ; pertama, melalui
berhasrat menginginkan penghargaan. Lewat cerita-cerita yang dibawakan Sarmin cahaya yang menandakan bahwa waktu tidak akan pernah menunggu, dan kedua,
itulah keduanya dapat menemukan jawaban atas dunia nyata, juga atas melalui cahaya harapan di waktu tua. Namun dimanakah negara ketika
kebingungan mereka di masa tua. segeromboloan massa meruntuhkan rumah Sarmin dan Rahman, apakah mereka
bersembunyi di dalam dinding rumah dan piagam-piagam palsu, ataukah mereka
Keaktoran Budi Laksana (Sarmin) dan Deri Efwanto (Rahman) tak dapat terselip diantara baju lusuh, meja-kursi dan buku-buku cerita, atau pada kopi yang
diragukan lagi, teks-teks di mulut mereka seumpama kayu bakar dalam tungku, tinggal seujung sendok.
telah menubuh menjadi bayangan dari kompleksitas. Baik Sarmin maupun
Rahman, dalam menyusuri hari-harinya tak henti menggali, Menangguhkan dan
Sarmin dan Rahman mungkin menyimpan negara di dalam surat undangan
membangun kembali hal yang mereka yakini. Sebuah situasi dimana kecemasan
terus ditangguhkan dan kesadaran digantung, kiranya begitulah situasi yang buatan sendiri, ketika pada akhirnya “kebaikan dan penghinaan-pun tak ada
diusung oleh Iswadi Pratama (Teater Satu Lampung) dalam pertunjukan “Orang- bedanya”. Ketika Sarmin dan Rahman terlanjur ditinggalkan oleh anak-istrinya,
orang setia” (1/12), pada pembukaan Festival Teater Jakarta yang berlangsung di senyum mereka pun menjadi akhir dari identitas kewargaan, sebagai Black-Out dari
Teater Kecil-TIM. Kenyataan ini menunjukan bahwa manusia tak lebih dari sekedar Indonesia yang absen.
ruang yang kosong. Menemukan, merasa puas, lalu kecewa dan mencari lagi.
Begitulah manusia hidup, ia akan terus tumbuh dalam siklus kehilangan. Jhon Heryanto
CAHAYA DAN KETER
Workshop FTJ-43, Tata C

C
ahaya menjadi kajian dan praktik yang
akan diuji coba dalam helatan Festival
Teater Jakarta yang ke-43. Pada tahun
2015 ini, perumus platform festival
telah menetapkan bahwa hal-hal intrinsik
dalam pemanggungan teater-lah yang akan
menjadi olahan utama dalam bereksperimen.
Dengan tema besar 'Menata Laku, Menata
Panggung' yang akan diurai selama tiga tahun
festival secara berurutan, yaitu : 'Teater dan
Cahaya', 'Teater dan Bunyi' serta 'Teater dan
Rupa'.

Tahun ini, Teater dan Cahaya akan


mengawali prosesi panjang penguraian
tematik 'Menata Laku, Menata Panggung', dan
berdasarkan konsep tersebut-lah maka
seluruh praktik kerja FTJ yang ke 43-akan
menggerus segala problem artistik yang
bersumber dari 'Cahaya'. Mulai dari
pertanyaan-pertanyaan genting yang
mendasar tentang apa itu cahaya, mengapa
memerlukan cahaya, atau akankah teater
dapat hadir tanpa cahaya. Hingga juga
pertanyaan-pertanyaan terpraktis mengenai
bagaimana seharusnya cara kerja cahaya,
teknik pencahayaan dan simulasi kerja cahaya
pada panggung teater. Segala permasalahan
tersebut akan diolah dan diaduk, dari secara
penelusuran kesejarahan, konsep, dan
pewacanaannya di dalam medan teater, hingga
pengaplikasiannya secara taktis melalui
berbagai ragam teknik kerja pencahayaan.

Mengawali agenda panjang FTJ-43


tersebut, Sonny Soemarsono, seorang
skenografer dan penata cahaya seni
pertunjukan, pengajar skenografi-Jurusan
Teater IKJ memberikan pemahaman-
pemahaman mendasar tentang konsepsi
cahaya, hingga penerapannya pada kerja di
atas panggung. Workshop yang diadakan dari
tanggal 22-24 November 2015 ini diikuti oleh
utusan peserta workshop dari wilayah, mereka
antara lain Fajar Aditya (Teater Nonton),
Yaskur Parondina (Teater So-Profesional),
Andi Triatno (Teater Manekin), Lazuardi Tri
Hendarsyah (Sanggar Teater Jerit), Wahyu
Budiman Dasta (Teater Galaxy), Rangga
Armayansiah (Teater Alamat), Zulfi Ramdoni
(Teater El-Nama), Yoko Cakrawala (Teater
Indonesia), Ica Fikriyah (Pintu Kereta), Eggy
(Unlogic Teater), Idris Senopati (Lab Study
Teater), Riska Irmayanti (Teater Samudera
Indonesia), Rochmad Tono (Teater Baru), Ipoer
Wangsa (Teater Gumilar), Rofinus Dasilva
(Teater Tema), Ryan Fhalefi ( Sanggar
Kummis), Boby Kardi (Teater Fatima).

fade-in, fade-out, wayang kulit dan


tekstur ruang

Pertama-tama Sonny Soemarsono


memberikan pemahaman tentang perbedaan
lighting designer dan lighting
programmer/lighting operator. Sudah
semestinya seorang desainer cahaya adalah
seseorang yang berada di luar lighting board
(ruang operasional pengatur cahaya), dirinya
harus berada di luar agar dirinya mampu
merasakan dari berbagai arah keseluruhan
ritmikalitas cahaya yang sedang berlangsung
di atas panggung. Mengapa mesti di luar,
karena dengan seperti itu maka desainer
cahaya mampu mengatur akurasi dan presisi cahaya yang terjadi, dirinya mesti peka dengan pertunjukan tampil sebagai sinematografer dan skenografer sekaligus, menciptakan
kepekatan-kepekatan intensi cahaya, teliti dalam melihat fade-in, fade-out, black-in, dan peristiwa kediantaraan yang terus menerus. Pertunjukan wayang kulit tumbuh oleh
black-out, rinci dalam merasakan nafas transisi adegan peradegan. Persis seperti kerja rembesan cahaya obor, dari berlangsungnya proses pendimensian dan imaji peristiwa di
sutradara yang merasakan hidupnya adegan per adegan yang tumbuh dari kerjasama-nya balik pakeliran. Kerja cahaya pada beberapa teater tradisi memang lebih menjadi kerja
dengan actor. Begitu pula kerja seorang desainer cahaya serupa, dirinya harus berada di luar imaji keruangan daripada kerja teknik teknologis.
agar mampu melihat pertumbuhan artistik yang lahir dari resapan cahaya. Lighting dan
segala elemen teknikal yang ada di dalamnya adalah medium keaktoran tersendiri bagi Hal tersebut namun masih mampu dibaca ulang, baik oleh perangkat dramaturgi
seorang penata cahaya. modern maupun tradisi, atau tidak oleh kedua-duanya. Namun apa yang akan diusung
dalam workshop ini, yang dapat langsung dilihat melalui tempat berlangsungnya workshop
Dalam sejarah seni pertunjukan Indonesia sendiri, tata cahaya sebenarnya telah (Teater Kecil-TIM), jelas prinsip-prinsip tata cahaya dramaturgi modernlah yang akan
menjadi medium yang jamak dalam penciptaan bahasa pertunjukan, misalnya dalam dialaskan kepada para peserta workshop. Konsepsi teater modern lahir lengkap dengan
wayang kulit. Di sana kita dapat melihat bayang-bayang yang terciptakan dari kulit, kelir gagasan juga turunan infrastrukturnya dan posisi lighting designer pun dilahirkan olehnya,
dan api obor, bebayang tersebut menampilkan figur-figur wayang yang mampu menciptakan lengkap dengan segala medium peralatan yang mesti mampu dikuasainya.
tekstur keruangan. Kemudian dalang sebagai sutradara yang ikut berada di dalam
RLIBATAN DI ANTARA
Cahaya : Sonny Soemarsono
Tata Cahaya adalah medium
seni pemanggungan yang
menggunakan logika optikal, yaitu
logika yang berdasar dari cara berfikir
mata, bagaimana ketika penonton
membuka matanya, di sanalah logika
optis bekerja. Di mana mata
mengendur, mengecil, melebar,
memicing, membelalak ataupun redup
terjadi, dimana retina dan pupil
menjadi bagian penting dari kerja
tersebut. Melalui logika optiklah,
Sonny Soemarsono memberikan sistem
simulasi yang memanfaatkan secara
rinci kerja mata, antara cahaya yang
masuk dari kanan dan kiri panggung,
cahaya yang mengecil di tengah
panggung, cahaya yang melebar dari
atas dan meredup di kursi penonton,
juga volume kepekatan yang terjaga
dari membesar dan mengecil mata.
Sebuah sistem peristiwa, ketika
penonton datang dan siap menonton
dari keadaan pertama gedung yang
gelap gulita hingga pertama-tama
membuka matanya mengikuti alur
pertunjukan.

Workshop Sonny Soemarsono


memberikan plot teater sendiri, sebuah
plot yang diterima mata penonton dari
mulai hadirnya cahaya hingga
menghilangnya cahaya dari panggung,
sebuah kronologi tontontan yang
didasari dari cara kerja optis cahaya,
sistem dramaturgis cahaya.

Bisakah pengadeganan tumbuh


dari cahaya. Beberapa kelompok
utusan dari wilayah memperlihatkan
kerja simulasi tentang adegan adegan
cahaya, yaitu adegan yang hadir dari
kemandirian cahaya. Ada yang
menarasikan urutan per urutan cue
cahaya, ada juga yang mampu
menghasilkan efek sinematis dari
cahaya, namun ada juga yang mampu
memberikan alur peristiwa atas
pencahayaan-nya. Sonny Soemarsono
memberikan ulasan per presentasi,
memberikan revisi dan telaahnya,
hingga akhirnya karya-karya cahaya
dari para peserta workshop menjadi
halus dan mampu menemukan
dinamikanya. Sonny Soemar sono
membiarkan eksperimen tersebut
tumbuh dengan dasar-dasar kecakapan
teknis yang sudah digulirkan olehnya,
ia kini hanya memberikan penghalusan
yang akan lebih membuat nyaman
mata.

Di luar itu semua, Sonny Soemarsono


yang telah bekerja bersama ;
Sardono.W.Kusumo, Garin Nugroho,
Putu Wijaya, Boedi S Otong, dan Arifin
C Noer tersebut merasakan bahwa
cahaya adalah kepekaan dan
kepekatan yang tumbuh dari interaksi
lintas disiplin. Dibawah bimbingan
Roedjito dan Nashar, ia akhirnya
merasakan denyut tata skeneri dan
cahaya adalah jalan hidupnya, maka
Sonny Soemarsono dalam kerja-kerja pencahayaannya mengutamakan aktivitas dirinya pun mulai larut dalam latihan
komunikasi lintas-awak, antara dirinya dengan aktor, koreografer, sutradara, dan penari. latihan teater/tari di areal TIM. Tidak hanya itu, dirinya pun (tanpa disadarinya) bergerak
Dirinya selalu menempatkan diri bersama-sama dan berada di antara, berproses, dan ikut sebagai salah satu arsip sejarah FTJ. Ia pun telah lama larut berada di antara kelompok
tumbuh. Sonny Soemarsono tidak ingin menjadikan cahaya sebagai pemanis atau finishing teater FTJ, terutama pada FTJ-di era 1970-1980, dimana dirinya ikut lesap melihat
semata dari karya pertunjukan. pertumbuhan artistik setiap kelompok FTJ, memberikan apa yang bisa dia bantu, terutama
pada wilayah skeneri dan cahaya. Sonny Soemarsono adalah salah satu arsip berjalan FTJ,
Maka dirinya pun harus suntuk mengetahui kerja artistik antara sutradara dengan yang berada di belakang layar, suntuk mengerjakan berbagai pertumbuhan set, membantu
aktornya, penari dengan koreografernya, lesap-terlibat, intens serta memberikan banyak kelompok-kelompok FTJ, mengalami konflik artistik yang lahir dari FTJ, dan
penawaran-penawaran artistik. Baginya cahaya adalah kehadiran, sesuatu yang mesti berbagai peristiwa/penemuan yang lahir dari sejarah FTJ. Seluruh lalu yang kini baur
mampu mengikat cuaca pertunjukan, dimana antara aktor dan penari menjadi mampu menjadi dokumentasi dalam dirinya.
melampaui dirinya, bertenaga dari kehadiran cahaya yang meruangkan tubuhnya,
menghidupkan ritme pertunjukan dan melipatgandakan apa-apa yang terbatas di atas Riyadhus Shalihin
panggung.
skizofrenia bahasa teater
dan teater bahasa
Teater Nonton, 'Istahar' – Karya/Sutradara ; Diky Soemarno

D
i panggung terlihat seorang laki-laki berkaca mata sedang berdiam di belakang meja dan
menyembunyikan tubuhnya di balik laptop, barangkali ia sedang mengetik. Begitulah Peristiwa
'Istahar' bermula. Hingga lahirlah kisah roro mendut dan pronocitro, superman melawan gatot
kaca, dan pimpinan pemberontak yang membunuh raja. Semua kisah tersebut disertai dengan kisah
sampingan, sebuah narasi tentang keluarga anjing yang menjadi ayah dari semua tokoh.

Tata cahaya dalam pertunjukan hadir sebagai latar peristiwa antara yang nyata dan yang hanya
berlangsung di dalam kepala. Kehadiran data-data gambar dari infokus seperti usaha menyapu seluruh
set yang hadir. Infokus menjadi perebut teks, menyudahi lampu, kursi, dinding dan gambar-gambar
anak-anak. Sedangkan laptop dan kacamata yang digunakan Surya menjadi artefak dari
berlangsungnya peristiwa di panggung. Pada laptop-lah seluruh gagasan naskahnya tumpah.
Sedangkan kacamata menjadi penanda tentang bagaimana dirinya hidup bersama keluarga anjing.

Sang tokoh dalam 'istahar' hadir dengan laku tubuh yang distorsif dan gestur-gestur komikal.
Berubah dan berulang dalam peristiwa yang sama. Tubuh bagi Surya serupa museum, dimana sistem
penyimpanan arsip dilakukan secara manual. Misalnya, ketika muncul narasi keluarga anjing, Surya
tidak hanya sekedar menceritakannya-tetapi ia juga memperagakannya, seperti menjadi gatot kaca
ataupun menjadi superman. Tubuhnya senantiasa berada pada situasi ombang-ambing, antara tubuh
yang bimbang dan teks-teks ujaran yang lebih berbahasa daripada pertunjukannya. Berbagai ikon tokoh
populer hadir menyusupi tubuh remaja (anak-anak papa anjing). Tantra yang digambarkan surya
sebagai gadis pemberontak, memiliki kecenderungan mengikuti karakter tokoh film yang populer akhir-
akhir ini.

Secara keseluruhan peristiwa dalam 'Istahar', Teater nonoton memperlihatkan bagaimana cara
mencintai apa yang dipilih. Bila Antonin Artaud masuk rumah sakit jiwa dalam proses mencari bahasa
Teater, maka Surya masuk rumah sakit jiwa semata-mata karena suntuk menulis naskah teater dan
nyatanya teks-teks 'Istahar' memang benar-benar 'gila'.

Jhon Heryanto

PISAU UNTUK DUA PERTEMUAN YANG TERBUNUH


Sanggar Teater Jerit, 'Arwah-Arwah' Karya ; W.B Yeats - Sutradara ; Choki Lumban Gaol

S
emakin larut, malam-pun telah menjadi orang lain.
Pemuda tersebut tidak ingin masuk lebih dalam pada
orang lain yang telah dibangun ayahnya. Sebab baginya,
orang tua hanyalah omong kosong.

Ada arwah wanita muda mengenakan gaun, pria tua,


pelayan, bahkan yang sudah tidak dapat dikenali lagi. Mereka
berada diantara reruntuhan rumah dan sebatang pohon tua
kering. Arwah-arwah itu hilang, lalu muncul lagi secara
bergantian. Arwah-arwah itu tidak hanya muncul sebagai
wujud yang terlihat, tetapi juga hadir sebagai suara diatas
lantai kayu, dan suara derap kuda diatas kerikil batu.

Di antara reruntuhan bangunan tersebut muncul salah


satu arwah, lalu menghilang, dan hanya orang tua tersebut
yang dapat melihatnya. Pertemuan emosi-pun berlanjut hingga
menjadi perkelahian fisik. Pisau yang dulu dipakai untuk
membunuh ayahnya kini dipakai untuk membunuh anaknya.
Arwah-arwah adalah fosil dari ingatan orang tua akan sebuah
tempat yang terus memanggil dirinya. Teks arwah-arwah
diperlakukan sebagai saksi dari kakunya pemikiran orang tua
yang membunuh anaknya sendiri. Pembuktian kuasa dari
keberadaannya yang tidak ingin menurunkan satu garis
keturunan berikutnya.

Naskah arwah-arwah karya WB Yeats disentuh dengan


tekstur ketegangan dari keberadaan manusia, juga melalui
asap dan cahaya yang membentuk bayangan-bayangan. Hilang
dan muncul dari jendela juga pintu rumah. Ajie Fadli Sofiayang
sebagai Orang tua lebih cenderung melakukan kerja
pembacaan puisi atas peran daripada kerja memerankan peran.
Kata-kata berpindah dari ingatan menjadi benda. Membangun sedikit demi
Narasi-narasi kepahitan yang melaju begitu saja, meninggalkan pemuda dengan sedikit puing-puing rumah, daun-daun, menjadi bentuk baru di dalam imajinasi
kebingungan tentang kegilaan sang ayah di belakangnya. penonton. Rumah dan pohon yang menjadi hidup kembali meski sudah lama mati, dan
lalu semuanya kembali mati, seperti orang lain yang baru datang dengan kalimat yang di
Cahaya menjadi penentu perubahan atas ruang pertemuan ayah dan arwah. ulang-ulang setelah membunuh anaknya. Bagi orang tua hidup adalah ketidakperdulian,
Dimana asap membuat irisan-irisan cahaya, bayangan arwah-arwah yang muncul secara baik pada apa yang hilang juga pada apa yang ada.
bergantian, lalu hilang dengan datangnya Orang tua dan pemuda. Sementara adegan
dimulai dengan pembebanan atas kata-kata, pemberatan yang terus berulang pada Ganda Swarna
kalimat “yang mati akan hidup kembali” sebagai bahasa situasi yang mencekam.
yang tersisa A degan dibangun dari
panggung kosong, ketika
wartawan masuk dari arah
Memunculkan gejala prosa
antara yang benar-benar
memotret dan yang sedang

dari dulu
penonton dan memotret apapun berakting memotret. Kesadaran-
yang ada di atasnya. Cklek,cklek kesadaran pemeranan yang
Bunyi dari dasar kamera yang menghasilkan produksi
berusaha membekukan apa-apa pembesaran dalam posisi

untuk yang kini


yang belum dimulai. Menjadi memotret. Menjadi batas
pengintai pada apa yang belum pemaknaan antara membaca
menjadi kata-kata. tokoh wartawan sebagai peran
dan hadirnya wartawan lain di
Pertunjukan Sttt...!!! karya luar peran.
Teater So'Professional - 'Sssst…!!! Karya ; Ikranagara – Sutradara ; Scotlet Ikranagara yang disutradarai oleh
Scotlet-menjadi pembacaan ulang Pertunjukan pun menjadi
arsip sifat yang disimpan oleh orde berita yang kata-katanya tidak
baru. Dengan strategi yang lagi dibaca tetapi langsung
bermain di antara fakta-fiksi, didengar dan menghasilkan kejut
dongeng-berita, narasi dan di komunikasi. Ketika akhirnya
balik narasi. Tokoh faktual seperti tokoh wartawan tersebut mati
Wartawan (Lentera Langit) sebab melawan cupak, kematian
Gombal (Faqih Khirul) Dongok yang menjadi peristiwa kini,
(Zainal Donat) Seniman (Faozan dimana tidak ada lagi yang dapat
Suwage), dan tokoh fiktif seperti di lihat sebagai bayang-bayang
Cupak (Faiz) Togog (Ndik SP) dan masa lalu. Dimana narasi telah
Intel (Agus Jungkring). bergerak dari yang dulu menjadi
yang kini.
Cupak adalah yang duduk
dalam cemas, diam dalam Gula-gula manis yang enak
ketegangannya, merasa dirinya menjadi kebenaran bagi setiap
utuh ; “hanya Cupak yang boleh perkataan dan perintah cupak.
memperawani gula-gula, yang Kita yang bisa saja berada pada
lainnya harus merasakan dari-ku posisi diantara antek-antek
dari khasiat-ku”. Kecemasan cupak, di antara masa lalu (orde
Cupak selalu ditandai dengan baru), yang kembali diproduksi
suara berita di radio, suara yang dalam pertunjukan. Menjadi
sering membawanya bergerak sesuatu yang dapat dilihat dengan
lebih jauh dari apa yang dia lihat. mata dan didengar dengan
ingatan atau bahkan menjadi
Wartawan selalu muncul ingatan itu sendiri.
dari ruang lain di luar panggung,
mengintai Cupak dengan mata Ganda Swarna
kamera.

selamat datang pasar


ke dalam tubuhku
Teater Manekin, 'Ruang Rias', Karya ; Purwadi Junaedi - Sutradara ; Cheme Ardi

K etika lampu benar-benar menyala,


panggung serupa kotak musik
dengan penari balet yang berputar di
atasnya, seolah menemukan ingatan
diwaktu kecil sebelum tidur meletakan
“Hidup di zaman sekarang, tak lebih sebuah
kemasan dan kosmetik semata”
(Bernandett)

Pengolahan tata cahaya dalam


tubuh dalam mimpi. pertunjukan 'Ruang Rias' menemukan
ruangnya sebagai pernyataan bahasa. Mulai
Perjumpaan pertama penonton dari pikiran yang terkoreografi oleh sensualitas
dengan panggung seperti juga perjumpaan siluet, maupun melalui kilauan 'cat walk' yang
pertama waria dengan majalah fashion yang mengantarkan aktor untuk melakukan
dibacanya, dimana melalui iklan dan penikmatan atas pesona tubuh. Dan aktor,
beritalah dia mampu mengenal banyak hal menemukan dirinya melalui apa yang ada di
tentang fenomena di luar. Perlahan-lahan dalam dan di luar panggung, dimana teks-teks
apa yang dibaca pun menyusup dalam yang diucapkan seakan menebalkan
pikiran. Menjadikan tubuh kita sebagai kenyataan biografi dirinya : tak ada lagi yang
proyeksi figur terhadap apa yang dibaca mempribadi, sebab pasar telah meresap
dalam majalah ; seksi, fashionable dan sampai ke hal terkecil disetiap individu.
glamour. Sebuah fase ketika apa yang dibaca
menjadi pembacaan ulang atas diri kita 'Ruang Rias' hadir di antara lenyapnya
sendiri. tubuh sebagai sesuatu yang asing dalam
etalase toko, manekin dari sebuah kebudayan
Apa yang terjadi di atas panggung bisu. Tidak jelas lagi siapa yang menubuhkan
selama 60 menit dapat dibagi menjadi tiga siapa, semuanya tak dapat lagi dibaca. Dan
peristiwa: pertama, Sarta menemukan pada akhirnya tubuh pun dimiliki oleh kuasa
dirinya dalam citra majalah fashion. Kedua, modal, mulai dari rambut sampai telapak kaki.
Sarta mengalami peralihan dari sekedar Bibir seksi, betis yang mulus dan tubuh
citraan menjadi pandangan, dan ketiga, ramping adalah produksi kehendak untuk
Sarta terperangkap dalam citra yang terus memperindah diri guna mendapatkan
membuat kepemilikan atas tubuhnya nikmat lebih.
hilang. Jhon Heryanto
DI BALIK EKSKAVASI 1973-2014
Diskusi Tematik 'Masa Depan Arsip ; Teknologi dan Akses Pengetahuan'

Melalui video Hal tersebut lagi-lagi berhubungan dengan


tersebut, Endo Suanda perihal kuasa, dimana institusi riset sebagai salah satu
menilai bahwa produsen kuasa, memberi,meneruskan dan
t e k n o l o g i - l a h melakukan pemaknaan atas kerja-kerja para
sebetulnya aktor utama pengarsip.
dari perubahan sejarah
kearsipan, dan melalui Berelasi dengan tema kuasa, kali ini Festival
penemuan lanjutan Teater Jakarta, sebagai institusi yang memiliki kuasa
kamera-lah kini hasil atas sejarah pelaksanaan festival teater jakarta
arsip tidak hanya bisa selama 43 tahun-berusaha untuk menarasikan ulang
dilihat, namun juga bisa sejarahnya. Melalui program pendataan dan
kita dengar dan kita pengarsipan ulang data Festival Teater Jakarta dari
rasakan geraknya. tahun 1973 hingga tahun 2015. Ugeng T Moetidjo
selaku koordinator pengarsipan lebih menyenangi
L a l u , praktik menukil peristiwa yang tersembunyi dalam
bagaimanakah narasi panjang sejarah FTJ. Misalnya, dirinya
sebetulnya kerja menemukan kenyataan tentang selipan poster
seorang pengarsip. pertunjukan yang menuliskan nama Afrizal Malna
Francis Densmore sebagai aktor teater di awal-awal berdirinya FTJ,
sendiri membutuhkan Afrizal Malna yang kala itu berperan sebagai
waktu lebih dari 15 kondektur-menurutnya-hingga kini-pun tetap
tahun untuk mampu memerankan tokoh 'kondektur' dalam medan

T
mengarsipkan ragam kesenian.
idak ada sejarah tanpa kuasa arsip, dan tidak dokumen mengenai etnis Indian-terutama yang
ada arsip tanpa kuasa teknologi. Lalu, berelasi dengan musik, namun kerja yang dimulainya Ugeng T Moetidjo lebih banyak
pertanyaannya adalah ; kapankah sebuah sejak tahun 1904 tersebut baru mampu diapresiasi mempertanyakan ulang kembali mengenai sifat arsip
teks/peristiwa dinyatakan sebagai sejarah, dan oleh publik pada tahun 1920, sekitar 15 tahun sebagai dokumentasi, dan apa yang sebenarnya
siapakah yang melembagakannya sebagai sejarah. kemudian. Ugeng T Moetidjo (peneliti seni rupa dan mengkonstruksi arsip. Mungkinkah arsip dapat steril
film) , juga salah satu pembahas diskusi tematik- dari makna kuasa. Sebuah foto pertunjukan misalnya,
Kuasa dan teknologi, kedua hal penting yang tak mengasosiasikan kerja pengarsip sebagai tindakan yang telah menjadi arsip, dan tidak pernah kita lihat
mungkin hilang dalam medan pengarsipan. Dimana kerja di antara kuburan, profesi bagi mereka yang pertunjukannya, sudah diselubungi oleh berlapis-lapis
kuasa hadir sebagai pencipta pemaknaan atas tindak kegirangan di antara tumpukan kematian, menggali kuasa terhadapnya, lapisan kuasa dari ; fotografer,
pengarsipan, dan teknologi hadir sebagai medium dan mendata ulang jenazah peristiwa. editor dan scanner foto, penulis berita, hingga berakhir
perekam bakal arsip. di tangan museolog. Sebuah arsip selalu adalah lilitan
Kerja pengarsip memang kerja yang tak dari banyak lapisan kuasa, dan pemaknaan pada arsip-
Misalnya saja, Francis Densmore (1867-1957) berpenghuni, diantara produksi agenda seni yang pun menjadi tindakan aktif perawatan atasnya.
etnografer dan musikolog Indian ; pertama kali membengkak setiap harinya, kerja pengarsip tentu
meletakkan sejarah pengarsipan, dengan merekam menjadi berlipat berat sebab pra-syarat yang harus Terakhir, Ugeng T Moetidjo mengajak publik
suara seorang kepala suku Indian melalui teknologi dimilikinya. Selain membutuhkan waktu bertahun- untuk membaca kembali arsip-arsip foto FTJ, dirinya
perekam Gramofone. Pertanyaannya adalah, apakah tahun untuk mengerami satu objek pengarsipan, memperlihatkan beberapa foto pertunjukan teater-
tidak ada hubungan kekuasaan yang berlangsung di pengarsip-pun membutuhkan dana,ruang dan waktu FTJ. Diantaranya adalah pentas teater yang
sana. Antara antropolog dengan objek riset-nya, antara yang memadai. dipertunjukkan di Teater Arena dan Teater Kecil,
yang datang dari eropa dan yang wajib direkam di luar kedua bangunan yang telah dihancurkan dan diganti
eropa, antara Gramofone sebagai teknologi juga Endo Suanda menyebutkan bahwa seorang menjadi Teater Kecil dan Graha Bakti Budaya.
Gramafone sebagai pembeku kuasa makna. pengarsip yang berada di bawah institusi penelitian Mungkinkah kita sendiri sedang berdiri di atas arsip,
profit akan lebih mudah dalam melakukan kerja menduduki dan menginjaknya. Ataukah kita tetap
Endo Suanda (etnomusikolog,arsipis), salah kearsipannya. Karena selain disokong oleh dana berada bersama mereka melalui foto. Berdiri juga
satu pembahas diskusi tematik 'Masa Depan Arsip ; penelitian dari Institusi, pengarsip-pun lebih mudah bersama-sama dalam sebuah museum kematian.
Teknologi dan Akses Pengetahuan' memutarkan video dalam melakukan akses riset kemanapun. Berbeda
tersebut sebagai skema awal pembahasan. misalnya dengan pengarsip mandiri yang mesti Riyadhus Shalihin
mendanai dan mencari sendiri akses-akses
kearsipannya.

BIOGRAFI REDAKSI KORAN FTJ-2015

Riyadhus Shalihin-Redaktur
lahir di Bandung, 1989. Menyelesaikan studi penyutradaraan di Jurusan Teater STSI Bandung (2010-2015). Karya terakhir ; Biografi Tomat dan Batu (Afrizal Malna & Hanafi), Pertemuan Dalam Lubang Jarum (Hanafi
& Kiki Sulistyo), Jarak Tajam (Pina Bausch) dan Kapai-Kapai (Arifin C Noer). Residensi dramaturgi di lab-virgin Filipina, penyutradaraan di studiohanafi depok, dance-lab di nuart sculpture park Bandung dan penelitian
seni rupa di ruangrupa jakarta. Sejak 2010 bekerja di mediateater bandung sebagai peneliti dan penulis

John Heryanto-Penulis
Performance artist. Mahasiswa studi penelitian Jurusan Teater STSI Bandung. Karya terakhir : Underdog (International Mask & Puppet Festival) artefak (Sokaraja Bigar#2-Performance Art Festival) Mikrophonik
(International Mask & Festival). Berkolaborasi bersama Larry Red (Meksiko), Caterina Hassal & William Brugmen (Australia). Saat ini sedang melakukan penelitian tentang Teater Sae dalam rangka studi skripsi S-1.
Bergiat di LPM Daunjati, sebagai peneliti dan penulis.

Ganda Swarna-Penulis
Lahir di medan, 1992. mahasiswa studi penelitian di Jurusan Teater Institut Seni Budaya Indonesi (ISBI) Bandung. Aktif di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Daunjati. pernah menempuh studi di Sekolah Menengah
Kejuruan Musik (SMKN 11) Medan. Karya terakhir : aktor di naskah kapai-kapai karya arifin c noer, video performance : fuck art dan my name is disappear (Reanactment dari Antonin Artaud)

Fidelis Krus Yosua-Desain dan Lay-Outer


Lahir di Jakarta, 1988. Perfomance artist pada kelompok PADJAK, Aktor pada kelompok ARTERY. Karya terakhir ; Struktur Rumah Tangga Kami (ARTERY), Nir-Absolut bersama PADJAK (Japan Foundation), Kongo
dan Kacamata Elvis (JAKER), Riset Tentang Motivasi (Pancaroba-Rewind Performance Art Festival), Takekurabe-A Butoh Dance kolaborasi bersama Kevin Almadibrata (Japan Foundation), Psychosis-Sarah Kane
(Riset Teater Jakarta), Voice-II bersama Arahmaiani (Jakarta Bienalle 2015)

Shabrina Salsabila-Editor
Pengkaji sastra. Studi linguistik pada Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Negeri Jakarta. Sedang meneliti hubungan syaraf manusia dan struktur tanda bahasa-pada beberapa pusat syaraf dan rumah sakit di
Jakarta

Dyan Sinta Indriyani-Fotografer


Fotografer seni pertunjukan. Menyelesaikan studi bahasa inggris di FKIP Unika Atma jaya. Fotografer resmi untuk Wayang Orang Bharata-Jakarta, dan fotografer lepas untuk banyak kegiatan seni pertunjukan tradisi.

Anda mungkin juga menyukai