Anda di halaman 1dari 3

Etnofotografi-Soal Keluarbiasaan dan Di Luar Kebiasaan

by admin October 3, 2012 leave a comment

Etnofotografi Soal Keluarbiasaan dan di Luar Kebiasaan


Bari Paramarta Islam Perjalanan jauh, keluar masuk hutan mencari keberadaan suku pedalaman, perbekalan beransel-ransel, dan anggaran yang besar, bayangan itu yang muncul ketika kali pertama mendengar istilah etnofotografi. Mendapatkan gambar-gambar super indah tentu saja tujuan akhirnya. Benar saja, bayangan itu seolah makin dipertegas bersamaan dengan hadirnya sosok senior fotografer di lingkungan kampus saya Jurusan Fotografi ISI Yogyakarta, yaitu Don Hasman. Beliau yang banyak dikenal publik sebagai seorang etnofotografer. Tak ada yang tak saya akui dalam hal keluarbiasaan dari karya-karyanya yang selama ini saya saksikan melalui beberapa presentasi fotonya. Luar biasa indahnya, luar biasa dramatisnya, luar biasa kesempatannya, dan luar biasa-luar biasa lain saya dapati dari hampir setiap karya fotonya.

Menginjak di semester V, impian saya (meski belum tentu terwujud) untuk bisa menghasilkan karya etnofotografi yang sarat akan keluarbiasaan kandas begitu saja. Dalam diskusi dengan Kurniawan A. Saputro, dosen yang mengampu mata kuliah etnofotografi, saya diperkenalkan lebih dekat dengan fotofoto yang bergaya etnografis, yang ternyata di luar kebiasaan. Tekanannya bukan pada foto yang luar biasa, tetapi pada pendekatan dengan subyek foto yang berkesinambungan dan kepekaan dalam melakukan pengamatan yang menjadi kunci berhasil tidaknya karya etnofotografi. Pengorbanan waktu yang lama demi sesuatu yang tidak indah? Hmmm, sungguh pekerjaan yang sepatutnya dihindari, batin saya ketika itu. Bicara soal etnofotografi sebetulnya bicara soal sudut pandang. Melihat karya fotografi sama halnya dengan menyaksikan pengalaman melihat si fotografer. Khusus pada kasus etnofotografi, yang terjadi lebih dari sekedar itu. Melalui karya etnofotografi kita diajak menyaksikan pengalaman melihat dari si subyek foto. Berdasarkan kerangka berpikir ini, penugasan mata kuliah etnofotografi untuk saya dan teman-teman adalah diminta membicarakan sesuatu yang dekat dan akrab yang terjadi di sekeliling kami. Artinya itu berbanding terbalik dari bayangan saya di awal yang harus bepergian jauh ke suku pedalaman. Dalam suatu sarasehan pameran foto berjudul Pitra Yadnya yang digelar oleh Antropologi UGM November lalu, P. M. Laksono menyatakan bahwa mata biologis manusia cenderung hanya melihat sesuatu yang ingin dilihatnya saja, sedangkan etnofotografi harus bertindak melampaui itu. Dalam tafsiran saya, secara praktis ini berarti langkah pertama yang saya lakukan dalam membuat karya etnofotografi adalah dengan memutuskan tidak memotret dahulu pada pertemuan perdana dengan calon narasumber. Kegiatan yang dilakukan di minggu-minggu awal lebih mirip kegiatan penelitian yang meliputi pencarian narasumber, lalu melakukan penggalian data melalui metode wawancara, dll. Hanya sesekali saja pendokumentasian fotografi dilakukan, itu pun semata-mata lebih bersifat upaya mengumpulkan informasi visual secara umum. Berbekal data mentah yang sudah didapatkan dari lapangan, data pun kemudian dituangkan dalam bentuk catatan perjalanan. Dari minggu ke minggu langkah serupa secara konsisten dijalankan. Memang tidak ada patokan waktu dan pakem tertentu yang dapat dijadikan acuan untuk mendapatkan temuan-temuan yang tidak tampak sebelumnya dari subyek penelitian. Jika dibandingkan dengan cara kerja Don Hasman dalam menghasilkan foto, cara di atas tadi sangat sukar dilakukan meski bukan berarti tidak mungkin terwujud. Foto-foto yang dihasilkan Don Hasman adalah berupa rangkaian foto perjalanan, meski di antaranya terselip foto bergaya etnografis. Dalam perjalanan Don Hasman, jelas waktu sangat terbatas, apalagi jika ingin mencakup informasi yang lebih luas. Dalam salah satu diskusi foto di Cephas Photo Forum Yogyakarta beberapa waktu lalu, Erik Prasetya pernah mengungkapkan bahwa saat memotret mata fotografer sering kali terestetifikasi (dikendalikan hasrat seni), sehingga pada akhirnya realita pun tidak dapat dicitrakan sebagaimana mestinya. Kembali ke soal metode Don Hasman. Meskipun ada keterbatasan waktu pada setiap perjalanan, tetapi ketekunan dalam jangka waktu yang panjang bisa menggantikannya. Contohnya adalah kisah Don Hasman tentang Suku Baduy Dalam. Setelah lebih dari 35 tahun memotret salah satu suku Sunda tua yang berada di wilayah Propinsi Banten tersebut, akhirnya Don Hasman mendapatkan kesempatan untuk ikut dalam berbagai prosesi ritual adat yang sebenarnya tidak boleh diikuti oleh orang di luar masyarakat mereka. Kesempatan tersebut tentu saja tidak terjadi begitu saja. Kesabaran, ketekunan, keyakinan akan hasil yang dicapai dan komunikasi yang baik membawa keberadaannya di tengah masyarakat Suku Baduy Dalam menjadi tampak istimewa hingga upayanya diputuskan dalam rapat para tetua adat mereka. Disadari atau tidak, dalam kejadian itu sebenarnya temuan etnografis tengah menampakkan dirinya, yaitu perihal bagaimana ketaatan Suku Baduy Dalam dalam menjalankan aturan adatnya. Nah, dengan begini apakah yang kita nilai sebagai karya foto yang luar biasa dan bagaimana cara menghasilkannya bukanlah hasil dari resep-resep yang pasti. Kadang-kadang, foto-foto yang secara visual luar biasa malah tak terpakai gara-gara temuan-temuan lapangan yang pada awalnya tidak terlihat atau bahkan terlihat namun diabaikan. Di sisi lain, keluarbiasaan suatu foto kebanyakan sekarang ini sejatinya lebih banyak dilatarbelakangi oleh pernah terjadi dan tidaknya adegan drama itu di lingkungan kita. Akhir kata, keluarbiasaan dalam etnofotografi hanyalah sebuah dampak yang tidak terbakukan nilainya.

Anda mungkin juga menyukai