Anda di halaman 1dari 4

PERTEMUAN pertama itu terjadi di Hotel Imperial, di jantung Kota Tokyo, 16 Juni 1959.

Saat itu Soekarno sudah berusia 58 tahun, sedangkan Naoko Nemoto baru meng injak 19 tahun. Alkisah, adalah Masao Kubo, presiden direktur perusahaan dagang Tonichi, yang punya "gawe" mengatur perjumpaan istimewa ini. Caranya, pada malam itu, Kubo mengajak Nemoto menonton film di bioskop Sukaraza, yang letaknya tak jauh dari Hotel Imperial, tempat Presiden Soekarno dan rombongan menginap di Tok yo. Kubo berjanji akan menemui Nemoto di lobi Imperial. Tapi ternyata pengusaha itu terlambat datang. Dan seperti sudah diatur menurut skenario, yang muncul men jumpai Nemoto pada saat itu justru Kolonel Sabur, ajudan Presiden Soekarno. Sabu r menawarkan Nemoto untuk menunggu di kamarnya, karena Kubo datang terlambat ole h urusan bisnis. Nemoto menurut saja. Tak lama kemudian, "Presiden Indonesia dat ang di kamar Sabur. Kurang lebih satu menit, Presiden lalu meninggalkan kamar it u. Dalam tempo pendek itu, saya amat terharu bisa melihat Presiden. Lima menit k emudian, Sabur mengajak saya ke kamar sebelah, mencicipi teh bersama Presiden," tulis Naoko Nemoto -- kemudian bernama Ratna Sari Dewi -- dalam biografi yang di muat berkala oleh majalah bulanan Bungei Shunju yang terbit di Tokyo, edisi Janu ari sampai April 1976. Dua tahun kemudian, atas izin Dewi, seri riwayat hidup it u diterbitkan sebagai buku yang diberi judul Dewi Soekarno Jiden, artinya: Biogr afi Dewi Soekarno. Dalam pertemuan yang disebut Dewi "perjumpaan dengan nasib" i tu, hadir belasan staf kedubes RI dan istri yang berpakaian kebaya. Presiden dud uk di sofa besar, Dewi disuruh duduk di kursi dekat sofa itu. Ajudan Presiden la lu memperkenalkan Dewi pada Bung Karno. "How do you do? Silakan duduk, begitu Pr esiden menyuruh saya duduk. Milk atau lemon, Presiden bertanya ketika datang pem bawa teh. Dan ia sendiri yang mengambil lemon dan menaruhnya di cangkir saya," b egitu ditulis dalam biografi tadi. Ia mengaku, "Tak kunjung tahu, apakah pertemu an itu diatur jauh sebelumnya atau tidak." Yang jelas ia ingat, malam itu ia ter kesan pada kuku tangan Presiden yang indah. Sebenarnya kisah pertemuan pertama D ewi dengan Bung Karno (BK) ini ada beberapa versi. Versi lain menyebutkan: BK da tang di Tokyo, 6 Juni 1959, persis di hari ulang tahunnya yang ke-58, untuk sebu ah kunjungan tak resmi. Salah satu acara BK di Tokyo ialah untuk membicarakan pe mbayaran pampasan perang dari pemerintah Jepang senilai US$ 223 juta. Dana pampa san yang dibayarkan dalam bentuk berbagai proyek di Indonesia menyebabkan sejuml ah pengusaha Jepang berusaha mendekati para pejabat Jepang dan Indonesia, di ant aranya yang terpenting tentulah Soekarno. Begitulah, di suatu malam, Masao Kubo, pengusaha yang memang tengah berupaya keras mendekati BK untuk mendapat proyek di Indonesia, mengajak BK ke klub malam Copacabana. Di sana, Nemoto bekerja seba gai pramuria merangkap penyanyi. Kubo rupanya sudah menyiapkan sebuah kejutan un tuk BK: lagu Bengawan Solo yang dialunkan Nemoto. BK, yang terkesan, menyampaika n undangan pada Nemoto agar menyanyi untuknya di kamar Hotel Imperial, esok hari nya. Sejak itu hubungan BK dengan Dewi pun terpatri. Bekas kepala pengawal priba di BK, Mangil, juga ingat bahwa pertemuan pertama BK dan Nemoto berlangsung di s ebuah hotel, tapi ia sudah lupa nama hotel itu. "Bu Dewi dibawa ke hotel itu ole h orang Jepang. Setelah itu ada sekali atau dua kali pertemuan lagi. Bu Dewi yan g mendatangi tempat penginapan Bung Karno. Bukan Bung Karno yang datang," ujar M angil, kini 68 tahun, pada wartawan TEMPO Priyono B. Sumbogo. Dalam wawancara de ngan Bambang Harymurti dari TEMPO di apartemennya di New York pekan lalu, Dewi t egas membantah bahwa ia pertama bertemu BK di Copacabana. Ia juga membantah beke rja di klub malam itu, sekalipun ia akhirnya mengaku satu atau dua kali dalam se bulan ia biasa muncul di Copacobana, untuk membantu sang pemilik klub malam itu, yang sudah lama dikenalnya. Dewi juga mengaku pernah menyanyikan Bengawan Solo di hadapan BK, tapi itu dia lakukan di sebuah pesta yang dibuat Masao Kubo tahun 1959. Atas undangan Presiden Soekarno pula Naoko Nemoto -- ditemani Kubo -- had ir di bandara Haneda, saat presiden dan rombongan bertolak pulang ke Jakarta. Ru panya, "kail" yang dipasang Kubo mengenai sasaran. Sekitar sebulan pulang di Jak arta, BK yang ternyata sulit melupakan penyanyi Bengawan Solo itu menghubungi Ku bo. Melalui pengusaha itu, BK mengundang Nemoto ke Jakarta. Nemoto pun "naik dau n" di mata Kubo. Sebuah sumber yang sangat dekat dengan Masao Kubo kepada TEMPO menjelaskan, Kubo membujuk keras Nemoto agar mau berangkat ke Jakarta. Semula, N emoto agak keberatan meninggalkan Tokyo. Pekerjaanya di sana, apakah jadi model atau menyanyi di klub malam Copacabana, bisa memberinya penghasilan sekitar satu

juta yen sebulan, termasuk tip dari para tamu. Sedangkan gaji sarjana di Jepang pada waktu itu hanya sepuluh ribu yen sebulan. Tapi Masao Kubo mendesak terus. Akhirnya, perjanjian pun dibuat Kubo: Nemoto mendapat sebuah rumah di Tokyo seha rga 5 juta yen, plus ongkos ke Jakarta seharga rumah tadi, dan tunjangan 200 rib u yen sebulan untuk keluarga Nemoto. "Ini semua diambil dari uang perusahaan. Se macam biaya lobi," ujar sumber ini. Terbanglah Nemoto ke Jakarta pada 15 Septemb er 1959. Di Jakarta, Nemoto berstatus sekretaris perusahaan Tonichi. Urusan lobi -melobi ini tampaknya ditiru Kubo dari seteru dagangnya, Kinoshita, pemilik peru sahaan dagang Kinoshita Sansho atau Kinoshita Trading. Menurut Masashi Nishihara , dalam bukunya yang berjudul The Japanese and Soekarno's Indonesia, perusahaan dagang Kinoshita Sansho berhasil mendapat berbagai kontrak proyek pampasan peran g untuk Indonesia, di antaranya, perusahaan ini berhasil memasok puluhan kapal u ntuk Indonesia. Entah bagaimana lobi perusahaan Jepang ini. Yang jelas, menurut buku yang diterbitkan oleh EastWest Center Book, The University Press of Hawaii itu, berkat Kinoshita, Bung Karno berkenalan dengan seorang cewek Jepang yang be kerja sebagai model. Sumber TEMPO di Tokyo menyebutkan bahwa gadis model itu tak lain dari Sakiko Kanase, 24 tahun, pramuria klub malam Benibasha, Tokyo. Sakiko berkenalan dengan BK di Kyoto. Dan November 1958, Sakiko, yang kemudian punya n ama Indonesia Saliku Maisaroh, datang ke Jakarta atas jasa dari perusahaan tadi. Dalam buku itu disebutkan bahwa ketika datang ke Jakarta gadis Sakura itu berst atus sebagai guru bagi putri salah seorang staf perusahaan Kinoshita Sansho. Mal ang, setelah hampir setahun bersama BK, Maisaroh mendadak meninggal dunia di Jak arta, 3 Oktober 1959, yaitu sekitar tiga minggu setelah Nemoto mendarat di Jakar ta. Konon, Sakiko bunuh diri di sebuah rumah di Jakarta, karena kecewa pada BK. Ketika ia meninggal, Nemoto dan BK tengah berada di Bali. Jenazah Maisaroh dimak amkan di pemakaman umum Blok P, Jakarta Selatan, esok harinya. Yang mengurus pem akaman ini, dalam catatan yang ada di pekuburan itu, adalah M.A. Sabar beralamat di Jalan Pekalongan 4, Jakarta Pusat. Setelah TEMPO melacaknya, ternyata alamat itu, bekas rumah kediaman Brigjen. Sabur (kini almarhum), ajudan BK yang kemudi an menjadi Komandan Tjakrabirawa, pasukan khusus pengawal presiden. Dalam arsip pekuburan Blok P, jenazah Saliku Maisaroh yang tercatat beragama Islam ini dipin dahkan ke Jepang 1977. Tercatat juga, yang memindahkan jenazah itu adalah seoran g Konsul Jepang, beralamat di Jalan Thamrin 24, alamat Kedubes Jepang di Jakarta sekarang. Menurut sebuah sumber di Jakarta, orangtua Sakiko di Jepang yang memi nta agar jenazah anaknya dibawa pulang ke negerinya. Dengan bantuan seorang peng usaha di Jakarta, akhirnya pembongkaran kuburan dilakukan. Konon, pemindahan jen azah itu menghabiskan biaya US$ 1.600. Kematian Sakiko pada waktu itu sempat men arik perhatian pers Jepang. Shukan Shincho, salah satu majalah berita mingguan t ersohor di Tokyo, dalam edisi Februari 1960, menulis laporan khusus tentang teka teki kematian Sakiko Kanase. Bahkan majalah itu menyinggung bahwa kehadiran dua wanita Jepang itu di Jakarta -- Naoko Nemoto dan Sakiko Kanase -- ada kaitannya dengan kompetisi bisnis antara Kinoshita Sansho dan perusahaan Tonichi. Ini mema ng tuduhan yang sulit dibuktikan, dan kedengarannya agak spekulatif. Namun, pali ng tidak kehadiran Sakiko Kanase sempat diketahui oleh Naoko Nemoto. Dalam buku biografi tadi ia menyebutkan: "Tanggal 3 November 1959, saya dan Presiden berada di kamar Istana Negara. Di situ, kami menghadapi Quran dan keris, bersumpah di depannya. Saksinya ajudan Sabur dan kepala pengawal Mangil. Setelah selesai upac ara, saya tanya pada Presiden tentang Kanase. Presiden menjawab, dia sudah menin ggal." Dewi menikah secara resmi dengan BK, 3 Maret 1962, di Masjid Baiturrahim, di pekarangan Istana Merdeka. Kabarnya, Menteri Agama Saifuddin Zuhri sendiri y ang menikahkan pasangan ini. Sejak itu pula resmilah Naoko Nemoto mengganti nama nya dengan Ratna Sari Dewi. Terlepas dari berbagai versi yang mengaitkan peran p erusahaan Jepang dalam kisah ini, tampaknya BK sangat mencintai Dewi. Sebelum me reka menikah, lewat sebuah surat 20 Maret 1961, BK menulis: "Jikalau saya mening gal lebih dahulu dari Naoko Nemoto, maka jika ia meninggal dunia, saya harap jen azahnya dikuburkan di sebelah kuburan saya." Kendati wasiat seperti ini memang j uga pernah diterima Hartini, istri BK lainnya, toh permintaan pada Dewi ini diul ang lagi oleh BK dalam suratnya tertanggal 6 Juni 1962. Kepada Cindy Adams, yang kemudian menulis biografi Soekarno My Friend, Dewi mengungkapkan alasan mengapa ia yang saat itu masih 19 tahun tertarik pada pria yang telah beristri lebih da

ri satu itu. Jawab Dewi, "Karena ia terlihat sedih. Presiden dikenal sebagai ora ng yang selalu gembira. Presiden membual tentang betapa terkenalnya ia karena se nyumannya. Padahal, semua itu tidak benar. Presiden ingin semua orang berpikir d emikian. Tetapi, di dalam hatinya, ia orang yang kesepian. Ia sedih. Ia tak muda h tidur." Masa-masa awal pernikahan dilalui Dewi dengan berat. Kepada Adams, Dew i bertutur, "Hari-hari pertama itu sangat tidak menyenangkan. Saya tak kenal sia pa pun. Saya tidak berteman. Bahkan tak ada seorang pun yang mencoba menyukai sa ya, karena saya orang asing. Ia tinggal di sebuah rumah kecil di Jalan Cidurian, di kawasan Jakarta Pusat. Meski demikian, Dewi mengaku BK membahagiakannya. "Ia melayani saya, menyalakan api rokok untuk saya, dan membawakan buah," ujarnya p ada Adams. Praktis Dewi memang seorang diri. Ibunya tak menyetujui pernikahan de ngan BK, dan meninggal dunia setelah ia menikah. Adik lelakinya, Yasoo, konon bu nuh diri setelah kematian sang ibu. Menurut Dewi, karena cintanya, BK menghadiah kan tanah seluas tiga hektare, di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, tepat di hari ulang tahunnya yang ke-23. Belakangan, bahkan tanah ini diperluas sampai l ima hektare, dan di sanalah dibangun Wisma Yasoo -- kini Museum ABRI Satrya Mand ala -- tempat tinggal Dewi. Di wisma yang namanya diambil dari nama adiknya, Yas oo, Dewi kemudian tumbuh menjadi first lady yang berpengaruh. Namanya mulai dise but-sebut, terutama di kalangan bisnis Jepang. Dekatnya BK dengan Dewi terlihat jelas saat pecahnya Gerakan 30 September 1965. Pada malam nahas itu, BK sedang b erada di rumah istri ketiganya ini. Begitu banyak soal penting, termasuk urusan politik dan pemerintahan, yang diceritakan BK pada Dewi. Boleh dibilang, Dewi ad alah saksi penting dalam peristiwa yang mengakibatkan terbunuhnya sejumlah perwi ra tinggi Angkatan Darat. Adalah Dewi yang pertama kali melihat BK dalam keadaan selamat setelah pemberontakan PKI itu, dan selalu dihubungi BK dalam saatsaat g enting itu. Di harian Kami, Dewi menuliskan perasaannya yang galau setelah pagi 1 Oktober itu, BK berangkat dari Wisma Yasoo. Pukul 10 pagi, ia menerima kabar d ari BK, yang isinya: Saya aman, jangan khawatir. Namun, kecemasannya memuncak ke tika ia menyaksikan 30 pengawal bersenjata lengkap berjaga-jaga di rumahnya. Bar u jam lima sore BK mengirim sepucuk surat. Dan Dewi cepat membalas, "Aku ingin m elihatmu secepat mungkin mengenai sesuatu yang tak dapat kutuliskan dalam surat. " Dalam situasi kritis seperti itu, BK kemudian memerlukan untuk mengirim utusan menjemput Dewi, sekitar pukul delapan malam. Dengan sebuah jip, Dewi diantar ke kawasan Halim. Setelah melewati beberapa pos penjagaan, Dewi pun melihat suamin ya lagi. "Ia mengangkat tangan kanannya, lalu berkata wow dengan keras. Jantungk u serasa terhenti melihat tingkah lakunya yang menggelikan dalam ketegangan yang luar biasa," tulis Dewi selanjutnya. Setelah pindah dari Halim Perdanakusuma ke Istana Bogor, BK selalu berusaha keras menenangkan hati istrinya ini. Dari Bogo r, ia melayangkan kabar. "Dewi sayang, saya dalam keadaan baik, dan kini sangat sibuk dengan konperensi dengan seluruh petinggi militer untuk menyelesaikan konf lik militer. Jangan khawatir tentang saya, sayang. Cinta dan 1000 cium. Soekarno ," begitu bunyi surat BK bertanggal 2 Oktober 1965 yang dikutip Willem L. Othman s dalam buku Den Vaderland Getrowe. Esok harinya, tiba lagi surat BK di tangan D ewi. BK berkisah bahwa ia telah mengambil alih komando militer, dan berbagai kis ah lainnya yang sebenarnya teramat penting dan menyangkut nasib negara ini. Misa lnya, soal penunjukan Mayor Jenderal Pranoto sebagai care taker panglima Angkata n Darat. BK membeberkan pada Dewi, bahwa ia menilai Pranoto agak lemah, tapi di Mabes AD Pranotolah yang dianggap bisa menangani pihak kiri dan kanan. Di akhir suratnya, BK tak pernah lupa menuliskan 1.000 cium untuk dewinya itu. Kegundahan hati Dewi baru terobati setelah enam hari kemudian BK meninggalkan Bogor dan mu ncul di Wisma Yasoo. Dewi bercerita di harian Kami, "Pukul 11.30, ketika aku sed ang mengetik, pintu rumahku terbuka. Presiden Soekarno, buah hatiku, berdiri den gan senyum." Sehari setelah BK kembali ke Jakarta, 10 Oktober, Dewi berusaha ker as menjadi "jembatan" antara BK dan para perwira ABRI. Menurut Nishihara dalam b ukunya, sehari setelah suaminya pulang, Dewi mengatur pertemuan BK dengan Jender al Nasution. Selain itu, cerita Dewi pada Adams, ia juga bermain golf dengan Soe harto. Namun, keadaan politik di Jakarta semakin runyam. Dewi pun, yang tengah m engandung, kemudian harus meninggalkan Jakarta, November 1966. Tanggal 7 Maret 1 967, lahirlah Karina di Tokyo. Situasi saat itu sangat tak menyenangkan Dewi. Me dia Jepang hampir tiap hari menurunkan tulisan yang menghinanya sebagai perempua

n murahan, dengan berbagai julukan yang menyakitkan. Dewi pun tak tahan tinggal di Tokyo. Ketika Karina berusia enam bulan, ia membawa bayinya ke Paris. Toh Dew i dan Karina tetap diterima baik keluarga besar BK. Kalaupun ada konflik, itu te rjadi pada 1987, ketika pemerintah RI menganugerahkan gelar Pahlawan Proklamator pada BK. Ketika itu Hartini diundang hadir di Istana bersama anak-anak BK lainn ya. Entah mengapa, Dewi dan Karina luput dari daftar undangan. Dan Dewi memang m enyalahkan Hartini soal ini. "Padahal, semua itu bukan kesalahan saya," ujar Har tini pekan lalu kepada Linda Djalil dari TEMPO. Di mata Rachmawati, anak BK dari Nyonya Fatmawati, sejak 1967 Dewi sudah dianggap ibu sendiri. "Setelah saya dis kusi dengan Bapak, saya bisa menerima argumentasi Bapak berpoligami," ujar pendi ri Yayasan Pendidikan Soekarno ini pada Sandra Hamid dari TEMPO. Dan Rachmalah y ang menjadi jembatan antara Dewi dan "ibu-ibu" Rachma yang lain. Ia, misalnya, m endudukkan Dewi dan Hartini sebagai anggota dewan penasihat yayasannya. Barangka li ini semua sudah takdir. Dewi kembali ke Tanah Air pada 19 Juni 1970, persis s ehari sebelum BK mangkat. Ketika itu BK sudah sakit payah, dan saat itulah ia un tuk pertama kali melihat wajah anaknya, Karina. Selanjutnya, dengan menyandang n ama Soekarno, Dewi terbang ke sana-kemari, sebagai anggota masyarakat kelas atas . Sampai kemudian terjadi peristiwa di Aspen itu. Toriq Hadad, Sandra Hamid (Jak arta), dan Seiichi Okawa (Tokyo)

Anda mungkin juga menyukai