Anda di halaman 1dari 486

www.facebook.

com/indonesiapustaka
www.facebook.com/indonesiapustaka
MALAM BENCANA 1965
DALAM BELITAN KRISIS
NASIONAL
BAGIAN I
REKONSTRUKSI DALAM PERDEBATAN

Editor:
Taufik Abdullah
Sukri Abdurrachman
Restu Gunawan
www.facebook.com/indonesiapustaka

Yayasan Pustaka Obor Indonesia


Jakarta, 2012

01-TA-16x24-terakir.indd 3 1/30/2012 9:38:58 PM


Judul:
Malam Bencana 1965 dalam Belitan Krisis Nasional
Bagian I Rekonstruksi dalam Perdebatan
Taufik Abdullah, Sukri Abdurrachman, dan Restu Gunawan (ed)

©2011 Taufik Abdullah, Sukri Abdurrachman, dan Restu Gunawan


Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang
All rights reserved

Diterbitkan pertama kali oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia


anggota IKAPI DKI Jakarta

ISBN 978-979-461-800-4 (Jilid lengkap)


978-979-461-801-1 (Bagian I)
978-979-461-802-8 (Bagian II)
xii +474 hlm; 16 x 24 cm

Edisi pertama: Januari 2012


Y.O.I: 693.29.24.2011
Desain Sampul: Rahmatika

Alamat Penerbit:
Jl. Plaju No. 10, Jakarta 10230
Telepon (021) 31926978 & 3920114
Fax: (021) 31924488
e-mail: yayasan_obor@cbn.net.id
www.facebook.com/indonesiapustaka

www.obor.or.id

01-TA-16x24-terakir.indd 4 1/30/2012 9:38:58 PM


Daftar Isi

Pengantar
Taufik Abdullah vii
Sambutan Mantan Menteri Pendidikan Nasional
Prof. Dr. A Malik Fadjar, M.a. ix

Krisis Nasional dan Harapan Masa Depan


Taufik Abdullah 1
Bab I Demokrasi Terpimpin 1959-1965
Saleh As’ad Djamhari 48
Bab II Malam Bencana Nasional
Ab. Lapian 86
Bab III Antara Konspirasi dan Kudeta: Upaya Penjelasan
Teoretik tentang G30s/1965
Ab. Lapian 115
Bab IV Pki Di Balik Gerakan 30 September 1965
Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi 128
Bab V Apakah Angkatan Darat Terlibat?
Singgih Tri Sulistiyono 237
Bab VI Presiden Sukarno dalam Krisis G30s
Nina Herlina 279
Bab VII Mungkinkah Bung Karno Terlibat?
Aminuddin Kasdi 299
Bab VIII Mengungkap Aktor di Balik Gerakan
www.facebook.com/indonesiapustaka

30 September 1965
I. G. Krisnadi 331

01-TA-16x24-terakir.indd 5 1/30/2012 9:38:58 PM


Bab IX Cia dan G30s-1965
Abdul Syukur 357
Bab X Fakta dan Gagasan dari Lokakarya
Sukri Abdurrachman 377
Indeks 463
Biodata Penulis 470
www.facebook.com/indonesiapustaka

01-TA-16x24-terakir.indd 6 1/30/2012 9:38:58 PM


PENGANTAR

Taufik Abdullah

Ketika diminta oleh (ketika itu) Menteri Pendidikan Nasional, A.


Malik Fadjar, untuk memimpin penelitian tentang “tragedi besar”
yang biasa disebut “Peristiwa G30S”, saya segera mengajak kawan-
kawan untuk menelusuri tiga corak peristiwa yang berkaitan.
Pertama, tentu saja, rekonstruksi—atau mungkin lebih tepat “perde-
batan”—tentang peristiwa yang pernah saya sebut, dengan menjiplak
judul sandiwara yang ditulis Motinggo Boesje, teman akrab saya
semasa kuliah, “Malam Jahanam”. Bukankah akibat peristiwa yang
terjadi pada subuh tanggal 1 Oktober 1965 itu untuk beberapa lama
negeri tercinta ini dicekam oleh rentetan kejadian yang mahadah-
syat? Terbunuhnya enam jenderal dan seorang perwira muda dengan
begitu saja membuka “kotak pandora” (kalau dongeng Yunani lama
boleh dipakai), yang menyebarkan rasa permusuhan yang sangat
kental antara sesama anak bangsa. Ketika itu berbagai corak konflik
lokal, baik yang bersifat horizontal dan—apalagi—yang bernuansa
vertikal, dengan tampilnya aparatur negara sebagai aktor utama, ter-
jadi di sekian banyak daerah. Rangkaian kisah dari peristiwa konflik
lokal ini merupakan bagian kedua dari proyek penelitian ini. Tetapi
bukankah suatu keanehan kalau ternyata bahwa di saat-saat ini pula,
dan segera sesudah ketenangan relatif dipulihkan, impian akan masa
depan bangsa yang lebih cerah mulai dirumuskan, dan masalah
kepemimpinan bangsa diperdebatkan. Inilah bagian ketiga dari
www.facebook.com/indonesiapustaka

proyek penelitian ini.

vii

01-TA-16x24-terakir.indd 7 1/30/2012 9:38:59 PM


Taufik Abdullah

Buku jilid I berisikan laporan penelitian yang mencoba melihat


berbagai “kemungkinan” akar dari peristiwa yang mencekam itu.
Laporan ini disampaikan dalam lokakarya yang diadakan pada tanggal
12-13 April 2005. Dalam lokakarya ini berbagai kenangan pribadi
dan kesaksian yang sangat berharga disampaikan beberapa saksi
dari peristiwa yang mengenaskan itu. Jilid II memuat berbagai kisah
konflik lokal yang terjadi di saat-saat rezim Demokrasi Terpimpin akan
digantikan Orde Baru. Sedangkan jilid III berkisah tentang peralihan
kekuasaan dan mengingatkan kembali akan berbagai cita-cita yang
tercetus di saat bangsa sedang berusaha mendapatkan kembali
ketenteraman sosial-politik yang terasa seakan-akan telah menghilang
ketika usaha mengatasi krisis ekonomi yang masih mencekam sedang
mulai dirintis.
Akhirnya harus juga saya tegaskan bahwa tanpa dorongan dan
sokongan (mantan) Menteri Pendidikan Nasional, A. Malik Fadjar,
dan jajaran departemen yang pernah dipimpinnya, ketiga jilid buku
ini tidak mungkin bisa ditulis, didiskusikan, dan diterbitkan. Adalah
suatu kebanggaan bagis aya dan kawan-kawan untuk mengucapkan
terima kasih sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah
membantu.
www.facebook.com/indonesiapustaka

viii

01-TA-16x24-terakir.indd 8 1/30/2012 9:38:59 PM


SAMBUTAN MANTAN MENTERI
PENDIDIKAN NASIONAL

Prof. Dr. A Malik Fadjar, M.A.

Assalamu’alaikum, salam sejahtera untuk kita semuanya


Yang saya hormati Bapak Taufik Abdullah, Bapak-bapak, ibu-ibu,
dan saudara sekalian. Sungguh saya merasa berbahagia pada pagi
hari ini bisa hadir dalam rangka lokakarya terbatas untuk penyiapan
penulisan buku tentang “Krisis Nasional 1965”. Sebelum saya
membuka, saya ingin menyampaikan sedikit latar belakang kegiatan
ini. Pada waktu itu, setiap tanggal 1 Oktober peringatan Hari Kesak­
tian Pancasila, selalu diadakan tiap tahun dan sudah berlangsung
sejak lama (ada Keppresnya itu). Setelah reformasi, peringatan Hari
Kesaktian Pancasila, sebenarnya berjalan normal-normal saja. Pada
masa Presiden Habibie, beliau yang menjadi inspektur upacara,
Zaman Presiden Abdurrahman Wahid, yang bertindak sebagai irup
kalau tidak salah Wakil Presiden (Megawati). Pada peringatan
Hapsak, tahun 2001, penanggung jawabnya Menteri Pendidikan
Nasio­nal. Pada tahun 2001 terjadi pergantian Presiden dari Gus Dur
ke Ibu Megawati. Peringatan 1 Oktober itu mulai susah, dan saya
kebetulan sebagai Menteri Pendidikan Nasional bersama Bapak
Ardhika sebagai Menteri Pariwisata ditunjuk sebagai penanggung
jawab. Ketika itulah masalah siapa yang menjadi Inspektur Upacara
menjadi pembicaraan panjang. Ibu Presiden berkata: “Saya tidak apa-
www.facebook.com/indonesiapustaka

apa, Pak Malik, tetapi saya ini juga ada rasa dalam hati saya, coba
diatur, dimodifikasi”. Dalam modifikasi waktu itu disepakati: Satu,
tidak ada acara meninjau Lubang Buaya itu saja. “Pokoknya saya mau

ix

01-TA-16x24-terakir.indd 9 1/30/2012 9:38:59 PM


Prof. Dr. A Malik Fadjar, M.A.

hanya datang sesudah itu lalu pulang”. Kedua, tidak ada ikrar yang
dibacakan oleh Ketua DPR. Ketua MPR membacakan Pancasila,
kemudian Mendiknas membacakan Mukadimah UUD 1945, ketua
DPR membacakan ikrar, kemudian Menteri Agama doa. Selaku
Menteri Agama waktu itu saya dua kali membacakan doa. Nah, pada
waktu itu untuk tidak ikrar saja sudah diperdebatkan dengan DPR.
Akhirnya kompromi sajalah yang penting-penting saja, yaitu Panca­
sila, Mukadimah UUD 1945, doa, dan irupnya tetap Presiden.
Pada tahun 2001 Presiden dan Wapres hadir. Tahun 2002, susah
lagi karena Bu Megawati selaku Presiden tidak mau, Wapres juga
tidak mau. Padahal ini kan koordinasinya luar biasa, harus koordinasi
dengan DKI, Gubernur, Kodam, Garnisun, macam-macam. Sampai
ada joke, kalau tak ada yang mau, Presiden tak mau, Wapres tak mau,
seorang menteri, kalau Mendiknasnya juga tak mau, ya cari Koramil.
Wah, susah juga saya, tapi akhirnya dapat jalan keluar. Saya bicara
dengan Menko Polkam waktu itu, pak SBY, yang sekarang Presiden
kita. Ya sudah bapak saja deh, kan cocok itu, padahal di situ juga
hadir keluarga Pahlawan Revolusi. Di sela-sela perdebatan 2001 itu,
saya dipanggil Presiden. Cobalah Pak Malik cari jalan keluar, supaya
tidak timbul macam-macam penafsiran. Coba cari ahli-ahli sejarah.
Keluar dari situ, saya ditanya wartawan, intinya akan ditelaah kembali
secara baik dan akan dipimpin, saya juga tidak konsultasi dengan
beliau (Bapak Taufik Abdullah) akan dipimpin langsung oleh Bapak
Taufik Abdullah. Saya catat saja namanya yang aman, ahli sejarah
siapa lagi yang ada di Jakarta. Walaupun beliau dalam pembicaraan
itu betapa rumitnya mengurus ini. Tahun 2004, 2003 itu alasan Ibu
Presiden itu, Bu Mega mau waktu itu, karena saya bilang “Bu, nanti
kan menjelang pemilu, nah inikan bisa credit point dan supaya adem-
adem sajalah.” Tahun 2004 tetap dilaksanakan, karena Menkopolkam
Ad interim Pak Hari Sabarno, saya bilang ”Mas, sampeyan waelah
yang jadi irup, yo wis jadi gitu-gitu aja.” Sesudah itu seluruh kegiatan
www.facebook.com/indonesiapustaka

itu hanya sebatas itu, belum lagi yang dikaitkan dengan tugas-tugas
membaca pidato di radio dan televisi, tiap tanggal 30 September itu

01-TA-16x24-terakir.indd 10 1/30/2012 9:38:59 PM


SAMBUTAN MANTAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL

kan kita mesti pidato, nulisnya juga ‘belepotan’. Yang selalu saya
sambati itu Pak Anhar Gonggong, menulisnya jangan ‘belepotan’,
yang objektif sajalah, bolak-balik discrub begitu, karena memang juga
tidak sederhana. Dan pada waktu terakhir pernyataan peringatan itu
bahkan di 2004 maunya di Pejambon, karena dipersoalkan apa mem­
peringati Pancasila, Kesaktian Pancasilanya, atau G30S nya. Akhirnya
sampai kurang 2 hari belum clear akan upacara di mana. Selain itu
akan dilakukan semacam diskusi panel, sejarawan dan ahli-ahli lain.
Akhirnya kompromi lagi, kalau begitu dua, yaitu digelar di Pondok
Gede dengan apel, juga digelar di Pejompongan, di Gedung Pancasila.
Sementara pada waktu itu kita harus juga menghadiri pelantikan
anggota DPR/MPR 2004/2009. Nah, itulah kisahnya.
Setiap kita bicara tentang sejarah, apalagi yang menyangkut, apa
yang sekarang direncanakan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(KKR), itu juga bukan hal yang sederhana dan perlu membebaskan
diri dari perasaan suka tidak suka, tetapi lebih objektif. Mudah-
mudah­an lokakarya terbatas ini bisa membukakan jalan ke arah masa
depan bangsa dengan baik, membebaskan kita dari rasa dendam, dan
sebagainya, dan saya percaya, sekali lagi percaya kepada kalang­an
sejarawan dan kita yang hadir ini dari berbagai pihak, untuk melurus­
kan seluruh yang sedang menimpa bangsa ini, karena sebetulnya juga
bukan ini saja, banyak hal untuk membangun, mengungkap, mencari
kebenaran, dan membangun rekonsiliasi bangsa. Sekali lagi saya meng­
ucapkan terima kasih bahwa yang dirintis sejak tahun 2001, 2002,
2003 bisa ditindaklanjuti dengan berbagai makalah, masukan dari
berbagai pihak dan nanti akan dibahas. Sekali lagi saya mengucapkan
terima kasih dan dengan memohon petunjuk dari Allah SWT, Tuhan
Yang Maha Kuasa, dengan mengucapkan Bismillahirrohmanirrohim,
lokakarya terbatas penulisan buku “Krisis Nasional 1965” secara
resmi saya nyatakan dibuka.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Wassalamu’alaikum. Wr.Wb.

xi

01-TA-16x24-terakir.indd 11 1/30/2012 9:38:59 PM


www.facebook.com/indonesiapustaka

01-TA-16x24-terakir.indd 12 1/30/2012 9:38:59 PM


KRISIS NASIONAL DAN HARAPAN
MASA DEPAN

Taufik Abdullah

“Batas Sejarah” dan Dendam Sejarah


Jakarta, 1965. Malam 30 September, menjelang subuh 1 Oktober. Enam
perwira tinggi pimpinan Angkatan Darat dan seorang perwira muda
diculik dan dibunuh. Pada pukul 07.20, RRI menyiarkan berita bahwa
“Gerakan 30 September” (G30S) telah berhasil melindungi Presiden dari
Dewan Jenderal yang berencana akan melancarkan coup kontra-revolusi
pada tanggal 5 Oktober. Tetapi nasib para jenderal yang telah diculik
dan dibunuh itu tidak diberitakan. Siaran itu juga menga­takan bahwa
dalam waktu tidak terlalu lama lagi Letkol. Untung, pemimpin G30S,
akan menyampaikan pengumuman pertama. Beberapa jam kemudian
pengumunan itupun dikeluarkan. Pengumuman itu menyatakan bahwa
Dewan Revolusi telah terbentuk dan sekaligus menyampaikan nama-
nama anggota dewan yang baru terbentuk itu. Tetapi pengumuman itu
sama sekali tidak mengatakan apa pun tentang kedudukan Presiden
Sukarno. Jangankan ditempatkan pada tempat yang khusus dan terhor-
mat, nama sang Pemimpin Besar Revolusi itu sendiri tidak termasuk
dalam daftar itu. Pengumuman tersebut hanya menyatakan bahwa
pemerintahan resmi tidak lagi berfungsi, karena telah digantikan oleh
Dewan Revolusi. Dengan keluarnya pengumuman ini, maka pem-
www.facebook.com/indonesiapustaka

bunuhan dan penculikan para jenderal tidak lagi bisa dianggap sebagai
sekadar kejahatan politik. Usaha coup d’etat telah terjadi.

01-TA-16x24-terakir.indd 1 1/30/2012 9:38:59 PM


Taufik Abdullah

Umur coup ini mungkin sekali salah satu yang terpendek dalam
sejarah modern dunia. Dalam waktu yang teramat singkat, counter
coup berhasil menyusun kekuatan. Menjelang malam tiba usaha coup
d’etat itu praktis telah lumpuh. Meskipun demikian, kembali ke situ-
asi semula, ke status quo, sebelum peristiwa itu terjadi, hanya tinggal
dalam khayal belaka. Indonesia yang “kemarin” kini telah berakhir.
Peristiwa di malam menjelang subuh yang naas itu telah dengan be-
gitu saja membawa Indonesia memasuki periode baru dari sejarah
kontemporernya. Peristiwa tragis itu telah mendirikan tonggak “batas
sejarah” yang kokoh. Kini, setelah lebih dari empat dasawarsa ber-
lalu, tampaklah bahwa peristiwa tragis menjelang subuh itu sesung-
guhnya hanya satu dari sangat sedikit “batas sejarah” yang berdiri
di saat peristiwanya masih berjalan. “Batas sejarah” ini otentik pada
dirinya. Batas itu hadir begitu saja tanpa campur tangan siapa pun
juga.
Konsep “batas sejarah” atau boleh juga disebut “awal suatu peri-
ode” yang secara konseptual dianggap sebagai mengakhiri periode
sebelumnya, adalah alat-akademis, yang dibuat untuk menentukan
awal dari suatu corak dinamika sejarah yang menjadi perhatian po-
kok. Jika saja dinamika itu sejalan dengan yang pernah diimpikan
dan diperjuangkan, maka peristiwa yang dianggap sebagai “batas
sejarah” atau awal periode itupun dirayakan. Ambillah peristiwa
“Sumpah Pemuda” sebagai contoh. Betapapun, kini peristiwa yang
terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928 itu dianggap dan dirasakan sa­
ngat penting dalam proses pembentukan bangsa, nation formation,
dan pematangan nasionalisme Indonesia, tetapi ketika terjadi, peris-
tiwa itu hanyalah diketahui sebagai satu dari sekian banyak peristiwa
atau kejadian dalam waktu yang sama. Makna sejarah dan terutama
makna simbolik dari Sumpah Pemuda barulah kemudian disadari
dan diakui dan bahkan dirayakan. Maka peristiwa sederhana itupun
dilihat dan dirasakan sebagai awal dari kelahiran bangsa.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Karena hasil dari usaha konseptualisasi, maka bisa jugalah dipa-


hami kalau tidak jarang penentuan “batas sejarah”, yang dianggap

01-TA-16x24-terakir.indd 2 1/30/2012 9:38:59 PM


KRISIS NASIONAL DAN HARAPAN MASA DEPAN

sebagai peletak dasar dari periode baru menimbulkan perdebatan.


Apakah benar kejadian itu bisa dianggap sebagai awal dari episode
baru dalam perjalananan sejarah bangsa? Perdebatan ini bisa dipa-
hami karena konsep “batas sejarah” seringkali merupakan hasil dari
usaha untuk menemukan peristiwa yang dianggap sebagai simbol
ketika nilai yang ingin diperabadikan mulai tercetus. Dengan be-
gini maka mitologisasi dari peristiwa empirik pun bisa saja terjadi.
Peristiwa itu telah diperlakukan sebagai sesuatu yang jauh melebihi
dirinya sendiri. Dalam suasana ini tingkat historisitasnya pun men-
jadi kurang relevan. Nilai simbolik yang dipancarkannyalah telah
berbicara lantang dalam kesadaran.
Tetapi peristiwa yang terjadi menjelang subuh 1 Oktober 1965 itu
memang unik. Seketika peristiwa telah menjadi pengetahuan publik,
Indonesia tidak lagi berada di zaman “sebelumnya”. Logika peristiwa
yang terjadi kemudian telah berada dalam suasana “sesudahnya”.
Masa “sebelum” hanyalah berperan sebagai alat untuk memperkuat
alur dinamika yang harus dilalui sesuai dengan logika baru yang
berkembang. Lawan politik di masa “sebelum” seakan-akan dengan
begitu saja menjadi “musuh yang harus dihancurkan” di masa “sesu-
dahnya”. Kecurigaan di masa “sebelum” menjadi kepastian yang tak
teringkari dalam periode “sesudah”. Kekuatan politik yang selama
ini dipinggirkan atau merasa disingkirkan kini—setelah peristiwa
itu terjadi—berdesakan untuk berada di tempat yang strategis di atas
panggung peristiwa.
etika G30S dengan keras mengambil inisiatif untuk melakukan
K
peristiwa yang membuat “batas sejarah” itu, para pendukungnya
de­ngan begitu saja telah membuka tabir konflik sosial-politik yang
selama ini ditutup-tutupi oleh berbagai macam retorika revolusioner
dan sistem politik dan landasan ideologi yang dipupuk oleh sebuah
sistem kekuasaan yang otoriter. Peristiwa yang terjadi di peralihan
www.facebook.com/indonesiapustaka

malam dan subuh itu menjadikan retorika serba-revolusioner yang


keras sebagai sistem perilaku yang aktual dalam struktur realitas. Tidak
lagi hanya kata yang berbicara, tetapi tindakan keras semakin tampil

01-TA-16x24-terakir.indd 3 1/30/2012 9:38:59 PM


Taufik Abdullah

ke depan. Tindakan ini bukan saja bisa mempengaruhi alam pikiran,


tetapi juga menentukan tingkat keselamatan diri. Seketika peristiwa
itu terjadi, Indonesia pun tenggelam dalam tragedi politik, sosial, dan
kemanusiaan yang terbesar dalam sejarah kontemporernya.
Hari-hari yang dipadati peristiwa yang mengenaskan dan mengeri-
kan disertai kebalauan pikiran dan perasaan harus dilalui komuni-
tas-bangsa yang telah sekian lama didera oleh kemorosotan ekonomi
dan keterpencilan internasional. Dalam suasana ini, segala hal yang
selama ini dianggap sewajarnya saja tiba-tiba menjadi tidak lagi ber-
laku. Maka korban pun berjatuhan dan tradisi dendam dalam nurani
bangsa pun tersemaikan. “Revolusi multikompleks”, yang beberapa
lama telah menjadi landasan sistem wacana, kini mengalami trans-
formasi yang keras dan ekstrem. Wacana serba-revolusioner itu su-
dah menjadi sistem kekerasan dalam realitas kehidupan yang nyata.
Dalam suasana yang penuh kekalutan itu, kharisma yang mempesona
dari Bapak Bangsa, sang Proklamator Kemerdekaan, mulai kehilangan
daya pikatnya. Secara bertahap tetapi pasti, Presiden Sukarno sema-
kin tersingkir dari pusat kekuasaan yang riil. Ia masih berada di sana,
di puncak kekuasaan yang formal, dan retorika serba revolusinya ma-
sih dipakai, tetapi ia semakin dibiarkan dalam dunianya sendiri, dan
secara teratur sistem wacana yang dikembangkannya dikembalikan
pada dirinya. Dan ia pun merasakan kepedihan yang semakin lama
semakin nyeri dan perih.
Operasi mendadak yang dilancarkan G30S bahkan membuka
kesem­patan bagi berbagai kekuatan sosial-politik, yang selama ini
prak­tis telah termarginalkan, untuk tampil kembali ke atas pentas
pergumulan politik. Akibat selanjutnya, PKI, partai komunis terbesar
ketiga di dunia, yang telah semakin kuat dan semakin dekat dengan
pusat kekuasaaan, tiba-tiba kehilangan segala landasan ideologis
dan bahkan juga legitimasi politik dari kehadirannya. Berangsur-
www.facebook.com/indonesiapustaka

angsur tetapi dengan intensitas yang tinggi partai yang selama ini
sangat militan dan terorganisasi rapi itu diketepikan secara drastis,
dan kemudian dengan resmi dibubarkan dan dijadikan sebagai partai

01-TA-16x24-terakir.indd 4 1/30/2012 9:38:59 PM


KRISIS NASIONAL DAN HARAPAN MASA DEPAN

terlarang. Para pemimpin dan anggota terasnya, dan bahkan juga


mereka yang dianggap atau dituduh sebagai pengikutnya, “diaman­
kan”—entah ditiadakan secara fisik atau dilumpuhkan secara politik,
dan entah dijadikan sebagai penghuni kasta pariah dalam pergaulan
sosial dalam kehidupan bangsa. Dalam proses inilah, TNI, khususnya
AD, semakin tampil sebagai kekuatan sosial-politik yang paling
dominan. Betapapun mungkin ia masih dianggap sebagai pemimpin
yang paling terkemuka, sang Pemimpin Besar Revolusi harus mulai
menghitung hari-hari menjelang kejatuhan formalnya. Maka salah satu
ungkapan klasik tentang revolusi, tetapi tak pernah dikutip Bung Karno
dalam pidato-pidatonya yang bernada revolusioner, ternyata terkena
pada dirinya ‘the revolution has devoured its own children’,“revolusi
telah memakan anaknya sendiri”. Bahkan lebih dari itu revolusi
Indonesia, yang multikompleks, yang dibayangkan Sukarno, tidak
hanya memakan anak-anaknya. Revolusi yang dibayangkan itu telah
memakan “pencipta dan pencetusnya” sendiri.
Secara ideologis, berdirinya “batas sejarah” itu berarti berakhir­
nya masa yang disebut Presiden Sukarno, dengan mengutip ucapan
seorang ilmuwan asing, “sebuah ikhtisar dari banyak revolusi dalam
satu generasi”, ‘a summary of many revolutions in one generation’,
dan dimulainya perjalanan sejarah ke arah—sebagaimana kemudi-
an dikatakan penggantinya di tampuk kekuasaan negara, Presiden
Soeharto—“masa pembangunan nasional”. Perubahan yang funda-
mental dalam struktur dan orientasi politik dan ekonomi pun dilaku-
kan. Hanya saja ketika kabut sejarah yang menyelimuti kedua rezim
itu telah terbuka, tampak juga betapa kuatnya bertahan sebuah tradisi.
Inilah tradisi sentralistik dan otoriter yang disebut Presiden Sukarno
sebagai pantulan dari “kepribadian nasional” atau, sebagaimana di-
katakan Presiden Soeharto, “jati diri bangsa”. Memang tragis juga tera­
sa kalau diingat betapa sebuah “batas sejarah” yang menghadirkan
dirinya dalam suasana krisis dan tragedi yang paling traumatis dalam
www.facebook.com/indonesiapustaka

sejarah kontemporer hanya untuk dilanjutkan oleh tradisi yang ma-


sih saja mengingkari idealisme dan landasan ideologis dari eksistensi

01-TA-16x24-terakir.indd 5 1/30/2012 9:38:59 PM


Taufik Abdullah

negara-bangsa yang telah diperjuangkan dengan, “blood and tears”,


darah dan air mata.

Di antara Kebenaran Tunggal dan Majemuk


Tetapi apakah sesungguhnya yang terjadi di peralihan malam dan
subuh yang mengenaskan itu? Pada tingkat kronikel yang paling
sederhana—tentang “apa, di mana, bila dan siapa”—kisahnya jelas
dan praktis telah merupakan unsur terpenting dari accepted history
(hasil rekonstruksi sejarah yang tidak lagi diperdebatkan). Begini
kisahnya: “Sekelompok anggota pasukan Tjakrawirawa, di bawah
pimpinan Letkol. Untung, menculik dan membunuh sebagian besar
pimpinan AD, dan mengubur mereka di Lubang Buaya. Letkol Untung
kemudian mengumumkan di studio RRI, yang telah dikuasainya,
bahwa Dewan Revolusi, yang diketuainya, telah terbentuk. Dewan
ini selanjutnya yang akan menjalankan roda pemerintahan.”
Demikianlah serentetan ‘established facts’ telah terbentuk, dan
dengan begini pula sebuah rekonstruksi yang paling sederhana
dari peristiwa itupun selesai sudah. Tetapi bukankah sebuah peris-
tiwa yang sedemikian mengerikan dan meninggalkan dampak yang
sa­ngat teramat fundamental tidak mungkin bisa terjadi dengan be-
gitu saja? Bagaimanakah harus dikisahkan fakta bahwa sekelompok
pasuk­an pengawal pribadi Presiden mengadakan usaha coup d’etat,
bukan hanya membunuh dan menculik “musuh” yang dicurigai akan
menggulingkan Presiden? Siapakah mereka sesungguhnya? Apakah
mereka hanyalah kepanjangan tangan dari kekuatan politik yang ber-
musuhan dengan TNI-AD, yang berada di bawah komando Panglima
Tertinggi atau Presiden? Ataukah barangkali mereka hanyalah baris­
an terdepan dari “perwira progresif”, yang merasa terkungkung oleh
sikap pimpinan AD yang mereka anggap sudah kehilangan idealisme
dan sikap hidup yang revolusioner? Atau mungkin juga peristiwa
www.facebook.com/indonesiapustaka

itu sesung­guhnya usaha yang drastis untuk melindungi Presiden


Sukarno yang telah merasa terhalang oleh kedinginan sikap pimpin­
an AD dalam menjalankan program serba-revolusinya? Atau jangan-

01-TA-16x24-terakir.indd 6 1/30/2012 9:38:59 PM


KRISIS NASIONAL DAN HARAPAN MASA DEPAN

jangan pula tindakan yang drastis dan keras itu sesungguhnya tipuan
yang dilancarkan secara melingkar—membiarkan kawan-kawan
sendiri terbunuh untuk mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri.
Atau, mungkinkah pula kekuatan asing yang menggerakkannya? Atau
dan atau? Sekian banyak pertanyaan pokok dan ranting lain bisa dan
telah diajukan. Tetapi, bukankah rekonstruksi dari suatu peristiwa di
masa lalu barulah bisa disebut sejarah kalau telah didampingi oleh
“keterangan peristiwa”, historical explanation?
Maka tiba-tiba pesan moral dan filosofis dari film klasik Rashomon
tidak lagi terasa sebagai fiksi tentang kebenaran yang bisa tampil de­
ngan wajah yang banyak, tetapi contoh estetis tentang realitas keras
dan tragis yang mencekam kehidupan bangsa. Film arahan Akira
Kurasawa yang mempesona dan memukau ini hanyalah sekadar
berkisah tentang berbagai wajah dari “kebenaran” otentik yang di-
rasakan dan disampaikan oleh mereka yang berada di dalam dan di
sekitar peristiwa yang dijadikan sebagai fokus perhatian. Seorang
bangsawan yang sedang melakukan perjalanan dengan istrinya mati
terbunuh. Pembunuhan ini merupakan fakta yang riil dan keras. Suatu
“kronikel sejarah” yang pasti, jika hal ini diumpamakan sebagai peris-
tiwa sejarah. Tetapi bagaimanakah terjadinya fakta yang keras itu?
Sang pembunuh, yang berhasil ditangkap, memberi kesaksiannya.
Istri sang bangsawan tampil dengan kesaksian yang berbeda. Seorang
petani yang tidak mempunyai kepentingan apa-apa, tetapi melihat
peristiwa pembunuhan itu, memberikan kesaksian yang lain lagi.
Akhirnya, lewat medium, bangsawan yang terbunuh itu tampil pula
dengan versinya sendiri. Kisahnya selesai, tetapi kesaksian siapakah
yang memantulkan kebenaran yang otentik? Pembunuhan itu telah
terjadi dan tidak bisa diulang lagi. Tetapi rekonstruksi manakah yang
“benar” dan seutuhnya atau sesungguhnya mewakili peristiwa yang
telah berlalu itu?
www.facebook.com/indonesiapustaka

Film Rashomon adalah karya fiksi. Betapapun mungkin memukau-


nya, film ini tidak lebih daripada hasil imajinasi literer yang kreatif be-
laka.Tetapi peristiwa menjelang subuh 1 Oktober 1965 adalah sebuah

01-TA-16x24-terakir.indd 7 1/30/2012 9:38:59 PM


Taufik Abdullah

realitas empirik yang keras, suatu peristiwa yang tak mungkin sama
sekali disamarkan sebagai “realitas dalam teks”, betapapun mungkin
canggihnya argumen dari para dekonstruksionis sejarah. Lebih dari-
pada sekadar terjadi, peristiwa itu telah meninggalkan dampak yang
mencekam dalam struktur ingatan kolektif bangsa. Peristiwa itu telah
pula menimbulkan akibat yang fundamental dalam tatanan kehidup­
an bangsa dan negara. Maka, mungkinkah kebenaran yang tunggal
dan otentik didapatkan tentang peristiwa keras, yang telah membuat
“batas sejarah” itu?
Tidak seperti halnya dengan kebenaran dalam pemahaman filsa-
fat yang mungkin saja dapat membawa kita ke dalam lautan pemikir­
an yang tanpa tepi, bahkan mungkin juga mengharuskan kita untuk
mengarungi wilayah misteri tanpa jawaban yang pasti dan final, “ke-
benaran sejarah” hanya menuntut hal yang sederhana saja—“apakah
yang terjadi sesungguhnya di masa lalu itu”? Jadi yang dicari bu-
kanlah kebenaran yang telah melampaui kenyataan empirik, tetapi
hanya kebenaran empirik saja. Tetapi, meskipun terasa sederhana,
bagaimanakah mendapatkan kebenaran empirik yang terjadi di masa
lalu itu? Jangan-jangan dalam kasus G30S ini kita sebenarnya bukan
saja berhadapan dengan masalah kebenaran yang bisa sangat elusive,
tak bisa dipastikan, tetapi dengan percampuran berbagai corak kese­
jarahan yang pernah diteorikan Bernard Lewis, sejarawan, dan orien-
talis Inggris yang terkemuka.
Sejarah atau pengetahuan tentang masa lalu, katanya, bisa saja
adalah penemuan kembali hal-hal yang terjadi di masa lalu, yang
sekian lama telah terkubur dalam lautan lupa. Inilah pengetahuan
tentang peristiwa masa yang recovered, ditemukan kembali. Tetapi
banyak juga unsur-unsur dari pengetahuan masa lalu itu terekam
dalam kenangan kolektif dan catatan kesejarahan. Jadi peristiwa itu
sesuatu remembered, teringat. Keduanya—masa lalu yang teringat
www.facebook.com/indonesiapustaka

dan ditemukan kembali—bolehlah dikatakan sebagai sejarah yang


sesungguhnya, betapapun mungkin tingkat keutuhanya yang total
hampir tak mungkin lagi didapatkan. Bukankah peristiwa sejarah

01-TA-16x24-terakir.indd 8 1/30/2012 9:38:59 PM


KRISIS NASIONAL DAN HARAPAN MASA DEPAN

tak bisa lagi diulang agar corak kebenaran aktualitasnya bisa dipas-
tikan? Sekali terjadi, maka yang tertinggal hanyalah ingatan atau
bekas-bekas yang mungkin bisa dipakai sebagai sumber pengetahuan
tentang yang telah terjadi itu. Karena itulah bisa juga dikatakan bah-
wa ilmu sejarah adalah usaha kritis dan akademis yang selalu sibuk
memperbaiki hasil rekonstruksi yang telah terbentuk.
Kalau memang begitu, maka masalahnya ialah suatu kenyataan
bahwa tidak jarang sumber yang bisa dipakai untuk menjawab per-
tanyaan tentang kejadian di masa lalu itu tidak lagi dapat ditemukan
atau mungkin pula telah terlupakan. Ketika jawab yang dicari itu telah
dilandasi oleh hasrat untuk mendapatkan legitimasi bagi apa saja,
maka orang bisa saja tergelincir pada sejarah hasil “bikinan”, invent-
ed. Dengan begini, maka fiksi ataupun fabrikasi peristiwa pun telah
memasuki relung-relung rekonstruksi sejarah, yang ingin mendapat-
kan “fakta” yang sesungguhnya itu. Dichtung und Wahrheit, khayal
dan kebenaran, kata orang Jerman, telah menemukan keakraban.
Mitos mungkin bisa dianggap sebagai pantulan dari kegagalan un-
tuk menemukan jawaban faktual terhadap pertanyaan yang funda-
mental demi terwujudnya hasrat akan keutuhan sosial-kultural, atau
sebagai hasil usaha untuk menjadikan fakta empirik sebagai simbol
dari sistem nilai yang ingin dijaga atau dikembangkan, tetapi fabrika-
si atau pemalsuan sejarah—invented history—adalah pancaran dari
keinginan hegemonik atau, bisa juga, pengingkaran terhadap sistem
hegemoni yang sedang bercokol. Ketika ketiga corak asal-usul rekon-
struksi kesejarahan ini telah saling menemukan afinitas yang kokoh
dalam sebuah “rekonstruksi sejarah”, maka kita pun terpaksa meng-
gapai-gapai dalam ketidakpastian pengetahuan. Unsur manakah yang
benar, dan manakah pula hasil khayal?
Jika saja kita bertolak dari praduga bahwa sejarah sebagai hasil
dari usaha rekonstruksi peristiwa yang terjadi di masa lalu—jadi
www.facebook.com/indonesiapustaka

sebagai hasil penyalinan histoire realité, sejarah-sebagai-realitas, ke


dalam histoire recité, sejarah-sebagai-kisah—maka sejarah itu boleh
dikatakan sebagai sesuatu yang berwajah ganda. Di satu pihak, se-

01-TA-16x24-terakir.indd 9 1/30/2012 9:38:59 PM


Taufik Abdullah

jarah berarti hasil rekonstruksi dari peristiwa yang terjadi di masa


lalu, tetapi di pihak lain sejarah sering pula dianggap sebagai masa
lalu itu sendiri. Dalam pengertian yang kedua ini, maka sejarah ti-
dak lebih daripada kisah tentang peristiwa tertentu, atau rangkaian
peristiwa yang mungkin bisa diterima sebagai apa adanya saja. Tetapi
sebagai usaha untuk mengadakan rekonstruksi peristiwa di masa
lalu, sejarah diharuskan menjawab serentetan pertanyaan yang esen-
sial tentang “apa, di mana, bila, siapa” dan tentu saja “bagaimana”.
Tetapi bagaimanakah pertanyaan tentang “mengapa” bisa terelakkan?
Bagaimanakah “keterangan peristiwa” bisa didapatkan? Dengan be-
gini, maka masalahnya pun telah tergelincir pada pengertian kedua
dari sejarah—yaitu sejarah sebagai hasil dari usaha untuk merekons­
truksi peristiwa masa lalu. Kalau pengertian ini telah dimasuki, ber-
bagai persoalan pun tidak terhindarkan.
Usaha untuk menjawab pertanyaan “apa, di mana, bila, dan sia-
pa” memerlukan keterampilan dan ketelitian teknis dan metodologis
serta sikap kritis dalam menghadapi sumber sejarah yang mungkin
sekali serba tak lengkap dan bahkan bisa pula saling bertentangan.
Sedangkan pertanyaan “bagaimana” menuntut keterampilan bahasa
dan imajinasi kesejarahan serta kemampuan untuk mengelak dari
jebakan pilihan kata yang bisa sangat subjektif dalam proses pengi­
sahan. Tetapi kalau jawaban bagi pertanyaan “mengapa” yang ha­rus
diberikan, sejarawan bisa terbawa ke dalam permasalahan teori, bah-
kan tergelincir pada berbagai corak praduga subjektif, entah yang
bercorak filosofis dan sebagainya, entah—dan ini lebih serius—ide-
ologis dan politis. “Mengapa aktor-sejarah atau masyarakat berbuat
sebagaimana yang diperbuatnya itu?” Apakah pemberontakan terjadi
karena kekecewaan ekonomi-politik, ataukah disebabkan oleh tim-
bulnya hasrat untuk mendapatkan kembali “dunia yang hilang” atau-
kah akibat langsung dari persaingan politik atau bisa jadi oleh sebab
lain? Ataukah, barangkali sebaiknya jawaban terhadap pertanyaan
www.facebook.com/indonesiapustaka

“mengapa”, yang mempersoalkan sebab-akibat dalam sejarah, harus


dicari pada urutan peristiwa saja—yang lebih dahulu terjadi diang-

10

01-TA-16x24-terakir.indd 10 1/30/2012 9:38:59 PM


KRISIS NASIONAL DAN HARAPAN MASA DEPAN

gap sebagai “sebab” dari peristiwa yang menyusul kemudian. Maka


sejarah pun akan dilihat tidak hanya sebagai rentetan peristiwa dan
kejadian saja, tetapi suatu mata rantai sebab-akibat yang tak putus-
putus. Masalah dari pendekatan ini segera muncul kalau perbanding­
an sejarah telah dilakukan—“mengapa struktur situasi ( sebab) yang
sama di suatu tempat atau di waktu yang lain tidak selamanya meng-
hasilkan peristiwa (akibat) yang sama?”
Apa pun mungkin kecenderungan teori ataupun praduga kesejarah­
an yang dimiliki sang sejarawan atau siapa pun yang berusaha me­
rekonstruksi peristiwa di masa lalu, sebuah hal yang sederhana tidak
terhindarkan. Jika saja kita tidak diharuskan bertolak dari pemikiran
religius, tentang intervensi Yang Maha Kuasa, yang bisa berbuat apa
saja dalam situasi apa pun, maka bisalah dikatakan bahwa tidak ada
peristiwa, apa pun mungkin bentuk dan coraknya, yang bisa terjadi
dalam kevakuuman. Peristiwa itu terjadi dalam struktur dan konteks
waktu serta ruang tertentu. Andaipun mungkin peristiwa tertentu itu
tidak dilahirkan oleh konteks struktural dari kehadirannya, sifat dan
apalagi corak dari peristiwa itu akan diwarnai juga oleh dina­mika
tersebut. Kolonialisme, umpamanya, adalah suatu kekuat­an yang
datang dari luar, tetapi bentuk dan dinamikanya dipengaruhi dan
bahkan dibentuk oleh konteks struktural yang telah terkena serbuan
kekuatan luar itu. Karena itulah pertanyaan “mengapa” lebih mung-
kin didekati kalau konteks struktural dari peristiwa itu dipahami
dengan baik.
Jadi, bagaimanakah harus diterangkan rangkaian peristiwa G30S
yang sedemikian kompleks itu? Seperti apakah konteks historis dan
struktural yang menjadi wadah dari terjadinya peristiwa yang menge-
naskan itu? Masalahnya semakin pelik juga kalau diingat bahwa rang-
kaian peristiwa yang kompleks biasanya adalah letupan dari berbagai
faktor yang terdapat dalam struktur kesejarahan yang kompleks pula.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Karena itulah betapapun tingginya kompleksitas situasi kesejarahan


dan konteks struktural dari peristiwa itu, pemahaman sederhana dari
kompleksitas struktural harus diusahakan. Andai pun tidak menjadi

11

01-TA-16x24-terakir.indd 11 1/30/2012 9:39:00 PM


Taufik Abdullah

unsur utama dalam proses rekonstruksi peristiwa, setidaknya hal


ini berfungsi sebagai alat pengingat atau pengantar ke masalah yang
sesungguhnya.
Peristiwa G30S terjadi dalam konteks struktural dan alam pikiran
ideologis bahkan juga sistem wacana yang dikuasai oleh Demokrasi
Terpimpin. Peristiwa itu meletus ketika Indonesia berada di bawah
pimpinan Sukarno, yang telah diangkat MPRS sebagai Mandataris
MPRS/Presiden Seumur Hidup. Secara Konsitusional, Presiden (ber-
dasarkan UUD 1945, yang didekretkan berlakunya oleh Presiden
Sukarno pada tangal 5 Juli, 1959), adalah Kepala Negara dan Kepala
Pemerintahan, di samping menjabat sebagai Panglima Tertinggi
Angkatan Bersenjata. Tetapi Presiden Sukarno lebih suka menyebut
dirinya Penyambung Lidah Rakyat dan Pemimpin Besar Revolusi.
Penamaan ini sejalan dengan argumen ideologis yang dipakainya bagi
keharusan berdirinya Demokrasi Terpimpin, yang senantiasa berada
dalam arus dan dinamika revolusi yang tanpa henti. Inilah dinami-
ka, katanya berkali-kali, yang senantiasa mewujudkan dirinya dalam
irama “menghancurkan, membangun, herordening, retooling”. Jadi
revolusi—jika dilihat dari sisi lain—adalah suasana yang senantiasa
gelisah, resah, mengingkari legitimasi dan nilai kemantapan, tetapi
penuh harapan bagi masa depan.
Rezim Demokrasi Terpimpin didirikan berdasarkan argumen seba­
gai keharusan untuk mengatasi ketidakstabilan politik dan menyele-
saikan berbagai corak krisis yang dialami bangsa di saat janji-janji ke-
merdekaan untuk menghapuskan kemelaratan dan sebagainya masih
juga belum terpenuhi. Setelah sekian lama menjalankan “demokrasi
liberal” yang dikatakan sebagai barang impor dari Barat, maka kini
telah tiba waktunya Indonesia kembali kepada “kepribadian nasio­
nal”, yang bersandarkan pada prinsip “musyawarah dan mufakat”
yang terpimpin, bukan atas prinsip “menang-menangan jumlah su-
www.facebook.com/indonesiapustaka

ara”. Dengan sistem inilah “amanat penderitaan rakyat” lebih mung-


kin dijalankan. Setelah sekian tahun menjalankan “demokrasi libe­
ral”, yang menentukan kearifan politik berdasarkan perhitungan

12

01-TA-16x24-terakir.indd 12 1/30/2012 9:39:00 PM


KRISIS NASIONAL DAN HARAPAN MASA DEPAN

siapa, atau apa yang mendapat dukungan “50% plus satu”, Indonesia
juga telah kehilangan “elan revolusi”nya. Berdirinya Demokrasi
Terpimpin adalah juga sesungguhnya berarti ‘the rediscovery of our
revolution’, “Penemuan kembali revolusi kita”, sebagaimana judul pi-
datonya di Hari Kemerdekaan 1959. Pidato kenegaraan inilah yang
dijadikan sebagai landasan perumusan ideologi instrumental yang
disebut Manipol-USDEK (Manifesto Politik-UUD 45, Sosialisme
Indonesia, Demokrasi terpimpin, Ekonomi Terpimpin)
Demokrasi Terpimpin adalah sistem politik dan sosial yang ingin
mendapatkan kembali “kepribadian nasional” dan “élan revolusi”
de­ngan menjalankan musyawarah dan mufakat, terpimpin, maka
ekonomi terpimpin pun diperkenalkan pula, sedangkan proses peng­
ambilan keputusan dijalankan sesuai dengan keharusan UUD 1945,
yang memberi kekuasaan lebih besar pada pihak eksekutif. ‘There is
no journey’s end to a struggling nation”—Tidak ada akhir perjalanan
bagi bangsa yang berjuang”, kata Bung Karno yang suka memakai ung­
kapan asing, maka paradigma konflik dalam memahami realitas sosi­
al-politik pun diperkenalkan, melalui pidato, ceramah, sistem peng­
ambilan keputusan, dan—mudah-mudahan sekarang masih berada
dalam ingatan kolektif bangsa—indoktrinasi politik. Dalam suasana
pemikiran yang serba-revolusi ini, secara ideologis dunia pun dibagi
atas dua kekuatan yang berada dalam situasi pertentangan antago-
nistik yang tidak bisa diperdamaikan—antara New Emerging Forces
dan Old Established Forces. Komunitas bangsa pun bisa juga terseret
menjadi dua kekuatan yang tak terdamaikan, antara kekuatan revo­
lusioner dan kontra-revolusioner. Dalam suasana pemikiran seperti
ini yang ditopang pula oleh paradigma konflik dalam melihat dunia,
maka mestikah diherankan kalau sistem wacana juga sangat diwarnai
oleh pemakaian bahasa yang bersifat hiperbola, yang serba membe-
sar, dan dihiasi oleh pemilihan kata yang keras (violent words)?
www.facebook.com/indonesiapustaka

Dalam suasana sosial-politik dan kecenderungan serba-revolusi


ini, konflik Irian Barat meningkat dan semakin menjadi masalah
internasional. Dengan campur tangan Amerika dan PBB, Indonesia

13

01-TA-16x24-terakir.indd 13 1/30/2012 9:39:00 PM


Taufik Abdullah

akhirnya tampil sebagai pemenang. Meskipun harus melalui masa


transisi—Indonesia dipercaya sebagai pemegang pemerintahan se-
mentara di bawah PBB (1962)—jalan ke arah penyatuan daerah yang
dipersengketakan ini ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
telah semakin terbuka. Dalam suasana kemenangan ini pula Indonesia
menjadi tuan rumah Asian Games, dan tampil sebagai salah satu
kekuatan olah raga yang diperhitungkan di Asia—sebuah prestasi
yang sejak itu sampai kini masih juga belum terdekati. Tidak kurang
pentingnya ialah di masa ini pula berbagai corak pemberontakan bisa
diselesaikan. Dalam suasana kemenangan inilah politik konfrontasi
terhadap rencana pembentukan Malaysia dilakukan. Negara federal,
yang akan merangkul Persekutuan Tanah Melayu, Singapura (yang ke-
mudian keluar dari Malaysia), Serawak, dan Sabah, dianggap sebagai
proyek kekuatan Old Established Forces (Inggris) yang ingin menge-
pung Indonesia, yang telah tampil sebagai salah satu pemimpin New
Emerging Forces. “Malaysia adalah proyek nekolim (neo-kolonialisme
dan imperialisme) yang harus dilawan”
Tetapi ketika intensifikasi kecenderungan ideologis dan sikap
politik “anti-nekolim” ini dilakukan, di waktu itu pula keterpencilan
Indonesia dari pergaulan internasional bermula. Terlepas dari segala
niat baik ataupun, mungkin juga ide besar, yang mendasari kehadiran-
nya, sistem “ekonomi terpimpin” yang menekankan semangat “berdi-
kari” ternyata hanya menjadikan kemerosotan ekonomi semakin men-
jadi-jadi juga. “Sandang pangan” dan “papan” bukan lagi hanya tampil
sebagai kebutuhan esensial masyarakat, tetapi juga telah menjadi im-
pian yang menjadi wacana indah yang semakin sulit pula untuk di-
dapatkan secara riil. Sementara itu konstelasi kekuatan politik mulai
pula mengalami perubahan drastis. Setelah Masyumi dan PSI serta
kekuatan politik lain berhasil disingkirkan dengan dekret Presiden
(1960), kekuatan internal NASAKOM (nasionalis, agama, dan komu-
nis)—suatu aliansi ideologis yang telah dibayangkan Bung Karno
www.facebook.com/indonesiapustaka

sejak tahun 1927—mengalami perubahan pula. Kekuatan “A” sema-


kin terpinggirkan, sedangkan kekuatan “NAS” dibiarkan menggapai-

14

01-TA-16x24-terakir.indd 14 1/30/2012 9:39:00 PM


KRISIS NASIONAL DAN HARAPAN MASA DEPAN

gapai dalam kecanggungan ideologis (“Marhaenis adalah Marxisme


yang diterapkan di bumi Indonesia”, katanya), tetapi “KOM” semakin
kuat dan berpengaruh juga dan bahkan tampil sebagai pendamping
Pemimpin Besar Revolusi dalam sistem wacana ideologis.
Tetapi bukankah kehadiran Demokrasi Terpimpin, yang bersem-
boyankan “kembali ke UUD 1945”, yang menjadikan Presiden Kepala
Negara dan Kepala Pemerintahan, dimungkinkan karena dorongan
dan dukungan TNI-AD? Dalam proses dinamika politik selanjutnya,
terjadilah apa yang telah bisa diperkirakan sebelumnya. TNI-AD ti-
dak pernah bisa melupakan “Madiun Affair” (1948), ketika PKI me-
nampilkan diri sebagai kekuatan yang bisa mengancam keutuhan
negara, di saat Belanda telah mengepung Republik Indonesia, yang
berpusat di Yogyakarta. Mestikah diherankan kalau TNI-AD tidak
ingin melihat PKI semakin mendekati dan apalagi berada di pusat
kekuasaan? Dengan begitu persaingan yang tidak terlalu terselubung
di antara berbagai kekuatan politik, terutama antara AD dan PKI se-
makin dirasakan publik politik. Di saat ini pulalah konflik agraris,
yang dicetuskan oleh aksi-sepihak Barisan Tani Indonesia, yang be-
rafiliasi dengan PKI, mulai meletus di beberapa wilayah pedesaan di
Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatera Timur. UU Pokok Agraria
yang mengharuskan terjadinya land reform dengan prinsip keadilan
pemilikan dan penggunaan tanah pertanian, dijadikan sebagai pence-
tus konflik agraris.
Begitulah, tanpa diinginkan, ternyata sistem politik-ideologi dan
paradigma konflik yang dipelihara Demokrasi Terpimpin telah men-
jadi wadah struktural bagi terjadinya peristiwa yang menggetarkan
kehidupan komunitas-bangsa. Menjelang terjadinya peristiwa yang
mengenaskan itu Indonesia telah berada dalam situasi konflik yang
serius. Tetapi siapa pun atau golongan manapun yang mungkin ber­
ada di belakang layar pembunuhan dan penculikan para jenderal
www.facebook.com/indonesiapustaka

TNI-AD menjelang subuh 1 Oktober 1965 itu, ia atau mereka telah


menyulut api di atas jerami kering yang sangat mudah terbakar. Dan
Indonesia pun terbakar. Ketika api itu telah padam, dendam historis

15

01-TA-16x24-terakir.indd 15 1/30/2012 9:39:00 PM


Taufik Abdullah

pun tertinggal—tertinggal dan jauh menukik dalam struktur kesadar­


an dan ingatan kolektif bangsa.

Di antara Kebenaran Sejarah dan Jebakan Misteri


Demikianlah, ketika segala faktor telah menemukan afinitasnya yang
kental, tragedi di malam menjelang subuh 1 Oktober itupun terjadi.
Ketika itu pula sebuah “batas sejarah” berdiri begitu saja. Tetapi
apakah yang sesungguhnya terjadi itu?
Kalau peristiwa G30S diingat kembali, bagaimanakah akan
dibantah kenyataan empirik yang sederhana bahwa Mayor Jenderal
Soeharto, Panglima Kostrad, telah tampil sebagai pemberi jawab
pertama terhadap segala kemungkinan dan corak pertanyaan yang
muncul seketika peristiwa menjelang subuh itu terjadi? Apa pun niat
dan motif yang tersembunyi jauh di lubuk hatinya, tetapi yang pasti
ialah tindakan dan perilakunya dengan jelas menunjukkan bahwa ia
beranggapan dan ingin memperlihatkan bahwa peristiwa tragis itu
adalah suatu persekongkolan, conspiracy, dari beberapa kekuatan
yang anti-AD dan tentu saja—sesuai dengan retorika politik di masa
Demokrasi Terpimpin—anti-revolusi dan anti-negara. Dalam usaha
memberi jawaban ini, maka masalah yang pertama yang harus di-
hadapinya ialah bagaimana sebaiknya menghalangi jangan sampai
terwujud konsolidasi kekuatan dari persekongkolan itu. Dia mungkin
telah menduga-duga, bahkan mungkin juga telah tahu, siapa-siapa
yang terlibat di dalam peristiwa tragis itu, tetapi kepastian apakah
yang dimilikinya? Bukankah conspiracy bersifat rahasia? Hanya saja
kerahasiaan selalu berwajah ganda—rahasia adalah kekuatan, tetapi
sekaligus juga kelemahan. Ketika rahasia telah terbuka, conspiracy
berhenti sebagai conspiracy, dan jika ini terjadi maka kekuatan la-
wan yang telah terkonsolidasi dengan mudah dapat menghancurkan
mereka yang terlibat. Tetapi sebaliknya, dalam situasi kerahasiaan
www.facebook.com/indonesiapustaka

masalah yang menetap ialah bagaimanakah tindakan terbuka bisa


diselesaikan tanpa diketahui pihak lawan?

16

01-TA-16x24-terakir.indd 16 1/30/2012 9:39:00 PM


KRISIS NASIONAL DAN HARAPAN MASA DEPAN

Maka Soeharto pun dengan segera menentukan pangkal dari


mata rantai conspiracy yang paling dicurigainya—PKI dengan semua
organisasi bawahannya dan beberapa oknum AU. Ketika jawab itu
telah diberikan dan diwujudkan dalam pola tindakan, maka sia-sia­
lah pernyataan PKI pada tanggal 5 Oktober yang mengatakan par-
tai itu tak terlibat sama sekali. Apa pun mungkin dugaan Mayjen.
Soeharto tentang peranan Presiden Sukarno, hal itu dijadikannya se-
bagai sesuatu yang tidak relevan, yang tidak pula ingin diketahuinya
lebih jauh. Bukankah seluruh sistem wacana berada di bawah domi-
nasi Pemimpin Besar Revolusi, dan bukankah pula kehadirannya se-
bagai Panglima Kostrad berdasarkan legitimasi yang diberikan oleh
Panglima Tertinggi? Mikul duwur mendem jero, katanya kemudian,
sambil berfilsafat Jawa.
Maka begitulah PKI, yang sebelumnya telah semakin gencar me­
lancarkan ofensif ideologis dan politik, bukan saja terhadap semua
kekuatan yang dituding sebagai anti-revolusioner, terutama golongan
santri pemilik tanah (yang dianggap “setan desa”), tetapi juga ten-
tara (yang disimbolkan sebagai para “kapitalis birokrat”), dituduh
Soeharto sebagai dalang dari G30S. Letkol. Untung, katanya dalam
“otobiografi”-nya, adalah seorang pengikut komunis. Mata rantai
yang lain hanya diberlakukan sebagai oknum yang telah diperalat
oleh kekuatan nista dari musuh yang telah ditentukan. Ketika jawab
telah ditemukan, maka sebagai sebuah problem, masalahnya pun se-
lesai sudah. Seketika jawab definitif atas problem telah diberikan,
penyelesaian berupa tindakan dan sistem perilaku dalam segala ben-
tuk pun dijalankan. Dalam situasi ini tindakan keras dan moderat
hanyalah masalah taktik belaka, bukan lagi soal strategi yang harus
diperdebatkan.
Masalah tampaknya memang selesai tetapi hanya sebatas keharus­
an politik dan perimbangan kekuasaan saja. Dalam suasana inilah se-
www.facebook.com/indonesiapustaka

buah pertanyaan lain tertanyakan juga. Apakah jawab yang diwujud-


kan dalam sistem tindakan sebagaimana ditunjukkan Soeharto dan
AD itu adalah representasi yang akurat dari kebenaran sejarah yang

17

01-TA-16x24-terakir.indd 17 1/30/2012 9:39:00 PM


Taufik Abdullah

otentik? Hal ini rupanya juga disadari benar oleh pihak yang sedang
melakukan ofensif balasan itu. Karena itulah, untuk mengatasi segala
keraguan tentang otentisitas dari kebenaran yang telah dirumuskan
ini, dan sejalan pula dengan operasi militer dan penangkapan serta
pengerahan massa, usaha mempertahankan kredibilitas dari jawaban
yang telah diberikan terhadap pertanyaan fundamental dari peristiwa
itu dilakukan pula secara intensif. Sosialisasi dari rekonstruksi se-
jarah yang telah dibuat pun dijalankan juga. Jadi tidaklah menghe­
rankan kalau sinkronisasi antara tindakan dan sistem wacana, yang
dijalan­kan ketika segala peristiwa masih berada dalam perbendaha-
raan ingat­an pada tahap tertentu berhasil juga memberikan aura ke-
benaran. Apa yang dikatakan itu diusahakan agar diterima masyara-
kat sebagai gambaran dari kebenaran yang otentik. PKI adalah dalang
dan para pelaksana usaha coup, yang membawa bencana itu adalah
mereka yang telah berada di bawah pengaruhnya. Dengan begini se-
cara konseptual dan ideologis perwira dan anggota TNI yang ikut ser-
ta dalam gerakan itu dijadikan sebagai fakta yang “tidak pernah ada”,
karena mereka sesungguhnya telah terlebur ke dalam kategori musuh
yang harus disingkirkan.
Dalam alur pemikiran seperti inilah di belakang kata G30S, apa
pun mungkin landasan ideologis sesungguhnya dari gerakan ini, di­
tambahkan kata “PKI”. Keduanya bukanlah sekadar dua kesatuan
yang beraliansi, G30S/PKI dijadikan sebagai suatu keutuhan yang ti-
dak terpisahkan. Maka terlupakanlah bahwa untaian kata yang per-
tama, G30S, adalah fakta sejarah yang tak terbantahkan, sedangkan
yang kedua, PKI, adalah tuduhan yang dikenakan pada fakta itu.
Betapapun mungkin tingginya otentisitas yang diberikan oleh
jawab tunggal ini, tetapi dalam perjalanan waktu dan dinamika kese­
jarahan, jawab pasti yang telah diberikan itu mulai pula kehilangan
monopoli. Kebenaran lain mulai memasuki dunia wacana. Indonesia
www.facebook.com/indonesiapustaka

ternyata bukan saja tidak sebuah negeri yang tertutup, tetapi juga ter-
diri atas keragaman yang bisa melahirkan pertanyaan dan jawaban
yang berbeda-beda. Di samping peneliti dan pengamat asing yang

18

01-TA-16x24-terakir.indd 18 1/30/2012 9:39:00 PM


KRISIS NASIONAL DAN HARAPAN MASA DEPAN

memperkuat rekonstruksi ini dengan menunjukkan aspek-aspek lain


yang terabaikan dan menunjukkan pula jalinan persekongkolan yang
kompleks di dalam tubuh PKI dan AD serta unsur kemiliteran lain,
ada juga di antara mereka yang menyangsikan PKI sebagai “dalang”
yang menjadi pencetus dari peristiwa di malam dan subuh yang naas
itu. Maka ketika suasana krisis dan konflik sosial-politik yang teramat
mencekam itu telah mulai dilewati, berbagai corak pertanyaan pun
diajukan dan beragam kemungkinan jawab pun dilansir ke wilayah
publik, di dalam dan di luar negeri. Bagaimanapun juga kejatuhan
PKI, partai komunis terbesar yang berada di luar kekuasaan, dan
merosotnya wibawa Sukarno, yang sekian lama menjadi jurubicara
yang lantang dari Dunia Ketiga atau, yang disebutnya sebagai ‘New
Emerging Forces’, bukanlah peristiwa yang bisa dibiarkan berlalu be-
gitu saja di saat Perang Dingin sedang semakin panas.
Bagaimana mungkin PKI yang tampak jelas telah asyik menja-
lin hubungan yang akrab dengan Presiden Sukarno, melancarkan
usaha coup, dengan memakai anggota pasukan pengawal Presiden?
Bukankah dalam percaturan politik PKI sedang berada “di atas angin”?
Jangan-jangan PKI bekerja sama atau bahkan dimanfaatkan oleh
Presiden Sukarno untuk tujuan politiknya. Bukankah telah menjadi
pengetahuan umum pula bahwa hubungan Presiden dengan AD se-
dang mengalami pasang surut? Perbedaan pandangan atas usul PKI
untuk membentuk “angkatan kelima” dan “Nasakomisasi di bidang
kemiliteran”, sebagaimana yang telah terlaksana dalam birokrasi
pemerintahan, telah mendinginkan hubungan Panglima Tertinggi
dengan para panglima bawahannya. Tampaknya bukan pula rahasia
lagi bahwa politik “konfrontasi Malaysia” tidak sepenuhnya didu-
kung AD, tetapi sangat dipropagandakan PKI. Jadi, apakah masalah
yang sesungguhnya?
Tetapi mungkinkah desas-desus tentang lahirnya dan mulai
www.facebook.com/indonesiapustaka

bereaksinya Dewan Jenderal adalah faktor penyebab utama dari


semua ini? Mungkin PKI, atau lebih tepat unsur tertentu dari de-
wan pimpinannya, yang telah berada di pusat kekuasaan, takut juga

19

01-TA-16x24-terakir.indd 19 1/30/2012 9:39:00 PM


Taufik Abdullah

jangan-jangan Dewan Jenderal yang dianggap ada dan riill ini akan
mengadakan coup. Kalau usaha coup ini betul-betul terjadi berarti
lonceng kematian PKI akan segera pula dibunyikan. Apalagi pimpin­
an PKI tampaknya percaya benar bahwa penyakit yang diidap Bung
Karno telah semakin parah juga. Bukankah dokter-dokter dari RRT
telah meyakinkan Aidit soal ini? Kalau sekiranya Presiden Sukarno
ditakdirkan tidak bisa lagi berfungsi, bukankah militer lebih mem-
punyai kesempatan untuk merebut kesempatan untuk menduduki
pusat kekuasaan? Maka dalam alur pemikiran seperti ini, bukankah
sebaiknya rencana Dewan Jenderal itu didahului? Kegagalan dalam
alur berpikir inilah barangkali yang menyebabkan Bung Karno me­
ngatakan bahwa salah satu sebab terjadinya G30S ialah karena “PKI
keblinger”. Tetapi, kalau argumen ini dilanjutkan, bukankah Sukarno,
yang telah semakin akrab dengan PKI, menyadari juga hal ini, se-
hingga sebagaimana telah di-teori-kan juga, ia mungkin juga terlibat
dalam tahap perencanaan G30S itu, meskipun pembunuhan sama
sekali berada di luar skenario?
Dugaan tentang keterlibatan Sukarno umumnya bertolak dari se-
buah kesaksian, tanpa adanya sumber bandingan sebagai alat yang
disebut corroboration, alat penguji kebenaran, dan dari apa yang
bisa disebut sebagai circumstantial evidents, bukti-bukti yang ter-
bentuk berdasarkan pemahaman tentang logika dari sifat dan jalan-
nya peristiwa. Di masa-masa kritis, ketika PKI telah ditumpas dan
ketegangan antara Sukarno dengan kekuatan militer, di bawah
pimpinan Soeharto, dengan dukungan masyarakat yang anti-PKI,
terutama para mahasiswa dan pelajar, semakin memanas, kalangan
MPRS, yang telah mengalami pembaharuan dan diketuai Jenderal
Nasution, mempunyai kecurigaan yang agak keras juga atas keterli-
batan Sukarno. Seorang penulis/wartawan asing yang sengaja datang
ke Indonesia mungkin bisa dianggap sebagai peninjau pertama yang
mencurigai Bung Karno. Buku sang wartawan ini bahkan mendapat
www.facebook.com/indonesiapustaka

Pulitzer Prize. Beberapa peninjau asing, umumnya wartawan, juga


mencurigai sang Presiden. Kecurigaan, bahkan tuduhan, yang sama

20

01-TA-16x24-terakir.indd 20 1/30/2012 9:39:00 PM


KRISIS NASIONAL DAN HARAPAN MASA DEPAN

disampaikan oleh sebuah buku yang berjudul puitis, ‘Siapa Menabur


Angin Menuai Badai’. Berdasarkan kesaksian salah seorang mantan
pembantu Presiden Sukarno seorang ilmuwan asing, yang mencoba
melakukan rekonstruksi secara detail segala kejadian yang berkaitan
dengan penculikan para jenderal itu juga sampai pada tuduhan akan
keterlibatan Bung Karno. Tetapi, menurut sumber yang didapatnya,
seketika Sukarno mengetahui bahwa pembunuhan telah terjadi—
sesua­tu yang sama sekali tak diinginkannya—ia memutuskan hubung­
annya dengan para conspirators. Seorang ilmuwan asing lain bah-
kan melihat kemungkinan kerja sama tiga-segi, Aidit-Sukarno-RRT,
dengan dukungan unsur-unsur militer yang revolusioner. Lagi-lagi
pembunuhan para jenderal itu dianggap sebagai faktor utama yang
menyebabkan terjadinya kegagalan dari conspiracy ini.
Tetapi banyak juga pembahas yang menyangsikan kemungkin­an
keterlibatan Sukarno, apalagi menuduh pemimpin besar ini. Hanya
saja sebagian besar pembela Sukarno bertolak dari penilaian atas ke-
cenderungan perilaku pribadi dan politik pemimpin besar ini yang
mereka nilai adalah seorang humanis dan pencinta persatuan dan
kurangnya bukti yang meyakinkan. Sebuah buku yang khusus mem-
pelajari kemungkinan keterlibatan Sukarno dengan melakukan pem-
bahasan atas berbagai tulisan, berupa buku atau artikel, tentang ke-
mungkinan keterlibatan Bung Karno sampai juga pada kesimpulan
yang sederhana—tidak ada kepastian yang bisa didapatkan. Back
to square one, kata orang sana. Tetapi apakah mungkin Sukarno
menga­dakan coup terhadap dirinya sendiri? Ataukah memang ia–se-
bagaimana dituduhkan—sudah semakin mencurigai kesetiaan AD
pada dirinya sehingga ia ingin menyingkirkan mereka, meskipun—
sebagaimana juga selalu ditegaskan—tanpa sama sekali bermaksud
membunuh mereka? Ia, sang Pemimpin Besar Revolusi, hanya ingin
menghadapkan mereka pada pengadilan rakyat revolusioner. Apakah
mungkin pula ia sudah sedemikian terbawa oleh suasana revolusi
www.facebook.com/indonesiapustaka

yang diciptakannya sendiri sehingga ia bertindak sesuai dengan


pengalaman historis revolusi nasional yang secara empirik pernah

21

01-TA-16x24-terakir.indd 21 1/30/2012 9:39:00 PM


Taufik Abdullah

dialami, ketika penculikan politik biasa dipakai sebagai alat penye­


lesaian konflik politik? Ataukah ada skenario lain di balik semua
itu? Ataukah—siapa tahu—peristiwa itu sesungguhnya adalah usaha
coup yang sengaja digagalkan atau menggagalkan dirinya untuk men-
capai tujuan akhir yang sesungguhnya?
Circumstatial evidence tidak ubahnya dengan dugaan keras tentang
perilaku pengantin baru di malam pertama, sehabis resepsi pernikah­
an yang melelahkan dan setelah mereka menyendiri di kamar tidur.
Apakah yang mereka lakukan? Tetapi siapa tahu, mereka langsung
tertidur karena kelelahan. Nilai tertinggi dari pandangan berdasarkan
circumstantial evidence ialah kemungkinan logis, tetapi belum bisa
dipakai sebagai kepastian historis. Sebuah kesaksian memang bisa
dipakai, tetapi tanpa adanya corroboration menyebabkan kebenaran-
nya merupakan tanda tanya juga. Jadi, tidak bisa dengan begitu saja
dijadikan sebagai pegangan. Kebenaran sejarah biasanya secara logis
bisa diterangkan dan dipahami, tetapi sesuatu yang logis tidak sela-
manya mewakili kebenaran sejarah atau kepastian historis.
Hanya saja memang tidak pula bisa dibantah bahwa di samping
kerahasiaan, maka pengelabuan, deception, merupakan bagian esen-
sial dari setiap conspiracy. Kalau keharusan logika diikuti, maka bisa
diperkirakan bahwa seseorang yang bermaksud “begitu”, tetapi reali-
tas yang terjadi kemudian hanya bisa membuktikan bahwa ia sesung-
guhnya menginginkan “begini”. Jadi bagaimana? Begitulah, sampai
pada tahap ini, keterlibatan langsung Sukarno barulah berada pada
tahap hipotesis yang memerlukan pembuktian yang lebih meyakin­
kan, andaipun bukti konkret tidak bisa ditemukan. Hanya saja fakta
historis bahwa ia adalah yang paling bertanggung jawab dalam peme-
liharaan suasana serba-revolusioner dengan pemakaian paradigma
konflik dalam melihat realitas—suatu alam pikiran yang merupakan
struktur realitas dari terjadinya peristiwa—bagaimanapun juga tidak
www.facebook.com/indonesiapustaka

dapat diabaikan begitu saja.


Sementara itu, pertanyaan fundamental yang sama bisa juga sam-
pai pada kecurigaan awal yang berbeda. Siapakah yang telah terbukti

22

01-TA-16x24-terakir.indd 22 1/30/2012 9:39:00 PM


KRISIS NASIONAL DAN HARAPAN MASA DEPAN

secara sah terlibat? Di samping Untung dan kawan-kawannya, ternya-


ta ada juga perwira AD yang bukan saja terlibat, tetapi bahkan ikut
merencanakan dan tampil sebagai operatornya. Mereka adalah para
perwira yang kecewa terhadap perilaku pimpinan AD yang mereka
anggap tidak bisa mengikuti irama revolusi. Apa yang disebut sebagai
Cornell paper—karena ditulis oleh tiga ilmuwan muda ahli Indonesia
dari Cornell University—yang ditulis di saat dinamika sosial politik
yang dimunculkan oleh peristiwa di malam dan subuh yang naas itu
sedang berjalan, melihat bahwa sumber sesungguhnya dari gerak­an
G30S itu adalah Jawa Tengah, pusat Divisi Diponegoro. Inilah divisi
yang dianggap sebagai kesatuan tentara yang masih mempertahankan
semangat revolusioner yang murni, tetapi kecewa dengan perilaku
para jenderal yang bergaya “kabir” (kapitalis-birokrat), jika istilah
yang diperkenalkan Aidit dipakai. Karena itulah, gerakan ini juga
didukung oleh perwira yang bertugas di daerah, jauh dari segala fasili­
tas yang dirasakan telah menjauhkan pimpinan AD dari elan revolu-
si. Kalau begitu soalnya, maka akar dari peristiwa G30-S tidak lain
daripada konflik internal AD sendiri. Maka keterlibatan PKI, seperti
terungkap oleh dukungan yang diberikan oleh editorial Harian Rakjat
tanggal 1 Oktober, di satu pihak bisa dianggap sebagai guilty by as-
sociation, bersalah karena berteman dengan pihak yang melakukan-
nya. Bukankah bisa saja terjadi—kalau sebuah pepatah Perancis bisa
dibalikkan maknanya “musuh dari musuh saya adalah teman saya?”
Bukankah PKI sedang berada dalam situasi konflik terselubung de­
ngan AD? Tetapi di pihak lain, siapa tahu peristiwa ini adalah ba-
gian dari deception AD untuk memakaikan kesempatan krisis sebagai
dalih bagi penghancuran musuh. Hanya saja, jika kemungkinan ini
diperhitungkan, tentu timbul juga pertanyaan apakah dengan begi-
tu saja perwira progresif itu bersedia menjadikan AD dan negara di
bawah naungan PKI? Bukankah dengan melakukan pembunuhan itu
mereka telah berada di bawah jebakan moral dan politik PKI? Siapa
www.facebook.com/indonesiapustaka

yang akan percaya pada kekuatan progresif dari sang pembunuh?

23

01-TA-16x24-terakir.indd 23 1/30/2012 9:39:00 PM


Taufik Abdullah

Ketika peralihan kekuasaan dari Demokrasi Terpimpin ke Orde


Baru telah selesai, sebuah pertanyaan lain pun tidak terelakkan.
Siapakah yang mendapat keuntungan dari tragedi nasional ini?
Jawabnya mudah—Soeharto. Tetapi mengapa sebegitu “mudah” tam-
paknya ia menyelesaikan semuanya? Mengapa saksi-saksi penting,
Aidit, Untung, dan sebagainya, dengan begitu saja secara abadi “di­
amankan”? Jangan-jangan? Atau mungkinkah Soeharto membiarkan
peristiwa itu terjadi, meskipun ia telah diberitahu (sebagaimana di-
katakan Kolonel Latief, seorang yang terbukti sebagai conspirator),
karena ia pun, seperti halnya dengan Sukarno, mungkin percaya juga
dengan kecenderungan politik dalam suasana revolusi, ketika pen-
culikan biasa dipakai sebagai alat jebakan politik. Lagi-lagi ber­bagai
circumstantial evidence tampil ke permukaan. Tetapi tampaknya
pada takaran yang lebih ringan. Sebenarnya, kata seorang ilmuwan
asing, kalau sekiranya keharusan yang dikenakan kepada anggota
PKI dijalankan dengan konsisten, maka “Soeharto termasuk golong­
an B”—tidak tokoh utama, tetapi cukup penting untuk “diamankan”.
Repotnya dengan pandangan ini ialah bahwa kalau dalam logika “ke-
benaran hukum” bisa saja yang sangat terlibat atau agak terlibat, atau
bahkan mengetahui saja tetapi tidak memberitahukannya, bisa sama-
sama dihukum, meskipun berbeda berat ringannya, tetapi kebenar­
an sejarah menuntut kepastian tunggal. Siapa yang melakukannya
dan siapa pula merencanakannya. Jadi, pokoknya, siapa saja yang
terlibat?
Pilihan dari kemungkinan aktor yang bermain di belakang peristiwa
G30S belum berakhir. Bukankah posisi geografis dan bahkan politik
Indonesia cukup strategis dalam suasana dan konstelasi politik inter­
nasional yang sangat diwarnai Perang Dingin antar blok Barat dan
Timur? Amerika Serikat, yang sedang sibuk “mengurus” masalah
Vietnam yang diwarisinya dari Perancis, dengan jalan memerangi
Vietnam Utara dan mencoba membersihkan Vietnam Selatan dari
www.facebook.com/indonesiapustaka

gerilya Vietcong, sangat berkepentingan sekali agar Indonesia tidak


semakin jauh terlarut dalam bermain main-mata dengan RRT. Hari

24

01-TA-16x24-terakir.indd 24 1/30/2012 9:39:00 PM


KRISIS NASIONAL DAN HARAPAN MASA DEPAN

demi hari kemungkinan ke arah terjalinnya keakraban dua negara Asia


yang besar itu mereka lihat semakin dekat saja. Bagaimana Amerika
Serikat bisa melupakan ejekan Sukarno, ‘Go to hell with your aids?’
Apalagi ejekan yang bernada kebencian ini dikatakan berulang-ulang,
Jika saja kemungkinan PKI semakin kuat itu menjadi kenyatan yang
tak terbantahkan, maka sudah bisa pula diperkirakan bahwa dominasi
kekuatan Barat di perairan Pasifik dan Lautan Hindia dan, tentu
saja, di seluruh Asia Tenggara akan terancam. Jadi, bukankah masuk
akal juga kalau CIA berkepentingan akan kejatuhan Sukarno dan
kehancuran kekuatan PKI? Jika Sukarno bisa dijatuhkan, bukan saja
suara lantang yang selalu mengecilkan arti Amerika dalam konstelasi
politik dunia dapat dibungkam, namun kekuatan komunis yang be­
sar di Asia Tenggara tentu lebih mungkin pula bisa dilumpuhkan.
Benar juga. Karena itu, bisa saja G30S itu sesungguhnya merupa­
kan hasil rekayasa CIA, sedangkan penumpasan yang dilakukan AD
sepenuhnya mendapat bantuan logistik CIA. Mungkin juga. Tetapi
bukan saja kehadiran hal yang dianggap mewakili kepentingan
atau kehadiran Amerika Serikat telah semakin menciut juga, bukti-
bukti yang lebih konkret masih belum juga didapatkan. Tampaknya
memang harus dibuat juga perbedaan tingkat keterlibatan CIA pada
masa “sebelum” dan “sesudah” peristiwa di malam naas di peralihan
September-Oktober itu.
Bagaimana pula dengan kemungkinan keterlibatan RRT? Apakah
negara besar ini hanya penonton saja, tetapi kemudian dipersalahkan
karena menonton “pertunjukan yang semestinya disensor”? Tetapi
siapa yang bisa percaya bahwa RRT tidak lebih dari sekadar idle ob-
server atau pemerhati yang tak perduli saja? Pertama, negara komunis
Asia, yang baru saja melancarkan “revolusi kebudayaan” yang sangat
radikal, RRT, telah terlibat dalam persaingan sengit dengan mantan
mentornya, Uni Soviet. Kedua, pimpinan utama PKI mulai terbelah
antara mereka yang pro-Moscow dan yang pro-Beijing. Ketiga, bu-
www.facebook.com/indonesiapustaka

kankah Sukarno dengan nada pasti mengatakan adanya axis atau po-
ros Jakarta-Phnom Penh-Pyongyang-Beijing yang berarti membawa

25

01-TA-16x24-terakir.indd 25 1/30/2012 9:39:00 PM


Taufik Abdullah

RRT ke dalam suatu ikatan persahabatan yang bersifat internasional?


Jadi, bukankah hal yang wajar saja kalau RRT yang masih berada di
luar PBB ingin mendapatkan sistem aliansi baru yang lebih mengun-
tungkan? Indonesia, yang mempunyai partai komunis terbesar di
luar Uni Soviet dan RRT, haruslah berada dalam sistem aliansi baru
ini—melawan AS, mengingkari Moscow. Jadi, bisa saja diperkirakan
bahwa sejak awal RRT telah terlibat, apa pun mungkin corak keterli-
batan itu. Bahwa kemungkinan ini juga dianut oleh AD dan elemen
anti-PKI—tanpa adanya usaha membuktikannya—bisa dilihat dengan
berbagai tindakan anti-RRT yang dijalankan. Maka selama beberapa
tahun hubungan diplomatik Indonesia-RRT praktis terputus.
Manakah dari semua versi ini yang memantulkan kebenaran
otentik? Atau mungkinkah setiap versi sesungguhnya mempunyai
unsur-unsur yang memantulkan kebenaran? Mungkin sekarang, ke-
tika berbagai kepentingan politik yang sensitif telah terselesaikan,
kebenaran itu bisa ditemukan juga kalau masalah ini dibongkar lagi.
Masa lalu tidak akan kembali. Apa yang terjadi telah terjadi dan tidak
bisa dibuat sebagai hal yang tak pernah terjadi. Tetapi hasrat untuk
mendapatkan kebenaran adalah manusiawi. Bukankah mendapatkan
jawab dari sebuah pertanyaan adalah hal yang paling mendesak yang
selalu dirasakan? Tetapi bagaimana mendapatkannya?
Sejarah sebagai usaha untuk mendapatkan pengetahuan yang
benar tentang peristiwa yang terjadi di masa, lalu sangat tergantung
pada tersedianya sumber-sumber yang bisa dipercaya. Tulisan, ingat­
an, benda, dan bekas-bekas sebagai akibat dari terjadinya suatu peris-
tiwa, merupakan sumber-sumber yang mungkin bisa dipakai. Tetapi
boleh dikatakan tidak ada sumber-sumber yang lengkap pada dirinya,
maka berbagai usaha harus dilakukan supaya kelengkapan didapat-
kan. Masalahnya menjadi semakin sukar, bukan saja karena sum-
ber-sumber bisa saja saling bertentangan, tetapi juga karena ada juga
www.facebook.com/indonesiapustaka

sumber yang dengan sengaja dibuat oleh aktor yang terlibat atau oleh
suatu kepentingan politik untuk mengelabui. Maka berbagai corak
kritik pun harus diperlakukan. Tetapi masalahnya pun muncul juga

26

01-TA-16x24-terakir.indd 26 1/30/2012 9:39:00 PM


KRISIS NASIONAL DAN HARAPAN MASA DEPAN

ketika rekonstruksi telah harus menjawab pertanyaan “bagaimana”


dan “mengapa”. Tiba-tiba kepastian kronikel tentang “siapa” dan
“bila” menjadi masalah. Bagaimanakah semuanya harus diatasi kalau
masalah telah bermula sejak kesahihan sumber harus dipertanyakan?
Mengapa sumber “ini” dianggap lebih bisa dipercaya dari sumber
“itu”?
Maka, begitulah bisa dikatakan bahwa kecenderungan pemikir­
an dan ideologis dan politik, bahkan juga kepentingan politik yang
partisan, bisa bermain dalam usaha mengadakan “rekonstruksi” se-
jarah, terutama sejarah kontemporer yang masih menjadi bagian dari
ingatan kolektif dan dirasakan masih mempunyai dampak bagi ke-
hidupan. Dalam suasana ketika sejarah, yang ingin mendapatkan ke-
benaran yang pasti, telah diselimuti suasana misteri, yang mengabur-
kan segala “kepastian sejarah”, historical certainty, pengetahuan dan
pemahaman yang mendalam atas struktur yang menjadi wadah dari
peristiwa itu dan tentang aktor-aktor (“siapa”) yang terlibat (apa pun
mungkin peranannya), adalah kemestian yang tidak bisa dihindar-
kan. Bagaimanakah struktur realitas itu dan bagaimana pulakah para
aktor memahaminya, sehingga ia atau mereka, para aktor itu, berbuat
sesuatu atas realitas yang dipahaminya itu. Perbuatan itu—apapun
mungkin coraknya—terjadi ketika perpaduan antara Weltanschauung
sang pelaku, dengan sistem rasionalitas yang dipeliharanya menga-
dakan dialog yang intens dengan struktur realitas yang mengitarinya.
Perbuatan itu dilakukan karena secara emosional disenangi—seakan-
akan menjadikan sesuatu yang diinginkan—dan secara rasional, ma-
suk akal.

Konflik Sosial dan Tragedi Kehidupan Bangsa


Hari-hari, bahkan jam-jam, setelah perisistiwa menjelang subuh yang
mengenaskan itu terjadi, peningkatan krisis menuju kulminasi trage-
www.facebook.com/indonesiapustaka

di dari kehidupan bangsa pun seakan-akan dibiarkan berjalan begitu


saja. Ketika, beberapa hari kemudian, lubang penimbunan mayat
para jenderal yang telah terbunuh itu ditemukan dan dikuburkan

27

01-TA-16x24-terakir.indd 27 1/30/2012 9:39:01 PM


Taufik Abdullah

kembali dengan semestinya dan dengan penuh kehormatan, dua hal


sekaligus terjadi—konflik sosial terbuka di berbagai daerah segera
menampakkan dirinya dan konflik politik di Jakarta berjalan dengan
kencang. Seketika foto-foto para jenderal yang telah dibunuh itu dise-
barkan di media massa, maka dengan begitu saja information, kete­
rangan tentang peristiwa, dan misinformation, pengelabuan fakta,
segera menemukan afinitasnya. Dan dengan begini bukan saja ke-
benaran otentik mengalami pengaburan, unsur-unsur konflik yang
telah tertanam pun mengalami proses pembesaran. Maka malam-
malam dan hari-hari yang penuh malapetaka pun menyelimuti ke-
hidupan anak-bangsa di beberapa daerah. Di kota-kota mungkin saja
terjadi demonstrasi yang mempercepat krisis wibawa rezim Demokrasi
Terpimpin dan penangkapan orang-orang yang dicurigai sebagai
peserta, atau bahkan hanya sebagai pembantu yang terbawa-bawa
oleh kegelisahan situasi, tetapi di wilayah pedesaan di berbagai dae-
rah, konflik agraris yang horizontal dengan begitu saja tercampur
baur dengan terorisme yang vertikal. Ketika konflik sosial dan teror
negara telah tercampur dan terbaur pada darah yang tertumpah,
maka benih dendam sosial yang pahit pun bersemi dan tumbuh
subur.
Meskipun gagal dalam advonturir politiknya, G30S adalah pence-
tus dari melebar dan semakin berkecamuknya konflik sosial yang bah-
kan mengaburkan batas-batas kepentingan agraris, kepedulian akan
kesucian agama, pertentangan politik dan ideologis. Dalam berbagai
kejadian, batas-batas antara konflik sosial dan terorisme negara pun
mencair begitu saja. Tetapi memang semuanya tidak bermula dari
situasi kevakuman. Semuanya berakar dari situasi sosial-politik dan
ekonomi yang telah menunjukkan suasana yang semakin eksplosif.
Pertumbuhan penduduk yang eksplosif, sistem warisan yang mem-
bagi tanah bagi keturunan, eksploitasi kolonial, sampai dengan berke-
www.facebook.com/indonesiapustaka

camuknya perang dan revolusi, telah menyebabkan pedesaan Jawa se-


makin terjerumus dalam situasi ketimpangan sosial. Petani bukanlah
sebuah kategori kelas sosial, tetapi situasi sosial-kultural, yang terdiri

28

01-TA-16x24-terakir.indd 28 1/30/2012 9:39:01 PM


KRISIS NASIONAL DAN HARAPAN MASA DEPAN

atas beberapa lapis ekonomi, yang ditandai oleh perbedaan hubung­


an dengan tanah—pemilik atau hanya penggarap—dan tingkat luas
pemilikan tanah. Dalam struktur ketimpangan sosial-ekonomis yang
mempunyai kemungkinan untuk membuahkan situasi konflik inilah
berbagai mekanisme kultural, yang menekankan keselarasan sosial,
dipelihara dan senantiasa dikembangkan. Selama tidak ada counter-
ideology, ideologi yang mengingkari keabsahan harmoni dalam sua-
sana ketidakadilan sistem sosial, maka suasana yang relatif tenteram
masih bisa dijaga. Berbagai mekanisme kultural dan sosial dipelihara
agar anggota masyarakat desa dapat berbuat sesuai dengan tempatnya
pada skala ekonomi dan stratifikasi sosial yang diwarisi dan dinamika
yang terjadi. Maka di samping urbanisasi, kemudian juga kolonisasi
dan transmigrasi, berbagai corak “senjata orang yang lemah”—mulai
dari anekdot yang sarkastik sampai de­ngan protes damai di kantor lu-
rah—situasi kepincangan sosial masih mungkin ditolerir dan bahkan
dipelihara agar kegelisahan tersalurkan dan ketenteraman sosial se-
bagai keseluruhan tidak pula terganggu. Berbagai corak seni pertun-
jukan rakyat, umpamanya, bisa dilihat sebagai perwujudan perlawan­
an kultural terhadap ketidakadilan sosial dan sekaligus dapat pula
dipahami sebagai usaha penyaluran secara damai segala keresahan
sosial-ekonomis, bahkan kultural, yang menguasai terasa menguasai
kehidupan.
Tetapi ketika ideologisasi dari ketimpangan sosial-ekonomis itu
telah diperkenalkan sebagai ketidakwajaran yang tidak adil dan poli-
tisasi desa telah pula dilakukan, maka realitas sosial pun akan terbaca
dan terasakan sebagaimana adanya—“situasi sosial sekarang adalah
suatu ketidakpantasan yang harus diakhiri”. Masalahnya pun sema-
kin parah juga, karena kedua proses itu juga didampingi, bahkan se­
sungguhnya dibawa oleh suatu sistem asosiasi yang baru, yang bukan
diwarisi secara tradisional, apalagi primordial. Masuknya kehidupan
politik kepartaian ke wilayah pedesaan ternyata bukan saja berperan
www.facebook.com/indonesiapustaka

sebagai saluran bagi aspirasi sosial dan politik anggota masyarakat.


Partai-partai politik dengan landasan ideologi yang berbagai-bagai itu

29

01-TA-16x24-terakir.indd 29 1/30/2012 9:39:01 PM


Taufik Abdullah

membuat batas-batas kelompok-sosial berdasarkan pilihan pribadi


atau atas pengaruh tokoh panutan. Dengan begini maka masyara-
kat desa pun mengalami fragmentasi. Segala perbedaan sosial dan
kecenderungan kultural mulai tersalin ke dalam perbedaan pilihan
asosiasi bikinan atau partai politik. Pemilihan Umum 1955 dinilai
para penga­mat sebagai pemilihan umum yang paling bersih dan
bebas (jika dibanding dengan Pemilu di masa Orde Baru), tetapi ke-
tika itu pulalah sesungguhnya segala perbedaan sosial-kultural dan
ketim­pangan sosial-ekonomi mengalami proses ideologisasi dan di-
rumuskan dalam bahasa politik. Dalam situasi ini maka segala corak
stratifikasi—sosial, ekonomi, politik atau apa saja—bisa saja dipa-
hami sebagai ketidakwajaran yang harus diakhiri. Pemilihan Umum
yang demokratis sekaligus adalah juga pemberi konfirmasi tentang
keabsah­an peta sosial tentang “siapa” yang masuk “golongan mana”.
Kalau telah begini keadaannya, maka kisah selanjutnya pun se-
makin ditentukan oleh tingkat militansi dan ketegaran sikap asosiasi
sosial baru yang disebut partai politik itu dalam konteks masyara-
kat pendesaan. Dalam suasana inilah Barisan Tani Indonesia, yang
ber­afiliasi dengan PKI, semakin menyebarkan pengaruhnya. Di masa
ketika Demokrasi Terpimpin telah semakin menguasai wacana, maka
kesejajaran sistem wacana pun bisa dinikmati BTI. “Revolusi tanpa
henti” adalah suatu ajaran dan panggilan yang sesuai dengan keha-
rusan peniadaan kelas-kelas sosial, berdasarkan tingkat kepemilikan.
Ketika situasi sosial-ekonomi lokal pedesaan telah dibaca dengan me-
makai acuan dari ajaran revolusi yang mengagungkan konflik sebagai
solusi, unsur-unsur fragmentasi sosial pun semakin mendalam juga.
Ketika pemerintah Demokrasi Terpimpin yang revolusioner menge­
luarkan Undang-Undang Pokok Agraria yang ingin mengatasi ke­
timpangan dalam sistem pemilikan tanah, maka peluang hukum pun
telah pula didapatkan. Tetapi sebelum pemerintah bisa menjalankan
land reform, sebagaimana diamanatkan undang-undang itu, apa yang
www.facebook.com/indonesiapustaka

disebut “aksi sepihak” terjadi di beberapa wilayah pedesaan di Jawa


Tengah dan Jawa Timur. Para pengikut BTI, dengan jalan kekerasan,

30

01-TA-16x24-terakir.indd 30 1/30/2012 9:39:01 PM


KRISIS NASIONAL DAN HARAPAN MASA DEPAN

ingin segera membagi-bagi tanah sesuai dengan ketentuan undang-


undang. Karena kebetulan sebagian golongan sosial pemilik tanah
yang dianggap berlebih itu adalah golongan masyarakat yang terma-
suk variant agama, yang disebut oleh C. Geertz sebagai santri, dan
pesantren, yang mendapatkannya lewat wakaf, maka landasan kul-
tural golongan ini, yaitu kesetiaan pada Islam, bisa dijadikan sebagai­
an ejekan, oleh BTI, yang sebagian besar mempunyai kecenderungan
kultural, abangan. Maka agama, sebuah unsur kehidupan sosial-kul-
tural yang dipertanggungjawabkan secara transedental dan tidak bisa
ditawar-tawar, dengan begitu saja dijadikan sebagai ketidakwajaran
yang bisa jadi sasaran ejekan. Patiné Gusti Allah adalah sebuah judul
sandiwara yang tak pernah bisa dilupakan dan dibiarkan. Dengan be-
gini, dendam harta pun telah terbaur dengan panggilan jihad untuk
membela kesucian agama.
Konflik keras di pedesaan itu bermula tidak lama setelah unsur-un-
sur G30S di daerah membunuh panglima setempat, seperti yang ter-
jadi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Maka ketika Jakarta relatif telah
terbebas dari ancaman G30S, pasukan RPKAD pun dilepas ke dae-
rah. Dengan begitu saja keadaan segera membalik. Sekarang mereka,
yang selama ini berada di bawah bayangan ancaman BTI-PKI, tampil
dengan berani, bahkan teramat berani dan nekad. Maka begitulah,
wilayah pedesaan di beberapa daerah pun bersimbah darah. Ketika
hal itu terjadi segala hal yang bisa dipakai untuk menyalurkan rasa
marah terbaur menjadi satu. Perbedaan politik, pertentangan ideolo-
gi, panggilan jihad, keharusan pengembalian hak yang sah, bahkan
juga dendam pribadi dengan begitu saja dirumuskan dalam kesatuan
pendapat yang mengerikan—BTI-PKI tidak punya hak untuk hidup.
Penentangan pada BTI dan PKI serta pengikutnya, yang telah di-
anggap sebagai penyerobot tanah, pemeluk ideologi yang anti-Tuhan,
dan sebagainya, merupakan unsur yang umum berlaku, tetapi tingkat
www.facebook.com/indonesiapustaka

intensitas serta latar belakang sosial-kultural yang ikut menentukan


corak konflik agraris ini berbeda-beda. Bali, salah satu daerah, di
samping Jawa Timur dan Jawa Tengah, yang mengalami krisis yang

31

01-TA-16x24-terakir.indd 31 1/30/2012 9:39:01 PM


Taufik Abdullah

paling parah, tidak merasakan adanya unsur-unsur konflik agama,


karena semua yang terlibat berada dalam suasana dan keterikatan
keagamaan yang sama. Tetapi di samping perbedaan kasta, yang ter-
pantul bukan saja dalam sistem stratifikasi sosial, kelas ekonomi serta
tradisi, konflik politik dan pribadi yang terbuka juga ikut memainkan
peranan.
Demikianlah jadinya—diingkari atau tidak—namun sekian ba­
nyak duka cerita telah tertancap dalam ingatan kolektif bangsa.
Maka, siapakah yang tahu pasti berapa banyak anak bangsa yang ter-
bunuh di bulan-bulan akhir 1965 dan awal 1966 itu? Bulan-bulan ini
merupakan lembaran hitam pekat dalam sejarah bangsa. Inilah pula
lembaran yang sampai kini masih menghantui kehidupan bangsa.
Lembaran hitam terpampang juga ketika masa depan yang cerah dan
cerdas telah semakin ingin dirintis. Mestikah diherankan kalau usaha
pelupaan dilakukan juga, tetapi sayangnya setiap kali diusahakan, se-
tiap kali pula kisah yang ternukil di lembaran hitam itu terbayang
kembali.
Hasrat Orde Baru untuk selamanya menghapus kehadiran PKI
yang “anti-Tuhan”, dan karenanya juga “anti- Pancasila” yang diwu-
judkan dengan membagi-bagi anggota PKI atas golongan A, yang ha-
rus dibuang, B, yang semestinya dipenjarakan, dan C, yang disingkir-
kan secara politik, bukan saja berarti terjadinya marginalisasi sosial,
tetapi juga diperabadikannya ingatan pada lembaran hitam tersebut.
Apalagi strategi sosial politik yang mengharuskan setiap warga “ber-
sih diri” dan “bersih lingkungan” hanya menjadikan tradisi dendam
berlanjut dan tidak mudah pudar. Karena itu bisalah dipahami juga
kalau salah satu akibat langsung dari jatuhnya Orde Baru adalah tun-
tutan akan apa yang disebut sebagai “pelurusan sejarah”, yang praktis
menuntut pembalikan kisah sejarah yang dominan. Maka tiba-tiba si-
fat otoriter dan pemonopolian kebenaran yang dimiliki rekonstruksi
www.facebook.com/indonesiapustaka

sejarah yang ingin dihancurkan dengan begitu saja telah diambil alih.
“Hanyalah versi sejarah saya yang benar”, katanya sambil menuntut
pembalasan dendam sejarah.

32

01-TA-16x24-terakir.indd 32 1/30/2012 9:39:01 PM


KRISIS NASIONAL DAN HARAPAN MASA DEPAN

Dari Demokrasi Jalanan ke Peralihan Kekuasaan


Situasi krisis bukan saja membuka kemungkinan yang saling berten-
tangan, tetapi ada kalanya berwajah ganda juga. Ketika di berbagai
wilayah pedesaan suatu suasana baru yang dirintis melalui kegalau-
an tragis yang teramat menyesakkan perasaan sedang terjadi, di kota-
kota terutama di ibukota negara, Jakarta, kesadaran akan keharusan
bermulanya zaman baru semakin keras juga dirasakan. Sementara
AD, di bawah pimpinan Mayor Jenderal Soeharto, sibuk dengan sega­
la macam pembersihan politik, maka di kalangan sarjana, maha-
siswa, dan bahkan pelajar, mulai ada usaha merintis jalan ke arah
terwujudnya tatanan sosial-politik dan ekonomi yang baru.
Dalam masa satu-dua hari saja—pada tanggal 2 Oktober 1965—
kalangan dan organisasi pemuda, yang selama ini dipinggirkan dan
bahkan terancam oleh sistem wacana yang serba-revolusioner dan or-
ganisasi kepemudaan yang semakin memperlihatkan sifat kekelitian
yang semakin keras, segera tampil. Mereka adalah para pemimpin
dan anggota organisasi pemuda dan mahasiswa berdasarkan Islam,
sosialisme, dan Katolik. Dalam pertemuan yang diadakan bersama itu
mereka pun dengan penuh keyakinan menuduh PKI dan anak-anak
organisasinya sebagai otak dari pelaku usaha coup dan pembunuhan
para jenderal. Dengan terjadinya peristiwa ini maka roda dinamika
kehidupan politik para pemuda dan mahasiswa yang selama ini telah
dijinakkan Pemimpin Besar Revolusi dan diancam PKI, kembali ber-
gulir. Dengan begitu saja alur peristiwa demi peristiwa mengalir de­
ngan cepat. Jakarta telah menjadi medan demonstrasi yang menuntut
hal-hal yang saling bertentangan. Ketika itulah berbagai kesatuan aksi
bermunculan—para sarjana mendirikan KASI, Kesatuan Aksi Sarjana,
para mahasiswa, yang bermarkas tak resmi di kampus UI Salemba,
menggabungkan diri dalam KAMI, Kesatuan Aksi Mahasiswa, dan
para pelajar yang masih duduk di sekolah menengah pun bersatu
www.facebook.com/indonesiapustaka

dalam KAPI atau KAPPI bagi para pelajar yang telah menjadi anggota
organisasi yang mempunyai afiliasi politik.

33

01-TA-16x24-terakir.indd 33 1/30/2012 9:39:01 PM


Taufik Abdullah

Tak lama setelah Jakarta, para pemuda dan mahasiswa di kota-kota


lain pun mulai pula memasuki periode ketika demonstrasi menjadi
suasana harian. Terjadi di saat ekonomi bangsa sedang mengalami
kemerosotan yang nyaris fatal—dengan inflasi sekitar 600%—para
mahasiswa-demonstran itupun mengeluarkan Tritura, tiga koman­
do rakyat. Dengan memakai sistem wacana yang dipelihara oleh
Demokrasi Terpimpin yang revolusioner, mereka menuntut pem-
bubaran PKI, penurunan harga dan pembubaran kabinet Dwikora.
Dengan “komando” ini maka mereka sesungguhnya telah menggugah
keabsahan dari keberlanjutan Demokrasi Terpimpin. Dalam suasana
pengingkaran inilah intensitas demonstrasi menaik dengan pengru-
sakan gedung-gedung yang dianggap sebagai simbol dari krisis nasio­
nal yang kini menggerogoti Indonesia. Kantor pusat PKI yang cukup
megah diserbu dan dokumen-dokumennya dibakar. Bahkan kantor
kedutaan besar RRT, negara yang dicurigai berada di belakang usaha
coup atau setidaknya mendukung, dirusak dan diacak-acak. Jika saja
hal itu belum memadai maka anak-anak KAPI dengan begitu saja
mengambil inisiatif untuk mengacau kantor Departemen Luar Negeri
RI. Benar atau salah, mereka—sebagaimana masyarakat umum yang
sedang gelisah lainnya—menuduh Subandrio, Menteri Luar Negeri,
sebagai seorang “Durno”, penasehat yang menjebak sang Raja. “Kalau
ini bukan tindakan anti-revolusi”, kata Bung Karno dengan helaan
napas panjang kekecewaan, “apalagi namanya?”
Maka Bung Karno pun mengalami tragedi yang paling tragis dalam
hidupnya sebagai pemimpin bangsa. Di zaman kolonial ia pernah
dipenjarakan dan bahkan dibuang, tetapi ia bisa menghadapinya
dengan keyakinan bahwa bangsa yang dicintainya senantiasa men-
doakan keselamatannya. Sebagai Presiden iapun pernah juga di-
tawan dan diasingkan, tetapi ia bisa melihatnya sebagai bagian dari
strategi perjuangan, karena di bawah Pemerintah Darurat Republik
Indonesia, Republik Indonesia masih utuh berdiri, betapapun usaha
www.facebook.com/indonesiapustaka

penggerogotan daerah dan kekuasaan dilakukan Belanda dengan in-


tensif. Tetapi ketika waktunya telah datang ia pun kembali ke Jakarta

34

01-TA-16x24-terakir.indd 34 1/30/2012 9:39:01 PM


KRISIS NASIONAL DAN HARAPAN MASA DEPAN

dalam suasana kemenangan. Akhir Desember 1949 adalah hari yang


terindah dalam karirnya sebagai pemimpin bangsa. Ia kembali ke
Jakarta dalam suasana kemenangan—ia kembali ke Kota Proklamasi
sebagai Presiden dari sebuah negara yang berdaulat. Tetapi betapa
cepat waktu berlalu. Lima belas tahun kemudian ia, yang kini telah
merangkul dalam dirinya semua jabatan tertinggi konstitusional dan
kedudukan ideologis—Pemimpin Besar Revolusi dan Penyambung
Lidah Rakyat—dan bahkan telah pula dikukuhkan sebagai Presiden
Seumur Hidup oleh MPRS, yang diangkatnya, harus menghadapi ke-
nyataan betapa semakin banyaknya anak bangsa yang dengan keras
dan terbuka memasalahkan legitimasi historis yang dimilikinya dan
legitimasi konstitusional yang telah dipercayakan kepadanya.
Mungkin pengingkaran oleh sebagian anak bangsa terhadap legiti-
masinya masih bisa diterimanya dengan dada yang lapang. Bukankah
sudah sejak pertengahan 1950-an gaya kepemimpinannya telah de­
ngan sangat keras dipermasalahkan, baik secara konstitusional, di
parlemen, atau dalam pertemuan terbuka, bahkan juga dengan pem-
berontakan terbuka dan usaha pembunuhan yang terselubung. Tetapi
kini, apakah yang terjadi? Bukan saja kedudukan konstitusionalnya
digugat, keabsahan ideologis yang diberikannya pada dirinya pun di-
jadikan sama sekali tak berfungsi. Mereka, anak bangsa para penggu-
gatnya, menuntutnya agar membubarkan PKI. Tetapi mana mungkin
Presiden Sukarno menyetujuinya, bukankah, seperti katanya juga,
PKI adalah partai perjuangan yang paling konsisten? Ia, sebagaimana
ia melihat dirinya, tidak hanya sekadar Presiden RI, tetapi adalah
juga pemimpin dari The New Emerging Forces? Bagaimanakah pera­
saan seorang Presiden yang sangat mencintai bangsanya, ketika ia
menyadari bahwa ia sama sekali tidak berdaya menghentikan konflik
sosial berdarah dan tindakan yang mengacu pada terorisme negara
di berbagai daerah. “Aku seperti dikentuti saja, Saudara-saudara,” ke-
luhnya dalam suatu rapat raksasa. Ia masih Presiden dan “Perdana
www.facebook.com/indonesiapustaka

Menteri”, katanya berulang-ulang, apalagi sistem wacana serba-revo­


lusi yang diperkenalkannya masih juga menjadi hiasan bibir para

35

01-TA-16x24-terakir.indd 35 1/30/2012 9:39:01 PM


Taufik Abdullah

penentangnya. Tetapi terlepas dari semua itu, ia, sang Panglima Besar
Revolusi, telah dijadikan tak relevan oleh aliansi kekuatan politik
yang sedang terbentuk.
Begitulah, di saat-saat peristiwa krisis politik berlangsung dengan
sangat cepat bahkan saling bertumpukan ini, kedudukan Presiden
Sukarno semakin terjepit juga. Betapapun mungkin wacana revolu-
si yang dipupuk dan diajarkannya masih dipakai, tetapi makna dan
arah wacana itu telah semakin menjauhi ajarannya. Ketika ia men-
coba untuk mengembalikan sesuatu yang dirasakannya telah mulai
hilang, dengan membentuk kabinet yang terbesar dalam sejarah ia
pun mendapat penentangan yang nyaris total dari para mahasiswa.
Istana diblokir, sehingga para menteri baru yang akan menghadiri si-
dang kabinet pertama dilantik harus didatangkan dengan helikopter.
Tetapi ketika itulah korban di kalangan mahasiswa jatuh, dan seketika
itu pula jalan kembali telah tertutup. Dengan tergesa-gesa Presiden,
diikuti beberapa menteri senior, menyingkir ke istana Bogor. Di sini-
lah Presiden akhirnya mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret (Super
Semar), yang sampai kini kontroversial, kepada Soeharto, Menteri
Pertahanan yang telah semakin memperkuat basis kekuasaan. Sejak
itu Sukarno hanya bisa bergerak dalam suasana kepura-puraan, se-
bab realitas kekuasaan telah mulai berpindah.
Apa pun mungkin latar belakang dari Super Semar itu dan seperti
apa pun suasana yang mengitarinya, namun yang jelas ialah surat
perintah ini bermata dua. Di satu pihak, surat perintah ini seakan-
akan memberi kekuasaan yang tak terbatas kepada Soeharto untuk
menyelesaikan masalah keamanan, tetapi di pihak lain perintah ini
menjerat sang pengemban perintah. Sebab ia diperintahkan untuk
menjaga keselamatan Presiden, memelihara ajaran Pemimpin Besar
Revolusi, dan melaporkan semua tindakannya kepada Presiden.
Hanya saja yang terjadi tidak selamanya sesuai dengan skenario
www.facebook.com/indonesiapustaka

yang telah direncanakan. Seketika Soeharto, yang sedang kena flu,


menerima surat perintah yang diantar oleh tiga jenderal koleganya,
ia pun mengambil tindakan yang drastis. “Pengembalian keamanan”

36

01-TA-16x24-terakir.indd 36 1/30/2012 9:39:01 PM


KRISIS NASIONAL DAN HARAPAN MASA DEPAN

baginya hanya berarti satu, yaitu pembubaran PKI, dan menjadikan-


nya sebagai partai terlarang. Tetapi seketika PKI dibubarkan secara
resmi (12 Maret), Soeharto bukan saja sekadar meniadakan pendu-
kung utama sang Presiden, ia sekaligus telah pula melanggar perin-
tah. Dengan pembubaran PKI berarti ajaran Pemimpin Besar Revolusi
yang menjadikan NASAKOM—nasionalis, agama, komunis—sebagai
pilar kekuatan negara dan revolusi, telah dilanggar.
residen Sukarno dan para pendukungnya marah besar. Mereka
P
menuntut agar Soeharto mencabut surat keputusan itu, tetapi proses
peralihan kekuatan politik telah terjadi. “Mereka tak berhak mema-
rahi saya,” kata Soeharto sekian tahun kemudian. “Sejak semula saya
sudah katakan bahwa masalah keamanan hanya bisa diselesaikan
dengan pembubaran PKI. Ketika saya dapat perintah menyelesaikan
keamanan, maka itulah yang saya lakukan.” Benar juga, tetapi dengan
begini proses ke arah “de-Sukarno-isasi” sistem dan landasan kekua-
saan pun semakin lancar saja. Sementara pembersihan politik dan
kelembagaan militer dilakukan dengan menyingkirkan unsur-unsur
yang diperkirakan pendukung PKI dan Sukarnois, MPRS baru pun
dibentuk dan mulai bersidang. Untuk pertama kali dalam sejarah
mahasiswa—sebagai mahasiswa, bukan sebagai wakil golongan ma-
syarakat lain—mempunyai wakil di majelis tertinggi negara. Jenderal
Nasution, yang luput dari pembunuhan G30S dan sejak beberapa ta-
hun terakhir menjadi petinggi militer yang dicurigai Sukarno, ter-
pilih sebagai Ketua MPRS.
ualisme dalam kepemimpinan politik negara—Sukarno se-
D
bagai Presiden dan Presidium, yang dipimpin Soeharto yang men-
jalankan pemerintahan rutin—bagaimanapun juga harus berakhir.
Maka, dilandasi oleh kecurigaan yang mendalam terhadap kemung-
kinan keter­libatan Sukarno dalam peristiwa G30S, MPRS bukan saja
mencabut kedudukan Sukarno sebagai “Presiden Seumur Hidup”
www.facebook.com/indonesiapustaka

tetapi juga menuntut Presiden memberi pertanggungjawaban atas


kemerosotan ekonomi, kemelut politik dan keamanan. Dari sudut
pertanggung­jawaban konstitusional, sebenarnya tuntutan ini bisa

37

01-TA-16x24-terakir.indd 37 1/30/2012 9:39:01 PM


Taufik Abdullah

dianggap sebagai hal yang biasa saja, tetapi karena diajukan kepada
“Bapak Bangsa”, maka hal ini hanya berarti satu—krisis kepercayaan
tidak lagi bisa diatasi. Ketika pidato yang dinamakan Nawaksara di-
tolak dan MPRS, yang menuntutnya memberi tambahan, maka Bung
Karno, yang mencoba tetap tegar, tinggal menunggu hari saat ia ha-
rus meninggalkan Istana Negara—istana yang pernah menerimanya
dengan penuh kemegahan pada tanggal 29 Desember, 1949, ketika
ia dengan penuh kemenangan kembali ke kota Proklamasi, setelah
sekian lama memimpin revolusi nasional di Yogyakarta.
alau saja slide-slide sejarah bisa dilhat lagi, maka bagaimanakah
K
akan terlupakan peranan Sukarno dalam proses pematangan tumbuh-
nya sebuah bangsa yang bernama Indonesia? Berbagai kritik akademis
bisa disampaikan pada pidato Bung Karno, yang berjudul Indonesia
Menggugat, di hadapan pengadilan Belanda di Bandung pada tahun
1930, bahkan juga terhadap pidatonya yang maha terkenal yang di-
ucapkan di sidang BPUPKI di bulan Juni 1945, Lahirnya Pancasila,
tetapi kedua pidato itu sangat inspiring dan jauh memasuki ingatan
dan kesadaran bangsa. Kedua pidato itu—dengan fungsi yang ber-
beda-beda—adalah dua klasik yang penting dalam sejarah pemben-
tukan Indonesia sebagai bangsa dan negara. Tetapi kini, sekian tahun
kemudian, betapapun mungkin Sukarno berusaha untuk mematah-
kan semua argumen yang menentang dirinya, pidato yang berjudul
Nawaksara dan tambahannya, dengan mudah tenggelam ke dalam
lautan lupa. Kedua pidato itu tidak lagi menghadirkan Sukarno yang
selalu bisa membangkitkan semangat bangsanya dalam menghadapi se-
gala hambatan dan tantangan. Bahkan pidato Hari Proklamasi (1967),
Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, hanya menjadikan publik-
politik ibukota semakin bertambah sadar akan situasi kekinian.
ejak penolakan MPRS terhadap pidato tambahan Nawaksara,
S
yang dikatakan Soekarno bukanlah suatu pertangungjawaban, tetapi
www.facebook.com/indonesiapustaka

sekadar progress report saja, kejatuhannya sebagai Presiden hanya


tinggal mencari hari dan cara yang baik saja. Pada bulan Februari
1967 Sukarno yang sejak muda—ketika ia masih bersekolah HBS,

38

01-TA-16x24-terakir.indd 38 1/30/2012 9:39:01 PM


KRISIS NASIONAL DAN HARAPAN MASA DEPAN

di Surabaya—berjuang bagi bangsanya harus mengundurkan diri.


Tetapi, kini mungkin bisa juga dirasakan bahwa seketika ia meletak-
kan jabatan sebagai Presiden, Sukarno sekaligus memperlihatkan
tanggung jawab dan kecintaannya yang mendalam pada bangsanya.
Ia yang masih mempunyai banyak pengikut setia, baik di kalangan
militer, maupun dan, apalagi, di kalangan masyarakat luas, memilih
mengundurkan diri daripada membiarkan bangsa tergelincir pada ke-
galauan sosial politik, apalagi perang saudara, hanya karena jabatan.
Maka mestikah diherankan kalau sampai kini Sukarno terasa masih
berada di tengah-tengah bangsanya?
Pada tanggal 11 Maret, 1967 sesuai dengan keputusan MPRS yang
menyatakan bahwa jika Presiden berhalangan atau mengundurkan
diri, maka pengemban Super Semar menjadi “Pejabat Presiden”,
Jenderal Soeharto pun dilantik sebagai Pejabat Presiden. Maka, begi-
tulah periode peralihan dari sebuah fase sejarah yang telah bermula
sejak G30S melancarkan aksinya yang brutal, telah berakhir. Tetapi
apakah perubahan yang fundamental dalam kehidupan bangsa dan
negara akan akan terjadi? Periode peralihan ini bukan saja ditandai
oleh konflik politik, yang akhirnya menyebabkan PKI dan Sukarno
tersingkir, konflik agraris, yang meninggalkan trauma mendalam
dalam struktur ingatan bangsa, tetapi juga pergolakan pemikiran dan
harapan akan masa depan negara dan bangsa.

Pelajaran Masa Lalu, Harapan Masa Depan


Setelah dilanda keterkejutan yang dahsyat karena terjadinya peristi-
wa G30S, terlibat dalam pergulatan politik yang mendebarkan dan
mendengar pula dengan penuh keprihatinan peristiwa yang terjadi
di pedesaan di beberapa daerah, publik politik yang selama ini hanya
dibiarkan bungkam, segera sadar bahwa masa depan bangsa harus
segera dirintis. Ketika inilah pemikiran yang dulu—di masa
www.facebook.com/indonesiapustaka

Demokrasi Terpimpin sedang berada di puncak kejayaannya—diang-


gap subversif, kini teringat kembali. Kritik pedas Bung Hatta terha-
dap Demokrasi Terpimpin dalam esei politiknya yang agak panjang,

39

01-TA-16x24-terakir.indd 39 1/30/2012 9:39:01 PM


Taufik Abdullah

Demokrasi Terpimpin, diulang cetak dalam bentuk booklet. Dulu di


tahun 1960, akibat menerbitkan esei panjang ini majalah Pandji
Masjarakat diberangus, bahkan Pemimpin Umumnya, Buya Hamka,
dipenjarakan dengan tuduhan terlibat dalam usaha membunuh
Presiden. Dalam tulisan singkat tetapi teramat padat ini, Hatta bukan
saja menguraikan kelemahan pelaksanaan demokrasi di Indonesia,
iapun tanpa segan-segan mengatakan bahwa “Demokrasi Terpimpin”,
yang diperkenalkan Sukarno adalah sebuah sistem diktator. Sistem
ini, katanya, hanya bisa bertahan selama Sukarno masih hidup.
“Umur manusia terbatas. Apabila Sukarno sudah tidak ada lagi, maka
sistemnya itu akan rubuh dengan sendirinya, seperti sebuah rumah
kartu”.
Idealisme yang termuat dalam Manifest Kebudayaan kini teringat
kembali. “Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyem-
purnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah
satu sektor kebudayaan dari yang lain. Setiap sektor berjuang bersa-
ma-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya”. Tetapi bu-
kankah sikap ini sesungguhnya pantulan “humanisme universal”, se-
bagaimana yang dituduhkan Lekra-PKI? Karena itu idealisme seperti
ini tidak seharusnya mempunyai tempat dalam revolusi multikom-
pleks yang kini sedang dijalani bangsa. Maka dengan mengejeknya
sebagai “Manikebu”, Lekra-PKI dan para pendukungnya berhasil
membujuk Presiden Sukarno untuk menjadikannya sebagai alam pe-
mikiran yang terlarang. Para pencetus dan pendukung Manifes ini-
pun kehilangan pekerjaan dan disingkirkan dari pergaulan pu­blik.
Kini, setelah krisis politik harus dilalui akibat “malam jahanam”
yang terjadi di peralihan bulan September-Oktober 1966, para pe-
mikir kebudayaan semakin merenungkan arti dari kehidupan ber-
bangsa. Untuk apa perjuangan yang telah dilalui bangsa ini? Apakah
semua­nya untuk cita-cita yang telah sejak lama dirumuskan dan di-
perjuangkan, ataukah untuk membiarkan diri terlarut dalam sistem
www.facebook.com/indonesiapustaka

hegemoni tunggal yang memandulkan? Apakah hidup berbangsa ha-


rus diartikan hanya sebagai keharusan menjalankan kepatuhan tanpa

40

01-TA-16x24-terakir.indd 40 1/30/2012 9:39:02 PM


KRISIS NASIONAL DAN HARAPAN MASA DEPAN

batas dalam menjalankan “komando” Pemimpin Besar Revolusi yang


kini telah pula dinilai sebagai semakin partisan dalam sistem wacana
dan perilakunya, atau bagaimana?
Masa krisis politik dan sosial yang sangat mengenas ini adalah
pula saat ketika kesadaran dan hasrat untuk merumuskan kemba-
li kehidup­an kebangsaan dan kenegaraan sangat keras dirasakan.
Episode ini adalah waktu untuk menemukan jalan dalam mengatasi
krisis yang “multikompleks” yang sedang dihadapi bangsa. Masalah
pertama yang harus dihadapi ialah kemelut ekonomi yang telah sema-
kin menyengsarakan kehidupan masyarakat. Tetapi apakah mungkin
dengan begitu saja meninggalkan sistem wacana yang telah sedemiki-
an dominan mencekam sistem komunikasi bangsa? Maka, masalah
pertama yang dihadapi ialah memakai wacana lama dengan isi yang
berbeda.
Seminar “Soal Ekonomi dan Keuangan”, yang diadakan KAMI pada
tanggal 10 Januari 1966, merupakan contoh dari sistem wacana yang
mula-mula dipakai. Para peserta seminar menyatakan diri mereka
sebagai kekuatan yang siap “menjadi tali pengikat” dari “tritunggal
Bung Karno-ABRI-Rakyat”. Mereka juga bersedia menjadi “pasukan
jiibaku dalam menumpas Nekolim-kotrarevolusi-Gestapu-subversi
dan korupsi” dan, pernyataan itu melanjutkan, mereka juga ingin
mempertinggi ketahanan ekonomi dan meningkatkan pembangunan
ekonomi sosialis Indonesia yang telah mengalami setback “akibat
pengkhianatan Gestapu-PKI”. Tiba-tiba di balik pernyataan kesetiaan
ini telah terselip “musuh” baru yang masih dilindungi Pemimpin
Besar Revolusi.
Pemakaian sistem wacana Demokrasi Terpimpin, yang bersifat
hiperbola dan pengagungan sang pemimpin, dalam pernyataan yang
telah berbeda dan penghamparan hasrat baru, masih berlanjut sam-
pai Super Semar dikeluarkan. Sejak itu secara bertahap, tetapi de­
www.facebook.com/indonesiapustaka

ngan intensitas yang semakin meninggi, perubahan sistem wacana


dijalankan, seiring dengan perubahan sikap terhadap Bung Karno
yang semakin tegas. Makin lama Presiden Sukarno makin tidak lagi

41

01-TA-16x24-terakir.indd 41 1/30/2012 9:39:02 PM


Taufik Abdullah

diperlakukan sebagai pemimpin penyelamat atau bahkan juga tidak


sebagai partner dalam mengatasi kemelut yang melanda kehidupan
bangsa. Pemimpin Besar Revolusi semakin diperlakukan sebagai
penghambat. “Simposium Kebangkitan Semangat ’66: Menjelajah
Trace Baru” yang diadakan di kampus UI pada tanggal 6-9 Mei meru-
pakan serangan yang paling frontal yang diarahkan kepada Demokrasi
Terpimpin dan Pemimpin Besar Revolusi. Demokrasi Terpimpin, yang
bermain mata dengan komunisme, bahkan dianggap sebagai penga-
buran nilai-nilai Pancasila. “Pancasila diliputi dan dikaburkan oleh
berbagai neologisme, semantic overgrowth, semantic confusion serta
pseudologica-pseudologica lainnya”. Maka, akhirnya pernyataan itu
menyimpulkan bahwa “ide NASAKOM” telah gagal. Karena itu selu-
ruh landasan berpikir Demokrasi Terpimpin harus ditinjau lagi.
Penolakan total terhadap landasan berpikir, sistem politik, serta
perilaku ekonomi dan politik Demokrasi Terpimpin, mencapai pema-
tangan ideologis pada Seminar Angkatan Darat II (25-26 Agustus,
1966). Seminar ini dihadiri bukan saja oleh para perwira tinggi AD
tetapi juga para pemikir ekonomi dan politik dari kalngan univer-
sitas. Dimulai dengan kritik terhadap kebijaksanaan ekonomi rezim
yang berkuasa, seminar ini kemudian sampai juga pada keinginan
akan keharusan adanya perencanaan pembangunan ekonomi “tanpa
meninggalkan arti pembangunan di bidang-bidang lain”. Dengan
begini maka gagasan dan cita-cita strategi “pembangunan ekonomi
nasional” yang terencana telah bermula. Akhirnya seminar menun-
tut perombakan kabinet Dwikora, dengan mengeluarkan unsur-un-
sur G30S/PKI dan mendesak keharusan adanya fungsi social control
dalam menjalankan pemerintahan dan kebijaksanaan ekonomi.
Jika situasi Jakarta dan beberapa kota besar lain bisa dipakai seba­
gai ukuran, bolehlah dikatakan bahwa sejak kira-kira pertengahan
1966 sampai—seandainya keuntungan hindsight boleh dipakaikan—
www.facebook.com/indonesiapustaka

Januari 1974, ketika peristiwa “Malari” terjadi, adalah periode yang


paling subur dalam cetusan pemikiran tentang hampir seluruh aspek
kehidupan bangsa. Ketika Jenderal Soeharto dilantik sebagai Acting

42

01-TA-16x24-terakir.indd 42 1/30/2012 9:39:02 PM


KRISIS NASIONAL DAN HARAPAN MASA DEPAN

Presiden dan kemudian sebagai Presiden penuh (1968), bahkan ke-


tika ia resmi dipilih oleh MPR, hasil Pemilu, 1972, ia sesungguhnya
menjadi Kepala Pemerintahan dan Negara di tengah-tengah gejolak
idealisme lama yang diperbaharui, dan harapan baru yang sedang
dibina. Ketika pertama kali dilantik MPRS ia sedang berada dalam
suasana ketika segala unsur idealisme dalam kehidupan kebudayaan
bangsa sedang digali kembali, dan di waktu kreativitas dalam dunia
pemikiran dan sastra sedang bergairah. Tragedi kehidupan bangsa
yang pedih dan kejatuhan sang Pemimpin yang selama ini menjadi
idola, rupanya bisa juga menjadi cambuk bagi kreativitas.
Orde Baru dilahirkan, kata para pemukanya, karena hasrat yang
jujur untuk memenuhi janji-janji Proklamasi, membebaskan bangsa
dari “kultus individu”, membawa bangsa dan negara kembali kepa-
da landasan Pancasila yang murni, yang tidak ternoda oleh ideologi
yang mengingkari keesaan Allah yang mutlak. Dengan begini bukan
saja pesan-pesan ideologis yang disampaikan mengalami perubahan
yang mendasar—dari “revolusi multikompleks” ke “pembangunan
nasional”—paradigma dalam memahami dunia pun berganti bentuk.
Tiada lagi paradigma konflik yang melihat dunia sebagai terbagi atas
pasangan-pasangan kontradiksi yang antagonistik—seperti Nefos la-
wan Oldefos—tetapi paradigma konsensus. Perubahan paradigma ini
segera pula tampak dalam sistem wacana. Tiada lagi sistem hiperbola
yang serba membesar, dengan pilihan kata-kata keras, yang dipakai,
tetapi kecenderungan euphemisme, yang serba mengecil. Maka ke-
tika kata “diamankan” telah dipakai, siapakah yang tahu arti sesung-
guhnya—“ditangkap”, “dibunuh” atau “diselamatkan”? Maka begitu-
kah dalam perbedaan pemakaian peralatan linguistik dalam sistem
wacana ini, kedua rezim menemukan kesamaan mereka yang esen-
sial—kedua sistem mengaburkan makna sesungguhnya.
Tetapi sementara itu di alam kesadaran yang paling dalam “malam
www.facebook.com/indonesiapustaka

jahanam”, yang dengan kasar telah membuka sebagai tabir konflik


sosial tetap membayangi kehidupan bangsa. Malam itu dengan keras
telah membuka lembaran hitam pekat dalam sejarah bangsa. Mungkin

43

01-TA-16x24-terakir.indd 43 1/30/2012 9:39:02 PM


Taufik Abdullah

terasa kecil, bahkan kecil sekali, jika dibandingkan dengan apa yang
terjadi sesudahnya, tetapi bukankah—jika perbandingan sejarah bo-
leh dilakukan—Perang Dunia I dengan begitu saja seperti tercetus
oleh pembunuhan Putra Mahkota Austria di Sarajewo? Seketika pem-
bunuhan itu terjadi segala unsur-unsur konflik yang telah terkumpul
dalam hubungan internasional dengan begitu saja meledak keluar.
Begitu pula malam menjelang subuh 1 Oktober itu mungkin hanya
melenyapkan nyawa enam jenderal dan seorang perwira muda, tetapi
seketika terjadi serta-merta peristiwa itu segera mencetuskan konflik
yang maha dahsyat. Peristiwa kecil kadang-kadang bisa juga men-
jadi pencetus dari perstiwa besar. Peristiwa kecil itu ternyata telah
membuka sumbat-sumbat konflik yang dahsyat. Maka begitulah, luka
parah bangsa yang dimulai peristiwa di malam menjelang subuh itu
sampai kini masih harus dibalut kain putih.

Penutup: Sejarah dan Refleksi Sejarah


Seorang teoretikus sejarah terkemuka dengan lantang pernah berkata
bahwa “sejarah adalah ilmu untuk mendapatkan kebenaran”. Jika ca-
bang ilmu pengetahuan lain ingin menemukan hukum atau ketentu-
an yang umum berlaku—sehingga berbagai penemuan teknologis
dan sebagainya bisa dijalankan—atau mendapatkan kenyataan em-
pirik—sehingga berjenis strategi sosial politik bisa dilakukan—maka
ilmu sejarah mencari “kebenaran”. Sebagai sebuah cabang ilmu
penge­tahuan sejarah tidak bisa berpretensi sebagai sebuah disiplin
keilmuan yang bisa menentukan ketentuan yang umum berlaku dan
tidak pula bisa berniat untuk memperlihatkan kenyataan yang se­
sungguhnya. Bukankah apa yang telah terjadi itu tidak mungkin bisa
diulang lagi? Maka yang ingin ditemukan ialah rekonstruksi “ke-
benaran” otentik yang mungkin telah tertutup dalam kabut waktu,
betapapun mungkin tipisnya—entah minggu lalu, entah, mungkin
www.facebook.com/indonesiapustaka

juga, pagi kemarin—dan betapapun tebalnya, entah setahun atau


lebih, mungkin puluhan atau ratusan, bahkan ribuan, tahun yang
lalu.

44

01-TA-16x24-terakir.indd 44 1/30/2012 9:39:02 PM


KRISIS NASIONAL DAN HARAPAN MASA DEPAN

Kabut waktu itu hanya mungkin ditembus kalau ada kesaksian,


yang setelah melalui proses kritik bisa dipakai sebagai “perantara” an-
tara peristiwa yang telah berlalu dengan hasrat untuk mengetahuinya.
Sayangnya, kesaksian itu bukan saja tak pernah lengkap, tetapi juga
serba terpenggal-penggal, sedangkan mendapatkannya pun tidak pula
bisa sekaligus. Adalah hal yang biasa kalau beberapa sumber ditemu-
kan sekarang, sedangkan yang lain baru sekian tahun kemudian me-
nampakkan dirinya. Tidak kurang peliknya ialah kenyataan bahwa ti-
dak satu kesaksian atau sumber pun bisa dikatakan utuh pada diri­nya.
Ingatan tak mungkin merekam keseluruhan peristiwa yang di­alami.
Tanpa disadari ingatan itu memilih. Subjektivitas tak sadar telah ter-
jadi sejak awal perekaman peristiwa dalam ingatan sedang berlang-
sung. Dalam rentangan waktu proses pelupaan juga terjadi, entah
disengaja entah pun tidak. Bukankah ada juga hal-hal yang ingin dilu-
pakan? Bukankah ada juga saatnya kita berkhayal-khayal bagaimana
kalau sekiranya yang dialami itu sesungguhnya “begini”, bukannya
“begitu”, walaupun yang “begitu” itulah yang sesungguhnya riil.
Da­lam perjalanan waktu, transformasi ingatan bukanlah hal yang
mustahil.
Tetapi apakah jaminan bahwa yang terekam dalam ingatan itu le­
bih penting daripada yang terlewatkan atau terlupakan? Jika saja fak-
tor waktu telah ikut berbicara, maka unsur lain yang memengaruhi
ingatan pun telah pula dimungkinkan untuk berperan. Sumber tertu-
lis pun sesungguhnya merupakan pula hasil “pilihan”. Jika sifat frag-
mentaris dari kesaksian, yang biasa disebut para sejarawan, “sumber
sejarah”, belum cukup, orang yang ingin merekonstruksi peristiwa
masa lalu itu juga dihadapkan kepada masalah lain yang lebih pelik.
Dengan segera bisa kelihatan bahwa tidak semua kesaksian atau sum-
ber sejarah itu bisa diterima begitu saja. Bahkan tidak jarang kesak-
sian yang diberikan sumber-sumber tentang hal sama bisa beragam-
ragam coraknya. Ternyata yang ditulis itu sesungguhnya adalah juga
www.facebook.com/indonesiapustaka

hasil pilihan. Jangan-jangan ada faktor kekuasaan yang menentukan


pilihan itu.

45

01-TA-16x24-terakir.indd 45 1/30/2012 9:39:02 PM


Taufik Abdullah

Dalam usaha untuk mengadakan rekonstruksi sebuah peristiwa


yang riil secara empirik tetapi sangat sensitif bagi komunitas yang
mengalaminya, karena sifatnya yang disintegratif dalam kesadaran
dan kehidupan komunitas bangsa kemungkinan akan terkaburnya
“kebenaran” yang sesungguhnya cukup tinggi. Sebuah kesaksian bisa
saja dilawan oleh dua tiga kesaksian lain yang menggugat keabsahan-
nya. Atau dengan kata lain, sebuah evidence seakan-akan dengan mu-
dah saja memancing kehadiran dua tiga counter-evidence. Kredibiltas
dari sebuah sumber digugat oleh sumber lain. Bagaimana yang sahih
itu bisa didapatkan, kalau setiap bukti atau kesaksian seakan-akan
melahirkan bukti lain yang menggugatnya?
Dalam situasi ini maka sejarawan pun bisa dipaksa untuk meng-
gapai-gapai dalam ketidakpastian. Dari segala macam sumber yang sa-
ling bertentangan itu, manakah yang mempunyai tingkat kredibilitas
yang tinggi? Tidak satu kesaksian pun yang bisa diterima begitu saja.
Jika saja sebuah kesaksian sumber dianggap bisa dipercaya, bisakah
sang sejarawan memahami dirinya sendiri. Bisa saja ia percaya kare-
na sejalan dengan apa yang diharapkan harus terjadi dan ingin meno-
lak begitu saja karena mengikari apa yang teklah diyakininya sebagai
kebenaran yang otentik. Karena itulah bukan saja kemampuan teknis
dan metodologis yang harus dituntut dari sejarawan ketika ia ingin
melaksanakan hasratnya untuk menemukan kembali realitas empiris
yang telah hilang, yaitu kejadian di masa lalu, tetapi juga, dan ter­
utama, kejujuran intelektual. Setelah semuanya telah tertuang dalam
suatu rekonstruksi—histoire-realité telah menjadi histoire-recité—ia
harus menyadari juga bahwa hasil rekonstruksinya masih bersifat
“sementara” betapapun mungkin semua kemungkinan sumber telah
ditelaahnya dan segala kemampuan teknis dan kejujuran serta objek-
tivitas akademis telah dilakukannya. Siapa tahu ada saja sumber yang
tersembunyi atau salah baca dan interpretasi dan seba­gainya. Sejarah
memang selalu memperbaiki dirinya.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Meskipun setiap rekonstruksi sejarah mempunyai kemungkinan


untuk mengalami revisi, namun gambaran umum dari realitas peris-

46

01-TA-16x24-terakir.indd 46 1/30/2012 9:39:02 PM


KRISIS NASIONAL DAN HARAPAN MASA DEPAN

tiwa di masa lalu itu tidak berubah. Fakta umum tentang ”apa yang
terjadi di mana, dan bila tak begitu saja tergoyahkan, bahkan kerap
kali juga tentang “siapa”, apalagi jika menyangkut zaman yang meng-
hasilkan banyak sumber tertulis dan meninggal bekas-bekas. Maka
betapapun hal-hal detail masih mungkin diperdebatkan dan direvisi
namun gambaran umum telah terwujud. Betapapun mungkin unsur-
unsur esensial tentang “siapa-siapa” yang berada peristiwa “malam
jahanam” tanggal 30 September 1965 masih diperdebatkan, namun
sebagai peristiwa yang terjadi di suatu tempat dan pada waktu ter-
tentu tidak teringkari, apapun landasan teori dan betapapun sinisme
terhadap kepastian sejarah ingin dikemukakan. Jika demikian halnya,
betapapun suatu rekonstruksi sejarah secara teoretis masih mungkin
direvisi sejak semula, sejak orang mulai merenungkan makna dari
pengalaman yang dilalui, sejarah telah dipakai sebagai bahan per-
bandingan, pelajaran, renungan, perkiraan masa depan, harapan dan
entah apalagi. Maka salahkah seorang pemikir kalau ia mengatakan
bahwa sejarah adalah filsafat yang diwujudkan dalam contoh dari
perilaku manusia?
Kalau demikian masalahnya, maka timbul juga pertanyaan dapat-
kah “kata akhir” dari kontroversi yang telah berumur lebih dari em-
pat puluh tahun ini ditemukan? Seketika pertanyaan ini ditanyakan
bagaimanakah kita bisa mengelak dari kenyataan sederhana, meski-
pun sering terlupakan, bahkan diingkari, bahwa meskipun benar
sejarawan “mengisahkan dan menafsirkan masa lalu, tetapi sekali­
gus ia sebenarnya adalah pula peserta dalam sejarah”. Hanya saja,
sebagaimana dikatakan oleh Statement on Standards of Professional
Conduct, yang terbaru dari American Historical Association (2003),
sejarawan melakukan penelitian dan penafsiran masa lalu itu “seba­
gai suatu praktek yang bertolak dari disiplin keilmuan”. Adalah tu-
gas sejarawan untuk senantiasa berusaha mendapatkan pemahaman
kolektif tentang masa lalu melalui proses dialog kritis yang panjang
www.facebook.com/indonesiapustaka

dan kompleks—“sesama mereka, dengan masyarakat luas, dan de­


ngan cacatan sejarah”.

47

01-TA-16x24-terakir.indd 47 1/30/2012 9:39:02 PM


BAB I
DEMOKRASI TERPIMPIN 1959-1965

Saleh As’ad Djamhari

Dekret Presiden 5 Juli 1959: Presiden Sukarno Menciptakan Revolusi


Pada Februari 1957 Presiden Sukarno memperkenalkan gagasannya
yang dikenal dengan sebutan “Konsepsi Presiden”, berisi gagasan
pembaruan kehidupan politik yang disebut sistem Demokrasi
Terpimpin. Sistem ini merupakan jawaban terhadap kegagalan sistem
politik liberal yang mengancam disintegrasi bangsa, terutama akibat
munculnya pemberontakan bersenjata di daerah-daerah, yang diken-
dalikan oleh tokoh-tokoh politik dan militer. Adapun pokok konsepsi
Presiden adalah perlu dibentuk Kabinet Gotong Royong dan Dewan
Nasional yang terdiri dari wakil-wakil partai politik dan golongan
fungsional.
Wakil-wakil partai politik pada umumnya menolak konsepsi itu,
dan berpendapat bahwa mengubah susunan ketatanegaraan secara
radikal harus diserahkan kepada Konstituante. Sementara itu Dewan
Konstituante hasil Pemilihan Umum 1955 dalam sidang-sidangnya
hanya dipenuhi oleh pidato politik tanpa hasil, seperti yang diharap-
kan oleh rakyat. Krisis politik, kewibawaan, dan konstitusional, se-
makin memuncak. Bahkan sidang-sidang Dewan Konstituante tidak
www.facebook.com/indonesiapustaka

berhasil merumuskan UUD yang baru. Sebagai jalan keluar dari krisis
multiaspek ini, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Letnan Jenderal
Nasution dan Partai Nasional Indonesia mengajukan saran agar

48

01-TA-16x24-terakir.indd 48 1/30/2012 9:39:02 PM


DEMOKRASI TERPIMPIN 1959-1965

Presiden mendekretkan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Di


dalam sidangnya pada tanggal 17 Maret 1958, Dewan Nasional mem-
perkuat saran itu dan menganjurkan kepada pemerintah agar segera
memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945.
Presiden Sukarno dalam pidatonya di hadapan sidang Dewan
Konstituante, tanggal 22 April 1959, yang berjudul ‘Res Publica,
Sekali lagi Res Publica”, atas nama pemerintah menegaskan supa-
ya Konstituante menetapkan saja UUD 1945 menjadi UUD Negara
Republik Indonesia yang tetap. Menurut Sukarno, UUD 1945 merupa­
kan landasan terbaik dalam rangka pelaksanaan Demokrasi Terpimpin.
Seruan Presiden dibahas dalam sidang-sidang Konstituante dari tang-
gal 29 Mei sampai dengan tanggal 2 Juni 1959, tanpa ada kesepakat­
an. Akhirnya diadakan pemungutan suara, sekalipun telah diadakan
sebanyak tiga kali, tetap tidak mencapai jumlah dua pertiga suara
setuju, seperti yang ditetapkan Undang-Undang Dasar Sementara
(UUDS) 1950, pasal 37. Hasilnya adalah 201 suara setuju, 265 sua­ra
tidak setuju, sedangkan anggota yang hadir pada pemungutan suara
pertama sebanyak 474 orang. Bahkan pada pemungutan suara ter-
akhir, tanggal 2 Juni 1959, tidak juga dicapai qourum. Pada keesok­
an harinya, Konstituante mengadakan reses, yang ternyata untuk
selama-lamanya.
Dengan kegagalan itu, seruan Presiden Sukarno tidak terpenuhi,
karena adanya perbedaan pendapat prinsipiil mengenai dasar nega­
ra yang dimulai dengan usul amandemen dari pihak Islam. Untuk
mencegah ekses-ekses politik akibat ditolaknya usul pemerintah oleh
Konstituante, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), selaku Penguasa
Perang Pusat (Peperpu), Letnan Jenderal A. H. Nasution, atas nama
pemerintah mengeluarkan larangan bagi semua kegiatan politik yang
berlaku mulai tanggal 3 Juni 1959, pukul 06.00 pagi. Ia pun kemu-
dian menyarankan kepada Presiden Sukarno, yang saat itu sedang
www.facebook.com/indonesiapustaka

melakukan perjalanan dinas ke Jepang, untuk mengumumkan kem-


bali ke UUD 1945 dengan suatu Dekret Presiden. Selain itu rakyat
pun menuntut kembali ke UUD 1945, yang dinyatakan dalam bebe­

49

01-TA-16x24-terakir.indd 49 1/30/2012 9:39:02 PM


Saleh As’ad Djamhari

rapa rapat umum. Pejabat Presiden Mr. Sartono telah mengumumkan


lewat radio agar masyarakat bersabar menunggu kedatangan Presiden
yang akan menentukan kebijakan baru. Kalangan militer berperan
dalam menentukan slogan-slogan yang disediakan untuk masyarakat
dalam rangka menyambut kedatangan presiden. Di samping slogan-
slogan yang berbunyi: “Hidup Bung Karno”, juga beredar slogan-slo-
gan yang lebih terarah dengan rangkaian kata-kata sebagai berikut:
“Rakyat yang sudah lama menderita, mendesak Presiden bertindak
tegas”.
Presiden Sukarno memerlukan waktu beberapa hari untuk meng­
ambil langkah-langkah yang menentukan. Pada tanggal 3 Juli 1959
berlangsung pertemuan antara Sartono, Perdana Menteri Ir. Djuanda,
para menteri, serta pimpinan TNI dan para anggota Dewan Nasional,
seperti Roeslan Abdulgani, Muhammad Yamin, Mr. Wiryono
Prodjodikoro, dan Ketua Mahkamah Agung. Mereka sepakat untuk
segera melaksanakan “kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945”.
Langkah-langkah itu dipandang sebagai jalan untuk bersama-sama
mengembalikan persatuan nasional. Pada hari Minggu, 5 Juli 1959
pukul 17.00 sore, dalam suatu upacara resmi yang hanya berlangsung
15 menit di Istana Merdeka, Jakarta, Presiden Sukarno mengumum-
kan Dekret yang memuat tiga hal pokok, sebagai berikut: pertama,
menetapkan pembubaran Konstituante; kedua, menetapkan UUD
1945 berlaku bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, terhitung mulai tanggal penetapan dekret ini, dan
tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS);
ketiga, pembentukan MPRS, yang terdiri atas anggota-anggota DPR
ditambah dengan utusan-utusan daerah. Rakyat menyambut baik
Dekret 5 Juli 1959, dan didukung oleh TNI dan Mahkamah Agung.
Kepala Staf Angkatan Darat sebagai salah seorang konseptornya,
dalam perintah hariannya menginstruksikan kepada seluruh jajaran
www.facebook.com/indonesiapustaka


John D. Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1972,
hlm. 349.

I bid.

Wirjono Projodikoro, Azas-Azas Hukum Tatanegara di Indonesia, Cet. 3, Jakarta, hlm.
31.

50

01-TA-16x24-terakir.indd 50 1/30/2012 9:39:02 PM


DEMOKRASI TERPIMPIN 1959-1965

TNI Angkatan Darat untuk melaksanakan dan mengamankan Dekret


5 Juli. Dukungan lain datang dari DPR hasil Pemilihan Umum 1955.
Dalam sidangnya tanggal 22 Juli 1959, DPR secara aklamasi bersedia
bekerja terus dalam rangka UUD 1945. Dekret Presiden 5 Juli 1959
mengakhiri demokrasi liberal yang telah tercapai. Dekret Presiden
dikeluarkan atas dasar Staatsnoodrecht, hukum keselamatan nega-
ra dalam keadaan bahaya yang luar biasa. Keadaan yang dimaksud
adalah keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan
kesatuan negara serta menghalangi program pembangunan semesta.
Dekret menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 dalam kerangka
Demokrasi Terpimpin. Sistem Demokrasi baru ini ditanggapi oleh to-
koh-tokoh partai-partai politik dengan dua sikap yang berbeda. Partai
yang menerima adalah PNI dan PKI, sedangkan partai NU terpecah
menjadi dua, sedangkan yang menolak adalah Masyumi, PSI, Partai
Katolik, dan sebagian NU. Kelompok yang menolak kemudian mem-
bentuk “Liga Demokrasi”. Kelompok lainnya yang menerima, yaitu
golongan fungsional, kemudian disebut Golongan Karya dan ABRI.
Demokrasi Terpimpin sebagai sistem berdasarkan pada UUD 1945.
Akibatnya, Kabinet Djuanda dibubarkan pada tanggal 9 Juli 1959 dan
digantikan Kabinet Karya. Menjelang pembentukan Kabinet Karya,
Presiden Sukarno mengatakan bahwa dalam pengangkatan menteri-
menteri baru, tidak akan diadakan hearing (dengar pendapat) dengan
partai-partai. Tidak seorang pun pemimpin partai besar dimasukkan
ke dalam kabinet. Dengan demikian kabinet dapat dianggap sebagai
kabinet nonpartai. Selaku Perdana Menteri (kepala pemerintahan),
Presiden meminta anggota-anggota kabinet melepaskan kepartai-
annya sejak pelantikannya. Komposisinya menunjukkan semakin
hilangnya pengaruh partai. Struktur kabinet terdiri atas, tiga orang
pimpinan kabinet, menteri-menteri Kabinet Inti, Menteri Negara ex-
officio, Menteri Muda dan pejabat-pejabat negara yang berkeduduk­
an menteri. Pimpinan kabinet terdiri atas Perdana Menteri, yaitu
www.facebook.com/indonesiapustaka

Presiden/Panglima Tertinggi AD Ir. Sukarno, Menteri Pertama Ir. H.


Djuanda, dan Wakil Menteri Pertama Dr. J. Leimena. Struktur kabinet

51

01-TA-16x24-terakir.indd 51 1/30/2012 9:39:02 PM


Saleh As’ad Djamhari

terdiri atas bidang-bidang tugas, dan dibagi dalam delapan kelompok,


yang masing-masing dipimpin oleh seorang Wakil Menteri Pertama
(Wampa). Kabinet ini dinamai Kabinet Kerja. Setelah terbentuknya
Kabinet Kerja dengan Ir. Djuanda sebagai Menteri Pertama, Presiden
Sukarno mengeluarkan Penetapan Presiden No. 2 tahun 1959, mem-
bentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), yang
anggota-anggotanya ditunjuk dan diangkat oleh Presiden dengan per-
syaratan setuju kembali kepada UUD 1945, setia kepada perjuangan
Republik Indonesia, dan setuju dengan Manifesto Politik.
Pengangkatan pimpinan MPRS oleh Presiden terdiri dari ketua
yang dirangkap oleh Wakil Perdana Menteri III dan Wakil-wakil Ketua
yang diangkat dari pimpinan partai-partai besar (PNI, NU, PKI) serta
Wakil TNI, yang masing-masing diberi kedudukan sebagai menteri
tanpa porto folio. Kebijakan Presiden Sukarno dalam mencanangkan
sistem Demokrasi Terpimpin tergambar dalam pidatonya, “Penemuan
Kembali Revolusi Kita”, yang diucapkannya pada peringatan Hari
Proklamasi tanggal 17 Agustus 1959. Kemudian pada Sidang Umum
MPRS 1960, Presiden mengucapkan pidato Manifesto Politik Republik
Indonesia (Manipol) yang kemudian ditetapkan sebagai Garis-Garis
Besar Haluan Negara. Dalam pidatonya Presiden Sukarno menyatakan
tentang kelahiran sebagai berikut: “... Melainkan aku hanya sekedar
menggalinya dari buminya Ibu Pertiwi. Manipol lahir dari kandungan-
nya Ibu Sejarah”. Presiden Sukarno mendasarkan pada pendapatnya
bahwa Revolusi Indonesia dalam usaha menuju masyarakat yang adil
dan makmur masih belum selesai. Oleh karena itu, sebelum usaha itu
tercapai, revolusi harus berjalan terus dan segenap susunan yang ada
masih bersifat sementara. Selain itu, dengan Penetapan Presiden No.
3 tahun 1959, Presiden menghidupkan Dewan Pertimbangan Agung
(DPA), yang berkewajiban memberi jawaban atas pertanyaan Presiden
dan berhak mengajukan usul kepada Presiden. Sukarno duduk seba­
gai ketua DPA, dan Ruslan Abdulgani sebagai wakil ketua. DPA me-
www.facebook.com/indonesiapustaka


John D. Legge, op. cit., hlm. 363.

Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia,
Jilid VI, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hlm. 311.

52

01-TA-16x24-terakir.indd 52 1/30/2012 9:39:02 PM


DEMOKRASI TERPIMPIN 1959-1965

miliki empat puluh tiga anggota, yang pengangkatannya didasarkan


pada tiga golongan, yaitu pemimpin dari sepuluh partai penting yang
tidak disertakan dalam kabinet mendapat dua belas kursi, golongan
kedua terdiri dari wakil-wakil daerah mendapat delapan kursi, se-
dangkan Golongan Karya mendapat dua puluh tiga kursi.
Untuk menjalankan pemerintahan, Presiden Sukarno mengaju-
kan Rencana Anggaran Belanja Negara pada Juni 1960, namun oleh
DPR rencana tersebut ditolak. Akibatnya, pada tanggal 24 Juni 1960
Presiden Sukarno membubarkan DPR. Selanjutnya DPR baru dibentuk
melalui mekanisme pengangkatan. Dewan itu dinamakan DPR Gotong
Royong (DPR-GR) yang bertugas sampai pemilihan umum. Ternyata
pemilu tidak penah diadakan sampai berakhirnya masa pemerintah-
an Sukarno. Presiden mengangkat anggota-anggota DPR-GR dengan
berpedoman pada perimbangan kursi-kursi perwakilan untuk partai-
partai politik dan Golongan Karya. Pengangkatannya meliputi 130
wakil-wakil kepartaian, yaitu PNI 44 orang, NU 36 orang, dan PKI 30
orang. Selebihnya, 153 kursi diberikan kepada Golongan Karya, 15
kursi untuk Angkatan Darat, masing-masing 7 kursi untuk Angkatan
Laut dan Udara, 5 kursi untuk Kepolisian dan sejumlah kursi lainnya
untuk buruh, tani, tokoh-tokoh Islam, pemuda, wanita dan cendeki-
awan. Anggota DPR-GR yang seluruhnya diangkat oleh Presiden
Sukarno terikat pada peraturan yang ditetapkan oleh Presiden yaitu
Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1960 dan Peraturan Pemerintah
No. 12 tahun 1961.
Para Panglima Angkatan pun diangkat menjadi menteri ex officio,
karena jabatan. Sesuai dengan jabatannya, masing-masing dikenal
dengan sebutan Menteri/Panglima Angkatan Darat, Angkatan Laut,
Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian. Sebagai Menteri Kabinet
Kerja, mereka dinyatakan semata-mata sebagai pembantu Presiden
tanpa pertanggungjawaban politik seorang menteri. Susunan keang-
www.facebook.com/indonesiapustaka

gotaan DPR-GR dan MPR(S) yang dipilihnya sendiri mencerminkan


kekuasaan mutlak Presiden Sukarno. Pada tanggal 17 Agustus 1960 par-


John D. Legge, op.cit., hlm. 360.

53

01-TA-16x24-terakir.indd 53 1/30/2012 9:39:02 PM


Saleh As’ad Djamhari

tai-partai yang terlibat pemberontakan PRRI-Permesta, yaitu Masyumi


dan PSI, dibubarkan berdasarkan Keputusan Presiden No. 7/1959.
Pembubaran itu didahului oleh pembubaran DPR hasil Pemilihan
Umum 1955 dengan Ketetapan Presiden No. 3/1960. Timbullah reak-
si dari partai-partai, antara lain dari NU dan PNI. Beberapa orang
pemimpin NU berkeberatan terhadap pembubar­an DPR lama itu dan
mengancam akan menarik pencalonan anggota-anggotanya untuk
DPR-GR. Sikapnya berubah karena adanya penambahan kursi untuk
mereka, tetapi NU tetap berkeberatan terhadap susunan kabinet. K.
H. Wahab Hasbullah, selaku Rois Aam, menyatakan bahwa NU tidak
bisa duduk dengan PKI dalam satu kabinet. Pernyataan yang sama
diikuti oleh beberapa pemimpin berbagai partai, NU, Parkindo, Partai
Katolik, Liga Muslimin, PSII, dan IPKI. Mereka tergabung dalam se-
buah organisasi yang bernama Liga Demokrasi.
Pada akhir bulan Maret 1960, Liga Demokrasi yang dike­tuai Imron
Rosyadi dari NU, mengeluarkan suatu pernyataan yang menuntut
dibentuknya DPR yang demokratis dan Konstitusional. Sebaliknya,
Liga itu menghendaki pemerintah menunda pembentuk­an DPR-GR,
yang dianggap hanya akan memperkuat pengaruh dan kedudukan
suatu golongan tertentu yang mengakibatkan kegelisahan dalam
masyarakat dan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. DPR-GR
menurut Liga Demokrasi, hanya akan meng-iya-kan saja semua ke-
hendak pemerintah, sehingga tidak dapat menjadi soko guru negara
hukum dan demokrasi yang sehat. Liga pun beranggapan pembaruan
dengan cara pengangkatan sebagaimana yang dipersiapkan dalam
DPR-GR bertentangan dengan azas-azas demokrasi yang dijamin oleh
undang-undang. Pernyataan Liga Demokrasi itu tidak memperoleh
perhatian dari Presiden, bahkan semua aktivitasnya dilarang dan
eksistensinya dibekukan. Reaksi perorangan mengenai pembubaran
DPR hasil Pemilihan Umum 1955 berasal dua orang tokoh PNI, Mr.
Sartono dan Iskaq Tjokrohadisuryo yang juga teman lama Presiden
www.facebook.com/indonesiapustaka

Sukarno. Selain itu, Mr Sartono sebagai pimpinan PNI yang merang-


Marwati Djoened Poesponegoro, dkk, op.cit., hlm. 315.

54

01-TA-16x24-terakir.indd 54 1/30/2012 9:39:02 PM


DEMOKRASI TERPIMPIN 1959-1965

kap Ketua DPR hasil Pemilihan Umum 1955, menyatakan tidak puas
dengan perkembangan keadaan. Sedangkan Mr. Iskaq mengeluarkan
pernyataan yang ditujukan kepada partainya bahwa mereka yang
duduk dalam DPR-GR bukanlah sebagai wakil dari PNI. Hubungan
mereka dengan PNI tidak ada lagi, sebab mereka duduk dalam DPR-
GR atas hasil penunjukan.
Sutomo (Bung Tomo) dari Partai Rakyat Indonesia mengajukan
penga­duan kepada Mahkamah Agung melalui suratnya tanggal 22
Juni 1960. Isinya antara lain mengadukan pelanggaran Undang-
Undang Dasar Negara Kesatuan Republik yang dilakukan oleh Kabinet
di bawah pimpinan Dr. Ir. Sukarno dengan membubarkan Parlemen
hasil pilihan rakyat.
Kabinet yang dimaksud adalah Kabinet Kerja, di mana Menteri-
menterinya terdiri atas Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung, para
Wakil Ketua MPRS, dan Ketua DPR-GR. Pengangkatan mereka seba­
gai menteri merupakan perkembangan baru dalam tatanegara kita.
Dengan pengangkatan itu dapat diartikan seseorang mempunyai ja-
batan pada dua bidang pemerintah yang berbeda, yaitu memegang
jabatan lembaga legislatif atau yudikatif dengan status eksekutif.
Prinsip Trias Politica telah ditinggalkan, yang sekaligus menyimpang
dari prinsip-prinsip demokrasi. Sinyalemen pimpinan partai dan
tokoh politik yang menentang pembubaran parlemen tidak keliru.
Terbukti dalam praktek demokrasi terpimpin.
Dalam Demokrasi Terpimpin, DPR-GR merupakan lembaga yang
mensahkan secara formal-yuridis setiap keputusan dan tindakan
Presiden, antara lain menyangkut anggaran pendapatan dan belan-
ja negara, politik luar negeri, dan sebagainya. Dalam menegakkan
Demokrasi Terpimpin, Presiden Sukarno membubarkan pula Front
Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB) dan membentuk organisa-
si baru Front Nasional, suatu organisasi massa yang memperjuang-
www.facebook.com/indonesiapustaka

kan cita-cita Proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD


1945. Pimpinan Front Nasional adalah Presiden Sukarno dan para


Ibid., hlm. 316.

55

01-TA-16x24-terakir.indd 55 1/30/2012 9:39:03 PM


Saleh As’ad Djamhari

ketua umum partai-partai besar, Golongan Karya, dan Kepala Staf


Angkatan Bersenjata diangkat sebagai wakil pimpinan. Melalui Front
Nasional yang dipimpinnya, Presiden Sukarno mengharapkan dapat
berhubung­an langsung dengan massa dan memungkinkan untuk
melampaui partai-partai.

Revolusi Kedua
Pada saat peran partai-partai politik merosot akibat kebijakan
Presiden Sukarno, sebaliknya bagi Partai Komunis Indonesia (PKI),
terbuka peluang untuk memainkan peranannya secara aktif dalam
politik praktis maupun konsepsi politik. Saat itu, Presiden Sukarno
yang sedang ‘gandrung” kepada revolusi, menyerahkan sepenuhnya
kepada Dewan Nasional untuk menyusun Garis-Garis Besar Haluan
Negara yang bersumber pada Pidato Presiden tanggal 17 Agustus
1959, dengan rumusan yang menitikberatkan pada persoalan-persoal­
an pokok Revolusi Indonesia yaitu: dasar/tujuan dan kewajiban
Revolusi Indonesia, kekuatan-kekuatan sosial revolusi Indonesia, si-
fat revolusi Indonesia, hari depan revolusi Indonesia dan musuh-mu-
suh revolusi Indonesia.
Dalam kurun waktu sembilan tahun, PKI di bawah pimpinan
D.N. Aidit, Lukman, dan Nyoto, mencapai kemajuan yang luar bi-
asa. Menjelang tahun 1963 jumlah anggotanya telah mencapai sekitar
dua setengah juta orang. Selain itu, PKI juga mempunyai pengaruh
dan jaringan yang luas dengan berbagai lapisan masyarakat me-
lalui organisasi-organisasi massanya, seperti Barisan Tani Indonesia
(BTI), organisasi wanita Gerwani, gabungan serikat buruh SOBSI,
dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Mulai saat ini, instabili-
tas politik terus berlangsung, PKI lambat-laun berkembang menjadi
partai terkuat, karena kondisi yang menguntungkan selama periode
Demokrasi Terpimpin.
www.facebook.com/indonesiapustaka


John D. Legge, op.cit., hlm. 366.

56

01-TA-16x24-terakir.indd 56 1/30/2012 9:39:03 PM


DEMOKRASI TERPIMPIN 1959-1965

Selama periode Demokrasi Terpimpin, kekuatan politik terpusat


di tangan Presiden Sukarno dengan TNI-AD dan PKI di sampingnya.
Sejak awal periode itu, secara politis PKI mendapat peluang dari
Presiden, baik dari ucapan-ucapan maupun kebijaksanaannya. Pada
penutupan Kongres Nasional VI PKI bulan September 1959, Presiden
menyampaikan sambutan yang berbunyi: …yo sanak, yo kadang,
malah yen mati aku sing kelangan (ya saudara, ya kerabat, bahkan ka-
lau mati aku kehilangan). Kata-kata itu disertai dengan janji Presiden
untuk membentuk Kabinet Gotong Royong di mana PKI akan duduk
di dalamnya.
Peluang pertama didapat PKI setelah Presiden Sukarno mengucap­
kan pidato tanggal 17 Agustus 1960 yang berjudul ‘Jalannya Revolusi
Kita (Jarek)”, di mana dipertegas lagi tentang pelaksanaan Manipol.
Sesuai dengan permintaan Presiden, pada bulan Januari 1961 DPA
me­merinci pelaksanaan Manipol, antara lain tentang gotong royong,
yang diartikan sebagai mempraktekkan samen bundeling van alle
revo­lutionaire krachten. Di Indonesia ada tiga revolutionaire krachten,
Nasionalis, Agama, dan Komunis (Nasakom), yang masing-masing tidak
boleh saling kena fobi. Penyusunan cara-cara pelaksanaan Manipol
berdasarkan konsep Jarek. Tokoh-tokoh PKI yang diikutsertakan me­
manfaatkan peluang memasukkan program-programnya menjadi
ba­gian dari program pemerintah. Peluang berikutnya didapat PKI
dalam penyusunan garis besar politik luar negeri yang didasarkan
atas pidato Presiden Sukarno di depan Sidang Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) yang berjudul “Membangun Dunia Kembali”,
pada bulan September 1960.
Peluang yang besar dimanfaatkan PKI untuk mengubah taktik per-
juangannya dari cara parlementer atau cara damai, beralih ke cara
lain, sebagaimana yang diputuskan dalam Kongres Nasional PKI VII
bulan April 1962, yang antara lain: “PKI tidak memandang dalam prak-
www.facebook.com/indonesiapustaka

tik pekerjaan di parlemen sebagai satu-satunya bentuk perjuangan.


PKI mendasarkan politiknya atas analisa Marxis mengenai keadaan

57

01-TA-16x24-terakir.indd 57 1/30/2012 9:39:03 PM


Saleh As’ad Djamhari

konkret dan perimbangan kekuatan”.10 Untuk memperoleh perimbang­


an kekuatan (balance of power), mula-mula PKI melakukan ofensif
Manipolis dan kemudian meningkatkan menjadi ofensif revolusioner
terhadap kekuatan sosial politik yang mereka nilai mempunyai sikap
anti-PKI. Sebaliknya, PKI merangkul kekuatan sosial yang berada di
pihaknya, seperti Partindo. Semula partai itu berazaskan marhaen­
isme ajaran Sukarno, tetapi kemudian berubah menjadi “Marxisme
yang diterapkan di Indonesia”. Rupanya Sukarno setuju terhadap
perubahan itu, bahkan dikatakannya bahwa Marhaenisme adalah
Marxisme-Sukarnoisme, paralel dengan komunisme. Pendapat itu
tercerna dalam tubuh PNI. Hal ini berbeda dengan ucapan Presiden
Sukarno di depan Konferensi Besar Gerakan Mahasiswa Nasional
Indonesia (GMNI) di Kaliurang, Yogyakarta, pada bulan Februari
1959. Dijelaskannya saat itu, bahwa Marhaenisme adalah asas yang
menghendaki susunan masyarakat dan negara yang di dalam segala
hal menyelamatkan kaum Marhaen. Marhaen adalah juga asas per-
juangan yang revolusioner sesuai dengan watak kaum Marhaen.
Selanjutnya dalam Penetapan Presiden No. 7 tahun 1959 tentang
“Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian”, ditetapkan bahwa
setiap partai politik harus berasaskan Pancasila. Dalam perkembang­
an lebih lanjut, terbukti PKI menerima Pancasila hanya sebagai
alat untuk mencapai tujuannya. PKI menganggap bahwa Pancasila
adalah filsafat persatuan dan alat pemersatu. Pancasila sebagai “alat
pemersatu” pernah menimbulkan heboh yang dikenal dengan “he-
boh Pancasila” di dalam masyarakat, karena ceramah D.N. Aidit (seba­
gai Menteri Koordinator/Wakil Ketua MPRS) di depan Kursus Kader
Revolusi Angkatan Dwikora pada bulan Oktober 1964. Dalam cera-
mah itu, Aidit mengatakan: “Dus, di sinilah betulnya Pancasila seba­
gai alat pemersatu, sebab kalau sudah “satu” semuanya... Pancasila
nggak perlu lagi. Sebab Pancasila alat pemersatu bukan? Kalau sudah
“satu” semuanya, apa yang kita persatukan lagi”.11 Ucapan Aidit itu
www.facebook.com/indonesiapustaka

10
Nughroho Notosusanto (Ed.), Tercapainya Konsensus Nasional 1966-1969, Balai Pustaka,
Jakarta, 1985, hlm. 6-7.
11
D.N. Aidit, Membela Pancasila, Jajasan Pembaruan, Djakarta, 1964, hlm. 21.

58

01-TA-16x24-terakir.indd 58 1/30/2012 9:39:03 PM


DEMOKRASI TERPIMPIN 1959-1965

mendapat reaksi dari masyarakat luas, yang dimuat hampir semua


mass-media, kecuali mass media milik PKI atau yang berada di pi-
haknya. Karena campur tangan Presiden Sukarno sebagai “Penggali
Pancasila”, heboh Pancasila tidak berlanjut dan PKI meneruskan
gerak­annya. Kemudian terbit brosur D.N. Aidit “Membela Pancasila”
sebagai pembelaan atas ucapannya itu. Gerakan ofensif PKI di bidang
politik dan fisik dimulai pada tahun 1964. Selama tahun itu gerakan
yang dapat dicatat antara lain gerakan riset di kecamatan-kecamatan,
aksi penyitaan milik Inggris dan Amerika Serikat, aksi retooling, tun-
tutan penggantian pejabat yang anti-PKI, aksi tunjuk hidung, pengin-
donesiaan Marxisme, dan aksi-aksi sepihak.
Aksi-Aksi yang dilancarkan PKI didasarkan atas program rahasia
yang berjudul “Resume Program dan Kegiatan PKI Dewasa ini (1963)”.
Program itu merupakan program jangka pendek, di mana PKI telah
gagal karena tidak dipimpin oleh orang-orang komunis. Revolusi be-
lumlah selesai. Untuk menyelesaikannya perlu ditempuh dengan cara
merebut pimpinan dari tangan kaum borjuis nasional. Ketika doku-
men rencana empat tahun PKI itu jatuh ke tangan partai Murba, PKI
menyatakan bahwa dokumen itu palsu. Peristiwa ini menimbulkan
heboh di kalangan partai-partai politik. Presiden Sukarno menilai
peristiwa ini bisa menimbulkan perpecahan nasional. Oleh karena itu
pimpinan partai-partai politik “disekap” di Istana Bogor untuk menye­
lesaikan masalah ini. Kemudian mereka membuat Deklarasi Bogor
pada Desember 1964. Fitnah PKI ditujukan terhadap Badan Pembela
Sukarnoisme, yaitu sebuah badan yang didirikan oleh kelompok anti
PKI. Untuk menghancurkannya, PKI memfitnahnya sebagai badan
yang bertujuan menyelewengkan ajaran Presiden Sukarno, bahkan
berusaha membunuhnya. Akhirnya Presiden membubarkan BPS.
Ofensif PKI berikutnya beralih kepada partai Murba, yang dianggap
telah membocorkan dokumen rahasia PKI. Sama dengan cara yang
www.facebook.com/indonesiapustaka

dipakai terhadap BPS, PKI menciptakan fitnah bahwa Partai Murba


telah memecah-belah persatuan Nasakom dan akan mengadakan ku-
deta, serta akan membunuh ajaran dan pribadi Presiden Sukarno.

59

01-TA-16x24-terakir.indd 59 1/30/2012 9:39:03 PM


Saleh As’ad Djamhari

Akibatnya, pemimpin Murba ditahan dan partainya dibubarkan oleh


Presiden Sukarno pada tanggal 5 Januari 1965. Sehari sebelumnya
disinggung pembekuan partai Murba dalam sambutannya, Wakil
Perdana Menteri I Dr. Subandrio, sehubungan dengan ulang tahun
harian Duta Masyarakat: “... bahwa tahun 1965 adalah tahun gawat,
tahun kristalisasi. Jangan terkejut jika saya katakan bahwa dalam ta-
hun 1965 akan ada afvallerss, akan ada orang-orang yang tadinya te-
man seperjuangan pun, comrade in arms akan rontok, karena tidak
bisa mengikuti lagi jalannya revolusi....” Dalam suasana re­volusioner,
Presiden Sukarno memberikan ruang dan waktu kepada PKI untuk
melancarkan aksi-aksinya terhadap lawan-lawan politiknya. Sehingga
PKI mendominasi opini publik dan opini pimpinan pemerin­tahan.
Dalam usahanya menguasai ABRI, PKI melaksanakan strategi “Metode
Kombinasi Tiga Bentuk (MKTBP)”. Sasaran utama PKI ialah penanam­
an paham komunis di kalangan ABRI. PKI menentang kebijaksanaan
Pemerintah yang memberlakukan Undang-Undang Keadaan Bahaya
(UUKB) pada tahun 1957, PKI khawatir akan kekuasaan dan penga-
ruh ABRI bertambah besar. Selanjutnya PKI menggunakan cara lain,
yaitu dengan diam-diam mengintensifkan pemasukan kader-kader
mereka menjadi tamtama dan bintara ABRI. Cara terbuka kembali di-
gunakan ketika PKI gagal mencari perimbangan kekuatan di badan
legislatif. Protes terhadap masuknya golongan fungsional ABRI ke
dalam DPR-GR terjadi, setelah melihat jumlah keanggotaannya ber­
ada di bawah wakil-wakil ABRI. Dalam dewan itu wakil-wakil ABRI
berjumlah 35 orang, sedangkan wakil PKI hanya 30 orang.
Dalam usahanya menjaga perimbangan kekuatan, Presiden
Sukarno segera menentukan langkahnya. Presiden mengadakan re-
organisasi dan integrasi dalam tubuh ABRI. ABRI ditempatkan lang-
sung di bawah kekuasaannya. Presiden/Panglima Tertinggi dibantu
oleh Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KASAB) dan para Panglima
Angkatan. Pada bulan Juli 1962 terjadi pergeseran posisi unsur-un-
www.facebook.com/indonesiapustaka

sur anti-komunis dalam pimpinan Angkatan Darat. Jenderal A. H.


Nasution yang sebelumnya menjabat Kepala Staf Angkatan Darat

60

01-TA-16x24-terakir.indd 60 1/30/2012 9:39:03 PM


DEMOKRASI TERPIMPIN 1959-1965

menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata yang baru dibentuk, dan se-
bagai Kepala Staf Angkatan Darat diangkat Jenderal A. Yani. Dengan
pengangkatannya, bukan berarti Yani adalah salah seorang prajurit
yang berpihak kepada komunis (pro-komunis). Sikapnya terhadap
PKI tidak berbeda dengan Nasution, yang sama-sama berusaha mem-
pertahankan kubu Angkatan Darat dari rongrongan PKI. Namun Yani
dianggap sangat setia kepada Sukarno.
Peluang baik terbuka lagi bagi PKI setelah diadakannya reorganisa-
si ABRI itu. Susunan itu memudahkan Presiden Sukarno merangkul
salah satu Angkatan untuk mendukung politiknya. Akibatnya timbul
persaingan dan sikap saling mencurigai antara Angkatan yang satu
dengan lainnya. Setiap Angkatan berlomba-lomba menjadi yang pa­
ling “revolusioner” dan paling setia kepada Presiden/Pemimpin Besar
Revolusi. Pimpinan Angkatan Darat sejak dini sudah bersikap “waspa-
da”, dan sikapnya itu dipertahankannya dalam suasana persaingan
di kalangan ABRI, sehingga peranannya diperkecil. Khususnya ter-
hadap TNI-Angkatan Darat, PKI melontarkan sindiran yang diucap-
kan oleh D.N. Aidit di depan taruna Akademi Laut, Surabaya, pada
tanggal 29 April 1964. Sindiran yang dimaksudkan untuk menim-
bulkan kebencian angkatan satu dengan angkatan lainnya, antara
lain berbunyi sebagai berikut: “ALRI kita tidak akan menjadi mangsa
‘Jenderal Pentagon’ yang berkulit sawo matang, yang menggambar-
kan seolah-olah musuh yang akan datang menyerbu Indonesia dari
utara (maksudnya RRC), jadi menurut mereka bukan dari SEATO,
bukan dari imperialis Amerika dan Inggris. Pengkhianatan “Jenderal-
Jenderal Pentagon” sawo matang terhadap gagasan Nefo, gagasan yang
memasukkan negeri-negeri sosialis, termasuk RRC sebagai Sekutu
Indonesia, harus dijauhi ALRI.”
Ternyata dalam tubuh Angkatan Laut lahir Gerakan Perwira
Progressif Revolusioner (GPRR) yang sudah digarap oleh PKI. Timbul
www.facebook.com/indonesiapustaka

pula kericuhan dalam tubuh Kepolisian yang dapat segera disele-


saikan. Adanya kedua peristiwa itu, yang dapat menjurus kepada per-
pecahan TNI, melahirkan Tri Ubaya Sakti sebagai doktrin perjuangan

61

01-TA-16x24-terakir.indd 61 1/30/2012 9:39:03 PM


Saleh As’ad Djamhari

TNI-AD yang dihasilkan Seminar Angkatan Darat, yang berlangsung


pada tanggal 2-9 April 1965. Dalam pembukaan Seminar Angkatan
Darat, Panglima TNI-AD Jenderal Ahmad Yani menganggap doktrin
itu sangat penting untuk memantapkan daya tahan TNI-AD terha-
dap setiap rongrongan. Ditegaskannya bahwa “TNI-AD harus bersatu
merapatkan barisan, agar tertutup kesempatan bagi lawan yang akan
memecah-belah mereka. Korban sudah cukup banyak dan situasi se-
dang genting”, demikian antara lain ucapan Yani.
Benarlah apa yang diucapkan Jenderal Yani bahwa gerakan-gerak­
an “ofensif revolusioner” dilakukan PKI menjelang ulang tahunnya
ke-45. Gerakan-gerakannya lebih dikenal dengan aksi sepihak yang
dilancarkan oleh organisasi massanya. Ormas PKI Barisan Buruh
Indonesia (BTI) di berbagai tempat mempersoalkan pelaksanaan land­
reform atau masalah tanah lainnya. Di Desa Sambirejo, Ngawi, ang-
gota-anggota PKI membakar rumah-rumah rakyat, di PPN Karet IX
Bandar Betsy (Sumatra Utara), 200 anggota BTI menganiaya sampai
tewas Pelda Sujono yang sedang bertugas, dan terjadinya peristiwa
Jengkol di mana PKI berusaha merongrong kewibawaan pemerintah
melalui kampanye pers, radio, dan poster. PKI menggambarkan mere­
ka sebagai ‘setan desa’ yang harus dibunuh dan dibasmi. Cara-cara
kekuatan itu dimaksudkan untuk mematahkan pembinaan teritori-
al yang dilakukan oleh TNI-AD, sedangkan tujuan politisnya ialah
“menguasai desa untuk mengepung kota.”12
Apa yang telah dilakukan PKI, seperti pembunuhan terhadap
Pelda Sujono, merupakan tantangan bagi TNI-AD, sehingga terlon-
tar kata-kata Jenderal Yani yang diucapkannya pada hari ulang ta-
hun RPKAD di Jakarta, tanggal 15 Mei 1965 sebagai berikut, “RPKAD
harus tetap memelihara kesiapsiagaan yang merupakan ciri khasnya
dalam keadaan apa pun, terutama dalam keadaan gawat. Asah pisau
komandomu, bersihkan laras senjatamu.” Di samping itu Jenderal
www.facebook.com/indonesiapustaka

Yani beranggapan bahwa kalau peristiwa itu dibiarkan begitu saja,


maka dalam negara akan timbul anarki. Demikianlah, aparat keaman-

12
Marwati Djoened Poesponegoro dkk, op.cit., hlm. 321.

62

01-TA-16x24-terakir.indd 62 1/30/2012 9:39:03 PM


DEMOKRASI TERPIMPIN 1959-1965

an dipersiapkan. Di setiap tingkat kelurahan dan kecamatan dikerah-


kan para bintara pembina desa (Babinsa) dan komando rayon militer
(Koramil) untuk menghadapi aksi-aksi PKI di desanya. Manuver PKI
lainnya, untuk menasakomisasi ABRI dengan sistem komisaris poli-
tik model negara-negara komunis tidak berhasil karena keteguhan si-
kap pimpinan ABRI. Sebagai tanda penolakannya, Jenderal Yani ber-
kata sebagai berikut: “Setiap prajurit ABRI adalah nasakomis, yaitu
Nasakom geestelijk, bukan secara kompartementasi. Karena itu setiap
prajurit adalah seorang nasionalis, seorang yang beragama dan sosi-
alis.” Dengan kata lain, pimpinan ABRI menyatakan bahwa sesung-
guhnya setiap anggota ABRI sudah Nasakomis dalam jiwanya.13
Sebenarnya Presiden Sukarno menggunakan konsepsi Nasakom
sebagai sarana mempersatukan rakyat Indonesia, yang terdiri dari
berbagai aliran dan paham politik. Presiden bertolak dari keyakinan
politik bahwa antara tiga paham, yaitu Nasionalis, Agama dan Marxis
harus dapat bersatu. Baginya, Nasakom adalah salah satu aspek dari-
pada Pancasila. Dengan dalil itu, ia pernah berkata: “barang siapa me-
nerima Pancasila, harus menerima Nasakom” dan “barang siapa me-
nolak Nasakom, berarti menolak Pancasila.” PKI mengeksploitirnya
dengan semboyan: “Nasakom bersatu, singkirkan kepala batu” yang
juga dibuatkan lagunya, sehingga terjadilah saat-saat di mana “cap
komunisto fobi dan “kontra revolusioner” merupakan suatu tindakan
yang mematikan seseorang. Pimpinan ABRI membalasnya dengan
semboyan: “Nasakom Jiwaku” yang diartikan Nasakom sudah ada
pada setiap organisasi, tanpa menempatkan tiga orang komisaris poli-
tik ke dalamnya yang berasal dari PNI, NU dan PKI, yang dikatakan
mewakili Nasakom.
Ketika PKI menuntut agar buruh dan tani dipersenjatai dalam
rangka Konfrontasi Malaysia, dengan tegas TNI-AD menolaknya, dan
terlontarlah ucapan Jenderal Yani sebagai berikut: “Kalau nekolim neo
www.facebook.com/indonesiapustaka

kolonialisme menyerang, bukan saja buruh dan tani dipersenjatai,


tetapi juga seluruh rakyat Indonesia.” Namun D.N. Aidit dalam pida-

13
Ibid.

63

01-TA-16x24-terakir.indd 63 1/30/2012 9:39:03 PM


Saleh As’ad Djamhari

tonya tanggal 14 Januari 1965, menuntut agar massanya yang terdiri


dari satu juta buruh dan sepuluh juta tani dengan nama “Angkatan
V” dipersenjatai. Usaha PKI untuk menyusun kekuatan bersenjata
sebagai tandingan ABRI tidak mendapat tanggapan dari partai-par-
tai lainnya, kecuali Ketua PNI Ali Sastroamijoyo, yang menghenda-
ki agar pembentukan Angkatan V disesuaikan dengan sistem perta­
hanan dan harus ditentukan oleh MPRS. Lembaga tertinggi negara
itu bukan lagi sarana yang dipakai PKI dalam gerakan selanjutnya.
PKI sudah merasa dirinya sebagai partai terkuat di Indonesia, sebagai­
mana dikatakan oleh D.N. Aidit pada rapat rahasia HUT PKI tanggal
23 Mei 1965, bahwa PKI merupakan partai komunis nomor satu di
luar kubu sosialis dan nomor tiga di dunia, dengan jumlah anggota
6 juta dan 20 juta simpatisannya. Sejak hari ulang tahun ke-45 itu-
lah PKI melan­carkan suatu ‘ofensif revolusioner’, atau gerakan dengan
cara kekerasan yang bermuara di Lubang Buaya. ABRI, khususnya
TNI-AD kembali menjadi sasaran utamanya, karena merupakan satu
kekuatan yang mampu bertahan terhadap rongrongan PKI dan ormas-
nya yang ingin menghapuskan Pancasila dan UUD 1945.

Ofensif Pemikiran PKI


Penjelasan Presiden Sukarno mengenai “Dekret kembali ke UUD
1945” tersebut disampaikan dalam pidato yang berjudul “Penemuan
Kembali Revolusi Kita” yang disampaikan pada tanggal 17 Agustus
1959. Pidato itu kemudian diserahkan kepada Panitia Kerja Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) untuk dirumuskan menjadi Garis-Garis
Besar Haluan Negara (GBHN). D.N. Aidit yang memimpin Panitia
telah memanfaatkan posisinya untuk memasukkan program-pro-
gram PKI ke dalam GBHN yang diberi judul “Manifesto Politik
Republik Indonesia (Manipol)”. Manipol ini berdasarkan tesis PKI,
“Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia (MIRI)”.14 Dengan
www.facebook.com/indonesiapustaka

B.M. Diah, Meluruskan Sejarah, Jakarta: Pustaka Merdeka, 1987, hlm. 127; Pusat Sejarah
14

TNI, Bahaya Laten Komunis Di Indonesia, Pemberontakan G30S/PKI dan Penumpasannya,


Jilid IVA, Jakarta, Pusat Sejarah TNI, 1994, hlm. 25.

64

01-TA-16x24-terakir.indd 64 1/30/2012 9:39:03 PM


DEMOKRASI TERPIMPIN 1959-1965

demikian MIRI sudah disatukan dalam MANIPOL dan MANIPOL


sudah ditetapkan sebagai GBHN. Artinya, kepentingan PKI sudah
tertampung dalam GBHN yang sudah dijadikan kepentingan
Nasional. Dengan masuknya kepentingan PKI dalam GBHN, maka
pada Kongres Nasional VI PKI bulan September 1959, CC PKI menyem­
purnakan dan memperjelas kembali konstitusinya untuk memperta-
jam perjuangannya membentuk Pemerintah Demokrasi Rakyat.
Sesuai dengan program umum Manipol, maka dibentuklah badan-
badan baru seperti MPRS, DPA, dan Front Nasional (FN). Pembentukan
Front Nasional tersebut semula dimaksudkan sebagai alat penggerak
masyarakat, tetapi dalam kenyataannya kemudian jauh menyimpang
dari maksud semula, karena badan itu menjadi sasaran penggarapan
PKI untuk dibawa ke dalam strategi “Front Persatuannya” PKI de­
ngan memanfaatkan organisasi massa yang menjadi anak organisasi
PKI atau yang sudah dipengaruhi PKI. Program lain dari Manipol
ialah mengadakan retooling aparatur di semua lembaga pemerintah,
termasuk alat kekuasaan negara (Angkatan Darat, Angkatan Laut,
Angkatan Udara, dan Kepolisian). Dalam pelaksanaan retooling itu,
konsepsi Gotong Royong telah berkembang menjadi gotong royong
nasional yang mencakup semua kelompok, yakni kelompok
Nasionalis, kelompok Agama, dan kelompok Komunis (Nasakom), se-
bagaimana yang dikehendaki oleh PKI.

Ofensif dan Kontra Ofensif di Bidang Media Massa


PKI menyadari bahwa media massa merupakan sarana penting un-
tuk menguasai pendapat umum. Oleh sebab itu tidaklah menghe­
rankan jika PKI berusaha keras menguasai bidang ini. Sejak 1960,
semua penerbit surat kabar dan majalah diwajibkan mengajukan per-
mohonan Surat Ijin Terbit (SIT) dan Surat Ijin Cetak. Pada formulir
permohonan SIT dicantumkan 19 pasal pernyataan yang mengan­
www.facebook.com/indonesiapustaka

dung janji penanggung jawab surat kabar atau majalah tersebut.


Untuk dapat diberi SIT, ia harus mendukung Manipol-Usdek, yang
berarti tidak boleh menentang PKI, bahkan kalau bisa mereka harus

65

01-TA-16x24-terakir.indd 65 1/30/2012 9:39:03 PM


Saleh As’ad Djamhari

mendukung PKI. Pernyataan yang berisi 19 pasal itu dengan mudah


dipergunakan oleh PKI untuk menindak surat kabar dan majalah
yang tidak disenanginya. Maka satu demi satu penerbitan yang pa­
ling gigih menentang dominasi PKI dicabut SIT-nya, yakni harian
Pedoman, Nusantara, Keng Po, Pos Indonesia, Star Weekly, dan seba­
gainya. Surat kabar Abadi memilih menghentikan penerbitannya
daripada harus menandatangani persyaratan 19 pasal itu. Dengan
makin sedikitnya pers Pancasilais yang masih hidup, dapat digam-
barkan betapa merajalelanya surat kabar PKI seperti Harian Rakjat,
Bintang Timur, dan Warta Bhakti.
Melalui Barisan Rakyat, surat kabar resmi PKI dan terbitan berka-
la lainnya seperti Bintang Muda, Mingguan Sport, Harian Rakjat
Minggu, Zaman Baru, pimpinan PKI mengadakan kampanye, agita-
si, dan propaganda untuk menghitamkan dan bahkan menyingkir-
kan lawan-lawan politiknya. Di samping itu, PKI juga memasukkan
orang-orangnya ke dalam organisasi media massa, seperti Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI), Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN)
Antara. Begitu pula Departemen Penerangan berhasil digiring untuk
mendukung garis politik PKI.15 Usaha PKI ini bukannya tanpa tan-
tangan, sebab wartawan-wartawan masih ada juga yang tidak setuju
dengan komunis. Beberapa wartawan yang anti-komunis kemudian
membentuk Badan Pendukung Sukarno (BPS). BPS ini dipimpin
oleh beberapa wartawan senior seperti Adam Malik, Sayuti Melik,
Sumartono, B.M. Diah, dan lain-lain. Tujuan mereka ialah menentang
dominasi PKI dan berusaha agar rakyat tidak terpengaruh propagan-
da PKI. Dengan adanya dua macam wartawan itu, maka tidak meng-
herankan jika pada periode Demokrasi Terpimpin ini media massa
sering diwarnai dengan politik. Polemik mereka umumnya berkisar
antara masalah ajaran Sukarno, tentang Marxisme dan Nasakom.
Tokoh-tokoh BPS antara lain Sumartono, B.M. Diah, Mulyono,
Asnawi Idris, H. Wibowo, Harmoko, dan lain,-lain sering berpolemik
www.facebook.com/indonesiapustaka

di media massa dengan tokoh-tokoh media massa komunis antara

15
Ibid., hlm. 379-390

66

01-TA-16x24-terakir.indd 66 1/30/2012 9:39:03 PM


DEMOKRASI TERPIMPIN 1959-1965

lain Karim DP, Nyoto, Asmara Hadi, Waluyo, Suroto Naibaho, dan
Oloan Hutapea. Karena wartawannya terpecah-pecah, maka otoma-
tis koran mereka pun berbeda sesuai dengan garis programnya ma­
sing-masing. Pada saat itu paling tidak ada tiga jenis koran. Pertama
koran BPS yang anti-komunis, antara lain Merdeka, Berita Indonesia,
Karyawan, Warta Berita, Semesta, Berita Republik Revolusioner, dan
Garuda. Kedua, koran-koran yang netral antara lain Duta Masyarakat
dan Sinar Harapan. Ketiga, koran-koran yang dimiliki oleh PKI dan
Partindo yang dijadikan sebagai alat kampanye dan propaganda un-
tuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya seperti Harian Rakjat,
Bintang Timur, Warta Bakti, dan lain-lain.
BPS ini mendapat dukungan luas dari masyarakat, di samping
mendapat tantangan hebat dari PKI dan pendukung-pendukungnya.
Melalui surat-surat kabar dan majalah-majalah PKI mencaci maki
BPS dengan tuduhan ‘to kill Sukarno with Sukarnoism’. Tuduhan lain
yang dilemparkan ke alamat BPS adalah koran-koran BPS telah di­
suap oleh Amerika melalui agen mereka Central Intelligence Agency
(CIA) sebanyak 500 juta dolar. Uang itu digunakan untuk membiayai
usaha dan propaganda guna menghancurkan ajaran dan diri Sukarno.
Sukarno percaya akan tuduhan ini, oleh sebab itu pada tanggal 17
Desember 1964, BPS kemudian dibubarkan dan bersamaan dengan
itu koran-koran mereka pun dibekukan. Dengan dibekukannya koran
yang anti komunis, PKI berada di pihak yang beruntung. Koran-ko-
ran PKI dapat leluasa menyebarluaskan ide-idenya ke masyarakat.
Hal ini dinilai berbahaya bagi kehidupan masyarakat, oleh sebab itu
ABRI mengadakan dan menerbitkan surat kabar sendiri yang diberi
nama Angkatan Bersenjata, Berita Yudha dan kantor berita baru PAB
(Pemberitaan Angkatan Bersenjata). 16
www.facebook.com/indonesiapustaka

Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, op.cit., hlm. 139.


16

67

01-TA-16x24-terakir.indd 67 1/30/2012 9:39:03 PM


Saleh As’ad Djamhari

Konflik TNI-AD Lawan PKI: Ofensif Manipolis dan Ofensif


Re­­­vo­­lu­si­­oner
PKI mencoba kekuatannya menghadapi kekuatan TNI-AD, dengan
melancarkan kritik dan tuduhan keras bahwa TNI-AD tidak bersung-
guh-sungguh dalam menumpas pemberontakan PRRI/Permesta.
Bersamaan dengan dilancarkannya kritik dan tuduhan itu, PKI
melakukan pengacauan di beberapa daerah seperti di Sumatra
Selatan, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. Peristiwa ini
dikenal dengan “Peristiwa Tiga Selatan”. Pimpinan TNI-AD menilai
kritik dan tuduhan yang tidak berdasar kebenaran itu sebagai upaya
mengacaukan keadaan, apalagi dengan adanya bukti terjadinya pe­
ngacauan oleh PKI di beberapa daerah tersebut. Untuk itu jajaran
TNI-AD melalui wewenangnya selaku Penguasa Perang Daerah
(Peperda) menghentikan dan memberlakukan berbagai kegiatan PKI
atas dasar Undang-Undang Keadaan Bahaya yang sedang berlaku
pada saat itu. Oleh Peperda dilakukan pula penangkapan-penangkap­
an dan pemeriksaan terhadap tokoh-tokoh PKI serta melarang media
massa PKI terbit dan beredar. Presiden Sukarno disarankan pula agar
tidak percaya kepada loyalitas PKI, tetapi Presiden Sukarno tidak
mengindahkan saran tersebut, bahkan sebaliknya memperingatkan
TNI-AD supaya tidak bersikap phobi terhadap PKI dan mencabut
pembatasan-pembatasan yang dilakukan bagi kegiatan PKI tersebut.
Selanjutnya dalam pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960 dengan
judul “Jalannya Revolusi Kita (Jarek)”, Presiden Sukarno memperte-
gas lagi pelaksanaan Manipol. Sesuai dengan permintaan Presiden,
dalam bulan Januari 1964 DPA memperinci pelaksanaan Manipol se-
bagai berikut:
a. Gotong Royong, yang diartikan sebagai mempraktekkan samen
bundeling van alle revolutionaire krachten. Di Indonesia ada
tiga revolutionaire krachten Islam, Nasionalis, dan Komunis
www.facebook.com/indonesiapustaka

(Nasakom).
b. Front Nasional bertujuan untuk menggalang persatuan rakyat
revolusioner.

68

01-TA-16x24-terakir.indd 68 1/30/2012 9:39:03 PM


DEMOKRASI TERPIMPIN 1959-1965

c. Tanah untuk tani, artinya diadakan landreform, mengakhiri


penghisapan feodal secara berangsur-angsur.17

Dalam menyusun cara-cara pelaksanaan Manipol berdasarkan Jarek,


tokoh-tokoh PKI diikutsertakan pula. Dengan demikian, masuk pu-
lalah program-program PKI. Begitu pula halnya dalam menyusun
garis besar politik luar negeri yang didasarkan atas pidato presiden
yang berjudul “Membangun Dunia Kembali”. Semakin lama PKI se-
makin merasa kuat, karena program-programnya sudah menjadi ba-
gian dari program pemerintah. Keberhasilan PKI secara politik telah
merangsang ambisinya untuk memperbesar dan mempercepat cita-
cita politiknya, seperti yang diputuskan dalam Kongres Nasional VII
bulan April 1962, yang antara lain dikatakan, “PKI tidak meman-
dang pekerjaan dalam parlemen sebagai pekerjaan terpokok dan ti-
dak pula menganggapnya sebagai satu-satunya bentuk perjuangan.
PKI mendasarkan politiknya atas analisis Marxis mengenai keadaan
yang konkret dan perimbangan kekuatan”. Dari kenyataan itu jelas-
lah bahwa PKI mulai meninggalkan cara parlementer dan beralih ke-
pada perjuangan dengan cara lain.
Untuk memperoleh perimbangan kekuatan, mula-mula PKI se-
jak 1962 melakukan Ofensif Manipolis yang ditingkatkan menjadi
Ofensif Revolusioner terhadap semua kekuatan sosial-politik yang
dianggap lawan. Selain itu PKI berusaha pula merangkul golong­
an lain yang dapat dijadikan kawan. Ofensif ini dilakukan dengan
memecah-belah organisai-organisasi massa yang bernaung di bawah
suatu partai, dengan mendirikan organisasi tandingannya atau men-
caplok organisasi massa independen yang strategis atau lemah, seper­
ti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Persatuan Guru Republik
Indonesia (PGRI). Taktik ini disebut “senjata organisasi” (organiza-
tional weapon). Ofensif ini oleh para pemimpin PKI disebut Ofensif
www.facebook.com/indonesiapustaka

Manipolis. Ofensif Manipolis ialah tahapan awal dari ofensif-ofensif

Nugroho Notosusanto (Ed.), Tercapainya Konsensus Nasional 1966-1969, Cet. III, Balai
17

Pustaka, Jakarta, hlm. 6.

69

01-TA-16x24-terakir.indd 69 1/30/2012 9:39:04 PM


Saleh As’ad Djamhari

yang lain meliputi pelbagai bidang politik, ekonomi, militer, budaya,


dan media massa. Tujuan Ofensif Manipolis ialah memperoleh im-
bangan kekuatan dengan taktik senjata organisasi atau mempenga-
ruhi orang, lembaga, atau organisasi agar berjalan sehaluan dengan
Manipol. Dengan kata lain memanipulasi lembaga-lembaga tersebut
dengan program PKI yang telah disahkan menjadi Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN). Itulah sebabnya mengapa PKI mati-matian
membela Manipol.
Di bidang politik, PKI melancarkan Ofensif Manipolisnya melalui
kritik-kritik dan propagandanya, disertai agitasi dan provokasi. Aksi-
aksinya di antaranya dengan membeberkan dan membesar-besarkan
keburukan lawan yang tidak hanya terbatas terhadap lawan-lawan
politiknya, tetapi juga terhadap alat-alat kekuasaan negara. Upaya PKI
melakukan Ofensif Manipolis dilakukan serentak yang dimulai sejak
Kongres Nasional tahun 1959 dengan menyusun rencana yang mere­
ka sebut “Plan Partai” yang berlaku untuk seluruh tubuh PKI. “Plan
Partai” ditetapkan dengan tujuan untuk menjadikan PKI sebagai par-
tai kader dan partai massa sekaligus. Untuk pelaksanaan ini dibentuk
sebuah aparat khusus yang disebut Biro Plan (BI PLAN) pada tingkat
Comite Seksi. Biro ini berhasil menyusun rencana sebagai berikut:
Plan pertama dinamakan “Plan Tiga Tahun” di bidang organisasi seba­
gai kegiatan pokok. Plan kedua yang dinamakan “Plan Tiga Tahun”
di bidang ideologi dan organisasi berjangka waktu 1961-1964, yang
mengutamakan di bidang ideologi sebagai kegiatan pokok. Plan ketiga
yang ditetapkan pada Kongres VII PKI tahun 1962, dinamakan “Plan
Empat Tahun” di bidang kebudayaan, ideologi, dan organisasi, untuk
jangka waktu 1964-1968, yang mengutamakan bidang kebudayaan.
Plan keempat tahun terakhir sebagai periode pemanasan atau pema-
tangan revolusioner.18 Plan Partai sebagai hasil Kongres VI dilanjutkan
dengan Kongres Nasional PKI VII tanggal 23-30 April 1962. Kongres
inilah yang telah menyimpulkan PKI mendasarkan politiknya atas
www.facebook.com/indonesiapustaka

analisis Marxis mengenai keadaan konkret dan perimbangan kekuat­


Bahan-Bahan Pokok G30S/PKI, Jakarta, 1968, hlm. 28; Pusat Sejarah dan Tradisi TNI,
18

op.cit., hlm. 27.

70

01-TA-16x24-terakir.indd 70 1/30/2012 9:39:04 PM


DEMOKRASI TERPIMPIN 1959-1965

an. Hal ini diambil karena PKI merasa semakin kuat, dan program-
programnya sudah menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara.
Sejak tahun 1960 tulisan-tulisan dalam media massa PKI, yaitu
Harian Rakjat, mulai bercorak ofensif serta mengumandangkan
pelbagai tuntutan dan reformasi politik dengan mengatasnamakan
rakyat dan kaum manipolis.19 Selanjutnya pada tanggal 8 Juli 1960,
PKI melakukan serangan terbuka terhadap Kabinet Kerja. Politbiro
CC PKI mengeluarkan sebuah pernyataan berisi penilaian terhadap
kebijaksanaan kabinet dan sejumlah menteri (Pembantu Presiden).
Pernyataan itu disiarkan melalui Harian Rakjat, brosur, dan edaran-
edaran dalam bentuk stensil, yang berisi sanjungan terhadap Presiden
Sukarno, tetapi sejumlah menteri yang tidak segaris dengan partai PKI
dinilai salah atau gagal, temasuk di dalamnya Kepala Staf Angkatan
darat (KSAD) Letjen A.H. Nasution dinilai salah dalam mengambil
kebijaksanaan politik keamanannya. Tindakan PKI ini bertujuan un-
tuk meritool para pejabat yang tidak mereka sukai, dengan harapan
kedudukannya dapat digantikan oleh orang-orang PKI.20
Menghadapi ofensif PKI yang mulai meningkat, pimpinan TNI-AD
menyarankan kepada Presiden Sukarno agar tidak terlalu memper-
cayai keloyalan PKI. Saran tersebut diberikan berdasarkan kepada
pengalaman-pengalaman masa lalu. Namun saran tersebut bukan
saja tidak diindahkan oleh Presiden Sukarno, tetapi justru TNI-AD
diperingatkan agar tidak bersikap phobi terhadap PKI, dan tidak me-
nyalahgunakan wewenang selaku penguasa SOB. Selanjutnya pada
peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus
1960, Presiden Sukarno dalam pidato yang berjudul “Jalannya Revolusi
Kita (Jarek)” mempertegas pernyataan kepada pemimpin politik agar
tidak komunisto-phobi.21 Dalam menghadapi lawan politiknya PKI
berhasil menggunakan tangan Presiden Sukarno untuk membubar-
kan Masyumi dan PSI yang dituduh terlibat dalam pemberontakan
www.facebook.com/indonesiapustaka

19
Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, Ibid., hlm. 28.
20
Ibid., hlm. 29-30.
21
John D. Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, Sinar Harapan, Jakarta, 1985, hlm. 371.

71

01-TA-16x24-terakir.indd 71 1/30/2012 9:39:04 PM


Saleh As’ad Djamhari

PRRI/Permesta melalui Ketetapan Presiden pada tanggal 17 Agustus


1960 sebagai partai terlarang.
Sesudah Masyumi dan PSI dibubarkan, terjadi perkembangan yang
menguntungkan PKI. Dalam rangka Nasakomisasi Front Nasional
pada bulan Agustus 1960, Presiden Sukarno mengangkat D.N. Aidit
sebagai Wakil Ketua. Dalam perkembangannya, Front Nasional dikua-
sai oleh orang-orang PKI yang menjadi anggota organisasi itu. Dengan
dalih menjaga persatuan nasional perporosan Nasakom, PKI menarik
kaum tengah menjadi kekuatan progresif revolusioner. Selanjutnya
mereka digunakan untuk mendukung serta memenangkan aksi tun-
tutan dan program-program PKI. Sejak tahun 1960, program-program
PKI sudah menjadi bagian dari program pemerintah. PKI makin lama
makin kuat, termasuk pengaruhnya kepada Presiden Sukarno. Namun
PKI menyadari, selama belum ada perubahan dalam sistem politik
yang menurutnya “mencerminkan kegotongroyongan nasional” sesu­
ai dengan Konsepsi Presiden tahun 1957, selama itu pula PKI tidak
akan diikutsertakan dalam kekuasaan pemerintahan.22 Oleh karena
itu PKI berjuang keras dapat mengambil bagian dalam pemerin­tahan.
Sejak Konsepsi Presiden tahun 1957 sampai Kabinet Kerja II tahun
1962 PKI belum mendapat kursi dalam kabinet. Kegagalan itu ter-
utama berkat perjuangan pimpinan TNI-AD, sehingga PKI berhasil
dicegah masuk kabinet.
Keinginan Presiden Sukarno untuk mengikutsertakan PKI dalam
kekuasaan pemerintahan dan kenegaraan tampaknya cukup besar.
Sebagai langkah pertama yang ditempuh adalah mengangkat pimpin­
an PKI sebagai pejabat tinggi negara dengan kedudukan setingkat
menteri. Ketika melantik menteri-menteri Kabinet Kerja III pada bu-
lan Maret 1962, dua orang tokoh PKI, D.N. Aidit dan H.M. Lukman,
masing-masing dilantik menjadi Wakil Ketua MPRS dan Wakil Ketua
DPR-GR dengan kedudukan sebagai menteri.23 Angin segar bertiup ke
www.facebook.com/indonesiapustaka

PKI lagi, ketika Presiden Sukarno mengucapkan pidato kenegaraan

22
Depagitprop CC PKI, Resolusi-Resolusi Kongres Nasional Ke VII (Luar Biasa) Partai
Komunis Indonesia, Djakarta, 1962, hlm. 5.
23
Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, op.cit., hlm. 35.

72

01-TA-16x24-terakir.indd 72 1/30/2012 9:39:04 PM


DEMOKRASI TERPIMPIN 1959-1965

pada tanggal 17 Agustus 1962 yang berjudul “Tahun Kemerdekaan


(Takem)”. Dalam bagian pidatonya itu, Presiden Sukarno menekan­
kan perlunya pemberantasan komunisto phobi. Pidato Takem itu
disambut dengan hangat oleh PKI. Ketua CC PKI D.N. Aidit menga­
takan, pemberantasan komunisto phobi adalah tugas mutlak dalam
meneruskan perjuangan rakyat Indonesia untuk menyelesaikan revo­
lusi. D.N. Aidit menyebutkan komunisto phobi dengan sendirinya
berarti Nasakom phobi, rakyat phobi, massa phobi, buruh phobi, dan
tani phobi, karena itu harus diberantas.
Dengan berlindung di bawah pidato Takem dan pidato-pidato Bung
Karno lainnya, PKI kemudian menghimpun kekuatan ofensif untuk
menghadapi apa yang mereka namakan kaum reaksioner dan kon-
tra revolusi. Aksi-aksi PKI ini makin berubah menjadi teror. Untuk
menghadapi PKI, partai-partai non-komunis dan TNI harus berjuang
dengan hati-hati, karena, sekalipun sasaran yang dibidik adalah PKI,
tetapi dengan kelihaian PKI beragitasi, sasaran yang kena bisa beralih
kepada Presiden Sukarno. Padahal Presiden Sukarno sebagai kepala
negara tidak termasuk pihak yang dilibatkan.24
Dalam rangka Ofensif Manipolis di bidang politik D.N. Aidit berke­
liling memberikan ceramah-ceramah pada keempat unsur Angkatan
Bersenjata. Di hadapan para perwira AURI di Jakarta pada 5 April
1963, Aidit dengan jelas mengatakan, bahwa melaksanakan Manipol
sama artinya dengan melaksanakan program PKI sendiri, dan peng­
akuan konsepsi Nasakom berarti pengakuan hak hidup Marxisme
di Indonesia, sebagaimana diakuinya hak hidup nasional­isme dan
agama. Pada ceramahnya di Sekolah Staf dan Komando Angkatan
Darat (Seskoad) Bandung tanggal 29 Juni 1963, D.N. Aidit menegas-
kan bahwa Pertahanan Nasional harus tunduk pada strategi umum
Revolusi Indonesia. Sementara itu dalam ceramahnya di depan siswa-
siswa Perwira Seskoad di Jakarta 16 Juli 1963, D.N. Aidit menyerang
www.facebook.com/indonesiapustaka

secara langsung Doktrin Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta


(Hankamrata) dengan civic mission-nya. Doktrin Hankamrata yang

24
Ibid., hlm. 37.

73

01-TA-16x24-terakir.indd 73 1/30/2012 9:39:04 PM


Saleh As’ad Djamhari

lazim disebut juga “Doktrin Perang Wilayah”, oleh D.N. Aidit disebut
sebagai doktrin pemecah belah antarangkatan. Doktrin ini oleh PKI
sangat ditentang, karena program civic mission yang dilaksanakan
oleh prajurit-prajurit TNI di daerah pedesaan dan kota-kota kecil
yang langsung berhubungan dengan rakyat dan meningkatkan kese­
jahteraan rakyat kecil, dianggap saingan terberat PKI dalam menarik
simpatik rakyat.25
Rangkaian ceramah yang dilakukan oleh D.N. Aidit terhadap per-
wira ABRI itu, dimaksudkan sebagai Ofensif Manipolis guna mening­
katkan kekuatan legal dan illegal PKI dalam tubuh ABRI. Memasuki
tahun 1964, Ofensif Manipolis PKI makin meningkat dan semua aksi
serta tuntutan mereka dikaitkan dengan pembentukan Kabinet Gotong
Royong berporoskan Nasakom. Di tengah-tengah gencarnya aksi-aksi
dan tuntutan-tuntutan PKI itu, Ketua CC PKI D.N. Aidit memberikan
serangkaian ceramah di depan Pendidikan Kader Revolusi di Jakarta.
Dalam kuliahnya tentang Manipol/Usdek pada tanggal 16 Oktober
1964, D.N. Aidit menyebutkan bahwa “Pancasila hanya sebagai
alat pemersatu dan kalau sudah bersatu, Pancasila tidak berfungsi
lagi”. Ucapan D.N. Aidit itu menimbulkan heboh. Semakin jelaslah
belang PKI, bahwa mereka menerima Pancasila hanya sebagai alat
taktik perjuangan sementara, untuk dapat kekuasaan pemerintah
dan negara. Partai-partai politik, ABRI, dan golongan non-komunis,
mempersoalkan ucapan ketua CC PKI itu, namun Presiden Sukarno
yang sudah dirangkul PKI bersikap melindungi, sehingga D.N. Aidit
dengan PKI serta ormas-ormasnya tetap bebas melakukan ofensif. Di
samping itu, PKI melancarkan Ofensif Revolusioner, untuk mencip-
takan “situasi revolusioner” dengan menggalang kekuatan progresif
revolusioner untuk menghancurkan oldefo (old established force) dan
Nekolim (Neo Kolonialisme-Imperialisme). Aksi-aksi itu dilakukan di
seluruh bidang kehidupan, baik dengan cara aksi masa yang terbuka,
seper­ti demonstrasi, aksi tuntutan, mogok, maupun aksi yang tertu-
www.facebook.com/indonesiapustaka

tup/block within, infiltrasi menyangkut kontradisi langsung ke dalam

Ibid., hlm. 38.


25

74

01-TA-16x24-terakir.indd 74 1/30/2012 9:39:04 PM


DEMOKRASI TERPIMPIN 1959-1965

tubuh partai politik, organisasi masa dan ABRI, atau sabotase, sampai
tercapainya situasi revolusioner. Ciri-ciri utama situasi revolusioner
menurut PKI ialah:
a. Masa rakyat aktif melakukan aksi-aksi menuntut perubahan
yang dapat memperbaiki penghidupan mereka.
b. Kelompok anti-komunis dalam kekuasaan politik semakin terde-
sak, segi yang pro-komunis makin unggul dan politik pemerin-
tah makin banyak disesuaikan dengan tuntutan rakyat.
c. Aksi massa makin meluas sehingga peranan rakyat makin besar
dan makin menentukan dalam kehidupan masyarakat dan poli-
tik negara.26

Ofensif Revolusioner secara resmi dikomandokan oleh Ketua Politbiro


CC PKI, D.N. Aidit kepada seluruh jajaran PKI pada tanggal 1 Januari
1965. Tetapi walaupun demikian, tindakan-tindakan lain seperti
sabotase, aksi sepihak, dan aksi teror sudah dilaksanakan jauh sebe-
lum itu.
Pada tahun baru 1965, Ketua Politbiro CC PKI D.N. Aidit me-
nyatakan bahwa perkembangan politik di dalam negeri ditandai oleh
pidato kenegaraan Presiden Sukarno pada tanggal 17 Agustus 1964,
yang berjudul “Tahun Viveri Pericoloso (Tavip)”. Pidato ini dianggap
sebagai komando politik konfrontasi di segala bidang. Selanjutnya
D.N. Aidit menyatakan, seluruh rakyat dikomando untuk melakukan
aksi massa (dengan kegotongroyongan nasional yang berporoskan
Nasakom) menentang Nekolim, menentang kaum komprador, kapi-
talis birokrat, tuan tanah feodal, mendobrak kemacetan dalam pelak-
sanaan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), dan Undang-Undang
Bagi Hasil (UUBH), mengganyang kaum subversi, kontra revolusi dan
manipolis munafik. Semangat kegotongroyongan nasional berdasar-
kan seruan Bung Karno, dimanfaatkan PKI untuk membangkitkan
www.facebook.com/indonesiapustaka

aksi-aksi buruh tani di seluruh Indonesia, terutama di Jawa, Bali, dan

Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Bahan-Bahan Pokok G30S/PKI


26

Dan Penghancurannya, Jakarta, 1973, hlm. 73.

75

01-TA-16x24-terakir.indd 75 1/30/2012 9:39:04 PM


Saleh As’ad Djamhari

beberapa Provinsi di Sumatra. Aksi-aksi buruh dan demokrasi yang


dilakukan berlindung pada pidato kenegaraan itu. Demikianlah ma-
nipulasi PKI atas pidato Tavip tersebut.
a. Gerakan riset di kecamatan-kecamatan untuk memastikan
kekuatan apa yang oleh PKI disebut petani miskin.
b. Aksi yang menuntut penyitaan milik Inggris dan Amerika.
c. Aksi menuntut ‘re-tooling’, tuntutan penggantian pejabat yang
anti PKI, dan aksi tunjuk hidung.
d. Pengindonesiaan Marxisme.
e. Aksi-aksi teror di berbagai daerah.

Peningkatan aksi-aksi PKI itu dilaksanakan sebagai uji coba kekuat­


an untuk dapat ditingkatkan menjadi lebih kuat lagi. Posisi PKI se-
makin kuat dengan dibentuknya Kabinet Dwikora pada tanggal 27
Agustus 1964, di mana duduk beberapa orang tokoh PKI sebagai
Menteri Koordinator (Menko) dan Menteri Pembentukan Komandan
Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi (Kotrar) yang sejalan dengan
strategi PKI. Oleh karena itu pembentukan badan tersebut mereka
sambut dengan gembira. Tetapi ABRI terus mengawasi dan meng­
ikuti gerak-gerik PKI. Bagi PKI tidak ada jalan lain untuk meng-
hindari dari pengawasan tersebut, kecuali melancarkan fitnah dan
kampanye menjelek-jelekkan Jenderal A. H. Nasution sebagai seorang
tokoh ABRI yang dikatakannya ingin menyabot Nasakom.
Sasaran lain Ofensif Revolusioner PKI ialah Partai Murba yang
tidak sejalan dengan garis politik PKI. Berawal pada tahun 1963
tersiar adanya dokumen CC PKI yang berisi program rahasia yang
berjudul “Resume Program dan Kegiatan PKI Dewasa ini”. Program
itu berupa program jangka pendek yang berisi penilaian situasi dan
rencana aksi untuk mewujudkan tujuan akhir PKI. Dalam dokumen
www.facebook.com/indonesiapustaka

itu PKI menyatakan bahwa “Revolusi Agustus 1945” telah gagal dan
belum selesai. Dikatakan gagal sebab Revolusi itu tidak dipimpin
oleh orang-orang komunis. Revolusi itu hanya dianggap selesai apa-

76

01-TA-16x24-terakir.indd 76 1/30/2012 9:39:04 PM


DEMOKRASI TERPIMPIN 1959-1965

bila di Indonesia sudah terwujud Demokrasi Rakyat. Oleh karena itu


revolusi perlu disiarkan degan cara merebut pimpinan dari tangan
kaum borjuis. Dalam dokumen tersebut dinyatakan pula bahwa PKI
menilai dirinya sudah kuat dan merasa semua golongan sudah ada di
pihaknya.
Dokumen rahasia itu ternyata telah ditemukan anggota partai
Murba. Selanjutnya dokumen tersebut diserahkan kepada Wakil
Perdana Menteri III, Dr. Chaerul Saleh yang merupakan tokoh Partai
Murba. Oleh Dr. Chaerul Saleh dokumen itu diserahkan kepada Ketua
DPP PNI, Mr. Ali Sastroamidjojo. Selanjutnya, dokumen dipaparkan
dalam sidang kabinet pada awal bulan Desember 1964. PKI mem-
bantah dengan berbagai dalih dikatakan bahwa dokumen tersebut
palsu, buatan kaum “Trotsky”27 yang dibantu kaum Nekolim untuk
menghancurkan PKI. Tersiarnya dokumen rahasia itu, menyebabkan
makin meningkatnya ketegangan politik karena partai-partai lain ma-
kin mencurigai tingkah laku PKI. Di lain pihak PKI tetap berusaha
meyakinkan Presiden Sukarno bahwa dokumen itu palsu.
Untuk meredakan ketegangan, Presiden Sukarno memanggil para
pemimpin partai politik ke Istana Bogor dan memerintahkan mereka
menyusun sebuah rumusan untuk menyelesaikan masalah “pem-
berangkatan antar partai”. Pada tanggal 12 Desember 1964, sepuluh
partai politik menandatangani deklarasi yang disebut “Deklarasi
Bogor”. Deklarasi itu dianggap sebagai cetusan kebulatan tekad par-
tai-partai di hadapan Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno. Soal
dokumen rahasia tidak disebut-sebut dalam deklarasi itu, dengan
demikian masalahnya dianggap selesai. Lima hari setelah Deklarasi
Bogor ditandatangani, Presiden Sukarno membubarkan BPS (Badan
Pendukung Sukarno). PKI menganggap BPS sebagai musuhnya kare-
na BPS adalah sebuah badan yang ingin memurnikan ajaran-ajaran
Bung Karno yang didukung oleh kelompok anti-PKI dan sangat gigih
www.facebook.com/indonesiapustaka

menentang aksi-aksi PKI. Cara yang dipakai oleh PKI ialah membuat
fitnah bahwa BPS sengaja dibentuk untuk menyeleweng ajaran Bung

27
Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, op.cit., hlm. 66.

77

01-TA-16x24-terakir.indd 77 1/30/2012 9:39:04 PM


Saleh As’ad Djamhari

Karno. Dengan pertimbangan seperti itulah BPS dibubarkan. Sasaran


PKI berikutnya adalah Partai Murba. Hal ini erat kaitannya dengan
tindakan Dr. Chaerul Saleh yang telah menyebarkan dokumen PKI.
Cara-cara yang dipakai sama dengan yang digunakan untuk mem-
bubarkan BPS. Pada tanggal 5 Januari 1965, keluarlah Keputusan
Presiden mengenai pembubaran Partai Murba. Kejadian-kejadian seki-
tar tahun 1964 dan awal 1965 merupakan gambaran menghebatnya
upaya PKI dalam mewujudkan “Pematangan Situasi Revolusioner”
melalui serangan-serangan gencar yang ditujukan kepada lawan-la-
wan politiknya dengan berbagai jargon-jargon politik komunisto pho-
bi dan kapitalis birokrat (Kabir).

Pematangan Situasi
D.N. Aidit selaku Ketua CC PKI memakai dua aparat rahasia yang
disebut Biro Khusus. Orang-orang PKI sendiri sebagai partai yang le-
gal tidak mengetahui eksistensi Biro Khusus ini. Aparat Biro Khusus
merupakan penghubung antara PKI dan Aidit di suatu pihak dengan
ABRI di lain pihak seperti Brigadir Jenderal (Brigjen) Supardjo,
Letnan Kolonel (Letkol) Untung, Kolonel Latief, dan lain-lain, yang
sudah dibina oleh PKI. Biro Khusus diketuai oleh Sjam Kamaruzaman
yang bertanggung jawab langsung kepada D.N. Aidit. Anggota-ang-
gota Biro Khusus tidak boleh datang ke kantor-kantor PKI untuk me-
minta dana atau fasilitas-fasilitas. Mereka sudah mempunyai anggar­
an sendiri. Banyak hal yang telah diperbuat oleh Biro Khusus dalam
pematangan situasi menuju ke arah pencetusan kudeta PKI. Menurut
penilaian PKI, lawan-lawan dari partai-partai dan ormas-ormas lain
sudah dapat dikuasai, tinggal satu kekuatan yang merupakan peng-
hambat utama bagi program dan politiknya, yakni TNI-AD. Angkatan
Laut dan Kepolisian sudah dapat dinetralisir, sedangkan pimpinan
Angkatan Udara dianggap progresif dan akan menyediakan
www.facebook.com/indonesiapustaka

fa­si­litas.
Untuk menghadapi sikap TNI-AD yang dianggap sebagai
penghambat utama bagi pelaksanaan strategi mereka, disusunlah

78

01-TA-16x24-terakir.indd 78 1/30/2012 9:39:04 PM


DEMOKRASI TERPIMPIN 1959-1965

suatu rencana kerja yang sistematis untuk merongrong dan


mendiskreditkan Angkatan Darat, sehingga kedudukannya menjadi
terpencil. Salah satu cara PKI antara lain diciptakannya isu “Dewan
Jenderal”, yang akhir­nya bermuara pada pemberontakan Gerakan
Tiga Puluh September/PKI. Biro Khusus selanjutnya ditugaskan untuk
mengembangkan sinyalemen Ketua CC PKI D.N. Aidit tentang adanya
dewan tersebut yang kiranya bisa diterima oleh pihak lain sebagai
suatu kenyataan, khususnya Presiden Sukarno. Isu tersebut harus
mendapat tanggapan yang luas sebagai membahayakan negara dan
mulai berkembang sejak bulan Mei 1965. Istilah “Dewan Jenderal”
itu sendiri sebenarnya dalam Angkatan Darat adalah suatu dewan
kepangkatan yang membahas kenaikan pangkat dari Kolonel ke
Brigadir Jenderal, bahkan sebelumnya pada sekitar tahun 1963 telah
berdiri suatu badan yang dinamakan “Dewan Kolonel”, yaitu suatu
dewan yang membahas kenaikan pangkat dari Letnan Kolonel ke
Kolonel, tetapi karena dianggap tidak digunakan sebagai alat politik,
nama “Dewan Kolonel” itu tidak pernah diributkan. Bersamaan de­
ngan meluasnya isu “Dewan Jenderal”, tersiar pula adanya Dokumen
Gilchrist. Gilchrist adalah Duta Besar Inggris untuk Indonesia waktu
itu. Dokumen tersebut didapat dari rumah seorang warga negara
Amerika, Bill Palmer, yang diobrak-obrik ABRI pada tanggal 15 Mei
1965. Banyak surat, kertas-kertas blanko, dan formulir-formulir yang
diambil oleh para demons­trans waktu itu.
Setelah itu Dr. Subandrio selaku ketua BPI (Badan Pusat Intelijen)
menerima surat anonim melalui pos Jakarta. Bagian pertama surat
berupa pengantar yang isinya menyatakan pengiriman sebuah do-
kumen yang berguna bagi revolusi yang mereka sebut Dokumen
Gilchrist. Dalam dokumen tersebut tertulis ‘Our local army friend’,
yang diartikan bahwa terdapat perwira-perwira Angkatan Darat yang
bekerja sama dengan kaum imperialis. Sebenarnya surat yang diketik
itu masih merupakan konsep dan belum dapat dikatakan suatu doku-
www.facebook.com/indonesiapustaka

men, karena tanpa tanda tangan ataupun paraf dan hanya tercantum
nama Gilchrist sebagai si pembuat. Namun Dr. Subandrio mengang-

79

01-TA-16x24-terakir.indd 79 1/30/2012 9:39:04 PM


Saleh As’ad Djamhari

gapnya “otentik” berdasarkan pemeriksaan BPI, tanpa diteliti lebih


jauh dengan fasilitas yang tersedia di kepolisian. Dr. Subandrio ke-
mudian memerintahkan untuk mereproduksi konsep Gilchrist, dan
pada tanggal 26 Mei 1965 melaporkannya kepada Presiden Sukarno.
Selanjutnya Presiden Sukarno memanggil semua Panglima Angkatan
ke Istana Merdeka, Jakarta yang dihadiri Men/Pangad Letjen A. Yani,
Men/Pangal Laksamana Madya R.E. Martadinata, Men/Pangau yang
diwakili oleh Marsekal Muda Sri Mulyono Herlambang, Men/Pangak
Inspektur Jenderal Polisi Sutjipto Judodihardjo, dan Dr. Subandrio.
Pada kesempatan tersebut Dr. Subandrio telah membagikan foto
copy konsep kepada yang hadir. Waktu itu Presiden Sukarno mena­
nyakan anggota Angkatan Darat yang berhubungan dengan negara
Inggris dan Amerika serta isu “Dewan Jenderal” kepada Letjen A.
Yani, yang keduanya dibantah. Dengan adanya pertemuan tersebut
Angkatan Darat, menganggap bahwa isu Dokumen Gilchrist dan isu
“Dewan Jenderal” sudah selesai.28 Kenyataannya tidaklah demikian,
karena Dr. Subandrio telah memperbanyak Dokumen Gilchrist
seba­nyak 100 lembar dan membawanya ke luar negeri sewaktu ia
mengikuti Presiden menghadiri Konferensi Asia-Afrika II yang sedia­
nya akan diadakan di Aljazair. Kemudian Dr. Subandrio membagi-
bagikan konsep dokumen Gilchrist. Dengan demikian isu ‘Dewan
Jenderal” bersama Dokumen Gilchrist telah meluas ke luar negeri.29
Isu tersebut merupakan dalih PKI untuk menutupi maksud PKI
yang sebenarnya untuk merebut kekuasaan. Dengan cara dan usaha
berbentuk fitnah, PKI mencapai sasaran yang dimaksud.

Perencanaan Kudeta
Pada bulan Mei 1965 dalam sidang Pleno IV CC PKI, telah dikoman-
dokan “Perhebat gerakan Ofensif Revolusioner sampai ke puncaknya”.
Slogan ini merupakan tanda dikomandokannya pematangan situasi
www.facebook.com/indonesiapustaka

menuju ke arah pencetusan pemberontakan PKI. Ketika D.N. Aidit

Ibid., hlm. 91.


28

Ibid., hlm. 92.


29

80

01-TA-16x24-terakir.indd 80 1/30/2012 9:39:04 PM


DEMOKRASI TERPIMPIN 1959-1965

kembali dari Republik Rakyat Cina (RRC), ia memberi instruksi ke-


pada Sjam Kamaruzaman, selaku Ketua Biro Khusus PKI, untuk
mempersiapkan kekuatan militer guna memberikan pukulan terha-
dap “Dewan Jenderal” dan membuat suatu konsep gerakan terbatas.
Sjam telah dapat menyusun konsep pada bulan Agustus 1965, yang
berisi rencana pola-pola pemikiran organisasi dan personil yang
akan duduk dalam gerakan. Atas saran Aidit, Sjam harus segera
mengadakan pertemuan dengan tokoh pimpinan gerakan yang dise­
tujui pencalonannya dan langsung memimpin rapat-rapat persiapan.
Selain itu Sjam diperintahkan untuk menyusun konsep “Dewan
Revolusi” yang berfungsi sebagai lembaga tertinggi negara setelah
gerakan berhasil merebut kekuasaan. Rencananya “Dewan Revolusi”
akan mencakup semua golongan yang luas di masyarakat agar
mendapatkan dukungan terhadap gerakan ini.
Selanjutnya atas perintah D.N. Aidit, Ketua Biro Khusus Sjam
mengadakan rapat dengan para anggotanya di rumahnya pada tang-
gal 14 Agustus 1965. Pada saat itu Pono,Waluyo, dan Sjam membahas
penyusunan gerakan dan akhirnya menyimpulkan hal-hal sebagai
berikut:
a. Gerakan harus terbatas dan merupakan gerakan militer.
b. Sasarannya adalah para jenderal yang tergabung dalam “Dewan
Jenderal”.
c. Perencanaan penguasaan instalasi-instalasi vital, seperti Tel­
kom, RRI, PTT, dan Kereta Api.
d. Diputuskan tiga orang calon pemimpin gerakan yakni, Letkol
Untung dari Resimen Cakrabirawa, Kolonel Latief, Komandan
Brigif I Kodam V/Jaya, dan Mayor Udara Suyono dari P3AU.
e. Membagi gerakan dalam tiga bagian yaitu militer, politik, dan
formasi observasi.
www.facebook.com/indonesiapustaka

81

01-TA-16x24-terakir.indd 81 1/30/2012 9:39:04 PM


Saleh As’ad Djamhari

f. Perlu memanggil semua kepala Biro Khusus Daerah untuk


memeriksa kesiapan pasukan/barisan yang akan dipergunakan
dalam gerakan di daerah masing-masing.30

Hasil rapat tersebut selanjutnya disampaikan kepada D.N. Aidit di


rumahnya pada tanggal 15 dan 16 Agustus 1965, pada kesempatan
itu, Aidit memerintahkan penambahan jumlah calon pimpinan gerak­
an. Pada rapat di rumah Sjam tanggal 21 Agustus 1965 ditentukan-
lah dua orang tenaga tambahan yaitu Mayor Udara Agus Sigit, dari
Brigif I Kodam V/Jaya dan Kapten Wahyudi dari Artileri. Rapat-rapat
gelap terus berlangsung, antara lain di rumah D.N. Aidit pada tang-
gal 27 Agustus 1963 di mana ia menginstruksikan Sjam untuk me-
nyusun konsep pembentukan suatu Dewan dan penentuan sasaran
gerakan. Selanjutnya Aidit selaku Pimpinan Pelaksana Gerakan
memberi instruksi kepada Kepala Biro Khusus untuk mengadakan
rapat-rapat yang membahas semua rencana gerakan. Sjam selaku
Wakil Pimpinan Pelaksana Gerakan melaksanakan instruksi terse-
but melalui rapat-rapat yang dimulai pada tanggal 6 September 1965
sampai tanggal 29 September 1965 di rumah para tokoh PKI secara
berpindah-pindah. Dalam rapat-rapat itu dibahas instruksi Aidit un-
tuk mengadakan gerakan mendahului kup “Dewan Jenderal”.
Diputuskanlah saat itu kekuatan yang bisa digunakan dalam gerakan
antara lain: 1 batalion Brigif I Kodam V/Jaya, 1 batalion P3 AURI, 1
kompi Artileri, 1 kompi Cakrabirawa. Selain itu dikerahkan 1 Batalion
(Yon 454/Diponegoro) dari Jawa Tengah dan 1 batalion (Yon 530/
Brawijaya) dari Jawa Timur. Organisasi gerakan terdiri dari: Bidang
politik, dipimpin oleh Sjam dan Pono, Bidang militer, dipimpin oleh
Letkol Untung dan Kolonel Latief, Bidang observasi, dipimpin oleh
Waluyo.
Pada rapat kesepuluh tanggal 29 September 1965 yang merupakan
www.facebook.com/indonesiapustaka

rapat terakhir bagi rencana pelaksanaan gerakan, dihasilkan beberapa


keputusan yang meliputi:

Ibid., hlm. 168.


30

82

01-TA-16x24-terakir.indd 82 1/30/2012 9:39:04 PM


DEMOKRASI TERPIMPIN 1959-1965

a. Pemeriksaan organisasi gerakan militer dan tenaga cadangan/


bantuan serta pasukan Yon 530 dan Yon 454.
b. Penentuan sasaran gerakan, serta pengamatan para para ang-
gota “Dewan Jenderal”, setelah diambil tindakan.
c. Penentuan Hari H dan Jam D bagi gerakan, yakni tanggal 30
September 1965 sesudah tengah malam.
d. Penentuan nama gerakan atas keputusan Ketua CC PKI D.N.
Aidit karena mulai pada tanggal 30 September 1965, maka di-
beri nama Gerakan 30 September.
e. Semua komando gerakan sudah harus berada di Central Ko­
mando I di Gedung Penas, Jakarta pukul 23.00, tanggal 30
September 1965.
f. Pada kesempatan itu oleh Sjam dikemukakan, bahwa gerakan
ini akan melahirkan “Dewan Revolusi” dengan mendemisioner-
kan Kabinet Dwikora, sedangkan Letkol Untung ditunjuk seba­
gai ketuanya.

Setelah penentuan hari H dan jam D pada rapat ke-10 tanggal 29


September 1965 itu, semua sektor dan pos-pos mendapat pakaian dan
senjata. Mereka yang terlibat diperintahkan untuk siap-siap di pos-
nya masing-masing pada tanggal 30 September 1965.

Kudeta Dewan Revolusi


Setelah rapat terakhir tanggal 29 September 1965, Sjam, Kolonel
Latief, Letkol Untung, dan Mayor Udara Suyono menemui D.N. Aidit.
Dalam pertemuan itu dilaporkan mengenai organisasi gerakan, nama
gerakan. Hari H dan jam D, susunan “Dewan Revolusi” di pusat,
proses penyusunan “Dewan Revolusi” dan “Dewan Militer”. Setelah
mempelajari laporan konsep persiapan, Aidit selaku pimpinan ter-
www.facebook.com/indonesiapustaka

tinggi gerakan, mengubah nama gerakan. Namanya yang semula ope­


rasi Takari diganti dengan nama “Gerakan 30 September”. Sesuai
dengan rencana, Gedung PN. Aerial Survei (Penas) di Jalan Jakarta

83

01-TA-16x24-terakir.indd 83 1/30/2012 9:39:04 PM


Saleh As’ad Djamhari

By Pass (sekarang Jalan D.I. Panjaitan), Jakarta, dijadikan Central


Komando (Cenko) I. Sjam selaku Ketua Pelaksana Gerakan menem-
pati posko ini dan menjalankan tugas sesuai dengan petunjuk pimpin­
an tertinggi. Di samping Sjam, saat itu hadir Pono selaku Wakil
Pimpinan Pelaksana Gerakan. Brigjen TNI Supardjo sebagai peng-
hubung Cenko dengan Presiden Sukarno, Kolonel Latief dan Letkol
Untung sebagai Komando Gerakan Militer. Sedangkan Mayor Udara
Suyono dan Letkol Udara Heru Atmodjo bertugas sebagai penghu­
bung antar Cenko-Cenko.31
Pada pukul 01.30 tanggal 1 Oktober 1965, para pemimpin pelak-
sana gerakan mengikuti Letkol Untung untuk melihat persiapan tera-
khir di Lubang Buaya. Di tempat ini pasukan-pasukan pemberontak
sudah berkumpul untuk melakukan aksinya. Pasukan-pasukan itu
antara lain terdiri dari kompi Brigif I Kodam V/Jaya, Pemuda Rakyat,
Gerwani, kompi Yon 454/Diponegoro dan Yon 530/Brawijaya dan
Resimen Cakrabirawa, yang tergabung dalam Divisi Ampera, di Lubang
Buaya, Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur, komandan Pasukan
Pasopati Lettu Dul Arief yang bertugas menculik para Jenderal, pada
pukul 02.30 tanggal 1 Oktober 1965 mengumpulkan para komandan
pelaton dan kepada mereka, ia menjelaskan bahwa yang akan mereka
culik adalah tokoh-tokoh “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan
kup terhadap Presiden Sukarno. Oleh karena itu mereka diperintah-
kan untuk menangkap hidup atau mati para Jenderal yang terdaftar
yakni sebagai berikut:
a. Menko Hankam/Kasab Jenderal TNI A.H. Nasution
b. Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen TNI A.Yani
c. Deputi II Men/Pangad Mayjen TNI Suprapto
d. Deputi III Men/Pangad Mayjen TNI Haryono M.T.
e. Asisten I Men/Pangad Mayjen TNI S. Parman
www.facebook.com/indonesiapustaka

31 Kopkamtib, op.cit., hlm. 122.

84

01-TA-16x24-terakir.indd 84 1/30/2012 9:39:05 PM


DEMOKRASI TERPIMPIN 1959-1965

f. Asisten IV Men/Pangad Brigjen TNI D.I Panjaitan. Oditur


Jenderal Militer/Inspektur Kehakiman Angkatan Darat Brigjen
TNI Sutoyo.

Pada Subuh dinihari, tanggal 1 Oktober 1965, G30S/PKI berhasil


menculik dan membunuh para jenderal pimpinan TNI Angkatan
Darat di Lubang Buaya. Jenazah mereka dibenamkan di dalam sumur
tua. Dalam peristiwa ini Jenderal A.H. Nasution berhasil lolos dari
cengkeraman maut, tetapi ajudannya, Lettu Czi Pierre Tendean men-
jadi korban, karena dikira Jenderal A.H. Nasution. Selain ajudannya,
puteri Jenderal A.H. Nasution gugur sebagai perisai ayahnya, ketika
para penculik beraksi di rumahnya.

Daftar Pustaka
Aidit, D.N. 1964. Membela Pancasila; Djakarta: Jajasan Pembaruan.
Depagitprop CC PKI. 1962. Resolusi-Resolusi Kongres Nasional Ke VII (Luar
Biasa) Partai Komunis Indonesia, Djakarta: tanpa penerbit
Diah, B. M. 1987. Meluruskan Sejarah. Jakarta: Pustaka Merdeka
Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. 1973. Bahan-Bahan
Pokok G30S/PKI Dan Penghancurannya, Jakarta: tanpa penerbit
Legge, John D. 1972. Sukarno Sebuah Biografi Politik. Jakarta: Penerbit Sinar
Harapan
Notosusanto, Nugroho (ed.). 1985. Tercapainya Konsensus Nasional 1966-
1969. Jakarta: Balai Pustaka.
Poesponegoro, Marwati Djoened, dan Nugroho Notosusanto (ed.). 1984.
Sejarah Nasional Indonesia, Jilid VI, Jakarta: PN. Balai Pustaka.
Projodikoro, Wiryono. Azas-Azas Hukum Tatanegara di Indonesia. Cet. 3.
Jakarta.
Pusat Sejarah TNI. 1994. Bahaya Laten Komunis Di Indonesia, Pemberontakan
G30S/PKI dan Penumpasannya. Jilid IVA. Jakarta: Pusat Sejarah TNI.
www.facebook.com/indonesiapustaka

85

01-TA-16x24-terakir.indd 85 1/30/2012 9:39:05 PM


BAB II
MALAM BENCANA NASIONAL

AB. Lapian

Peristiwa naas yang mengubah jalan sejarah Republik Indonesia ter-


jadi pada waktu subuh, 1 Oktober 1965, namun masyarakat umum
memperingati kejadian ini pada tanggal 30 September. Para pelaku
juga menyebut kegiatan mereka sebagai “Gerakan 30 September”, dan
pemerintah Orde Baru pun menggunakan istilah “Gestapu” (Gerakan
Tiga puluh September). Pada tiap tanggal 30 September bendera diki-
barkan setengah tiang dan hari berikutnya dinaikkan ke ujung tiang
sebagai tanda kegagalan G30S dan kemenangan Orde Baru, yang oleh
Presiden Sukarno disebut “Gestok” (Gerakan Satu Oktober).
ab ini memaparkan peristiwa “malam yang panjang”, yaitu dari
B
malam hari tanggal 30 September sampai dengan 1 Oktober 1965
malam, saat Presiden Sukarno meninggalkan lapangan udara Halim
Perdanakusuma menuju Istana Bogor.

Munastek
Acara penting pada tanggal 30 September 1965 ialah Musyawarah
Nasional Teknik (Munastek) yang diselenggarakan oleh Angkatan
Darat dan Perhimpunan Insinyur Indonesia (PII). Ketua Munastek
www.facebook.com/indonesiapustaka

ialah Brigadir Jenderal TNI AD Hartono Wirjodiprodjo, yang waktu


itu menjabat sebagai Direktur Peralatan Angkatan Darat, sedangkan

86

01-TA-16x24-terakir.indd 86 1/30/2012 9:39:05 PM


MALAM BENCANA NASIONAL

wakil ketuanya Ir. P.C. Harjo Sudirdjo, waktu itu menjabat sebagai
Menteri Pengairan Dasar dan juga menjadi Ketua I dari PII.
residen, yang juga seorang insinyur, diundang untuk membuka
P
musyawarah ini. Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II, Dokter J.
Leimena turut hadir. Waperdam I Dokter Subandrio sedang menga-
dakan kunjungan ke Medan, sedangkan Waperdam III Chairul Saleh
mengunjungi Beijing sebagai pemimpin delegasi RI dalam rangka
perayaan hari nasional Republik Rakyat Cina (1 Oktober). Ikut ser-
ta dalam rombongan presiden ialah Kolonel CPM Saelan (Wakil
Komandan Resimen Tjakrabirawa) dan Kolonel KKO AL Bambang
Widjanarko, yang bertugas sebagai ajudan Presiden.
Sebagaimana lazimnya bila Presiden akan hadir, para undangan
diminta datang satu jam sebelum acara dimulai, yang waktu itu
direncanakan pada pukul 19.00. Menurut seorang peserta, “acara
mundur hingga berjam-jam. Bung Karno datang memberi sambutan
pendek saja. Tidak seperti biasanya. Setelah itu beliau pergi mening-
galkan acara yang baru berlangsung. Mungkin ada yang mengganggu
pikirannya.” Demikian catatannya yang ditulis lebih dari tiga puluh
tahun kemudian. Tidak banyak yang dilaporkan atau diingat tentang
jalannya musyawarah.
Sementara acara berlangsung, menurut Kol. Bambang Widjanarko,
pada pukul 22.00 Bung Karno menerima surat dari Letkol Untung.
Yang menyerahkan surat tersebut ialah Bambang Wijanarko sendiri,
yang diterimanya dari salah seorang DKP (kawal pribadi) bernama
Sogol atau Nitri, yang mengatakan ada surat penting untuk Bung
Karno. Sesudah Presiden menerimanya, surat tersebut dimasukkan
ke kantong celana. Kemudian Bung Karno ke kamar kecil diikuti Kol.
Saelan, AKBP Mangil, dan Bambang Wijanarko. Surat tersebut oleh
Bung Karno dibaca di beranda luar, setelah itu dimasukkan ke dalam
www.facebook.com/indonesiapustaka


H. Mangil Martowidjojo, Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967. Ed. Julius Pour.
Jakarta, Grasindo, 1999, hlm. 376-377.

AR. Soehoed; Menyertai Setengah Abad Perjalanan Republik, Jakarta: Sinar Harapan,
2001, hlm. 195-196.

87

01-TA-16x24-terakir.indd 87 1/30/2012 9:39:05 PM


AB. Lapian

saku kembali dan tidak satu pun di antara pengawalnya tahu tentang
isi surat tersebut.
AIP I Sogol Djauhari Abdul Muchid adalah anggota DKP yang
bertugas di Bagian Higiene dan Dinas Khusus Kepresidenan. Hanya
dialah yang boleh menyediakan dan menyuguhkan minum untuk
Presiden jika akan berpidato. Namun, kata Sogol (menurut catatan
Kolonel Maulwi Saelan), adegan di atas yang dilaporkan Bambang
Wijanarko “tidak pernah ada. Isinya hanya isapan jempol dan omong-
kosong yang sengaja direkayasa.”

Acara puncak malam itu adalah pidato Presiden Sukarno. Pada ke­
sempatan ini beliau mengajak para teknisi untuk bersama buruh dan
tani membina masyarakat sosialis. Kita dapat menundukkan Gunung
Kelud yang setiap tahun meletus dan menghancurkan manusia, bina-
tang, dan tanah sekitarnya. Kita telah melaksanakan proyek Jatiluhur
di Jawa Barat itu untuk menundukkan alam, untuk kesejahteraan ma-
syarakat. Tanpa ilmu pengetahuan, penundukan alam itu tidak mung-
kin dilaksanakan. Pembangunan sosialisme, kata Presiden, tak akan
dapat dibina tanpa pengetahuan teknik. Kita harus berjuang menun-
dukkan alam agar alam tidak menjadi penghalang kita, tapi menjadi
sahabat kita dan memberikan manfaat kepada kita semua. Menjadi
kewajiban kita menundukkan alam, agar alam menjadi kawan kita.

residen mengakhiri pidatonya dengan cerita dari Mahabharata.


P
“Sekarang sudah hampir jam sebelas. Saya mau bercerita, sebuah
kisah dari Mahabharata.” Tentang Kresna yang memerintahkan ke-


Rahadi S Karni (editor), The Devious Dalang, Sukarno and the so-called Untung-putsch.
Eye-witness report by Bambang S Widjanarko, Den Haag, Interdoc Publishing House, 1974,
hlm. 22-33. Pada tanggal 1 Oktober 1965, sekitar pukul 12.00-13.00, ketika Bung Karno
sudah berada di Halim, Letkol. Suparto diminta mengambil baju Bung Karno di rumah
Ny. Dewi, setelah Letkol Suparto datang membawa minuman dari istana untuk Bung
Karno dan baju uniform Pangti ABRI, baju tersebut digantung di kamar. Bambang
Widjanarko diperintahkan Sukarno untuk mengambil surat dari dalam saku baju, kemu-
dian diserahkan kepada Sukarno, tanpa dibacanya. Bung Karno menerima surat tersebut
dan merobek-robeknya. Surat tersebut adalah surat yang diterima dan dibaca Bung Karno
www.facebook.com/indonesiapustaka

semalam di Istora Senayan. Ibid., hlm. 31-32.



H. Maulwi Saelan, Dari Revolusi ’45 sampai Kudeta ’66. Kesaksian Wakil Komandan
Tjakrabirawa. Jakarta, Yayasan Hak Bangsa, 2001, hlm. 189-190, 235-236, 316.

‘Bersama Buruh & Tani para Teknisi m’bina masjarakat Sosialis,’ Harian Berita Yudha; 1
Oktober 1965.

‘Kerjakan Tugasmu Tanpa Hitung Untung Rugi,’ Harian Kompas; 1 Oktober 1965.

88

01-TA-16x24-terakir.indd 88 1/30/2012 9:39:05 PM


MALAM BENCANA NASIONAL

pada Arjuna agar melaksanakan perang dengan Kurawa. Adalah tu-


gas seorang prajurit untuk berperang. Berperang membela negerinya
dan mempertahankannya. Memang, yang dihadapi adalah saudara
sendi­ri. Tapi mereka mau menghancurkan kerajaan Pandawa. “Lak­
sanakan tugasmu tanpa menghitung untung rugi!”
Acara di Istora Senayan selesai sekitar pukul 23.00. Sesudah itu
Bung Karno pergi ke Istana Negara untuk mengganti pakaian.

Shri Biju Patnaik


Di istana sedang menunggu Shri Biju Patnaik, utusan Perdana
Menteri Shastri dari India. Patnaik adalah kawan lama dari masa
perang kemerdekaan yang berhasil menembus blokade Belanda de­
ngan pesawat terbangnya, membawa Wakil Presiden Hatta ke Sumatra
dan Perdana Menteri Sjahrir beserta tokoh-tokoh Indonesia lainnya
ke luar negeri, mengangkut hasil Indonesia ke Singapura untuk di-
pertukarkan dengan valuta asing, dan sebagainya. Pernah Patnaik
datang ke Yogya ketika Ibu Fatmawati melahirkan seorang putri.
“Waktu itu ada angin ribut dan Sukarno menanyakan apakah bahasa
Sanskerta untuk angin ribut. Saya jawab, Mega. Maka anaknya dise-
but Megawati.”
Tetapi di tahun 1965 hubungan antara Indonesia dengan India se-
dang memburuk. Kerja sama RI-RRC dirasakan sebagai ancaman bagi
India. Malahan ada berita rahasia bahwa Indonesia mau menyerang
India dari laut. Dalam hubungan ini Patnaik diminta Shastri untuk
bertemu dengan Bung Karno. “Hanya kaulah yang dapat meminta ke-
pada Sukarno untuk menghentikan aksi ini. Kau harus berusaha,”
kata PM India.
Akan tetapi waktu itu sangat sulit untuk bisa bertemu dengan
Presiden Sukarno. Kata Patnaik ketika diwawancarai (31 Januari 1993):
“Saya menghubungi sekretaris pribadinya. Dan dengan banyak sia-
www.facebook.com/indonesiapustaka

sat, lolos dari mata-mata Cina, ia berhasil membuat perjanjian. Saya


Arnold C. Brackman, The Communist Collapse in Indonesia. Singapore, 1970, hlm. 71.

89

01-TA-16x24-terakir.indd 89 1/30/2012 9:39:05 PM


AB. Lapian

bisa bertemu dengan Sukarno jam satu tengah malam, masuk istana
melalui pintu belakang. Saya melihatnya, berjalan ke sana ke mari,
dengan pakaian kebesaran Angkatan Laut. Ketika beliau melihat saya,
ia berkata, ‘Saya tahu mengapa kau datang ....’ Beliau berkata bahwa
operasi itu akan dibatalkan. Bahwa ia lakukan hal ini “sebagai tebus­
an terhadap utang kami” untuk bantuan India di Dewan Keamanan
PBB. ‘Tapi kau harus meninggalkan Jakarta sebelum subuh. Sesudah
itu saya akan menutup bandar udaranya.’ Jadi saya bergegas kembali
ke hotel dan menyuruh istri saya untuk berkemas. Sisanya Anda su-
dah tahu, sudah menjadi sejarah.”
Sesudah ganti pakaian, Bung Karno pergi ke Hotel Indonesia
menjemput Ratnasari Dewi yang sedang berada di Nirwana Supper
Nightclub. Sebelumnya Ny. Dewi telah menghadiri pesta perkawinan
di kalangan korps diplomatik, yaitu Sekretaris I Kedutaan Besar Italia,
Sr. Pensa yang menikah dengan sekretaris dari Kedutaan Besar Belanda,
bertempat di tempat kediaman Duta Besar Italia di Jalan Diponegoro.
Dari sini sekelompok tamu melanjutkan pesta ke Hotel Indonesia.
“Bung Karno dengan rombongan menunggu di tempat parkir pada
halaman hotel, sedangkan Mas Suparto, sopir pribadi Bapak Presiden
menjemput Ibu Dewi yang waktu itu dikawal oleh Ajun Inspektur
Polisi II Sudiyo, seorang anggota DKP. Setelah Ibu Dewi masuk ke
dalam mobil Bung Karno, rombongan Bapak Presiden meneruskan
perjalanan ke rumah Ibu Dewi di Slipi, Jalan Gatot Subroto, Jakarta
Selatan, sekarang ini menjadi Museum [Satria] Mandala.”

Wisma Angkasa
Malam hari pukul 20.00, tanggal 30 September, bertempat di kediam­
an resmi Menteri/Pangau terjadi pertemuan antara Laksamana Omar
Dhani bersama anggota pimpinan Angkatan Udara. Hadir pada per-
temuan ini Komodor Dewanto (Deputi Operasi), Komodor Andoko
www.facebook.com/indonesiapustaka


Wawancara A. B. Lapian dengan Shri Biju Patnaik, ‘Menembus Blokade Udara’ Majalah
Sejarah. Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi, No. 4, November 1993, hlm. 63-71.

H. Mangil Martowidjojo, Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967. Ed. Julius Pour,
Jakarta, Grasindo, 1999, hlm. 377.

90

01-TA-16x24-terakir.indd 90 1/30/2012 9:39:05 PM


MALAM BENCANA NASIONAL

(Deputi Logistik), Komodor Leo Wattimena (Panglima Komando


Operasi), dan Letkol Udara Heru Atmodjo (Asisten Direktur Intelijen
Udara).10 Mereka diundang untuk mendengar informasi dari Letkol
Heru yang diperolehnya dari Mayor Udara Suyono pada siang hari
pukul 14.00, dan yang telah dilaporkannya kepada Men/Pangau ke-
mudian, pada pukul 16.00.
enurut Letkol Heru, pada kesempatan itu Mayor Suyono
M
(Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan AURI) menyam-
paikan keterangan bahwa “Dewan Jenderal” hendak mengadakan ku-
deta pada Hari Angkatan Bersenjata, tanggal 5 Oktober. Oleh sebab
itu, beberapa perwira “progresif revolusioner”, terutama dari kalang­
an Angkatan Darat, akan mencegahnya dan menangkap para jen-
deral yang duduk dalam Dewan tersebut untuk dihadapkan kepada
Presiden Sukarno. Disebut pula nama-nama jenderal bersangkutan,
yaitu Jenderal A.H. Nasution, Letnan Jenderal A. Yani, Mayor Jenderal
Suprapto (Deputi II Men/Pangad), Mayor Jenderal S. Parman (Asisten I
Men/Pangad), Mayor Jenderal M.T. Haryono (Deputi III Men/Pangad),
Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomihardjo (Oditor Jenderal Militer/
Inspektur Kehakiman), dan Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan (Asisten
IV Men/Pangad).
eterangan dari Mayor Suyono juga menyebut pasukan yang di-
K
persiapkan, yakni Brigade Infanteri I di bawah pimpinan Kolonel
Latief, Batalion I Cakrabirawa di bawah Letkol Untung, Yon Raiders
454 Diponegoro, dan Yon Raiders 530 Brawijaya. Dua pasukan ter-
akhir yang berasal dari luar ibukota telah berada di Jakarta (dalam
rangka peringatan Hari Angkatan Bersenjata), dan Mayor Suyono
akan mengikutsertakan sekitar seribu orang sukarelawan yang per-
nah dilatih olehnya. Dengan demikian kekuatan yang dipersiapkan
kurang lebih menjadi satu divisi.
www.facebook.com/indonesiapustaka

10
Tidak hadir adalah Laksamana Muda Udara Suharnoko Harbani, Deputi Administrasi,
yang sedang mengikuti kunjungan kerja Lemhannas ke Beijing. Aristides Katoppo dkk.,
Menyingkap kabut Halim 1965. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2000, hlm. 70-71. Garda
Sembiring & Harsono Sutedjo (ed.), Gerakan 30 September 1965. Kesaksian Letkol (Pnb)
Heru Atmodjo. Jakarta, PEC, 2004, hlm. 10-11.

91

01-TA-16x24-terakir.indd 91 1/30/2012 9:39:05 PM


AB. Lapian

ijelaskan juga bahwa meskipun gerakan ini merupakan ma-


D
salah intern Angkatan Darat, namun hal ini tidak dapat dipisahkan
dengan Revolusi secara keseluruhan, oleh sebab itu Mayor Suyono
sendiri bergabung dengan mereka, “dengan restu atau tidak dari Men/
Pangau, atas tanggung jawab diri pribadinya sebagai seorang insan
revolusioner”.11 Untuk itu ia gunakan Gedung Penas sebagai Central
Komando (Cenko), kendaraan-kendaraan Depo Angkutan, dan senjata
yang berada di gudang-gudang.
itambahkan pula bahwa pasukan dibagi dalam tiga satuan tu-
D
gas: (1) Satgas Pasopati yang dipimpin oleh Letnan Satu Dulatief, (2)
Bimasakti di bawah Kapten Suradi yang akan menguasai gedung-ge-
dung RRI dan Telekomunikasi, dan (3) Pringgodani sebagai cadangan,
dipimpin oleh Mayor Suyono sendiri bersama Mayor Udara Gatot
Sukrisno. Mereka akan bergerak malam itu juga dan Brigadir Jenderal
Supardjo (Panglima Komando Tempur II di Kalimantan, bawahan
langsung Men/Pangau sebagai Panglima Komando Mandala Siaga
atau Kolaga) telah berada di Jakarta.
emikian informasi Letkol Heru Atmodjo yang diperolehnya
D
dari Mayor Suyono. Ketika sore sebelumnya Letkol Heru melapor-
kannya kepada Men/Pangau dan menyebut nama Brigjen Supardjo,
Laksamana Omar Dhani menanggapi bahwa kunci permasalahan ada
pada Supardjo, sebab itu Heru ditugaskan untuk mencari informasi
langsung dari Brigjen Supardjo. Akan tetapi Mayor Suyono memberi-
tahu bahwa Supardjo baru dapat dihubungi pukul 05.00 keesokan
harinya. Men/Pangau mengatakan bahwa persoalan ini adalah ma-
salah intern Angkatan Darat, antara kaum muda dengan para se-
niornya. Oleh sebab itu AURI dilarang ikut campur tangan dalam
permasalahan ini.
Kebetulan malam itu Laksamana Muda Udara Makki Perdana­
kusuma datang ke Wisma Angkasa untuk keperluan lain, dan Letkol
www.facebook.com/indonesiapustaka

Heru oleh Men/Pangau disuruh menyampaikan pula informasi ter­


sebut. Laksda Udara Makki, sebagai Deputi Staf Angkatan Bersenjata,

Garda Sembiring & Harsono Sutedjo (ed.), op.cit., hlm. 7.


11

92

01-TA-16x24-terakir.indd 92 1/30/2012 9:39:05 PM


MALAM BENCANA NASIONAL

berada langsung di bawah Jenderal Nasution. Mendengar penjelasan


ini Laksda Makki menganggapnya tidak masuk akal. Gerakannya
tidak mungkin dilaksanakan. Penjagaan di rumahnya sendiri cukup
kuat, apalagi di rumah Menko Hankam/KSAB dan Men/Pangad, tentu
akan jauh lebih kuat.12
ukul 22.00 Letkol Heru kembali ke rumah dalam keadaan ‘amat
P
penat sekali’.

Satgas Pasopati
Hari H dan [d]jam D—menurut kesaksian Nyono—ditentukan Jumat,
tanggal 1 Oktober1965 pukul 04.00 “menjelang fajar”.13 Sementara
sebagian penduduk kota Jakarta masih tidur lelap, komplotan yang
kemudian dikenal sebagai Gerakan 30 September telah siap untuk
melaksanakan rencananya. Pukul 04.00 pagi, tanggal 1 Oktober,
semua pasukan yang ditugaskan untuk menculik para perwira tinggi
telah berada di tempat sasarannya.
Ada tujuh pasukan, masing-masing untuk menangkap/menculik
Jenderal A.H. Nasution di Jalan Teuku Umar No. 40, Letjen A. Yani
di Jalan Lembang, Mayjen TNI Suprapto, Mayjen TNI S. Parman,
Mayor Jenderal TNI Harjono MT, Brigjen TNI Sutoyo Siswomihardjo,
dan Brigjen TNI D.I. Panjaitan. Dalam rencana disebut pula Brigadir
Jenderal Achmed Sukendro, namun karena berada di Beijing bersama
rombongan RI, nama beliau dihapus dari daftar.
“ Gerakan” yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung bersama
Brigadir Jenderal Mustafa Sjarif Supardjo, secara operasional diba-
gi dalam tiga satuan tugas, masing-masing dengan nama kode yang
diambil dari dunia pewayangan, (1) Pasopati, yang terdiri dari pa-
sukan Cakrabirawa dibantu anggota Pemuda Rakyat yang telah di-
latih di Lubang Buaya, dipimpin oleh Lettu Dul Arief dan bertugas
untuk menangkap para jenderal; (2) Bimasakti, yang terdiri dari
www.facebook.com/indonesiapustaka

12
Aristides Katoppo dkk, op. cit., hlm. 71-72.
13
‘Gerakan 30 Septmber’ dihadapan Mahmilub, I (Perkara Njono). Jakarta, Pusat Pendidikan
Kehakiman A.D., 1966, hlm. 91-92.

93

01-TA-16x24-terakir.indd 93 1/30/2012 9:39:05 PM


AB. Lapian

Batalion Raiders 454 Diponegoro dari Jawa Tengah dan Yon Raiders
530 Brawijaya dari Jawa Timur, bertugas untuk penguasaan gedung-
gedung RRI dan Telekomunikasi di Lapangan Merdeka, pimpinan
Kapten Suradi; dan (3) Pringgodani sebagai satgas cadangan dipimpin
oleh Mayor Udara Suyono bersama Mayor Udara Gatot Sukrisno.
Hanya Jenderal Nasution yang lolos dari sergapan Operasi Pasopati.
Ketika membuka pintu dan serentak suara tembakan terdengar, be-
liau menjatuhkan diri ke lantai, istrinya menutup pintu kembali dan
menguncinya. Jenderal Nasution lari melalui pintu belakang dan
melompat pagar tembok rumah Duta Besar Irak tetangganya. Pada
waktu melompat pagar, kakinya cedera, tapi Jenderal Nasution bisa
selamat. Namun putrinya, Ade Irma Suryani, yang baru berumur lima
tahun, yang pada waktu itu sedang digendong bibinya, Mardiah, ter-
kena tembakan di punggung dan meninggal beberapa hari kemudian.
Selain itu ajudan Jenderal Nasution, Letnan Satu Piere A. Tendean,
yang malam itu menginap di paviliun, langsung disergap dan dibawa
ke Lubang Buaya. Dalam peristiwa itu, Aipda Karel Satsuitubun, peng­
awal rumah Wakil Perdana Menteri II Dr. Leimena, yang rumahnya
berdekatan dengan Jenderal Nasution, gugur.
Tiga jenderal—Yani, Haryono, dan Pandjaitan—mati tertembak
sewaktu disergap di rumahnya, sedangkan yang lain bersama Letnan
Tendean, dibunuh di tempat penahanan di Lubang Buaya. Tujuh jen-
deral dengan kisah pengalaman yang berbeda-beda. Nasution dan
istri dibangunkan oleh nyamuk, dan Suprapto tak bisa tidur karena
terganggu oleh sakit gigi. Parman diberi kesempatan untuk menggan-
ti pakaian. Yani masih sempat menghantam penyergapnya. Rumah
Sutoyo diobrak-abrik, sedangkan Haryono belum lama pulang dari
pertemuan di rumah Dr. Eri Sudewo di Jalan Imam Bonjol.
Di rumah Pandjaitan terjadi baku tembak yang seru. Karena dian-
cam bahwa seluruh keluarga akan dihabiskan, maka beliau menye­
www.facebook.com/indonesiapustaka

rah. Akhirnya semua jenderal menemukan ajalnya, kecuali Jenderal


Nasution. Tetapi nyawa beliau harus “ditebus” dengan nyawa putri­
nya tercinta dan ajudannya yang setia. Keluarga korban mencoba

94

01-TA-16x24-terakir.indd 94 1/30/2012 9:39:05 PM


MALAM BENCANA NASIONAL

mendapatkan pertolongan melalui telepon, tapi ternyata kabel telah


dipotong. Nyonya Sutoyo meminjam telepon tetangga, tetapi di te­
ngah-tengah percakapan hubungannya terputus. Rupanya pada waktu
itu satgas Bimasakti telah berhasil menguasai Gedung Telekomunikasi
di Medan Merdeka Selatan.14

Cenko G30S
Pukul 05.00 pagi Letkol Heru Atmodjo tiba di gedung Penas
(Perusahaan Nasional Aerial Survey) yang terletak di bypass ke
Tanjung Priok, di luar pangkalan udara Halim Perdanakusuma.
Maksud kunjungannya ialah atas instruksi Men/Pangau untuk ber-
temu dengan Brigjen Supardjo yang, menurut Mayor Suyono, baru
bisa dijumpai pada jam dan tempat tersebut. Walaupun menurut
sumber resmi Letkol Heru dan Brigjen Supardjo dikatakan sama-
sama berperan dalam G30S dan duduk dalam Dewan Revolusioner,
namun menurut kesaksian Heru, dia sendiri “belum pernah kenal
secara pribadi, kecuali sering mendengar nama dan fungsi Supardjo
di Kolaga”.15
Heru diperkenalkan oleh Mayor Suyono dengan Brigjen Supardjo,
kemudian dengan seseorang yang tubuhnya paling tinggi di antara
mereka, Kolonel Latief, dan berikutnya dengan seseorang yang le­
bih pendek dari Heru sendiri dan agak gemuk badannya dibanding
dengan Latief. Dia pendiam, tak banyak bicara kecuali menyebut na-
manya, [Letkol] Untung. Ada dua orang lain yang nampaknya bukan
militer, ‘nongkrong’ sambil mengepulkan asap rokok. Mereka tidak
menyebut namanya dan baru kemudian diketahui bahwa mereka
adalah Sjam Kamaruzaman dan Pono (Supono Marsudidjojo). Kepada

14
Bagian ini didasarkan atas berbagai sumber, antara lain, Mabes ABRI; Bahaya Laten
Komunisme di Indonesia, JIlid IV B, Penumpasan Pemberontakan PKI dan Sisa-sisanya;
www.facebook.com/indonesiapustaka

Jakarta: Mabes ABRI, 1995, hlm. 189 -193; John Hughes, The end of Sukarno. A coup that
misfired: a purge that ran wild. Singapore, Archipelago Press, 2002, Bab 3; Mien Sudarpo,
Kenangan masa lampau, II. Jakarta, Sejati & Grasindo, 1997, hlm. 99-102; Irna H.N. Hadi
Soewito, Chairul Saleh, tokoh kontroversial. Jakarta, hlm. 116-118.
15
Garda Sembiring & Harsono Sutedjo (ed.), op.cit., hlm. 8. Keterangan selanjutnya dalam
bagian ini diperoleh dari Bab I buku tersebut.

95

01-TA-16x24-terakir.indd 95 1/30/2012 9:39:06 PM


AB. Lapian

Brigjen Supardjo kemudian Heru menyampaikan pesan Menteri/


Pangau, yakni “untuk menanyakan apa yang sesungguhnya yang ter-
jadi dan apa tujuan gerakan ini.” Terutama Heru diperintahkan untuk
“mena­nyakan tentang keselamatan PBR/Pangti”.
rigjen Supardjo menjawab bahwa ia sendiri akan melaporkan-
B
nya kepada Menteri Omar Dhani. Karena sekarang mau menghadap
Presiden Sukarno, Heru diajak untuk mengikutinya agar nanti mere-
ka bersama-sama menghadap Men/Pangau. Supaya Heru bisa mengi-
kuti semua yang terjadi, ia diajak naik kendaraan bersama Supardjo.
Rute perjalanan mengikuti bypass ke Tanjung Priok, belok ke Jalan
Pramuka, ke Salemba, Jalan Diponegoro, Jalan Imam Bonjol, Jalan
Thamrin, Jalan Medan Merdeka Barat. Tiba di Istana menjelang pu-
kul 06.00 pagi.
endaraan disuruh berhenti dekat pos penjagaan, Brigjen Supardjo
K
turun, dan dengan dikawal oleh seorang kapten Cakrabirawa ia ber-
jalan ke Istana Merdeka. Heru bersama penumpang lainnya menung-
gu dekat pos penjagaan. Agak lama menunggu, membuatnya agak
gelisah. Terlebih karena di antara prajurit penjaga Istana ada yang
mengatakan bahwa Presiden tidak berada di dalam Istana. Ketika
Supardjo kembali ke pos penjagaan dan mengatakan bahwa Presiden
tidak ada, Heru pamit karena hendak pergi melaporkan semuanya
kepada Men/Pangau. Setelah keluar dari pos penjagaan, Letkol Heru
menghentikan sebuah kendaraan AURI yang sedang lewat dan dike-
mudikan oleh seorang mayor, minta diantarkan ke Markas Besar AURI
di Tanah Abang Bukit.
ementara itu keadaan di Istana serba gelisah, tidak ada yang tahu
S
di mana Presiden berada. Kolonel Bambang Widjanarko, sebelum me-
ninggalkan istana pukul 24.00 semalam, telah menyampaikan ke-
pada Presiden acara untuk pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, yakni
waktu minum kopi jam 07.00 Bung Karno akan menerima Waperdam
www.facebook.com/indonesiapustaka

Leimena dan Men/Pangad Jenderal Ahmad Yani. Pada pagi hari itu
Kol. Bambang bertugas di lapangan parkir timur Senayan sebagai in-
spektur upacara dalam gladi resik seluruh pasukan ABRI yang akan

96

01-TA-16x24-terakir.indd 96 1/30/2012 9:39:06 PM


MALAM BENCANA NASIONAL

ikut serta dalam acara peringatan hari ulang tahun ABRI tanggal 5
Oktober. Sebelum pukul 07.00 Bambang telah berada di Senayan dan
latihan diadakan pada waktu yang ditentukan. Selesai latihan parade
dan defile militer, istirahat sebentar, sebelum dilangsungkan latihan
yang kedua. Selagi istirahat, ada yang memberitakan tentang penem-
bakan dan penculikan terhadap beberapa jenderal. Seorang perwira
mengatakan bahwa ia mendengar ada pula penembakan terhadap
rumah Jenderal Nasution.
ada waktu itu tiba-tiba datang seorang komandan batalion dari
P
kesatuan Angkatan Darat yang melapor bahwa seluruh batalionnya
segera akan meninggalkan tempat karena diperintahkan harus menu-
ju markas Kostrad di Jalan Medan Merdeka Timur. Akhirnya diputus-
kan latihan dihentikan dan seluruh kesatuan kembali ke pasukannya
masing-masing. Kol. Bambang pun segera naik mobil menuju Istana.
Mendekati istana, mobilnya dihentikan oleh pasukan yang tidak
dikenalnya, tetapi ketika dikatakan bahwa ia ajudan Presiden, diper-
bolehkan masuk istana. Ajudan yang bertugas pada waktu itu adalah
kolonel Sumirat, tetapi beliau tidak berada di Istana. Beberapa orang
tamu yang sedang menunggu di beranda belakang Istana Merdeka
dan yang memang masuk dalam acara untuk bertemu dengan Bung
Karno—termasuk Bapak Leimena—menghujaninya dengan pertanya­
an: “Bambang, Bapak ada di mana?”
olonel Bambang: “Segera saya bertindak menanyakan ke sana ke
K
mari. Kawal Pribadi yang berada di Istana saya, tanyai apakah ada
kontak dengan Pak Mangil, Komandan DKP, yang selalu berada dekat
dengan BK. Mereka menjawab tidak ada kontak, baik radio atau tele-
pon. Segera saya telepon ke rumah Ibu Dewi di Jalan Gatot Subroto,
BK tidak ada. Telepon ke Slipi, rumah Ibu Haryati, juga tidak ada.
Terus terang pada saat itu dalam hati saya menjadi panik. Di mana BK
berada?”16
www.facebook.com/indonesiapustaka

Bambang Widjanarko, Sewindu dekat Bung Karno. Jakarta, Gramedia, 1988, hlm.
16

169-170.

97

01-TA-16x24-terakir.indd 97 1/30/2012 9:39:06 PM


AB. Lapian

Menuju PAU Halim Perdanakusuma


AKBP Mangil pukul 05.45 pagi telah berada di Wisma Yaso, tempat
kediaman Ny. Dewi Sukarno. Ketika masih di rumahnya, di Jalan
Brantas no. 13, Jakarta Pusat, ia menerima telepon dari Inspektur
Polisi tingkat I Sardi, anggota DKP yang sedang mengawal Presiden
di rumah kediaman Ny. Dewi, bahwa hubungan telepon Istana dipu-
tus oleh kantor pusat atas perintah tentara berseragam hijau yang se-
dang menjaga kantor telepon tersebut. Setibanya di Wisma Yaso,
Mangil membicarakan masalah pemutusan telepon dengan para per-
wira DKP dan juga dengan Mayor Suparto, Kepala Kendaraan Istana,
yang baru datang, sebab pada setiap perjalanan incognito Presiden,
dia selalu bertindak sebagai supir pribadi Presiden.
ementara itu datang laporan dari Insp. Polisi tk. II Didi Kardi
S
Hidayat lewat telepon yang berada di jip, bahwa sewaktu pulang
ke asrama dia dihentikan di simpang empat air mancur di lapangan
Monumen Nasional oleh pasukan Angkatan Darat yang menutup Jalan
Medan Merdeka Barat. Didi Kardi juga melapor bahwa sekitar pukul
04.00 rumah Jenderal Nasution ditembaki oleh segerombolan bersen-
jata yang tak dikenal, yang jumlahnya kurang lebih 50 orang. Berita
ini diterimanya dari posko di Istana Negara. Setelah mendengar sega­
la macam laporan ini, Mangil segera menugaskan kepada piket DKP
agar melakukan pengamanan jalan yang akan dilewati Presiden dari
Wisma Yaso ke Istana. Juga ada laporan radio telepon dari Jatiman,
Kepala Bagian I DKP yang “isinya berita lebih seram”, yakni bahwa
di sekitar Istana Merdeka terlihat sejumlah pasukan Angkatan Darat
yang, setelah diamati, terdiri dari kesatuan Dharma Putra Kostrad asal
Diponegoro dan Brawijaya. Kurang lebih pukul 06.30 pagi Presiden
keluar kamar untuk pergi ke Istana. Beliau rupanya telah diberita-
hu tentang adanya penembakan di Jalan Teuku Umar sekitar tempat
tinggal Dr. Leimena dan Jenderal Nasution, namun belum diketahui
www.facebook.com/indonesiapustaka

seluk-beluk peristiwanya. AKBP Mangil dipanggil Presiden untuk


dimintai penjelasan. Baiknya bagaimana, tinggal di sini dulu atau
langsung ke Istana, tanya Presiden. AKBP Mangil menjawab, bah-

98

01-TA-16x24-terakir.indd 98 1/30/2012 9:39:06 PM


MALAM BENCANA NASIONAL

wa sebaiknya Presiden Sukarno untuk sementara tinggal di Wisma


Yaso, sambil menunggu laporan anggota DKP yang diperintah untuk
melakukan pengecekan terhadap kebenaran berita itu. Dengan nada
marah Presiden berkata, “Bagaimana mungkin, kejadian pukul 04.00,
sampai sekarang belum kamu ketahui dengan jelas?” AKBP Mangil
menjawab, kalau Presiden mau ke Istana sekarang pun bisa, dengan
perkiraan bahwa pasukan Kostrad yang melakukan penjagaan di ja-
lan silang Monas merupakan pasukan yang diperbantukan kepada
Kodam V Jaya sehubungan dengan terjadinya penembakan di Jalan
Teuku Umar.
Akhirnya Presiden Sukarno memutuskan untuk tetap menuju
istana. Di depan mobil Presiden ada satu jip DKP yang dilengkapi
dengan radio telepon Lorenz jarak jauh. Mobil Presiden dikemudi-
kan oleh Mas Suparto dan di sampingnya duduk Sudarso yang sudah
dilengkapi dengan mini-talkie untuk hubungan jarak dekat, yakni an-
tara mobil Presiden dengan mobil kendaraan Mangil yang berada di
belakangnya. Rombongan melaju dengan kecepatan sedang. Ketika
sedang melewati jembatan Dukuh Atas, Jatiman melaporkan lagi ke-
pada Mangil bahwa pasukan Angkatan Darat yang berada di sekitar
Istana “terasa sangat mencurigakan”. Sebab itu segera diperintahkan
supaya rombongan membelok ke kiri, ke Jalan Kebon Sirih, akan teta-
pi karena mobil depan sudah terlanjur melewati perempatan Kebon
Sirih, rombongan baru membelok di Jalan Budi Kemuliaan. Tetapi
iring-iringan mobil bergerak sangat lamban, kadang-kadang berhenti
agak lama, sebab semua lalulintas ke Merdeka Barat dialihkan ke ja-
lan ini.
Sementara itu AKBP Mangil memutuskan untuk membawa
Presiden ke Kebayoran Baru. Tetapi tidak lama kemudian, ada kon-
tak dengan Kolonel CPM Maulwi Saelan, Wakil Komandan Resimen
Cakrabirawa, yang memerintahkan supaya rombongan Presiden lang-
www.facebook.com/indonesiapustaka

sung saja dibawa ke rumah Ny. Haryati di Grogol. Kebetulan mobil


Presiden berhenti agak lama di depan bekas Kedutaan Malaysia di
Jalan Budi Kemuliaan, sehingga Mangil segera meloncat keluar mo-

99

01-TA-16x24-terakir.indd 99 1/30/2012 9:39:06 PM


AB. Lapian

bil, ketuk kaca mobil depan, dan memerintahkan supaya Bung Karno
dibawa menuju ke rumah Ny. Haryati, tempat Kolonel Saelan sedang
menantikan kedatangan Presiden. Pukul 07.00 Presiden Sukarno ber-
sama pengawalnya tiba di Grogol.17
Kolonel Saelan melaporkan semua berita yang diterimanya dari
Komisaris Besar Pol. Sumirat. Kol. Saelan minta agar Presiden semen-
tara menunggu dulu, sambil mencari informasi untuk menentukan
langkah-langkah berikutnya. “Tetapi kita tidak bisa lama di sini”, kata
Bung Karno, yang dijawab oleh Saelan bahwa “memang betul, Pak,
dan sebagai alternatif kami akan mencari tempat lain.” Setelah di-
rundingkan oleh Saelan dengan Mangil dan Letnan Suparto tentang
cara menyelamatkan Presiden, diputuskan untuk pindah ke rumah di
Jalan Wijaya, Kebayoran Baru, yang telah dipersiapkan oleh Komisaris
Pol. Mangil.
Tetapi menjelang pukul 08.30, Letkol Suparto yang ditugaskan un-
tuk mencari hubungan dengan Panglima Kodam Jaya dan Panglima
Angkatan Bersenjata, melaporkan bahwa dia telah mendapatkan kon-
tak dengan Panglima Angkatan Udara Omar Dhani yang berada di
PAU Halim. Akhirnya Presiden Sukarno atas kehendak sendiri me-
mutuskan pergi ke PAU Halim.18 Rencana ke Jalan Wijaya I Kebayoran
Baru dibatalkan. Sementara itu tiba pula Brigjen Sunario, Jaksa Agung
Muda, bersama Kombes Pol. Sumirat, Ajudan Presiden. Agar tidak
menarik perhatian, mobil Buick Chrysler berukuran besar diganti de­
ngan VW Kodok warna biru laut dengan nomor B 75177. Pengawalan
ke PAU Halim, hanya dilakukan oleh Tim Dinas Khusus DKP yang
mengenakan pakaian sipil.
ombongan Presiden berangkat jam 09.00. Dalam perjalanan ke
R
Halim, di dalam mobil VW Kodok, Presiden Sukarno duduk di be-

H. Mangil Martowidjojo, op.cit., hlm. 378-387. H. Maulwi Saelan, op.cit., hlm. 310-311.
17

Jauh sebelum peristiwa G30S, pimpinan Resimen Cakrabirawa memutuskan bahwa jika
18
www.facebook.com/indonesiapustaka

terjadi sesuatu dalam perjalanan pengawalan Presiden yang dapat mengancam kese-
lamatannya, beliau harus dibawa ke asrama ABRI terdekat. Alternatif lain adalah menuju
lapangan udara Halim Perdanakusuma tempat tersedianya pesawat kepresidenan Jet
Star, atau ke pelabuhan AL Layar Berkembang, tempat kapal kepresidenan Varuna I-II
berlabuh. Alternatif terakhir, beliau dibawa ke Istana Bogor tempat tersedianya helikop-
ter kepresidenan. H. Mangil, op.cit., hlm. 387-388.

100

01-TA-16x24-terakir.indd 100 1/30/2012 9:39:06 PM


MALAM BENCANA NASIONAL

lakang, didampingi Brigjen Soenario, sedangkan Inspektur Polisi


I Sudarso (anggota DKP), duduk di samping Letkol Soeparto yang
bertindak sebagai pengemudi. Perwira menengah yang menyertai
Presiden Sukarno ke Halim adalah Kol. CPM. Maulwi Saelan, Kombes
Pol. Sumirat sebagai ajudan, AKBP Mangil dan Letkol Suparto.
Presiden berangkat dari Grogol melalui jembatan Semanggi- Jalan
Gatot Subroto-Jakarta By Pass-Cililitan, dan kemudian masuk PAU
Halim, tiba sekitar setengah jam kemudian.

Dewan Revolusioner
Satuan Bimasakti mula-mula berhasil. Mereka dapat menguasai
Radio Republik Indonesia dan Gedung Telekomunikasi. Hubungan
telepon diputus. Dan sekitar pukul 07.20 pagi masyarakat diberitahu
melalui siaran RRI bahwa Gerakan 30-September yang dipimpin oleh
Letnan Kolonel Untung dari Cakrabirawa telah mengambil alih
kekuasaan; bahwa beberapa anggota Dewan Jenderal ditangkap kare-
na merencanakan untuk menggulingkan pemerintahan Presiden
Sukarno; bahwa Presiden berada di bawah perlindungan Gerakan
tersebut. Selanjutnya diberitahukan bahwa segera akan dibentuk se-
buah Dewan Revolusioner sebagai pimpinan tertinggi yang meng-
gantikan pimpinan politik yang lama. (Pengumuman tentang Dewan
Revolusi baru disiarkan pukul 14.00).

LETKOL UNTUNG “Tjakrabirawa”


Selamatkan Presiden Sukarno dan RI
Pada hari Kamis tanggal 30 September 1965 di Ibu kota Republik
Indonesia, Jakarta telah terjadi gerakan militer dalam Angkatan Darat
dengan dibantu oleh pasukan-pasukan militer dari angkatan bersen-
jata lainnya.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Gerakan 30 September yang dikepalai oleh Letnan Kolonel Untung


Komandan Batalyon Tjakrabirawa, pasukan pengawal pribadi
Presiden Sukarno ini ditujukan kepada jenderal-jenderal anggota apa

101

01-TA-16x24-terakir.indd 101 1/30/2012 9:39:06 PM


AB. Lapian

yang menamakan dirinya Dewan Jenderal. Sejumlah jenderal telah di-


tangkap dan alat komunikasi yang penting-penting serta obyek-obyek
vital lainnya sudah berada dalam kekuasaan Gerakan 30 September,
sedangkan Presiden Sukarno selamat dalam lindungannya Gerakan
30 September juga sejumlah tokoh-tokoh masyarakat lainnya yang
menjadi sasaran tindakan Dewan Jenderal berada dalam lindungan
Gerakan 30 September
Dewan Jenderal adalah gerakan subversif yang disponsori oleh CIA
dan waktu belakangan ini sangat aktif, terutama dimulai ketika
Presiden Sukarno menderita sakit yang serius pada minggu pertama
bulan Agustus lalu, harapan mereka bahwa Presiden Sukarno akan
meninggal dunia sebagai akibat dari penyakitnya tidak terkabul.
Oleh karena itu, untuk mencapai tujuannya Dewan Jenderal meren­
canakan pameran kekuatan (machtsvertoon) pada hari Angkatan
Bersenjata 5 Oktober yang akan datang dengan mendatangkan pasu-
kan-pasukan dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Dengan
sesudah terkonsentrasinya kekuatan militer yang besar ini di Jakarta,
Dewan Jenderal bahkan telah merencanakan untuk mengadakan coup
kontra-revolusioner. Letnan Kolonel Untung mengadakan Gerakan 30
September yang ternyata telah berhasil dengan baik.
Menurut keterangan yang didapat dari Letnan Kolonel Untung
Komandan Geran 30 September, gerakan ini semata-mata gerakan
dalam Angkatan Darat yang ditujukan kepada Dewan yang dituju-
kan kepada Dewan Jenderal yang telah berbuat mencemarkan nama
Angkatan Darat, bermaksud jahat terhadap Republik Indonesia dan
Presiden Sukarno, letnan Kolenel Untung pribadi menganggap gerakan
ini adalah satu keharusan sebagai warga Tjakrabirawa yang berkewa-
jiban melindungi keselamatan Presiden dan Republik Indonesia.
Komandan Gerakan 30 September ini selanjutnya menerangkan bah-
wa tindakan yang telah dilakukan di Jakarta terhadap Dewan Jenderal
yang ada di daerah-daerah. Menurut keterangan Komandan Gerakan
30 September, sebagai follow up tindakannya akan dibentuk Dewan
Revolusi Indonesia di pusat, sedangkan di daerah-daerah akan diben-
tuk Dewan Revolusi itu akan terdiri dari orang-orang sipil dan militer
yang mendukung Gerakan 30 September tanpa reserve.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Partai-partai, ormas-ormas, surat-surat kabar dan majalah-majalah


dapat meneruskan kegiatan, dalam jangka waktu yang akan ditetap-

102

01-TA-16x24-terakir.indd 102 1/30/2012 9:39:06 PM


MALAM BENCANA NASIONAL

kan kemudian menyatakan kesetiaannya kepada Dewan Revolusi


Indonesia.
Dewan Revolusi Indonesia yang akan dibentuk oleh Gerakan 30
September akan dengan konsekuen melaksanakan “Panca Azimat
Revolusi”, melaksanakan ketepan MPRS, putusan-putusan DPR-GR
dan putusan DPA.
Dewan Revolusi tidak akan merobah politik luar negeri Indonesia
yang bebas aktif dan anti nekolim demi perdamaian di Asia Tenggara
dan di dunia. Juga politik mengenai Konferensi AA ke II dan Ganefo
serta konfrontasi terhadap ‘Malaysia’ tidak akan berobah dan KIAPMA
serta kegiatan-kegiatan internasional yang sudah ditetapkan akan di-
langsungkan di Indonesia tetap akan diselenggarakan.
Letnan Kolonel Untung sebagai Komandan Gerakan 30 September
menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia supaya terus memper-
tinggi kewaspadaan dan membantu Gerakan 30 September dengan
sepenuh hati untuk menyelamatkan Republik Indonesia dari perbuat­
an-perbuatan jahat Dewan Jenderal dan kaki tangan-kaki tangannya,
agar dapat melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat dalam arti yang
sesungguhnya.
Kepada para perwira, bintara dan tamtama Angkatan Darat di selu-
ruh tanah air, Komandan Letnan Kolonel Untung menyerukan su-
paya bertekad dan berbuat untuk mengikis habis pengaruh-pengaruh
Dewan Jenderal dan kakitangannya dalam Angkatan Darat.
Jenderal-jenderal dan perwira-perwira yang gila kuasa, yang mene­
lantarkan nasib anak buah, yang di atas tumpukan penderitaan anak
buah hidup bermewah-mewah dan berfoya-foya menghina kaum
wanita dan menghambur-hamburkan uang negara harus ditendang
keluar dari Angkatan Darat karena Angkatan Darat bukan untuk jen-
deral-jenderal tetapi milik semua prajurit Angkatan Darat yang setia
pada cita-cita Revolusi Agustus 1945.
Keadaan pasukan-pasukan Angkatan bersenjata di luar Angkatan
Darat, Komandan Letnan Kolonel Untung menyatakan terima kasihnya
atas bantuan mereka dalam tindakan pembersihan dalam Angkatan
Darat dan mengharap supaya dalam angkatan masing-ma­sing, juga
diadakan tindakan pembersihan terhadap kakitangan dan simpatisan-
www.facebook.com/indonesiapustaka

simpatisan Dewan Jenderal

103

01-TA-16x24-terakir.indd 103 1/30/2012 9:39:06 PM


AB. Lapian

Dalam waktu singkat Komandan Letnan Kolonel Untung akan men-


gumumkan Dekrit Pertama tentang Dewan Revolusi Indonesia yang
kemudian akan disusul oleh dekrit-dekrit lainnya.
Demikianlah pengumuman Bagian Penerangan G30S.19

Pengumuman ini diikuti oleh siaran Dekret pada pukul 11.00,


yang menyatakan bahwa seluruh kekuasaan dalam wilayah Republik
Indonesia telah dialihkan kepada suatu Dewan Revolusi yang akan
memegang pemerintahan sampai pemilihan umum dapat diselengga-
rakan, sedangkan Kabinet Dwikora dalam keadaan demisioner. Dekret
dikeluarkan atas nama Letkol. Untung sebagai komandan, Kol Udara
Heru Atmodjo, Kol. Laut Ranu Sunardi, dan Ajun Kombes Anwas
Tanuamidjaja.
Pengumuman pertama didengar pula oleh Letkol Heru yang telah
tiba di MBAU di Tanah Abang Bukit dari Istana Merdeka. Kebetulan
ketika memasuki gerbang MBAU, mobil yang ditumpanginya berpa-
pasan dengan masuknya mobil Mercedes Deputi Operasi Komodor
Dewanto. Kepada Dewanto dilaporkan pertemuannya dengan Brigjen
Supardjo dan perjalanan mereka ke Istana, namun Presiden tidak ber­
ada di sana. Komodor Dewanto kemudian menghidupkan radio di
mobilnya untuk mendengar warta berita RRI pukul 07.00. Bersama-
sama keduanya mendengar pengumuman Letkol Untung tersebut di
atas. Letkol Heru berkata: “Sambil turut mendengarkan siaran radio
tersebut saya menangkap kesan bahwa Komodor Dewanto seperti
membenarkan, bahwa informasi yang diterimanya semalam, kini
telah menjadi kenyataan.”20
Kemudian Dewanto memerintahkan Heru supaya segera menuju
ke pangkalan udara Halim Perdanakusuma untuk memberi laporan
kepada Men/Pangau yang menurut Komodor Dewanto, sejak semalam
www.facebook.com/indonesiapustaka

19
Dikutip dari H. Maulwi Saelan; Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66: Kesaksian Wakil
Komandan Tjakrabirawa; Jakarta: Yayasan Hak Bangsa, 2001. hlm. 181-182.
20
Garda Sembiring & Harsono Sutedjo (ed.), op.cit., hlm. 15.

104

01-TA-16x24-terakir.indd 104 1/30/2012 9:39:06 PM


MALAM BENCANA NASIONAL

sudah berada di sana. Pada waktu itu perjalanan dari Tanah Abang
Bukit ke Halim masih harus melalui Jalan Prof. Sahardjo dan Pasar
Minggu, menuju Cililitan, sehingga sewaktu tiba di Halim, hari su-
dah mendekati pukul 08.30. Laksamana Madya Omar Dhani sedang
berdiri bersama Komodor Leo Wattimena, Panglima Komando Operasi
AU, di luar kantor Komando Operasi. Men/Pangau nampaknya “begitu
antusias” untuk mendengar laporan tentang apa yang terjadi, bahwa
Heru telah bertemu dengan Brigjen Supardjo dan mengantarkannya
ke Istana untuk menghadap Presiden, tapi beliau tidak ada. Belum se-
lesai laporan, Omar Dhani memotong dan mengatakan bahwa “Bapak
[Presiden] akan ke mari. Saya terima berita dari Overste Suparto. Oleh
karena itu kamu ambil Jenderal Pardjo, pakai helikopter itu!”
Tampaknya AURI tengah berada dalam suasana siaga. Semua
perwira dan penerbang berada di pos masing-masing. Ketika Letkol
Heru mendekati helikopter, penerbangnya telah mengerti tugasnya.
Pesawat disuruh terbang menuju Medan Merdeka Utara dan menda-
rat di lapangan utara Monas. Dari ketinggian tertentu tampak pasu-
kan Raiders berbaret hijau berada di Merdeka Selatan depan Gedung
Telkom dan di Merdeka Barat dekat Gedung RRI. Tampak pula bahwa
mereka berada dalam keadaan istirahat, bersantai, bahkan ada yang
tengah “bermain lempar pisau”.
Setelah helikopter mendarat, Letkol Heru ke luar menuju Istana
Merdeka. Rupanya Brigjen Supardjo tengah menunggu dan telah me-
lihat pesawat mendarat. Tanpa banyak basa-basi keduanya menuju
ke lapangan dan naik helikopter yang mesinnya tetap dihidupkan,
lalu pesawat segera terbang ke Halim.21

Pertemuan di Halim
Suasana gelisah di Istana Merdeka mulai membaik sejak terjadi
hubungan dengan rombongan Bung Karno. Sebuah jip milik DKP
www.facebook.com/indonesiapustaka

yang sedang berada di halaman Istana, ternyata mempunyai pesawat

Garda Sembiring & Harsono Sutedjo (ed.), op.cit., hlm. 16-17.


21

105

01-TA-16x24-terakir.indd 105 1/30/2012 9:39:06 PM


AB. Lapian

radio penghubung. Sesudah berusaha kira-kira satu jam lamanya,


anggota DKP bersangkutan berhasil menghubungi Sumirat, ajudan
yang sedang bertugas. Ia sedang berada di kendaraan dalam rangka
tugas dari Presiden untuk memanggil semua panglima Angkatan
Bersenjata bersama Pangdam V Jakarta Raya. Kol. Bambang minta
supaya menjemputnya di Istana, karena ia juga mau bergabung de­
ngan rombongan Presiden di Halim. Para tamu yang berada di Istana
telah pulang semuanya, kecuali Dokter Leimena dan Brigjen Supardjo.
Sesudah Supardjo berangkat dengan helikopter dan Bambang dijem-
put Sumirat, Waperdam Leimena pun meninggalkan Istana dan ke-
mudian menyusul ke Halim.22
residen Sukarno, sebagaimana dikatakan di atas, masuk PAU
P
Halim sekitar pukul 09.30, dijemput oleh Men/Pangau dan Komodor
Udara Leo Wattimena yang didampingi oleh perwira intelijen di
Markas Komando Operasi. Sekitar 30 menit kemudian Brigjen
Supardjo tiba di Markas KoOps. Seperti diketahui, Brigjen Supardjo
sejak pagi telah pergi ke Istana Negara untuk minta dukungan dari
Presiden tentang gerakan yang telah dilakukan, namun Presiden tidak
berada di sana. Men/Pangau mengirim sebuah helikopter untuk men-
jemputnya dari Istana ketika mengetahui bahwa Bung Karno sedang
menuju ke Halim. Sesudah mendarat di Base Ops Halim, Supardjo
bersama Heru menuju ke Markas KoOps. Letkol Heru melaporkan
kepada Men/Pangau bahwa ia telah menyelesaikan tugasnya, dan ke-
luar bersama Leo Wattimena. Tidak diketahui apa yang dibicarakan
antara Supardjo dengan Omar Dhani di dalam. Tidak lama kemudian
keduanya keluar dan Heru ditugaskan untuk mengantarkan Brigjen
Supardjo, menuju ke perumahan bintara AURI, yakni ke rumah
Sersan Anis Suyatno. Tempat ini dijadikan Cenko-II bagi pimpinan
G30S yang pindah dari Gedung Penas (Cenko-I) setelah selesai pen-
culikan para jenderal. Di sini sedang berkumpul kelompok yang ta-
dinya berada di Gedung Penas, yakni Kolonel Latief, Letkol Untung,
www.facebook.com/indonesiapustaka

Mayor Suyono, Sjam, dan Pono.

22
Bambang Widjanarko, Sewindu dekat Bung Karno. Jakarta, Gramedia, 1988, hlm. 171.

106

01-TA-16x24-terakir.indd 106 1/30/2012 9:39:06 PM


MALAM BENCANA NASIONAL

Karena berbicara perlahan-lahan, Heru tidak bisa menangkap per-


cakapan antara mereka. Namun kesan yang ia peroleh adalah bahwa
yang sebenarnya memimpin gerakan ini bukan Letkol Untung, se­
perti yang didengarnya dari siaran radio tadi pagi. Malahan Heru bisa
membenarkan ucapan Leo Wattimena (ketika sedang menunggu di
luar markas KoOps), walau hanya bergurau, bahwa gerakan ini lebih
merupakan sebuah “kegiatan a la James Bond”.
enjelang pukul sepuluh pagi, Jenderal Supardjo (yang telah ber-
M
ganti pakaian lapangan dengan pistol FN-45 di pinggangnya) min-
ta diantarkan kembali ke tempat Men/Pangau, di kantor Panglima
KoOps. Presiden Sukarno telah berada di dalam. Sementara itu se-
buah pesawat helikopter mendarat di pinggir landasan seberang
Markas KoOps yang membawa Brigjen Sabur, Komandan Resimen
Cakrabirawa. Ia langsung menuju Markas KoOps, kemudian masuk
menemui Presiden yang sedang berada bersama Men/Pangau Omar
Dhani dan Brigjen Supardjo. Beberapa waktu kemudian Brigjen Sabur
ke luar ruangan ke tempat sekretaris Komodor Leo untuk mengetik
sebuah statement yang memberitahukan tentang keberadaan dan ke-
selamatan Presiden.
Sekitar pukul 11.00 Brigjen Soepardjo ke luar ruangan bersama
Omar Dhani yang menugaskan Letkol Heru mengantarkan Soepardjo,
yang minta dibawa kembali ke Cenko II. Dalam perjalanan ini
Soepardjo mengatakan bahwa Presiden memerintahkan agar meng-
hentikan semua kegiatan gerakannya, guna menghindari terjadinya
pertumpahan darah. Beliau menolak permintaan Supardjo agar
Presiden mendukung G30S. Setibanya di rumah Sersan Anis Sujatno,
Supardjo menemui Sjam. Dalam hal ini tampaknya Letkol Untung
maupun Kolonel Latief tidak berperan, karena yang banyak bicara
hanya dua orang sipil, Sjam dan Pono. Kemudian Heru kembali ke
tempat Komodor Leo Wattimena.
www.facebook.com/indonesiapustaka

107

01-TA-16x24-terakir.indd 107 1/30/2012 9:39:07 PM


AB. Lapian

Mayor Jenderal Soeharto di Markas Kostrad


Perlawanan terhadap Gerakan 30 September berpusat di markas
Kostrad, tempat Mayor Jenderal Soeharto sebagai panglimanya.
Menurut keterangan Kolonel A. Latief, tiga kali ia berusaha melapor
kepada Soeharto tentang rencana G30S, akan tetapi baru pada kesem­
patan ketiga, yakni tanggal 30 September pukul 22.00 malam ber-
tempat di RSPAD Gatot Subroto, ia bisa menyampaikannya. Mayjen
dan Ny. Soeharto saat itu sedang menjenguk Tommy, putera bungsu
yang sedang dirawat akibat tersiram sop panas. Mengenai pertemuan
ini Jenderal Soeharto sendiri memberi dua versi yang berbeda. Kepada
Arnold Brackman, wartawan Amerika, beliau mengatakan bahwa
Latief datang ke rumah sakit bukan untuk menjenguk Tommy, tetapi
untuk ‘mengecek’ Soeharto—tidak dijelaskan lebih lanjut untuk
‘mengecek’apa? Sedangkan dalam wawancara dengan Der Spiegel bu-
lan Juni 1970 beliau berkata bahwa Latief datang untuk membunuh-
nya tapi urung karena ada banyak orang di tempat itu.23 Tidak diketa­
hui secara terinci tentang percakapan antara Soeharto dan Latief
pada pertemuan tersebut. Menurut Latief, kedatangannya ialah un-
tuk mengajak Soeharto ikut serta, namun dia tidak mendapat komit-
men yang pasti. Juga dikatakan bahwa selain Soeharto, Latief juga
telah melapor kepada atasannya, Brigjen Umar Wirahadikusumah,
Komandan Jakarta Raya.
Dalam otobiografinya Soeharto mengatakan bahwa sekitar pukul
05.30, tanggal 1 Oktober, ia mendapat berita dari tetangganya tentang
penembakan di daerah Menteng. Kemudian dari Brigjen Umar diteri-
ma laporan tentang penculikan Yani beserta perwira-perwira tinggi
lainnya, dan juga bahwa Jenderal Nasution bisa lolos dari usaha pen-
culikan. Berita susulan melaporkan bahwa sekitar Lapangan Merdeka
disinyalir pasukan tentara yang tidak dikenal. Beliau segera ke mar-
www.facebook.com/indonesiapustaka

‘Documents: The Latief Case: Soeharto’s Involvement Revealed,’ Journal of Contemporary


23

Asia, jilid 9, no. 2, 1979, halaman 249. Lihat pula Abdul Latief, Pledoi Kol. A. Latief.
Soeharto terlibat G 30 S. Jakarta, Institut Studi Arus Indformasi, 2000; dan Victor M. Fic,
Anatomy of the Jakarta Coup: October 1, 1965. The collusion with China which destroyed
President Sukarno and the Communist Party of Indonesia. (draft 2004, hlm. 161-165).

108

01-TA-16x24-terakir.indd 108 1/30/2012 9:39:07 PM


MALAM BENCANA NASIONAL

kas Kostrad di Lapangan Merdeka Timur untuk mengambil tindakan-


tindakan seperlunya. Di sini kemudian bergabung dengan Brigjen
Umar Wirahadikusumah dan Mayjen Pranoto Reksosamudro, juga
Jenderal Nasution yang mendapat rawatan darurat untuk kakinya
yang cidera.
Upaya Soeharto sedapat mungkin menghindari terjadinya kon-
flik bersenjata, di samping keengganan untuk memerintahkan pasuk­
an Angkatan Darat menyerang pasukan lain sesama angkatan, yang
mungkin bisa menjadikan Lapangan Merdeka, di pusat kota, sebagai
medan pertempuran. Jenderal Soeharto menyadari bahwa tindak­
an yang tergesa-gesa akan mengakibatkan tindakan balas dendam
Angkatan Udara yang—menurut perkiraannya—berada di belakang
Gerakan tersebut. Untuk itu beberapa kurir dikirim, guna meyakin­
kan pasukan di lapangan agar pindah di bawah komando Kostrad.
Suatu faktor yang mungkin mempermudah kekalahan mereka ialah
kesalahan urus terhadap pasukan di lapangan. Karena kelelahan dan
kelaparan setelah berjam-jam di bawah terik matahari Jakarta, pasu-
kan dari batalion Brawijaya dapat dibujuk dengan janji mendapat
makanan. Mereka setuju dan pada pukul 16.00 meninggalkan lapang­
an, sehingga pasukan batalion Brawijaya langsung pindah di bawah
perintah Kostrad. Sedangkan pasukan dari Batalion Diponegoro, di
bawah pimpinan Mayor Sukirno, lebih setia kepada Untung dan me-
narik diri ke jurusan PAU Halim. Namun mereka tidak diperboleh-
kan masuk, karena pangkalan udara dijaga ketat oleh pasukan PGT
Angkatan Udara, sehingga mereka mengambil tempat di jalan bypass,
di tanggul Kali Malang, di luar pagar PAU Halim. Komandan pangkal­
an, Kolonel Wisnu Djajengminardo, ketika mendengar bahwa pasuk­
an Yon 454 itu sejak pagi belum makan, mengambil inisiatif untuk
memberi makanan.24
Tanpa satu tembakan, Kostrad di bawah pimpinan Mayor Jenderal
www.facebook.com/indonesiapustaka

Soeharto berhasil menguasai Lapangan Merdeka dengan gedung-

24
Gerakan 30 September 1965. Kesaksian Letkol (Pnb) Heru Atmodjo, ed. Garda Sembiring
dan Harsono Sutedjo. Jakarta, People’s Empowerment Consortium (PEC), 2004, hlm. 25.

109

01-TA-16x24-terakir.indd 109 1/30/2012 9:39:07 PM


AB. Lapian

gedung Istana, RRI, dan Telekomunikasi, yang berada di sekitar


lapangan.

Presiden di Halim
Sementara itu, sekitar pukul 11.00, Presiden telah pindah ke rumah
Komodor Udara Susanto. Brigjen Sabur, Kapten Udara Soewarta, dan
Letnan Udara Soehardi dari PAU Halim, ditunjuk sebagai perwira
yang melayani Presiden. Seperti telah dikatakan di atas, Presiden
memerintahkan kepada ajudan Kombes Pol. Sumirat untuk memang-
gil Laksamana Madya Laut R.E. Martadinata (Men/Pangal), Inspektur
Jenderal Pol. Soetjipto Judodihardjo (Menpangak), Mayjen Umar
Wirahadikusuma (Pangdam V/Jaya), Jaksa Agung Brigjen Soetardjo,
dan Wakil Perdana Menteri II Dr. Leimena. Semua yang dipanggil
hadir, kecuali Pangdam Jaya Umar Wirahadikusuma.
arena dilaporkan bahwa Mayor Jenderal A Yani telah meninggal,
K
Presiden berusaha mencari penggantinya. Beberapa nama diajukan
untuk dipertimbangkan, dan akhirnya diputuskan untuk mengang-
kat Mayjen Pranoto Reksosamudro sebagai caretaker Men/Pangad.
Untuk itu Kolonel Bambang Widjanarko diberi tugas untuk memang-
gil Mayjen Pranoto.
Dalam melaksanakan tugasnya, Bambang Widjanarko mengha-
dap ke Mayjen Soeharto di Markas Kostrad. Ternyata Soeharto tidak
mengizinkan, sebagaimana sebelumnya ia juga tidak mengizinkan
Brigjen Umar memenuhi panggilan Presiden. “Saat ini Panglima AD
Jenderal Yani tidak ada. Pimpinan untuk sementara di tangan saya,”
kata Mayjen Soeharto kepada Bambang. “Sampaikan pada Bapak
agar semua instruksi mengenai AD harap disampaikan kepada saya.
Jenderal Pranoto saat ini tidak dapat menghadap.” Lalu ditambah-
kan pula bahwa “...saya minta usahakan sedapat mungkin agar Bapak
secepatnya keluar dari Halim” sambil mengisyaratkan bahwa PAU
www.facebook.com/indonesiapustaka

Halim akan diserang.25

Bambang Widjanarko, Sewindu dekat Bung Karno. Jakarta, Gramedia, 1988, hlm.
25

179-180.

110

01-TA-16x24-terakir.indd 110 1/30/2012 9:39:07 PM


MALAM BENCANA NASIONAL

Namun pukul 21.00 malam masyarakat diberitahu melalui RRI


bahwa keadaan telah berubah. Nasution dan Sukarno dalam keadaan
baik, dan Soeharto telah mengambil alih pimpinan TNI untuk se-
mentara. Mayor Jenderal Soeharto setelah berhasil mengambil alih
Radio Republik Indonesia, selaku Pimpinan Sementara Angkatan
Darat Republik Indonesia, pada pukul 09.00 menyampaikan pidato
singkat di radio dan mengatakan:

...Sebagaimana telah diumumkan, maka tanggal 1 Oktober 1965 yang


baru lalu telah terjadi di Jakarta suatu peristiwa yang dilakukan oleh
suatu gerakan kontra revolusioner yang menamakan dirinya “Gerakan
30 September”. Pada tanggal 1 Oktober 1965 mereka telah mencu-
lik beberapa perwira tinggi Angkatan Darat. Mereka juga telah dapat
memaksa dan menggunakan studio RRI Jakarta dan kantor besar
Telekomunikasi Jakarta untuk keperluan aksi penteroran mereka.
Untuk sementara pimpinan AD kami pegang. Antara AD, ALRI dan
AURI telah terdapat saling pengertian, bekerjasama dan kebulatan
tekad penuh, untuk menumpas perbuatan kontra revolusioner yang
dilakukan oleh yang menamakan dirinya Gerakan 30 September.
Apa yang menamakan dirinya Gerakan 30 September telah memben-
tuk apa yang mereka sebut ‘Dewan Revolusi Indonesia’, mere­ka telah
mengambil alih kekuasaan negara atau lazimnya coup dari ta­ngan
PJM Presiden Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi,
Bung Karno dan melempar Kabinet Dwikora ke kedudukan demisio­
ner disamping mereka telah menculik beberapa perwira tinggi AD.
Kami yakin dengan bantuan penuh dari massa rakyat yang progresif
revolusioner, gerakan kontra revolusioner 30 September pasti dapat
kita hancurkan leburkan dan negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila pasti tetap jaya dibawah pimpinan PJM
Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi kita yang
tercinta Bung Karno.26

Hal ini dilaporkannya kepada Dr. Leimena di PAU Halim menjelang


pukul 21.00, setelah melaporkan bahwa panggilan terhadap Mayjen
www.facebook.com/indonesiapustaka

Pranoto tidak dapat dipenuhi. Dr. Leimena kemudian menyarankan

Dikutip dari Pidato Pimpinan Angkatan Darat Major Jenderal Soeharto Pada tanggal 1
26

Oktober 1965, sebagai Pimpinan Sementara Angkatan Darat.

111

01-TA-16x24-terakir.indd 111 1/30/2012 9:39:07 PM


AB. Lapian

kepada Presiden agar segara meninggalkan Halim. Lewat pukul 22.00


Brigjen Saboer, yang ada di kediaman Komodor Udara Soesanto,
mendapat telepon dari Kostrad, memberitahu bahwa Bung Karno
malam itu harus dibawa ke luar Halim, karena Presiden ada di tem-
pat yang salah.
Presiden Sukarno bertanya, “Omar Dhani, bagaimana? Aku mau
dibawa ke mana?” “Terserah Bapak, Hercules ada, Jet Star ada, pilot-
nya sudah siap semua”, jawab Omar Dhani. Fasilitas yang paling baik
Madiun yang bisa diadakan pendaratan pada malam hari. Ada yang
menyarankan agar Presiden ke Yogya, dan ada yang menyarankan
ke Bali. Namun akhirnya Dr. Leimena berkata kepada Men/Pangau,
“Mas, Bapak saya bawa ke Bogor”. Pertimbangan Dr. Leimena memu-
tuskan membawa Presiden Sukarno ke Bogor adalah agar tetap dekat
dengan pusat pemerintahan. Selain itu di Bogor juga ada helikopter
dan kalau ada apa-apa, Pangdam Siliwangi, Ibrahim Adjie, dengan
seluruh pasukannya Kodam VI Siliwangi dipercaya dapat menye­
lamatkan Presiden. Setelah dicapai kata sepakat, maka pukul 22.50
Presiden Sukarno meninggalkan PAU Halim dengan menggunakan
mobil Prince B 3739 warna biru.
Dalam perjalanan ke Bogor, Presiden Sukarno duduk berdamping­
an dengan Dr. Leimena. Sedangkan Kol. KKO Bambang Widjanarko,
duduk di samping Letkol Suparto yang bertindak sebagai pengemudi.
Mobil paling depan adalah sebuah sedan yang ditumpangi Inspektur
Jenderal Polisi Soetjipto Judodihardjo bersama Kombes. Pol. Sumirat,
ajudan presiden. Di belakang mobil Presiden, berturut-turut jeep yang
ditumpangi Brigjen Saboer bersama AKBP Mangil. Sebuah jeep DKP,
mobil sedan Brigjen Soetardio, Jaksa Agung dan mobil sedan Brigjen
Soenarjo, Jaksa Agung Muda. Iring-iringan kendaraan diatur secara
bertahap, sehingga tidak mencolok. Perjalanan ke Bogor melalui
Parung yang waktu itu jalannya sangat buruk. Sementara Presiden
www.facebook.com/indonesiapustaka

Sukarno ke Bogor, Aidit terbang menuju Yogyakarta, sedangkan Omar


Dhani terbang ke Madiun.

112

01-TA-16x24-terakir.indd 112 1/30/2012 9:39:07 PM


MALAM BENCANA NASIONAL

Keesokan harinya tanggal 2 Oktober 1965, pasukan RPKAD, di


bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhi menuju Halim. Mereka dipe­
rintahkan untuk merebut Halim dengan sesedikit mungkin per-
tumpahan darah. Ketika pasukan RPKAD mendekati Lubang Buaya,
tempat beberapa orang sisa dari Batalion 454 dan para sukarelawan
menginap, mereka menemukan seorang anggota RPKAD dan dua ang-
gota Angkatan Udara tewas. Untuk menghindari pertumpahan da-
rah, maka RPKAD dan Angkatan Udara di bawah Komodor Dewanto
berhasil mengadakan gencatan senjata. Sejak pukul 06.10 pangkalan
udara Halim sudah dikuasai oleh Angkatan Darat.27

Daftar Pustaka
Abdul Latief. 2000. Pledoi Kol. A. Latief. Soeharto terlibat G 30 S. Jakarta:
Institut Studi Arus Informasi.
Bambang Widjanarko. 1988. Sewindu bersama Bung Karno. Jakarta:
Gramedia.
“Bersama Buruh dan Tani Para Tehnisi Mbina Masyarakat Sosialis”, dalam
Harian Berita Yudha; 1 Oktober 1965.
Brackman, Arnold C. 1970. The Communist Collapse in Indonesia.
Singapore.
Crouch, Harold. 1999. Militer dan Politik di Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Hughes, John. 2002. The End of Sukarno: a Coup That Misfired: A Purge That
Ran Wild, Archipelago Press.
Karni, Rahadi S. dkk (editor). 1974. The Devious Dalang, Sukarno and the so-
called Untung putsch Eye withness report by Bambang S Widjanarko.
Den Haag, Interdoc Publishing House.
Katoppo, Aritides. 1999. Menyingkap Kabut Halim. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Mangil Martowidjojo, H. Ed. Julius Pour. 1999. Kesaksian tentang Bung
Karno 1945-1967. Jakarta: Grasindo.
www.facebook.com/indonesiapustaka

27 Aristides Katoppo, op.cit.

113

01-TA-16x24-terakir.indd 113 1/30/2012 9:39:07 PM


AB. Lapian

Mabes ABRI. 1995. Bahaya Laten Komunisme di Indonesia, JIlid IV B,


Penumpasan Pemberontakan PKI dan Sisa-sisanya, Jakarta: Mabes
ABRI.
Majalah Sejarah: Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi, No. 4, November 1993.
Saelan, H. Maulwi. 2001. Dari Revolusi ’45 sampai Kudeta ’66. Kesaksian
Wakil Komandan Tjakrabirawa, Jakarta: Yayasan Hak Bangsa.
Sembiring, Garda & Harsono Sutedjo. 2004. Gerakan 30 September 1965.
Kesaksian Letkol (Pnb) Heru Atmodjo, Jakarta PEC.
Soehoed, A.R. 2001. Menyertai Setengah Abad Perjalanan Republik, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
www.facebook.com/indonesiapustaka

114

01-TA-16x24-terakir.indd 114 1/30/2012 9:39:07 PM


BAB III
ANTARA KONSPIRASI DAN KUDETA:
UPAYA PENJELASAN TEORETIK
TENTANG G30S/1965

AB. Lapian

Peristiwa G30S dan perkembangan sejarah selanjutnya tentu saja ha-


rus dilihat dalam konteks keadaan politik di Indonesia pada waktu
itu, awal 1960-an. Ketika itu suasana politik semakin tegang dalam
konstelasi tiga kekuatan utama: Presiden Sukarno, TNI-AD, dan
PKI.
Pemerintah menjalankan politik Demokrasi Terpimpin di bawah
Pemimpin Besar Revolusi, Penyambung Lidah Rakyat, Pengemban
Amanat Penderitaan Rakyat—gelar-gelar atribut Presiden Sukarno.
Dengan demikian kekuasaan Presiden Sukarno semakin besar, pi-
dato-pidato beliau semakin menentukan jalannya pemerintahan.
Ungkapan-ungkapan seperti ‘go to hell with your aid’, ’keluar dari
PBB’, diucapkan secara spontan dan menjadi politik pemerintah de­
ngan segala konsekuensi bagi bangsa dan negara, tanpa dirundingkan
secara musyawarah dan mufakat, bahkan dengan menteri-menteri
bersangkutan sekalipun.
Demokrasi Terpimpin semakin bersifat “revolusioner”. Menurut
www.facebook.com/indonesiapustaka

Bung Karno revolusi Indonesia adalah revolusi yang terbesar dalam


sejarah dunia yang menyatukan revolusi-revolusi Amerika, Perancis

115

01-TA-16x24-terakir.indd 115 1/30/2012 9:39:07 PM


AB. Lapian

dan Rusia—sebuah revolusi nasional, revolusi sosial, revolusi kul-


tural, bahkan revolusi manusia secara total. Dewan Pertimbangan
Agung memutuskan untuk mengangkat pidato-pidato revolusi ini se-
bagai manifesto politik Indonesia.
Di samping itu dikumandangkan gagasan Nasakom yang mem-
persatukan tiga aliran utama: nasionalisme, agama, dan komunisme.
Gagasan ini merupakan dasar pikiran Bung Karno yang telah dirumus-
kannya pada tahun 1920-an, sebagai suatu perpaduan antara aliran
nasionalis, agama, dan sosialis. Pidato Presiden tanggal 17 Agustus
1964 mengatakan, bahwa beliau dekat dengan para nasionalis, tapi
hanya dengan nasionalis yang revolusioner. Demikian pula dengan
golongan agama, namun hanya dengan mereka yang revolusioner, be-
gitu pula dengan komunis karena mereka adalah revolusioner.
Popularitas Bung Karno makin menanjak dan meluas di kalangan
masyarakat, yang dikukuhkan pula dengan pengangkatan beliau se-
bagai Presiden seumur hidup oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara (tanggal 20 Mei 1963). Namun ternyata popularitas ini ti-
dak menyeluruh. Semasa pemerintahannya telah terjadi enam kali
usaha pembunuhan terhadap diri Presiden yang semuanya gagal.
Bahwa beliau bisa lolos dari perbuatan makar sekian kali itu, mem-
buat pamor dan kharisma Bung Karno semakin meningkat.
Juga di luar negeri bintangnya bersinar, terutama sejak diselengga-
rakannya Konperensi Asia-Afrika pada tahun 1955 di Bandung, yang
berhasil mengikutsertakan 29 negara dari benua Asia dan Afrika—
pertemuan yang disebutnya sebagai “konperensi interkontinental an-
tara bangsa-bangsa kulit berwarna yang pertama dalam sejarah umat
manusia”. Di tengah-tengah suasana Perang Dingin antara dua negara
adikuasa dunia, mulai lahir solidaritas negara-negara berkembang
“Dunia Ketiga”, yang dengan “semangat Bandung” kemudian mem-
www.facebook.com/indonesiapustaka

Beberapa penulis menghubungkan percobaan pembunuhan ini dengan kegiatan CIA,




seperti misalnya Brian May, The Indonesian Tragedy, Singapura, Graham Brash, 1978,
hlm. 83; Audrey R. dan George McT. Kahin, Subversion as Foreign policy, New York, 1995,
hlm. 114-115. Oltmans mengatakan bahwa Presiden J.F. Kennedy telah minta maaf kepa-
da Presiden Sukarno, Willem Oltmans, Dibalik Kterlibatan CIA. Bung Karno Dikhianati?
Jakarta, Aksara Karunia, 2001.

116

01-TA-16x24-terakir.indd 116 1/30/2012 9:39:07 PM


ANTARA KONSPIRASI DAN KUDETA: UPAYA PENJELASAN TEORETIK

bentuk Gerakan Non-Blok, di mana Sukarno memegang peran se­


bagai salah satu pemimpinnya. Pada tahun 1963 di hadapan Majelis
Umum PBB ke-15 Sukarno dalam pidatonya mengajak agar ‘To build
the world a new’, membangun dunia kita kembali, yang pada waktu
itu masih saja dilanda persaingan antara dua adidaya, sedangkan
pada hakekatnya konstelasi politik dilihatnya sebagai pertarungan
antara dua kekuatan fundamental, yakni antara kekuatan tua yang su-
dah mapan, Old Established Forces (Oldefo), dan kekuatan baru yang
sedang muncul, New Emerging Forces (Nefo).
Kepustakaan Barat sering menyebut Sukarno sebagai seorang dik-
tator, karena perannya yang dominan dalam politik di dalam negeri.
Kenyataannya, kebijakan politik Presiden sering harus menghadapi
tantangan dari elite politik dan juga dari pihak pimpinan TNI-AD.
Konsep Nasakom, misalnya, sangat ditentang kelompok penting di
kalangan Tentara yang berkembang menjadi kekuatan politik, terlebih
sesudah berbagai pergolakan daerah dapat diatasinya.
Presiden Sukarno sendiri telah membentangkan peran TNI dalam
rangka Demokrasi Terpimpin dalam pidato 17 Agustus 1961, yakni
bahwa Angkatan Bersenjata merupakan ‘instrumen revolusi’ dan
berperan penting dalam sektor politik. Oleh sebab itu azas trias po-
litica yang disanjung-sanjungkan para ahli konstitusi Barat harus kita
tinggalkan, kata Presiden.
Bagi Jenderal Nasution, TNI mengemban fungsi ganda di tengah-
tengah masyarakat. Sudah sekian kali TNI menyelamatkan negara dari
kehancuran, dan kini sebagai kelompok fungsional juga mempunyai
fungsi politik di samping fungsi militer. Bersama kelompok-kelom-
pok fungsional lainnya, TNI harus ikut menentukan kebijaksanaan
pemerintah. Maka sudah sepatutnya tentara duduk dalam lembaga-
lembaga perwakilan rakyat, dalam kabinet, dan juga dalam pimpinan
perusahaan-perusahaan negara.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Diberlakukannya keadaan darurat perang (SOB) memberi kekua-


saan yang lebih besar kepada tentara, khususnya di daerah-daerah.
Sering para komandan teritorial yang harus melaksanakan keputus­

117

01-TA-16x24-terakir.indd 117 1/30/2012 9:39:07 PM


AB. Lapian

an-keputusan pemerintah pusat, melakukannya menurut interpre-


tasi sendiri. Dengan menduduki pimpinan pemerintah setempat
seperti bupati, camat, atau lurah, kekuasaannya meluas sampai ke
pedesaan.
Sementara itu posisi Jenderal Nasution semakin kuat. Pada tahun
1962 beliau diangkat sebagai kepala staf Angkatan Bersenjata yang
sesungguhnya merupakan jabatan administratif di samping jabatan-
nya sebagai menteri pertahanan, sedangkan kepala staf masing-ma­
sing angkatan (AD, AL, AU, AK) memegang wewenang komando
operasional di kalangan angkatannya sendiri. Achmad Yani meng-
gantikan Nasution sebagai KSAD.
Politik konfrontasi terhadap Oldefo dan Nekolim yang ditempuh
pemerintah Presiden Sukarno memberi kepada Angkatan Bersenjata
peran yang semakin besar lagi. Setelah Trikora berhasil, dengan kem-
balinya Irian Barat ke dalam wilayah NKRI (1963), diadakan konfron-
tasi terhadap Inggris yang mempersiapkan pembentukan Malaysia—
dikenal sebagai operasi Dwikora (1964/1965) dengan slogan “Ganyang
Malaysia”. Dalam dua masa Trikora dan Dwikora ini TNI mendapat
anggaran besar dan memperoleh kesempatan untuk memperkuat
dirinya, tidak hanya dalam aspek pertahanan keamanan, tetapi juga
dalam aspek politik. Dukungan dan bantuan persenjataan diperoleh
dari Blok Timur, terutama Uni Soviet.
Partai Komunis Indonesia yang keluar sebagai pemenang keempat
dalam Pemilihan Umum tahun 1955 mendapat kesempatan berkem-
bang di masa Demokrasi Terpimpin. Saingan kuatnya—Masyumi dan
PSI—telah dibubarkan pemerintah. Hanya dari pihak TNI AD partai
ini mendapat perlawanan berat.
Pada tahun 1961 PKI bisa membanggakan diri sebagai partai ko-
munis terbesar di luar negara-negara Blok Timur. Jumlah anggotanya
telah mencapai dua juta orang. Di samping itu perlu ditambah ang-
www.facebook.com/indonesiapustaka

gota-anggota organisasi massa seperti SOBSI, BTI, Pemuda Rakyat,


dan Gerwani, yang diperkirakan mencakup 18 juta orang, sehingga
jumlah seluruhnya bisa menjadi 20 juta! Namun Nikita Khrushchev,

118

01-TA-16x24-terakir.indd 118 1/30/2012 9:39:07 PM


ANTARA KONSPIRASI DAN KUDETA: UPAYA PENJELASAN TEORETIK

pemimpin Uni Soviet, pada kunjungannya ke Indonesia dalam bulan


Februari 1960 menanggapi bahwa partai komunis jangan disamakan
dengan “toko bahan pangan”, sebab makin besar jumlah yang dipa-
merkan belum berarti makin besar pula keberhasilannya.
Di bawah pimpinan D.N. Aidit, PKI memilih jalan “domestikasi”
seperti yang diistilahkan oleh Donald Hindley, artinya didomesti-
kasi oleh Presiden Sukarno yang memberi perlindungan kepadanya
sebagai partai yang legitimate, sehingga mendapat kesempatan un-
tuk berkembang, sekalipun dilawan keras oleh pihak tentara. Bulan
Desember 1960, Aidit di depan Central Comite PKI menandaskan
bahwa kepentingan nasional harus didahulukan daripada kepenting­
an partai. Kaum buruh harus memegang pimpinan dalam revolusi
nasional dan sosial. Dengan menerima dan mendukung gagasan
Nasakom dari Bung Karno, PKI terus berusaha agar bisa mengam-
bil bagian dalam pemerintahan, hal yang senantiasa sangat ditentang
oleh pimpinan TNI AD. Yang juga sangat ditentang oleh TNI adalah
saran PKI untuk membentuk dan mempersenjatai Angkatan ke-5,
mengikuti model RRC.
Salah satu tindakan pemerintah yang mendapat dukungan PKI
sepenuhnya ialah undang-undang tentang landreform yang dinya­
takan berlaku pada akhir 1960. Dengan kampanye “tujuh setan desa”,
PKI di pedesaan secara agresif melancarkan “aksi sepihak” untuk
membenarkan pendudukan tanah oleh penduduk desa. Akibatnya,
kerusuhan di mana-mana, khususnya di Jawa Timur, tetapi juga di
Bali, Jawa Tengah dan Jawa Barat, dan di Sumatra Utara.
Politik luar negeri Sukarno yang semakin cenderung ke kiri men-
jadikan PKI semakin confident pula. Permohonan bantuan persen-
jataan yang diajukan Menteri Pertahanan Nasution ketika mengun-
jungi Washington bulan Oktober 1960, ditolak pemerintah Amerika
Serikat. Sebaliknya Khrushchev, pemimpin Uni Soviet, dengan rela
www.facebook.com/indonesiapustaka

memberi bantuan yang sangat diperlukan, termasuk pesawat tempur,

Brian May, op.cit., hlm. 104.




119

01-TA-16x24-terakir.indd 119 1/30/2012 9:39:07 PM


AB. Lapian

kapal selam, dsb. Patut dicatat bahwa bantuan ini diberi berupa pin-
jaman yang harus ditebus kembali di kemudian hari.
Perkembangan penting selanjutnya ialah hubungan dengan
Republik Rakyat Tiongkok, satu-satunya negara besar yang mendu-
kung politik konfrontasi RI terhadap Malaysia. Dijanjikan pula ban-
tuan RRT untuk rencana mengadakan Conefo, konferensi antara New
Emerging Forces, sementara dilontarkan gagasan mengenai poros
Jakarta-Pnom Penh-Hanoi-Beijing-Pyongyang.
Hubungan yang baik antara Presiden Sukarno dengan PKI sangat
terlihat ketika partai ini merayakan ulang tahunnya yang ke-45, tang-
gal 23 Mei 1965 di stadion Senayan. Massa rakyat yang membanjiri
stadion bisa menyaksikan Presiden spontan merangkul Aidit, dan
bisa mendengar pidatonya yang menegaskan bahwa PKI merupakan
partai yang paling konsisten revolusioner.

Kesehatan Presiden
Faktor penting di tengah-tengah ketegangan politik pada tahun 1965
ialah spekulasi mengenai keadaan kesehatan Presiden Sukarno.
Sudah selang beberapa tahun Presiden menderita penyakit ginjal dan
tekanan darah tinggi. Tanggal 4 Agustus 1965 kesehatannya sangat
memburuk sehingga harus dibawa ke tempat tidur. Walaupun bebera­
pa hari kemudian beliau sembuh dan sudah aktif kembali melak-
sanakan segala macam acara kepresidenan, berbagai kalangan mulai
membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi jika
Presiden tidak lagi bisa berfungsi.
Terutama di kalangan dua kekuatan utama—TNI dan PKI—kecu-
rigaan tentang langkah-langkah yang sedang direncanakan pihak la-
wan tentu menjadi topik diskusi. Beberapa bulan sebelumnya, awal
Mei 1965, Badan Pusat Intelijen mengumumkan bahwa pimpinan
tertinggi TNI telah membentuk sebuah “Dewan Jenderal” yang se-
www.facebook.com/indonesiapustaka

120

01-TA-16x24-terakir.indd 120 1/30/2012 9:39:08 PM


ANTARA KONSPIRASI DAN KUDETA: UPAYA PENJELASAN TEORETIK

dang merencanakan suatu kudeta terhadap Presiden Sukarno. Di bu-


lan yang sama mulai beredar pula rumor tentang adanya Dokumen
Gilchrist yang menyebut tentang ‘our local army friends’ yang bekerja
sama dengan Inggris dan Amerika Serikat. PM Subandrio yakin bah-
wa dokumen tersebut otentik. Informasi tersebut diteruskan kepada
Aidit yang membicarakan hal ini bersama Politbiro.
Pihak tentara tentu saja tidak tinggal diam. Ketika Kol. George
Benson, atase militer pada Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta,
meninggalkan Indonesia dalam bulan Juli 1965, ia mengundang
Letjen Yani bersama tiga perwira lainnya untuk makan siang sebagai
perpisahan. Atas pertanyaan Yani, ‘What are you going to say to the
Pentagon?”, ia menjawab ‘I’m just going to say everything’s been going
down the tubes for three years. Soekarno and the PKI have the initia-
tive.” Tiga hal, menurut Benson, yang diingatnya waktu itu sebagai
respons, satu dari Mayjen Parman, dan dua dari Yani. Kata Parman,
‘I’m only three to five hours behind the PKI. I know what happens in
any sensitive meeting.” Ditambahkan pula bahwa PKI tahu mereka
telah diinfiltrasi (oleh agen tentara), dan mereka telah membentuk se-
buah kelompok kecil ‘for ultra-sensitive strategizing.’ Sedangkan Yani
berkata: ‘We have 120 battalion commanders, and we appointed them
all. They are dependable.” Juga dikatakan, ‘We have the guns, and we
have kept our guns out of their hands. So if there’s a clash, we’ll wipe
them out”.
Dalam suasana gawat dan tegang demikian kita memasuki bulan
Oktober 1965.

Kudeta
“Gestapu” atau “Gestok”, dua nama yang muncul bulan Oktober 1965.
Yang pertama mengacu pada tindakan Letkol Untung dan kawan-
www.facebook.com/indonesiapustaka


Ken Conboy, Intel: Inside Indonesia’s Intelligence Service, Jakarta/Singapore: Equinox,
2004, hlm. 40

Theodore Friend, Indonesian Destinies, Cambridge Mass. & London, UK, The Belknap
Press of Harvard University Press, 2003, hlm. 102.

121

01-TA-16x24-terakir.indd 121 1/30/2012 9:39:08 PM


AB. Lapian

kawan, sedangkan yang kedua pada tindakan Mayjen Soeharto tang-


gal 1 Oktober untuk menggagalkannya. Sebenarnya kedua peristiwa
ini terjadi pada hari yang sama, tanggal 1 Oktober 1965. Walaupun
“Gerakan 30 September” mengatakan bahwa hari H adalah 30
September dan pukul J adalah pukul 04.00, kenyataannya pukul J
tersebut sudah masuk 1 Oktober 1965. Jadi kedua peristiwa ini adalah
Gestok.
Kudeta terjadi tanggal 1 Oktober 1965 pukul 11.00 ketika Dewan
Revolusi mengumumkan Dekret No. 1, yang menyatakan bahwa
“Dengan jatuhnya segenap kekuasaan Negara ke tangan Dewan
Revolusi Indonesia, maka Kabinet Dwikora dengan sendirinya ber-
status demisioner”. Keputusan No. 1 yang mengumumkan anggota-
anggota lengkap dari Dewan Revolusi Indonesia, sama sekali tidak
menyebut kedudukan Presiden Sukarno.
Tetapi kenyataan sesungguhnya, pada saat itu Presiden telah me-
megang kembali kendali kekuasaan. Pukul 10.30 beliau perintahkan
kepada Brigjen Supardjo untuk menghentikan segala pertumpahan
darah, perintah yang memang dipatuhi. Kemudian Supardjo ber-
sama Sabur menyusun statement bahwa Presiden/Pemimpin Besar
Revolusi berada dalam keadaan sehat walafiat dan tetap menjadi
Kepala Negara. Seperti diketahui, penyiaran pernyataan ini ditahan
oleh Untung (atas perintah Aidit) dan baru diberitakan melalui RRI
pada pukul 13.00. Jadi, kudeta hanya berhasil beberapa saat saja.
Setelah Mayjen Soeharto berhasil menumpaskan G30S, Presiden ber-
sama Kabinet Dwikora memegang kendali pemerintahan lagi.

Konspirasi
Konspirasi adalah suatu komplotan yang per definisi bersifat rahasia.
Oleh sebab itu tidak banyak konspirasi yang bisa direkonstruksi se-
cara tuntas, kecuali semua pelaku dan saksi mata bisa dan mau se-
www.facebook.com/indonesiapustaka

cara leluasa dan jujur mengungkapkan segala-galanya yang diketa-


hui. Dalam hal ini faktor usia, daya ingat dan daya observasi, jarak
waktu dan jarak emosional memainkan peran yang penting. Oleh se-
122

01-TA-16x24-terakir.indd 122 1/30/2012 9:39:08 PM


ANTARA KONSPIRASI DAN KUDETA: UPAYA PENJELASAN TEORETIK

bab itu sebuah rekonstruksi yang menyeluruh dan tuntas dalam hal
peristiwa G30S tidak memungkinkan lagi. Banyak narasumber su-
dah tiada, sedangkan sumber tertulis tidak dapat digunakan at face
value.
Namun, peristiwa penting ini, yang kini diingat sebagai mala-
petaka nasional, patut selalu dipelajari dan dikaji agar hal-hal yang
masih diliputi kabut menjadi lebih terang berdasarkan sumber baru
atau interpretasi baru dari sumber yang lama. Menurut sumber yang
belum lama diterbitkan, masih ada serial buku yang akan diterbitkan
oleh Solidamor dan TAPOL. Dengan demikian, arus informasi akan
terus berjalan untuk dapat dipelajari nanti dan melengkapi pengeta-
huan saat ini.
Kesaksian Heru menunjukkan pula bahwa keterangan yang di-
berikan di hadapan Mahmilub tidak semuanya dapat diandalkan.
Malahan untuk menyelamatkan diri sendiri terdakwa bisa saja me-
mindahkan tuduhan kepada teman sesama Tapol. Informasi seperti
ini menjadi petunjuk bahwa penelitian sumber harus dilaksanakan
dengan lebih cermat.
Sebenarnya dalam hal G30S, para pelaku peristiwa sudah jelas.
Bahkan pelaku utama, Letkol Untung, dengan tegas mengatakan
bahwa dia sendiri yang bertanggung jawab sepenuhnya. Akan tetapi
semua peneliti tidak percaya bahwa dialah otak dari Gerakan terse-
but. Maka muncul berbagai teori tentang siapakah dalang peristiwa
itu?.
Dalam hubungan ini perlu dikutip apa yang dikemukakan oleh
Theodore Friend ‘...it does not help to look for a single mastermind,
or to single out a master cabal.” Oleh sebab itu setiap rekonstruksi
bersifat spekulatif saja. Seperti telah diketengahkan di atas, ada tiga
kekuatan yang penting: Presiden Sukarno, ‘Dewan Jenderal’ (DJ), dan
Politbiro PKI. Pada tanggal 1 Oktober ’65 muncul dua kekuatan baru,
www.facebook.com/indonesiapustaka


Garda Sembiring & Heru Sutedjo (Ed.), Gerakan 30 September 1965 Kesaksian Letkol (Pnb)
Heru Armodjo, Jakarta: PEC, hlm. 40

op.cit, hlm. 103

123

01-TA-16x24-terakir.indd 123 1/30/2012 9:39:08 PM


AB. Lapian

yakni kelompok yang terdiri dari beberapa perwira “yang berpikiran


maju” dan menamakan diri sebagai Gerakan 30 September (G30S),
dan Mayjen Soeharto yang berada di luar kelompok DJ tersebut.
Teori yang pertama kali muncul adalah bahwa peristiwa ini meru-
pakan soal intern Angkatan Darat. Di antara tokoh utama G30S me-
mang terdapat perwira AD, seperti Brigjen Supardjo, Letkol Untung,
dan Kol. A. Latief. Pasukan yang dilibatkan adalah Brigif I di bawah
Latief, Yon I Cakrabirawa di bawah Untung, ditambah dengan Yon
454 Diponegoro dan Yon 530 Brawijaya. Brigjen Supardjo pada waktu
itu adalah Panglima Komando Tempur II di Kalimantan, yang berada
langsung di bawah Panglima Komando Siaga yang dijabat oleh Men/
Pangau, Laksamana Madya Omar Dhani. Di samping itu Mayor Udara
Suyono memimpin satuan tugas Pringgodani sebagai cadangan ber-
sama Mayor Udara Gatot Sukrisno. Juga dilibatkan sekelompok su-
karelawan yang pernah mendapat latihan militer dari Mayor Suyono
(“yang melibatkan diri ke dalam gerakan, atas tanggung jawabnya se-
bagai pribadi”).
Jadi, kelompok G30S tidak hanya terdiri dari anggota AD. Menurut
observasi Letkol Heru yang menyaksikan kegiatan di Cenko (Gedung
Penas) pagi hari tanggal 1 Oktober, yang mengambil inisiatif adalah
Sjam Kamaruzaman (Kepala Biro Chusus yang langsung berada di
bawah Aidit, Ketua PKI) yang dibantu oleh Pono.
Di luar kelompok tersebut, yang mengetahui tentang rencana G30S
adalah Mayjen Soeharto yang diberitahu oleh Kol. Latief sekitar pu-
kul 22.00 tanggal 30 September di RSPAD Gatot Subroto. Beliau ber­
ada di luar kelompok DJ, walau sering diajak makan bersama (dan
mengadakan diskusi informal) di restoran German Club, selalu dito-
laknya dengan alasan bahwa “Ibu menunggu di rumah untuk makan
bersama”.
Kelompok DJ—sebagaimana dikemukakan di atas—seharusnya
www.facebook.com/indonesiapustaka

mengetahui tentang konspirasi G30S. Seperti dikatakan S. Parman,


mereka sudah tahu apa yang diputuskan oleh Biro Chusus dan
Politburo paling lambat tiga atau lima jam kemudian. Ternyata mere-

124

01-TA-16x24-terakir.indd 124 1/30/2012 9:39:08 PM


ANTARA KONSPIRASI DAN KUDETA: UPAYA PENJELASAN TEORETIK

ka tidak tahu-menahu tentang aksi yang sedang direncanakan Untung


dan kawan-kawan, sebab kalau mereka tahu sebelumnya tentu saja
kepada para anggota militer bersangkutan sudah diambil tindakan
seperlunya.
Men/Pangau juga sudah diberitahu tentang rencana G30S pada pu-
kul 20.00 tanggal 30 September, sewaktu Letkol (Pnb) Heru Atmodjo
melaporkan kepadanya apa yang beliau dengar dari Mayor Suyono.
Hadir pada pertemuan ini Komodor Andoko, Deputi Logistik, Komodor
Leo Wattimena, Panglima Komando Operasi, dan Laksamana Muda
Makki Perdanakusuma.
Presiden Sukarno sebagai pemimpin tertinggi mendapat laporan
dari berbagai pihak. Dari Dr. Subandrio beliau diberitahu tentang ada­
nya Dewan Jenderal, dan hal serupa juga dilaporkan oleh D.N. Aidit.
Tatkala Presiden menanyakan kepada Mayjen Yani apakah ada ang-
gota AD yang mempunyai hubungan dengan Inggris dan Amerika,
Yani menjawab tidak. Pertanyaan tentang kebenaran ada-tidaknya
Dewan Jenderal, juga dijawab tidak ada. Yang ada adalah Dewan
Pertimbangan Jabatan Kepangkatan Perwira Tinggi (Wanjakti). Dalam
hubungan ini perlu juga dicatat bahwa ketika pada tanggal 1 Oktober
Brigjen Supardjo melaporkan kepada Presiden di PAU Halim tentang
G30S untuk mendahului aksi yang direncanakan Dewan Jenderal,
Bung Karno menanyakan apakah ada bukti? Pertanyaan ini tidak
dapat dijawab oleh Supardjo.
Di antara teori-teori tentang siapa yang mendalangi G30S, nama
Presiden Sukarno sendiri juga disebut. Dukungan utama terhadap
tuduhan ini adalah buku The Devious Dalang, ed. Rahadi S. Karni
dengan introduksi Antonie C.A. Dake, diterbitkan oleh Interdoc
Publisihing House, Den Haag, Nederland (1974). Buku ini memuat
verbatim testimony oleh Kol. Bambang S. Widjanarko tentang peris-
tiwa Oktober 1965. Terhadap tuduhan ini banyak pihak yang meno-
www.facebook.com/indonesiapustaka

lak. Kesaksian Kol. Saelan membantah adanya surat yang diberi oleh
Sogol dari Letkol Untung untuk diserahkan kepada Presiden.

Garda Sembiring & Heru Sutedjo, 2004, op.cit. hlm. 10




125

01-TA-16x24-terakir.indd 125 1/30/2012 9:39:08 PM


AB. Lapian

Masih perlu diteliti juga tentang keaslian naskah tersebut, khusus-


nya dengan membandingkan naskah yang digunakan Karni dengan
arsip Team Pemeriksa Pusat, Komando Operasi Pemulihan Keamanan
dan Ketertiban (Kopkamtib). Sebab, naskah yang diterbitkan berasal
dari sebuah naskah yang dikirim kepada Antonie Dake di hotelnya
(ketika mengunjungi Jakarta) tanpa ada identitas pengirim.
Akan tetapi Presiden pun sudah diberitahu tentang akan adanya
aksi G30S. Pagi hari tanggal 30 September Brigjen Sugandhi telah
melaporkannya kepada Presiden. Menurut Sugandhi, informasi
ini diperolehnya sendiri dari Sudisman dan Aidit. Tetapi Sukarno
menuduhnya sebagai “Komunistofobia”. Keterangan dari Shri Bju
Patnaik juga menunjukkan bahwa Presiden telah mengetahuinya.
Patut ditambahkan di sini bahwa pemerintah Orde Baru telah
menyatakan Sukarno tidak terlibat di dalam peristiwa G30S/1965.
Dalam konteks ini Soeharto mengungkapkan bahwa terhadap Bung
Karno yang telah banyak jasanya kepada bangsa dan negara kita ha-
rus ‘mikul dhuwur mendem jero”.
Akhirnya ada teori yang mengatakan bahwa CIA terlibat. Hal ini
terutama dibentangkan dalam buku Willem Oltmans berjudul Dibalik
Keterlibatan CIA. Bung Karno Dikhianati? (Penerbit Aksara Karunia,
Jakarta, 2001). Kegiatan CIA di mana-mana sudah menjadi pengeta-
huan umum. Juga tentang kegiatannya di Indonesia banyak rumor
yang beredar. Buku Dokumen CIA. Melacak Penggulingan Soekarno
dan Konspirasi G30S-1965, yang diterbitkan oleh Hasta Mitra, Jakarta,
2002, bisa memberi keterangan lebih lanjut. Sejumlah memorandum
yang disampaikan ke Washington awal Oktober 1965 menunjukkan
bahwa mereka pun belum tahu dan masih mencari informasi tentang
seluk-beluk G30S.
Sebagai penutup kami meminjam teori konspirasi yang dikemuka-
kan oleh Robert Cribb. Menurut teori ini, (1) jika ada satu konspirasi,
www.facebook.com/indonesiapustaka

maka kemungkinan besar ada lebih dari satu konspirasi, karena situ-
asi memungkinkannya banyak orang terlibat dalam konspirasi; (2)
Sebagian besar dari konspirasi cenderung gagal, sebab organisasinya

126

01-TA-16x24-terakir.indd 126 1/30/2012 9:39:08 PM


ANTARA KONSPIRASI DAN KUDETA: UPAYA PENJELASAN TEORETIK

sulit diatur dan bersifat rahasia; (3) Yang menarik keuntungan dari
konspirasi yang gagal, bukanlah mereka yang merencanakannya,
melainkan mereka yang siap mengadakan respon cepat terhadap ke­
sempatan yang baru terjadi.
www.facebook.com/indonesiapustaka

127

01-TA-16x24-terakir.indd 127 1/30/2012 9:39:08 PM


BAB IV
PKI DI BALIK GERAKAN 30
SEPTEMBER 1965

Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

Pendahuluan
Ada sejumlah analis Barat yang mengemukakan berbagai versi terha-
dap peristiwa G30S 1965. Di antaranya ada versi yang menyebutkan
bahwa Gerakan 30 September merupakan persoalan internal
Angkatan Darat yang didalangi oleh sebuah klik, yang dipersiapkan
secara teliti. Analisis tersebut ditulis Ben Anderson, dalam karyanya
yang dikenal sebagai “Cornell Paper”, berjudul A Prelimenary Analysis
of the October 1, 1965; Coup in Indonesia, terbit di Ithaca, 1971; W. F.
Wertheim, Whose Plot? New Light on the 1965 Events; Coen Hotsapel,
The 30 September Movement, Amsterdam 1993. Teori ini bertentang­
an dengan kenyataan bahwa tanpa Sjam dan gerakannya yang tertu­
tup untuk membina hubungan dengan para perwira tentara, tidak
mungkin ada rekayasa politik dan militer untuk melancarkan G30S,
1965.
Kecurigaan dan permusuhan antara ABRI dan PKI amat keras.
Meskipun sempat mengalami perpecahan dengan adanya pembe-
rontakan PRRI/Permesta, namun kekompakan Kelompok Angkatan
www.facebook.com/indonesiapustaka

Darat tetap besar. Bahkan para perwira yang bentrok karena men-
dukung PRRI/Permesta, rata-rata bersikap anti komunis. Seandainya

128

01-TA-16x24-terakir.indd 128 1/30/2012 9:39:08 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

yang menjadi dasarnya ialah para perwira AD yang menjadi antek


CIA, justru mereka yang menghancurkan PRRI/Permesta yang nyata-
nyata didukung oleh AS-CIA. Demikian pula apabila kata ‘our army
local friends’ dalam Dokumen Gilchrist dipercaya sebagai dokumen
yang benar, bagaimana dengan pengakuan pihak Cekoslawakia yang
menyatakan bahwa dokumen tersebut palsu, karena mereka yang
membuatnya? Apabila yang menjadi landasan ialah pernyataan
Letkol Untung yang menyatakan bahwa para perwira telah mence-
markan Angkatan Darat, misalnya hidup mewah dan memperkaya
diri, adalah ironis. Sebab kenyataannya, kehidupan Nasution dapat
dikatakan puritan, mendekati Jenderal Soedirman. Kalau diban­ding
dengan gaya hidup Omar Dhani, maupun tokoh-tokoh PKI yang
ternyata juga berasal dari kalangan borjuis, Nasution tidak ada apa-
apanya. Bahkan dari pimpinan teras TNI AD ada yang belum memi-
liki rumah sendiri.
Versi lain menyatakan bahwa pelaku utama atau dalang G30S
adalah CIA yang bekerja sama dengan klik Angkatan Darat, untuk
memprovokasi PKI dengan penggulingan Sukarno. Pandangan ini
dikemukan oleh Peter Dale Scott, “US and the Overthrow of Sukarno,
1965-1967, dalam Pacific Affairs, 1985; Geoffrey Robinson, Some
Arguments of Concerning US Infuence and Complicity in the Indonesia
Coup of October 1, 1965. Menurut versi ini, dalam peristiwa G30S,
kepentingan AS sangat jelas, yakni jangan sampai Indonesia men-
jadi basis komunisme. Pada dekade 1960-an, AS mencemaskan teori
domino, bahwa komunisme Vietnam bisa bersambung dengan ko-
munisme Indonesia, sehingga menciptakan poros Jakarta-Peking


Rosihan Anwar, G30S/PKI, Gilchrist, dan CIA dalam Menguak Lipatan Sejarah, Jakarta:
Cidesindo, 1999, hlm. 43-48.

Ribka Tjiptaning Proletariyati, Aku Bangga Jadi Anak PKI,. Jakarta, Cipta Lestari, 2000,
hlm 1. Dr. Ripka Tjiptaning Proletariyati, adalah anak Raden Mas Soeripto Tjondro
Saputro (keturunan Pakubuwono), dan Bandoro Raden Ayu Lastri (keturunan
www.facebook.com/indonesiapustaka

Hamengkubuwono), aktivis PKI, selain berdarah bangsawan tinggi, juga memiliki sejum-
lah pabrik dan perusahaan di Surakarta. Dalam ‘kamus’ PKI disebut sebagai sisa-sisa
feodal dan borjuis.

Tuturan Anak-anak Pahlawan Revolusi Keluarga Korban, dan Saksi Peristiwa Dini Hari
1 Oktober 1965, Kunang-kunang Kebenaran di Langit Malam, Jakarta, Keluarga Pahlawan
Revolusi, 2002.

129

01-TA-16x24-terakir.indd 129 1/30/2012 9:39:08 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

(Beijing). Teori ini akan mendapatkan aspek empiriknya yang kuat


apabila ada pihak-pihak yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30
September, dapat membuktikan dan menyaksikan peranan dan ban-
tuan CIA dalam Peristiwa Gerakan 30 September. Apabila tidak ada
pihak-pihak yang mengakui dan menyaksikan bantuan CIA dalam
peristiwa 30 September, ibaratnya pernyataan itu bertepuk sebelah
tangan.
Karya Antonie C.A. Dake, In The Spirit of the Red Banteng,
Indonesia Communists Between Moscow and Peking, 2002; John
Hughes, The End of Sukarno, 1968, mengarah pada asumsi bahwa
Sukarno adalah pelaku utama G30S. John Huges dalam karyanya me-
nyatakan, meskipun Omar Dhani pada 28 September 1965, melapor-
kan kepada Presiden tentang adanya gerakan dari Dewan Jenderal,
tetapi Bung Karno menanggapi dengan menyatakan bahwa ia akan
mengambil keputusan terhadap hal tersebut pada tanggal 3 Oktober
1965. Tidak mustahil, persepsi Bung Karno tentang pengertian Dewan
Jenderal masih tetap berpegang kepada pernyataan Jenderal Ahmad
Yani pada akhir Mei 1965, bahwa yang ada adalah Dewan Jabatan
dan Kepangkatan Tertinggi (Wanjakti) di lingkungan Angkatan Darat.
Untuk menjernihkan masalah itu, Bung Karno berencana memanggil
Jenderal Ahmad Yani ke Istana pada 1 Oktober 1965. Namun, mo-
mentum itu ternyata dimanfaatkan oleh pihak G30S dengan menda-
huluinya, yaitu menghantam mereka yang dianggap sebagai Dewan
Jenderal.
Fakta lain yang memperkuat dugaan keterlibatan Sukarno dalam
G30S ialah adanya kesepadanan pernyataan Sukarno dalam meng­
atasi peristiwa G30S pada sidang kabinet tanggal 6 Oktober 1965,
dengan kebijakan yang digariskan oleh Aidit. Pernyataan tersebut
ternyata seirama dengan surat D.N. Aidit yang dikirim dari Blitar
tanggal 6 Oktober 1965. Selanjutnya Sukarno juga dianggap me-
www.facebook.com/indonesiapustaka

lindungi Omar Dhani ketika terdapat petunjuk kuat ia terlibat, atau

Ibid., hlm. 25.




Nasution, A.H, Menegakkan Kebenaran II, Djakarta, Seruling Masa, 1967, hlm. 71-72.


130

01-TA-16x24-terakir.indd 130 1/30/2012 9:39:08 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

setidak-tidaknya mengetahui terjadinya aksi-aksi G30S di Lubang


Buaya. Tatkala Sukarno di Halim Perdanakusuma menerima laporan
dari Brigjen Supardjo perihal “tindakan” yang mereka lakukan terha-
dap para jenderal Angkatan Darat, Sukarno tidak meminta keterang­
an perihal di mana para pimpinan TNI AD itu “disimpan”. Lebih dari
itu Sukarno justru menepuk bahu Supardjo yang dapat diartikan
sebagai pujian dan persetujuan atas tindakannya. Selanjutnya juga
dipertanyakan apakah dapat dibenarkan tindakan Sukarno menun-
juk Jenderal Pranoto Reksosamudro sebagai care-taker Menpangad
tanpa melewati prosedur internal yang telah menjadi tradisi TNI AD.
Dari beberapa bukti-bukti yang menunjukkan keterlibatan Sukarno,
ada pula tindakannya yang melemahkan dugaan itu, yaitu sikap pe-
nolakan Bung Karno untuk mendukung Gerakan 30 September, dan
memerintahkan agar Soepardjo menghentikan gerakannya untuk
menghindari pertumpahan darah.
Pandangan lain ialah tidak ada grand scenario, semua didomina-
si oleh improvisasi lapangan. Versi ini tercermin dalam karya yang
menga­cu pada teori chaos, antara lain, Manai Sophiaan, Kehormatan
Bagi yang Berhak, Oei Tjoe Tat, Memoir Oei Tjoe Tat; dan John D. Legge,
Sukarno: Sebuah Biografi Politik. Versi tersebut merupakan kombina-
si antar unsur-unsur Nekolim atau Negara Barat, pimpinan PKI yang
keblinger, serta oknum-oknum ABRI yang tidak benar. Apabila pan-
dangan ini diterima bahwa pada pertengahan 1965 Indonesia dalam
kondisi chaos, maka teori ini harus mampu membuktikan kekuatan-
kekuatan yang terlibat dalam G30S, mendapat bantuan dari luar nege­
ri, khususnya dari blok Nekolim atau negara-negara Barat. Pandangan
ini selain menisbikan kenyataan adanya rivalitas di kalangan PKI dan
Angkatan Darat, berarti juga tidak mengakui keberadaan tiga kekuat­
an politik, yaitu Presiden Sukarno,Angkatan Darat, dan PKI, di atas
pentas politik nasional setelah Dekret Presiden 5 Juli 1959. Adanya
pemimpin ABRI yang dianggap keblinger juga harus diklarifikasi,
www.facebook.com/indonesiapustaka

karena tokoh-tokoh puncak Angkatan Darat, seperti Ahmad Yani, ti-


“Dari Silaturahmi Antar anak Bangsa: Mengubur Luka Dendam Sejarah II” dalam Jawa


Pos, Selasa 9 Maret 2004. Lihat Nasution, A.H., ibid., hlm. 71-75.

131

01-TA-16x24-terakir.indd 131 1/30/2012 9:39:08 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

dak diragukan lagi kesetiaannya kepada Bung Karno, dan Nasution,


selain sikap hidupnya yang puritan juga peranannya sebagai arsitek
politik di kalangan Angkatan Darat tidak diragukan. Sikap kritisnya
terhadap Bung Karno yang didasari pada kemampuannya, sebenar­
nya tidak mengurangi loyalitasnya kepada Bung Karno.
Adapun keterlibatan tokoh-tokoh PKI yang memperalat unsur-un-
sur ABRI, melancarkan kudeta dengan tujuan menciptakan masyara-
kat komunis di Indonesia, merupakan suatu penulisan yang telah di-
kaji selama ini, di antaranya oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail
Saleh, Tragedi Nasional, Percobaan G 30 S/PKI di Indonesia (1968);
Aristides Katoppo dan kawan-kawan, Menyingkap Kabut Halim 1965
(1999); Atmadji Soemarkidjo, Mendung di atas Istana Merdeka (2000).
Di samping itu kesaksian-kesaksian orang-orang sezaman, seperti tu-
lisan Sulastomo, Hari-hari yang Panjang 1963-1966 (2000), Biografi
tentang Tengara Orde Baru: Kisah Harry Tjan Silalahi; penulis: J. B.
Soedarmanta (2004). Surat-Surat Politik Iwan Simatupang 1964-1966;
LP3ES, (l986) merupakan karya-karya merepresentasikan gambaran
situasi saat itu, dapat membantu memahami kejadian G30S dengan
baik. Pendapat ini menyatakan bahwa berdasarkan bukti-bukti dari
perilaku PKI, mulai dari peristiwa 1948, sederetan aksi-aksi dan ke-
giatan-kegiatan yang dilancarkan oleh pihak komunis dan sekutu-
sekutunya, antara 1959-1965, hingga menjelang meletusnya G30S
yang diperkuat oleh data-data peradilan para tokoh partai dalam
Mahmillub, diyakini bahwa partai tersebut bertanggung jawab atas
gerakan pada bulan akhir September 1965.
Munculnya berbagai interpretasi tentang versi siapa yang berada
di belakang peristiwa gerakan 30 September 1965 tersebut, mencer-
minkan adanya perbedaan penggunaan sumber. Salah satu karakte­
ristik analisis-analisis yang dikemukakan dalam berbagai karya yang
menafikan peranan PKI, karena kajiannya dimulai dari tahun 1965.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Padahal tidak mungkin diingkari bahwa peristiwa tersebut berada di


luar konteks hukum sebab-akibat atau determinisme. Dalam hal ini
peristiwa G30S, PKI merupakan kulminasi dari peristiwa dialektik

132

01-TA-16x24-terakir.indd 132 1/30/2012 9:39:08 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

berbagai kekuatan sosial politik, dalam situasi yang penuh gejolak,


khususnya pada dasawarsa 1960-an. Dari segi sejarah perjuangan
PKI sendiri, yaitu mulai persiapan yang dilancarkan, beranjak dari
visi dan misi yang difokuskan dan dikembangkan oleh partai dalam
bentuk self kritik, strategi, dan kebijakan yang harus dijalankan se-
cara ketat, yang kemudian mendapatkan justifikasi dalam mekanisme
partai. PKI juga mengimplementasikan rumusan yang dicapainya
dalam bentuk aksi-aksi sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan.
Selanjutnya didiskusikan oleh segenap jajaran partai, diupayakan
solusi yang dipandang sesuai dengan realitas serta aspirasi masyara-
kat, serta diujicobanya kebijakan-kebijakan itu dengan cara menye-
suaikan atau bahkan memanfaatkan kebijakan pemerintah untuk ke-
pentingan mereka. Untuk keperluan itu PKI dengan tekun dan tiada
henti-hentinya menyusun konsep, metode, penentuan kekuatan sosi­
al-politik yang harus dirangkul sebagai sekutu, dan siapa lawan yang
harus dibasmi, dilakukan oleh PKI tanpa mengenal lelah. Proses aksi-
aksi PKI di atas ternyata koherens dengan aksi-aksi yang dilancarkan-
nya, baik pada periode prolog maupun epilog Gerakan 30 September
1965.
engusutan hubungan sebab akibat dalam peristiwa Gerakan 30
P
September 1965, tidak mungkin dilakukan terbatas dalam dimensi
sinkronik, seperti sosiologi, antropologi, politik, dan sebagainya, yai-
tu pengusutan hubungan antar fakta hanya pada saat kejadian. Sesuai
dengan karakteristik ilmu sejarah yang bersifat diakronis, maka juga
harus dicari hubungan sebab-sebab antara Gerakan 30 September
1965 dengan rentetan peristiwa sebelumnya, sebagai neccesarry con-
ditions. Langkah pengusutan hubungan itu merupakan hal yang tidak
dapat diabaikan. Memang, apabila dalam membahas atau mengkaji
peristiwa Gerakan 30 September 1965, hanya dicomot dari tragedi
yang meletus pada 30 September 1965, tanpa memperdulikan unsur
www.facebook.com/indonesiapustaka

Yahaya Ismail, Pertumbuhan, Perkembangan dan Kejatuhan Lekra di Indonesia (Suatu




Tinjauan dari Aspek Sosio-Budaya), Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka
Kementerian Pelajaran Malaysia, 1972. Lihat: D.S. Moeljanto & Taufiq Ismail, Prahara
Budaya, Kilas balik Ofensif Lekra/PKI, dkk, Jakarta: Mizan dan Harian Republika, 1995.

133

01-TA-16x24-terakir.indd 133 1/30/2012 9:39:09 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

sebab akibat dalam bentuk rangkain kejadian-kejadian sebelumnya,


terutama perilaku PKI, maka yang tampak ialah pandangan yang me-
nyatakan bahwa PKI sebagai pihak yang dizalimi. Akan tetapi bila
peristiwa Gerakan 30 September 1965, ditelusuri secara kronologis
sejak keberadaan PKI di Indonesia, maka berdasarkan sumber-sum-
ber yang ada dan fakta-fakta yang direkamnya, dugaan bahwa PKI ter-
libat dalam Gerakan 30 September 1965 bukanlah hal yang mustahil.
Selanjutnya guna memahami terjadinya Gerakan 30 September 1965,
dalam hubungannya dengan keterlibatan para pimpinan PKI juga per-
lu dipahami setting sosial, budaya, dan politik, yang berkembang di
Indonesia sekitar 1965. Pada tahun-tahun tersebut iklim sosial, buda-
ya, dan politik, dapat dikatakan bahwa politik dan perdebatan umum
selalu mengandung unsur ketidakbenaran dan ketiadaan ba­han bukti
faktual, adanya unsur pemutarbalikan “Peristiwa Kanigoro”, Kediri,
13 Januari 1965; “Peristiwa Utrecht” di Jember, 1963; Dokumen
Gilchrist, persekongkolan, sikap bermuka dua, serta insinuasi yang
tidak berdasar, dan hal-hal lain yang makin jelas serta parah selama
1964, dan terutama 1965.
pakah G30S merupakan rencana final PKI dalam mewujudkan
A
cita-citanya lewat perebutan kekuasaan? Berdasarkan bukti-bukti
bangkitnya kembali perlawanan bersenjata yang dilancarkan di Blitar
Selatan tahun 1968, peristiwa Grobogan (1969), Klaten (1969), dan
munculnya kelompok-kelompok yang menamakan dirinya sebagai
CC PKI pasca 1965, baik yang bergerak di dalam negeri maupun di
negara-negara lain, membuktikan bahwa peristiwa G- 30-S selain be-
lum sebagai perjuangan terakhir, pelakunya adalah PKI, paling tidak
para pimpinannya.

Situasi dan Kondisi Pra-Gerakan Sebagai Necessary Conditions:


PKI/BTI membakar Jawa dan Bali dengan Aksi-aksi Sepihak
www.facebook.com/indonesiapustaka

Ditangkapnya para pelaku penculikan dan pembunuhan yang kemu-


dian diserahkan kepada Kostrad/Kopkamtib, dan kesaksian Sukitman
dalam menemukan lokasi sumur Lubang Buaya sebagai tempat pengu­

134

01-TA-16x24-terakir.indd 134 1/30/2012 9:39:09 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

buran jenazah para jenderal, telah memberikan petunjuk kuat terli-


batnya PKI dalam Peristiwa G30S. Persoalan itu tidak mungkin dapat
dipahami hanya melihat tragedi 1965 itu dari sepenggal kejadian
tanggal 30 September 1965, tetapi harus ditelusuri pada kejadian-ke-
jadian sebelumnya, khususnya konflik antara PKI dan para pendu-
kungnya dengan orang-orang Islam.
Konflik-konflik itu memperlihatkan pergulatan politik dan fisik
antara kekuatan komunis dan lawan-lawannya, seperti kelompok-
kelompok Islam, Angkatan Darat, PSI, Partai Murba, para seniman
non-komunis. Konflik-konflik itu menyeruak antara lain dalam ben-
tuk aksi-aksi tuntutan pembubaran HMI, pelarangan Manikebu, BPS,
juga upaya-upaya PKI untuk memobilisasi massa komunis lewat
pelaksanaan UUPA atau landreform melalui aksi-aksi sepihak. Aksi-
aksi penyitaan terhadap pemilikan tanah, secara politis dan eko-
nomis merupakan pukulan paling berat bagi kalangan kaum santri.
Sebagian besar yang menjadi sasaran aksi-aksi PKI adalah golongan
tuan tanah, selain dari kalangan yang terhimpun dalam berbagai or-
ganisasi Islam, juga dari kalangan tradisional PNI. Sengitnya perla-
wanan orang-orang Islam, dan golongan yang condong kepada PNI,
terhadap aksi-aksi PKI/BTI untuk menyita tanah-tanah mereka, harus
dilihat dalam konteks struktur agraria di Indonesia. Kenyataannya,
di Jawa-Bali tidak terdapat pemilikan tanah yang berlebih-lebihan se-
cara perorangan. Lagi pula juga tidak sedikit dari mereka yang diang-
gap sebagai tuan-tuan tanah, secara menyakitkan oleh PKI dijuluki
sebagai “setan-setan desa”.
ampanye aksi-aksi sepihak yang dahsyat dan paling meluas di-
K
lancarkan oleh PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Di provinsi
ini kaum santri dan kaum abangan yang terhimpun dalam PNI, ter-
utama di Bali, bersatu padu melawan serangan kaum komunis. Di
Jawa Tengah, yang golongan Islamnya lemah, PKI sedemikian rupa
www.facebook.com/indonesiapustaka


MP Tjondronegoro, Dua Abad Penguasaan Tanah, Pola-pola Penguasaan Tanah di Jawa
dari Masa ke Masa, Jakarta: Gramedia, 1984.

D.N. Aidit, Kaum Tani Mengganjang Setan-setan Desa (Laporan singkat tentang hasil-ha-
sil riset mengenai keadaan kaum tani dan gerakan tani di Djawa Barat), 19674. Djakarta,
Jajasan Pembaruan.

135

01-TA-16x24-terakir.indd 135 1/30/2012 9:39:09 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

kerasnya menekan lawan-lawan politiknya, hingga pada 6 Juni 1964,


harian PNI, Suluh Indonesia, menulis bahwa aksi-aksi sepihak yang
dilancarkan oleh pihak komunis menyebabkan ketegangan antara
partai itu dengan PKI. Kelompok petani komunis yang agresif dalam
melan­carkan aksi sepihak itu oleh PNI dicap sebagai “kontra revo­
lusi”. PNI juga menuduh bahwa PKI telah mengimplementasikan
doktrin komunis dengan memanfaatkan pelaksanaan landreform un-
tuk melancarkan revolusi sosial dalam bentuk revolusi agraria dan
revolusi komunis.10 PKI menghantam lawan-lawannya lewat gerak­
an aksi sepihak melalui landreform. Strategi tersebut tidak lepas
dari doktrin partai komunis, bahwa tujuan utamanya ialah merebut
kekuasaan guna mewujudkan masyarakat komunis, baik melalui cara
parlementer maupun revolusioner. Untuk itu mereka menciptakan
jargon “kawan” bagi teman seperjuangannya, dan “lawan”, bagi yang
dianggap sebagai musuh-musuhnya. Guna menerapkan cara-cara
revolusioner, lebih dahulu mereka menciptakan suasana kondusif se-
hingga aksi-aksi tersebut dapat dilaksanakan. Misalnya dengan men-
ciptakan pertentangan antar klas atau antargolongan.
Pihak komunis yang semula menuntut perubahan pemerintahan
berdasarkan perimbangan kekuatan Pemilu 1955/1957, kemudian
menekan pemerintah serta lawan-lawan politik mereka dengan aksi-
aksi teror agar tuntutannya terpenuhi. Dalam hal ini pihak komu-
nis melancarkan aksi resolusi dan tuntutan, corat-coret, aksi tunjuk
hidung dan retool, aksi kirim telegram, aksi demonstrasi, aksi rapat
raksasa, aksi ambil alih, aksi sepihak, aksi memecah belah, aksi pene­
trasi dan infiltrasi, dan aksi utusan atau delegasi. Selama tahun-ta-
hun 1963-1965 atmosfer perpolitikan nasional, khususnya di Jawa
Timur, diwarnai dengan berbagai aksi-aksi komunis.11 Untuk mema-

Harian Suluh Indonesia, 6 Juni 1964.


10

Trompet Masjarakat, 11, 14, 15, 16, 18, 19, 20, 21, 23, 25, 27, 28, 29, 30 Mei 1964; 4, 5, 6, 11,
11
www.facebook.com/indonesiapustaka

12, 13, 15, 17, 18, 19, 22, 25 Juni dan 2 Juli 1964. Dalam kasus pembunuhan di Balongbendo,
Krian, Jawa Timur, pihak komunis melakukan aksi tunjuk hidung, dengan menuduh
HMI sebagai dalang/pelakunya. Surat kabar resmi PKI, Harian Rakjat, 6 Februari 1965
dengan ngawur melakukan aksi tunjuk hidung bahwa dalang Peristiwa Kanigoro, 13
Januari 1965, adalah Sjamlan, tokoh Masyumi dari Tulungagung. Lihat A. Anis Abiyoso
(kesaksian-pelaku sejarah), “Peristiwa Kanigoro Kediri” dalam Tim Cidesindo, Membuka

136

01-TA-16x24-terakir.indd 136 1/30/2012 9:39:09 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

hami hubungan antara PKI dengan kudeta yang dilakukannya pada


tahun 1965, juga perlu dilacak perkembangan sejarah partai itu sendi­
ri. Sejak PKI dibentuk kembali tahun 1951, partai itu dengan lantang
menyatakan bahwa Revolusi 17 Agustus 1945 belum selesai atau
gagal.12 Alasannya bahwa kekuasaan negara dan alat-alat produksi
masih dipegang kelas borjuis dan sisa-sisa feodal. PKI menyatakan
bahwa kondisi Indonesia masih setengah jajahan.13 MH. Lukman,
seorang ideolog CC PKI menyatakan untuk menyelesaikan Revolusi
17 Agustus 1945 sampai ke akar-akarnya harus dilanjutkan dengan
revolusi tahap kedua, yaitu revolusi sosial. Sehubungan kondisi
Indonesia sebagai negeri agraris, maka sebagian besar faktor produksi
sebagai basis ekonomi rakyat juga masih dalam bentuk tanah perta-
nian. Jadi revolusi sosial yang akan dicetuskan oleh PKI lewat landre-
form secara radikal adalah revolusi agraria. Sebagai ancang-ancang,
gerakan revolusioner yang bakal dilancarkan, pada tahun 1957 CC
PKI telah menerbitkan pedoman berjudul ABC Revolusi Indonesia,
sebagai buku teks atau buku “wajib” bagi kader-kader PKI di kabu-
paten, kecamatan dan di desa yang bertugas menjadi ujung tombak
PKI yang berhadapan langsung dengan massa rakyat. Menurut pan-
dangan PKI, revolusi Indonesia pertama ialah revolusi Agustus 1945,
revolusi kedua ialah revolusi agraria sebagai bentuk revolusi sosial,
dan ketiga revolusi untuk mewujudkan masyarakat komunis.14 Dalam
konteks tersebut atmosfer politik di Indonesia pada tahun 1960-1965,
PKI menyelinapkan jargon-jargon “revolusi belum selesai”,”tuntaskan
revolusi Agustus 1945 sampai ke akar-akarnya”. Kelompok-kelompok

Lipatan Sejarah, Menguak Fakta Gerakan PKI, Jakarta, Pustaka Cidesindo, 1999, hlm.
69-82. A. Anis Abiyoso adalah Ketua Panitia Mental Training PII (Pelajar Islam Indonesia)
yang diselenggarakan oleh Pimpinan Wilayah PII Jawa Timur di Kanigoro Kediri, tahun
1965.
12
M.H. Lukman, Apa Sebab Ravolusi Agustus 1945 Belum Selesai?. Djakarta, Jajasan
Universitas Rakjat, hlm. 1-3. Kempen, Anggaran Dasar Partai Komunis Indonesia,
Disahkan Kongres Nasional IV tahun 1947 di Surakarta ; Depagitprop CC PKI, Garis
www.facebook.com/indonesiapustaka

Besar program PKI, Djakarta, 1951.


13
D.N. Aidit, Revolusi Indonesia dan Tugas-tugas Mendesak PKI, Peking: Pustaka Bahasa
Asing, 1964, hlm. 63. Lihat Sudisman, 43 Tahun Partai Komunis Indonesia, Djakarta,
Pembaruan, 1964, hlm. 5.
14
Departemen Agitasi dan Propaganda CC PKI, ABC Revolusi Indonesia, Djakarta,
Depagitprop, 1957,hlm. 11-24.

137

01-TA-16x24-terakir.indd 137 1/30/2012 9:39:09 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

yang tidak sepaham diberi stigma sebagai “kontra revolusi”. Bahkan


dengan dalih untuk menyelesaikan revolusi Indonesia Bung Karno
juga dinobatkan sebagai Pemimpin Besar Revolusi (PBR).
Untuk menyelesaikan Revolusi Agustus sampai ke akar-akarnya,
diperlukan wadah untuk menghimpun, mempersatukan, menggerak-
kan dan menggelorakan kekuatan revolusioner yang harus dikuasai
oleh PKI dalam bentuk front pesatuan nasional. MH Lukman, salah
seorang pimpinan puncak PKI, menggagas adanya Front Persatuan
Nasional. Bertepatan dengan meningkatnya kampanye dan pengaruh
PKI di bidang sosial politik, dan kesesuaian paham tentang hakikat
revolusi antara Bung Karno sebagaimana tercermin dalam Manifesto
Politik dan revolusi “model” PKI, ide Lukman tentang perlunya Front
Persatuan Nasional sebagai kawah “candradimuka” kekuatan revo­
lusioner Indonesia, kemudian terwujud dengan diubahnya Front
Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB) menjadi Front Nasional
(FN).15 Lembaga Front Nasional, mulai dari pusat sampai di daerah-
daerah kemudian berkembang menjadi instrumen politik PKI yang
efektif. Lembaga penanggung jawab pelatihan sukwan-sukwati di
Lubang Buaya yang diselenggarakan pada Mei-September 1965 selain
sebagai penyelenggara juga yang memanfaatkan alumninya dalam
Front Nasional.16
asaran-sasaran aksi sepihak yang dilancarkan oleh PKI/BTI se-
S
lain tanah-tanah luas yang melebihi ketentuan, absentee, perkebun­
an asing yang dinasionalisasikan, dan tanah-tanah kehutanan. Di
Jawa Barat yang luas hutan lindungnya tinggal sekitar 18,2% dari
luas provinsi, PKI/BTI melancarkan aksi pembabatan besar-besaran
di kabupaten Tasikmalaya dan Indramayu dengan menyerang petu-
gas kehutanan. Dalam kedua kasus itu, pihak keamanan menangkapi
petugas dan aktivis PKI/BTI.17 Pada transisi tahun 1964/1965, PKI/
BTI secara serentak melancarkan aksi-aksi sepihak hampir di seluruh
www.facebook.com/indonesiapustaka

15
M.H. Lukman, Tentang Front Persatuan Nnasional, Djakarta, Jajasan Pembaruan, 1962.
16
Sulami, Perempuan-perempuan dan Penjara, Jakarta, Cipta Lestari, 1999, hlm. 1-3.
17
Justus M. van der Kroef, “Indonesian Communism,s ‘Revolutionary Gymnastics’, dalam
Asian Survey, Vol. No. 5 Mei 1965, hlm. 221.

138

01-TA-16x24-terakir.indd 138 1/30/2012 9:39:09 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

Jawa dan Bali. Di Jawa Timur, aksi-aksi sepihak terjadi di Kabupaten


Ngawi, Magetan, Madiun, Ponorogo, Kediri, Trenggalek, Tulungagung,
Blitar, Nganjuk, Jombang, Malang, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo,
Lumajang, Jember, Bondowoso, Situbondo, Banyuwangi, Bojonegoro,
Tuban, dan Bojonegoro.18 Di Jawa Tengah, aksi sepihak yang dilancar-
kan PKI/BTI difokuskan di Boyolali, Grobogan, dan Klaten.19
Maraknya aksi-aksi sepihak yang mengancam integrasi nasional
ditanggapi oleh pemerintah dengan menyelenggarakan Konferensi
Bogor, tanggal 12 Desember 1964. Konferensi tersebut memutuskan
agar PKI/BTI menghentikan aksi-aksi sepihak yang mereka lancarkan.
Walaupun demikian, perintah itu tidak dihiraukan dengan alasan
PKI tidak terikat dengan keputusan itu. Di berbagai tempat, antara
lain di Mantingan Jawa Timur, dan Losari di perbatasan Jawa Tengah
dan Jawa Barat, PKI/BTI melancarkan aksi-aksi sepihak, terutama
terhadap lawan-lawan politiknya dengan menteror kekuatan kontra
revolusi dan sisa-sisa Masyumi dan DI/TII. Di Mantingan, tindakan
PKI pada Mei 1965 berusaha mengambil paksa tanah wakaf Pondok
Modern Gontor seluas 160 hektar, telah menimbulkan kegusaran di
kalangan pejabat setempat dan membangkitkan kemarahan berbagai
kalangan umat Islam. Tidak kurang KH. Idham Khalid, Ketua Umum
PB NU, alumni Gontor, dengan segala kemampuannya membela ke-
pentingan Pondok Modern Gontor.20
ebelumnya, pada April 1965, aksi-aksi PKI/BTI di Losari telah
S
menyebabkan terjadinya tindakan-tindakan kekerasan dan perusakan
besar-besaran terhadap harta benda orang-orang Islam.21 Pada bulan
itu pula, aktivis PKI/BTI membunuh seorang perwira pertama ABRI,
yaitu Pelda Sujono, yang berusaha menghentikan penyerobotan tanah
18
Trompet Masyarakat, 14, 18, 20, 24 Djanuari; 10, 18, 19, 20 Februari; 6, 7, 9 Maret; 15, 28
April; 4, 5, 8, 23, 27 Mei; 4, 9, 19 Djuni; 1 Djuli; 1, 2 Oktober; 5, Agustus; 14, 18, 23, 27
November; 7, 13, 15,17, 31 Desember 1964; 17, 18, 19 Februari 1964; Suratkabar Djalan
Rakjat, 6 November, 1964; 20 Februari 1965. Surat kabar Harian Rakyat, 6 Februari; 1
www.facebook.com/indonesiapustaka

Maret; 1965.
19
Pusat Penelitian Studi dan Studi Kawasan, Keresahan Pedesaan pada Tahun 1960-an,
Jakarta, Yayasan Pancasila Sakti, 1982, hlm. 82.-73.
20
Pusat Penelitian Studi dan Studi Kawasan, Keresahan Pedesaan pada Tahun 1960-an,
Jakarta, Yayasan Pancasila Sakti, 1982, hlm. 82.-73.
21
Harian Fikiran Rakjat, 6 Mei 1965.

139

01-TA-16x24-terakir.indd 139 1/30/2012 9:39:09 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

perkebunan di Bandar Betsy, Sumatra Utara.22 Sikap yang sama sekali


tidak mengindahkan Deklarasi Bogor yang diperlihatkan oleh PKI/
BTI, pada kenyataannya secara luas telah meningkatkan kekerasan
dalam aksi-aksi sepihak telah mendorong musuh-musuh PKI bersa-
tu. Dari kalangan ABRI, tidak kurang Men/Pangad Jenderal A. Yani,
menuntut agar mereka yang terlibat dalam peristiwa Bandar Betsy
diadili. Sikap tegas Yani didukung sepenuhnya oleh segenap organi­
sasi Islam, Katolik, dan Protestan. Gerakan pemuda Ansor wilayah
Jawa Barat, menamakannya dengan “teror Losari”. Kekuatan non-ko-
munis itu dengan keras menyatakan kesediaannya untuk melakukan
“Perang Jihad” terhadap komunis. Sebuah konferensi Pemuda Islam
di Bandung memutuskan untuk ikut melakukan perjuangan meng-
hancurkan “kaum atheis jahanam” dan ideologi Nekolim.23
Aksi-aksi PKI/BTI di berbagai daerah telah membakar kemarahan
umat Islam dan kelompok tradisional yang terhimpun dalam PNI,
khususnya di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bali. Ditambah dengan
sepak terjang orang-orang komunis di berbagai daerah melalui lem-
baga kesenian Lekra, baik lewat seni tradisional ketoprak ataupun tea­
ter, membuat kemarahan umat Islam meledak. Dalam hal ini mereka
menayangkan lakon Patine Gusti Allah.24 Melalui pendidikan, orang-
orang komunis yang menjabat sebagai guru, secara sistematis juga
menanamkan ajaran bahwa Tuhan sebagai pencipta itu sebenarnya
juga tidak ada.25 Perbuatan biadab lainnya yang menyulut kegeraman
dan kemarahan umat Islam ialah Peristiwa Kanigoro, Kediri, Januari
1965. Di tengah-tengah suasana ibadah puasa umat Islam dikejutkan
oleh tindakan PKI/BTI yang menangkapi peserta mental Training
Pelajar Islam Indonesia (PII) dengan tuduhan sebagai kegiatan kon-

22
Ibid., 24 Mei 1965.
23
Ibid., 5 dan 6 Mei 1965.
24
Husain Haikal, “Pengantar”, dalam Inajati Adrisijanti, Arkeologi Perkotaan Mataram
www.facebook.com/indonesiapustaka

Islam, Yogyakarta, Jendela, 2000, hlm. ix-xxxi. Lihat: Aminuddin Kasdi, Kaum Merah
Menjarah Aksi Sepihak PKI/BTI di Jawa Timur 1960-1965, Yogyakarta: Jendela, 2001, hlm.
1-96.
25
Robert Gribb, The Indonesian Killings Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966,
Yogyakarta: Penerbit Mata Bangsa bekerjasama dengan Syarikat Indonesia, 2003, hlm.
v-xxvii.

140

01-TA-16x24-terakir.indd 140 1/30/2012 9:39:09 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

tra revolusi yang didalangi oleh M. Syamlan, tokoh Masyumi dari


Tulungagung. Dengan brutal orang-orang komunis tersebut, di pagi
buta subuh, 13 Januari 1965, selain memasuki tempat ibadah tanpa
melepas alas kakinya yang penuh lumpur juga memasukkan kitab
suci Al-Qur’an dan menginjak-injaknya.26

Masalah Pembentukan Angkatan ke-5


Menjelang pertengahan tahun 1965 PKI, gagal menunggangi pelaksa-
naan UUPA atau landreform sebagai ujicoba revolusi sosial yang dis-
kenariokan menjadi revolusi agraria, dan test case kekuatan fisik
kaum komunis dengan kekuatan lawan-lawannya di pedesaan Jawa-
Bali. Dengan perantaraan revolusi sosial, PKI melakukan pemanasan
kekuatan revolusioner untuk mengukur kemampuan fisik atau mi-
liternya guna menghadapi serta mengganyang “setan-setan desa dan
setan-setan kota”, kelompok-kelompok yang dianggap musuh revolu-
si. Dalam konteks inilah pada dasawarsa 1960-an atmosfer perpoli­
tikan Indonesia dijejali dengan “jargon-jargon” revolusi belum
selesai.
alam pelaksanaan UUPA kekuatan PKI berhadapan dengan ke-
D
lompok Islam dan kelompok tradisional, dalam hal ini PNI. Dari ber-
bagai konflik fisik kedua pihak, terbukti bahwa kekuatan PKI di pede-
saan ternyata tidak mampu menghadapi amuk fisik lawan-lawan­nya.
Menyadari keterbatasan kekuatannya dalam pengerahan massa se-
cara besar-besaran untuk mecapai tujuan partai, yaitu mengomunis-
kan Indonesia, PKI kemudian mengubah strategi, yaitu memperoleh
kekuatan melalui keputusan di tingkat nasional. Dalam hal ini, PKI
secara lihai memanfaatkan tawaran bantuan 100.000 pucuk senjata
ringan RRC kepada Presiden Sukarno pada November 1964, untuk
mempersenjatai sukarelawan atau massa. Bahkan menurut bualan
Subandrio, jumlah senjata yang ditawarkan oleh RRC cukup untuk
www.facebook.com/indonesiapustaka

Anis Abiyoso, “Peristiwa Kanigoro Kediri”, dalam ‘Membuka Lipatan Sejarah, Menguak
26

Fakta Gerakan PKI ”, Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1999, hlm. 69-82.

141

01-TA-16x24-terakir.indd 141 1/30/2012 9:39:09 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

mempersenjatai 40 batalion.27 Berdasarkan kenyataan itu, Bung Karno


melemparkan gagasan tentang pembentukan suatu angkatan, di luar
Angkatan Darat, Laut, Udara, dan Kepolisian. Angkatan, yang diper-
senjatai serta dapat dikendalikannya secara langsung. Momentum itu
dimanfaatkan PKI dengan menuntut pembentukan Angkatan ke-5,
yang terdiri dari buruh dan tani yang dipersenjatai. Bertepatan se-
bulan sebelumnya, yaitu pada Oktober 1964, Ketua BTI Asmu juga
telah mengajukan tuntutan agar anggota-anggotanya yang berjumlah
8,5 juta orang dipersenjatai.28
agasan di atas sesungguhnya telah dituangkan Aidit dalam ke-
G
bijakan partai “Djalan ke Demokrasi Rakjat bagi Indonesia” (1953).
Dalam konsep itu, Aidit menyatakan bahwa PKI akan mencapai tu-
juannya, baik menempuh jalan parlementer maupun revolusioner.
Untuk itu PKI memerlukan kekuatan bersenjata, di samping juga
kekuatan politik. Upaya PKI memiliki kekuatan bersenjata diper-
juangkan dengan cara mempersenjatai kekuatan di luar ABRI, yaitu
kekuatan dari buruh dan tani.29 Gagasan PKI untuk memiliki kekuat­
an bersenjata yang dapat dikendalikan sendiri, ternyata paralel de­
ngan konsep pembentukan Angkatan ke-5.
ada tanggal 14 dan 17 Januari 1965, D.N. Aidit, di depan sidang
P
Front Nasional, menegaskan perlunya mempersenjatai massa untuk
menghadapi Nekolim. Aidit menyatakan bahwa tidak kurang dari 5
juta orang buruh dan 10 juta petani yang terorganisasi sudah siap un-
tuk berjuang mengangkat senjata.30 Dengan pernyataan terbuka itu,
PKI telah melanggar “pagar” yang dibangun oleh ABRI. Sejak hari-
hari pertama perjuangan kemerdekaan, kelompok-kelompok bersen-
jata dibentuk secara spontan oleh berbagai kekuatan sosial politik.
Dalam hal ini ABRI bersikap waspada terhadap berbagai organisasi

27
H. Subandrio, Keaksianku tentang G30S, Jakarta: Forum Pendukung Refomasi Total,
www.facebook.com/indonesiapustaka

2001. hlm. 10.


28
Polomka, P., The Role of the Miltary in Indonesian Foreign Policy, Melbourne, Ph. D. Thesis
Melbourne University, 1973, hlm. 194-235.
29
D.N. Aidit, Djalan ke Demokrasi Rakjat bagi Indonesia, Pidato diutjapkan dalam Sidang
Pleno CC PKI, Oktober 1953, Djakarta: Jajasan Pembaruan, 1953. hlm. 4-27.
30
Bulletin Antara 14 dan 17 Januari 1965; Harian Rakjat 19 Januari 1965.

142

01-TA-16x24-terakir.indd 142 1/30/2012 9:39:09 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

kelaskaran, yang beberapa di antaranya berafiliasi, dan malah ada


yang menjadi pressure group partai-partai politik tertentu. Persoalan
itu mengingatkan para perwira pada kasus ‘pepolit (perwira poli-
tik)’ yang dibentuk oleh Amir Syarifuddin ketika menjabat sebagai
Menteri Pertahanan (1947).31
Menurut Kolonel Sarwo Edhie, mempersenjatai kaum buruh, ta­
ni, dan unsur masyarakat lain dalam bentuk Angkatan ke-5, sama
hal­nya dengan menciptakan kelemahan seperti yang pernah terjadi
pa­da masa lampau.32 Men/Pangad Letjen Ahmad Yani dengan sa­ngat
hati-hati dalam berbagai kesempatan menjawab tantangan Aidit.
Menurut Achmad Yani, konsep Angkatan ke-5 berbeda-beda di setiap
negara. Di Uni Soviet, Angkatan ke-5 adalah satuan peluru kendali,
di AS berbentuk Korps Marinir, sedangkan di Indonesia adalah AKRI
(Angkatan Kepolisian Republik Indonesia). Karena itu menurut Yani,
jumlah angkatan atau matra, atau spesialisasi mana yang menjadi
angkatan itu sangat relatif, bisa kepolisian ataupun juga marinir atau
satuan roket.33
etelah melalui pengkajian mendalam yang dilakukan oleh Mayjen
S
S. Parman, Brigjen Soetojo Siswomihardjo, yang dibantu Mayjen
Soeprapto, M.T. Mayjen Harjono, dan Brigjen D.I. Panjaitan, selanjut-
nya Letjen Achmad Yani secara tegas menyatakan ketidaksetujuan-
nya atas usul Aidit perihal pembentukan Angkatan ke-5. Ahmad Yani
berpendapat bahwa pembentukan Angkatan ke-5 seperti digagas oleh
ketua CC PKI itu tidak efisien, karena telah dibentuk pula Pertahanan
Sipil (Hansip) yang mampu menampung semacam laskar-laskar terse-
but. Bahkan di lingkungan perguruan tinggi juga dibentuk Resimen
Mahasiwa (Menwa). Presiden Sukarno akhirnya mempertimbangkan
keberatan yang diajukan oleh Jenderal Yani, tetapi juga tidak ingin
mempermalukan D.N. Aidit. Hal itu terbukti dalam pidato kenegara-
www.facebook.com/indonesiapustaka

31
Maksum dkk., (Tim Jawa Pos), Lubang-lubang Pembantaian Petualangan PKI di Madiun,
Jakarta: Grafiti, 1988, hlm. 814.
32
Aristides Katoppo dkk, Menyingkap Kabut Halim 1965, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2000, hlm. 38-39.
33
Amelia Yani, Profile Seorang Prajurit TNI, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1988.

143

01-TA-16x24-terakir.indd 143 1/30/2012 9:39:09 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

annya pada 17 Agustus 1965, Presiden Sukarno menyinggung perde-


batan sengit mengenai gagasan tadi:

“Saya mengucapkan terima kasih atas semua dukungan yang di-


berikan kepada gagasan saya. Kita harus selalu berangkat dari fak-
ta-fakta. Faktanya ialah bahwa Neokolonialisme, Kolonialisme, dan
Imperialisme (Nekolim) membidikkan ujung pedangnya dan laras
senapannya terhadap kita. Kenyataannya ialah bahwa pertahanan
Negara menuntut usaha maksimum dari kita semua, sementara artikel
30 UU 45 kita mengatakan: ”Setiap warganegara harus punya hak dan
kewajiban untuk ikut mempertahankan Negara.” Sesudah memper-
timbangkan baik-baik masalah ini, saya akan mengambil keputusan
mengenai hal ini dalam kapasitas saya sebagai Panglima Tertinggi
Angkatan Bersenjata.”

Yang menarik perhatian, meskipun KSAB Jenderal A.H. Nasution,


dan Men/Pangad Letjen A. Yani, yang juga Kepala Staf KOTI, dengan
jelas menolak, tetapi pihak AURI justru menyambut baik gagasan
pembentukan Angkatan ke-5. Dalam hal ini Men/Pangau Omar
Dhani menyarankan kepada para panglima angkatan, agar ABRI
segera membahas gagasan Bung Karno tentang Angkatan ke-5.
Dikhawatirkan apabila pimpinan ABRI tidak segera memberikan
jawaban, Bung Karno akan bertanya dan meminta konsep kepada
partai politik. Dalam rapat di kantor Staf Angkatan Bersenjata (SAB),
Omar Dhani melihat bahwa di bagan organisasi SAB hasil kajian
Dewan Penelitian dan Pengembangan Doktrin SAB, terdapat kotak
Komando Pertahanan Rakyat. Pada kesempatan itu, Omar Dhani
mempersoalkan mengapa gagasan Angkatan ke-5 Presiden Sukarno
tidak diwadahi di Komando Pertahanan Rakyat dalam struktur or-
ganisasi SAB. Dengan demikian, menurut Omar Dhani, Angkatan
ke-5 akan dapat dikontrol dan dikendalikan oleh ABRI sepenuhnya.
enurut Laksda Udara Makki Perdanakusuma dari SAB, masalah
M
Angkatan ke-5 ditangani oleh Brigjen Widjopoespojoedo, sebagai
www.facebook.com/indonesiapustaka

Deputi Khusus. Lebih lanjut Laksda Udara Makki mengemukakan,


kalau mempersenjatai rakyat, kiranya kurang tepat, karena senjata itu
diberikan kepada pasukan yang terlatih dan bukan sipil. Namun Bung
144

01-TA-16x24-terakir.indd 144 1/30/2012 9:39:09 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

Karno seakan-akan membutuhkan dukungan yang diperkirakan tidak


mungkin didapat dari kesatuan yang ada, hingga merasa perlu adanya
Angkatan ke-5. Mula-mula Angkatan Darat memberikan reaksi men-
dua, dengan menyatakan bahwa hal itu terserah kepada Pemimpin
Resar Revolusi (PBR) untuk memutuskan. Setelah disadari betapa ga-
watnya persoalan tersebut bagi pengendalian keamanan, maka pada
Juni 1965, Yani menyatakan bahwa “apabila Nekolim menyerang, se-
luruh rakyat Indonesia akan dipersenjatai, tidak hanya kaum buruh
dan tani”.34 Di kemudian hari, dukungan Omar Dhani terhadap gagas­
an Angkatan ke-5 tersebut dijadikan petunjuk bahwa ia mendukung
rencana kudeta yang disponsori oleh PKI. Gagal memperjuangkan
pembentukan Angkatan ke-5, D.N. Aidit menuntut agar dilakukan
Nasakomisasi di dalam tubuh ABRI. Dengan mencontoh Angkatan
Bersenjata Cina atau sistem pepolit yang pernah dikenal pada tahun
1946, Aidit mengusulkan agar dibentuk komisaris-komisaris politik
yang diperbantukan pada Departemen Pertahanan. Menghadapi ke-
sulitan dari pimpinan TNI AD wajar bila dalam pandangan komunis
jabatan Nasution harus direbut sebagai langkah terpenting agar ABRI
dapat mereka kendalikan.
enghadapi manuver politik PKI yang demikian agresif, pimpin­
M
an Angkatan Darat bekerja keras mencari rumusan untuk mencegah
Nasakomisasi terhadap ABRI. Akhirnya rumusan itu ditemukan de­
ngan formula “bahwa anggota ABRI sebagai Pancasilais sejati de­ngan
sendirinya menjunjung tinggi semangat Manipol/Usdek maupun
konsep Nasakom”. Akan tetapi penerapan struktural Nasakom dalam
tubuh ABRI tidaklah mungkin. Dalam hal ini, Nasution menyatakan
bahwa tidak mungkin bagi angkatan bersenjata dapat berfungsi
dengan baik, apabila komandannya seorang nasionalis dan wakil-
wakilnya harus dari golongan agama dan golongan komunis.35 Bung
Karno akhirnya mengakui bahwa Nasakomisasi ABRI memang sangat
tidak praktis, namun ia menyarankan agar para perwira ABRI seti-
www.facebook.com/indonesiapustaka

34
Pikiran Rakjat, 26 Juni 1965.
35
Berita Yudha, 25 Mei 1965.

145

01-TA-16x24-terakir.indd 145 1/30/2012 9:39:10 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

dak-tidaknya diharuskan mengikuti kursus-kursus kader Nasakom


yang diselenggarakan oleh Front Nasional.

Isu Dewan Jenderal


Setelah gagal menuntut pembentukan Angkatan ke-5, usaha PKI
memobilisasi rakyat melalui aksi-aksi sepihak sepanjang 1964-1965
tidak mampu mengungguli kekuatan lawan-lawannya, D.N. Aidit
dan CC PKI kemudian melemparkan desas-desus adanya Dewan
Jenderal dalam tubuh Angkatan Darat. Dalam rapat Politbiro pada
awal Mei 1965, meskipun tanpa bukti, Aidit menyatakan bahwa
kaum “kapitalis birokrat” (pimpinan tentara yang memegang jabatan
tertentu) sedang mempersiapkan suatu kudeta. Dalam situasi kritis
tersebut, Subandrio, pada 26 Mei 1965, memperlihatkan kepada
Sukarno Dokumen Gilchrist, bertanggal 24 Maret 1965, yang isinya
ditafsirkan sebagai isyarat adanya operasi dari pihak Inggris-AS meli­
batkan our local army friends (kawan-kawan kita dari tentara setem-
pat). Tidak mustahil our local army friends tersebut oleh publik di-
hubungkan dengan pernyataan Aidit perihal isu kudeta yang akan
dilancarkan oleh “kabir”.36
isebarkanlah berita bahwa Dewan Jenderal itu mempunyai
D
kekuasaan menilai kebijaksanaan Presiden Sukarno selaku Pemimpin
Besar Revolusi. Untuk mengadu domba Bung Karno dan AD, PKI
memberikan kesan bahwa Dewan Jenderal adalah suatu badan yang
diragukan kesetiaannya kepada Pemimpin Besar Revolusi. Akibatnya,
kepercayaan PBR terhadap AD hilang. PKI juga menyebarluaskan de-
sas-desus bahwa Dewan Jenderal bekerja sama dengan imperialis, se-
hingga timbul kesan bahwa TNI AD mengkhianati perjuangan bangsa
Indonesia. Desas-desus itu makin diyakini kebenarannya setelah ter-
siarnya Dokumen Gilchrist pada Mei 1965. Pada saat itu di TNI AD
memang terdapat istilah yang dapat menimbulkan kecurigaan, yaitu
www.facebook.com/indonesiapustaka

adanya semacam Steering Committee ABRI. Hal itu dapat ditafsir-

36
Harian Rakjat, 7 Mei 1965.

146

01-TA-16x24-terakir.indd 146 1/30/2012 9:39:10 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

kan sebagai Kabinet Angkatan Darat. Komite tersebut dibentuk oleh


Jenderal Nasution, karena staf kekaryaan belum didirikan. Dalam
upaya memojokkan TNI AD, D.N. Aidit buru-buru melansir desas-
desus bahwa di dalam tubuh AD terdapat Kabinet. Akhirnya Steering
Committee TNI dibubarkan oleh Jenderal Nasution.
esas-desus perihal keberadaan kabinet dalam tubuh AD, juga
D
disebarluaskan PKI menjelang G30S, dengan jalan mengatakan bahwa
ada kabinet dalam Dewan Jenderal. Susunan kabinet Dewan Jenderal
“karangan” PKI, adalah: Perdana Menteri dijabat oleh Jenderal A.H.
Nasution, Wakil Perdana Menteri dijabat Letjen A. Yani, Menteri Luar
Negeri: Roeslan Abdoelgani, Menteri Hubungan Dagang Luar Negeri:
Brigjen Soekendro; Menteri Jaksa Agung: Mayjen S. Parman, dan pe-
jabat-pejabat lainnya. Dari segi keotentikannya, Sukarno sebenarnya
masih sangsi terhadap Dokumen Gilchrist. Presiden segera memang-
gil para panglima ke Istana. Pertemuan itu dihadiri oleh Yani, Men
Pangal Martadinata, Kepala Kepolisian RI Sutjipto Yudodiharjo, dan
Sri Mulyono Herlambang mewakili Men Pangau Omar Dhani. Dalam
forum itu Sukarno bertanya kepada Ahmad Yani apakah ada di antara
pembantunya yang mempunyai kontak dengan Kedubes Inggris dan
AS, dan apakah kebijaksanaannya dinilai oleh para perwira senior.
Jenderal A. Yani menjawab, bahwa Soekendro dan S. Parman tengah
mengumpulkan informasi dari kedutaan-kedutaan itu, dan Deputi III
Men Pangad, Mayjen MT. Haryono terus-menerus melakukan kontak
dengan perusahaan-perusahaan minyak asing. Yani menyatakan me-
mang pernah ada pertemuan di kediamannya, di mana para perwira
senior telah mengeluarkan “uneg-uneg”nya. Tatkala ditanya tentang
adanya Dewan Jenderal, Yani mengatakan bahwa memang ada se-
buah badan yang sering diberi nama itu, akan tetapi nama yang se-
benarnya adalah Dewan Jabatan dan Kepangkatan Perwira Tertinggi
(Wanjakti). Fungsi dewan itu untuk bermusyawarah mengeni soal
kenaikan pangkat dan penugasan dari kolonel ke pangkat jenderal.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Ternyata Subandrio segera memberi laporan kepada PKI mengenai


pertemuan di Istana, dan pada hari itu juga di hadapan partai, me­

147

01-TA-16x24-terakir.indd 147 1/30/2012 9:39:10 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

ngatakan bahwa Presiden sekarang sudah mempunyai bahan bukti


tentang adanya suatu “gerakan kontra-revolusi”.37
ada 28 Mei 1965, Presiden Sukarno mengambil langkah lebih
P
jauh lagi dalam mengintepretasikan Dokumen Gilchrist. Pada suatu
rapat para panglima tentara, Sukarno menyatakan telah memiliki
bukti-bukti bahwa Nekolim akan membunuh dia, Subandrio, dan
Yani. Apabila rencana itu gagal, Nekolim akan menyerang Indonesia,
dengan bantuan “kaki-tangan mereka setempat”.38 Pernyataan Presiden
Sukarno dan Subandrio itu telah menghilangkan keragu-raguan, alias
meyakinkan pihak komunis tentang keberadaan Dewan Jenderal dan
kemungkinan kudeta yang dilancarkannya. Pernyataan-pernyataan
Sukarno dan Subandrio di atas oleh PKI dianggap sebagai pukulan
kepada lawan-lawannya. Sehari sebelumnya Aidit telah mengancam
lawan-lawannya dengan mengatakan bahwa pukul­an-pukulan yang
telah diberikan kepada kekuatan-kekuatan kontra revolusi merupakan
peringatan kepada lawan, dan bila kaum kontra revolusi menentang
arus, akan ditinggalkan dan dihancurkan oleh rakyat. Beberapa hari
kemudian Aidit memulai menuduh bahwa kaum “kapitalis birokrat”
sedang bersiap-siap melancarkan kudeta.39 Dalam mempersiapkan
Gerakan 30 September, pada Agustus 1965, DN. Aidit selaku ketua
CCPKI memerintahkan Sjam Kamarusaman, melalui Biro Khusus
yang dipimpinnya, untuk menggarap oknum anggota ABRI yang telah
dibina dengan memberikan briefing tentang situasi politik terakhir.
Isinya ialah, bahwa dalam tubuh TNI AD ada Dewan Jenderal yang
akan melakukan perebutan kekuasaan, untuk itu perlu ada suatu
gerakan militer guna mendahului gerakan Dewan Jenderal. Menurut
D.N. Aidit, siapa yang mengetahui wafatnya Presiden Sukarno lebih
dahulu, merekalah yang akan memegang inisiatif. Jika Dewan Jenderal
mengetahui wafatnya Presiden Sukarno lebih dahulu, maka dalam
waktu singkat PKI pasti akan dihabisi, demikian pandangan Aidit.
www.facebook.com/indonesiapustaka

37
Indonesian Herald (Koran resmi Deplu), 28 Mei 1965.
38
Berita Yudha dan Harian Rakjat, 29 Mei 1965.
39
Harian Rakjat, 31 Agustus dan 4 September 1965.

148

01-TA-16x24-terakir.indd 148 1/30/2012 9:39:10 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

alam penutupan sidang Politbiro yang diperluas, tanggal 28


D
September 1965, Aidit menyatakan, bahwa ia lebih condong untuk
mendahului. Oleh karena itu Aidit menanyakan kepada sidang, apak-
ah sidang dapat menyetujui langkah-langkah perwira-perwira yang
berpikiran maju untuk mendahului gerakan Dewan Jenderal. Dalam
hal itu wewenang sidang ada di tangan Dewan Harian Politbiro.
Karena peserta sidang Politbiro tidak ada yang menjawab, D.N. Aidit
kemudian menyatakan, bahwa soal itu serahkan saja kepada Dewan
Harian Politbiro.40
Menurut paparan Menyingkap Kabut Halim 1965, yang men-
dasarkan keterangan Nyono, Wakil ketua II CC PKI, dalam sidang
Mahmillub menyatakan bahwa tentang proses keputusan PKI untuk
mendahului gerakan Dewan Jenderal, yang nama sebenarnya adalah
Wanjakti (Dewan Pertimbangan Djabatan dan Kepangkatan Perwira
Tinggi). Sebelum adanya Dewan Jenderal, sudah ada Dewan Kolonel
yang bertugas menangani kenaikan pangkat dari letnan kolonel men-
jadi kolonel. Waktu itu kenaikan pangkat bagi perwira menengah dan
perwira tinggi belum diatur dalam keputusan reguler. Sebenarnya
Dewan Jenderal memiliki tugas sama dengan Dewan Kolonel, yaitu
menangani kenaikan pangkat dari kolonel menjadi brigadir jende­
ral. Tetapi dibanding dengan menyebut Wanjakti, orang secara salah
kaprah serta untuk mudahnya mengingat, lebih suka menyebutnya
sebagai Dewan Jenderal. Ketika masih berpangkat brigadir jenderal,
Achmad Yani pernah menjabat sebagai sekretaris Dewan Jenderal.
Rapat-rapat Dewan Jenderal biasanya dipimpin oleh Letjen Gatot
Soebroto dan dihadiri Mayjen Djatikoesoemo. Dalam menjawab per-
tanyaan Presiden Sukarno perihal masalah Dewan Jenderal, Jenderal
A. Yani selain menyatakan tidak ada Dewan Jenderal, kecuali de-
wan yang menangani kepangkatan perwira tinggi. Bahkan A. Yani
juga menyatakan bahwa ia sendiri yang memimpinnya. Kebijakan
pimpin­an AD tersebut merupakan sikap resmi, yang diikuti oleh jajar­
www.facebook.com/indonesiapustaka

an pimpinan di bawahnya. Melalui berbagai saluran informasi ma-

40
Aristides Katoppo, op.cit., hlm. 39-42.

149

01-TA-16x24-terakir.indd 149 1/30/2012 9:39:10 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

salah itu juga telah diketahui pula secara luas oleh masyarakat. Jadi
para pimpinan AD telah memahaminya. Bahkan isu masalah Dewan
Jenderal juga telah diketahui oleh keluarga para pimpinan Angkatan
Darat, yang kemudian menjadi korban G30S.41
Memperhatikan kondisi kurang kompaknya ABRI, kurang se-
rasinya hubungan antara Pangti ABRI dengan sejumlah pimpinan
militer, dan melihat situasi politik waktu itu, Laksda Udara Omar
Dhani mengira bahwa dalam tubuh AD terdapat Dewan Jenderal
dan kelompok perwira muda, maupun bawahan yang tidak puas
dengan pimpinan, terutama dalam hal kepangkatan, kesejahteraan,
dan sebagainya, sebagaimana didengar oleh Omar Dhani dari Brigjen
Achmad Wiranatakusuma, ketika masih menjadi Wakil Panglima
Koga. Golongan perwira muda dan bawahan itu menurut persepsi
Omar Dhani ingin mengadakan gerakan sebagai usaha perbaikan
dalam tubuh AD, tepat seperti yang digariskan oleh MKTBP PKI. 42
Masalah Dewan Jenderal yang bagi Omar Dhani merupakan sesu­
atu yang mecurigakan, oleh PKI justru dijadikan isu sentral. Pada
saat-saat terakhir menjelang tanggal 30 September, yaitu pada tang-
gal 28 September 1965 atas undangan Aidit dalam rapat Politbiro
PKI yang diperluas, ia menekankan empat hal.43 Pertama, akan ada
aksi mendahului rencana Dewan Jenderal, yang akan bergerak adalah
para perwira progresif revolusioner, setelah itu akan dibentuk Dewan
Revolusi. PKI sendiri hanya membantu. Kedua, soal-soal militer di-
percayakan sepenuhnya kepada D.N. Aidit. Ketiga, soal-soal politik
merupakan wewenang Dewan Harian Politbiro. Keempat, Ketua CDB
Jakarta Raya, Nyono diperintahkan menyiapkan 2.000 kader untuk
membantu.44

41
Keluarga Pahlawan Revolusi, op.cit., hlm. 20.
www.facebook.com/indonesiapustaka

42
I bid.
43
Menurut hasil pemeriksaan yang dilaporkan oleh Soegondo sebenarnya dalan tata cara
organisasi PKI tidak ada istilah rapat ‘Politbiro yang diperluas’, namun karena yang hadir
selain anggota politbiro juga hadir anggota CC di Jawa dan semua Ketua CDB di Jawa.
44
Atmadji Sumarkidjo, Mendung di atas Istana Merdeka, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2000, hlm. 147.

150

01-TA-16x24-terakir.indd 150 1/30/2012 9:39:10 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

Kolonel A. Latief, mantan Komandan Brigif, Jaya Sakti, dalam berba­


gai media menyatakan bahwa pada malam hari menjelang pecah­nya
Peristiwa 30 September 1965, di RS Cipto Mangunkusumo ia telah
memberikan laporan kepada Jenderal Soeharto yang saat itu menung-
gui anak bungsunya, Hutama Mandala Putra, atau Tommy, yang se-
dang dirawat. Berdasarkan keterangan itu, Kolonel Latief menyim-
pulkan bahwa Soeharto terlibat, bahkan juga sebagai dalang G30S.45
arena yang bersangkutan terlibat peritiwa G30S, maka keterang­
K
annya memiliki derajat personal bias, dan group prejudice sangat
tinggi. Juga perlu diperhatikan kedudukan Latief dan hubungannya
dengan Jenderal Soeharto di lingkungan ABRI. Pertama, meskipun
keduanya sama-sama anggota ABRI, akan tetapi mereka tidak berada
dalam instansi atau kesatuan yang sama. Sesuai dengan standing or-
der (tata tertib) ABRI yang bersifat formal dan hirarkis, apakah dapat
dibenarkan Kolonel A. Latief yang berkedudukan sebagai Dan Brigif
Jaya Sakti memberikan laporan langsung kepada Mayjen Soeharto se-
laku Pangkostrad tanpa melalui prosedur resmi? Semestinya Kolonel
A. Latief menyampaikan laporannya kepada atasannya langsung, yai-
tu Pangdam V/ Jaya. Setelah itu Pangdam V/Jaya meneruskan kepada
Men/Pangad dan selanjutnya dikordinasikan atau diteruskan kepada
pejabat yang berwenang. Kedua, seandainya keterangan Kolonel A.
Latief benar, apakah dapat dibenarkan ia secara langsung menyam-
paikan secara pribadi tanpa disertai staf atau saksi dari pejabat yang
berwenang. Demikian pula Soeharto menerima sendirian tanpa di-
dampingi staf yang berwenang. Padahal ada instansi yang seharusnya
menangani. Misalnya, Perwira Seksi I yang ada dalam setiap jajaran
komando ABRI. Merekalah yang membidangi intelijen. Pertanyaan
ketiga, apabila informasi peristiwa Gerakan 30 September 1965, yang
dilaporkan kepada Mayjen Soeharto bersifat rahasia, dan juga sangat
penting, layakkah Kolonel A. Latief sebagai seorang perwira menyam-
paikan laporan di tempat umum atau sambil lalu, apalagi seorang
www.facebook.com/indonesiapustaka

diri, tanpa didampingi oleh pejabat yang berwenang yaitu Perwira


Kolonel Abdul Latief, Pledoi Kol. A. Latief, Soeharto Terlibat G 30 S, Cetakan III, Jakarta,
45

Institut Studi Informasi, 2000, hlm. 61-68.

151

01-TA-16x24-terakir.indd 151 1/30/2012 9:39:10 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

Intelnya? Dan bagaimana sikap Soeharto, apakah harus berdiskusi


panjang lebar tentang kebenarannya? Padahal seperti halnya pimpin­
an AD lainnya, yang telah menegaskan bahwa Dewan Jenderal tidak
ada. Oleh sebab itu berdasarkan pertanyaan-pertanyaan di atas dapat
disimpulkan bahwa keterangan Kolonel A. Latief sangat lemah un-
tuk dijadikan sebagai sumber sejarah, karena di dalamnya secara
eksplisit terkandung unsur-unsur antagonisme. Masih ada keterang­
an Latief yang menyatakan beberapa waktu sebelum meletusnya
G30S, Soeharto hadir pada pesta perkawinan Untung di Kebumen.
Berdasarkan keterangannya itu, Latief menyatakan bahwa Untung
tidak lain adalah kaki tangan Soeharto untuk merebut kekuasaan.
Perihal ceritera Latief tentang kehadiran Soeharto ke perkawinan
Untung, selain tidak dapat dicocokkan dengan sumber lain, juga
telah dibantah. Kemal Idris menyatakan bahwa dialah yang mewakili
Soeharto ke Kebumen.46
enarik untuk diperhatikan, di kalangan pimpinan TNI AD selain
M
tidak begitu saja mempercayai isu tentang rencana penculikan oleh
PKI, mereka pada umumnya sejak semula menyangsikan kemam-
puan PKI melakukan gerakan militer. Misalnya, menurut kesaksian
keluarga Jenderal Yani pada minggu-minggu menjelang 30 September
1965 telah mendengar isu penculikan yang akan dilakukan terhadap
dirinya. Terhadap isu itu Yani menanggapi bahwa orang yang ingin
membunuhnya adalah bodoh, karena ia mengetahui betul kekuatan
partai itu.47 Mayjen S. Parman, Asisten I, yang bertanggung jawab
dalam bidang intel, sejak awal menyangsikan kemampuan PKI dalam
hal gerakan militer.48
Pada bulan November 1965, ABRI membentuk Panitia Khusus un-
tuk menghimpun data mengenai asal-usul serta proses yang berkait­
an dengan Dewan Jenderal dengan susunan sebagai berikut.
Ketua : Irjen Pol Oudang
www.facebook.com/indonesiapustaka

46
Rosihan Anwar ed., Kemal Idris Bertarung Dalam Revolusi, Jakarta, Sinar Harapan, 1997,
hlm. 180.
47
Keluarga Pahlawan Revolusi, op.cit., hlm. 20.
48
Atmadji Sumarkidjo, op.cit., hlm. 157-158.

152

01-TA-16x24-terakir.indd 152 1/30/2012 9:39:10 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

Wakil Ketua : Laksamana Muda Laut Subijakto


Anggota-anggota : Komodor Udara Sudjono
Brigadir Jenderal Sudirgo
Jaksa Tinggi Basarudin
Kolonel Inf Charis Suhud
Letnan Kolonel CPM Hadiharsoso
Sekretaris : Brigjen Pol. Drs. Munadi
Kolonel Udara Notowidagdo, S.H.
Jaksa Tinggi Ismail Rahardjo, S.H.

Hasil kerja Panitia Khusus itu menyatakan sebagai berikut. Pertama,


mula-mula dewan itu bertugas memberikan pertimbangan tentang
kenaikan pangkat dari perwira menengah menjadi jenderal, hingga
kemudian dikenal sebagai “Dewan Jenderal” meskipun tidak demiki-
an namanya. Kedua, berita tentang adanya Dewan Jenderal, mulai
beredar pada Juni, Juli, Agustus, dan September 1965. Adapun sum-
ber desas-desusnya dari anggota PKI yang berasal dari Ketua CC PKI.
Ketiga, sampai November 1965, belum ada perorangan, perwira, yang
didengar keterangannya dapat menunjukkan dokumen atau bukti
tentang adanya Dewan Jenderal. Kesimpulannya, bahwa Dewan
Jenderal yang merencanakan melakukan kudeta pada 5 Oktober 1965,
tidak ada. Oleh karena Panitia Khusus itu dipimpin oleh Inspektur
Jenderal Polisi Oudang, kemudian juga dikenal sebagai “Panitia
Oudang”.49

Dokumen Gilchrist
Pembahasan masalah Dewan Jenderal tidak dapat dipisahkan de­ngan
persoalan Dokumen Gilchrist. Dokumen ini menurut Subandrio
www.facebook.com/indonesiapustaka

diterimanya lewat pos, dialamatkan kepada BPI pada 15 Mei 1965.50


49
Nugroho Notosusanto, Tragedi Nasional, Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesia, Jakarta,
Intermasa, 1968, hlm. 115-116.
50
Aristides Katoppo, op.cit., hlm. 43.

153

01-TA-16x24-terakir.indd 153 1/30/2012 9:39:10 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

Dokumen Gilchrist merupakan sepucuk surat yang diketik pada


formulir yang biasa digunakan oleh Kedubes Inggris di Jakarta. Nama
pembuat surat adalah Sir Andrew Gilchrist, Duta Besar Inggris (1963-
1966) untuk Indonesia. Dalam buku Menyingkap Kabut Halim, dinya­
takan bahwa dokumen tersebut tidak bertanda tangan. Sebaliknya,
Rosihan Anwar mengemukakan bahwa Dokumen Gilchrist dite­
mukan tanda tangan dan tulisan di pinggir dari Dubes Gilchrist,
tetapi tidak cocok dengan tanda tangan yang sebenarnya. Dengan
demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa Dokumen Gilchrist yang
ditemukan di rumah Bill Palmer adalah palsu.51 Surat yang terkesan
dibuat oleh Dubes Gilchrist itu ditujukan kepada Kementerian Luar
Negeri Inggris, berisi laporan tentang kordinasi antara Gilchrist dan
Dubes Amerika mengenai rencana mereka berdua untuk
menggulingkan pemerintah Indonesia dengan bantuan our local
army friends. Dokumen itu disertai surat pengantar yang menyatakan
adanya pengi­riman dokumen penting bagi revolusi.52
elanjutnya dokumen itu oleh Subandrio diserahkan kepada
S
Brigjen Pol. Soetarto, Kepala Staf BPI untuk diperiksa. Ternyata
Soetarto tidak memeriksakan keotentikan dokumen itu melalui tes
Laboratorium Kriminal Angkatan Kepolisian. Soetarto menyatakan
bahwa dokumen tersebut otentik. Pada 25 Mei 1965 dokumen dise­
rahkan oleh Subandrio kepada Presiden Sukarno. Keesokan harinya
diadakanlah rapat di Istana yang dihadiri oleh para panglima keempat
angkatan. Men/Pangau yang berhalangan hadir, diwakili oleh Laksda
Sri Moeljono Herlambang. Dalam kesempatan itu Presiden mena­
nyakan kepada Letjen A.Yani, apakah ada anggota Angkatan Darat
yang mempunyai hubungan dengan Inggris dan Amerika. Letjen
A.Yani menjawab, “Tidak ada”.
eusai rapat di Istana Merdeka 26 Mei 1965, masalah Dokumen
S
Gilchrist yang menyakitkan itu telah dijernihkan oleh Ahmad Yani,
www.facebook.com/indonesiapustaka

51
Rosihan Anwar, “ G30S/PKI, Gilchrist, dan CIA” dalam Tim Cidesindo, Membuka Lipatan
Sejarah ; Menguak Fakta Gerakan PKI, Jakarta, Pustaka Cidesindo, 1999, hlm. 43-48.
52
Omar Dhani, Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran dan Tanganku: Pledoi Omar Dhani,
Jakarta, PT Media Lintas Inti Nusantara, 2001, hlm. 41-42. Rosihan Anwar, Ibid.

154

01-TA-16x24-terakir.indd 154 1/30/2012 9:39:10 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

tidak demikian halnya dengan Omar Dhani. Ia tidak yakin bahwa


Dewan Jenderal itu tidak ada, meskipun Bung Karno juga telah menga­
takan bahwa menurut Yani dewan itu telah dibubarkan. Menurut
pendapat Dhani di tubuh Angkatan Darat terdapat beberapa orang
jenderal dan perwira yang menilai kebijaksanaan Bung Karno sebagai
Pemimpin Besar Revolusi. Para jenderal itu dianggap tidak melak-
sanakan ajar­an Bung Karno secara konsekuen, dan dinilai bekerja
sama dengan Nekolim. Merekalah yang oleh Omar Dhani dimaksud-
kan sebagai Dewan Jenderal, sebagaimana tercantum dalam Dokumen
Gilchrist dengan sebutan our local army friends. Selain Omar Dhani
yang terus mempersoalkan Dewan Jenderal, ternyata Subandrio ke-
tika menyertai rombongan Presiden Sukarno menghadiri Konferensi
Asia-Afrika II di Aljazair pada 5 Juli 1965 memberi keterangan ke-
pada surat kabar Mesir Al-Ahram bahwa pemerintah Indonesia mem-
punyai bukti persekongkolan Amerika-Inggris terhadap negerinya.53
Selain itu di Kairo, Subandrio juga membagi-bagikan copy dokumen
tersebut kepada para peserta konferensi. Dengan demikian, masalah
Dokumen Gilchrist telah menyebar ke luar negeri.54
etelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 terjadi ternyata ada
S
pihak yang mengaku bertanggung jawab sebagai penyusunnya, yaitu
intel pada Atase Militer Cekoslowakia di Jakarta, yang kemudian me-
nyeberang ke Amerika Serikat. Penyusunnya menyatakan tidak me-
nyangka bahwa dokumen tersebut kemudian menimbulkan tragedi
yang mengerikan dalam sejarah Indonesia.55

Sakitnya Bung Karno


Perkembangan kesehatan Presiden Sukarno sejak Juli 1965 cepat
menurun. Aidit yang mengetahui kondisi kesehatan Bung Karno se-
jak Juli 1965 menurun drastis, secara sengaja mengundang sejumlah
dokter dan ahli akupuntur dari Cina untuk memeriksa dan mengo-
www.facebook.com/indonesiapustaka

53
Ibid.
54
Aristides Katoppo dkk., op.cit., hlm. 44.
55
Rosihan Anwar, loc. cit.

155

01-TA-16x24-terakir.indd 155 1/30/2012 9:39:10 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

bati sakitnya Presiden. Tim Dokter Cina itu datang ke Indonesia


dalam rombongan Menlu RRC, Chen Yi. D.N. Aidit sendiri kemudian
mengadakan perjalanan ke luar negeri, yaitu ke Moskow dan Beijing
untuk “berkonsultasi”. Pada 31 Juli 1965, Menlu Subandrio mengi­rim
kawat melalui Dubes RI di Moskow, atas nama Presiden Sukarno me-
manggilnya pulang ke Jakarta. Pada 4 Agustus, Presiden Sukarno se-
cara tiba-tiba muntah-muntah, dan pingsan. Meskipun dirahasiakan,
tetapi Aidit yang berada di Beijing mendengar informasi pen­ting itu.
Diduga informasi itu berasal dari tim dokter RRC yang berada di
Istana Merdeka. Subandrio menyatakan dokter-dokter Cina itu bu-
kan dari RRC, melainkan dari Kebayoran Baru. Menurut pengecekan
Men/Pangau Omar Dhani dari 2 ajudan wanita dari Wanita Udara
(Wara), tidak benar bahwa Presiden sampai pingsan. Pada 5 Agustus,
Aidit kembali ke Jakarta beserta 2 dokter ahli dari Cina. Menurut ke-
saksian Mangil, dokter RRC yang namanya dicatatnya yaitu Prof. Dr.
Wu Chieh Ping (kepala/pimpinan), Prof. Dr. Pang Chie, Prof. Ny. Mau
Hua, dan dibantu beberapa dokter ahli lainnya. Menurut Mangil,
sakit Presiden Sukarno hanya beberapa hari, namun oleh dokternya
ia dilarang menerima tamu, yang boleh masuk ke dalam kamar tidur
Bung Karno hanya para dokter pribadi, keluarga, ajudan dan para
perwira DKP yang bertugas.56 Dokter-dokter itu bergabung dengan
rekan-rekan mereka yang lebih dahulu mena­ngani kesehatan
Presiden.
Dr. Subandrio, dalam “Kesaksianku Tentang G30S”, menyatakan
bahwa dokter yang dibawa oleh Aidit, bukan dokter dari RRC, melain-
kan dokter Cina dari Kebayoran Baru, Jakarta.57 Bahkan D.N. Aidit dua
kali menjenguk Presiden Sukarno, yaitu pada 7 dan 8 Agustus 1965,
kemudian ia bertemu dengan tim dokter Cina tersebut. Kesimpulan
hasil diagnosis mereka kemudian dibawa ke rapat Politbiro CC PKI,
ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, Presiden Sukarno
www.facebook.com/indonesiapustaka

56
H. Mangil Martowidjojo, Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967, Jakarta, Grassindo,
2001, hlm. 374-375.
57
Subandrio, H., Kesaksianku tentang G30S, Jakarta, Forum Pendukung Reformasi Total,
2001, hlm. 14-15.

156

01-TA-16x24-terakir.indd 156 1/30/2012 9:39:10 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

akan makin memburuk dan akan meninggal. Kedua, bila presiden


beruntung akan selamat, tetapi ia akan lumpuh. Sebaliknya, tim dok-
ter Indonesia menyimpulkan bahwa sakitnya Bung Karno tidak sepa-
rah itu. Ternyata D.N. Aidit lebih percaya kepada kesimpul­an tim
dokter Cina.58
Dr. Mahar Mardjono, dokter pribadi Bung Karno pernah menyam-
paikan laporan kepada Jenderal A.H. Nasution, bahwa kalau Aidit
percaya tim dokter Indonesia, kejadiannya akan berbeda. Ternyata
kesehatan Bung Karno pulih kembali, tetapi rencana Aidit untuk
merebut kekuasaan tidak berubah. Perebutan kekuasaan tetap akan
dilaksanakan, dan persiapan jalan terus. Persoalannya, mengapa tim
dokter Cina menyimpulkan demikian? Apakah tim dokter Cina berhak
mengatakan hasil diagnosis kepada pihak lain? Menurut Sugondo,
dari Tim Pemeriksa Pusat (Teperpu) bahwa dalam sistem komunis
pun tidak demikian, karenanya yang mengatakan itu pasti orang par-
tai. Misalnya, tim dokter itu terdiri dari lima orang, salah seorang di
antara mereka bukan dokter, yaitu orang partai yang berhak menge-
luarkan hasil diagnosis tentang sakitnya Presiden Sukarno. Seorang
dokter tidak akan berani berbicara ke luar, bila tidak diinstruksikan
orang partai. Rumor atau ramalan bahwa orang akan meninggal atau
lumpuh dalam waktu tertentu adalah sistem Cina komunis. Hal ini
menjadi bukti bahwa Cina beritikad tidak baik, dan rumor itu kemu-
dian berkembang. Berdasarkan diagnosis tim dokter Cina itu, Aidit
buru-buru melakukan perebutan kekuasaan, meskipun sebenarnya
PKI belum siap. Menurut pengakuan Sjam, Ketua Biro Khusus PKI,
dan juga pengakuan D.N. Aidit sendiri, perebutan kekuasaan itu se-
harusnya baru akan dilakukan pada tahun 1970.
esuatu yang kemudian mengundang pertanyaan adalah kegiat­
S
an Chen Yi dan Dr. Subandrio, tatkala Menlu RRC itu berkunjung
ke Indonesia. Marsma Tranggono, yang pernah menjadi ajudan Dr.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Subandrio, menyatakan bahwa dalam suatu dialog antara Chen Yi


dan Dr. Subandrio, yang didengar Tranggono lewat penerjemah keti-

58
Atmadji Sumarkidjo, op.cit., hlm. 140-141.

157

01-TA-16x24-terakir.indd 157 1/30/2012 9:39:10 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

ka berjalan menuju ke mobil, Chen Yi berkata: ”Untuk Sukarno sudah


saya siapkan tempat yang tenang di danau Angsa (RRC)”. Berarti bila
kudeta PKI berhasil, nasibnya akan sama dengan pangeran Norodom
Sihanouk, ketika ia digulingkan oleh Pol Pot, juga lari ke RRC, ke
tempat yang telah dipersiapkan oleh Pemerintah Cina. Pengakuan
Tranggono, mengungkap misteri peranan Cina dalam mendukung
PKI untuk mendirikan Pemerintah komunis di Indonesia.59

Masalah Pelatihan Sukarelawan dan Sukarelawati di Lubang


Buaya
Suasana tahun 1965 dalam pentas politik nasional selain dipenuhi
dengan jargon-jargon revolusioner, yang juga dimanfaatkan untuk
menggelorakan konfrontasi dengan Malaysia. Istilah populernya
waktu itu: “Ganyang Malaysia”. Untuk keperluan tersebut, pemerin-
tah selain menggunakan angkatan bersenjata, juga menggerakkan
sukarelawan dan sukarelawati. Untuk kepentingan tersebut masing-
masing unsur ABRI, seperti AD, ALRI, dan AURI melakukan berba­
gai pelatihan atau kursus. Misalnya Kursus Kader Nasakom, Kursus
Kader Revolusi dan pelatihan sukarelawan (sukwan) dan sukarela-
wati (sukwati). Sesudah mengikuti kursus kader revolusi yang dise-
lenggarakan oleh pemerintah pusat di Jakarta, Mayor Udara Soejono
mengambil langkah melampaui batas wewenangnya sebagai koman-
dan resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan (PPP). Soejono kemudi-
an mengirimkan telegram rahasia (TR) kepada setiap Komandan
Batalion (Danyon) PPP di Komando Regional Udara (Korud) dan
Komandan Kompi (Danki) PPP di setiap pangkalan udara untuk me-
nyiapkan bintara pelatih dan melaksanakan pelatihan sukarelawan
dalam rangka Dwikora. Menurut Soejono pelatihan sudah harus se-
lesai sebelum Oktober 1965, menjelang dilaksanakannya Konferensi
Asia-Afrika II. Prioritas pelatihan diberikan kepada ormas buruh
www.facebook.com/indonesiapustaka

dan tani. Rencana itu merupakan prakarsa Soejono pribadi setelah


mendengar pidato Men/Pamgau di PAU Halim Perdanakusuma.

Aristides Katoppo, op.cit., hlm. 46-48.


59

158

01-TA-16x24-terakir.indd 158 1/30/2012 9:39:11 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

Menurut Men/Pangau dapat membenarkan pangkalan udara dapat


melatih rakyat di sekitarnya, sebagai tenaga bantuan dalam sistem
pertahanan dan pengamanan pangkalan udara.
engan alasan meningkatkan kemampuan pertahanan pangka-
D
lan, Men/Pangau membenarkan pemberian pelatihan secara mental
dan fisik kepada penduduk di sekitar pangkalan. Langkah ini dilak-
sanakan berdasarkan pengalaman Laksamana Udara Suryadarma,
yang pada 1960-1961, mengikutsertakan penduduk sekitar dalam
pelatihan pertahanan pangkalan. Dalam hal ini penduduk di sekitar
pangkalan diharapkan mampu mencegah perembesan yang masuk ke
pangkalan udara, jauh sebelum mereka mencapai pagar pangkalan.
Men/Pangau berpendapat bahwa pangkalan udara tidak mungkin di-
pertahankan oleh pasukan AURI sendiri, tanpa peran serta penduduk
sekitar. Apalagi kalau penduduk di sekitar pangkalan itu dilatih dan
dipersenjatai, maka pertahanan dan pengamanan pangkalan udara
akan makin terjamin.60
encana Mayor Soejono untuk menyelenggarakan pelatihan su-
R
karelawan di setiap pangkalan udara ternyata gagal, karena dilarang
oleh para panglima Korud dan komandan pangkalan maupun oleh
komandan Koramil setempat. Larangan itu juga ditegaskan oleh
Panglima Korud VI Jawa Barat merangkap komandan PAU Husein
Sastranegara, Kolonel Udara Ashadi Tjahjadi. Akhirnya Mayor Udara
Soejono melaksanakan rencana latihan sukwan-sukwati yang dipu-
satkan di kebun karet Desa Lubang Buaya, Kecamatan Pondok Gede,
Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Nama Desa Lubang Buaya tempat latih­

Sebagai gambaran pada akhir 1965 di PAU Halim Perdanakusuma hanya ada 2 kompi
60

PGT Yon 2 yang bermarkas di PAU Halim, dan satu Detasemen PPP Resimen PPP yang
bermarkas di Kramat Jati Pasar Rebo Jakarta Tmur. Tiga Kompi PGT di Yon 2 masing-ma-
sing ditempatkan di PAU Husein Sastranegara, Bandung, PAU Kalijati, dan PAU Jatiwangi.
Batalion PGT lainnya ada di PAU Iswahyudi, Madiun, PAU Abdul Rahman Saleh, Malang,
di Irian serta tugas-tugas operasi Dwikora. Kompi PGT di PAU Halim ditugaskan di pos-
www.facebook.com/indonesiapustaka

pos penjagaan objek-objek vital pangkalan. Detasemen PPP dengan senjata Trippel Barrer
Oerlikon kaliber 20 mm mendapat tugas di pos-pos penjagaan anti serangan serangan
udara. Sebagian lainnya bertugas menjaga rumah-rumah dinas pimpinan AURI. Untuk
meningkatkan kesiagaan dan kemungkinan serangan udara musuh di lingkungan PAU
Halim juga telah diadakan latihan kemiliteran khusus bagi pegawai sipil dan istri AURI
(PIA Ardhya Gharini).

159

01-TA-16x24-terakir.indd 159 1/30/2012 9:39:11 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

an sukwan-sukwati itu sering dirancukan dengan Lapangan Lubang


Buaya di wilayah PAU Halim, yang juga sering digunakan sebagai
tempat upacara AURI, bahkan juga HUT ABRI tahun 1961.
Mulai Juli 1965 pelatihan sukarelawan-sukarelawati dilaksanakan
Mayor Udara Soejono. Dalam laporannya kepada Men/Pangau, Mayor
Udara Soejono mengatakan bahwa para peserta pelatihan diambil
dari Front Nasional.61 Mereka berasal dari golongan nasional 5 orang,
golongan agama yang diundang tidak seorang pun yang datang, dan
golongan komunis sebanyak 2.000 peserta. Mengetahui laporan terse-
but Men/Pangau terhenyak, selanjutnya ia meminta kepada Mayor
Udara Soejono agar melakukan berbagai perubahan pelatihan. Antara
lain dalam hal kurikulum, pembagian waktu, dan keseimbangan
jumlah antar golongan yang mengikuti pelatihan.62 Selanjutnya Men/
Pangau Omar Dhani menyatakan tidak bersedia mewisuda sukwan-
sukwati tatkala Mayor Udara Soejono memintanya.
Pelatihan di desa Lubang Buaya yang semula diselenggaraakan
untuk sukarelawan-sukarelawati Dwikora, pada angkatan kedua,
Agustus 1965, telah diubah oleh PKI menjadi Wahana Krida Revolusi
(Hada Hanrev). Mereka yang dilatih terdiri dari ormas-ormas PKI,
seperti serikat Buruh, Barisan Tani Indonesia (BTI), mahasiswa
Respublica, Pemuda Rakyat (PR), kaum buruh-tani non partai, dan
mereka yang bersimpati kepada PKI. Selama mengikuti latihan, se-
luruh siswa menggunakan nama samaran. Mayor Soejono sebagai
komandan pelatihan menggunakan nama samaran Pak Djojo. Lama
latihan bagi setiap gelombang antara satu minggu sampai 10 hari.
Para siswa yang bernilai baik, mendapat tambahan pengetahuan dan
pelatihan khusus di bidang intelijen, selama 4 hari.
Meskipun secara resmi pelatihan di Lubang Buaya dipimpin oleh
Mayor Udara Soejono, ternyata dalam praktek kewenangannya ada
di tangan petugas PKI. Mereka itu adalah Nico (Central Gerakan
www.facebook.com/indonesiapustaka

61
Keterangan ini bersesuaian dengan keterangan Sulami, Wakil II Sekjen DPP Gerwani
(1965). Lihat Sulami, Perempuan-perempuan dan Penjara, Jakarta, Cipta Lestari, 1999,
hlm. 2-3.
62
Aristides Katoppo dkk., op.cit., hlm. 29-36.

160

01-TA-16x24-terakir.indd 160 1/30/2012 9:39:11 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

Mahasiswa Indonesia-CGMI), Djohar (Pemuda Rakyat-PR), Kasiman


(Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia-SOBSI), Hartoyo
(Barisan Tani Indonesia-BTI, dan Tjoegito serta Soemardi (Committee
Central–CC PKI) bertindak sebagai pengajar.
Pada bulan Agustus 1965, bertempat di Rawabinong yang berjarak
satu kilometer dari tempat latihan Lubang Buaya, diselenggarakan
latihan khusus bagi 200 orang kader komunis yang dikirim dari CDB
PKI Jawa Barat dan BTI. Pada bulan berikutnya, di tempat yang sama
juga diselenggarakan pelatihan khusus bagi 26 orang kader tingkat
pusat, termasuk Nico, Djohar dan Kasiman. Menurut “Bung So”,
seorang aktivis (GMI yang sering melayani rapat-rapat CC PKI di
Jakarta, latihan-latihan kemiliteran di daerah Halim juga dibicarakan
dalam rapat partai.63
Latihan kemiliteran di Lubang Buaya kemudian menjadi persoal­
an di kalangan AURI, karena banyak yang melaporkan hal-hal nega-
tif. Dengan demikian pada awal bulan September 1965, Komodor
Udara Dewanto, Deputi Operasi Men/Pangau merangkap Direktur
Intelejen memanggil Komodor Udara Ramli Sumardi, Panglima
Komando Pertahanan Pangkalan Udara (KOPPAU), Mayor Udara
Soejono, Komandan resimen PPP, Letkol Hamsana, Perwira Operasi
Korud V Jaya; Letkol Udara Rakiman, perwira operasi KOPPAU dan
perwira lain, untuk menghadiri rapat yang membahas soal latihan
itu. Dilaporkan bahwa dalam latihan kemiliteran itu para peserta di-
latih menembak, sedangkan yang lain hanya latihan baris-berbaris.
Komodor Udara Dewanto memerintahkan, agar latihan kemiliteran di
Desa Lubang Buaya segera ditutup, tetapi ternyata baru ditutup pada
tanggal 26 September 1965. Pada penutupan terpampang spanduk
besar yang berbunyi, “ Tunggu Apa Lagi”. Bunyi spanduk itu meru-
pakan isyarat, bahwa PKI sudah siap tempur untuk memulai pem-
berontakan. Ketika Letkol Udara Farman, Kepala Pusat Penerangan
www.facebook.com/indonesiapustaka

Angkatan Udara menugaskan kameramen untuk membuat doku-

J.B. Soedarmanto, Tengara Orde Baru Kisah Harry Tjan Silalahi, Jakarta: PT. Toko Gunung
63

Agung, 2004, hlm. 106

161

01-TA-16x24-terakir.indd 161 1/30/2012 9:39:11 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

mentasi film tentang pelatihan di desa Lubang Buaya, mereka tidak


diizinkan masuk ke kawasan pelatihan. Men/Pangau yang mendapat
laporan tentang hal itu, merasa heran. Ia berkata kepada Komodor
Dewanto, “ To, coba dilihat. Kok aneh, sama-sama AURI kok nggak
boleh masuk”. Pada waktu Komodor Dewanto datang memeriksa ke
tempat pelatihan di Lubang Buaya, ternyata latihan sudah selesai dan
ditutup.
Dengan perubahan kebijaksanaan pelatihan ‘sukwan-sukwati’
menjadi Harda Hanrev, maka latihan yang diselenggarakan di Desa
Lubang Buaya, apalagi para pelatihnya juga para tokoh komunis,
semakin menjurus untuk kepentingan PKI, bukan melatih sukwan-
sukwati, dan bukan untuk membantu pertahanan pangkalan. Hal itu
sesuai dengan surat keputusan Nyono, anggota Politbiro CC PKI dan
Ketua CDB PKI Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya pada tanggal 28
September 1965. Berdasarkan surat itu, maka organisasi massa PKI
yang telah mengikuti latihan kemiliteran di desa Lubang Buaya, men-
jadi bagian dari kekuatan yang dilibatkan dalam rencana Gerakan 30
September 1965.64
Menjelang meletusnya Pemberontakan G30S, organisasi mas-
sa PKI yang telah dilatih di Desa Lubang Buaya dipanggil secara
bergelombang. Pada tanggal 28 September 1965, jumlah yang datang
mencapai 4 batalion atau sekitar 2.000 orang. Selanjutnya mereka
dimasukkan dalam satuan-satuan dalam divisi Ampera, dan diga-
bung dalam Pasukan Pasopati yang bertugas melakukan pencu-
likan terhadap Jenderal A.H. Nasution, dan para jenderal lainnya.
Pasukan Bimasakti yang diproyeksikan menguasai Ibukota Jakarta
Raya; Pasukan Gatutkaca sebagai pasukan cadangan, ditempatkan di
Lubang Buaya.
ada tanggal 1 Oktober 1965 Lubang Buaya dijadikan tempat pem-
P
bantaian dan penguburan para jenderal di sebuah sumur tua di kom-
www.facebook.com/indonesiapustaka

pleks yang sebelumnya menjadi Posko Pelatihan sukwan-sukwati.


Lokasi itu dapat dilacak berkat kesaksian Sukitman, seorang Agen

Ibid., hlm. 34-35.


64

162

01-TA-16x24-terakir.indd 162 1/30/2012 9:39:11 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

Polisi yang ditangkap oleh regu penculik Jenderal Panjaitan. Masalah


status Lubang Buaya yang dijadikan Posko latihan dan pembantaian
para jenderal pada 1 Oktober 1965 pernah disanggah oleh pihak yang
berwenang dari PAU Halim yang menyatakan bahwa lokasi tersebut
berada di luar yurisdiksi PAU Halim.65 Sanggahan pihak PAU terse-
but tidak sesuai dengan kesaksian Mayor CI Santosa dari RPKAD dan
Mayor Bardi, ajudan Jenderal Yani. Mayor Subardi selaku pemimpin
tim operasi ke Lubang Buaya, Sukitman menjadi pemandu, satu regu
Yon Pomad Para, dua pilot Jenderal A. Yani, rombongan fotografer
POM DAM/Jaya, serta Lettu Urip dari Ki Benhur RPKAD. Sesampainya
di Lubang Buaya ternyata telah ada satu peleton PGT (Pasukan Gerak
Tjepat-AU) sedang membongkar berbagai macam alat perkemahan.
Mayor Subardi bersama-sama Lettu Urip dari Ki Benhur RPKAD
menjumpai perwira PGT. Dalam dialog yang alot dan menegangkan
perihal keberadaan peleton PGT di lokasi Lubang Buaya itu, Mayor
Bardi menangkap bahwa perwira AU itu menyembunyikan misi yang
sebenarnya. Mayor Bardi sulit mempercayai keterangan bahwa PGT
ada di lokasi tersebut berdalih karena faktanya daerah itu (Lubang
Buaya) memang wilayah milik AU.66
ukti-bukti lain yang memperkuat adanya pelatihan Sukwan-
B
Sukwati di Lubang Buaya ialah dengan adanya investigasi Mayor
Bardi di sekitar lokasi itu, yang juga menemukan gua-gua atau lu-
bang-lubang berisikan peti-peti peluru, pakaian-pakaian hijau, gun-
dukan-gundukan batu, dan kawat-kawat berduri untuk latihan vuur-
doop dan menembak. Di lereng kali dan petak-petak tegalan juga
ditemukan sejumlah lubang galian. Tampaknya lubang-lubang itu
sengaja dibuat untuk menyesatkan situasi dan kondisi sebenarnya.67
Ternyata para aktivis komunis yang mendapat pelatihan di Lubang

65
Ibid, hlm. lampiran Peta Situasi Halim tahun 1965.
66
“Bunga Kehormatan untuk 7 Kematian” dalam Keluarga Pahlawan Revolusi, Kunang-ku-
www.facebook.com/indonesiapustaka

nang Kebenaran di Langit Malam, Tuturan Anak-anak Pahlawan Revolusi Keluarga


Korban dan saksi pada Peristiwa Dini Hari 1 Oktober 1965, Jakarta: Keluarga Pahlawan
Revolusi, 2002, hlm. 119-172. Tentang sanggahan bahwa Lubang Buaya tempat pemban-
taian dan summer tempat korban G30S bukan wilayah PAU Halim, lihat Hermawan
Sulistyo, Palu Arit …, op.cit., hlm. 1, catatan kai 1.
67
Keluarga Pahlawan Revolusi, Kunang-kunang …, ibid., hlm. 146.

163

01-TA-16x24-terakir.indd 163 1/30/2012 9:39:11 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

Buaya tidak hanya berasal dari Jawa, melainkan juga dari luar jawa.
Misalnya, para buruh perkebunan di Medan, Sumatra Utara. Menurut
kesaksian Kemal Idris yang waktu itu (1965) menjabat Pangkopur di
Sumatra Utara, banyak anggota dewan perusahaan yang berasal dari
buruh sayap PKI saat terjadinya G30S, baru saja kembali dari pelatih­
an di Lubang Buaya, Jakarta.68

Strategi PKI Mewujudkan Masyarakat Komunis


Setelah secara organisatoris PKI berhasil menggariskan tujuan per-
juangan, landasan, metode mencari kawan dan mencapai tujuan,
penetapan kawan yang dijadikan sekutu dan lawan sebagai musuh
yang harus dibasmi, maka tahap berikutnya adalah aksi-aksi revolu-
sioner. Dalam tujuan perjuangan, berdasarkan dokumen-dokumen
seperti tercantum pada Mukadimah AD/ART, dan dalam buku pedo-
man ABC Revolusi Indonesia, PKI menyatakan bahwa hari depan
revo­lusi Indonesia adalah komunis. Landasan yang digunakan adalah
class conflict dari Karl Marx. Dalam aspek teoretis, landasan opera-
sional yang diterapkan PKI merupakan visi interpretasi ekonomi
Lenin terhadap Marxisme. Di sini masyarakat dipisahkan secara dia­
metral menjadi dua kekuatan kontradiktif, yaitu para pendukung
revolusi gaya PKI, dinamakan kekuatan “progresif revolusioner” dan
penentangnya sebagai kontra revolusi, reaksioner, kepala batu, atau
antek neo-kolonialisme dan imperialisme.
Sejak 1955 PKI menggariskan pengggunaan Metode Kombinasi Tiga
Bentuk Perjuangan (MKTB), yaitu melancarkan aksi gerilya di kalang­
an massa petani di pedesaan, gerakan revolusioner kaum buruh di
perkotaan, dan penyusupan di kalangan ABRI, sebagai implementasi
kebijakan partai yang diputuskan oleh Kongres IV PKI. Dengan MKTB
itu PKI telah melakukan persiapan bagi dilancarkannya revolusi so-
sial.69 Berkat kerja kerasnya, PKI keluar sebagai partai pemenang
www.facebook.com/indonesiapustaka

Rosihan Anwar, Kemal Idris …, op.cit., hlm. 176.


68

D.N. Aidit, “Kobarkan Semangat Banteng Maju Terus Pantang Mundur”. Dalam Laporan
69

pada Sidang Pleno CC PKI tanggal 23-26 Desember 1964, Djakarta, CCPKI, 1964, hlm.
32-84.

164

01-TA-16x24-terakir.indd 164 1/30/2012 9:39:11 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

ke-4 pada Pemilu 1955. Dengan dikeluarkannya Dekret 5 Juli 1959,


perkembangan PKI semakin pesat. Strateginya dengan merangkul
Presiden Sukarno, dan secara lihai memanfaatkan momentum politik
nasional untuk mentransformasikan program-program partai dalam
rumusan konseptual dan doktrin-doktrin perjuangan. Misalnya, kon-
sep “revolusi belum selesai”, “melaksanakan Manipol sama dengan
melaksanakan program PKI”, “menentang UUPA (landreform) ber­
arti mengkhianati Jarek, Dekon, dan Tavip”.70 Tatkala melaksanakan
Dekret, Presiden Sukarno memerlukan dukungan ABRI, namun
dalam perkembangannya tidak sedikit wawasan Bung Karno yang se-
jalan dengan visi PKI, khususnya mengenai kolonialisme, imperial-
isme, dan revolusi yang dianggap belum selesai. Apalagi PKI belum
siap sebagai kekuatan politik keempat dalam tatanan politik waktu
itu, karena mandeknya demokrasi parlementer. Akibatnya PKI tidak
dapat berbuat lain kecuali memberikan dukungan tanpa reserve terha­
dap pemerintahan Presiden Sukarno. Sebaliknya, Sukarno juga me-
merlukan sekutu untuk menghadapi TNI AD yang tidak begitu saja
mau mengikuti keinginannya. Sejak itu terjadilah persaingan politik
antara Bung Karno, TNI AD, dan PKI.
alam suasana kembali ke UUD 1945, Presiden Sukarno mem-
D
pertegas konsepsinya yang diucapkan dalam pidato 17 Agustus 1959
berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita. Pidato itu kemudian dise­
rahkan kepada Panitia Kerja Dewan Pertimbangan Agung (DPA) su-
paya dirumuskan menjadi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Panitia Kerja dipimpin oleh D.N. Aidit, Ketua CC PKI. Peluang itu di-
manfaatkan Aidit untuk memasukkan program-program PKI ke dalam
GBHN dengan Manfesto Politik Republik Indonesia (Manipol). Dengan
lihainya Aidit mensistematisasi Manipol dan memasukkan program-
programnya dalam GBHN, berdasar tesis PKI Masyarakat Indonesia
www.facebook.com/indonesiapustaka

70
D.N. Aidit, “Berani, Sekali Berani” dalam Laporan Politik Ketua CC PKI pada Sidang
Pleno 19 Februari 1963, hlm. 4-5; Jarek (Jalan Revolusi Kita), pidato Presiden tanggal 17
Agustus 1961; Dekon (Deklarasi Ekonomi, 1963); Tavip (Tahun Viveri Veri Coloso), pidato
Presiden 17 Agustus 1964.

165

01-TA-16x24-terakir.indd 165 1/30/2012 9:39:11 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

dan Revolusi Indonesia yang dirumuskan tahun 1957. Adanya per-


tautan antara MIRI dan Manipol dapat dilihat sebagai berikut.

Bab II Revolusi Indonesia II. Persoalan-persoalan Pokok


Revolusi Indonesia
Pasal 2 Soal-soal Pokok Revolusi
Indonesia

A. Tentang sasaran pokok atau musuh Musuh-musuh Revolusi Indonesia


pokok daripada Revolusi Indonesia

B. Tentang Tugas-tugas Revolusi Indonesia 1. Dasar dan Kewajiban Revolusi


Indonesia

C. Tentang tenaga-tenaga penggerak atau 2. Kekuatan-kekuatan sosial


pendororong Revolusi Indonensia Revolusi Indonesia

D. Tentang Watak Revolusi Indonesia 3. Sifat Revolusi Indonesia

E. Tentang Perspektif Revolusi Indonesia 4. Hari depan Revolusi Indonesia

emakin lama PKI semakin merasa kuat, karena program-program-


S
nya berhasil dintegrasikan dengan program pemerintah. Karenanya
PKI mulai mengubah taktik perjuangannya. Perubahan itu dikukuh-
kan dalam Kongres Nasional PKI pada April 1962 yang menyatakan:

“PKI tidak memandang pekerjaan dalam parlemen sebagai pekerjaan


terpokok dan tidak pula menganggapnya sebagai satu-satunya bentuk
perjuangan. PKI mendasarkan politiknya atas analaisa Marxis menge-
nai keadaan yang kongkrit dan perimbangan kekuatan”.

Pada 1964 para kader muda yang militan PKI makin keras menekan
pimpinannya agar lebih menegaskan lagi tujuan pejuangan partai,
serta hubungan mereka dengan kelompok lain, agar dapat membeda-
kan dengan jelas musuh-musuh komunis yang harus basmi.71
Skenario itu mereka terapkan dalam bentuk teror ditujukan kepada
lawan-lawan politiknya, seperti HMI,72 para “setan desa” dalam aksi
www.facebook.com/indonesiapustaka

71
D.N. Aidit, “Dengan Semangat Banteng Marah Mengkonsolidasikan Organisasi Komunis
Yang Besar”, Harian Rakyat, 6 Juli 1964.
72
Kesaksian Drs. Sudarpo Mas’udi dan St. Munjilah Mada Amir Hamzah “Peristiwa
Utrecht, Jember” dalam Membuka Lipatan Sejarah, Menguak Fakta Gerakan PKI, Jakarta:

166

01-TA-16x24-terakir.indd 166 1/30/2012 9:39:11 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

sepihak, para pendukung Manifes Kebudayaan (Manikebu), pendu-


kung Badan Pendukung Sukarnoisme (BPS), Partai Murba, dan lain-
lain. Sementara itu lemahnya Uni Soviet terhadap tekanan Amerika
Serikat dalam masalah Kuba tahun 1962, penolakan mengulurkan
tangan kepada PKI, sikap itu telah menggeser orientasi kepemim­
pinan komunis internasional PKI dari Moskow ke Peking. Keputusan
PKI untuk bersikap netral dalam konflik Cina-Sovyet menjadi kamu-
flase dari keputusan PKI guna menjalin dan mencapai persetujuan
antara pimpinan PKI dan Partai Komunis Cina. Hal ini terbukti de­
ngan pernyataan Chen Yi kepada Subandrio dan tawaran bantuan
senjata yang telah disebutkan.
KI yang mengambil banyak keuntungan dalam konflik Indonesia-
P
Malaysia (1963) juga mengambil sikap keras, bahkan bertabrakan
dengan ABRI yang dikecamnya sebagai kaum kontra revolusioner,
kapitalis birokrat, agen-agen imperialis, dan tuduhan melakukan
kudeta terhadap Sukarno melalui pemberontakan-pemberontakan.73
Sikap menantang itu memuncak tatkala pada 14 Januari 1965 PKI
menuntut dipersenjatainya kaum buruh dan tani dengan alasan un-
tuk melakukan konfrontasi dengan Malaysia. Meskipun Sukarno pada
hari itu menolak tuntutan tersebut, namun pada 17 Januari 1965 hal
itu diteriakkan lagi dengan nada lebih keras oleh Aidit.74 Bagaimana
sengitnya reaksi Angkatan Darat telah dijelaskan.
ementara itu, dengan makin keras sikap PKI seperti ditunjukkan
S
baik pada forum-forum resmi partai, maupun aksi-aksinya terhadap
golongan lain misalnya, pencetus Manifes Kebudayaan yang dising-
kat Manikebu, Partai Murba, dan juga aksi-aksi brutalnya dalam aksi-
aksi sepihak, D.N. Aidit pada November 1964 mempersiapkan suatu
organisasi yang kemudian dikenal sebagai Biro Khusus. Ternyata
keberadaan Biro Khusus tidak pernah tercantum dalam struktur or-
ganisasi, sehingga tidak ada dalam susunan Committee Central (CC)
www.facebook.com/indonesiapustaka

PKI. Dalam merencanakan perebutan kekuasaan D.N. Aidit membuat

Pustaka Cidesindo, 1999, hlm. 89-99.


73
Ibid.
74
Harian Rakyat, 6 Mei 1965.

167

01-TA-16x24-terakir.indd 167 1/30/2012 9:39:11 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

perencanaan dengan melibatkan pelaku dalam jumlah sangat terba-


tas, tertutup, serta jarak waktu antara perencanaan dengan pelaksa-
naan sangat singkat. Langkah itu dilakukan guna menghindari kebo-
coran. Empat orang Dewan Harian Politbiro terlibat, yaitu D.N. Aidit,
Soedisman, Loekman, dan Njoto. Soedisman adalah anggota Dewan
Harian yang sangat berkuasa, sehingga sidang-sidang Politbiro dise­
rahkan kepadanya. Lainnya yang terlibat langsung ialah Sjam, Pono,
Letkol Untung, Kolonel A. Latief, dan Mayor Udara Soejono.
ada pertengahan kedua Agustus 1964, Aidit, secara penuh men­
P
dapat perhatian Sukarno, yang mengangkatnya sebagai Menko dan
Wakil Ketua MPRS. Terdapat petunjuk bahwa Aidit saat itu telah
menjadi penguasa tunggal partai yang berkuasa sepenuhnya. Apalagi
dengan didukung oleh Nyoto, kolega Aidit dalam Politbiro, yang se-
cara pribadi sangat cocok dengan Presiden Sukarno.
Pada 1964, Aidit menjadi kepala bagian militer Dewan Harian
Politbiro, yang sebelumnya tidak ada. Dengan demikian Biro Khusus
bukan aparat partai, melainkan aparat ketua partai. Kekuasaan mili-
ter itu tidak didelegasikan kepada anggota Dewan Harian Politbiro
lainnya. Aidit sendiri yang memegang secara pribadi, karena selain
posisinya sangat kuat, juga memiliki kekuatan militer. Pimpinannya
dipercayakan kepada Sjam. Tokoh ini oleh Aidit pernah dikirim ke
Vietnam Utara, RRC, dan Korea Utara untuk mempelajari perang
rakyat dan intelijen. Oleh sebab itu, sepak terjang Sjam selalu awas,
licin, dan teliti dalam mempelajari lawan. Sjam juga disebutkan se-
bagai orang yang misterius dan tertutup.75 Nama lain Sjam adalah
Kamaruzaman bin Achmad Moebaidah, pimpinan buruh pelabuhan
Tanjung Priok. Di kalangan militer, ia dikenal dengan nama Sjam,
sedangkan di kalangan PKI bernama Gimin. Keberadaan organisasi
yang dipimpinnya, Biro Khusus, maupun personalianya tidak diketa-
hui oleh orang-orang atau pimpinan PKI lainnya, kecuali oleh Dewan
www.facebook.com/indonesiapustaka

Harian Politbiro. Jadi Aidit memiliki aparat di luar organisasi PKI

75
Oei Tjoe Tat, Memoar Oei Tjoe Ttat, Pembantu Presiden Sukarno, Jakarta: Hasta Mitra,
1995.

168

01-TA-16x24-terakir.indd 168 1/30/2012 9:39:11 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

formal yang hanya diketahui oleh orang-orang sangat terbatas.76 Hal


ini sesuai dengan pengakuan Sulami, Wakil Sekjen Gerwani, yang
menyatakan bahwa organisasinya tidak pernah diajak bicara perihal
G30S.77 Keberadaan Biro Khusus baru terungkap berkat pengakuan
Nyono di Mahmillub tahun 1966. Nyono menyatakan bahwa Sjam
sebagai orangnya Aidit. Pengakuan itu diperkuat dengan ditemukan-
nya negatif film di Penas, tiga hari pasca G30S, oleh RPKAD (sekarang
Kopassus).78
ugas Biro Khusus bersifat rahasia dan misterius, dengan koman­do
T
langsung dari D.N. Aidit sebagai Ketua CC PKI. Berdasarkan Metode
Kerja Tiga Bentuk Perjuangan (MKTBP) melakukan penyusupan dan
pembinaan terhadap anggota ABRI, dengan sasaran pimpinan-koman­
dan pasukan, perwira-perwira intelijen, personalia dan teritorial.
Sistem keanggotaanya berbentuk sel, terdiri dari 3 anggota. Antara
sel satu dengan lainnya tidak saling mengenal, sehingga menyerupai
sarang laba-laba. Menurut laporan hasil pemeriksaan, Biro Khusus di­
pimpin secara kolektif oleh Sjam, Pono, dan Bono dengan komandan-
nya secara langsung Aidit. Biro Khusus Pusat membawahi langsung
Biro Khusus Daerah yang berada di tingkat CDB tanpa melalui lem-
baga itu. Sutopo Juwono menyatakan, meskipun Biro Khusus baru
berdiri pada 1964, tetapi hasil kerja MKTBP, khususnya ABRI telah
dilaksanakan sejak 1954, terutama kepada mantan anggota ABRI, ma-
syarakat, Pesindo, dan kelaskaran-kelaskaran lain dari PKI. Misalnya
Letkol Untung, adalah anggota tentara yang terlibat dalam Peristiwa
Madiun, yang berhasil dibina sejak 1950.79
KI memang berhasil melakukan penyusupan ke tubuh Angkatan
P
Darat. Berbagai jajarannya berhasil ditembus, tetapi bagian tersulit
adalah inti komandonya. Kelompok ini terdiri dari kelompok Jenderal
A.H. Nasution dan kelompok Jenderal A. Yani, yang tidak dapat mere­
www.facebook.com/indonesiapustaka

76
Aristides Katoppo, op.cit., hlm. 79-82.
77
Sulami, Perempuan-perempuan Dalam Penjara, Jakarta: Cipta Lestari, 1999, hlm. 2
78
Atmadji Sumarkidjo, op.cit., hlm. 126-127.
79
Sutopo Juwono, dalam catatan yang tidak diterbitkan, ditulis dan dihimpun oleh
Soedianto Sastro Atmodjo, dan Tolkhah Mansyur (1997). Lihat Atmadji Sumarkidjo, ibid.,
hlm. 132.

169

01-TA-16x24-terakir.indd 169 1/30/2012 9:39:12 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

ka tembus. Akibatnya, pimpinan PKI menyimpulkan bahwa penyu­


supan komunis model Cekoslawakia tahun 1947 tidak dapat dite­
rapkan di Indonesia. Dengan gagalnya strategi tersebut, PKI berganti
langkah, mengimplementasikan strategi model Kuba. Tahap pertama
dihembuskanlah jargon philosophy of hope, yaitu memberikan harap­
an perbaikan nasib, agar orang hidup lebih baik. Sejalan dengan fi-
losofi itu, dirancanglah skenario kudeta menggunakan model Kuba.
Waktu itu Castro dengan pasukan kecil (satu kompi) dapat mengalah-
kan pasukan pemerintah. Hal itu disebabkan Castro memanfaatkan
kondisi sosial ekonomi yang parah, hingga kepercayaan rakyat terha-
dap pemerintah turun sehingga revolusi sosial mudah dicetuskan.
irip dengan kejadian di Kuba, di tengah-tengah krisis ekonomi
M
yang dahsyat, dengan tingkat inflasi sekitar 650%,80 skenario “revo­
lusi” dilancarkan dengan format Gerakan 30 September 1965 di
bawah pimpinan Dewan Revolusi. Perhitungannya, dengan kekuatan
penghancur kecil dapat memukul lawan dengan telak, menimbulkan
kejutan (surprise) hingga keadaan mudah dikuasai. Dalam kondisi
semacam ini, secara umum publik dalam waktu singkat tidak dapat
berbuat lain kecuali memberikan dukungan.
udisman memiliki pemahaman tentang tradisi budaya yang ber­
S
akar pada sejarah Jawa dengan mendalam. Dalam pandangan Jawa,
sebagaimana dipahaminya, lokasi yang telah jatuh ke tangan lawan
tercemar, ternoda, dan membawa sial. Sesuai dengan kepercayaan
masyarakat Jawa yang mistis, paternalistis dan konsentris, keputus­
an yang terjadi di tingkat pusat kekuasaan atau kepemimpinan akan
diikuti oleh bawahannya. Dalam konteks pelaksanaan, waktu, dan
tindakan, PKI harus melumpuhkan kekuatan lawan kemudian meng­
ambil alih kekuasaan di pusat telah diperhitungkannya.81
ada 8 Oktober 1965 kekuatan-kekuatan sosial politik non-PKI
P
mengadakan apel di Taman Surapati, Jakarta. Mereka menuntut pem-
www.facebook.com/indonesiapustaka

bubaran PKI. Sementara itu, di masyarakat opini juga semakin meng-


80
J.B. Soedarmanto, Tengara Orde baru Kisah Harry Tjan Silalahi, Jakarta: Penerbit Gunung
Agung, 2004, hlm. 119.
81
Sudisman, Pledoi Sudsiman

170

01-TA-16x24-terakir.indd 170 1/30/2012 9:39:12 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

arah pada tuntutan pembubaran PKI. Pada 23 Oktober 1965 sejumlah


parpol dan ormas non-komunis, dengan dukungan, ABRI memben-
tuk Front Pancasila untuk memberi isyarat kepada Presiden Sukarno
guna mengambil tindakan tegas terhadap Peristiwa G30S. Tetapi dari
segi yuridis ternyata aparat penegak hukum mengalami kesulitan
kesaksian untuk membuktikan bahwa PKI bertindak sebagai dalang
kudeta. Oleh karenanya, sampai akhir tahun 1965 belum ada embel-
embel PKI di belakang G30S.82
esulitan itu dikarenakan sampai akhir Oktober 1965 belum ada
K
seorang pun pimpinan PKI dari CC maupun Politbiro yang tertang-
kap. Di tempat tahanan, mereka yang ditangkap melakukan gerakan
tutup mulut (GTM) secara efektif. Pembuktian menjadi terbuka tatkala
Ali Said, Durmawel Ahmad, dan Datuk Mulia, dari Oditorat Jenderal
AD, pada 4 November 1965 secara tidak sengaja dapat menangkap
Nyono yang dirazia di Pasar Burung Jatinegara tiga minggu sebelum-
nya. Karena hari itu diberitahu akan dibebaskan, Nyono tidak senga­
ja menulis namanya sendiri dan lupa menulis nama samarannya.
Akibatnya, Nyono tatkala ditangkap tidak berkutik.83
ari hasil pemeriksaan terhadap Nyono, yang pada saat kejadian
D
menjabat sebagai Ketua CDB PKI Jakarta, Pengendali G30S di Jakarta,
Ketua SOBSI dan anggota Politbiro, dapat diketahui tentang latar be-
lakang dan motivasi G30S, faktor-faktor pendorong dan pengham-
bat, sakitnya Presiden Sukarno, isu Dewan Jenderal, kelemahan PKI
dalam G30S yang hanya difokuskan kepada gerakan politik dan meng­
abaikan gerakan militer seperti tentang kesatuan komando, logistik
dan perhubungan. Kelemahan lainnya menurut pengakuan Nyono,
PKI tidak memperhitungkan secara rasional kekuatan yang dihadapi,
dan ketergantungkan partai kepada Sukarno. Bung Karno oleh PKI
diperkirakan akan dapat dikendalikan melalui batalion atau resi-
www.facebook.com/indonesiapustaka

82
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 370 Tahun 1965 penunjukkan Mahkamah
Militer Luar Biasa (Mahmillub) untuk memeriksa dan mengadili tokoh-tokoh yang ter-
libat petualangan kontra-revolusi “Gerakan 30 September”.
83
Durmawel Ahmad,”Sangkur Adil, Pengupas Fitnah Khianat”, dalam Sri Murni Ali Said,
Ali Said di antara Sahabat, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997, hlm. 73-93.

171

01-TA-16x24-terakir.indd 171 1/30/2012 9:39:12 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

men pengawal istana.84 Hal ini terbukti dengan penugasan Brigjen


Soepardjo untuk menghadap dan menggiring Presiden ke Halim
Perdanakusuma pada pagi 1 Oktober 1965.
akta lain yang membuktikan keterlibatan PKI dalam G30S ialah
F
terjadinya Gerakan Mbah Suro di Blora (1967), munculnya PKI Gaya
Baru di Blitar Selatan yang dapat ditumpas oleh Operasi Tri Sula
pada 1968,85 peristiwa Grobogan-Purwodadi dan Klaten tahun 1969.86
Sisa-sisa kekuatan PKI di luar negeri seperti di RRC, Rusia, Albania,
Cekoslwakia, dan juga Belanda, kemudian membentuk kepengurusan
yang mengklaim sebagai CC PKI yang sah pasca G30S 1965. Adanya
gerakan kebangkitan kembali dan perlawanan komunis baik di dalam
negeri ataupun di luar negeri, selain menunjukkan keterlibatan PKI
sekaligus membuktikan bahwa G30S 1965 belum merupakan suatu
perjuangan final.

Bagaimana Malam G30S Direncanakan?


Berdasarkan pengakuan tokoh-tokoh PKI dalam sidang-sidang
Mahmillub,87 selama September 1965, rapat-rapat khusus Politbiro
yang dipimpin oleh Aidit telah menentukan tindakan pendahuluan
yang akan dilaksanakan. Gerakan itu secara garis besar dirumuskan
oleh Politbiro, langkah-langkah atau action plan diserahkan kepada
Sjam untuk ditindaklanjuti. Sebelum melakukan aksi, Sjam dan
Aidit merancang skenario sebagai berikut.
1. Secara objektif, PKI belum berhasil menjadi king maker.
Kedudukan itu masih diperankan oleh Sukarno. Presidenlah

84
Ibid.
85
M. Jasin, Saya Tidak Pernah MintaAampun kepada Soeharto, Jakarta, Sinar Harapan,
1998, hlm. 67-95.
86
Maskun Iskandar dan Jopie Lasut, “ Peristiwa Pembantaian di Purwodadi”, dalam Robert
www.facebook.com/indonesiapustaka

Cribb, The Indonensia Killings Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966, Jakarta,
Penerbit Matabangsa bekerja sama dengan Syarikat Indonesia Yogyakarta, 2003, hlm.
323-384.
87
Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub) dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden
No. 370 Tahun 1965, tanggal 4 Desember 1965. Istilah G30S/PKI sampai akhir tahun 1965
belum dipakai.

172

01-TA-16x24-terakir.indd 172 1/30/2012 9:39:12 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

yang menyeimbangkan PKI setara dengan ABRI. Kehebatan PKI


karena proteksi Bung Karno.
2. PKI tidak akan mengulangi pemberontakan bersenjata secara
terbuka seperti yang dilakukan oleh Moeso di Madiun, karena
risikonya amat tinggi.
3. Akibat kebijakan Presiden Sukarno yang menunda Pemilu
dalam waktu yang tidak ditentukan, PKI kehilangan peluang
untuk tampil sebagai partai terbesar.
4. PKI juga tidak mungkin menerapkan model Partai Komunis
Cekoslowakia yang melakukan infiltrasi untuk menguasai bi-
rokrasi hingga akhirnya menguasai seluruh pemerintahan. Hal
itu dikarenakan infiltrasi PKI terhadap TNI AD di bawah kepe-
mimpinan Nasoetion-Yani gagal ditembus. Padahal TNI AD juga
merupakan kekuatan politik yang tangguh, di samping Presiden
Sukarno.
5. PKI harus menunggu hingga kondisi sosial-ekonomi masyarakat
benar-benar kacau, hingga pemerintah kehilangan kepercayaan.
Dalam kondisi demikian langkah-langkah PKI akan diterima se-
bagai hal yang wajar oleh masyarakat.

Untuk itu D.N. Aidit kemudian memilih beberapa kombinasi alterna-


tif di atas untuk dilaksanakan oleh Sjam. Skenarionya, PKI tidak
mau terlibat dalam pemberontakan secara langsung (open rebellion),
seperti yang dilakukan oleh Moeso tahun 1948. Oleh karena itu akan
dibina sejumlah perwira TNI untuk dijadikan pion bagi kudeta, se-
hingga timbul kesan bahwa para pelakunya adalah ‘orang dalam’
TNI; dan terakhir menciptakan kondisi sosial-ekonomi sedemikian
parah hingga memungkinkan PKI mendapatkan dukungan rakyat.
ntuk mematangkan situasi sampai perebutan kekuasaan dilak-
U
sanakan, pada Agustus 1965, D.N. Aidit meyakinkan kepada publik
www.facebook.com/indonesiapustaka

bahwa berdasarkan dokumen terpercaya (baca: Dokumen Gilchrist)


Dewan Jenderal benar-benar ada, meskipun terdapat juga kelompok

173

01-TA-16x24-terakir.indd 173 1/30/2012 9:39:12 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

perwira-perwira progresif yang menentang dewan itu.88 Selanjutnya


Aidit menyatakan, bahwa ia telah ditemui oleh para perwira progresif
yang menanyakan posisi PKI, bila Dewan Jenderal melakukan kudeta.
D.N. Aidit kemudian juga menyatakan bahwa ia telah ditanya, apa­
kah tidak sebaiknya PKI mengambil langkah awal untuk mencegah
Dewan Jenderal. Skenario tersebut kemudian berkembang menjadi
desas-desus yang dianggap mengandung kebenaran.
ntuk mendapatkan legitimasi, D.N. Aidit dalam rapat Politbiro
U
17 Agustus 1965 menyatakan bahwa PKI harus mengambil tindak­
an terhadap situasi politik akibat kudeta Dewan Jenderal.89 Padahal
skenario besar itu secara diam-diam telah disusunnya, namun tidak
banyak diketahui, meskipun di kalangan PKI sendiri. Dalam aksi
tersebut Biro Khusus Pusat dan Daerah bertindak sebagai penggerak,
sedang yang mengerjakan militer. Setelah Susunan Dewan Revolusi
diumumkan, baik di tingkat pusat maupun daerah, kemudian mas-
sa akan diterjunkan untuk melakukan unjuk rasa guna memberikan
dukungan kepada Dewan Revolusi yang baru dibentuk. Untuk itu
segenap warga dan Pimpinan PKI supaya mengikuti perkembangan
terakhir berita RRI. Oleh Aidit dan Nyoto direncanakan, bila massa
sudah bergerak menyatakan dukungannya, kemampuan balance of
power Presiden Sukarno yang menempatkan PKI-TNI AD pada posisi
seimbang, untuk dijadikan pion, tidak berguna lagi. Dalam kondisi
demikian diciptakan situasi agar Presiden Sukarno tidak dapat meng­
ambil keputusan, kecuali memberikan dukungan kepada Dewan
Revolusi, meskipun dengan terpaksa karena Angkatan Darat su-
dah tidak berdaya. Apabila berhasil, PKI akan membentuk kabinet
Nasakom yang diisi oleh orang-orang PKI dan simpatisannya.
Selanjutnya D.N. Aidit, selaku ketua CC PKI, pada Agustus 1965
itu pula menginstruksikan pada Sjam Kamarusaman untuk menyu-
sun rencana organisasi G30S. Dalam pertemuan pertama yang kemu-
www.facebook.com/indonesiapustaka

88
Perwira-perwira yang berhasik dibina oleh Sjam hingga menjadi opposisi di kalangan
Angkatan Darat, antara lain Letkol Untung, Kolonel A. Latif, Brigjen Supardjo, dan
kawan-kawan.
89
Pengakuan Nyono di Mahmillub 15 Februari 1966, dan kesaksian Pardede 16 Februari
1965, keduanya dari Politbiro PKI.

174

01-TA-16x24-terakir.indd 174 1/30/2012 9:39:12 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

dian diadakan di rumah Sjam pada tanggal 14 Agustus 1965, sebagai


Kepala Biro Chusus kemudian menyusun rencana organisasi G30S.
Masalah organisasi tersebut merupakan “top secret”, tidak diketahui
banyak anggotanya. Hal ini tercermin dari pernyataan Ketua CGMI
waktu itu, Hardoyo, yang mengatakan bahwa CGMI termasuk ormas
yang tidak mengetahui rencana rahasia itu, karena pada saat peristiwa
itu terjadi, ia sedang mengikuti kongres di Jakarta. Selain itu mung-
kin saja tidak semua anggota partai mengetahui langkah-langkah
tersebut, karena “demokrasi sentralisme” dalam tubuh PKI memang
menyerahkan keputusan-keputusan kepada pucuk pimpinan partai.
Bahkan dalam keadaan keputusan penting, hal tersebut bisa dise­
rahkan kepada Ketua Partai dengan “Biro Khususnya”.90 Pertemuan
pertama yang kemudian diadakan di rumah Sjam pada 14 Agustus
1965 dan dihadiri oleh Pono dan Waluyo, memilih tiga orang calon
pimpinan gerakan, yaitu Letnan Kolonel Untung, Kolonel A. Latief,
dan Mayor Udara Sujono. Di samping itu disetujui pula melalui kese-
pakatan rapat tersebut untuk memanggil seluruh Kepala Biro Chusus
Daerah guna menerima instruksi dari Sjam serta sekaligus memeriksa
kekuatan bagi pelaksanaan gerakan. Pada tanggal 27 Agustus 1965
Sjam dipanggil D.N. Aidit di rumahnya untuk meminta laporan hasil
rencana G30S. Aidit menyarankan kepada Sjam agar segera memu-
lai dan memimpin rapat-rapat dengan tokoh-tokoh pimpinan gerakan
tingkat pusat dan daerah.91

Rapat Teknis pada September 1965


Rapat pertama tanggal 6 September 1965 di rumah Kapten Wahyudi,
Jalan Sindanglaya No. 5 Jakarta, dihadiri Sjam Kamarusaman dan
Supono dari PKI, Kolonel Latief, Letkol Untung, Mayor Udara Sujono,
dan Kapten Wahyudi (anggota Artileri). Dalam pertemuan ini Sjam
memberikan briefing tentang adanya Dewan Jenderal yang dipimpin
www.facebook.com/indonesiapustaka

J.B. Soedarmanta, op.cit., hlm. 99 dan hal. 106


90

Berita Acara Pemeriksaan Mahmillub Kamarusaman bin Ahmad Mubaidah (Kepala Biro
91

Chusus Central PKI, Dalam G30S, September 1965).

175

01-TA-16x24-terakir.indd 175 1/30/2012 9:39:12 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

oleh Jenderal Nasution dan Jenderal A. Yani. Keduanya dianggap


telah mengadakan rapat untuk melakukan coup terhadap pemerin-
tah. Di samping itu rapat juga membahas tentang sakitnya Presiden
Sukarno serta menyampaikan pula instruksi Ketua CC PKI untuk
mengadakan gerakan mendahului coup Dewan Jenderal. Rapat kedua
pada tanggal 9 September 1965 dihadiri peserta yang sama dan di
tempat yang sama pula. Pada kesempatan ini Sjam meminta pada
anggota rapat agar membuat persetujuan bersama untuk ikut dalam
gerakan. Dalam hal ini dibicarakan perwujudan pengorganisasian
dan pengaturan kesatuan-kesatuan yang ada di Jakarta serta kekuat­
an-kekuatan yang bisa digunakan untuk gerakan. Rapat ketiga dilak-
sanakan tanggal 13 September 1965 dihadiri Sjam, Pono, Letkol
Untung, Kolonel Latief, Mayor Udara Sujono, Mayor A. Sigit, Kapten
Wahjudi, bertempat di kediaman Kolonel Latief, Jalan Cawang I
Kaveling 524/525, Jatinegara, Jakarta Timur. Pertemuan tersebut
menghasilkan beberapa keputusan, di antaranya, peninjauan kesatu-
an yang ada di Jakarta dan menerima kekuatan tambahan dari
Pasukan Pengaman Pangkalan (P-3) AURI dan Mayor Udara Sujono.
Sasaran gerakan ialah Jenderal-Jenderal Angkatan Darat. Rapat ke-
empat dilaksanakan pada tanggal 15 September 1965, dihadiri oleh
Sjam, Pono, Letkol Untung, Kolonel Latief, Mayor Udara Sudjono,
Mayor A. Sigit, Kapten Wahyudi, bertempat di kediaman Kolonel
Latief. Masalah yang dibahas adalah kesatuan-kesatuan yang dapat
diikutsertakan dalam gerakan, yaitu Batalion Tjakrabirawa pimpin­
an Letkol Untung, Batalion Brigif I Kodam V/Jaya pimpinan Mayor A.
Sigit, Pasukan P3AU pimpinan Mayor Udara Sujono.
Di samping itu Sjam menyampaikan “berita baik” bahwa akan
datang ke Jakarta Batalion 454 Para/Diponegoro dari Jawa Tengah di
bawah pimpinan Mayor Sukirno dan Batalion 530 Para/Brawijaya
dari Jawa Timur dipimpin Mayor Bambang Supeno, dalam rangka
HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1965. Kedua pimpinannya berjanji
www.facebook.com/indonesiapustaka

akan membantu gerakan yang telah direncanakan oleh para peserta


yang sama di kediaman Kolonel Latief. Dalam pertemuan ini sudah

176

01-TA-16x24-terakir.indd 176 1/30/2012 9:39:12 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

ada kepastian mengenai pasukan yang ikut gerakan di Jakarta, yak-


ni 1 Batalion Brigif I Kodam V/Jaya, 1 Batalion P3 AURI, 1 Kompi
Artileri dan 1 Kompi Tjakrabirawa. Di samping itu Sjam menyatakan
pula bahwa 1 Batalion Brawijaya dan 1 Batalion Diponegoro sudah
bisa ditentukan pembagian tugasnya masing-masing. Rapat keenam
pada 19 September 1965, dihadiri oleh Sjam, Pono, Letkol Untung,
Kolonel Latief, Mayor Udara Sujono, Kapten Wahjudi bertempat di
rumah Sjam, Jalan Salemba Tengah, Jakarta. Dalam rapat tersebut
dibahas, antara lain, masalah organisasi gerakan dengan susunannya,
yaitu bidang politik dipimpin oleh Sjam dan Pono, bidang Militer
dipimpin oleh Letkol Untung dan Kolonel Latief, bidang Observasi
dipimpin oleh Walujo. Khusus bidang Militer dibagi dalam pasukan
penggempur, diberi nama Pasopati dipimpin Lettu Dul Arief dari
Tjakrabirawa, Pasukan teritorial dinamai Bima Sakti dengan pimpin­
an Kapten Suradi dari Brigif I Kodam V/Jaya, dan pasukan Cadangan
yang disebut Gatotkaca dipimpin Mayor Udara Gathot Sukrisna dari
AURI. Pada pertemuan ini Sjam menyebutkan pula pimpinan seluruh
gerakan adalah Letkol Untung. Penunjukan Letkol Untung didasarkan
pada pertimbangan-pertimbangan, seperti namanya yang hanya dike-
nal terbatas dan kedudukannya sebagai pengawal pribadi Presiden
yang sangat cocok dengan tema utama gerakan yaitu menyelamatkan
Presiden Sukarno. Selain itu pangkat Letkol ditentukan sebagai pang­
kat tertinggi dalam gerakan tersebut.
Rapat ketujuh, tanggal 22 September 1965, dihadiri oleh orang
yang sama, kecuali Mayor Agus Sigit dan Kapten Wahjudi. Rapat yang
diselenggarakan di tempat yang sama, membahas penentuan sasaran
masing-masing pasukan. Dalam hal ini sasaran Pasopati adalah para
Jenderal (Dewan Jenderal), sasaran Bima Sakti yaitu RRI, telekomu-
nikasi, dan teritorial. Gatotkaca, bertugas mengkoordinir kegiatan di
Lubang Buaya dan menghimpun tenaga cadangan. Selain itu diten-
tukan pula oleh Sjam agar Letkol Untung menghubungi Yon 530 dan
www.facebook.com/indonesiapustaka

Yon 454 setelah batalion-batalion tersebut berada di Jakarta.

177

01-TA-16x24-terakir.indd 177 1/30/2012 9:39:12 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

Rapat kedelapan dilaksanakan pada tanggal 24 September 1965,


dihadiri oleh orang yang sama seperti pada rapat ketujuh, bertem-
pat di kediaman Sjam. Pada pertemuan ini dibahas, antara lain per-
soalan tempat komando bagi pimpinan gerakan dan penentuan dae-
rah pemundurannya (kompleks Halim dan daerah Pondok Gede).
Selanjutnya tempat komando ditentukan di Gedung Penas yang dise-
but Central Komando (Cenko). Sehubungan dengan permasa­lahan
sektor, Njono diperintahkan untuk membentuk dan menunjuk ko-
mandan sektor, seperti Sektor di Kebayoran Baru, Kebayoran Lama,
Mampang Prapatan, Pasar Manggis, Senayan, dan lain-lain. Tugas ko-
mandan sektor memberikan bantuan pada gerakan, sedangkan kode-
kode buatan anggota Gerwani yang ikut latihan di Lubang Buaya
dibagikan kepada para pasukan-pasukan baru tanggal 28 September
serta kepada pihak-pihak yang ikut dalam gerakan, diperintahkan un-
tuk siap siaga di pos dan dalam waktu yang telah ditentukan.
Rapat kesembilan, tanggal 26 September 1965, dihadiri oleh para
anggota yang hadir pada rapat kedelapan, dan bertempat di kediaman
Sjam. Materi yang dibahas dalam rapat ini, yaitu membahas laporan
Mayor Udara Sujono tentang persiapan Central Komando (Cenko) di
Gedung Penas (P.N. Areal Survey) dengan persiapan daerah pemun-
duran di Halim dan Pondok Gede. Sedangkan mengenai penentuan
Cenko I dan Cenko II adalah Gedung Penas dan rumah kediaman
Sersan Udara Aris Suyatno di Kompleks Halim. Pada pertemuan ke-
sembilan ini pembentukan sektor-sektor teritorial telah diselesaikan
dan diputuskan pula untuk mengadakan pemeriksaan secara menye­
luruh, terutama mengenai rencana pelaksanaan gerakan.
Rapat kesepuluh, 29 September 1965, merupakan pertemuan terbe-
sar dan terakhir bagi rencana pelaksanaan gerakan tersebut, diha­diri
oleh peserta yang sama dengan rapat kesembilan ditambah Brigjen
Supardjo92 yang telah hadir di Jakarta pada tanggal 28 September.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Ketika berada di Jakarta, Brigjen Soepardjo sebagai Pangkopur Kalimantan IV yang ber­
92

ada di bawah Kostrad, tidak melapor kepada komandannya, yaitu Mayjen Soeharto. Hal
tersebut dipertegas oleh reaksi Mayjen Soeharto yang terkejut saat mendengar keber­
adaan Soepardjo di Jakarta yang seharusnya ia berada di posnya Kalimantan.
Kepulangannya ini ternyata karena dia harus berperan dalam coup yang telah direncana-

178

01-TA-16x24-terakir.indd 178 1/30/2012 9:39:12 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

Rapat yang diselenggarakan di kediaman Sjam ini menghasilkan


keputusan-keputusan final pelaksanaan gerakan. Seperti pemerik-
saan organisasi gerakan militer, tenaga cadangan/bantuan serta pa-
sukan Yon Para 454/Diponegoro dan pasukan Yon 530 Para/Brawijaya
yang berada di Jakarta sejak tanggal 25 September 1965. Di samping
itu dilakukan penentuan sasaran gerakan, tempat pengamanannya
setelah diambil tindakan, penentuan Hari H dan Jam D bagi gerakan,
yakni tanggal 30 September 1965 sesudah tengah malam, serta nama
gerakan yang diputuskan oleh ketua CC PKI DN. Aidit, yaitu G30S,
disesuaikan waktu pelaksanaan. Pada saat itu Sjam menyelesaikan
bahwa G30S dalam jangka pendek akan membentuk Dewan Revolusi
dan dalam jangka panjang menuju pembentukan suatu pemerintahan
yang dikuasai penuh oleh Komunis. Sesuai penjelasan Sjam tersebut,
gerakan ini akan melahirkan “Dewan Revolusi” dengan pendemisi­
oneran Kabinet Dwikora dan Letkol Untung ditunjuk sebagai ketua­
nya. Selanjutnya semua komando gerakan sudah harus berada di
Cenko I (Central Komando) pada pukul 23.00 tanggal 30 September
1965.

Rapat-Rapat Biro Chusus Pusat Dan Daerah


Sebagai tindak lanjut instruksi Ketua CC PKI DN. Aidit untuk meme­
riksa barisan, Sjam selaku Kepala Biro Chusus CC PKI memanggil
Kepala-kepala Biro Chusus Daerah, untuk melakukan pertemuan-
pertemuan.93 Rapat pertama dengan Kepala Biro khusus Daerah
Jakarta Raya Endro Sulistiyo, yang diadakan pada tanggal 4 September
1965, membicarakan situasi dan tugas-tugas yang harus dijalankan
oleh Biro Chusus Daerah/PKI dalam rangka gerakan yang akan di-
lancarkan. Pada kesempatan itu dijelaskan pula instruksi D.N. Aidit
tentang diadakannya sebuah gerakan untuk mendahului Dewan
www.facebook.com/indonesiapustaka

kan. Sejak tahun 1958, Soepardjo berada di bawah binaan Biro Chusus PKI. (lihat: John
Huges, The End of Sukarno A Coup The Misfired: A Purge That Ran Wild, Singapore:
Archipelago Press, 2003, hlm. 69 dan J.D. Legge, Sukarno: A Political Biography, Singapore:
Archipelago Press, 2003, hlm. 441).
93
I bid

179

01-TA-16x24-terakir.indd 179 1/30/2012 9:39:12 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

Jenderal, maka Biro Chusus Daerah/PKI diminta kesanggupannya


untuk mendukung tugas-tugas yang diberikan dengan memulai
melakukan pemeriksaan barisan. Kenyataannya barisan yang terse-
dia di Biro Chusus Daerah/PKI Jakarta Raya masih lemah, karena be-
lum tercipta hubungan erat dari grup-grup yang dibentuk di dalam
badan-badan dinas ABRI, dan kesatuan setingkat dengan Kodam.
Pada waktu itu Kepala Biro Chusus Daerah melaporkan pula grup-
grup yang baru dibentuk, di antaranya di Yon Ang Air, Yon Artileri
Tanjung Priok, Kodim Jakarta Pusat, dan di Pangkalan Udara Halim
Perdanakusuma. Di samping itu Kepala Biro Chusus Daerah Jakarta
Raya tetap diminta bantuannya dalam gerakan ini. Dalam pelaksa-
naannya, Biro Chusus Daerah Jakarta hanya mampu menghimpun
kekuatan kurang lebih 6 batalion dari berbagai kekuatan yang ada,
termasuk Yon 539/Brawijaya dan Yon 454/Diponegoro.
Rapat kedua pada tanggal 8 September 1965 dengan Kepala Biro
Chusus Daerah/PKI Jawa Barat yang dipimpin oleh Harjana alias Lie
Tung Tjong, bertempat di kediaman Sjam. Selain situasi negara, Sjam
dalam pertemuan itu menyampaikan tugas-tugas yang harus dilaku-
kan oleh Biro Chusus Daerah/PKI Jawa Barat, sehubungan dengan
pelaksanaan gerakan. Harjana melaporkan pula tentang lemahnya
kekuatan-kekuatan PKI di daerah Jawa Barat sehingga tidak dapat di-
jadikan sebagai kekuatan pemukul. Selain itu grup-grup yang baru
terbentuk berada di Kodim Bandung, di Kavaleri, dan di Cimahi. Atas
dasar laporan itu, Sjam hanya meminta Kepala Biro Chusus/PKI Jawa
Barat mengikuti siaran RRI Jakarta terus-menerus.
Rapat ketiga dengan Kepala Biro Chusus Jawa Timur yang di­pimpin
oleh Roestomo, diadakan di tempat kediaman Sjam pada tanggal 13
September 1965. Dalam pertemuan itu, Sjam mengemukakan persoal­
an yang sama. Namun sebelumnya Biro Chusus Jawa Timur telah
berhasil membentuk grup-grup, antara lain di Madiun, Malang, dan
www.facebook.com/indonesiapustaka

Besuki. Roestomo melaporkan bahwa Yon 530/Para Brawijaya yang


akan dikirim ke Jakarta dalam rangka HUT ABRI 5 Oktober 1965,
dapat membantu gerakan. Pertemuan keempat berlangsung anta-

180

01-TA-16x24-terakir.indd 180 1/30/2012 9:39:12 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

ra Sjam dengan Kepala Biro Chusus Daerah/PKI Jawa Tengah yang


dipimpin oleh Salim alias Darmo di kediaman Sjam. Persoalan yang
dibahas sama dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Kekuatan
Biro Chusus Jawa Tengah lebih baik dari Biro khusus Daerah yang
lain. Grup-grup telah terbentuk di daerah-daerah, antara lain di
Yogyakarta, Solo dan Salatiga. Kesatuan-kesatuan yang menjadi inti
ialah Batalion K, L, dan M. Pada pertemuan itu Salim melaporkan,
bahwa Yon 454/Raider Diponegoro akan dikirim ke Jakarta dalam
rangka Hari Ulang Tahun ABRI 5 Oktober 1965, dengan tujuan untuk
membantu gerakan. Kepada Kepala Biro Chusus Daerah PKI, Dewan
maupun grup-grup di Jawa Tengah, Sjam menginstruksikan agar se-
lalu mengikuti RRI Jakarta. Pertemuan kelima dengan Kepala Biro
Chusus/PKI Sumatra Barat yang dipimpin oleh Rivai dengan Sjam di
tempat yang sama, pada tanggal 17 September 1965. Pada pertemuan
itu dibicarakan soal situasi dan instruksi DN. Aidit tentang rencana
gerakan, juga dibahas soal organisasi. Dalam pertemuan itu, Rivai
menyatakan kesanggupannya untuk melaksanakan instruksi Kepala
Biro Khusus CC PKI. Pada kesempatan itu juga dilaporkan bahwa
di Sumatra Barat telah dibentuk grup-grup di Padang/Pariaman dan
Sawah Lunto. Pertemuan keenam dengan Kepala Biro Chusus PKI
Sumatra Utara yang dipimpin oleh Nasir alias Amir pada tanggal 20
September 1965 dengan Sjam di kediamannya. Dalam pertemuan itu
dibicarakan persoalan yang sama dengan Kepala Biro Chusus PKI
daerah yang lain. Nasir (Amir) menyatakan kesanggupannya, meski-
pun menurut laporan yang disampaikannya ternyata Biro Khusus/
PKI Daerah Sumatra Utara belum cukup kuat. Grup-grup yang ada
baru di Medan dan Pematang Siantar. Sjam menginstruksikan untuk
selalu mendengarkan siaran RRI Jakarta. Di samping itu juga, Sjam
menginstruksikan kepada masing-masing Kepala Biro khusus PKI
Daerah yang lain agar dalam rangka pelaksanaan kudeta dilakukan
kegiatan-kegiatan, seperti persiapan tenaga-tenaga untuk menjadi
www.facebook.com/indonesiapustaka

anggota Dewan Revolusi Daerah, bentuk kekuatan militer yang terdiri


dari anggota ABRI, kuasai jawatan-jawatan/instansi vital di daerah
dan selalu mengikuti siaran RRI Jakarta untuk mengetahui saat dimu-

181

01-TA-16x24-terakir.indd 181 1/30/2012 9:39:13 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

lainya gerakan. Instruksi ini bersifat rahasia dan hanya diinstruksi-


kan dalam Biro Chusus Daerah/PKI.

Penyusunan Konsep Dewan Revolusi


Penyusunan konsep Dewan Revolusi didasarkan pada instruksi D.N.
Aidit tanggal 25 September 1965.94 Dalam hal ini ditetapkan suatu
tujuan yaitu mewujudkan Dewan yang terdiri dari semua golongan
dan merupakan kekuasaan tertinggi dalam negara, oleh sebab itu
Dewan Revolusi ini dapat mendemisionerkan Kabinet, yang selanjut-
nya menggantikannya dengan pemerintahan baru. Konsep ini disu-
sun oleh Sjam bersama Pono dan Walujo selama kurang lebih 14 hari,
yang kemudian diberinya nama Dewan Militer, tetapi sebutan ini ti-
dak disetujui DN. Aidit yang dianggapnya berbau militerisme dan
bersifat sempit. Selanjutnya nama tersebut diubah dengan istilah
Dewan Revolusi, seperti instruksi semula yang dipandangnya memi-
liki makna lebih luas dan mencakup segala golongan.
Dewan Revolusi, merupakan tindak lanjut dari gerakan G30S
dan diketuai oleh Letkol Untung yang dalam langkah pertama akan
mendekritkan pendemisioneran Kabinet Dwikora serta menggantikan-
nya dengan Kabinet Koalisi Nasional berporos Nasakom. Sedangkan
nama-nama yang tercantum dalam daftar Dewan Revolusi atas dasar
pertimbangan bahwa mereka tidak anti komunis dan penunjukkan
Letkol Untung sebagai ketua dikarenakan ia merupakan pimpinan ge­
rakan G30S di bidang militer. Mengenai daftar Dewan Revolusi yang
telah selesai disusun dengan mendapat tambahan dari DN. Aidit,
diterima Sjam lengkap, langsung dari DN. Aidit pada 30 September
1965 di rumahnya pada saat Ketua CC PKI itu akan menuju ke Halim.
Daftar Dewan Revolusi itu kemudian diserahkan oleh Sjam secara
berturut-turut kepada Letkol Untung, Kolonel A. Latief, dan Brigjen
Supardjo untuk ditandatangani. Setelah itu Sjam memerintahkan un-
www.facebook.com/indonesiapustaka

tuk mengumumkannya melalui RRI Pusat Jakarta. Di samping itu as-

94
Ibid

182

01-TA-16x24-terakir.indd 182 1/30/2012 9:39:13 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

pek keamanannya pun menjadi pertimbangan dalam mencantumkan


daftar nama-nama Dewan Revolusi. Untuk itu yang bersangkutan ti-
dak diberitahukan terlebih dahulu, kecuali mereka yang ditunjuk se-
bagai pimpinan Dewan Revolusi adalah Letkol Untung sebagai ketua
dengan wakil-wakilnya terdiri dari Brigjen Supardjo, AKBP Anwas
dari AKRI Kolonel (Laut) Sunardi dari ALRI, dan Kolonel Latief dari
Angkatan Darat, termasuk tokoh pimpinan gerakan dalam bidang mi-
liter. Sehubungan dengan naskah Dekrit Dewan Revolusi diterima
dari DN. Aidit melalui Mayor Udara Sujono pada pagi hari tanggal 1
Oktober 1965 di Cenko I, Gedung Penas.
Dalam rangka mendukung gerakan, sebagian dari anggota CC PKI
dikirim ke berbagai daerah untuk membantu CDB-CDB mempersiap-
kan gerakan di daerahnya masing-masing. Keputusan tersebut di-
dasarkan pada rapat Politbiro bulan Agustus 1965 yang menugaskan
Soedisman, sebagai Kepala Sekretariat CC PKI dan merangkap anggota
Dewan Harian Politbiro untuk mengirim beberapa tenaga ke daerah-
daerah pada hari-hari menjelang pelaksanaan G30S. Seperti, Njoto,
Subandrio, dan Paris Pardede ke Medan, sedangkan Suwardiningsih
ke Palembang, Dahlan Rivai ke Banten, Sudjono ke Jawa Tengah,
dan Asmu ke Jawa Timur. Jadwal keberangkatan mereka dilakukan
setelah tanggal 25 hingga akhir September 1965. Sebelum berangkat
ke daerah-daerah sasaran, mereka diberi pembekalan informasi yang
harus disampaikan kepada CDB-CDB. Materi-materi penting yang
disampaikan meruakan hasil pembicaraan dalam sidang Politbiro
tentang situasi, khususnya Dewan Jenderal yang akan melakukan
coup. Selain itu adanya perwira-perwira maju yang akan bertindak
mendahului coup sebagai informasi lain, di samping instruksi D.N.
Aidit, yaitu mendengarkan siaran RRI Pusat dan membantu Dewan
Revolusi.95
www.facebook.com/indonesiapustaka

Ibid, lihat pula J.P. Legge, Sukarno: A Political Bography, hlm. 437
95

183

01-TA-16x24-terakir.indd 183 1/30/2012 9:39:13 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

Garis Besar “Action Plan”


Dalam hal ini, Biro Khusus memutuskan tiga langkah yang akan di-
tempuh. Pertama, menculik dan membunuh para jenderal reaksi­oner,
untuk meniadakan peran mereka dari Dewan Jenderal. Kedua, pasu-
kan revolusioner (dari pasukan TNI Angkatan Darat asli) menduduki
Istana Presiden dan sekitarnya, menguasai RRI Pusat, Pusat Telkom
dan objek vital lainnya di Jakarta. Ketiga, Presiden Sukarno harus
diamankan ke PAU Halim Perdanakusuma dan dipaksa mengadakan
kerja sama.96 Dalam rangka menguasai RRI Jakarta, Soedisman,
Ketua III CC PKI, menyadari nilai strategis RRI Pusat bagi Gerakan
30 September. Direncanakan untuk mendapatkan legitimasi, komu-
nikasi G30S dengan aparat PKI di daerah-daerah hanya mengguna­
kan siaran RRI Pusat sebagai satu-satunya sarana. Untuk itu, jauh se-
belum pelaksanaan gerakan, PKI telah membina pimpinan RRI. Pada
30 September 1965 malam, Soedisman menulis sebuah nota kepada
Soekirman, Direktur RRI/TV, dibawa oleh Tjoegito. Isinya sebagai
berikut.

“Bung Soekirman, Sdr. Tjoegito ingin merundingkan concretisasi


Bung masuk dalam barisan kita. Tjoegito mengatakan ada informasi
bagi Bung, bahwa demonstrasi ganyang kabir oleh kekuatan Nasakom
kemarin dulu, akan diteruskan rakyat poros Nasakom. Kalau ini ber-
hasil, parade pada tanggal 5 Oktober 1965 akan berubah sifatnya. Di
samping ABRI, akan turut parade 1 divisi rakyat yang akan diper-
senjatai, bahkan mengingat situasi sekarang, gerakan ganyang kabir
mungkin sekali akan bergerak malam ini, sudah.”97

Mengenai jumlah pasukan yang akan dikerahkan dalam operasi, di-


perkirakan berjumlah 7.000 personil. Perinciannya, Pertama, 2.000
orang dari Yon 454 Kodam Diponegoro dan Yon 530 Kodam Brawijaya.
Karena masalah logistik yang kurang diperhitungkan oleh Untung,
sebagian pasukan ini kemudian membelot ke Kostrad.98 Kedua, se-
www.facebook.com/indonesiapustaka

96
Lihat Aristides Katoppo, op.cit., hlm. 116-122. Sekretariat Negara, loc. cit.
97
Ibid., hlm. 131.
98
Mayor Udara Soejono, sebenarnya diminta menyediakan logistik bagi seluruh pasukan,
termasuk untuk pasukan yang berada di sekitar lapangan Monas. Akan tetapi Mayor

184

01-TA-16x24-terakir.indd 184 1/30/2012 9:39:13 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

jumlah 1.000 dari Yon I/Kawal Kehormatan Cakrabirawa (Cakrabirawa


memiliki 3 batalion elit, tetapi hanya satu kompi yang berhasil diba-
wa Untung). Ketiga, 1.000 pasukan dari AURI di PAU Halim
Perdanakusuma. Keempat, 3.000 orang dari Brigade Infantri I/Jaya
Sakti di Jakarta, serta diharapkan pasukan cadangan dari Bandung
yang dilengkapi tank dan kendaraan lapis baja. Seperti halnya pasu-
kan Yon I/KK Cakrabirawa, pasukan Brigif Infantri Jayasakti ini yang
dapat dilibatkan oleh Kolonel Latief dalam operasi juga hanya satu
kompi. Kekuatan selebihnya dengan cepat dapat dikendalikan oleh
Pangdam V/Jaya, sehari setelah gagalnya G30S. Brigjen Soepardjo
juga menjanjikan bantuan pasukannya yang bisa diterbangkan
sewaktu-waktu dari Kalimantan Barat. Hal itu dibatalkan, karena
dengan jumlah 7.000 pasukan dianggap cukup.99
dapun komposisinya, pasukan G30S dibagi dalam tiga bagian se-
A
bagai berikut. Kelompok pertama, Bimasakti, gabungan dari Yon 454
dan Yon 530. Tugasnya menduduki Istana Negara, RRI Pusat, Pusat
Telkom. Pasukan ini ditempatkan di tiga sudut Lapangan Merdeka.
Sudut timur laut, lokasi Markas Kostrad justru tidak dijaga.100 Hal
tersebut kemudian menimbulkan tuduhan bahwa memang disengaja
karena menurut pengakuan Kolonel A. Latief, bahwa yang memang-
gil pasukan Yon 454 dan Yon 530 adalah Pangkostrad. Pengakuan
Latief tidak sesuai dengan kenyataan, karena Komandan Yon 454
dan Komandan Yon 530 mestinya terlebih dahulu lapor ke Kostrad,
sebaliknya justru pada 1 Oktober 1965, Mayor Sukirno, Dan Yon

Udara Soejono mengira bahwa pasukan tersebut membawa bekal logistik sendiri, sehing-
ga pada hari itu Mayor Soejono tidak menyediakannya, sementara pasukan Yon 454 dan
Yon 530 juga tidak mempersiapkannya. Tatkala Brigjen Sabirin Mochtar dan Ali Murtopo
mendekati batalion untuk membujuk mereka, secara psikologis pasukan itu sudah kesal
karena tidak diberikan sarapan dan makan siang. Hanya sebagian Batalion 454 yang le-
pas lagi, kemudian terlibat bentrok dengan pasukan RPKAD di sekitar Pondok Gede,
Jakarta Timur. Lihat: Atmadji, Sumarkidjo, op.cit., hlm. 150.
99
Jumlah pasukan yang dapat dikerahkan sebagai berikut. Satu kompi Cakrabirawa di ba-
wah pimpinan Letnan Satu Dul Arif, Komandan Kompi C Yon I/KK Men Cakrabairawa.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Pasukan dari AURI,yaitu Yon PPP di bawah Mayor Soejono tidak dapat dikerahkan. Dari
pasukan Brigif I/Jaya Sakti juga hanya dapat dikerahkan satu kompi. Konfigurasi pasu-
kan Gatotkaca dari G30S yang bertugas mengamankan basis di desa Lubang Buaya ada-
lah sukarelawan yang pernah dilatih di tempat itu.
100
Menurut wawancara Aswi Warman Adam dengan Kolonel A. Latief bahwa radiogram ke
Yon 454 dan Yon 530 dari Pangkostrad.

185

01-TA-16x24-terakir.indd 185 1/30/2012 9:39:13 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

454 dan Mayor Bambang Supeno, Danyon 530, mengikuti Brigjen


Soepardjo untuk melaporkan pelaksanaan Gerakan 30 September ke-
pada Presiden Sukarno di Istana. Selain itu, salah satu kompi Yon
454 di bawah pimpinan Kapten Kuntjoro, Wa Danyon 454, kemudian
bergabung dengan Gerakan 30 September.101 Alasan yang masuk akal,
ialah agar pasukan Yon 454 dan Yon 530 tidak menimbulkan kecu-
rigaan Kostrad, karena bila menempati sudut timur laut lapangan
Banteng kedua pihak berhadapan langsung.
Kelompok kedua, yaitu kelompok Pasopati, terdiri dari Yon I
Cakrabirawa, dan sejumlah sukarelawan Pemuda Rakyat,102 yang
dipimpin Kolonel A. Latief dan Letnan Satu Dul Arief. Letnan Dul
Arief ditugasi memimpin penculikan para jenderal. Sjam sendiri ikut
langsung mengendalikan Grup Pasopati pada dini hari 1 Oktober
1965. Grup ketiga Gatotkaca, merupakan gabungan pasukan di Halim
Perdanakusuma dan sejumlah Pemuda Rakyat. Komandannya Kapten
Gatot, sebagai pasukan pendukung yang bertugas di sekitar Halim.
erakan yang akan dilakukan memiliki dua target, yakni target mi-
G
liter dan target politik. Target militer bertujuan mengeliminasi pimpin­
an atas angkatan bersenjata, yang menyatakan bahwa telah terjadi
kegagalan kudeta oleh Dewan Jenderal. Adapun target politiknya,
setelah operasi berhasil akan dibentuk Dewan Revolusi, sebagai alat
untuk mendorong dibentuknya pemerintahan Nasakom. Operasinya
sendiri berlangsung dua tahap. Tahap militer pada 30 September
malam, dilakukan dari gedung Penas, disebut sebagai Central
Komando (Cenko-I), dipimpin oleh Sjam, Kolonel Inf. A. Latief dan
Mayor Soejono. Rencananya setelah penculikan para Jenderal terlak-
sana, Cenko I dipindahkan ke Cenko II. Aidit sebagai pimpinan ter-
tinggi G30S oleh Mayor Udara Soejono di tempatkan di rumah Sersan
Udara Soewandi, di kompleks perumahan bintara PAU lainnya. Dari
sini Aidit, yang menyusun Dewan Revolusi, memberikan perintah
www.facebook.com/indonesiapustaka

yang menyangkut politik kepada Sjam oleh Dewan Revolusi, dengan

Nugroho Notosusanto, op.cit., hlm. 25-26.


101

Sesuai dengan kesaksian anak-anak keluarga Pahlawan Revolusi, bahwa sebagian ang-
102

gota pasukan penculik jenderal-jenderal tidak bersepatu.

186

01-TA-16x24-terakir.indd 186 1/30/2012 9:39:13 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

Koesno sebagai ajudan, Iskandar Subekti, sekretaris, dan Bono alias


Waloejo alias Moedjono, Wakil II Biro Khusus yang bertanggung ja­
wab atas keuangan. Cenko II bertempat di rumah Sersan Udara Anis
Soejatno di kompleks perumahan PAU Halim.103
alam gerakan militer langkah-langkah pokok yang akan dilaku-
D
kan yaitu: pengamanan Presiden Sukarno ke Halim, menculik kemu-
dian membunuh para jenderal, dan terakhir menguasai Istana, RRI
Pusat, serta Pusat Telekomunikasi. Dalam mengamankan Presiden
diupayakan agar tetap tenang, Brigjen Soepardjo yang melakukan tu-
gas bersama delegasi empat angkatan dan menjelaskan bahwa akan
ada kudeta Dewan Jenderal. Brigjen Soepardjo akan meyakinkan
Presiden bahwa delegasi perwira oposan sebagai pelindung Presiden,
dan untuk itu Presiden harus mengeliminasi pimpinan ABRI dan me-
letakkan ABRI di bawah kontrolnya. Delegasi itu terdiri dari Brigjen
Soepardjo, Letkol Heroe Atmodjo, Mayor Infantri Soekirno (Dan Yon
454 Diponegoro), dan Mayor Infantri Bambang Soepeno (Dan Yon
530 Brawijaya). Dalam tahap ini oleh pimpinan PKI diupayakan agar
organisasi manapun tidak boleh atau jangan sampai menghubung-
hubungkan PKI dengan tindakan-tindakan G30S.
ancangan Biro Khusus itu sangat misterius, karena hanya Sjam
R
dan Aidit yang merencanakan dalam rapat-rapat rahasia kemudian
dikomunikasikan secara amat terbatas, dan para perwira akan meng­
aturnya sendiri di lapangan. Untuk melepaskan dugaan hubungan
PKI dengan tindakan militer tersebut, hanya tujuh orang Politbiro
yang mengetahuinya. Mereka itu adalah Aidit, Sjam, Letkol Untung,
Kolonel A. Latief, Pono, dan Brigjen Soepardjo. Empat puluh lima
anggota CC lainnya tidak tahu-menahu. Jangankan tahu mengenai
rencana kudeta, adanya organisasi Biro Khusus yang dipimpin oleh
Sjam banyak yang tidak tahu.
enarik untuk diperhatikan ialah pernyataan Harry Tjan
M
www.facebook.com/indonesiapustaka

Silalahi, yang pernah menjabat Ketua Umum PMKRI (Perhimpunan


Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), yang menyatakan bahwa

103
Aristides Katoppo, op.cit., hlm. 90.

187

01-TA-16x24-terakir.indd 187 1/30/2012 9:39:13 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

ia telah mendapatkan bocoran akan terjadinya peristiwa G30S dari


seorang aktivis CGMI “Bung So”, yang karena loyalitasnya, dipercaya
melayani berbagai rapat Politbiro CC PKI. Dari “Bung So” Harry Tjan
Silalahi mengetahui garis besar gerakan PKI untuk membersihkan
Indonesia dari Kabir. Gerakan itu berpusat di Lubang Buaya, daerah
PAU Halim Perdanakusuma.104
30S tahap pertama, yang ditampilkan sebagai ujung tombak
G
pelaku perebutan kekuasaan G30S adalah anggota militer yang ber-
hasil dibina PKI. Organ penggerak dan pengendalinya adalah Biro
Khusus PKI, yang bertanggung jawab langsung kepada Aidit. Biro
Khusus merupakan kelanjutan Biro Penghubung, bukan aparat par-
tai, melainkan aparat ketua partai. Sebagai penggerak, Biro Khusus
bukan termasuk dalam garis partai. Bila pemberontakan militer gagal,
pada tahap awal PKI dapat cuci tangan, alasannya karena Biro Khusus
ada di luar partai. Hal tersebut persis seperti pengakuan Soedisman
di dalam pledoinya.105

Pelaksanaan Gerakan 30 September 1965 dan Reaksi Angkatan


Darat: Gerakan Ofensif
Pasukan Pasopati ditugasi menculik para jenderal, di bawah koman-
do Letnan Satu Dul Arief, pada pukul 03.00 berangkat dari Lubang
Buaya, dan tepat pada pukul 04.00 subuh, tanggal 1 Oktober 1965,
mereka telah sampai di tempat sasaran. Sebelum berangkat, Sjam
menginstruksikan agar pasukan menangkap para jenderal hidup
atau mati. Masing-masing Peleton (a) dipimpin oleh Sersan Mayor
Soerono, (b) Sersan Kepala Bungkus (Cakrabirawa), (c) Sersan Mayor
Sukardjo (Yon 454), (d) Sersan Mayor Satar (Cakrabirawa), dan Sersan
Mayor Paat (Yon 530), (e) Pembantu Letnan Satu Mukidjan (Brigif I/
Jaya Sakti), (f) Pembantu Letnan Dua Djahurup (Cakrabirawa), (g)
Sersan Dua Sulaiman. Masing-masing dengan sasaran (a) Brigjen
www.facebook.com/indonesiapustaka

104
J.B. Soedarmanto, op.cit., hlm. 103-106.
105
Sudisman, Pledoi Sudisman: Kritik Oto Kritik Seorang Politbiro CC PKI, Jakarta: Teplok
Press, 2000.

188

01-TA-16x24-terakir.indd 188 1/30/2012 9:39:13 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

Soetojo, di Jl. Sumenep; (b) Mayjen Haryono; (c) Brigjen Panjaitan, Jl.
Hasanuddin, Kebayoran Baru ; (d) Mayjen S. Parman ; (e) Letjen
Achmad Yani, di Jl. Lembang; (f) Jenderal A.H. Nasution, Jl. Teuku
Umar; (g) dan Mayjen Soeprapto, Jl. Besuki.
ada 1 Oktober pukul 05.00 pagi, sekitar 100 sukarelawan Gerwani
P
berkumpul di Lubang Buaya menyambut datangnya kendaraan dan
truk-truk yang datang membawa korban Gerakan 30 September, terdiri
dari enam jenderal dan seorang perwira pertama yang dikira sebagai
Jenderal A.H. Nasution. Termasuk juga seorang anggota polisi: Bripka
Sukitman, yang mencari tahu perihal apa yang terjadi ketika lewat di
depan rumah Brigjen Panjaitan, ikut diciduk dan dibawa ke Lubang
Buaya. Para tawanan itu diserahterimakan dari pasukan penculik,
Pasopati, kepada pasukan Komando Basis Tempur “Pringgodani”.
Kemudian dilaporkan bahwa tiga orang jenderal telah tewas, yai-
tu Jenderal A. Yani, Mayjen S. Parman, sedangkan Mayjen Sutojo.
Mayjen Soeprapto, dan Letnan Satu Pierre Tendean masih dalam ke-
adaan segar-bugar, dengan tangannya diikat ke belakang. Para kor-
ban itu disambut para sukarelawan yang terdiri dari anggota-anggota
Gerwani, Pemuda Rakyat, BTI, dan SOBSI, dengan menyanyikan lagu-
lagu revolusioner ciptaan Lekra, seperti: Ganyang Kabir,106 Ganyang
3 Setan Kota, dan Genjer-genjer. Untuk memanaskan suasana para
penari Gerwani melakukan Pesta Harum Bunga, dengan cara menari-
nari yang makin memuncak. Pesta seperti itu mereka lakukan setiap
selesai pelatihan.107
Mayor Udara Gatot Soekirno, selaku Komandan Pasukan
Pringgodani melapor kepada Cenko I di Penas tentang tindakan apa
yang harus dilakukan terhadap para tawanan. Mayor Udara Soejono,
Komandan Cenko I di Penas menjawab, agar tawanan diselesaikan.
Mendapat jawaban itu Mayor Gatot Sukirno kemudian meneruskan-
nya kepada anak buahnya. Lalu terjadilah penyiksaan secara sadis
www.facebook.com/indonesiapustaka

106
Teriakan atau jargon “ganyang kabir-kaapitalis birokrat” merupakan idiom spesifik PKI
untuk menyebut para tentara yang menduduki jabatan di Perusahaan Negara. Lihat ke-
saksian Bripka Sukitman dalam, Kunang-kunang Kebenaran di Langit Malam, Jakarta:
Keluarga Phlawan Revolusi, 2002, hlm. 134-136.
107
Harian Sinar Harapan, 27 Nopember 1965.

189

01-TA-16x24-terakir.indd 189 1/30/2012 9:39:13 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

dan kejam oleh anggota Gerwani, Pemuda Rakyat, BTI, dan SOBSI.108
Bharada Polisi Sukitman, yang waktu itu ditawan oleh pasukan G30S,
menyaksikan para tawanan diseret keluar tenda, didudukkan di se-
buah bangku di depan rumah seakan-akan tengah diperiksa layaknya
pengadilan rakyat, disiksa secara sadis, digelandang ke tepi sumur
melewati kerumunan sukwan dan sukwati yang menghujat dengan
teriakan-teriakan “Ganyang Kabir”, ”Ganyang Dewan Jenderal”, di-
jatuhkan ke dalam sumur kemudian diberondong peluru dari atas.
Siklus itu disaksikan oleh Sukitman sampai akhirnya semua korban
dibuatnya tidak berdaya dan tanpa nyawa di dasar lubang sumur.
Sukitman menyatakan saking takutnya seandainya kulitnya diiris
dengan silet tidak akan keluar darahnya. Salah seorang dari sukwati
bernama Jamilah, baru berusia 17 tahun. Terakhir para korban ditem-
bak. Misalnya, Jenderal Soeprapto pada 1 Oktober 1965 pukul 18.00
sore ditembak di pinggir sumur di Lubang Buaya, kampung Pondok
Gede. Selanjutnya tubuh mereka diseret dan dimasukkan ke dalam
sumur tua.109
Pasukan penculik ternyata gagal membawa Jenderal A.H. Nasution,
melainkan ajudannya, Letnan Satu Pierre Tendean. Karena para pen-
culik belum mengenal wajah Nasution, Tendean dikira sasarannya,
karena wajahnya mirip.
Dengan operasi tersebut gerakan dan pengerahan pasukan elit di
sekitar Lapangan Merdeka juga telah menimbulkan kejutan (surprise).
Sebenarnya, pada tanggal 30 September 1965 malam, anggota pasu-
kan “Bimasakti” sudah mengelilingi Istana, gedung Telekomunikasi
mereka kuasai pada pukul 06.30 pagi harinya, kemudian pukul 06.50
RRI juga telah mereka kuasai sepenuhnya. Pasukan Bimasakti di
bawah pimpinan Mayor Suradi, membagi Jakarta Raya menjadi 6 sek-
tor, masing-masing di bawah Muhammad, Ahmadi, Sjawal, Ahmadi,
Slamet, Supangat, dan Prajitno. Semuanya aktivis PKI.
www.facebook.com/indonesiapustaka

108
Harian Sinar Harapan, 6 Oktober 1965. Lihat, Sudjinah, Terempas Gelombang Pasang,
2003. Jakarta, Pustaka Utan kayu, 2003, hlm. 2, 3, 48. Sudjinah adalah mantan fungsio-
naris Gerwani yang ditahan di Penjara Bukit Duri Jakarta.
109
Ibid. Lihat kesaksian Sukitman dalam Kunang-kunang …, 134-136.

190

01-TA-16x24-terakir.indd 190 1/30/2012 9:39:13 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

Sebelumnya, pada pukul 22.00, 30 September 1965, Mayor Udara


Soejono ditugasi menjemput D.N. Aidit yang menunggu di rumah
Sjam, Jl. Pemuda, Jakarta yang sudah siap pergi ke Halim bersama
Mayjen Pranoto.110 Dalam perjalanan ke Halim, Aidit menanyakan
tentang janji Kolonel Latief yang akan memberikan panser dan tank.
Rencana itu gagal, karena pimpinan barisan tank dan panser tiba-tiba
diganti atas perintah A. Yani. Dengan gagalnya rencana Latief, Aidit
sempat mengira bahwa rencana rahasianya telah bocor dan diketahui
oleh Jenderal Yani.
Pada pukul 07.30 pagi hari itu juga, RRI Pusat diduduki dan dipak-
sa menyiarkan pengumuman pertama dari Gerakan 30 September
1965 sebagai berikut.

“Pada hari Kamis tanggal 30 September 1965 di Ibu Kota Republik


Indonesia, Jakarta, telah terjadi gerakan militer dalam Angkatan Darat
dengan dibantu oleh pasukan-pasukan bersenjata lainnya. Gerakan 30
September yang dikepalai oleh Letnan Kolonel Untung, Komandan
Batalyon Cakrabirawa, pasukan pengawal pribadi Presiden Sukarno
ini ditujukan kepada jenderal-jenderal anggota apa yang menamakan
dirinya Dewan Jenderal. Sejumlah jenderal telah ditangkap dan alat
komunikasi yang penting-penting, serta obyek-obyek vital lainnya
sudah dalam kekuasaan Gerakan 30 September, sedangkan Presiden
Sukarno selamat dalam lingkungan Gerakan 30 September.
Dewan Jenderal adalah gerakan subversive yang disponsori CIA. Dan
waktu belakangan ini sangat aktif terutama dimulai ketika Presiden
Sukarno menderita sakit yang serius pada minggu pertama bulan
Agustus yang lalu. Harapan mereka Presiden Sukarno akan mening-
gal dunia sebagai akibat dari penyakitnya tidak terkabul, oleh karena
itu untuk mencapai tujuannya Dewan Jenderal merencanakan pamer
kekuatan (machtsvertoon) pada hari Angkatan Bersenjata 5 Oktober
yang akan datang dengan mendatangkan pasukan-pasukan dari Jawa
Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Dengan sudah terkonsentrasinya
kekuatan militer yang besar di Jakarta, Dewan Jenderal, bahkan telah
merencanakan untuk mengadakan coup kotra-revolusioner. Letnan
www.facebook.com/indonesiapustaka

Kolonel Untung mengadakan Gerakan 30 September yang ternyata


berhasil dengan baik.

Pengakuan Mayor Udara Soejono di Mahmillub.


110

191

01-TA-16x24-terakir.indd 191 1/30/2012 9:39:13 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

Menurut keterangan yang didapat dari Letnan Kolonel Untung,


Komandan Gerakan 30 September, gerakan ini semata-mata gerakan
dalam Angkatan Darat yang ditujukan kepada Dewan Jenderal yang
telah berbuat mencemarkan nama Angkatan Darat, bermaksud jahat
terhadap Republik Indonesia dan Presiden Sukarno. Letnan Kolonel
Untung pribadi menganggap gerakan ini adalah suatu keharusan bagi­
nya sebagai warga Cakrabirawa yang berkewajiban melindungi kese­
lamatan Presiden dan Republik Indonesia.
Komandan Gerakan 30 September itu selanjutnya menerangkan bahwa
tindakan yang telah dilakukan di Jakarta, yang akan diikuti oleh tindak­
an-tindakan di seluruh Indonesia yang ditujukan kepada kaki tangan
dan simpatisan-simpatisannya Dewan Jenderal yang ada di daerah-
daerah. Menurut keterangan Komandan Gerakan 30 September, seba­
gai follow up tindakannya akan dibentuk Dewan Revolusi di Pusat,
sedangkan di daerah-daerah akan dibentuk Dewan Revolusi Provinsi,
Dewan Revolusi Kabupaten, Dewan Revolusi Kecamatan dan Dewan
Revolusi Desa. Anggota Dewan Revolusi itu akan terdiri dari orang-
orang sipil dan militer yang mendukung Gerakan 30 September tanpa
reserve
Partai-partai, ormas-ormas, surat kabar dan majalah-majalah dapat
meneruskan kegiatan, asal dalam jangka waktu yang ditetapkan ke-
mudian menyatakan kesetiaannya kepada Dewan Revolusi Indonesia.
Dewan Revolusi Indonesia yang akan dibentuk oleh Gerakan 30
September, akan dengan konsekwen melaksanakan Panca Azimat
Revolusi, melaksanakan ketetapan MPRS, putusan-putusan DPR-
GR dan putusan DPA. Dan Revolusi Indonesia tidak akan merobah
politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif dan anti nekolim
demi perdamaian di Asia Tenggara dan dunia. Juga politik mengenai
koferensi AA ke II dan Conefo serta konfrontasi terhadap Malaysia ti-
dak akan berobah, dan KIAPMA serta kegiatan-kegiatan internasional
yang sudah ditetapkan akan dilangsungkan di Indonesia tetap akan
diselenggarakan.
Letnan Kolonel Untung sebagai Komandan Gerakan 30 September me-
nyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia supaya terus mempertinggi
kewaspadaan dan membantu Gerakan 30 September dengan sepenuh
hati untuk menyelamatkan Republik Indonesia dari perbuatan-per-
www.facebook.com/indonesiapustaka

buatan jahat Dewan Jenderal dan kaki tangannya, agar dapat melak-
sanakan amanat penderitaan rakyat dalam arti kata sesungguhnya.
Kepada para perwira, bintara dan tamtama Angkatan Darat di selu-
ruh tanah air, Komandan Letnan Kolonel Untung menyerukan su-

192

01-TA-16x24-terakir.indd 192 1/30/2012 9:39:14 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

paya bertekad dan berbuat untuk mengikis habis pengaruh-pengaruh


Dewan Jenderal dan kaki tangannya dalam Angkatan Darat. Jenderal-
Jenderal dan perwira-perwira yang gila kuasa, yang menelantarkan
nasib anak buah, yang di atas tumpukan penderitaan anak buah hi­
dup bermewah-mewah dan berfoya-foya menghina kaum wanita dan
menghambur-hamburkan uang Negara, harus ditendang keluar dari
Angkatan Darat dan diberi hukuman setimpal. Angkatan Darat bu-
kan untuk Jenderal-Jenderal, tetapi milik semua prajurit Angkatan
Darat yang setia kepada cita-cita revolusi Agustus 1945. Kepada pa-
sukan Angkatan Bersenjata di luar Angkatan Darat, Komandan Letnan
Kolonel Untung menyatakan terima kasihnya atas bantuan mereka
dalam tindakan pembersihan dalam Angkatan Darat dan mengharap-
kan supaya dalam angkatan masing-masing juga diadakan tindakan
pembersihan terhadap kaki tangan dan simpatisan-simpatisan Dewan
Jenderal.
Dalam waktu singkat Komandan Letnan Kolonel Untung akan mengu-
mumkan Dekrit I tentang Dewan Revolusi Indonesia yang kemudian
akan disusul oleh dekrit-dekrit lain“. 111

alimat bagian awal pernyataan di atas mengesankan tiga hal pen­


K
ting kepada masyarakat. Pertama, ada gerakan jahat dari para jende­
ral Angkatan Darat yang tidak setia terhadap Presiden Sukarno.
Diharapkan kesan itu akan menimbulkan penasaran dan rasa benci
kepada para jenderal yang nama-namanya tidak disebut, hingga ma-
syarakat tidak mendapatkan kejelasan secara utuh. Kedua, Letkol
Untung yang menyelamatkan Bung Karno adalah perwira Resimen
Cakrabirawa yang bertugas melindungi keselamatan Presiden
Sukarno. Nama Cakrabirawa merupakan legitimasi bagi Untung un-
tuk bertindak di luar jalur komando resmi, yang penting penyelamat
Bung Karno adalah orang dekatnya. Ketiga, dikesankan gerakan
tersebut bukan suatu kudeta yang berkonotasi negatif. Untuk itu di-
gunakan ungkapan bahwa Gerakan 30 September, semata-mata gerak­
an dalam Angkatan Darat, sebagai tekanan untuk mencegah agar
soal ‘internal’itu tidak dicampuri oleh angkatan lain.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Atmadji Soemarkidjo, op.cit., hlm. 158-159.


111

193

01-TA-16x24-terakir.indd 193 1/30/2012 9:39:14 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

Gerakan yang diumumkan sebagai tindakan penyelamatan ter-


hadap Presiden Sukarno bertentangan dengan tugas pokok Letkol
Untung sebagai Komandan Batalion Kawal Kehormatan Cakrabirawa,
yang seharusnya menjalankan pengamanan PJM Presiden dalam aca-
ra Musyawarah Teknik di Istana Senayan pada 30 September 1965,
pukul 19.00-23.00. Dalam kesaksian, Kolonel Maulwi Saelan yang
mendampingi Presiden dan AKBP. Mangil Martowidjojo Komandan
DKP yang mengawal Presiden, tidak melihat Letkol Untung selama
acara tersebut. Dalam pemeriksaan Untung di Mahmillub, terungkap
pada pukul 22.00, Untung berada di rumah Sjam dan 1 jam kemudian
keduanya menuju ke basis (Lubang Buaya).112
Pada pernyataan di atas, gerakan yang dipimpin oleh Letkol
Untung akan mendirikan lembaga untuk mendukungnya, yaitu
Dewan Revolusi, yang dibentuk dari tingkat pusat sampai tingkat
desa, lewat dekret-dekret lainnya yang akan diumumkan, antara
lain pendemisioneran Kabinet Dwikora dan menggantikan dengan
Kabinet Koalisi Nasional berporos Nasakom. Menurut Oei Tjoe Tat
sebagai advokat dan menjabat Menteri Negara, menyatakan bahwa
peristiwa 1 Oktober 1965 bukan masalah internal Angkatan Darat,
sudah masalah nasional karena berlanjut dengan pendemisioneran
kabinet, dan kejadian ini berarti coup d’etat, meskipun berpura-pura
mempertahankan kepala negara.113
Sesuai dengan rencana Mayor Udara Soejono, pada 1 Oktober 1965,
pukul 05.00 pagi Letkol Heroe Atmodjo menemui Brigjen Soepardjo
di Cenko I Penas. Pagi itu Brigjen Soepardjo, Sjam, Mayor Soekirno
Danyon 454, Mayor Bambang Soepeno, Danyon-530/Reiders ada
digedung Penas di Jl. By Pass. Oleh Sjam, Brigjen Soepardjo diperin-
tahkan menghadap Presiden Sukarno di Istana, apabila perlu memak-
sa Presiden untuk dibawa ke Halim. Brigjen Soepardjo didampingi
www.facebook.com/indonesiapustaka

112
H. Maulwi Saelan, Dari Revolusi ’45 sampai Kudeta ’66; Kesaksian Wakil Komandan
Tjakrabirawa, Jakarta: Yayasan Hak Bangsa, 2001, hlm. 308 dan H. Mangil Martowidjojo,
Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967, Jakarta: Grasindo, 1999, hlm. 377, lihat BAP
Mahmillub Untung bin Sjamsuri; Putusan No.: PTS-03/MB II/U/1966.
113
Oei Tjoe Tat, Pramudya Ananta Toer (ed), Memoar Oei Tjoe Tat Pembantu Presiden
Sukarno, Jakarta: Hasta Mitra, 1995, hlm. 169

194

01-TA-16x24-terakir.indd 194 1/30/2012 9:39:14 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

Letkol Heroe Atmodjo, Mayor Inf. Soekirno, dan Mayor Bambang


Soepeno. Ketika di Cenko I, Heroe Atmodjo mendengar selentingan
bahwa “Si Nas lolos”. Kata itu diucapkan oleh Sjam kepada Pono.
Beberapa saat kemudian Cenko I pindah ke Cenko II.
Di Istana Merdeka, pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, Brigjen
Soepardjo tidak bertemu dengan Presiden Sukarno, karena seusai
menghadiri Munas Teknik di Istora Senayan malam sebelumnya,
Presiden hanya singgah sebentar di Istana Merdeka untuk ganti pakai­
an, kemudian dengan perjalanan incognito di bawah pengawalan Tim
Detasemen Kawal Pribadi pimpinan AKBP Mangil Martowidjojo, Bung
Karno menjemput Ratnasari Dewi di Hotel Indonesia. Ajudannya,
Kolonel CPM Maulwi Saelan, karena merasa tidak lagi mendapat tu-
gas dari Presiden juga pulang. Malam itu Bung Karno menginap di
kediaman Ratnasari Dewi di Wisma Yaso. Paginya, tanggal 1 Oktober
1965 pukul 06.00 Bung Karno hendak meninjau daerah di sekitar
Istana. Karena mendapat laporan perihal terjadinya penembakan di
kediaman Nasution dan laporan Kolonel Saelan yang menyatakan
bahwa di sekitar Istana telah ditempati oleh tentara tidak jelas identi-
tasnya, setibanya di silang Monas rombongan Presiden belok ke Budi
Kemuliaan, kemudian lewat Tanah Abang meneruskan perjalanan ke
rumah istrinya, Ny. Haryati, di Slipi. Dari Slipi sempat mampir di
rumah Jl. Wijaya, dan pada pukul 09.00 Bung Karno langsung per-
gi ke PAU Halim Perdanakusuma, yang ternyata beberapa rumah di
pang­kalan itu digunakan sebagai Markas Gerakan 30 September.
Kegagalan Brigjen Soepardjo sebenarnya merupakan suatu peris-
tiwa yang keluar dari skenario. Keyakinan bahwa Presiden Sukarno
tidur di Istana Merdeka malam itu, memang sesuai informasi resmi
yang diperoleh dari dinas jaga istana. Ironisnya, giliran yang bertugas
di Istana Merdeka malam itu adalah Batalion I Kawal Kehormatan
Cakrabirawa pimpinan Letkol Untung. Meskipun Letkol Untung
www.facebook.com/indonesiapustaka

adalah Komandan Batalion tersebut, namun ia tidak punya akses un-


tuk mengetahui kepergian Presiden dalam acara yang bersifat priba-
di. Bahkan Maulwi Saelan, sebagai orang kedua di Cakrabirawa, pun

195

01-TA-16x24-terakir.indd 195 1/30/2012 9:39:14 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

tidak mengetahui perjalanan pribadi semacam itu. Hal itu tercermin


ketika pagi 1 Oktober 1965 Kolonel Maulwi secara spekulatif men-
cari Presiden di kediaman Ibu Haryati di Slipi, Jakarta Barat. Tim
Dinas Khusus Kawal Presiden untuk perjalanan incognito di dalam
kota Jakarta dibentuk oleh AKBP Mangil jauh sebelum Resimen
Cakrabirawa berdiri.114
Setelah gagal menemui Presiden Sukarno, Brigjen Soepardjo pun
menunggu di salah satu ruang, dikawal Mayor Soekirno dan Mayor
Bambang Soepeno, sedangkan Letkol Heroe Atmodjo dengan me-
numpang mobil AURI yang lewat ke MBAU di Tanah Abang Bukit.
Oleh Komodor Ignatius Dewanto, Letkol Udara Heroe diperintahkan
ke Halim. Pada pukul 08.30 tanggal 1 Oktober 1965 Letkol Heroe
menghadap Men/Pangau, melaporkan bahwa Brigjen Soepardjo ada
di Istana dengan maksud menemui Presiden. Omar Dhani memerin-
tahkan Heroe untuk menjemput Soepardjo dengan helikopter Men/
Pangau, karena Presiden juga akan segera datang di Halim, dan supaya
Soepardjo segera melaporkan apa yang diketahuinya.Tidak mustahil
perintah Men/Pangau Omar Dhani kepada Letkol Heroe Atmodjo ke-
mudian menimbulkan kecurigaan bahwa ia sebenarnya telah menge-
tahui skenario Gerakan 30 September. Anehnya, kedatangan Presiden
Sukarno ke Halim juga telah disampaikan oleh Mayor Udara Soejono,
saat subuh tanggal 1 Oktober 1965 mengetuk pintu rumah Komodor
Udara Soesanto, memberitahukan hal di atas, juga minta agar disiap-
kan sebuah kamar untuk istirahat Bung Karno.115 Hal ini membukti-
kan bahwa memang ada skenario untuk menggiring Presiden Sukarno
agar datang ke Halim.
Di Halim, Brigjen Soepardjo bertemu dengan Men/Pangau.
Sementara menunggu tibanya Presiden Sukarno, Soepardjo pergi ke
Cenko I untuk melakukan koordinasi dengan Sjam. Ternyata Cenko I
telah ditinggalkan. Brigjen Soepardjo menyusul ke Cenko II, di rumah
www.facebook.com/indonesiapustaka

Sersan Udara Anis Soejatno, di kompleks perumahan bintara PAU

H. Mangil Martowidjojo, op.cit., hlm. 376


114

Omar Dhani, op.opcit., hlm. 67


115

196

01-TA-16x24-terakir.indd 196 1/30/2012 9:39:14 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

Halim, dan setelah itu Soepardjo bersama-sama dengan Sjam kem-


bali Markas Komando Operasi (Makoops).116
Dengan perantaraan Omar Dhani, Brigjen Soepardjo mengha-
dap Presiden melaporkan telah berhasil menculik jenderal-jende­
ral. Dilaporkan pula bahwa Jenderal Nasution lolos dari sergapan.
Lolosnya Jenderal Nasution menyebabkan rusaknya seluruh rencana
yang telah disusun dengan rapi oleh pihak PKI. Menerima laporan itu,
Presiden Sukarno justru menepuk bahu Brigjen Soepardjo pertanda
bahwa kerjanya di hadapan Bung Karno bagus. Selajutnya Presiden
Sukarno memerintahkan Soepardjo agar menghentikan gerakan-
nya guna menghindari terjadinya pertumpahan darah. Selanjutnya
Presiden Sukarno menolak permintaan Soepardjo untuk mendu-
kung G30S.117 Di sini letak kecerobohan Bung Karno, karena sebagai
Panglima Tertinggi tidak menanyakan di mana jenazah korban pem-
bunuhan tersebut diletakkan atau ditanam.
Selanjutnya atas usul Soepardjo, Presiden mengangkat Mayjen
Pranoto Reksosamodro menjadi Pejabat Pimpinan Harian Angkatan
Darat, sedangkan pimpinan Angkatan Darat dipegang langsung oleh
Presiden Sukarno.118 Menurut Buku Menyingkap Kabut Halim¸ peng­
angkatan Pranoto sebagai Pejabat Harian Men/Pangad atas pilihan
Bung Karno sendiri.119 Akan tetapi adanya kenyataan bahwa harapan
pimpinan Gerakan 30 September, seperti Sjam dan Brigjen Soepardjo,
yang ditumpukan kepada sikap dan peran dalam kedudukan Pranoto
sebagai caretaker guna menyukseskan Gerakan 30 September
sedemikian besar, tidak mustahil pilihan Bung Karno tersebut benar-
benar atas usulan atau saran dari Soepardjo.120 Intervensi Presiden
tanpa melalui prosedur internal yang telah menjadi tradisi Angkatan
Darat dalam penunjukan Pranoto sebagai caretaker Men Pangad,
meskipun dengan alasan hak prerogatif Presiden, merupakan ke-
www.facebook.com/indonesiapustaka

116
Aristides Katoppo, op.cit., hlm. 121.
117
Ibid., hlm. 122-123.
118
Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK), Rangkaian Peristiwa Pemberontakan
Komunis di Indonesia, Jakarta: LSIK, 1982, hlm. 95.
119
Aristides Katoppo, op.cit., hlm. 125.
120
Ibid., hlm. 126-127.

197

01-TA-16x24-terakir.indd 197 1/30/2012 9:39:14 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

cerobohan Bung Karno yang lain, dalam menentukan suksesi kepe-


mimpinan ABRI. 121 Pada pukul 09.30, tanggal 1 Oktober 1965 itu
juga, Men/Pangau Laksamana Madya Omar Dhani mengumumkan
Perintah Harian dalam bentuk radiogram sebagai berikut.

Departemen Angkatan Udara RI


Pusat Penerangan Untuk Segera Disiarkan

PENGUMUMAN PERS
No. 445/Pen/1965
PERIHAL: PERINTAH HARIAN MENTERI/PANGLIMA
ANGKATAN UDARA R.I.

Pada hari ini Djum’at tanggal 1 Oktober 1965 djam 09.30 Menteri/
Panglima Angkatan Udara R.I. Laksamana Madya Omar Dhani
telah mengeluarkan Perintah Harian jang berbunji sbb:
1. Pada tanggal 30 September 1965 malam telah diadakan Gerakan
oleh G 0 S 1965 untuk mengamankan dan menyelamatkan revo­
lusi dan Pemimpin Besar Revolusi terhadap subversif CIA.
Dengan demikian telah diadakan pembersihan di dalam tubuh
Angkatan Darat daripada anasir-anasir yang didalangi oleh sub-
versi asing dan yang membahayakan Revolusi Indonesia.
2. Dengan diadakannya gerakan tersebut maka subversi asing dan
antek-anteknja tidak akan tinggal diam dan kemungkinan besar
akan meningkatkan gerakan anti revolusioner.
3. Angkatan Udara Republik Indonesia sebagai alat revolusi selalu
dan tetap akan menjokong dan mendukung setiap gerakan jang
progresip revolusioner. Sebaliknja Angkatan Udara Republik
www.facebook.com/indonesiapustaka

121
Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967, Menuju Dwi Fungsi ABRI, Djakarta,
LP3ES, 1988, hlm. 140-157.

198

01-TA-16x24-terakir.indd 198 1/30/2012 9:39:14 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

Indonensia akan menghantam tiap usaha jang membahajakan


Revolusi Indonesia.
4. Dengan ini diperintahkan kepada segenap warga Angkatan
Udara Republik Indonesia untuk tetap waspada terhadap pro-
vokasi-provokasi dan perongrongan dan untuk lebih mening-
katkan kessiap-siagaan terhadap segala kemungkinan baik dari
dalam maupun dari luar.

Menteri/Panglima Angkatan Udara RI


t.t.d.
(Omar Dhani)
Laksamana Madya Udara

Dikeluarkan di : Departemen AURI


Tanggal : 1 Oktober 1965
Djam : 09.30
Kepala Pusat Penerangan
t.t.d.
(Farman)
Letnan Kolonel Udara

Masyarakat yang masih kebingungan, pada pukul 13.00, tanggal


1 Oktober 1965, mendengar pengumuman dari Komandan Resimen
Cakrabirawa Brigjen Sabur yang menyatakan bahwa Presiden Sukarno
dalam keadaan sehat wal-afiat dan tetap menjalankan tugas pimpin­
an negara.
Satu jam kemudian, tepatnya pada pukul 14.00 pada hari 1 Oktober
juga RRI Jakarta mengumumkan Dekrit No. 1 tentang pembentukan
Dewan Revolusi Indonesia sebagai sumber dari segala kekuasaan
Negara dan menyatakan Kabinet Dwikora dalam status demisioner
www.facebook.com/indonesiapustaka

sampai terbentuknya kabinet baru yang dilaksanakan oleh Dewan


Revolusi Indonesia.

199

01-TA-16x24-terakir.indd 199 1/30/2012 9:39:14 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

Dekrit No. 1
TENTANG PEMBENTUKAN DEWAN REVOLUSI INDONESIA
I. Demi kelantjaran Negara Republik Indonesia, demi pengamanan
pelaksanaan Pantjasila dan Pantja Azimat Revolusi Indonesia
seluruhnja, demi keselamatan Angkatan Darat dan Angkatan
Bersendjata pada umumnja, pada waktu tengah malam Kamis tang-
gal 30 September 1965 diibukota Republik Indonesia, Djakarta,
telah dilangsungkan pembersihan terhadap anggota-anggota apa
jang menamakan dirinya Dewan Jenderal yang telah merencanakan
coup mendjelang Hari Angkatan Bersendjata 5 Oktober 1965.
Djenderal-djenderal telah ditangkap, alat-alat komunikasi dan ob-
jek-objek vital lainnja telah djatuh ke dalam kekuasaan Gerakan
30 September. Gerakan 30 September adalah gerakan semata-
mata dalam tubuh Angkatan Darat untuk mengakhiri perbuatan
sewenang-wenang djenderal-djenderal anggota Dewan Djenderal
serta perwira-perwira lainnja yjang menjadi kaki tangan dan sim-
patisan anggota Dewan Djenderal. Gerakan ini dibantu oleh pasu-
kan-pasukan bersendjata di luar Angkatan Darat.
II. Untuk melantjarkan tindak landjut dari tindakan Gerakan 30
September 1965, maka oleh Pimpinan Gerakan 30 September akan
dibentuk Dewan Revolusi Indonensia jang anggota-anggotanja ter-
diri dari orang-orang sipil dan orang-orang militer jang mendu-
kung Gerakan 30 September tanpa reserve. Untuk sementara wak-
tu mendjelang pemilihan umum Madjlis Permusjawaratan Rakjat,
sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, Dewan Revolusi
Indonesia mendjadi sumber dari pada segala sumber kekuasaan
dalam Negara Republik Indonesia untuk mewudjudkan Pantjasila
dan Pantja Azimat Revolusi seluruhnja. Dewan Revolusi Indonesia
dalam kegiatannja sehari-hari akan diwakili oleh Presidium Dewan
jang terdiri dari Komandan dan Wakil-Wakil Komandan Gerakan
www.facebook.com/indonesiapustaka

30 September.
III. Dengan djatuhnja segenap kekuasaan Negara ke Dewan Revolusi
Indonesia, maka Kabinet Dwikora dengan sendirinja berstatus de-
200

01-TA-16x24-terakir.indd 200 1/30/2012 9:39:14 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

misioner. Sampai pembentukan Dewan Menteri Baru oleh Dewan


Revolusi Inndonesia, Para bekas menteri diwadjibkan melakukan
pekerdjaan rutin, mendjaga ketertiban dalam Departemen masing-
masing, dilarang melakukan pengangkatan pegawai baru dan di-
larang mengambil tindakan-tindakan jang berakibat luas. Semua
bekas Menteri berkewadjiban memberikan pertanggung djawaban
kepada Dewan Revolusi Indonesia c.q. Menteri-Menteri baru jang
akan ditetapkan oleh Dewan Revolusi Indonesia.
IV. Sebagai alat dari pada Dewan Revolusi Indonesia didaerah diben-
tuk Dewan Revolusi Provinsi (paling banjak 25 orang), Dewan
reviolusi Kabupaten (paling banjak 10 orang), dewan Revolusi
Ketjamatan (paling banjak 10 orang), Dewan Revolusi Desa (pa­
ling banjak 7 orang), terdiri dari orang-orang sipil dan militer jang
mendukung Gerakan 30 September tanpa reserve. Dewan Revolusi
Daerah ini adalah kekuasaan tertinggi untuk daerah jang bersang-
kutan, dan jang di Provinsi dan Kabupaten pekerdjaannja dibantu
oleh Badan Pememrintah Harian (BPH) masing-masing, sedangkan
di Ketjamatan dan Desa dibantu oleh Pimpinan front Nnasional
setempat terdiri dari orang-orang jang mendkung Gerakan 30
September tanpa reserve.
V. Presidium Dewan Revolusi terdiri dari Komandan dan Wakil-
Wakil Komandan Gerakan 30 September. Komandan Gerakan 30
September adalah Ketua dan Wakil-Wakil Ketua Dewan Revolusi
Indonesia.
VI. Segera setelah pembentukan Dewan Revolusi Daerah, Ketua
Dewan Revolusi jang bersangkutan harus melaporkan kepada
Dewan Revolusi setingkat di atasnja, tentang susunan lengkap
anggota Dewan.

Dewan Revolusi Provinsi harus mendapat pensjahan tertulis


www.facebook.com/indonesiapustaka

Presiidium Dewan Revolusi Indonesia. Dewan Revolusi Kabupaten


harus mendapat pensjahan tertulis dari Dewan Revolusi Provinsi,

201

01-TA-16x24-terakir.indd 201 1/30/2012 9:39:14 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

dan Dewan Revolusi Ketjamatan dan Desa harus mendapat pensjah-


an tertulis dari Dewan Revolusi Ketjamatan.

Djakarta, 1 Okotober 1965


Komandan Gerakan 30 September

omandan
K : Letnan Kol. Untung
Wakil Komandan ; Brig. Jend. Supardjo
Wakil Komandan : Letnan Kol. U. Heroe
Wakil Komandan : Kolonel L. Soenardi
Wakil Komandan : Ajun Kom. Bes. Pol. Anwas

Diumumkan oleh Bagian Penerangan Gerakan 30 September pada


tanggal 1 Oktober 1965.
I. Memenuhi isi Dekrit No. 1 tentang pembentukan Dewan
Revolusi Indonesia, maka dengan ini diumumkan anggota-ang-
gota lengkap dari dewan Revolusi Indonesia.

1.Letnan Kolonel Untung (Ketua Dewan) 24. Rahman (Wa Sekjen Front Nasional)
2.Brigadir Djenderal Supardjo (Wk. Ketua 25.Hardojo (Mahasiswa)
Dewan) 26. Major Djenderal Basuki Rachmat
3.Letnan Kolonel Udara Heru (Wk. Ketua 27. Brigadir Djenderal Riacudu
Dewan) 28. Brigadir Djenderal Solihin
4. Kolonel Laut Sunardi (Wk. Ketua Dewan) 29. Brigadir Djenderal Amir Machmud
5.Ajun Komisaris Besar Pol. Anwas (Wk.Ketua ) 30. Brigadir Djenderal Andi Rivai
6. Marsekal Madya Omar Dhani 31. Major Udara Sujono
7. Inspektur Djeneral Pol. Sutjipto Judodihardjo 32. Komodor Udara Leo Wattimena
8. Laksamana Madya Laut E. Martadinata 33. Dr. Utami Surjadarma
9. Dr. Subandrio 34. Kolonel A. Latief
10. Dr. J. Leimena 35. Major Djenderal Umar
11. Ir. Surachman (Gol. Nasionalis) Wirahadikusuma
12. Fatah Jasin (Gol. Agama) 35. Nj. Supeni
13. K.H. Siradjuddin (Gol. Agama) 37. Nj. Mahmudah Muwardi
14. Tjugito (Gol. Koumnis) 38. Nj. Suharti Suwarno
15. Arudji Kartawinata 39. Kolonel Fatah
16. Siauw Giok Tjhan 40. Kolonel Suherman
17. Sumarno, SH. 41. Kolonel Laut Samsu Sutjipto
18. Major Djenderal KKO Hartono 42. Suhardi (Wartawan)
19. Brigadir Djenderal Pol. Sutarto 43. Komisaris Besar Pol. Drs.
20. Zaini Mansur (Front Pemuda Pusat) Sumartono
21. Jahaja SH (Fornt Pemuda Pusat) 44. Djunata Suwardi
www.facebook.com/indonesiapustaka

22. Sukatno m(Front Pemuda Pusat) 45. Karim D.P. (PWI)


23.Bambang Kusnohadi (PPMI)

202

01-TA-16x24-terakir.indd 202 1/30/2012 9:39:14 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

II. Ketua Dewan dan Wakil Ketua Dewan Revolusi Indonesia meru-
pakan Presidium D ewan Revolusi Indonesia jang diantara dua
sidang lengkap Dewan bertindak atas nama Dewan.
III. Semua Dewan Revolusi Indonensia dari kalangan sipil diberi
hak memakai tanda pangkat Letnan Kolonel jang setingkat.
Anggota Dewan Revolusi dari kalangan Angkatan Bersendjata
tetap memakai pangkat jang lama, ketjuali jang lebih tinggi dari
Letnan Kolonel diharuskan memakai jang sama dengan pangkat
Komandan Gerakan 30 September, jaitu Letnan Kolonel, atau
jang sederadjat.

KOMANDO GERAKAN 30 SEPTEMBER


Ketua Dewan Revolusi Indonesia
ttd.
(Letnan Kolonel Untung)

Pada 2 Oktober Harian Rakjat, surat kabar resmi PKI, dalam edi-
torialnya memberikan dukungan kepada Gerakan 30 September 1965
sebagai berikut.

… Tepat tanggal 30 September telah dilakukan tindakan penjelamatan


terhadap Presiden Sukarno dan RI dari kup apa jang menamakan
Dewan Djenderal. Menurut apa jang diumumkan oleh Gerakan
30 September jang dikepalai oleh Letkol Untung dari bataljon
Tjakrabirawa penjelamatan diri Presiden Sukarno dan RI dari kup
Dewan Djenderal adalah tindakan jang patriotic dan revolusioner.
Betapapun dalih jang digunakan oleh Dewan Djenderal dalam ma-
karnya yang melakukan kup adalah tindakan jang terkutuk dan kontra
revolusioner. Kita rakjat memahami betul apa jang dikemukakan oleh
Letkol Untung dalam melakukan gerakannya yang patriotik itu. Tetapi
bagaimanapun juga persoalan tsb. Adalah persoalan intern AD. Tetapi
www.facebook.com/indonesiapustaka

kita rakjat jang sadar akan politik dan tugas-tugas revolusi mejakini
akan benarnja tindakan jang dilakukan oleh Gerakan 30 September

203

01-TA-16x24-terakir.indd 203 1/30/2012 9:39:14 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

untuk menjelamatkan revolusi dan Rakjat. Dukungan dan hati Rakjat


sudah pasti dipihak Gerakan 30 September. Kita serukan kepada selu-
ruh Rakjat untuk mempertadjam kewaspadaan dan siap menghadapi
segala kemungkinan …”122

Aksi Tandingan Angkatan Darat (Kostrad)


Pangdam V Jaya, Mayjen Umar Wirahadikusuma menerima laporan
Mayor CPM Sudarto, ajudan Jenderal A. Yani, tentang penculikan
para jenderal. Mayjen Umar merintahkan Sudarto lapor kepada
Kolonel Sarwo Edhie Wibowo. Sarwo Edhie selanjutnya memerin-
tahkan Mayor CI Santosa menarik pasukan RPKAD dari latihan
Upacara HUT ABRI di Parkir Timur Senayan. Pada pagi 1 Oktober
1965, kondisi ibu kota tegang dan tidak menentu. Hanya sedikit orang
yang tahu perkembangan keadaan dan tahu siapa yang telah mencu-
lik para jenderal. Beberapa penculik dapat dikenali dari pakaian se-
ragamnya, yaitu pasukan pengawal kepresidenan. Pada umumnya
orang-orang tidak tahu keberadaan para jenderal itu setelah diculik,
bagaimana nasib mereka, dan apa latar belakangnya. Pengumuman
Untung hanya memberi isyarat atas apa yang telah terjadi. Akibat ke-
jutan (surprise), kebingungan meluas, khususnya di lingkungan TNI
AD, karena personel yang terlibat berasal dari TNI AD, setidak-tidak­
nya dari seragamnya. Kecurigaan dan kebingungan juga melanda
anggota ABRI lainnya, karena sedang di Jakarta untuk mempersiap-
kan perayaan HUT ABRI yang akan dilaksanakan secara besar-besar­
an pada 5 Oktober 1965.
Mayjen Soeharto, Panglima Kostrad (Pangkostrad), pagi 1 Oktober
1965 mendapat informasi telah terjadi gerakan militer yang mencu-
rigakan di rumah beberapa orang jenderal. Informasi itu menyatakan
beberapa orang dari mereka telah ditembak mati oleh gerombolan ber-
senjata yang mengaku dari Yon Cakrabirawa. Setelah mendapat infor-
masi, Mayjen Soeharto segera pergi ke kantornya, di Medan Merdeka
www.facebook.com/indonesiapustaka

Timur. Dalam perjalanannya, Soeharto menyaksikan kegiatan militer


di sekeliling Monumen Nasional (Monas). Pada waktu itu memang
Harian Rakjat, Sabtu 2 Oktober 1965.
122

204

01-TA-16x24-terakir.indd 204 1/30/2012 9:39:14 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

ada dua batalion Kostrad, yaitu Yon 454/Para dari Jawa Tengah dan
Yon 530/Para dari Jawa Timur yang didatangkan ke Ibukota untuk ikut
merayakan HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1965. Kedua batalion terse-
but kemudian disalahgunakan oleh Gerakan 30 September 1965. Yon
454 menempati bagian utara lapangan Medan Merdeka, berhadapan
dengan Istana Merdeka, dan Yon/Para dari Jawa Timur menempati
depan Museum ke selatan sampai Bundaran Air Mancur, membelok
ke timur, gedung Postel dan Telekomunikasi, sampai bagian selatan
Stasiun Gambir. Setibanya di kantor, Mayjen Soeharto menerima
laporan mengenai peristiwa yang terjadi dan menganalisis situasi
yang berkembang. Berdasarkan pengumuman Untung pukul 07.15,
pernyataan Pangau pukul 09.00, pembentukan Dewan Revolusi, dan
Dekret pada pukul 14.00, disimpulkan bahwa telah terjadi pengkhi-
anatan terhadap TNI AD dan usaha perebutan kekuasaan. Soeharto
bertekad melawan pengkhianatan dan pemberontakan tersebut.
Langkah pertama yang diambil oleh Soeharto ialah mengambil alih
pimpinan Angkatan Darat berdasarkan order tetap Menpangad ten-
tang pejabat yang mewakili pimpinan TNI AD apabila Menpangad
berhalangan. Langkah ini juga disetujui oleh para perwira tinggi yang
ada di Kostrad.
Mayjen Soeharto selanjutnya memanggil Pandam V/Jaya, Mayjen
Umar Wirahadikusuma, yang sebelumnya bersama dengan Kastaf
Garnisun Ibukota Brigjen G.A. Mantik telah mengunjungi rumah para
jenderal yang telah dibunuh dan diculik, kemudian melanjutkan per-
jalanan ke Istana untuk mengecek keselamatan Presiden. Namun yang
ia temukan adalah catatan kunjungan rombongan Brigjen Soepardjo
yang ingin bertemu Presiden Sukarno dan tidak berhasil ditemui­
nya. Di samping itu, laporan Mayjen Umar Wirahadikusumah, yaitu
Supardjo di istana pagi-pagi tersebut untuk melaporkan peristiwa
G30S, mengejutkan Pangkostrad Mayjen Soeharto tentang keberadaan
Pangkopur IV Kalimantan di Istana tersebut, yang seharusnya ber­
www.facebook.com/indonesiapustaka

ada di posnya.123 Bersamaan dengan itu pada pukul 06.30, tanggal

John Hughes, op.cit., hlm. 69


123

205

01-TA-16x24-terakir.indd 205 1/30/2012 9:39:15 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

1 Oktober 1965, Nasution keluar dari persembunyiannya, menemui


Letkol CPM Hidayat Wiryasonjaya Danmen Markas Staf AB yang
tengah mencarinya. Letkol Hidayat bersama Mayor Sumargono, dan
Bob Sunario (ipar Nasution) membawa Nasution keluar dari kediam­
annya pindah ke tempat yang lebih aman, tidak jauh dari Markas
Kostrad. Pada pukul 09.00 setelah mendengar pengumuman Untung,
lewat Letkol Hidayat ia menyampaikan pesan kepada Pangkostrad
agar melokalisir pasukan lawan, menutup kota, meminta bantuan ke
Kodam V/Siliwangi, membantah isu adanya Dewan Jenderal, mem-
peroleh kepastian kondisi Presiden, dan menghubungi Menpangal,
Menpangak, dan Panglima KKO, Jenderal Hartono.
Sementara itu, Soeharto dan Wirahadikusuma yang telah berada
di Markas Kostrad, selain menutup perbatasan Ibukota, menetralisir
pasukan di Medan Merdeka, kemudian menghubungi Menpangal,
dan Menpangak. Kedua panglima berjanji akan mengkonsinyir pasuk­
an masing-masing sebelum jelas siapa kawan dan siapa lawan.
Siang hari 1 Oktober 1965 Jenderal Nasution bergabung ke
Kostrad. Di Markas Kostrad, Jl. Merdeka Timur, Jakarta, Pangkostrad,
Mayjen Soeharto, Pangdam V/Jaya Mayjen Umar Wirahadikusuma,
dan Jenderal Nasution yang lolos dari pembantaian Gerakan 30 Sep­
tember beserta staf Kostrad pada Jumat 1 Oktober 1965 mengadakan
penilaian terhadap situasi. Akhirnya diputuskan: mengadakan pem-
belaan dan pengejaran terhadap pasukan penculik jenderal-jende­ral.
Disinyalir bahwa pasukan penculik berada di sekitar PAU Halim
Perdanakusuma.
etapi waktu itu di Kostrad tidak ada pasukan, hingga masih harus
T
dicari terlebih dahulu. Pada pukul 14.00 Kapten Soekarbi, Wadanyon
530 Brawijaya, setelah dihubungi Brigjen Sabirin Mochtar dan Letkol
Ali Moertopo, datang menghadap Pangkostrad. Kapten Soekarbi
berjanji akan memenuhi perintah membawa Batalion 530 masuk
www.facebook.com/indonesiapustaka

Kostrad pada 16.30, namun minus Mayor Bambang Supeno, Danyon,


dan kurang satu kompi karena terlanjur masuk kompleks Halim, se-
dangkan yang tidak memenuhi perintah Pangkostrad ialah Yon 454

206

01-TA-16x24-terakir.indd 206 1/30/2012 9:39:15 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

Diponegoro, dipimpin Wadanyon-nya Kapten Kuntjoro menuju ke


Halim. Namun pada pukul 20.00 dua kompi pasukan Yon 454 berha-
sil memisahkan diri, dan melapor kepada Kolonel Inf. Wahono, As.
II/Operasi Kostrad.
ada pukul 20.30 Kapten Inf. Koentjoro, Wadanyon 454, meng-
P
hadap Kolonel Wisnoe, yang didampingi Mayor Udara Soebarjono,
dan Kapten Udara Hanafie, meminta izin penempatan pasukannya di
Halim. Berdasarkan pengarahan Komodor Leo Watimena, permintaan
itu ditolak masuk ke pangkalan, dan disarankan agar Kapten Koentjoro
menempatkan pasukan di sepanjang jalan Pondok Gede. Beberapa
saat kemudian Mayor Udara Gathot Soekrisno, perwira, diperbantu-
kan Irjen-Poleksos merangkap Pengurus Besar Front Nasional, juga
menghadap Kolonel Wisnu minta izin meminjam 2.000 pucuk senjata
milik pangkalan, permohonan ini juga ditolak124. Pasukan Yon 454 ini
kemudian menempati sepanjang jalan Pondok Gede, kemudian pada
2 Oktober 1965 melakukan kontak senjata dengan pasukan RPKAD
dan Yon 328 Kujang.
Aksi pembalasan dan pengejaran dilaksanakan dengan mengerah-
kan RPKAD di Cijantung, yang dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edhie
Wibowo dan Yon Para 328 Kujang yang berada di Jakarta dalam rang-
ka persiapan HUT ABRI. Dengan kekuatan dua batalion terus menuju
ke Kostrad.
Sebelumnya, yaitu pada pukul 16.00, Pangkostrad Mayjen Soeharto
menerima surat dari Presiden Sukarno, selaku Pangti ABRI yang diba-
wa Kolonel Bambang Widjonarko. Surat tersebut dibuat di Halim,
isinya menyatakan bahwa Presiden dalam keadaan selamat dan tetap
memegang pimpinan Negara. Presiden menerangkan bahwa ia telah
mengangkat Mayjen Pranoto Reksosamodro, sebagai Pejabat Harian
(caretaker) Men/Pangad. Pangti ABRI memerintahkan agar pasukan-
pasukan ditarik dari posnya masing-masing, dan boleh bergerak ha­
www.facebook.com/indonesiapustaka

nya atas perintah.125 Para perwira tinggi yang berkumpul di Markas

124
Aristides Katoppo, op.cit., hlm. 130-131.
125
Sugiarso Suroyo, Siapa menabur angin, akan menuai badai, Jakarta: 1988

207

01-TA-16x24-terakir.indd 207 1/30/2012 9:39:15 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

Kostrad, termasuk Jenderal A.H. Nasution, melakukan musyawarah


sehubungan surat perintah di atas. Keputusannya: menunda keputus­
an pelaksanaan perintah Presiden Sukarno dengan alasan:
a. Operasi penumpasan dam pengejaran terhadap pasukan pencu-
lik sedang dilaksanakan.
b. Para jenderal yang diculik belum diketahui identitas dan
bagaimana nasibnya.
c. Melaporkan kepada Presiden, bahwa biasanya bila Men/
Pangad Jenderal A. Yani tidak di tempat, yang mewakili adalah
Pangkostrad Mayjen Soeharto sebagai perwira yang paling
senior.

elanjutnya Pangdam V/Jaya dalam menghadapi situasi yang mem­


S
bingungkan masyarakat itu, pada sore hari 1 Oktober 1965 bertindak
tegas dengan menyatakan Daerah Khusus Jakarta dalam keadaan
perang, dan pemberlakuan jam malam, mulai pukul 18.00 hingga
06.00 pagi. Pada pukul 18.30, tanggal 1 Oktober 1965, Pangkostrad
Mayjen Soeharto memerintahkan pasukan RPKAD dan Yon 328
Kujang untuk merebut kembali RRI Pusat dan Gedung Telekomunikasi
dengan menghindari timbulnya pertumpahan darah. Ternyata stu-
dio RRI Jakarta hanya dipertahankan oleh Pemuda Rakyat, dan ber-
hasil dikuasai kembali pada pukul 19.00 tanpa perlawanan. Pemuda
Rakyat itu setelah dilucuti senjatanya oleh RPKAD selanjutnya dise­
rahkan kepada Direktorat Polisi Militer di Jl. Medan Merdeka Timur
untuk ditahan. Mereka adalah tahanan PKI pertama sejak meletus-
nya G30S/1965.126 Berkat penguasaan kembali RRI Pusat, maka
Jawatan Penerangan Angkatan Darat mengumandangkan pengumum­
an Pangkostrad sebagai pimpinan sementara Angkatan Darat RI, me-
nyatakan bahwa mereka yang menamakan diri “Gerakan 30
September” adalah kontra revolusi. Dengan tercantumnya jenderal-
www.facebook.com/indonesiapustaka

jenderal dalam daftar Dewan Revolusi seperti: Basuki Rachmat, Amir

126
A ristides Katoppo, op.cit., hlm. 132.

208

01-TA-16x24-terakir.indd 208 1/30/2012 9:39:15 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

Machmud, Umar Wirahadikusumah, Solihin, Ryacudu, dan Andi


Rivai, dinyatakan bahwa yang bersangkutan tidak tahu-menahu.
Teks pengumuman Pangkostrad sebagai berikut.

Departemen Angkatan Darat

PENGUMUMAN
No. 002/Peng/Pus/1965
Dengan ini diumumkan bahwa:
1. Telah ada pengertian kerdja sama dan kenulatan penuh antara
Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Kepolisian un-
tuk menumpas gerakan kontra-revolusioner dari apa jang me-
namakan dirinja”Gerakan 30 September”.
2. Dengan telah diumumkannja apa jang mereka sebut “Dewan
Revolusi Indonesia” dan menganggap bahwa kabinet Dwikora
sudah demisioner, maka djelas orang-orang Gerakan 30
September” adalah orang-orang kontra revolusioner jang telah
melakukan pengambil-alihan kekuasaan Negara Republik
Indonesia dari tangan P.J.M. Presdien/Panaglima Tertinggi
ABRI/Pemimpin Besar Revolusi, Bung Karno, disamping mere­
ka telah melakukan pentjulikan terhadap beberapa Perwira
Tinggi Angkatan Darat.
3. Masjarakat diharap tenang dan tetap waspada serta siap siaga.

Djakarta, 1 Oktober 1965


Pimpinan Sementara Angkatan
Republik Indonesia
ttd.
SOEHARTO
Major Djenderal –TNI
www.facebook.com/indonesiapustaka

Salinan sesuai dengan aslinja


Oleh Sie PEN KOTI

209

01-TA-16x24-terakir.indd 209 1/30/2012 9:39:15 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

engan adanya pengumuman tersebut persoalan yang terjadi di


D
Ibukota menjadi jelas bagi masyarakat luas. Selanjutnya Pangdam V/
Jaya menginstruksikan Garnizun Ibukota melakukan konsinyering be-
rat. Gerakan pasukan hanya dibenarkan dengan perintah Komandan
Garnizun Ibukota. Sebagai tanda pengenalnya pita putih di atas
pundak.
indakan Pangkostrad Mayjen Soeharto memerintahkan penge-
T
pungan PAU Halim Perdanakusuma pada malam itu juga. Menghadapi
perintah Soeharto, Men Pangau Omar Dhani mengirim pesan radio
agar Soeharto mengurungkan niatnya, karena berada di bawah kekua-
saan AU. Jika Soeharto nekad, ia akan berhadapan dengan AU.127
Pesan radiogram tersebut setelah diterima di Markas Kostrad ternyata
berasal dari pesawat Hercules Omar Dhani yang melakukan holding
di atas Jawa Barat dan Jawa Tengah, hingga ada kekhawatiran akan
dibom oleh pihak AURI, kemudian Markas Kostrad dipindahkan dari
Jl. Medan Merdeka Timur ke sebuah tempat di Kompleks Senayan.128

Aksi-aksi di Daerah-daerah
Jawa Barat
Di Bandung, Ketua CDB Jawa Barat tidak sempat menjalankan in-
struksi untuk membentuk Dewan Revolusi, tetapi di Banten pihak
CDB khusus daerah itu dapat melakukannya. Pada 1 Oktober 1965,
Letkol Pratomo, Komandan Kodim Pandeglang sempat mendirikan
Dewan Revolusi Kabupaten yang dipimpinnya sendiri, atas instruksi
Soedisman yang disampaikan kepadanya oleh Dahlan Rivai. Akan
tetapi setelah situasi tidak menguntungkan PKI, Pratomo kemudian
menghilang. Ketua Biro Khusus Jawa Barat, Haryana, setelah men-
dengar berita pada 1 Oktober 1965, segera bergerak hingga sejumlah
anggota Pusat Kavaleri yang telah dibina bergerak ke Cimahi, dan
seorang perwira lain telah bergerak ke Siliwangi. Gerakan tersebut
www.facebook.com/indonesiapustaka

127
Hermawan Sulistyo, Palu Arit …, hlm. 8, lihat catatan kaki no. 18. Lihat juga Putusan No.
PTS.017/MLB-XIV/O.D/1966 tanggal 23-12-1966 hlm. 447.
128
Keluarga Pahlawan Revolusi, op.cit., hlm. 141.

210

01-TA-16x24-terakir.indd 210 1/30/2012 9:39:15 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

dicegah oleh Ismail Bakri, Ketua CDB Jawa Barat yang belum me-
nerima instruksi dari Jakarta. Kebingungan dan kesimpang-siuran
komando menyebabkan Dewan Revolusi Jawa Barat tidak sempat
dibentuk.

Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta


Berbeda dengan daerah lainnya, di Semarang Pangdam VII/Dipo­
negoro, Brigjen Soerjosoempeno, mengadakan rapat staf, namun para
asisten, seperti Asisten I/Intel, Kolonel Sahirman tidak hadir. Di te­
ngah-tengah situasi yang tidak jelas dan menentu itu diputuskan agar
seluruh jajaran Kodam harus dapat menenangkan masyarakat, dan
tidak bertindak sendiri-sendiri. Pada siang harinya, ketika Pangdam
dalam perjalanan menuju Magelang dan Salatiga, Kolonel Sahirman,
melalui RRI Semarang mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi
Provinsi Jawa Tengah, serta dukungan terhadap gerakan 30 September
di Jakarta. Selanjutnya juga diumumkan, Letkol (Inf) Usman Sastro­
dibroto (Asisten V Teritorial Kodam Diponegoro) sebagai pimpinan
Kodam yang baru. Ketika Pangdam kembali ke Semarang, sejumlah
perwira dan pasukan pendukung PKI berusaha menangkapnya,
hingga Brigjen Soerjosoempeno terpaksa meninggalkan Semarang ke
Magelang pada 2 Oktober, dini hari. Di Magelang, Pangdam meme­
rintahkan Batalion Kavaleri II dan sejumlah pasukan yang setia un-
tuk merebut kembali komando. Saat itu di RRI Semarang Kolonel
Sahirman kembali mengumumkan dukungan terhadap apa yang di-
lakukan di Jakarta. Tatakala Pangdam tiba di Semarang dengan pa-
sukan tank, para tokoh PKI dan sejumlah perwira pro-PKI melarikan
diri. Bila di Semarang pada 2 Oktober 1965 telah dapat dikendalikan
oleh Pangdam, berbeda dengan wilayah Surakarta dan Yogyakarta.
Di kedua wilayah dan kota itu kondisi PKI relatif lebih kuat serta
mempunyai banyak pendukung di kalangan ABRI. Skenario Sjam
www.facebook.com/indonesiapustaka

dapat diwujudkan. Dalam hal ini pengumuman Letkol Untung di


Jakarta lewat RRI segera diikuti dengan pembentukan Dewan

211

01-TA-16x24-terakir.indd 211 1/30/2012 9:39:15 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

Revolusi, pengambilalihan kekuasaan dan tempat-tempat vital, serta


unjuk rasa mendukung tindakan Gerakan 30 September.
i Surakarta, Joseph Rabidi, Ketua Biro Khusus Daerah Solo,
D
menemui Kolonel (Inf) Kaderi sebagai Danyon K Brigif-6 Solo agar
mengerahkan pasukannya menuju Semarang. Para tokoh PKI lainnya
meminta kepada sejumlah perwira untuk mendukung Gerakan 30
September dengan menandatangani dokumen yang menyatakan du-
kungan itu, namun dari mereka tidak ada satu pun yang berani. Akan
tetapi, bagaimanapun juga pernyataan tersebut akhirnya disiarkan
melalui RRI Solo pada 1 Oktober itu juga. Wali Kota Solo, Oetomo
Ramlan, yang juga tokoh PKI, memberikan dukungan terhadap
Gerakan 30 September. Pada malam harinya dibentuk susunan Dewan
Revolusi yang diketuai oleh Mayor (Inf) Soeroso dan Bupati Wonogiri,
Brotopranoto sebagai wakil ketua.129 Di kota Yogyakarta, setelah men-
dengar pengumuman RRI Jakarta, Danrem 072/Pamungkas, Kolonel
(Inf) Katamso, mengumpulkan stafnya dan menyatakan bahwa ia ti-
dak percaya kepada gerakan di Jakarta. Setelah pengumuman kedua
RRI Jakarta, Danrem Yogyakarta kembali mengumpulkan stafnya,
dan menjelaskan perkembangan terakhir, juga tentang kondisi di
Semarang. Melihat sikap Danrem itu, Ketua Biro Khusus Yogyakarta,
Wirjomartono mendesak agar Mayor (Inf) Moeljono sebagai yang di-
binanya segera mengumumkan susunan Dewan Revolusi DIY. Agar
rencana itu terlaksana diputuskan untuk menyingkirkan Danrem Kol.
Inf Katamso. Pada sore hari, 2 Oktober 1965, Mayor (Inf) Wisnoeadji,
Danyon L Brigif-6 memerintahkan Peltu Soemardi untuk menculik
Danrem dari kediamannya dan sekaligus juga Kepala Staf Korem
Letkol (Inf) Soegijono, yang waktu itu masih berada di kantor.
edua pejabat militer tertinggi di wilayah DIY tersebut dibawa
K
ke markas Batalion di Kentungan, dekat Kaliurang. Pada dini hari 2
www.facebook.com/indonesiapustaka

129
Pernyataan Oetomo Ramelan, Walikota Surakarta, anggota PKI, dalam pertemuan
Pimpinan PKI di Solo 2 Oktober 1965 menjadikan D.N. Aidit marah karena dukungan itu
membuka peranan PKI di belakang kup.Hal ini bertentangan dengan kebijakan Aidit un-
tuk menyembunyikan peranan PKI dan menyatakan Gerakan 30 September 1965 adalah
urusan intern TNI AD yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan PKI. Lihat
Nugroho Noto Susanto-Ismail Saleh, Tragedi Nasional …, op.cit., hlm.

212

01-TA-16x24-terakir.indd 212 1/30/2012 9:39:15 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

Oktober 1965 kedua perwirira itu dibunuh dan dikuburkan dalam


satu lubang makam. Sementara para penculik menahan kedua perwi-
ra itu, Mayor Moeljono dan Mayor Wisnoeadji membentuk susunan
Dewan Revolusi. Hasilnya disiarkan pada tanggal 2 Oktober siang
hari itu juga, didukung oleh PKI Yogyakarta melakukan unjuk rasa
memberi dukungan pada gerakan dan pembentukan Dewan Revolusi.
Unsur-unsur yang ikut dalam demonstrasi dari PKI, SOBSI, Pemuda
Rakyat, CGMI, dan IPPI. Praktis untuk Solo dan Yogya baru benar-
benar dikuasai kembali pada pertengahan Oktober, ketika pasukan
RPKAD dari Jakarta tiba di kedua kota itu, untuk memimpin gerakan
pembersihan terhadap PKI.

Jawa Timur
D.N. Aidit ke Jawa Timur telah mengirimkan dua orang anggota CC
PKI: Roeslan Widajasastra dan Moenir, untuk membantu CDB Jawa
Timur. Rencana-rencana PKI tidak dapat dilaksanakan. Ketua Biro
Khusus Jawa Timur, Roestomo mengirimkan perintah kepada jajaran
Biro Khusus di Malang, Jember dan Madiun agar mereka segera
melaksanakan gerakan bersenjata di tempatnya masing-masing.
Bahkan mereka melalui siaran RRI Surabaya yang dibawa beberapa
anggota ABRI, sempat mendukung gerakan. Namun, pembentukan
Dewan Revolusi Jawa Timur tidak dapat dilakukan, karena malam
harinya sudah diketahui bahwa situasi di Jakarta telah berubah.
Bahkan Roestomo kemudian berusaha menyelamatkan diri, dari ke-
jaran aparat keamanan.

Sumatra Utara
Di Medan, PKI tidak mampu melaksanakan rencana-rencana yang
telah disiapkan dengan saksama. Antara lain disebabkan tidak ada­
www.facebook.com/indonesiapustaka

nya kekuatan militer yang memberikan dukungan, serta pengerahan


massa Pemuda Rakyat dan PKI ke lokasi-lokasi penting. Karena usia

213

01-TA-16x24-terakir.indd 213 1/30/2012 9:39:15 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

G30S hanya sampai sore hari, maka tidak satu pun aksi yang mampu
dilakukan oleh PKI di Sumatra Utara.

Sumatra Barat
Kondisi Sumatra Barat juga hampir sama dengan kondisi di Sumatra
Utara. Di Sumatra Barat, Baharudin Hanafi, setelah mendengar peng­
umuman melalui RRI Jakarta, mengadakan rapat dengan unsur-un-
sur PKI setempat yang memutuskan akan mengadakan gerakan pada
esok harinya, 2 Oktober 1965. Dari militer, Kolonel Inf Sumed,
Danrem 031/Riau akan mengumumkan dukungannya terhadap su-
sunan Dewan revolusi Sumatra Barat, dan bila tidak ada, namanya
akan dicantumkan. Menurut Baharudin Hanafi, pasukan Yon 132
dan Ki Reiders dari Batusangkar akan menunggu di Lubuk Alung.
Sayang, ketika petangnya, mereka mendengar pengumuman
Pangkostrad melalui RRI Jakarta, para pemimpin pasukan tidak ada
yang berani menggerakkan pasukannya. Akibatnya, pimpinan PKI
setempat, masing-masing berusaha menyelamatkan diri.

Bali
Ketika mendengar pengumuman pertama, pihak CDB PKI Bali menye­
lenggarakan rapat dengan sejumlah perwira Angkatan Darat yang
sudah dibina. Hasilnya, akan dibentuk Dewan Revolusi Provinsi
Bali, menduduki tempat-tempat strategis di Denpasar dan sekitarnya.
Akan tetapi, pengumuman dan gerakan seperti yang direncanakan
tidak dapat dilaksanakan keesokan harinya, karena mereka mende­
ngar pengumuman dari Pangkostrad malamnya.

Kalimantan Selatan
Di Kalimantan Selatan Pangdam XI/Lambung Mangkurat, Brigjen
www.facebook.com/indonesiapustaka

Amir Machmud, setelah mendengar pengumuman pagi hari, 1


Oktober 1965, kemudian mengumpulkan seluruh staf dan menyim-
pulkan bahwa Gerakan 30 September bukan masalah internal
214

01-TA-16x24-terakir.indd 214 1/30/2012 9:39:15 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

Angkatan Darat, melainkan sudah merupakan bentuk kudeta. Sikap


Panglima Kodam XI menyatakan agar tetap taat kepada perintah
Presiden Sukarno, melenyapkan kesempatan PKI setempat untuk
memasukkan nama Amir Machmud dalam susunan Dewan Revolusi
Provinsi, lebih-lebih setelah Gubernur Kalimantan Selatan mengu-
mumkan hal serupa.

Daerah Khusus Jakarta


Di Jakarta, Sjam tidak secara langsung menguasai organisasi militer,
tetapi orang-orang binaannya seperti Kolonel Inf. Latief dan Brigjen
Soepardjo yang mengendalikan pasukan-pasukan yang ada. Strategi
yang ditentukan oleh partai merupakan yang paling tepat, karena ti-
dak menunjukkan keterlibatan langsung dari PKI. Sebaliknya, dari
sisi kebijaksanaan, hal itu menyebabkan kesenjangan antara keingin­
an Sjam dengan pelaksana dan pekerja di lapangan. Akibatnya un-
sur “kecepatan maksimum” hanya dikuasai sampai pukul 07.00 pagi
tanggal 1 Oktober 1965, kemudian terjadi vakum hingga pukul 13.30,
kecuali adanya pengumuman Men/Pangau hingga timbul kesan
membela gerakan itu, yaitu ketika RRI kembali menyiarkan pengu-
muman kedua yang menjelaskan mengenai pembentukan Dewan
Revolusi dan lain-lainnya.130 Kekosongan waktu lebih dari lima jam
berakibat fatal bagi Gerakan 30 September, hingga Pangkostrad mem-
punyai kesempatan mengonsolidasikan kekuatannya, menanggapi
perintah Presiden, berhubungan dengan Kodam V/Jaya dan kekuat­
an-kekuatan di luar Angkatan Darat yang mendukungnya, seperti
ALRI dan AKRI, RPKAD dan Yon 328 Kujang, seperti telah
dikemukakan.
jam juga gagal mempercepat pengumuman kedua dari Dewan
S
Revolusi, karena dukungan politik dari ormas-ormas yang diharap-
kan juga tidak segera muncul, sedangkan Angkatan Darat hanya dibi­
www.facebook.com/indonesiapustaka

Dekrit Nomor 1 tentang Dewan Revolusi Indonesia, Keputusan Nomor 1 tentang Susunan
130

Dewan revolusi Indonesia, dan Keputusan Nomor 2 tentang Penurunan dan Penaikan
Pangkat di lingkungan militer.

215

01-TA-16x24-terakir.indd 215 1/30/2012 9:39:15 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

ngungkan sesaat, ketika pucuk pimpinan teratas dibunuh atau tidak


diketahui nasibnya. Ternyata PKI tidak tahu adanya klausul dalam
SOP (Standard Operation Procedure) di Angkatan Darat bila Jenderal
Yani tidak ada, yang menggantikan fungsi adalah Pangkostrad.
Dukungan dari daerah atau gerakan massa di daerah-daerah juga ti-
dak timbul, karena tidak jelasnya instruksi dari CC PKI di Jakarta.
Karena kekhawatiran bocor perintah yang diberikan hanya:”Ikuti
terus pengumuman di radio Jakarta.” Tatkala RRI Jakarta pada 1
Oktober 1965 menyiarkan pengumuman bahwa “Letkol Untung dari
Cakrabirawa selamatkan Presiden dan RI” banyak dari pimpinan PKI
yang tidak tahu harus bertindak apa, lebih-lebih kemudian ada keko-
songan waktu selama lima jam. Akhirnya secara perlahan Angkatan
Darat bangun dari kebingungan dan kelumpuhan sementara, telah
berjalan, ketika Panglima Kostrad mampu mengambil langkah-lang-
kah yang telah dikemukakan.
Ada dua faktor lainnya hingga menyebabkan Gerakan 30 September
tidak berhasil. Pertama gagalnya penangkapan Jenderal A.H. Nasution,
hidup atau mati. Pimpinan gerakan kemudian menyadari bahwa ti-
dak mungkin menyiapkan untuk kedua kalinya pasukan untuk men-
cari Nasution, karena unsur surprise-nya telah hilang. Kedua, gagal­
nya Brigjen Soepardjo menemui dan memberikan laporan kepada
Presiden sebelum Bung Karno menerima informasi dari pihak lain.
Perhitungannya, berdasarkan laporan intelijen memang Presiden
Sukarno pada 30 September 1965 tidur di Istana Merdeka, namun
pada dini harinya, Presiden secara pribadi menyusul Dewi dan tidur
di kediamannya. Dalam pada itu sekitar pukul 05.15 laporan pertama
perihal adanya penembakan di sekitar rumah Jenderal Nasoetion dan
Dr. Leimena sampai kepada Presiden. Informasi itu berkembang terus
hingga siang, termasuk adanya pasukan tak dikenal berada di sekitar
Lapangan Merdeka, dan juga keterangan penculikan perwira tinggi
lainnya. Presiden Sukarno sempat marah karena para pengawalnya
www.facebook.com/indonesiapustaka

tidak bisa memberikan keterangan lebih lengkap lagi.131

131
Hasil Proses Verbal Tim Pemeriksa Pusat (Teperpu), 19 Januari 1967.

216

01-TA-16x24-terakir.indd 216 1/30/2012 9:39:15 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

Perkembangan Setelah 1 Oktober 1965


Bung Karno Meninggalkan Halim
Pada pukul Bambang Widjanarko, memberikan laporan kepada Dr.
Leimena bahwa panggilan terhadap Mayjen Pranoto tidak dapat
dipenuhi oleh yang bersangkutan, dan Mayjen Soeharto meng­
isyaratkan PAU Halim akan diserang. Untuk itu Mayjen Soeharto
mengatakan kepada Kolonel Widjanarko, agar Bung Karno mening­
galkan Halim sebelum tengah malam. Menghadapi hal-hal yang tidak
diinginkan, Dr. Leimena menyarankan kepada Presiden Sukarno
agar segera meninggalkan PAU Halim. Pada pukul 10.00 Brigjen
Saboer yang ada di kediaman Kolonel Udara Soesanto mendapat
telepon dari Kostrad, memberitahu bahwa Bung Karno harus dibawa
ke luar Halim, karena dianggap berada di tempat yang salah.
Kemudian Presiden Sukarno bertanya kepada Men/Pangau Omar
Dhani, ia akan dibawa ke mana. Ada yang menyarankan agar Presiden
ke Yogyakarta atau ke Bali. Leimena menyatakan bahwa Presiden
Sukarno akan dibawa ke Bogor melalui jalan darat. Pertimbangannya,
di Bogor tersedia helikopter, dan seandainya ada bahaya dapat me­
merintahkan Pangdam VI/Siliwangi, Mayjen Ibrahim Adjie untuk
me­­­nye­­­la­­matkannya.

D.N. Aidit Menuju ke Yogyakarta
Saat mobil Presiden meninggalkan Halim, tiba-tiba muncul Brigjen
Soepardjo, dan menyampaikan bahwa Aidit akan ke Yogyakarta.
Omar Dhani mengatakan akan memanggilkan Kolonel Wisnoe
Djajengwinardo. Menjelang tengah malam 1 Oktober 1965, Kolonel
Wisnoe Komandan Wing Operasional 001 PAU Halim mendapatkan
perintah Men/Pangau untuk menerbangkan Menko Aidit ke
Yogyakarta. Selanjutnya, Letnan Udara Aries, penerbang Dakota dari
www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Perminyakan PAU Halim, diperintahkan melakukan pener-


bangan VIP ke Yogyakarta. Kolonel Wisnoe memerintahkan Letnan
Udara Aries, agar selama penerbangannya setiap 30 menit melapor

217

01-TA-16x24-terakir.indd 217 1/30/2012 9:39:16 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

ke PAU Halim. Waktu itu jarak Yogyakarta-Halim ditempuh dalam


waktu 2 jam penerbangan dengan pesawat berbaling-baling. Pada
pukul 4.00 pesawat Dakota T-443 telah siap di Base Op. Selanjutnya
Sjam, dari Cenko II di rumah Sersan Udara Soejatno, dan Brigjen
Soepardjo, mengantar D.N. Aidit, menuju ke pesawat. Men/Pangau
yang akan terbang ke Madiun, hanya melihat sepintas lalu dari
Makoops, ketika Dakota mulai memutar baling-baling.
ebelum berangkat ke Yogyakarta, Aidit menyerahkan pimpin­an
S
CC PKI kepada Soedisman, Wakil Ketua III, karena Loekman, Wakil
Ketua I ada di Sumatra, dan Nyoto, Wakil Ketua II ada di Jawa Tengah.
Dengan demikian Sjam sebagai Ketua Biro Khusus yang menjabat se-
bagai Ketua Pelaksana G30S sesudah itu tidak lagi melapor kepada
Aidit, melainkan kepada Soedisman. Soedisman yang memegang
pimpinan tertinggi G30S, seterusnya memberi komando dari kantor
CC PKI yang menempati markas rahasia Biro Khusus di Kayu Awet,
Salemba.132 Dalam penerbangan menuju ke Yogyakarta, ternyata
Letnan Satu Aries, tidak berhasil melakukan hubungan radio de­ngan
PAU Adi Sucipto, karena lampu landasan tidak menyala. Letnan
Udara Aries selama sekitar setengah jam, berputar-putar di sebelah
timur laut pangkalan. Tatkala pesawat menggeser holding di sebelah
timur pangkalan, tiba-tiba lampu landasan menyala. Ternyata san-
di intelijennya, apabila pesawat pesawat holding di sebelah timur
pangkalan, berarti pesawat kawan, dan Aries tidak mengetahuinya.
Aries kemudian mendaratkan pesawatnya di run away 09. Beberapa
perwira kemudian datang di terminal, setelah mengetahui di tengah
malam itu sebuah pesawat Dakota mendarat di PAU Adi Sucipto.
Mereka adalah Mayor Udara Sugiantoro, Dan Skadik (Komandan
Skadron Pendidikan) Udara-B; Mayor Udara Soedardjo, (Intelijen)
Mayor Udara Soenarjo (Logistik); Mayor Udara Anwar (Instruktur
Penerbang AAU), Mayor Udara Sarwata, SH (Perwira Hukum AAU);
dan Komodor Udara Dono Indarto (Gubernur AAU) datang terakhir.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Aristides Katoppo dkk, op.cit., hlm. 133-136.


132

218

01-TA-16x24-terakir.indd 218 1/30/2012 9:39:16 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

Para perwira itu pada umumnya telah mendengar pidato Pangkostrad


melalui siaran RRI Pusat, 1 Oktober 1965, pada pukul 19.00.
etika Aidit turun dari pesawat, ia bertanya kepada Letnan Aris,
K
“Pesawat ini mau ke mana?” Aris menjawab, “Pesawat ini mau ke
Jakarta”. Aidit bertanya lagi, apa tidak bisa mengunggu. Aris men-
jawab, bahwa ia harus segera membawa pesawat kembali ke Halim.
Selanjutnya Aidit oleh para perwira diantar ke ruang VIP di terminal,
karena ia saat itu menjabat sebagai Menko. Tatkala Aidit ditanya oleh
Komodor Dono Indarto tentang tujuannya ke Yogyakarta, dijawabnya
bahwa ia diperintahkan oleh Presiden Sukarno untuk melakukan per-
siapan, karena kemungkinan Bung Karno akan ke Yogyakarta. Dengan
pengakuan Aidit melaksanakan tugas Presiden Sukarno, para perwira
AURI menawarkan untuk mengantarkannya menemui Sri Paku Alam.
Akan tetapi Aidit minta diantar ke rumah Soetrisno, Ketua CDB PKI
Yogyakarta. Komodor Dono Indarto menolak saran salah seorang per-
wira, agar Aidit diantar dengan mobil dinas Gubernur AAU. Akhirnya
ia menumpang mobil Morris, sedangkan para perwira mengikuti dari
belakang dengan mengendarai gaz. Karena di antara mereka tidak ada
yang mengetahui rumah Ketua CDB PKI, hingga mereka nyasar dua
kali. Mula-mula ke rumah Ketua Partai NU, kemudian nyasar ke rumah
Ketua PNI. Setelah rumah Soetrisno ditemukan, D.N. Aidit ditinggal-
kan. Para perwira menengah AURI itu saling bertanya, mengapa ke-
datangan seorang Menko tidak menemui Gubernur, melainkan malah
menemui Ketua CDB PKI yang terletak di kampung.133 Pada tanggal
2 Oktober 1965 pagi, Aidit membuat pengumuman No. 3/10/1965
yang menyatakan bahwa pelaksanaan G30S di Jakarta, seolah-olah
direstui oleh Presiden Sukarno. Pengumuman itu disusunnya sendi­
ri, kemudian diserahkan kepada Wirjomartono, Ketua Biro Khusus
Yogyakarta, dan seterusnya diberikan kepada Mayor Moeljono, untuk
disiarkan melalui radio.134
www.facebook.com/indonesiapustaka

133
Ibid., hlm. 144-145.
134
Ibid.

219

01-TA-16x24-terakir.indd 219 1/30/2012 9:39:16 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

Perintah Pangkostrad Menyerbu Halim


Pukul 01.00 tanggal 2 Oktober 1965 setelah bermusyawarah dengan
perwira tinggi yang ada di Kostrad antara lain Jenderal A. H. Nasution,
Brigjen Sobirin Moechtar, Brigjen Soegandhi dan Mayjen Soeharto
sendiri yang telah mengambil alih pimpinan Angkatan Darat, me­
merin­tahkan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo menguasai PAU Halim
dengan pesan, sedapat mungkin menghindari terjadinya pertumpah­
an darah dan kerusakan materiel. Mayor C. I. Santosa, Danyon-1/
RPKAD, yang mendapatkan perintah penyerbuan dengan persetu-
juan Komandan RPKAD dan para perwira tinggi yang ada telah me-
minta satu kompi Para Kujang II dan satu kompi Kostrad melakukan
manuver di Jakarta Bypass untuk memancing pertahanan PAU tertu-
ju ke arah Jakarta Bypass, dan pasukan RPKAD akan memasuki
Halim dari arah Klender. Adapun pasukan RPKAD yang disiapkan
Kompi Urip atau Kompi Benhur, Kompi Heru Sisnodo, Kompi Feisal
Tanjung, dan Kompi Kajat sebagai kompi cadangan. Sebelum berang-
kat pasukan mendapat briefing tentang strategi penyerbuan, posisi
perhentian tiap-tiap kompi, sasaran bagi masing-masing kompi, serta
pesan untuk menghindari terjadinya kerusakan di daerah sasaran.
Menjelang pukul 05.30, setiap komandan kompi melaporkan ke-
siapannya masing-masing untuk bergerak masuk PAU Halim, tetapi
kompi cadangan tetap pada posisi yang telah ditetapkan, kecuali
mendapat perintah lain. Keberadaan pasukan RPKAD di sekitar PAU
telah diketahui oleh staf PGT sejak pukul 05.30, karena penjagaan
PGT sudah berhadapan dengan RPKAD pada jarak 150 meter. Laksda
Sri Muljono Herlambang sebagai perwira tinggi paling senior me-
nyatakan bahwa RPKAD bukan pasukan musuh, dan memerintahkan
seluruh anggota AURI yang bertugas dan konsinyir di PAU Halim,
tetap menyandang senjata dan menghindari terjadinya pertumpahan
darah. Posisi pasukan RPKAD di Halim juga diinformasikan kepada
www.facebook.com/indonesiapustaka

Menpangau yang sedang holding. Di pesawat Hercules, Komodor


Udara Leo Wattimena diperintahkan untuk membuat radiogram ke
PAU Halim guna diteruskan kepada Mayjen Soeharto. Isinya ialah

220

01-TA-16x24-terakir.indd 220 1/30/2012 9:39:16 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

agar pasukan Angkatan Darat tidak masuk ke PAU Halim, karena


Brigjen Soepardjo tidak ada di pangkalan, dan untuk menghindari
terjadinya bentrok senjata antara pasukan AD dan AURI. Teks radio-
gram yang disusun oleh Leo Wattimena ternyata selain kurang jelas,
susunan redaksinya kurang tepat, hingga menimbulkan kesan seba­
gai ultimatum kepada Pangkostrad. Bahkan berita yang tersebar di
luar negeri bahwa AU akan berperang dengan AD. Teks radiogram itu
antara lain berbunyi “Angkatan Darat jangan masuk ke Halim. Kalau
masuk Halim akan dihadapi”135
Tepat pukul 06.00, melalui arah utara dan timur pasukan RPKAD
dengan cepat menduduki sasaran masing-masing yang telah ditentu-
kan dalam briefing. Para anggota pasukan RPKAD merasa heran, kare-
na ternyata para petugas PAU Halim melaksanakan pekerjaan seba­
gaimana biasa, tidak seperti yang dibayangkan oleh anggota RPKAD,
berhadapan dengan pasukan AURI yang siap tempur. Menanggapi
kondisi yang sangat berbahaya itu, Kolonel Wisnu memerintahkan
agar para petugas pengamanan pangkalan tidak melakukan perla-
wanan dan sedapat mungkin menghindari terjadinya kontak senjata
di wilayah Halim yang luasnya sekitar 17.000 hektar dengan kekuat­
an pertahanan hanya satu Kompi Yon-2/ PGT. Gerak masuk pasuk­
an RPKAD ke Halim dapat dikatakan tidak melepaskan tembakan,
kecuali di depo perminyakan, karena penjaganya. Sersan Udara I
Supardi dan Prajurit Udara I Tugimin yang melihat kedatangan pasu-
kan RPKAD, berupaya mengambil senjata yang tidak disandangnya.
Namun pihak RPKAD tidak mau mengambil risiko, hingga mereka
langsung melepaskan tembakan. Kedua prajurit AURI tersebut gugur
kena peluru. Dalam peristiwa penyerbuan RPKAD ke Halim, bebera­
pa pesawat yang tidak diizinkan mendarat, kemudian diarahkan ke
PAU Husein Sastranegara Bandung, maupun ke PAU Atang Sanjaya,
Semplak Bogor. Terhadap pesawat yang mendarat, oleh pasukan
RPKAD awaknya dilucuti dan ban pesawat digembosi.
www.facebook.com/indonesiapustaka

135
Ibid., hlm. 152-153. Lihat catatan kaki

221

01-TA-16x24-terakir.indd 221 1/30/2012 9:39:16 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

ada pagi hari, 2 Oktober 1965 Sersan Mayor Sudiono, dari Kompi
P
Benhur Yon-1/RPKAD, menahan dua truk yang membawa makanan.
Makanan yang disita tersebut selanjutnya dibagikan kepada anggota
Kompi Benhur Yon-1/RPKAD. Di lain pihak Yon-454/Raiders yang
tinggal berkekuatan sekitar 1 kompi sudah dalam keadaan lemah,
bergerak tanpa dukungan logistik maupun amunisi, dan tanpa peta.
Sore sebelumnya, pimpinan Yon 454/Reiders, Kapten Kuntjoro meng-
hadap Kolonel Wisnu, perwira Intel PAU Halim, selain pasukannya
tidak diizinkan memasuki Halim, ia juga tidak dipinjami peta topo-
grafi kawasan pangkalan. Kapten Kuntjoro ternyata juga lepas kontak
dengan Mayor Sukirno, atasannya langsung, dan G30S yang menjadi
induknya seolah-olah telah bubar.
ebenarnya, waktu itu para pimpinan G30S di Lubang Buaya
S
tengah berdiskusi untuk menentukan langkah selanjutnya. Hadir di
antaranya, Mayor Sukirno Danyon 454/Raiders dengan sebagian pa-
sukannya, Mayor Inf. Bambang Supeno, Danyon 530/Raiders tanpa
pasukan, Letkol Inf. Untung, Brigjen Soepardjo, Sjam, dan tokoh G30S
lainnya. Diskusi berlangsung lama tanpa keputusan. Dalam diskusi,
Brigjen Soepardjo menyarankan supaya komando gerakan militer di-
berikan kepadanya. Wewenang itu akan dikembalikan kepada Letkol
Untung, setelah situasi dapat diatasi. Saran itu ditolak oleh Letkol
Untung, alasannya bahwa bertempur terus tidak memiliki dasar poli-
tik. Soepardjo menyatakan tidak mengerti maksud Untung, sedang
Sjam sebagai pimpinan pelaksana G30S sama sekali tidak memberi-
kan reaksi terhadap usul Soepardjo. Akhirnya rapat memutuskan
menghentikan perlawanan. Mereka kembali ke rumah masing-ma­
sing, sambil menunggu perkembangan situasi. Mengetahui situasi
sangat gawat itu, sekitar 1.500 orang sukwan yang pernah dilatih di
Lubang Buaya, tidak memilih bertempur mati-matian melainkan ka-
bur menyelamatkan diri.136
www.facebook.com/indonesiapustaka

enjelang pukul 10.00 Kolonel Sarwo Edhie, komandan RPKAD,


M
memasuki wilayah Halim lewat Klender ke Pondok Gede, bermaksud

136
Ibid., hlm. 173-173

222

01-TA-16x24-terakir.indd 222 1/30/2012 9:39:16 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

menemui Bung Karno. Akan tetapi karena jalur Pondok Gede Halim
oleh RPKAD belum diamankan, Mayor C.I. Santosa memerintahkan
Kompi Kajat dan Kompi-B Yonkav-1/Panser Kostrad RPKAD untuk
melakukan pengawalan. Kontak senjata benar-benar terjadi antara
RPKAD dan pasukan Yon 454/Reiders Diponegoro pimpinan Kapten
Kuntjoro, Wadanyon. Peristiwa itu terjadi ketika rombongan Sarwo
Edhie melewati dropping zone Lubang Buaya. Dalam pertempuran
tersebut gugur seorang anggota Kompi cadangan Yon-1/RPKAD yang
bertugas mengawal Kolonel Sarwo Edhie.
ayor C.I. Santosa, di bagian utara PAU Halim, setelah mendapat
M
keterangan bahwa Sarwo Edhie akan ke Halim lewat Podok Gede,
kemudian meluncur dari arah Jatiwaringin menuju ke Pondok Gede.
Sebelum tiba di lokasi pertempuran, di kebun karet Desa Lubang
Buaya, Mayor C.I. Santosa menyaksikan kegiatan pasukan bersera-
gam hijau dan massa rakyat sedang membongkar tenda-tenda mere­
ka. Setelah melihat kedatangan pasukan RPKAD, mereka melarikan
diri. Hal tersebut menimbulkan kecurigaan.137
omodor Udara Dewanto selaku Deputi Operasi Menpangau
K
ber­sama Kapten Udara William Oscar Kundimang dari hanggar
Skuadron Teknik (Skatek), dengan jelas mendengar suara tembakan
yang terjadi. Setelah mendapat penjelasan Bintara RPKAD yang ada
di Skatek bahwa induk pasukan RPKAD dihadang oleh pasukan
Raiders 454/Diponegoro, Dewanto menemui Bintara RPKAD paling
senior dan menyatakan ia mencoba menghentikan pertempuran yang
berlangsung. Pihak RPKAD menyatakan tidak berkeberatan. Dewanto
diiringi Kundimang dengan mobil Nissan Patrol meluncur ke lokasi
pertempuran di arah selatan melalui jalan tanah dan kebun karet, ke-
mudian sampai di jalan ke arah Pondok Gede. Di lokasi itu Dewanto
melihat gerakan pasukan Yon 454/Raiders. Ia menduga pasukan itu
adalah pasukan bantuan menuju lokasi pertempuran, yang terde­
www.facebook.com/indonesiapustaka

ngar tembakan-tembakan gencar. Komodor Udara Dewanto berusaha


keras menghentikan pertempuran, kemudian bertemu dengan Kapten

137
Ibid., hlm. 161.

223

01-TA-16x24-terakir.indd 223 1/30/2012 9:39:16 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

Kuntjoro, Wadanyon 454/Raiders yang memimpin pasukan, hingga


terjadilah komunikasi dengan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, yang
memimpin pasukan RPKAD memasuki PAU Halim. Akhirnya dicapai
kesepakatan sebagai berikut.
1. Wilayah Halim dalam wewenang AURI, karena itu Komodor
Dewanto sebagai perwira tinggi pimpinan AURI bertanggung
jawab atas pihak-pihak yang masuk dan keluar di PAU Halim
Perdanakusuma.
2. Pasukan RPKAD akan memasuki PAU Halim.
3. Pasukan Yon 454/Raiders Diponegoro akan mundur, dengan
mengambil jalan agar tidak bertemu dengan pasukan RPKAD,
selanjutnya akan menuju Bekasi.138

i tempat lain, yaitu pada 1 Oktober 1965, Jum’at malam, sekitar pu-
D
kul 21.00, Kitman dibawa keluar dari Lubang Buaya untuk memban-
tu membagi-bagikan nasi bungkus kepada pasukan tentara di Gedung
Penas. Kitman kemudian digiring kembali ke tempat ia di tawan
semula di Halim. Menurut kesaksian Kitman lokasinya terletak di
sebuah lapangan bola dekat Kali Malang yang pada pintu masuknya
terdapat tulisan “Pos Penjagaan PGT”. Pada Sabtu siang, 2 Oktober
1965 seluruh pasukan yang ia ikut berlarian dan kabur.139 Kitman ti-
dak ikut meninggalkan tempat ia ditawan karena tubuhnya lemah
lunglai, dan hanya mampu berbaring di kolong sebuah truk.
Kemudian ia ditemukan oleh rombongan pasukan Cakrabirawa yang
berasal dari 4 Angkatan (Laut, Udara, Darat, dan Kepolisian) dengan
pita pengenal berwarna putih, kemudian membawanya ke markas
Cakrabirawa. Gedung itu kemudian menjadi Gedung Binagraha, di
lingkungan Istana Merdeka.
Di markas Cakrabirawa Kitman diperiksa dengan ketat dan saksa-
ma. Dalam kesempatan itu Kitman menceriterakan semua kejadian
yang dilihat dan dialaminya. Tatkala ia menyebut-nyebut adanya kor­
www.facebook.com/indonesiapustaka

ban berseragam bintang dua, tentara Cakra yang menginterogasinya


138
Ibid., hlm. 164-176.
139
Keluarga Pahlawan Revolusi,

224

01-TA-16x24-terakir.indd 224 1/30/2012 9:39:16 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

menggebrak meja, marah luar biasa, dan dengan ketus mengatakan


bahwa itu adalah atasannya, yaitu Jenderal S. Parman.
ementara itu keluarga Jenderal Yani yang belum tahu bagaima-
S
na keadaan dan di mana ia berada, menghujani berbagai pertanyaan
kepada ajudannya, Mayor Subardi. Untuk menenteramkan keluarga
Yani dan keluarga jenderal lainnya yang terbunuh. Meskipun ia sendi­
ri belum tahu persisnya, Mayor Bardi mengatakan bahwa Jenderal
Yani masih berada di Istana. Selanjutnya Kitman diserahkan kepada
Jenderal Umar Wirahadikusuma di Kodam Jaya.
ari kalangan massa pada 2 Oktober 1965 tokoh-tokoh mahasiswa
D
seperti Syarifudin Harahap, Sulastomo (HMI), Harry Tjan Silalahi
(PMKRI) telah mulai mengetahui bahwa kekuatan politik yang berdiri
di belakang G30S adalah PKI. Pada sore hari 2 Okktober 1965, mere­
ka berusaha mengantisipasi keadaan dengan melakukan konsultasi
dengan kekuatan-kekuatan anti komunis, khususnya dengan pihak
Kostrad. Di kalangan ABRI sendiri juga tidak solid, ada dua kubu,
yaitu kubu loyalis Bung Karno seperti Mayjen Pranoto dan yang turut
dalam G30S, Brigjen Supardjo dan kubu Kostrad di bawah Mayjen
Soeharto.
ertemuan antara tokoh-tokoh generasi muda dengan Kostrad
P
dilakukan pada tengah malam, 2 Oktober 1965. Subchan Z.E., me-
mimpin rombongan dari HMI, PMKRI, Pemuda Muhammadiyah,
Pelajar Islam Indonesia (PII), Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia
(Gasbiindo). Dengan cepat tokoh-tokoh mahasiswa kemudian mem-
bentuk Kesatuan Aksi Pengganyangan (KAP) G30S, dan apel-apel be-
sar 4, 5, 6, dan 7 Oktober 1965 dengan tuntutan tunggal pembubaran
PKI sebagai dalang G30S.140

Penemuan Sumur Tua di Daerah Lubang Buaya


Pada dini hari Minggu, 3 Oktober 1965, pukul 04.00, Mayor Subardi
www.facebook.com/indonesiapustaka

menerima telepon dari Letkol Ali Murtopo, staf dan orang dekat

J.B. Soedarmanto, op.cit., hlm. 113-115. Lihat Sulastomo, op.cit. hlm. 51.,
140

225

01-TA-16x24-terakir.indd 225 1/30/2012 9:39:16 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

Pangkostrad yang menyatakan bahwa “bapaknya”, yaitu atasannya


telah gugur. Ali Murtopo juga berpesan agar Mayor Subardi segera
menghadap Pangkostrad yang kantornya telah dipindahkan dari Jl.
Merdeka ke suatu tempat di Kompleks Senayan. Pada pukul 05.30
Mayor Subardi menemui Mayjen Soeharto di Senayan. Saat itu yang
hadir dalam pertemuan tersebut ialah Panggabean. Mayjen Soeharto
menegaskan informasi Ali Murtopo bahwa para jenderal yang dicu-
lik telah tewas semua adalah benar. Dikatakan pula karena situasi
telah berkembang sedemikian rupa, maka missi utama AD sekarang
adalah segera menemukan tempat Jenderal Yani dan pembantu-pem-
bantunya dikuburkan. Untuk itu Mayor Bardi diperintahkan mem-
bawa surat perintah Pangkostrad kepada Kolonel Sarwo Edhie
Wibowo di Cijantung untuk secepatnya mencari dan menemukan lo-
kasi penguburan jasad para jenderal. Karena Mayjen Soeharto
bertekad untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri, apabila lo-
kasi tersebut telah ditemukan Mayor Bardi harus segera memberikan
laporan, dan jasad-jasad itu tidak boleh diangkat sebelum Pangkostrad
tiba di lokasi.141
ementara itu pasukan Yon 454/Raiders pimpinan Kapten Kuntjoro
S
yang mengundurkan diri dari Pondok Gede, ternyata tidak jadi ke
Bekasi melainkan menuju Lubang Buaya. Pada pukul 06.30 tanggal
3 Oktober 1965, Kapten Kuntjoro menelepon Perwira Intelijen PAU
Halim, bahwa ia dan pasukannya akan bergerak dari Lubang Buaya
untuk mengikuti persiapan HUT ABRI di Senayan. Setibanya di
Senayan mereka ditahan di stadion utama. Dua puluh anggota Yon-
454/Reiders yang berusaha melarikan diri ke Jawa Tengah ditangkap
oleh Kompi Ramelan Yon-1/RPKAD, sedang 97 lainnya dan 140 ang-
gota Yon-530/Raiders ditangkap oleh Kompi Yon-203/Kodam Jaya dan
Kompi Yonkav-7/Panser Kostrad.142
etelah bertemu Kolonel Sarwo Edhie dan menyampaikan surat
S
www.facebook.com/indonesiapustaka

perintah Pangkostrad, sehubungan adanya instruksi Presiden agar

141
Keluarga Pahlawan Revolusi, op.cit., hlm. 138-144.
142
Aristides Katoppo, op.cit., hlm. 176-177.

226

01-TA-16x24-terakir.indd 226 1/30/2012 9:39:16 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

kesatuan militer ABRI berada pada posisi masing-masing, Mayor


Subardi, Danyon RPKAD, mengerahkan sekitar satu kompi pasukan
untuk mencari dan menemukan jenazah para jenderal dengan pakai­
an preman. Dengan ditemani Pasi I RPKAD Mayor Bardi kemudian
mengambil agen polisi Sukitman di Kodam Jaya. Setelah bertemu
Pangdam Jaya Mayjen Umar Wirahadikusuma dan melaporkan hal-
hal yang penting dan perintah Pangkostrad untuk mencari jenazah
para jenderal yang diculik, serta mengambil seorang agen polisi se-
bagai saksi kunci penculikan. Setelah menghubungi Pangkostrad,
Pangdam Jaya mempercayai keterangan Mayor Bardi dan menyerah-
kan agen polisi Sukitman kepadanya. Kemudian Mayor Bardi setelah
berbagi tugas dengan rekan RPKAD-nya, bersama Kitman menuju ke-
diaman keluaraga Jenderal Yani. Dari sana bersama-sama satu regu
Yon Pomad, 2 pilot Jenderal Yani menuju ke Cijantung dan setelah
mendapat briefing Mayor C.I. Santosa, sekitar pukul 10.40 berangkat-
lah tim pencari jenazah ke Lubang Buaya.
esampainya di Lubang Buaya muncul masalah tidak terduga,
S
karena telah ada sekitar satu peleton PGT yang membongkar berbagai
macam alat perkemahan. Pembongkaran juga sudah dilakukan pada
2 Oktober oleh pasukan berseragam hijau dan massa rakyat. Akan
tetapi karena datangnya pasukan RPKAD yang tengah bertempur de­
ngan pasukan Yon-454, pasukan berseragam hijau dan massa rakyat
itupun melarikan diri.143 Dari dialog antara Mayor Bardi dan Danton
PGT, mereka menyatakan bahwa keberadaannya di Lubang Buaya itu
karena secara de fakto adalah milik AURI.144 Dengan bantuan Kitman
akhir­nya sumur tua untuk mengubur jenazah enam jenderal dan
seorang perwira pertama yang menjadi korban G30S berhasil dike­
temukan. Dalam pencarian tersebut tim pencari jenazah bertemu
pula dengan rombongan Dokter Slamet Cokro dari AU dan Kolonel
Saelan. Karena proses pencarian telah ditangani oleh AD dengan ban-
tuan Kompi Penyelam (Kipam-KKO), Mayor Bardi menolak campur
www.facebook.com/indonesiapustaka

143
Ibid., hlm. 161
144
Keluarga Pahlawan Revolusi, op.cit., hlm. 143-144.

227

01-TA-16x24-terakir.indd 227 1/30/2012 9:39:16 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

tangan Dokter Slamet Cokro maupun Kolonel Saelan, meskipun ia


mendapat perintah dari Presiden Sukarno.
umur tua yang digunakan menanam jenazah enam jenderal dan
S
seorang perwira pertama AD, lubang bagian atasnya berdiameter 0,75
centimeter, dengan kedalaman sekitar 12 meter, berada di Lubang
Buaya. Sebelumnya lokasi itu digunakan sebagai tempat pelatihan
sukwan-sukwati Pemuda Rakyat dan Gerwani. Pada 3 Oktober 1965
rombongan Mayor Subardi dari tim pencari jenazah para jenderal,
menjumpai pembongkaran tenda di Lubang Buaya dilakukan oleh se-
peleton PGT. Semula Bardi curiga dengan truk-truk yang digunakan
PGT untuk mengangkut jenazah para jenderal.145
okasi tempat penanaman jenazah para jenderal yang diculik
L
ditemukan pada sebuah sumur tua yang telah diurug rapi, di dekat
rumah seorang guru, aktivis PKI.146 Berkat bantuan Kompi Penyelam
(Kipam) KKO akhirnya, sekitar pukul 17.15, tanggal 3 Okktober 1965,
sumur tua itu dapat dibuka, dan di kedalaman 7 meter dapat dite-
mukan mayat-mayat yang ditanam. Lubang sumur itu baunya sa­ngat
menyengat, hingga para petugas yang memasuki sumur pingsan.
Karena waktu telah menunjukkan pukul 00.30, pengangkatan jena­
zah ditangguhkan, sambil menunggu kehadiran Pangkostrad pada 4
Oktober 1965.
eesokan harinya, Senin 4 Oktober 1965, penggalian jenazah di-
K
lakukan dengan intensif. Batang pisang, daun singkong, dan tanah,
yang secara berselang-seling menutup lubang, disingkirkan. Berkat
bantuan KIPAM dengan peralatan khususnya, jenazah-jenazah itu
diangkat. Pengangkatan jenazah tersebut disaksikan langsung oleh
Pangkostrad Mayjen Soeharto yang didampingi oleh Direktur Peralatan
AD, Direktur Polisi Militer AD, Direktur Zeni, Kepala Penerangan AB
dan sejumlah wartawan. Maksudnya agar publik mengetahui secara
terbuka. Di kemudian hari tindakan Soeharto dengan rombongannya
www.facebook.com/indonesiapustaka

145
Ibid., hlm. 144. Staf Angkatan Bersenjata Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata, 40 Hari
Kegagalan G.30S, 1 Oktober-10 November 1965, Djakarta, SAB-Pusjarah AB, 1965, hlm.
51.
146
Keluarga Pahlawan Revolusi, ibid., hlm. 144-146. Staf Angkatan Bersenjata, ibid.

228

01-TA-16x24-terakir.indd 228 1/30/2012 9:39:16 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

diituduh sebagai usahanya untuk merekayasa agar ia dapat mengam-


bil keuntungan dari opini yang terbentuk.147 Pada pukul 12.15, menu-
rut kesaksian Mispan dari KIPAM KKO, pengangkatan semua jenazah
telah selesai.148 Setelah semuanya selesai dan semua jenazah ma-
suk peti, Pangkostrad pun berpidato, dan Mispan berada di samping
Soeharto karena ia diminta mendampingi.149 Pidato Mayjen Soeharto
pada penemuan dan penggalian kembali 6 jenderal dan seorang per-
wira pertama AD di Lubang Buaya 4 Oktober 1965 sebagai berikut:

“ Pada hari ini tanggal 4 Oktober 1965, kita bersama-sama dengan mata
kepala masing-masing telah menyaksikan suatu pembongkaran dari
pada penanaman jenazah para jenderal kita, ialah 6 jendral dengan
satu perwira pertama dalam satu lubang sumur lama. Sebagaimana
saudara-saudara maklum, bahwa jenderal-jenderal kita dan perwira
pertama kita kita ini, telah menjadi korban dari tindakan-tindakan
yang biadab dari petualang-petualang jang dinamakan gerakan 30
September.
Kalau kita melihat tempat ini, adalah di Lubang Buaja. Daerah Lubang
Buaja adalah termasuk dari daerah lapangan Halim. Dan kalau sauda-
ra-saudara melihat pula fakta, bahwa dekat sumur ini, telah menjadi
pusat dari pada latihan sukwan dan sukwati, yang dilakukan atau di-
laksanakan oleh Angkatan Udara. Mereka melatih para anggota-ang-
gota dari Pemuda Rakjat dan Gerwani. Satu fakta, mungkin mereka
itu latihan dalam rangka pertahanan pangkalan, akan tetapi nyata,
menurut anggota Gerwani yang tertangkap di Cirebon, adalah orang
dari Jawa Tengah, jauh dari pada daerah tersebut. Jadi kalau menurut
fakta-fakta ini, mungkin apa yang diamanatkan oleh Bapak Presiden,
Panglima Besar, Pemimpin Besar Revolusi yang sa­ngat kita cintai ber-
sama ini, bahwa Angkatan Udara tidak terlibat di dalam persoalan ini,
mungkin ada benarnya. Akan tetapi tidak mungkin, tidak ada hubung­
an dengan peristiwa ini dari pada oknum-oknum dari pada anggota
Angkatan Udara.

147
Center for Information Analysis, Gerakan 30 september Antara Fakta dan Rekayasa ber-
www.facebook.com/indonesiapustaka

dasarkan Kesaksian Para pelaku Sejarah,. Yogyakarta: Media Pressindo, 1999, hlm.
87-113.
148
Menurut Buku Bahaya Laten Komunisme di Indonesia Jilid IV A, hlm. 242, terbitan
Pusjarah dan Tardisi ABRI, 1994 disebutkan pengangkatan jenazah berlangsung dari pu-
kul 12.05-13.40.
149
Keluarga Pahlawan Revolusi, op.cit., hlm. 157.

229

01-TA-16x24-terakir.indd 229 1/30/2012 9:39:17 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

Oleh sebab itu saya sebagai warga dari pada anggota Angkatan Darat,
mengetok jiwa, perasaan dari para patriot anggota Angkatan Udara.
Bilamana benar ada oknum-oknum yang terlibat dengan pembunuhan
yang kejam dari pada para jendral kita yang tidak berdosa ini, saya
mengharapkan, agar supaya para patriot anggota Angkatan Udara
membersihkan juga dari pada anggota-anggota Angkatan Udara yang
terlibat di dalam petualangan ini. Saya sangat berterima kasih, bah-
wa akhirnja Tuhan memberikan petunjuk yang terang dan jelas pada
kita sekalian. Bahwa setiap tindakan yang tidak jujur, setiap tindakan
yang tidak baik, pasti akan terbongkar. Dan saya berterima kasih pada
satuan-satuan, khususnya dari Resimen Para Ko dan juga anggota-ang-
gota dari KKO dan satuan-satuan lainnya, serta rakyat jang membantu
menemukan bukti ini dan turut serta mengangkat jenazah ini, sehing-
ga jumlah dari pada korban dapat kita temukan.
Sekian yang perlu kami jelaskan kepada saudara-saudara se­ka­li­an.
Terima kasih.150

Penutup
Gerakan 30 September adalah sebuah pemberontakan yang melibat-
kan kesadaran penuh seluruh unsur Partai Komunis Indonesia (PKI)
dengan menggunakan sejumlah unsur di TNI AD melalui jalur raha-
sia Biro Khusus. Hal ini terlihat dari aktivitas pengiriman sejumlah
anggota Politbiro serta CC-PKI ke berbagai daerah untuk membantu
CDB setempat. Di samping itu markas atau kantor pusat PKI, sehari
sebelum gerakan dipindahkan dari kantor Jl. Kramat Raya ke lokasi
yang dirahasiakan serta diikuti kepindahan D.N. Aidit ke suatu tem-
pat di dalam kompleks pangkalan udara Halim Perdanakusuma.
Sebagai designer semua perencanaan dan sekaligus pelaksanaannya
adalah Sjam Kamarusaman, Kepala Biro Khusus PKI yang bertang-
gung jawab langsung kepada Ketua Umum yaitu D.N. Aidit. Sjam se-
belumnya juga memberikan instruksi kepada CDB-CDB dan per-
wakilan Biro Khusus untuk terus mengikuti siaran RRI Jakarta yang
www.facebook.com/indonesiapustaka

Alex Dinuth, Salinan Dokumen Terpilih sekitar Pemberontakan G.30S/PKI, Jakarta,


150

Lembaga pertahanan Nasional, 1993, hlm. 65-66.

230

01-TA-16x24-terakir.indd 230 1/30/2012 9:39:17 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

bisa ditafsirkan bahwa siaran RRI itu dijadikan wahana untuk menya­
lurkan instruksi untuk bertindak.
Ketua CC-PKI, D.N. Aidit dalam strategi tahap awal gerakan me-
mang tidak melibatkan secara langsung unsur-unsur resmi PKI, se-
hingga bila sesuatu hal menyebabkan gerakan gagal, maka PKI masih
bisa memberikan pernyataan bahwa tidak ada satu unsur PKI yang
resmi yang terlibat dalam penculikan dan penguasaan tempat-tempat
strategis. Keterlibatan PKI, bila ada, hanya marginal dan bukan seba­
gai alat partai. Gerakan itu, sejak awal hendak dikesankan sebagai
gerakan murni yang dilakukan oleh orang-orang TNI AD dan bersifat
internal semata. Dalam skenario itu dinyatakan, bila gerakan itu ber-
hasil, dukungan dari masyarakat dilakukan dengan berbagai demon-
strasi dan kemudian disusul dengan pembentukan Dewan Revolusi
di tingkat pusat maupun daerah, dukungan yang “datang dari ma-
syarakat” itu akan menunjukkan bahwa rakyat Indonesia menyetujui
terhadap apa yang dilakukan TNI AD. Dengan taktik tersebut partai
kemudian ‘hanya’ mendukung apa yang diinginkan rakyat tersebut.
Selain itu dengan keluarnya salah satu dekret, tujuan “Gerakan 30
September” menjadi jelas. Sifat sebenarnya dari “Gerakan” bukanlah
semata-mata militer, politik. Batas lingkup “gerakan” ternyata jauh
lebih luas dari Angkatan Darat atau Angkatan Bersenjata sekalipun,
melainkan skalanya sudah bersifat nasional. Kenyataan bahwa PKI
adalah dalang gerakan itu, menunjuk pada keberadaan Sam dan Pono
selaku anggota PKI, yang juga duduk dalam Central Komando. Dalam
pengakuannya, Njono mengatakan bahwa pemimpin-pemimpin dari
kader-kader PKI menentukan arah politik gerakan ini. Seandainya
benar, bahwa “gerakan” hanya ditujukan terhadap jenderal-jenderal
Angkatan Darat, dan dengan demikian merupakan suatu “urusan
intern Angkatan Darat”, mengapa perlu untuk membentuk sebuah
“Dewan Revolusi” dan mendemisionerkan kabinet Dwikora, setelah
www.facebook.com/indonesiapustaka

membunuh para jenderal. Dalam hal “Gerakan 30 September”,


pembunuhan dan penculikan para jenderal, cerita tentang “Dewan
Jenderal” yang merencanakan suatu kup pada tanggal 5 Oktober

231

01-TA-16x24-terakir.indd 231 1/30/2012 9:39:17 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

1965, yang dikatakan disponsori oleh CIA, merupakan taktik belaka.


Sedangkan main goalnya adalah kekuasaan politik baru yang disebut
“Dewan Revolusi”.

DAFTAR PUSTAKA
Dokumen
Aidit, D.N. “Kobarkan Semangat Banteng Maju Terus Pantang Mundur”
Laporan pada Sidang Pleno CC PKI tanggal 23-26 Desember 1964, di
Jakarta.
Aidit, D.N. “Berani, Sekali Berani” (Laporan Politik Ketua CC PKI pada Sidang
Pleno 19 Februari 1963), Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1961,
Dekon (Deklarasi Ekonomi), 1963; Tavip (Tahun Viveri Veri Coloso),
Pidato Presiden 17 Agustus 1964.
Berita Acara Pemeriksaan Makmillub Kamarusaman bin Ahmad Mubaidah
(Kepala Biro Chusus Central PKI) Dalam G-30S, September 1967.
Berita Acara Pemeriksaan Mahmillub Untung bin Sjamsuri. Putusan No.:
PTS-03/MB II/U/1966
Berita Acara Persidangan Mahmillub Njono bin Sastroredjo alias Tugimin
alias Rukma dalam peristiwa G30S 1965. bulan Februari 1966.
Berita Acara Persidangan Mahmillub Sudisman (Kepala Sekretariat CC PKI
dan anggota Dewan Harian Polit Biro CC PKI) Dalam Peristiwa G.30S
1965. Pada bulan Juli 1967.
Hasil Proses Verbal Tim Pemeriksa Pusat (Teperpu), 19 Januari 1967.
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 370 Tahun 1965 tentang penun-
jukkan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub) untuk memeriksa
dan mengadili tokoh-tokoh yang terlibat petualangan kontra-revolusi
“Gerakan 30 September”.
Pengakuan Nyono di Mahmillub 15 Februari 1966, dan kesaksian Pardede 16
Februari 1965, keduanya dari Polit Biro PKI.

Surat Kabar
www.facebook.com/indonesiapustaka

- Berita Yudha, 25 Mei 1965.


- Berita Yudha dan Harian Rakjat, 29 Mei 1965.

232

01-TA-16x24-terakir.indd 232 1/30/2012 9:39:17 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

- Harian Rakjat, November 1964


- Harian Rakjat, Djanuari 1965
- Harian Rakjat, Februari 1965
- Harian Rakjat, Mei 1965
- Harian Rakjat, agustus 1965
- Harian Rakjat, September 1965
- Harian Rakjat, Oktober 1965
- Indonesian Herald (Koran resmi Deplu), 28 Mei 1965.
- Jawa Pos, 9 Maret 2004
- Pikiran Rakyat, 26 Juni 1965.
- Sinar Harapan, 6 Oktober 1965 dan 27 Nopember 1965
- Suluh Indonesia, 6 Juni 1964.
- Trompet Masjarakat, Mei dan Juli 1964.
- Trompet MasyarakatMei s/d November 1964, Mei, Djuni, Djuli, Oktober,
Agustus, November, 7, 13, 15,17, 31 Desember 1964; 17,18,19 Februari
1964; Suratkabar Djalan Rakjat, 6 November, 6 Februari; 1 Maret.

Buku
Abiyoso, Anis. 1999. “Peristiwa Kanigoro Kediri”, dalam Membuka Lipatan
Sejarah, Menguak Fakta Gerakan PKI. Jakarta, Pustaka Cidesindo.
Latief, Abdul, Kolonel. 2000. Pledoi Kol. A. Latief, Soeharto Terlibat G 30 S,
Cetakan III, Jakarta, Institut Studi Informasi.
Durmawel, Ahmad. 1997. ”Sangkur Adil, Pengupas Fitnah Khianat”, dalam
Sri Murni Ali Said, Ali Said di antara Sahabat,. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Anwar, Rosihan. 1999. “G-30S/PKI, Gilchrist, dan CIA”, dalam Menguak
Lipatan Sejarah, Jakarta, Cidesindo.
Aidit, D.N. 1964. Revolusi Indonesia dan Tugas-tugas Mendesak PKI, Peking:
Pustaka Bahasa Asing.
--------------. 1953 Djalan ke Demokrasi Rakjat bagi Indonesia, Pidato diut-
www.facebook.com/indonesiapustaka

japkan dalam Sidang Pleno CC PKI, Oktober, Djakarta, Jajasan


Pembaruan.

233

01-TA-16x24-terakir.indd 233 1/30/2012 9:39:17 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

--------------. 1967. Kaum Tani Mengganjang Setan-setan Desa (Laporan sing-


kat tentang hasil-hasil riset mengenai keadaan kaum tani dan gerakan
tani di Djawa Barat), Djakarta, Jajasan Pembaruan.
Burger, D. H., Prajudi. 1960. Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia.
Djakarta, Pradjaparamita d/h. J.B. Wolters.
Center for Information Analysis. 1999. Gerakan 30 September Antara Fakta
dan Rekayasa berdasarkan Kesaksian Para pelaku Sejarah, Yogyakarta,
Media Pressindo.
Cribb, Robert. 2003. The Indonesian Killings Pembantaian PKI di Jawa dan
Bali 1965-1966. Yogyakarta: Penerbit Mata Bangsa.
Departemen Agitasi dan Propaganda CC PKI. 1952. ABC Revolusi Indonesia.
Djakarta: Depagitprop.
Dhani, Omar. 2001. Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran dan Tanganku:
Pledoi Omar Dhani, Jakarta: PT. Media Lintas Inti Nusantara.
Hatta, Mohammad. 1976. Mendayung antara Dua Karang, Jakarta: Bulan
Bintang.
Jassin, M. 1998. Saya Tidak Pernah Minta Ampun Kepada Soeharto. Jakarta:
Sinar Harapan.
Kasdi, Aminuddin. 2001. Kaum Merah Menjarah Aksi Sepihak PKI/BTI di
Jawa Timur 1960-1965, Yogyakarta: Jendela.
Keluarga Revolusi. 2002. Kunang-kunang Kebenaran di Langit Malam.
Jakarta.
Katopo, Aristides dkk. 2000. Menyingkap Kabut Halim 1965. Jakarta, Pustaka
Sinar Harapan.
Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK). 1988. Rangkaian Peristiwa
Pemberontakan Komunis di Indonesia, Jakarta.
Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya I, II, III, Jakarta:
Gramedia.
Lukman, H. M. 1974. Apa Sebab Revolusi Agustus 1945 Belum Selesai?
Djakarta: Jajasan Universitas Rakjat.
Lukman, H. M. 1962. Tentang Front Persatuan Nasional. Djakarta: Jajasan
Pembaruan.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Maksum, dkk. (Tim Jawa Pos). 1988. Lubang-lubang Pembantaian Petualangan


PKI di Madiun. Jakarta: Grafiti.

234

01-TA-16x24-terakir.indd 234 1/30/2012 9:39:17 PM


PKI DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

Marsudi, Djamal. 1965. Menjingkap Pemberontakan PKI dalam Peristiwa


Madiun. Djakarta, Merdeka Press.
Martowidjojo, H. Mangil. Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967, Jakarta:
Grasindo, 1999. BAP Mahmillub Untung bin Sjamsuri; Putusan No:
PTS-03/MB/II/U/1966.
Nasution, A. H. 1967. Menegakkan Kebenaran II, Djakarta: Seruling Masa.
Notosusanto, Nugroho. 1968. Tragedi Nasional, Percobaan Kup G 30 S/PKI di
Indonesia, Jakarta: Intermasa.
Oei Tjoe Tat. 1995. Memoar Oei Tjoe Tat, Pembantu Presiden Sukarno, Jakarta:
Hasta Mitra.
Pusat Penelitian Studi dan Studi Kawasan. 1982. Keresahan Pedesaan pada
Tahun 1960-an, Jakarta: Yayasan Pancasila Sakti.
Polomka, P. 1973. The Role of the Military in Indonesian Fopreign Policy.
Melbourne, Ph. D. Thesis Melbourne University.
Pusjarah dan Tradisi ABRI. 1994. Bahaya Laten Komunis di Indonesia, Jilid
IV A, Jakarta: Pusjarah dan Tradisi ABRI.
Proletariyati, Ribka Tjiptaning. 2000. Aku Bangga Jadi Anak PKI. Jakarta:
Cipta Lestari.
Saelan, H. Maulwi. 2001. Dari Revolusi ’45 sampai Kudeta ’66; Kesaksian
Wakil Komandan Tjakrabirawa, Jakarta: Yayasan Hak Bangsa.
Subandrio, H. 2001. Kesaksian tentang G30S. Jakarta: Forum Pendukung
Reformasi Total.
Sumarkidjo, Atmadji. 2000. Mendung di atas Istana Merdeka, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Sulistyo, Haermawan. 2001. Kesaksianku tentang G30S, Jakarta: Forum
Pendukung Reformasi Total.
Soedarmanto, J. B. 2004. Tengara Orde baru Kisah Harry Tjan Silalahi,
Jakarta: PT. Toko Gunung Agung.
Sulami. 1999. Perempuan-perempuan Dalam Penjara, Jakarta: Cipta
Lestari.
Sudisman. 2000. Pledoi Sudisman: Kritik Oto Kritik Seorang Polit Biro CC
PKI, Jakarta, Teplok Press.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Sundhaussen, Ulf. 1988. Politik Militer Indonesia 1945-1967, Menuju Dwi


Fungsi ABRI, Djakarta: LP3ES.
Suroyo, Sugiarso. 1988. Siapa Menabur Angin, Akan Menuai Badai, Jakarta.

235

01-TA-16x24-terakir.indd 235 1/30/2012 9:39:17 PM


Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

Tjondronegoro. 1984. Dua abad Penguasaan Tanah, Pola-pola Penguasaan


Tanah di Jawa dari Masa ke Masa, Jakarta: Gramedia.
Yahaya, Ismail. 1972. Pertumbuhan, perkembangan dan Kejatuhan Lekra di
Indonesia (suatu tinjauan dari aspek sosio-budaya). Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia.
Yani, Amelia. 1988. Profile Seorang Prajurit TNI. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Zamachsari, Dhofier. 1982. Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES.
www.facebook.com/indonesiapustaka

236

01-TA-16x24-terakir.indd 236 1/30/2012 9:39:17 PM


BAB V
APAKAH ANGKATAN DARAT
TERLIBAT?

Singgih Tri Sulistiyono

Angkatan Darat dalam Sejarah Kemelut Politik


Peristiwa G30S yang terjadi pada tahun 1965 masih merupakan peris-
tiwa yang paling gelap dan kontroversial dalam sejarah Indonesia
modern. Memang jika orang hanya berbicara soal kronologi peristiwa
atau hanya melihat peristiwa G30S sebagai sebuah event, maka ham-
pir semuanya sudah cukup jelas. Tetapi ketika berbicara soal siapa
“aktor intelektual” atau dalang di balik peristiwa itu dan apa motif-
motif mereka melakukan tindakan itu, maka persoalannya menjadi
sangat rumit, dan oleh karena itu sangat mengundang perdebatan.
Tulisan ini mencoba untuk menelusuri peran Angkatan Darat (AD)
dalam berbagai kemelut politik dalam sejarah Indonesia modern se-
jak 1945 hingga 1965. Hal itu akan dapat digunakan untuk mema­
hami karakter internal dari tentara yang akan menentukan peranan-
nya dalam politik.
Polarisasi ideologi di Indonesia menjadi tiga pilar yaitu
Nasionalisme, Agama, dan Komunisme, telah muncul sejak zaman
kolonial, namun konflik di antara pendukung-pendukungnya baru
www.facebook.com/indonesiapustaka

Lihat Taufik Abdullah, “Perdebatan Sejarah dan Tragedi 1965”, Sejarah (9), hlm. 1-4.


Lihat misalnya Harold Crouch, “The Military and Politics in Southeast Asia”, dalam:


Zakaria Haji Ahmad & Harold Crouch (eds), Military Civilian Relation in South-East Asia;
Singapore, Oxford, New York: Oxford University Press, 1985, hlm. 287-317.

237

01-TA-16x24-terakir.indd 237 1/30/2012 9:39:17 PM


Singgih Tri Sulistiyono

meletus secara terbuka, dan bahkan bersifat fisik, pada saat revolusi
kemerdekaan. Dalam suasana seperti itulah AD, khususnya, dan mi-
liter Indonesia, pada umumnya, dilahirkan. Dengan demikian, militer
Indonesia dari awal kemunculannya dalam panggung sejarah, telah
secara langsung bersentuhan, atau bahkan menjadi bagian integral
dari polarisasi dan konflik ideologi antara ketiga pilar utama itu.
Selain dari mereka yang secara terang-terangan memperjuang-
kan ideologinya dengan kekerasan (seperti yang terlihat pada peris-
tiwa DI/TII, Peristiwa Madiun, PRRI/Permesta, dan sebagainya), ada
juga kekuatan-kekuatan ideologis lain, yang ingin memperjuangkan
ideologinya dalam batas-batas sistem yang ada. Hal itu bisa dilihat
dari perilaku politik partai-partai Islam seperti Masyumi dan PSII
dari golongan Islam, dan partai-partai kiri seperti Murba dan PSI.
Sementara itu wakil dari golongan Nasionalis direpresentasikan oleh
PNI dan beberapa partai lain yang berhaluan serupa. Pada periode
revolusi, partai-partai yang berpengaruh memiliki laskar bersenjata
sendiri, seperti Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) yang dekat de­
ngan PKI, Nasional Pelopor Indonesia (Napindo) yang merupakan or-
gan PNI, dan Hisbullah/Sabilillah, yang merupakan onderbouw dari
Masyumi. Bahkan sayap militer Masyumi sudah dibentuk sebelum

Lihat misalnya, Sartono Kartodirdjo, “Wajah Revolusi Indonesia Dipandang dari
Perspektivisme Struktural”, Prisma (8) (1981), hlm. 3.

Pola persekutuan konflik antara militer dengan unsur-unsur di atas ini tidak pernah sta-
bil dan permanen, melainkan berubah-ubah sesuai dengan tingkat kepentingan serta si-
tuasi dan kondisi politik yang ada. Militer seringkali bersekutu dengan unsur-unsur
Islam dalam konfliknya dengan kaum Komunis dan Nasionalis Kiri, seperti yang terjadi
di tahun 1948 dan 1965/66. Sementara di waktu yang lain, militer justru berhadapan
dengan unsur-unsur Islam ini seperti yang terjadi sepanjang tahun ‘70-an dan ‘80-an, ke-
tika hubungan antara militer dan kelompok Islam memburuk oleh sejumlah persoalan
yang terkait dengan isu-isu seputar Negara Islam dan Asas Tunggal Pancasila, dan nanti-
nya akan memuncak dalam apa yang dinamakan Peristiwa Tanjung Priok yang terjadi di
tahun 1984. Ironis bahwa sejumlah tokoh Islam yang menjadi korban dari represi militer
pada era tersebut, seperti (alm) Amir Biki dan Abdul Qadir Djaelani adalah kawan dan
sekutu militer di tahun-tahun 1965-66, saat “pengganyangan PKI” sedang mencapai pun-
caknya. Kepentingan oportunistik yang luar biasa dari militer ini mebuatnya untuk tidak
menafikan kerjasama dengan “musuh nomor satunya” sekalipun, yaitu dengan golongan
www.facebook.com/indonesiapustaka

komunis, seperti yang terjadi saat pemberontakan PRRI-Permesta meletus di tahun 1958.
Saat itu, militer, khususnya di kawasan-kawasan yang merupakan basis PRRI-Permesta,
bekerja sama dan memanfaatkan unsur-unsur PKI setempat dalam melawan pemberon-
takan tersebut. Lihat Benedict RO’G Anderson dan Ruth T. Mc Vey, Kudeta I Oktober 1965:
Sebuah Analisis Awal; Jakarta: LKPSM-SYARIKAT, 2001, hlm. 41 dan catatan kaki No. 50
hlm. 125.

238

01-TA-16x24-terakir.indd 238 1/30/2012 9:39:17 PM


APAKAH ANGKATAN DARAT TERLIBAT?

kemerdekaan, yaitu di masa pendudukan Jepang sebagai manifestasi


“kebaikan hati saudara tua” kepada golongan Islam.
Keberadaan laskar-laskar bersenjata itu ikut memberi kontribusi
kepada intensitas konflik internal di kalangan bangsa Indonesia sendi­
ri, mulai dari sekedar gesekan-gesekan berskala kecil, sampai kepada
konflik-konflik hebat. Dalam tingkat yang berbeda-beda, peristiwa
tersebut juga melibatkan laskar-laskar onderbouw partai-partai yang
terlibat, dan dengan sendirinya juga mencerminkan dinamika pergu-
latan ideologis antara berbagai kekuatan yang riil saat itu. Seriusnya
pertentangan ideologis juga bisa dilihat dari kenyataan bahwa revolusi
melawan kolonialisme Belanda tidak membuat pertentangan internal
secara ideologis mereda. Bahkan pergulatan ideologis itu seolah-olah
mendapat momentumnya di masa Revolusi. Ini bertentangan dengan
cara berpikir menurut logika yang sederhana, di mana seharusnya
revolusi itu menjadi wahana untuk mempersatukan bangsa Indonesia
untuk bersama-sama berjuang melawan kolonialisme, kenyataannya
justru sebaliknya, revolusi Indonesia justru menjadi ajang perebutan
pengaruh dari berbagai kekuatan politik yang ada.
Selain menghasilkan situasi konflik yang semakin menajam di
antara kekuatan-kekuatan yang muncul sejak sebelum perang, revo­
lusi juga menjadi momen bagi kelahiran suatu golongan baru pada
peta kekuatan politik dan ideologi dalam kancah sejarah bangsa
Indonesia, yaitu munculnya golongan militer. Golongan ini segera
menjadi kekuatan yang berpengaruh dan signifikan dalam pang-
gung politik Indonesia. Secara formal militer Indonesia lahir pada


Beberapa peristiwa yang mencerminkan adanya konflik internal antara lain Peristiwa
Tiga Daerah, revolusi sosial di Sumatra Timur, Peristiwa Madiun, dan sebagainya.
Tentang Peristiwa Tiga Daerah lihat Anthon Lucas, The Bamboo Spear Pierces the Payung:
The Revolution against the Bureaucratic Alite in North Central Java in 1945; Ann Arbor,
Mitch: University Microfilm International, 1980. Tentang Peristiwa Aceh-Sumatra Utara
atau yang lebih dikenal dengan nama “Revolusi Sosial Aceh Sumatra Timur” yang mele-
www.facebook.com/indonesiapustaka

tus di tahun 1945-1946 lihat Suprayitno, Mencoba (lagi) Menjadi Indonesia; Yogyakarta:
Terawang Press, 2001. Tentang Peristiwa Madiun, lihat misalnya Ruud Kreutzer, The
Madiun Affair of 1948: Internal Struggle in Indonesian’s Nationalist Movement; Amsterdam:
University of Amsterdam, 1984.

Tentang dinamika revolusi Indonesia lihat misalnya George McT. Kahin, Nationalism
and Revolution in Indonesia; Ithaca: Cornell University Press, 1952.

239

01-TA-16x24-terakir.indd 239 1/30/2012 9:39:17 PM


Singgih Tri Sulistiyono

bulan Agustus 1945 ketika pemerintah membentuk Badan Keamanan


Rakyat (BKR) dengan fungsi-fungsi militer yang masih kabur, kare-
na yang ditekankan ialah fungsinya sebagai “pemelihara” keamanan
saja. Tampaknya hal ini juga merupakan suatu strategi agar negara
yang baru merdeka ini tidak dilihat sebagai negara ‘expansionis’ atau
“militeris”, serta untuk mengurangi tuduhan “boneka Jepang” yang
berkembang saat itu. Dalam kenyataannya, BKR kemudian berkem-
bang menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan akhirnya menjadi
TNI (Tentara Nasional Indonesia) dengan fungsi yang lebih jelas seba­
gai alat pertahanan dan keamanan negara.
Meskipun secara formal militer Indonesia baru lahir pada tahun
1945, tetapi tradisi kemiliteran Indonesia itu sudah ada sebelum masa
revolusi, yaitu masa-masa penjajahan Belanda dan Jepang. Pada peri-
ode itu sudah lahir generasi perwira yang berkebangsaan Indonesia
dalam jajaran militer kolonial Belanda dan Jepang, yaitu perwira-
perwira yang berlatar belakang KNIL dan PETA. Satu hal yang men-
colok dari fenomena militer Indonesia sejak awal kelahirannya ialah
kecenderungannya untuk tidak tunduk kepada kekuatan-kekuatan
lain di luar dirinya. Jadi ada kecenderungan yang besar untuk tidak
begitu saja mengakui dan tunduk kepada supremasi sipil. Pada bu-
lan November 1945, para perwira TKR secara mandiri telah memilih
sendiri Menteri Pertahanan dan Panglima Besar, tanpa berkonsultasi
dengan pemerintah. Hal ini merupakan satu contoh dari sejumlah
kasus di mana militer terus menunjukkan sikapnya yang cenderung
mandiri dan tidak sepenuhnya bersedia tunduk kepada otoritas sipil.


Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967; Jakarta: LP3ES, 1998, hlm.11.

Tuduhan bahwa Republik Indonesia yang baru diproklamirkan itu tidak lain hanyalah
sebagai “boneka” dari fasisme Jepang, tidak hanya muncul dari Belanda dan sekutu-
sekutunya saja, melainkan, secara implisit, juga datang dari unsur-unsur internal
Indonesia sendiri. Termasuk, atau terutama, dari tokoh Sosialis dan pendiri PSI Sutan
Sjahrir. Dalam brosurnya yang diterbitkan pada tahun 1945 yang berjudul Perdjoangan
Kita, Sjahrir menegaskan perlunya bangsa Indonesia yang baru merdeka ini untuk, antara
www.facebook.com/indonesiapustaka

lain, membebaskan dirinya dari noda-noda fasisme Jepang. Ini berarti secara tersirat
Sjahrir beranggapan bahwa tuduhan sebagai “boneka” Jepang itu tidak sepenuhnya
salah. Lihat pernyataan Sjahrir dalam brosur tersebut sebagaimana dikutip dalam
Rosihan Anwar (ed). Mengenang Sjahrir; Jakarta: PT Gramedia, 1980, hlm. xxxi
(pengantar)

Ibid., hlm. 32

240

01-TA-16x24-terakir.indd 240 1/30/2012 9:39:17 PM


APAKAH ANGKATAN DARAT TERLIBAT?

Ada dugaan bahwa hal itu disebabkan oleh dominasi mantan perwira
PETA dalam jajaran militer Indonesia, di mana mereka mengadopsi
pola hubungan sipil-militer seperti yang diterapkan di Jepang pada
masa rezim fasis berkuasa di sana.10 Seperti diketahui, pada masa
Perang Dunia II, kekuasaan negara di Jepang sepenuhnya ada di ta­
ngan militer, tanpa adanya partisipasi sipil sama sekali.11
Teori lain mencoba menjelaskan kecenderungan itu dengan mene­
ngok ke masa-masa awal perang kemerdekaan melawan Belanda.
Ketika itu, batasan antara fungsi militer dan fungsi politik cende­rung
kabur karena sifat perjuangan kemerdekaan Indonesia itu sendiri yang
di dalamnya terdapat sifat militer dan politik sekaligus. Bukan karir
militer semata yang mendorong para anggota TNI ini berjuang, tetapi
juga semangat patriotik dan pembelaan terhadap Republik. Ketika ta-
hap perang kemerdekaan ini masuk ke fase gerilya, di mana militer
berbaur dengan penduduk sipil dalam kesehariannya, batasan antara
fungsi-fungsi politik dan militer yang ada pada golongan militer itu
menjadi makin kabur.12
Selain sikap ragu kepada apa yang disebut dengan supremasi
sipil, militer juga ragu, kalau bukan antipati, terhadap fenomena
keanekaragaman ideologi yang tercermin dalam banyaknya partai
dan organisasi politik setelah kemerdekaan. Meskipun tidak memi-
liki suatu ideologi yang baku dan terumuskan dengan jelas, kecuali
ideologi negara (Pancasila) yang secara formal diakui, militer mem-
punyai kecenderungan untuk meletakkan dirinya secara ideologis
dalam posisi “tengah”, antara Komunis di kiri dan apa yang disebut
sebagai ekstrimisme Islam di sebelah kanan. Walaupun tidak bebas
sama sekali dari anasir-anasir politis dalam tubuhnya, tetapi mili-
ter (terutama AD) relatif mampu mensterilkan diri dari kelompok-
kelompok semacam itu. Berbagai pemberontakan yang terjadi, dan
yang sebagian kalau bukan semuanya, melibatkan unsur militer juga,
www.facebook.com/indonesiapustaka

10
Tentang Sejarah tentara PETA lihat misalnya Nugroho Notosusanto, Tentara Peta pada
Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia; Jakarta: Gramedia, 1973.
11
Sundhaussen, Politik Militer, hlm. 34.
12
Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia; Jakarta: Sinar Harapan, 1986, hlm. 22.

241

01-TA-16x24-terakir.indd 241 1/30/2012 9:39:17 PM


Singgih Tri Sulistiyono

menjadi berkah terselubung bagi militer, karena otomatis hal itu akan
membersihkan dirinya dari golongan-golongan yang berpandangan
berbeda. Hal itu (pemberontakan-pemberontakan) bukannya mem-
perlemah, malahan sebaliknya memperkuat posisi militer dan mem-
perkuat legitimasi bahwa mereka adalah “pengawal” atau “abdi nega­
ra” yang misi utamanya adalah berbakti dan berjuang demi negara
dan bukan demi kepentingan dan ideologis semata sebagaimana yang
sering dituduhkan oleh para politisi sipil.13

Militer pada Masa Demokrasi Liberal


Pada tahun 1950, Indonesia dengan resmi melaksanakan Undang-
Undang Dasar Sementara (UUDS). UUDS ini banyak dipengaruhi
oleh Deklarasi HAM (Hak Asasi Manusia) PBB (Perserikatan Bangsa-
Bangsa). UUDS menegaskan soal pentingnya HAM dan supremasi
hukum, serta parlemen yang kuat dan lembaga kepresidenan yang le-
mah. UUDS menegaskan perlunya dibentuk lembaga parlemen yang
dikenal dengan Konstituante yang bertugas menyusun UUD yang
baru dan definitif. Para anggotanya dipilih melalui pemilih­an umum
(Pemilu) tahap kedua yang akan diselenggarakan setelah pemilu na-
sional pertama.14 Dalam format politik yang sedikit banyak bercorak
Liberal ini, Presiden hanya sebagai kepala negara konstitusional yang
tidak memiliki kekuasaan eksekutif sama sekali. Kekuasaan ekseku-
tif lebih banyak pada kabinet, yang setiap saat bisa berdiri atau di-
jatuhkan oleh parlemen. Situasi semacam inilah yang berkembang
pada saat Indonesia berada di era Demokrasi Liberal. Partai politik
yang banyak jumlahnya saling berlomba untuk menarik pendukung
dan saling bersaing untuk mendapat kursi di kabinet. Sementara itu
militer masih disibukkan oleh berbagai aktivitas pemberontakan
www.facebook.com/indonesiapustaka

13
Lihat Asvi Warman Adam “Kontrol Sejarah Semasa Pemerintahan Soeharto” makalah
disampaikan pada Seminar Pra KIPNAS: Memandang Tragedi Nasional 1965 Secara
Jernih (Serpong: 8 September 1999), hlm. 11.
14
Robert Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia, terjemahan oleh Ahmad
Baso Yogyakarta, Jakarta: ISAI dan The Asia Foundation, 2001, hlm. 86.

242

01-TA-16x24-terakir.indd 242 1/30/2012 9:39:18 PM


APAKAH ANGKATAN DARAT TERLIBAT?

yang harus mereka atasi, seperti DI/TII, Republik Maluku Selatan


(RMS), Andi Azis, Angkatan Perang Ratu Adil (APRA).
Isu pokok yang mendominasi wacana politik pada tahun-tahun
tersebut adalah tentang ramalan dan harapan hasil Pemilu yang su-
dah ditunggu-tunggu banyak kalangan, terutama dari kelompok par-
tai-partai Islam, menganggap sudah sewajarnya bahwa partai mereka
akan memperoleh suara mayoritas dalam Pemilu ini. Jumlah umat
Islam yang mayoritas, serta rusaknya citra partai-partai kiri seper-
ti PKI, karena keterkaitannya dalam Peristiwa Madiun, tampaknya
mendasari pertimbangan tersebut. Pemilu itu akhirnya berlangsung
pada bulan September tahun 1955 dengan hasil yang cukup men-
cengangkan. Bukan saja partai-partai Islam (NU sejak tahun 1952
telah keluar dari Masyumi) tidak berhasil memperoleh suara mayo­
ritas, yang juga mencengangkan ialah berhasilnya PKI masuk dalam
“4 besar” partai-partai dengan perolehan suara terbanyak partai yang
bercorak sekuler, PNI keluar dengan suara terbanyak, disusul oleh
Masyumi di urutan kedua, NU di urutan berikutnya, dan terakhir
PKI di urutan keempat. Proporsi perolehan suara Pemilu ini jelas
menunjukkan komposisi yang seimbang antara golongan “Islamis”
dan golongan “sekularis”. Pemilu tahap kedua, untuk memilih ang-
gota-anggota Konstituante yang berlangsung di bulan Desember 1955,
menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda.15 Selain polarisasi antara
kedua golongan di atas, Pemilu ini juga memperteguh polarisasi an-
tara kaum Muslim Modernis, yang direpresentasikan oleh Masyumi,
dan kaum Muslim Tradisionalis yang representasinya adalah NU.
Sebenarnya sudah sejak lama terjadi kekurangharmonisan hubung­
an antara kedua golongan itu. Hal ini bisa dibuktikan saat masih
dalam era kolonialisme, kaum Muslim Modernis mendirikan wadah
organisasinya sendiri, yaitu Muhammadiyah pada tahun 1912, yang
kemudian dijawab kaum Muslim Tradisionalis dengan mendirikan
Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. Kedua golongan ini memang
www.facebook.com/indonesiapustaka

sempat berhimpun dalam satu wadah untuk waktu yang pendek saja
15
Uraian tentang Pemilihan Umum 1955 dalam tulisan ini sebagian besar diambil dari
Herbert Feith, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, Jakarta: KPG, 1999.

243

01-TA-16x24-terakir.indd 243 1/30/2012 9:39:18 PM


Singgih Tri Sulistiyono

yaitu sampai pada tahun 1952, saat NU memutuskan untuk keluar


dari Masyumi.16
Kalau semula banyak yang berharap bahwa Pemilu 1955 ini akan
menjadi momen yang menentukan dan bersejarah serta menjadi solu-
si yang paling mungkin dalam menyelesaikan semua persoalan-per-
soalan kebangsaan, termasuk pula di dalamnya persoalan-persoalan
ideologis, ternyata hal itu tidak menjadi kenyataan. Apa yang terjadi
justru sebaliknya. Pemilu itu bahkan menunjukkan dan mempertegas
polarisasi yang terjadi dalam masyarakat atas dasar afiliasi politik,
terutama antara golongan “sekularis” dan golongan “Islam”. Pemilu
ini juga semakin mempertegas perbedaan yang ada antara partai-
partai “Jawa”, yaitu PNI, PKI dan NU, dan partai “luar Jawa”, yaitu
Masyumi. Pembedaan yang kedua ini menjadi penting untuk mem-
buat pemetaan politik pada akhir periode Demokrasi Liberal dan
awal Demokrasi Terpimpin. Setelah pelaksanaan Pemilu 1955, berba­
gai ketidakpuasan berkembang dengan luas, tidak hanya di kalang­an
si­pil saja tetapi juga militer. Sejumlah perwira di Luar Jawa, khu-
susnya Sumatra dan Sulawesi mulai membuat perhitungan de­ngan
“Pusat”. Tampaknya mereka mempunyai reaksi keterkejutan yang
sama de­ngan para politisi Masyumi dan PSI atas hasil-hasil yang di-
peroleh PKI dalam Pemilu tersebut. Secara ideologis, para perwira itu
sa­ngat anti komunis dan mempunyai kepentingan dalam membela
kepentingan daerah-daerah di Luar Jawa yang merupakan basis-basis
Masyumi. Ketidakpuasan ini akhirnya meletus dalam apa yang dina-
makan pemberontakan PRRI/Permesta pada tahun 1958. Meskipun ti-

Tentang dinamika Islam Indonesia dalam persoalan politik kenegaraan lihat Deliar Noer,
16

Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965; Jakarta: Grafiti Pers, 1987. Hasil Pemilu ini
juga cukup mengejutkan sejauh menyangkut apa yang bernama Partai Sosialis Indonesia
(PSI). Pada awalnya PSI diramalkan akan memperoleh suara cukup signifikan dalam
www.facebook.com/indonesiapustaka

Pemilu 1955. Alasannya terutama diletakkan kepada figur tokoh-tokohnya, seperti Sutan
Sjahrir, Subadio Sastrosatomo, dan Sumitro Joyohadikusumo yang mempunyai reputasi
sebagai tokoh-tokoh nasional sebelum perang, serta pengaruh partai tersebut dalam
kepemimpinan nasional pada era Revolusi. Ternyata PSI hanya mendapatkan 753.191
suara pada tahap pertama Pemilu, atau sekitar 2% dari total suara. Lihat dalam Feith,
Pemilihan Umum, hlm. 85.

244

01-TA-16x24-terakir.indd 244 1/30/2012 9:39:18 PM


APAKAH ANGKATAN DARAT TERLIBAT?

dak secara resmi menyatakan mendukung, beberapa pucuk pimpinan


Masyumi terlibat secara aktif dalam petualangan tersebut.17
Pemberontakan ini juga merefleksikan suatu pertarungan ideolo-
gis, baik pada tingkat nasional maupun internasional antara kekuatan
“kanan” dan “kiri”. Sumatra dan Sulawesi merupakan daerah-dae-
rah yang kuat keislamannya dibandingkan dengan Jawa, terutama
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bukan suatu hal yang kebetulan bahwa
Masyumi memperoleh pengaruh yang besar di Sumatra dan sebagian
Sulawesi. Gerakan ini mendapat dukungan diam-diam dari Amerika
Serikat dan sejumlah negara Asia Tenggara yang anti komunis. Hal
ini justru berdampak buruk bagi PRRI/Permesta, karena cap sebagai
“kaki tangan asing” segera melekat kepada mereka. Ketika pemerin-
tah pusat berhasil menumpasnya, nasib Masyumi (dan PSI) sudah
terbayang. Oleh suatu Penetapan Presiden, kedua partai tersebut
dibubarkan. Kalau pembubaran PSI secara politis tidak terlalu be-
sar dampaknya, lain halnya dengan Masyumi. Sebagai partai yang
menjadi saluran aspirasi politik kaum muslim modernis, pelarangan
tersebut praktis menyebabkan para politisi modernis tersingkir dari
panggung politik. Ini berarti bahwa salah satu lawan ideologis yang
potensial dari Sukarno dan kelompok-kelompok kiri, seperti PKI
dan sayap kiri PNI, sudah tamat riwayatnya. Namun demikian tidak
hanya mereka saja yang mengambil keuntungan dari pemberontakan
tersebut. Pemberlakuan Undang-undang Keadaan Bahaya (SOB) di
seluruh negeri pada tahun 1958 oleh pemerintah telah sangat me-
nambah kewenangan dan prestise militer. Segera setelah UU tersebut
diberlakukan, militer mulai bergerak memasuki birokrasi daerah dan
sektor-sektor perekonomian daerah, yang biasanya berada di bawah
pengaruh partai.18

17
S.T.A. Prasetyo & Toriq Hadad, Jenderal tanpa Pasukan Politisi tanpa Partai: Perjalanan
www.facebook.com/indonesiapustaka

Hidup A.H. Nasution; Jakarta: Grafiti Pers, 1998, hlm. 107-108.


18
J. Eliseo Rocamora, Nasionalisme Mencari Ideologi: Bangkit dan Runtuhnya PNI 1945-
1965; Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991, hlm. 291. Tentang PRRI-Permesta sendiri
lihat misalnya R.Z. Leirriza, PRRI-Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa
Komunis; Jakarta: Grafiti Pers, 1991. Lihat juga Barbara S. Harvey, Permesta: Half A
Rebellon; Ithaca: Cornell University Press, 1977.

245

01-TA-16x24-terakir.indd 245 1/30/2012 9:39:18 PM


Singgih Tri Sulistiyono

Peristiwa 17 Oktober 1952: Polarisasi dan Konsolidasi Militer


Dalam kaitannya dengan keterlibatan militer, khususnya AD, dalam
kemelut politik dan kekuasaan pada masa Demokrasi Liberal adalah
terjadi perubahan-perubahan yang memprekondisikan saling men-
curigai antara pusat dan daerah. Perubahan pertama mungkin ber-
sumber dari hasil keputusan KMB yang mengharuskan pemerintah
Indonesia untuk mengamankan semua perusahaan asing. Keputusan
ini berimplikasi bahwa sebagian dari penyelundupan yang selama
revolusi berasal dari pencurian terhadap perkebunan asing harus di-
hentikan. Hal ini berarti mengancam pendapatan lokal, baik dari ka-
langan sipil maupun militer. Perubahan kedua berhubungan dengan
proses sentralisasi dalam struktur militer. Meskipun pada masa pe­
rang kemerdekaan struktur militer bersifat sentralistik, namun kese-
tiaan pasukan terhadap komandan di tingkat lokal sangat besar
menga­lahkan kesetiaan mereka terhadap pucuk pimpinan tentara di
Jakarta.19
Seperti diketahui bahwa setelah perang usai, pucuk pimpinan
pusat (khususnya Markas Besar Angkatan Darat/ MBAD) berusaha
untuk melakukan campur tangan terhadap kesatuan-kesatuan, teru-
tama yang terkait dengan wacana soal demobilisasi dan reorganisasi
di daerah-daerah. Ada niat yang cukup besar dari pihak MBAD dan
Kementerian Pertahanan untuk melakukan langkah-langkah demobi­
lisasi dan reorganisasi terhadap personel AD, dengan alasan efisiensi
dan peningkatan mutu serta keahlian dari para prajurit AD.20 Upaya

19
Kesetiaan berlebihan dari pasukan terhadap komandannya pada masa itu disebut “bapak­
isme”. Istilah ini menunjuk kepada seorang pemimpin atau “bapak” yang pada masa revo-
lusi sangat menentukan dalam menciptakan dan mempertahankan moral kelompok. Dia
sangat berperan sekali dalam menggembleng solidaritas kelompok dan mengikat hubung­
an informal untuk tujuan politik. Lihat Sartono Kartodirjo, “Wajah Revolusi Indonesia
Dipandang dari Perspektif Struktural”, Prisma (8) (1981), hlm. 3-5. Seringkali pilihan
politik suatu kelompok gerilyawan atau tentara ini tidak ditentukan oleh orang-perorang
anggota kelompok, namun banyak ditentukan oleh keingingan dan orientasi ideologi
www.facebook.com/indonesiapustaka

politik dari komandannya. Mengenai perspektif ekonomi dari persoalan hubungan pu-
sat-daerah lihat misalnya Singgih Tri Sulistiyono, “Perdagangan antar Daerah dan
Integrasi Ekonomi di Indonesia: Persoalan Pusat-Daerah pada Akhir Tahun 1950-an”,
makalah disampaikan pada Workshop Rethinking Regionalism: Changing Horizon in
Indonesia 1950s; Jakarta: 29-30 Agustus 2003.
20
Sundhaussen, op.cit., hlm. 115.

246

01-TA-16x24-terakir.indd 246 1/30/2012 9:39:18 PM


APAKAH ANGKATAN DARAT TERLIBAT?

ini menghadapi persoalan yang serius ketika terjadi klik-klik dalam


tubuh AD yang menempatkan sejumlah komandan-komandan daerah
berseberangan dengan para pimpinan AD di Jakarta.21 Hanya dalam
waktu dua tahun setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda, kon-
flik politik berskala besar yang melibatkan unsur-unsur AD sebagai
pelaku utamanya, meledak tanpa bisa ditahan lagi. Dalam “Peristiwa
17 Oktober 1952” inilah, polarisasi dan konflik yang terjadi dalam
tubuh AD ini mencapai akumulasinya. Peristiwa yang bermula dari
mosi seorang anggota Parlemen yang juga seorang tokoh terkemuka
PNI, Manai Sophiaan, agar dibentuk sebuah komisi yang bertugas
untuk menyelidiki sejumlah hal yang terkait dengan masalah-ma-
salah internal Kementerian Pertahanan dan Staf Angkatan Perang
atau MBAD ini kemudian bergulir dengan cepat menjadi sebuah kri-
sis politik yang besar. Peristiwa 17 Oktober 1952 ini semakin mem-
pertajam polarisasi yang nyata antara kelompok militer yang lebih
mementingkan profesionalisme dan aspek teknis-kemiliteran dan
kelompok militer yang menempatkan patriotisme dan nasionalisme-
populis sebagai dotrin utamanya.22

21
Fakta lain bahwa sebagian besar dari korps Perwira MBAD berasal dari Divisi Siliwangi,
seperti Nasution, Kemal Idris, dll, mungkin bisa menjelaskan mengapa hubungan antara
para perwira dari kelompok Markas Besar ini dengan para perwira “anti” Markas Besar
yang kebanyakan berasal dari Divisi Brawijaya, sukar untuk bisa berlangsung dengan
baik. Lebih detail bisa dilihat dalam Sundhaussen, op.cit, hlm. 111.
22
Crouch juga berpendapat bahwa latar belakang kedua kelompok ini berbeda secara
tajam. Kelompok Nasution didominasi oleh perwira yang berlatar belakang KNIL/
Belanda, sedangkan kelompok Bambang Supeno didominasi oleh perwira yang berlatar-
belakang PETA/Jepang, dan sebagiannya lagi berlatarbelakang laskar-laskar non-reguler
dari era revolusi. Lihat Crouch, op.cit, hlm. 27-28. Tentang polarisasi itu dan peran pen­
ting Kolonel Bambang Supeno, sebagai perwira eks PETA yang dekat dengan Sukarno
dan para elite politik “anti pemerintah” (maksudnya kabinet Wilopo yang “pro PSI” ini)
pada saat-saat tersebut lihat Sundhaussen, op.cit., hlm. 128-130. Selain itu perbedaan
antara kedua kelompok ini juga disebabkan oleh orientasi politik yang berbeda. Kelompok
Nasution dianggap dekat dengan PSI dan sayap kanan PNI yang waktu itu memang me-
megang tampuk pemerintahan, dengan Wilopo, seorang PNI “kanan” sebagai Perdana
Menterinya. Sementara itu kelompok Bambang Supeno didukung, selain oleh perwira-
perwira yang sekubu, juga oleh Presiden Sukarno dan para politisi “sayap kiri” dari un-
www.facebook.com/indonesiapustaka

sur PNI kiri dan elemen-elemen kiri yang lain. Lihat Rocamora, op.cit, hlm. 73-76.
Peristiwa 17 Oktober selain memperlihatkan polarisasi yang makin tajam dalam tubuh
militer juga menunjukkan polarisasi yang nyata dalam tubuh PNI, antara faksi “kanan”
yang dipimpin oleh Wilopo dengan faksi “kiri” yang dipimpin oleh Sidik Joyosukarto dan
Manai Sophiaan. Lihat ibid, hlm. 73-76. Lihat juga Slamet Sutrisno, Kontroversi dan
Rekonstruksi Sejarah; Yogyakarta: Media Pressindo, 2003, hlm. 13-22.

247

01-TA-16x24-terakir.indd 247 1/30/2012 9:39:18 PM


Singgih Tri Sulistiyono

Kelompok pertama terutama terdiri dari Simatupang (Kepala


Staf Angkatan Perang RI), Nasution (Kepala Staf Angkatan Darat),
Kemal Idris, serta S. Parman (Kepala Markas Polisi Militer), dan Sri
Sultan Hamengkubuwono IX (seorang sipil yang menjabat sebagai
Menteri Pertahanan RI), berhadapan dengan perwira-perwira seperti
Bambang Supeno, Bambang Utoyo, dan sejumlah perwira yang men-
jabat sebagai komandan di daerah.23 Sebagian besar perwira daerah
berada dalam posisi yang berseberangan dengan pimpinan pusat AD
yang terlibat dalam peristiwa itu. Bahkan di daerah-daerah para per-
wira yang lebih yunior merebut pimpinan dari komandan yang pro
Nasution. Di Teritorium VII Makassar, Kepala Staf Letkol. Warrouw
mengambil-alih jabatan panglima dari tangan Kolonel Gatot Subroto.
Di Teritorium II Sumatra Selatan, Letnan Kolonel Kosasih didaulat
turun oleh bawahannya dan digantikan Letnan Kolonel Kretarto.
Panglima Teritorium V Brawijaya, Kolonel Dr. Suwondho, dige-
ser dari jabatannya oleh para perwira bawahannya dan digantikan
oleh Kolonel Soedirman. Hal ini membuat legitimasi dari kubu “pro
Peristiwa 17 Oktober” menjadi makin lama makin lemah dan akhir­
nya mengarah kepada terjadinya krisis legitimasi hebat yang menim­
pa para perwira kubu “Pro 17 Oktober” atau kubu “Nasution” yang
ada di pucuk pimpinan AD sendiri. Dukungan tidak resmi Presiden
Sukarno terhadap para perwira eks Peta ini ikut memperlemah posisi
Nasution dan kawan-kawannya yang ada di MBAD dan Kementerian
Pertahanan.24
Pada bulan November tahun itu juga, akhirnya Nasution digeser
dari jabatannya sebagai KSAD dan digantikan oleh Kolonel Bambang
Sugeng, seorang perwira eks PETA dari Jawa Timur yang didukung
oleh mayoritas perwira dari kelompok perwira daerah dan eks PETA.
Dengan demikian, untuk sementara waktu, posisi militer dari ke-
www.facebook.com/indonesiapustaka

23
Ulasan tentang dampak lebih lanjut dari Peristiwa 17 Oktober 1952 ini sebagian besar
bahannya diambil dari Sundhaussen, op.cit., hlm. 125-140.
24
Tentang adanya simpati dan dukungan Presiden Sukarno kepada para perwira “anti
Peristiwa 17 Oktober” ini dibenarkan oleh sejumlah sumber yang banyak mengkaji ten-
tang profil militer Indonesia selama era-era tersebut. Lihat misalnya Crouch, op.cit, hlm.
27-28.

248

01-TA-16x24-terakir.indd 248 1/30/2012 9:39:18 PM


APAKAH ANGKATAN DARAT TERLIBAT?

lompok Nasution atau kelompok profesional terdesak ke pinggir, se-


hingga selama masa-masa antara tahun 1952-1955 ini, profil militer
atau AD khususnya, berada dalam kondisi yang terpuruk, karena per-
pecahan atau polarisasi. Dengan “keberhasilan” kelompok sipil dari
kubu anti Markas Besar ini untuk menyingkirkan lawan-lawan mere­
ka dari posisi yang strategis di MBAD dan Kementerian Pertahanan,
gejala ke arah kecenderungan yang “militeristik” dari Angkatan Darat
Indonesia, sementara dapat diredam.
Situasi ini tidak bertahan lama, karena dalam tahun-tahun pasca
meletusnya Peristiwa 17 Oktober 1952, proses rekonsiliasi antara mi-
liter dari kubu Nasution dan kubu anti Nasution atau antara kubu
“KNIL” dan “PETA” ini perlahan mulai terjadi. Telah timbul suatu ke-
sadaran bersama dari kedua kubu, tentang pentingnya langkah-lang-
kah menuju terjadinya rekonsiliasi antara pihak-pihak yang berbeda.
Tidak begitu jelas, kenapa semangat rekonsiliasi ini begitu cepat mun-
cul dari para perwira yang sebelumnya secara tajam berada dalam
posisi yang sangat antagonistik ini. Salah satu alasan yang mung-
kin dapat dikemukakan ialah para perwira dari kubu anti Nasution
atau anti Peristiwa 17 Oktober ini menyadari betapa integritas, le-
gitimasi, dan kredibilitas mereka sebagai “pemenang” dari pergulatan
kekuasaan di lingkup AD ini ternyata tetap tidak signifikan dengan
status formal mereka sebagai faksi yang berkuasa dan dominan di
MBAD. Para perwira AD yang berturut-turut menduduki jabatan
KASAD setelah Nasution, yaitu masing-masing Kolonel Bambang
Sugeng (1952-1955) dan Kolonel Bambang Utoyo (1955-1955), pada
kenyataannya bukanlah figur-figur yang dapat dengan mudah mem-
persatukan seluruh korps AD dalam satu komando yang solid. Latar
belakang senioritas mereka yang relatif kurang dibandingkan dengan
perwira-perwira dari kubu lawannya, membuat mereka tidak cukup
mempunyai peluang untuk tetap dapat mempertahankan posisi yang
mereka peroleh dengan bantuan dan dukungan aktif dari unsur-un-
www.facebook.com/indonesiapustaka

sur eksternal militer.25 Ketika para perwira anti Nasution ini mulai
Terutama di sini adalah Presiden Sukarno dan sayap kiri PNI. Mereka melihat dengan
25

rasa curiga terhadap kecenderungan militer Indonesia yang semakin dekat dengan

249

01-TA-16x24-terakir.indd 249 1/30/2012 9:39:18 PM


Singgih Tri Sulistiyono

menyadari akan lemahnya dukungan dari internal militer terhadap


kepemimpinan mereka, maka sebagian dari mereka yang pada awal-
nya berseberangan dengan kubu Nasution ini kemudian mulai ber-
pikir untuk mereposisi kembali keberadaan mereka dalam konteks
polarisasi dalam tubuh militer ini.26 Pemikiran-pemikiran yang pada
dasarnya berangkat dari naluri untuk mementingkan persatuan dan
kesatuan korps militer, dan akhirnya semata-mata kepentingan mili-
ter, membuat sebagian perwira yang sebelumnya berada di kubu anti
Peristiwa 17 Oktober perlahan mulai mengubah sikapnya.
Pada tahun 1955, proses ke arah rekonsiliasi ini semakin mendapat
momentumnya, saat para perwira dari kedua kubu ini bertemu
dalam sebuah konferensi yang diselenggarakan oleh MBAD di kota
Yogyakarta. Konferensi yang dihadiri oleh 270 perwira tinggi dan
menengah ini berhasil melahirkan sebuah kesepakatan bersama di
antara kedua kubu yang kemudian terkenal dengan nama “Piagam
Yogya”. Secara garis besar, “Piagam Yogya” berisi pokok-pokok pikir­
an yang mencerminkan pendapat dari kubu Nasution atau kubu “Pro
Peristiwa 17 Oktober”. Semangat superioritas militer yang cenderung
tidak mau tunduk kepada otoritas sipil, meskipun itu pemerintah

kepentingan dan garis politik dari Partai Sosialis Indonesia (PSI) sebuah partai kecil
“Pro Barat” yang didominasi oleh para cendekiawan yang berpaham liberal. Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan, dan Mayjen
T.B. Simatupang, Kepala Staf Angkatan Bersenjata, meskipun secara formal keduanya
“non-partai”, tetapi dianggap “dekat” dengan PSI. Lihat Soebagijo IN, Wilopo 70 Tahun;
Jakarta: PT Gunung Agung, 1979, hlm. 291.
26
Pembagian kedua kubu atas dasar afiliasi ideologis antara golongan “kanan” yaitu kubu
Nasution cs dengan golongan “kiri” yaitu kubu Bambang Supeno, Bambang Sugeng dan
Bambang Oetojo cs, memang bisa dilihat sebagai terlalu menyederhanakan persoalan.
Sementara ada di antara mereka, seperti Bambang Soepeno yang memang benar-benar
punya kecenderungan kiri, ada juga perwira dari kubu tersebut yang tidak bisa dikate-
gorikan kiri apalagi komunis. Sudirman dan Soemitro misalnya, dua perwira Brawijaya
dari kubu tersebut, secara politis bukanlah orang yang dapat diidentifikasi sebagai sim-
patisan kiri. Sudirman (bukan Panglima Besar) adalah seorang militer dengan ke-
cenderungan Islam yang kuat, dan di kemudian hari termasuk perwira tinggi AD yang
tidak disukai oleh Sukarno karena alasan tersebut. Lihat Dr. A.H. Nasution, Memenuhi
www.facebook.com/indonesiapustaka

Panggilan Tugas; Jakarta: Gunung Agung, 1985, hlm. 357. Sementara itu Soemitro adalah
perwira anti komunis yang menonjol selama periode 1960-an sampai awal 1970-an, dan
dikenal sebagai salah seorang “arsitek” pembangunan kamp penahanan untuk para be-
kas anggota dan simpatisan PKI di di Pulau Buru. Lihat dalam Ramadhan K.H., Soemitro
(Mantan Pangkopkamtib) Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib; Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1994, hlm. 290.

250

01-TA-16x24-terakir.indd 250 1/30/2012 9:39:18 PM


APAKAH ANGKATAN DARAT TERLIBAT?

yang berkuasa sekalipun, tersirat dengan jelas di situ.27 Dokumen itu


juga menyinggung suatu sikap ketidaksetujuan atas penempatan per-
sonalia militer yang didasarkan atas pertimbangan politik kepartaian.
Oleh karena dokumen itu dikeluarkan pada tahun 1955, pada saat
jabatan-jabatan penting dalam tubuh Angkatan Darat seperti jabatan
KSAD sendiri masih dipegang oleh orang-orang yang yang berasal
dari kubu “anti peristiwa 17 Oktober” seperti Bambang Sugeng dan
kemudian Bambang Utoyo, maka jelas tudingan tentang campur ta­
ngan partai dalam soal-soal personalia internal AD ini diarahkan ke-
pada mereka.28 Sementara kubu Nasution sendiri tidak menganggap
bahwa afiliasinya dengan para politisi sipil berlatar belakang PSI,
seperti yang terjadi di tahun 1952, sebagai bentuk-bentuk penging-
karan terhadap komitmen kemiliterannya, mereka menentang prak-
tek-praktek serupa yang dilakukan oleh lawan-lawan mereka yang
berada di kubu anti Peristiwa 17 Oktober ini.29

27
Rangkaian pokok-pokok pikiran yang lebih lengkap yang terdapat dalam Piagam Yogya
ini dapat dilihat Sundhaussen, op.cit, hlm. 142-143.
28
KSAD periode 1952-1955, Bambang Sugeng, dan seorang perwira lain yang anti Peristiwa
17 Oktober, Bambang Supeno, adalah figur-figur perwira yang sangat loyal kepada
Presiden Sukarno dan mempunyai hubungan informal dengan PNI. Di kemudian hari, di
tahun-tahun 1966-1967, ketika kepemimpinan Presiden Sukarno mengalami krisis legiti-
masi yang hebat, Bambang Sugeng dan Bambang Supeno aktif menggalang dukungan
bagi Sukarno dengan mengandalkan para perwira Divisi Brawijaya, tempat mereka ber­
asal. Lihat Crouch, op.cit, hlm. 239.
29
Meskipun sama-sama mempunyai sekutu dari kalangan politisi sipil, yaitu unsur-unsur
PSI untuk kubu Nasution, dan unsur-unsur PNI/Sukarno bagi kubu lawannya, ada sifat
jelas yang membedakan pola hubungan dari masing-masing kubu tersebut. Kolaborasi
antara kubu Nasution dengan kelompok PSI ini lebih mencerminkan suatu hubungan
yang berangkat dari perspektif supremasi militer sebagai satu entitas politik yang tidak
saja sederajat, bahkan memposisikan diri sebagai satu entitas yang mempunyai derajat
yang lebih tinggi dibandingkan entitas politik sipil. Dengan demikian kedekatan kubu
Nasution ini dengan unsur-unsur PSI dan sayap kanan PNI seperti Wilopo ini bukan
merupakan satu gambaran dari subordinasi sipil terhadap militer, karena hubungan
antara keduanya bukan merupakan hubungan yang subordinatif, dalam arti bukannya
militer yang tunduk kepada rekan-rekan sipilnya, melainkan militer (faksi Nasution)
yang mempunyai pandangan dan kepentingan politik yang sama dengan unsur-unsur
PSI dan sayap kanan PNI ini. Secara samar-samar, pandangan-pandangan politik PSI
dan sayap kanan PNI ini terutama tentang supremasi militer dan hak-hak politiknya,
sama dan sebangun dengan kubu Nasution. Secara kasar, dapat disimpulkan bahwa ke­
www.facebook.com/indonesiapustaka

lom­pok sipil PSI dan sayap kanan PNI ini sepakat dengan pandangan rekan-rekan militer
mereka itu, yang berpendapat “bahwa tentara selamanya harus menjadi suatu kekuatan
yang dominan”. Kalimat dalam tanda petik tersebut adalah kutipan dari seorang politisi
anti Peristiwa 17 Oktober, Manai Sophiaan, seperti yang dapat dilihat dalam Soebagijo
I.N., op.cit, hlm. 299. Sementara itu kasus yang menyangkut kedekatan antara kubu mili­
ter anti Peristiwa 17 Oktober atau anti Nasution dengan Presiden Sukarno atau para poli-

251

01-TA-16x24-terakir.indd 251 1/30/2012 9:39:19 PM


Singgih Tri Sulistiyono

Situasi setelah lahirnya “Piagam Yogya” kemudian bergulir de­


ngan cepatnya menuju ke arah, bukan saja rekonsiliasi formal antara
kedua kubu, tetapi lebih tepatnya menuju ke arah konsolidasi yang
menentukan bagi kubu Nasution untuk dapat mendominasi seluruh
jajaran AD ke dalam pengaruhnya. Posisi kelompok anti Nasution se-
makin termarjinalkan ketika Kolonel Bambang Utojo, oleh pemerin-
tah ditunjuk menjadi KSAD menggantikan Bambang Sugeng. Bukan
kebetulan bahwa pemerintah saat itu dipegang oleh Perdana Menteri
Ali Sastroamijoyo dari PNI, seorang yang memiliki pandangan-pan-
dangan politik yang serupa dengan Presiden Sukarno dan sayap kiri
PNI pada umumnya. Sementara itu Bambang Sugeng adalah seorang
perwira yang mempunyai kecenderungan politik yang serupa de­ngan
kelompok politik yang dominan di pemerintah saat itu. Ternyata ren-
cana pemerintah itu sama sekali tidak berhasil. Mayoritas perwira
sudah bersatu dalam kubu “kanan” Angkatan Darat, sehingga upa-
cara pelantikan Bambang Utoyo berlangsung tanpa dihadiri oleh
para para perwira senior dan tanpa serah terima secara resmi dari
pendahulunya.30 Memegang jabatan sebagai orang nomor satu di jajar­
an AD tanpa memiliki adanya dukungan yang signifikan dari korps
yang dipimpinnya. Pada tahun itu juga, ia harus merelakan jabatan-
nya diambil kembali oleh Nasution. Di bulan November 1955, A.H.
Nasution dilantik sebagai KSAD oleh Perdana Menteri Burhanudin

tisi sayap kiri PNI mempunyai gambaran yang berbeda karena para perwira dari kubu
anti Nasution ini justru berangkat dari keyakinan dan afiliasi ideologis dan politis kepa-
da suatu otoritas yang ada di luar mereka (militer), dalam hal ini misalnya Sukarno dan
sayap kiri PNI. Mereka menomorsatukan keyakinan ideologisnya, dalam hal ini merupa-
kan campuran antara nasionalisme populis dan sosialisme, yang di wilayah politik sipil
semangat tersebut dapat dijumpai di kalangan sayap kiri PNI dan pada sosok Presiden
Sukarno.
30
Upacara ini berlangsung bahkan tanpa dihadiri oleh korps musik resmi AD, yang ikut
www.facebook.com/indonesiapustaka

memboikot upacara tersebut, sehingga panitia terpaksa mendatangkan korps musik dari
satuan Pemadam Kebakaran. Lihat Sundhaussen, op.cit, hlm. 148. Hal ini memperli-
hatkan betapa sedikitnya pengaruh yang dimiliki oleh para perwira “kiri” ini dalam
konstelasi politik di lingkup internal militer dan hal itu akan menjadi preseden serta
akan menjadi variabel yang sangat menentukan dalam pergulatan politik di era
1965/1966.

252

01-TA-16x24-terakir.indd 252 1/30/2012 9:39:19 PM


APAKAH ANGKATAN DARAT TERLIBAT?

Harahap, jabatan yang pernah ia pegang 3 tahun sebelumnya, saat


Peristiwa 17 Oktober meletus.31
Kecenderungan internal di lingkup AD di tahun 1955 itu ternyata
sudah jauh berbeda dengan gambaran di tahun 1952, saat Peristiwa
17 Oktober meletus. Pada pasca “Piagam Yogya” ini, pengaruh pe-
mikiran-pemikiran yang melihat bahwa militer atau AD bukan seke-
dar sebagai alat negara atau institusi yang mempunyai fungsi-fungsi
di bidang militer-keamanan saja, semakin lama semakin dominan.
Wacana ini pada gilirannya semakin mendesak satu kubu yang ber-
pendapat bahwa loyalitas politik AD sebagai sebuah institusi seha-
rusnya diberikan kepada otoritas politik yang ada di luar militer itu
sendiri yaitu pemerintah. “Piagam Yogya” menurut Sundhaussen,
merupakan ‘starting point’ bagi seluruh strategi militer untuk mem-
fokuskan diri bagi rencana-rencana politik yang lebih ambisius lagi.
Setelah kubu Nasution berhasil memenangkan pergulatan sengit se-
lama 3 tahun, langkah-langkah militer dalam memantapkan dirinya
di tengah-tengah dinamika politik Indonesia yang semakin memanas
makin menemukan bentuknya.

PRRI/Permesta: Ujian bagi Konsolidasi Angkatan Darat


Upaya-upaya sistematis dari AD untuk memantapkan posisi poli-
tiknya menuju ke puncak supremasinya dalam percaturan politik
Indonesia pada pertengahan kedua tahun 1950-an telah terhambat
oleh peristiwa PRRI/Permesta, ketika sejumlah komandan lokal mi-
liter menyatakan pembangkangannya terhadap pemerintah pusat,
termasuk kepada pucuk pimpinan AD sendiri. Pencetus dari peristi-
wa ini sendiri memang cukup beragam, mulai dari ketidakpuasan
daerah-daerah di luar Jawa terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi
www.facebook.com/indonesiapustaka

Mayoritas perwira AD memilih Nasution sebagai calon ideal mereka dibanding dengan
31

nama-nama lain yang disodorkan sebagai calon seperti Simbolon dan Gatot Subroto.
Bahkan sejumlah perwira dari kelompok anti Peristiwa 17 Oktober, seperti Sudirman
dari Brawijaya termasuk di antara yang mendukung Nasution. ibid, hlm.166. Hal ini
membuktikan bahwa tidak seperti lawannya, kubu militer anti Peristiwa 17 Oktober ini
bukanlah merupakan sebuah kelompok yang solid.

253

01-TA-16x24-terakir.indd 253 1/30/2012 9:39:19 PM


Singgih Tri Sulistiyono

pemerintah yang dianggap menganaktirikan daerah, polarisasi anta-


ra “Jawa” dan “luar Jawa” dalam spektrum politik nasional saat itu,
pertentangan yang semakin menajam antara Masyumi/PSI berhadap­
an dengan PNI dan PKI dalam konteks politik nasional, serta isu-isu
tentang konsep federalisme yang semakin mendapat tempat di dae-
rah-daerah luar Jawa, khususnya di Pulau Sumatra dan Sulawesi.
Peran militer dalam peristiwa pemberontakan ini dimulai ketika se-
jumlah Panglima Daerah Militer di Sumatra dan Sulawesi secara ber-
tahap mulai menunjukkan ketidakloyalan mereka terhadap pemerin­
tah pusat. Mayoritas dari perwira pembangkang sebetulnya berasal
dari kubu yang sama dengan kubu yang saat itu mendominasi MBAD.
Kolonel Simbolon misalnya, salah seorang tokoh pembangkang
yang saat itu menjabat sebagai Komandan Militer Sumatrea Utara,
adalah seorang perwira yang dekat dengan Nasution saat Peristiwa
17 Oktober meletus. Demikian pula dengan kebanyakan perwira pro
PRRI/Permesta yang lain.
Dalam perkembangannya, perwira-perwira yang membangkang
terhadap pimpinan AD kemudian memperoleh dukungan dari para
politisi sipil setempat ketika menggelindingkan isu pembangunan
daerah. Pemunculan isu kedaerahan ini menimbulkan konsekuensi
munculnya kesadaran di antara politisi lokal yang sentralistik dalam
pemerintahan yang sebetulnya sudah berlangsung sejak masa ko-
lonial. Berbeda dengan proses sentralisasi dalam struktur militer,
pemerintahan sipil sebetulnya sudah memulai desentralisasi secara
bertahap, misalnya dengan munculnya UU No. 1 tahun 1957 ten-
tang pembentukan dewan perwakilan di daerah. Namun demikian
isu yang dilontarkan oleh orang-orang militer meluap lebih cepat.
Konsekuensi selanjutnya adalah bahwa para komandan daerah sema-
kin kuat di daerah, sehingga mereka bisa terus melanggengkan kon-
trol ekonomi daerah (termasuk perdagangan barter). Demikian kuat-
www.facebook.com/indonesiapustaka

nya posisi mereka sehingga oleh pucuk pimpinan militer di pusat,


profil mereka terlihat sebagai warlord.32

Ibid., hlm. 175.


32

254

01-TA-16x24-terakir.indd 254 1/30/2012 9:39:19 PM


APAKAH ANGKATAN DARAT TERLIBAT?

Tindakan para perwira daerah yang mendalangi penyelundupan


ini merupakan tantangan bagi Nasution. Terbongkarnya berbagai
penyelundupan pada pertengahan tahun 1950-an membuka mata
pemerintah pusat bagaimana sesungguhnya sepak-terjang para ko-
mandan militer di daerah dalam menguasai dan memperoleh sum-
ber-sumber ekonomi dengan mengabaikan pemerintah pusat. Dalam
menghadapi mereka, Nasution memiliki strategi yang halus yaitu
dengan cara memutasi mereka dan dengan demikian akan mencabut
akar-akar warlordism komandan-komandan lokal yang sudah mapan.
Namun demikian, rencana mutasi jabatan ini tercium oleh para ko-
mandan lokal ini. Mereka menilai bahwa politik mutasi Nasution ini
sebagai upaya menyingkirkan mereka dari akar dukungan pasukan
dan politik lokal.33
Para perwira yang tidak puas terus melakukan berbagai cara untuk
mencari dukungan antara lain dengan mengadakan pertemuan-per-
temuan perwira, membentuk dewan-dewan yang memperjuangkan
pembangunan daerah seperti Dewan Gajah, Dewan Banteng, Dewan
Manguni, dan sebagainya. Gerakan-gerakan mereka mendapatkan
simpati dari beberapa politisi pusat yang tersingkir dalam pertarung­
an antar elite politik di Jakarta (PSI dan Masyumi) yang kecewa
de­ngan semakin menguatnya PKI. Jadi ada semacam persekutuan
antara para militer daerah dan elite politik pusat yang kemudian ber-
hijrah ke daerah untuk tujuan mereka masing-masing. Sebelum mu-
tasi berjalan dengan baik, mereka sudah terlebih dahulu mengajukan
sejumlah tuntutan kepada pemerintah pusat: Pertama, Dwitunggal
Sukarno-Hatta harus dikembalikan pada kedudukannya semula,
dengan Hatta sebagai Perdana Menteri. Kedua, KSAD Nasution dan
stafnya harus diganti. Ketiga, kaum komunis dibatasi dengan undang-
undang. Keempat, dibentuk satu komando Sumatra dengan Padang
sebagai pusatnya; dan kelima, menjalin hubungan politik dan eko-
nomi yang erat dengan Permesta. Nasution sendiri menilai bahwa
www.facebook.com/indonesiapustaka

gerakan yang mengatasnamakan kepentingan daerah itu sesung-

33
Ibid., hlm. 174-175.

255

01-TA-16x24-terakir.indd 255 1/30/2012 9:39:19 PM


Singgih Tri Sulistiyono

guhnya lebih bertendensi kepada ‘persoalan intern Angkatan Darat’.


Tuntutan pertama lebih diarahkan untuk mencari dukungan seluruh
lapisan masyarakat, tuntutan kedua lebih merupakan manifestasi ri-
valitas para perwira, tuntutan ketiga lebih menunjukkan adanya ‘pe­
ngaruh politisi sipil pusat dari Masyumi dan PSI (Muhammad Natsir,
Syafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, dan Sumitro
Djojohadikusumo) dan CIA. Tuntutan lainnya merupakan manifesta-
si ketidakpuasan perwira daerah terhadap anggaran operasional dari
pusat.34
Untuk menyelesaikan ketegangan dengan para perwira pembang-
kang daerah ini, sebetulnya Nasution ingin mengambil jalan yang
persuasif, namun perkembangan politik di Jakarta berjalan dengan
cepat sehubungan dengan upaya pembunuhan terhadap Sukarno
dalam Peristiwa Cikini yang melibatkan kelompok-kelompok tertentu
dalam militer yang memiliki hubungan dengan pergolakan daerah,
akhirnya pemerintah mengambil tindakan tegas untuk menghancur-
kan pemberontakan dengan kekerasan senjata. Keberhasilan operasi
militer untuk menumpas PRRI dan Permesta melahirkan situasi baru
dalam dunia militer dan politik di Indonesia. Dalam dunia militer,
keberhasilan penumpasan pemberontakan berarti juga penyingkiran
perwira-perwira yang tidak loyal kepada atasan, dan itu berarti ten-
tara semakin solid dan memiliki tawar-menawar politik yang lebih
tinggi kepada pemerintah. Selain itu cengkeraman militer (yang loyal
kepada pusat) di daerah-daerah di luar Jawa semakin kuat, apalagi
dengan adanya penerapan Undang-undang Darurat Militer pada ta-
hun 1957.
Dengan demikian, tentara masih memegang kontrol ekonomi atas
daerah Luar Jawa, apalagi setelah adanya nasionalisasi perusahaan-

34
Lihat Prasetyo & Hadad, Jenderal tanpa Pasukan, hlm. 108-109. Lima hari sebelum dipro-
klamirkannnya PRRI pada tanggal 15 Februari 1958, para pemberontak telah mengeluar-
www.facebook.com/indonesiapustaka

kan ultimatum yang isinya sama-sekali tidak menyinggung tentang isu-isu kedaerahan:
1) Dalam waktu 5 x 24 jam Kabinet Djuanda harus menyerahkan madnatnya Presiden; 2)
Presiden menugaskan Drs. Mohammad Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk
membentuk Zaken Kabinet. Lebih jelasnya lihat dalam S. Marzoeki, “Dukungan Negara-
negara Asing Terhadap PRRI/Permesta (1958-1961)”, makalah disampaikan dalam
Seminar Nasional Mahasiswa Sejarah V (Pekanbaru: 25-26 Juli 1995).

256

01-TA-16x24-terakir.indd 256 1/30/2012 9:39:19 PM


APAKAH ANGKATAN DARAT TERLIBAT?

perusahaan Belanda. Jadi, meskipun satu faksi militer lokal telah ber-
hasil dicabut dari akar warlordism yang menguasai sumber-sumber
ekonomi lokal, namun sesungguhnya sumber ekonomi yang diting-
galkan itu dipegang kembali oleh ‘new warlords’ dari faksi militer lain
yang merupakan kepanjangan tangan dari MBAD. Bahkan kedudu-
kan mereka semakin kuat setelah perusahaan-perusahaan Belanda
yang dinasionalisasi ‘diamankan’ oleh kelompok tentara yang men-
jadi sumber korupsi dan kehancuran perusahaan-perusahaan yang
berjaya pada zaman Belanda. Jadi dalam soal ini, tidak ada keberhasil­
an apa pun yang diraih oleh pemerintah sipil pusat.
Dampak yang lain lagi, pemberontakan ini mendorong Presiden
Sukarno untuk mempercepat apa yang sudah lama diinginkannya,
yaitu diakhirinya sistem demokrasi parlementer yang tidak disukai­
nya, karena dianggap kebarat-baratan. Secara ideologis, Sukarno me-
mang sejak muda tidak pernah bersimpati kepada demokrasi liberal.
Ia menganggap sistem itu terlalu menekankan kepada hak-hak politik
rakyat, sementara yang lebih penting menurutnya, yaitu hak-hak eko-
nomi, diabaikan. Sebetulnya sejak tahun 1956, Sukarno mulai sering
berpidato dengan nada mengkritik parlementarisme dan keseluruh­
an sistim politik yang berlaku saat itu. Salah satu yang terkenal di
antaranya diucapkan pada kesempatan memperingati Hari Sumpah
Pemuda, tanggal 28 Oktober 1956. Di depan para utusan organisasi-
organisasi massa dan pemuda, Sukarno mengkritik habis-habisan,
apa yang ia namakan “penyakit partai-partai”:35

“Kita telah telah melakukan kesalahan yang sangat besar dalam tahun
1945 ketika kita menyerukan pembentukan partai-partai, partai-par-
tai, partai-partai... Mimpi saya adalah bahwa para pemimpin partai-
partai itu akan bertemu, akan berkonsultasi satu sama lain, lalu ber-
sama-sama sampai pada keputusan” mari kita sekarang bersatu untuk
mengubur semua partai”.
www.facebook.com/indonesiapustaka

35
Ulf Sundhaussen, op.cit, hlm. 221-222.

257

01-TA-16x24-terakir.indd 257 1/30/2012 9:39:19 PM


Singgih Tri Sulistiyono

Pada tahun 1957, Sukarno melontarkan apa yang kemudian dikenal


dengan nama “Konsepsi Presiden”. Konsepsi itu berisi pokok-pokok
pikiran Sukarno, yang secara eksplisit dianggapnya sebagai alterna-
tif dari sistem politik liberal yang sedang menurun legitimasinya,
yang disebabkan oleh berbagai pemberontakan daerah. Konsepsi
tersebut menjadi semacam pedoman strategis bagi langkah-langkah
Sukarno untuk sesegera mungkin mengakhiri sistem demokrasi libe­
ral yang berlaku saat itu. Konsepsi itu secara jelas menekankan apa
yang dinamakan dengan “semangat musyawarah”, di mana semua
kekuatan politik, termasuk PKI yang selama itu selalu terkucil, harus
terwakili dalam pemerintahan. Implementasinya akan dibentuk
Kabinet Gotong-royong, Parlemen Gotong-royong dan lain-lain yang
semacam itu. Semua itu harus dengan jiwa dan semangat musya­
warah, sesuai dengan “semangat Indonesia yang sejati”. Konsep ini
memang jelas bertolak belakang dengan semangat demokrasi liberal,
yang filosofinya ada pada perdebatan dan dialog-dialog yang argu-
mentatif. Pihak yang mempunyai suara terbanyak nantinya akan
menjadi pemenang. Inilah yang tidak disukai oleh Sukarno, karena
dianggapnya sebagai pemicu dari perpecahan-perpecahan yang ter-
jadi, serta selalu mengabaikan “musyawarah” dan “gotong-royong”.
Lagi pula menurut Sukarno secara ekonomi, sistem liberal tidak akan
membawa kemakmuran dan keadilan sosial seperti yang dinyatakan
dalam undang-undang dasar.
Tidak ada reaksi penolakan yang cukup signifikan terhadap kon-
sepsi ini, kecuali dari Masyumi dan PSI yang memang kondisinya su-
dah “sekarat” saat itu, dan tidak beberapa lama kemudian dibubarkan
oleh pemerintah. Sementara itu kekuatan-kekuatan politik yang lain
secara umum mendukungnya, meskipun dengan kadar yang berbeda-
beda. Konsepsi ini mendapat dukungan penuh dari militer, karena
adanya harapan posisi yang lebih baik bagi militer, termasuk posisi
politiknya, dalam sistem yang baru itu. Dengan konstelasi politik
www.facebook.com/indonesiapustaka

yang demikian, jelas tidak ada halangan apapun, ketika pada 5 Juli
1959 Sukarno membubarkan parlemen dan memberlakukan kembali

258

01-TA-16x24-terakir.indd 258 1/30/2012 9:39:19 PM


APAKAH ANGKATAN DARAT TERLIBAT?

UUD 45. Sejak itu pula, era Demokrasi Liberal benar-benar berakhir
riwayatnya, dan era Demokrasi Terpimpin secara resmi dimulai.

Peran Politik Militer pada Masa Demokrasi Terpimpin


Sebagai suatu sistem, Demokrasi Terpimpin memang tidak bisa
dibandingkan dengan era sebelumnya, baik dalam “kedemokratisan”
maupun “keliberalannya”. Meskipun demikian, pola otoriterianisme-
nya juga tidak sama persis dengan pola-pola yang dianut rezim-rezim
otoriter yang lain, seperti Jerman di bawah Hitler atau Uni Soviet di
bawah Stalin. Sukarno memang berkuasa hampir mutlak, tetapi
dalam batas-batas tertentu, ia juga tergantung kepada kerja sama
dengan militer mengingat dukungan mereka terhadap sistem
Demokrasi Terpimpin dan kesamaan sikap keduanya dalam penen-
tangannya terhadap sistem Demokrasi Liberal. Peristiwa 17 Oktober
1952 telah membuktikan sikap oposisional dari sebagian unsur mili-
ter terhadap tatanan liberal ini. Jadi ada kesamaan dalam oposisi
kedua figur tersebut terhadap sistem parlementer yang liberalistik,
meskipun dasar-dasar filosofisnya berbeda sekali. Untuk beberapa
lama bisa tercipta koalisi terbatas antara militer dengan Sukarno, se-
hingga terkesan ada dukungan kuat dari militer terhadap sistem de-
mokrasi baru versi Sukarno ini.
Hanya saja, dukungan mereka ini sama sekali tidak gratis, kare-
na begitu banyak konsesi yang didapat oleh militer dalam masa itu.
Pengaruh mereka di sektor perekonomian, yang dimulai ketika per­
usahaan-perusahaan Belanda diambil alih tahun 50-an, tidak di-
ganggu-gugat oleh Presiden. Pengaruh politik militer juga bertambah
di era tersebut. Dalam susunan kabinet yang dibentuk dalam bulan
Juli 1959, hampir sepertiga menteri diangkat dari kalangan militer.
Militer juga mempunyai wakil di DPRGR dan MPRS, lembaga legis-
latif baru yang dibentuk di era Demokrasi Terpimpin. Ini menambah
www.facebook.com/indonesiapustaka

bobot dan legitimasi politik dari golongan militer, dan semakin me-
mantapkan mereka untuk terjun secara penuh dalam arena politik.
Sejak berakhirnya pemberontakan-pemberontakan daerah pada akhir

259

01-TA-16x24-terakir.indd 259 1/30/2012 9:39:19 PM


Singgih Tri Sulistiyono

tahun 1950-an, militer mempunyai legitimasi yang lebih kuat bagi


keterlibatannya dalam masalah-masalah sosial dan politik, ketika
Undang-undang Keadaan Bahaya (SOB) diberlakukan oleh pemerin-
tah. Peristiwa-peristiwa selanjutnya, seperti kampanye pembebasan
Irian Barat (Trikora) juga menambah lagi bobot politik militer, karena
kewenangan-kewenangannya semakin diperluas.
Meskipun begitu secara ideologis dan politis, Angkatan Bersenjata
itu sama sekali tidak homogen. Angkatan Darat, di bawah Nasution
memiliki loyalitas yang terbatas kepada Presiden Sukarno. Namun
de­mikian berbeda dengan Sukarno, kalangan militer miliki sikap
anti komunis yang kuat. Sikap itu cukup dominan di kalangan korps
perwira AD, meskipun dengan tingkatan yang berbeda-beda dan de­
ngan beberapa pengecualian serta adanya beberapa klik di antara
para perwira senior. Ada kecenderungan “Sukarnois” di jajaran Divisi
Diponegoro dan Brawijaya, sementara hal itu tidak terlihat di jajaran
Divisi Siliwangi di Jawa Barat. Situasi itu juga diketahui oleh Sukarno
yang berusaha agar kecenderungan itu tidak terus berlanjut. Sukarno
juga tahu selama AD di bawah Nasution, ia tidak bisa berbuat terlalu
banyak. Oleh karena itu ia menunggu-nunggu saat yang tepat untuk
dapat menyingkirkan Nasution. Kesempatan itu datang pada tahun
1962, ketika akhirnya seorang perwira tinggi AD yang menjabat se-
bagai Deputi II KSAD, Mayjen Ahmad Yani dilantik sebagai KSAD
yang baru, menggantikan Nasution. Nasution sendiri dipromosikan ke
dalam jabatan yang lebih tinggi tetapi kurang strategis, yaitu Menteri
Pertahanan dan Keamanan dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata.
Berbeda dengan Nasution, Yani tidak begitu kritis terhadap Sukarno,
bahkan cenderung loyal kepadanya. Fakta bahwa ia orang Jawa dan
bekas perwira Diponegoro mungkin bisa menjelaskan hal tersebut.
Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa ia akan bersikap lunak ke-
pada PKI. Dalam isu-isu strategis yang dilontarkan PKI, seperti isu
Angkatan Kelima dan Nasakomisasi Angkatan Bersenjata, Yani secara
www.facebook.com/indonesiapustaka

keras menentangnya. Melihat pertentangan antara AD dan PKI, justru


di situlah letak kekuatan Sukarno terlihat dengan jelas sebagai pe-
nyeimbang dengan konsekuensi jika betul-betul terjadi perbenturan

260

01-TA-16x24-terakir.indd 260 1/30/2012 9:39:19 PM


APAKAH ANGKATAN DARAT TERLIBAT?

di antara keduanya maka keseimbangan itu akan hancur dan tentu


kekuatan Sukarno akan sulit dipertahankan.
Di lain pihak Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan
Kepolisian, mempunyai sikap yang berkebalikan. Terutama untuk
AURI di bawah komando Suryadarma dan kemudian Omar Dhani,
mempunyai sikap politik yang lebih bersesuaian dengan golongan
kiri termasuk menanggapi positif ide-ide mereka. Sementara AD me-
nentang keras wacana pembentukan Angkatan Kelima, AURI justru
mendukungnya. AURI, Angkatan Laut, serta Kepolisian secara penuh
juga mendukung kampanye Dwikora, baik dalam retorika maupun
aksi. Ini berbeda dengan AD, yang hanya mendukung secara verbal
saja, tanpa suatu aksi yang nyata. Polarisasi antara ketiga angkatan
tersebut berhadapan dengan AD direstui kalau bukannya didorong
oleh Presiden, yang mengetahui betul betapa besar potensi destruktif
yang ada dalam AD, terhadap kepemimpinan dan gagasan-gagasan
politiknya. Sukarno memilih taktik “adu domba”, karena sadar tidak
bisa menekan AD terlalu mencolok. Sikap menahan diri ini dilaku-
kan mengingat militer belum mempunyai bayangan yang jelas akan
prospek kemenangan yang dapat mereka raih apabila mereka memi­
lih berkonfrontasi langsung dengan Presiden.
Berbeda dengan saat menghadapi Presiden, militer lebih bersi-
kap keras dalam masalah rivalitasnya dengan PKI. Peristiwa Jengkol,
Peristiwa Bandar Betsy, membuktikan hal itu. Di tingkat wacana,
militer juga memilih sikap yang konfrontatif dalam menanggapi isu
dan wacana yang dilontarkan oleh PKI, seperti dalam isu tentang
Angkatan Kelima dan Nasakominasi Angkatan Bersenjata. “Perang
Dingin” antara PKI dan Angkatan Darat ini berlangsung terus sepan-
jang bulan-bulan terakhir menjelang meletusnya Peristiwa G30S, ke-
tika situasinya kemudian berkembang menjadi konflik yang terbuka.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Gerakan 30 September dan Peran Tentara


Sejak awal, tragedi nasional yang sering disebut sebagai Peristiwa
G30S, sudah diliputi misteri yang sulit dipecahkan hingga saat ini.

261

01-TA-16x24-terakir.indd 261 1/30/2012 9:39:19 PM


Singgih Tri Sulistiyono

Kesimpangsiuran peristiwa ini justru telah menimbulkan berbagai


pendapat, interpretasi, bahkan spekulasi mengenai kejadian sebenar­
nya yang ada di balik peristiwa itu, terutama ketika berbicara soal
dalang yang ada di balik peristiwa itu dan bagaimana serta mengapa
terjadi. Secara garis besar paling tidak ada lima versi mengenai siapa
dalang di balik G30S, yaitu: 1. PKI dan Biro Khususnya (versi Oder
Baru), 2. Sebuah Klik Angkatan Darat (Cornell Paper, Wertheim), 3.
CIA/ Pemerintah AS (Peter Dale Schott, G. Robinson), 4. Presiden
Sukarno (John Hughes, Antonie Dake), 5. Tidak ada pelaku tunggal
(Nawaksara, Manai Sophiaan).36
Segera setelah peristiwa naas itu terjadi, pihak AD yang dikuasai
oleh kelompok Soeharto yang melahirkan Orde Baru, menyimpulkan
bahwa dalang G30S adalah PKI, yang mematangkan rencana gerakan
itu pada saat Presiden Sukarno sakit keras pada awal Agustus 1965.37
Bahkan menurut Pauker, rencana PKI untuk melakukan kudeta itu
sudah dibuat sebelum isu Dewan Jenderal muncul pada bulan Mei
1965.38 Pemerintah Orde Baru telah beberapa kali menerbitkan ‘buku
putih’ tentang tragedi itu.39 Menurut banyak “buku putih” itu peng-
gerak utama G30S adalah Biro Chusus PKI. Biro Chusus ini juga dise-
but sebagai Biro Penghubung atau Biro Tentara. Biro ini dibentuk
oleh Ketua CC PKI, DN Aidit, pada tahun 1964 yang bertugas un-
tuk melakukan penyusupan ke tubuh ABRI. Biro ini bersifat rahasia.
Bahkan di kalangan PKI sendiri tidak mengetahui secara terbuka ke-

36
Lihat Asvi Warman Adam, ‘Kontrol Sejarah Semasa Pemerintahan Soeharto’, makalah
disampaikan pada Seminar Pra-Kipnas: Memandang Tragedi Nasional 1965 Secara Jernih
(Serpong: 8 September 1999), hlm. 6-9. Lihat juga Asvi Warman Adam, “Keterlibatan
Tentara dalam Percobaan Kudeta”, dalam Asvi Warman Adam, Pelurusan Sejarah
Indonesia; Yogyakarta: Tride, 2004, hlm. 141-144. Lihat juga Tim ISAI, Bayang-bayang
PKI; Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 1995, hlm. 37-38.
37
Lihat misalnya Seksi Penerangan Komando Operasi Tertinggi, Tjatatan Kronologis di
Sekitar Peristiwa G30S/PKI (Djakarta: KOTI, 1965.
38
G.J. Pauker, The Rise and Fall of the Communist Party of Indonesia; Santa Monica: Rand
Corporation, 1969.
www.facebook.com/indonesiapustaka

39
Ada beberapa ‘buku putih’ peristiwa G30S yang diterbitkan oleh pemerintah ORBA
antara lain Nugroho Notosusanto & Ismail Saleh, The Coup Attempt o the ’30 September
Movement’ in Indonesia; Djakarta: Pembimbing Mas, 1968; Dinas Sejarah Angkatan Darat,
Pemberontakan PKI dan Penumpasannya; Jakarta: 1974; Kantor Sekretariat Negara,
Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi,
dan Penumpasannya; Jakarta: 1994, dan sebagainya.

262

01-TA-16x24-terakir.indd 262 1/30/2012 9:39:20 PM


APAKAH ANGKATAN DARAT TERLIBAT?

beradaan biro ini. Struktur organisasi biro berada langsung di bawah


koordinasi Aidit sebagai Ketua CC PKI. Di tingkat pusat dibentuk Biro
Chusus Central (BCC) yang bertugas mengkoordinasi Biro Chusus
Daerah (BCD). BCC dipimpin oleh Sjam yang bertanggung jawab
langsung kepada Aidit. Jadi, melalui Sjam inilah PKI secara organi­
satoris dipandang terlibat bahkan sebagai dalang peristiwa G30S.
Versi kedua yang mengatakan bahwa dalang G30S adalah sebuah
klik AD dikemukakan oleh para peneliti dari Cornell University (Ben
Anderson, Ruth McVey, dan Frederick Brunell). Hasil penelitian mere­
ka diberi judul “A Preliminary Analysis of the October 1, 1965: Coup
in Indonesia” menjadi bahan diskusi yang di berbagai seminar infor-
mal di Cornell, sehingga hasil penelitian yang diseminarkan itu sering
disebut sebagai Cornell Paper. Pada intinya mereka berkesimpulan
bahwa peristiwa G30S merupakan puncak konflik intern di kalang­
an AD yang sejak awal pembentukannya sudah memiliki kesadaran
bahkan ambisi politik. Kesimpulan ini didasarkan atas fakta bahwa
seluruh pelaksana operasi adalah tentara, terutama Angkatan Darat
dan Angkatan Udara. Sementara itu kekuatan yang menghancurkan
gerakan itu juga dari kalangan tentara sendiri.40
Dalam hubungan itu Wertheim mengatakan bahwa peranan PKI
hanyalah peranan samping. Peranan itu dimainkan oleh Aidit dalam
hubungannya dengan Sjam yang sudah lama dikenalnya dan baru me-
nyatakan diri masuk PKI awal tahun 1960-an. Sjam kemudian men-
jadi tokoh kunci dalam jaringan hubungan PKI dengan sekelompok
perwira AD yang bersifat rahasia. Bahkan jaringan itu tidak ba­nyak
diketahui oleh para pucuk pimpinan PKI, apalagi para anggo­tanya.
Menurut Wertheim, Sjam sebetulnya merupakan agen ganda yang
bekerja baik untuk Aidit maupun untuk AD.41 Namun demikian, ada
kemungkinan Sjam merupakan agen AD yang disusupkan ke PKI un-
www.facebook.com/indonesiapustaka

40
Naskah Cornell Paper telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia, lihat B.R.O’G Anderson
& R.T.McVey, Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Analisis Awal; Yogyakarta: LKPSM-Syarikat,
2001.
41
Tim ISAI, Bayang-bayang PKI, 22.

263

01-TA-16x24-terakir.indd 263 1/30/2012 9:39:20 PM


Singgih Tri Sulistiyono

tuk memancing agar terlibat dalam suatu gerakan yang pada akhir­nya
bisa menjadi dalih bagi AD untuk menghabisinya.42
Pendapat yang menekankan peranan AD sebagai dalang G30S juga
dikemukakan oleh Harold Crouch, menjelang peristiwa naas itu Staf
Umum Angkatan Darat (SUAD) pecah menjadi dua faksi. Kedua faksi
ini sebetulnya sama-sama bersikap anti PKI, meskipun berbeda si-
kap ketika berhadapan dengan Presiden Sukarno. Faksi yang pertama
merupakan “faksi tengah” yang loyal kepada Sukarno. Faksi yang
dipimpin oleh Menpangad Mayjen Ahmad Yani yang menentang ke-
bijakan Sukarno tentang persatuan nasional di mana PKI berada di
dalamnya. Faksi kedua adalah “faksi kanan” yang menentang Sukarno
dan menentang kebijakan Yani yang bernapaskan Sukarnoisme.
Jenderal Nasution dan Mayjen Soeharto termasuk dalam faksi ini.
Peristiwa 30 September yang berdalih ingin menyelamatkan Sukarno,
sesungguhnya ditujukan untuk menyingkirkan “faksi tengah” untuk
melapangkan jalan bagi “faksi kanan” untuk berkuasa.43
Sementara itu versi ketiga yang berpendapat bahwa dalang G30S
adalah CIA dikemukakan antara lain oleh Peter Dale Scott dan Geofrey
Robinson. CIA (Amerika Serikat) memandang kecenderungan haluan
politik Sukarno yang mengarah “ke kiri” sangat merisaukan Amerika
Serikat. Jika Indonesia jatuh ke tangan pemerintahan komunis, maka
posisi Amerika di Asia Tenggara menjadi sangat teancam karena
Vietnam sudah terlebih dahulu dikuasai oleh rezim komunis (teori
Domino). Di mana-mana agen asing tidak bisa bekerja tanpa bantuan
unsur kekuatan dalam negeri. Oleh karena itu CIA menjalin hubung­
an yang mesra dengan sebuah klik AD untuk memprovokasi PKI
agar melakukan tindakan, untuk kemudian dihabisi. Menjelang me-
letusnya drama berdarah itu Amerika telah berbaik hati untuk men-

42
Ben Anderson mencatat bahwa Sjam merupakan tokoh misterius yang penuh petualang­
www.facebook.com/indonesiapustaka

an. Ia pernah menjadi Ketua Ranting PSI Rangkasbitung tahun 1951. Bahkan pada masa
revolusi ia pernah menjadi intel Recomba Jawa Barat (buatan Belanda). Pada akhir tahun
1950-an ia menjadi informan dari komandan KMK (Komando Militer Kota) Jakarta. Lihat
‘Ben Anderson tentang Pembunuhan Massal 1965’, dalam: www.hamline.edu/apakabar/
basisdata/1996/09/28/0063.html
43
Tim ISAI, op.cit, hlm. 18.

264

01-TA-16x24-terakir.indd 264 1/30/2012 9:39:20 PM


APAKAH ANGKATAN DARAT TERLIBAT?

didik para perwira AD dengan kemasan program Military Asitance


Program (MAP). Pada tahun 1963 ada sekitar 30 perwira AD dikirim
ke AS, 29 perwira pada tahun 1964, dan 47 perwira pada tahun 1965.
Hubungan baik CIA juga ditujukan kepada SESKOAD.44 Versi lain
tentang dalang G30S dibahas pada bab-bab lain di buku ini juga.
Banyaknya pendapat dan interpretasi di seputar peristiwa G30S
menunjukkan bahwa peristiwa itu sangat complicated, dan diseli­
muti kabut yang kemungkinan besar merupakan pekerjaan yang
direncanakan oleh operasi intelijen yang canggih. Oleh karena itu
topik ini masih menjadi wilayah perdebatan yang tidak ada habisnya.
Kalau pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat terhadap tragedi ini
masih terbatas pada pertanyaan yang bersifat kronikel yaitu “apa”,
“kapan”, “di mana” dan “siapa”, mungkin telah banyak dijawab dan
tidak banyak menimbulkan perdebatan, karena sebagian pelakunya
masih hidup dan peristiwanya sendiri masih diingat (remembered
event), meskipun mungkin sudah mengalami distorsi. Namun ketika
diajukan pertanyaan yang lebih kritis, maka mulailah perdebatan itu
lebih seru, misalnya pertanyaan tentang “siapa” yang berada di balik
siapa yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu? Kapan ren-
cana pembunuhan itu disusun dan siapa yang terlibat? Arena perde-
batan menjadi semakin luas ketika pertanyaan-pertanyaan historis
mulai diajukan yaitu “bagaimana” dan “mengapa”. Oleh karena itu
bisa dipahami jika klaim kebenaran sejarah (historical truth) sangat
beragam, dan oleh karena itu pula kebenaran sejarah yang tunggal
sulit diterima.
Dalam konteks itu, apapun versinya keterlibatan personel-perso-
nel Angkatan Darat (AD) dalam peristiwa G30S tidak bisa dibantah
lagi. Indikator keterlibatan AD dapat dilihat dari berbagai segi, misal­
nya para pimpinan, pelaku, korban, aksi-aksi pasca G30S dan seba­
gainya yang semuanya melibatkan para personal dan bahkan organi­
www.facebook.com/indonesiapustaka

sasi AD. Namun demikian, kenyataan itu belum memberikan bukti


yang pasti bahwa AD menjadi dalang G- 30-S. Oleh sebab itu bagian

44
ibid, hlm. 27.

265

01-TA-16x24-terakir.indd 265 1/30/2012 9:39:20 PM


Singgih Tri Sulistiyono

berikut ini akan dideskripsikan mengenai keterlibatan anasir-anasir


AD dalam rangkaian peristiwa G30S dengan menggunakan berbagai
sumber sekunder. Dalam hal ini keterlibatan militer dalam peristiwa
G30S akan dilihat dari siapa pemimpinnya, siapa pelaksananya, dan
siapa korbannya, serta siapa yang menumpasnya. Dengan demikian
peranan tentara dalam peristiwa ini bisa dilihat secara lebih jelas.

Para Pemimpin Gerakan


Sebetulnya Gerakan 30 September mulai dipersiapkan sejak paro
kedua bulan Agustus 1965 oleh Kolonel A. Latief (Komandan Brigif I
Teritorium V Jaya), Letkol Untung (Komandan Yon I Cakrabirawa),
Mayor Udara Sujono (Komandan Pengawal Pangkalan Udara Halim),
dan Brigjen M.S. Supardjo (Komandan Kopur IV Kalimantan Barat),
ketika desas-desus mengenai rencana Dewan Jenderal yang akan
melakukan kudeta tanggal 5 Oktober 1965. Untung melakukan per-
siapan itu karena mendapatkan tugas dari Sukarno untuk memberes-
kan Dewan Jenderal.45 Selama bulan Agustus dan September mereka
telah melakukan pertemuan sebanyak sepuluh kali. Dalam berbagai
pertemuan itu dibicarakan berbagai persoalan yang menyangkut
sakitnya Presiden Sukarno dan adanya isu tentang Dewan Jenderal
yang akan merebut kekuasaan, tindakan yang harus dilakukan terha­
dap rencana Dewan Jenderal. Selain itu juga dibicarakan mengenai
pembentukan Central Komando (CENKO). Dalam hal ini Untung
dise­pakati sebagai Ketua, sedangkan Latief diberi tanggung jawab
untuk mempersiapkan pasukan dan penguasaan teritorial. Sementara
itu Sujono diberi tugas untuk mengurusi logistik, di samping harus
mengamankan situasi Lubang Buaya (di kawasan pangkalan udara
Halim).46 Dalam berbagai rapat persiapan juga dibicarakan rencana
pembentukan Dewan Revolusi. Rencananya Untung disepakati seba­
gai ketua Dewan Revolusi, sedangkan wakil-wakilnya adalah Brigjen
www.facebook.com/indonesiapustaka

Supardjo, Letkol. Heru Atmodjo (AU), Kolonel Sunardi (AL) dan

ibid, hlm. 32.


45

M.R. Siregar, Naiknya Para Jenderal; Medan: SHRWN, 2000, hlm. 71.
46

266

01-TA-16x24-terakir.indd 266 1/30/2012 9:39:20 PM


APAKAH ANGKATAN DARAT TERLIBAT?

Wakil Komisaris Besar Polisi Anwas (Polisi). Tampaknya pencantum­


an anggota Dewan Revolusi tidak didasari atas pertimbangan yang
matang dan terkesan tergesa-gesa. Hal yang fatal nama Presiden
Sukarno tidak dicantumkan dan ada beberapa nama jenderal yang
sama sekali berada di kubu lain seperti Mayjen Basuki Rachmat dan
Brigjen Amir Machmud.
Jika dokumen mengenai pengumuman Untung tentang anggota
Dewan Revolusi yang dibacakannya lewat radio pada pukul 11.00
tanggal 1 Oktober 1965 benar, maka akan terlihat dengan jelas peran­
an angkatan bersenjata dalam kemelut ini. Dari 45 anggota Dewan
Revolusi, empat orang komunis (satu disebutkan secara eksplisit,
yaitu Tjugito, sedangkan yang lain tanpa keterangan bahwa ia komu-
nis).47 Sementara itu jumlah personel AD yang dicantumkan berjum-
lah 11 orang, Angkatan Laut 3 orang, Kepolisian 4 orang, Angkatan
Udara 4 orang.48 Memang betul bahwa beberapa tokoh penting berada
di Halim pada saat pembunuhan para jenderal terjadi, namun itu bu-
kan berarti bahwa mereka adalah pimpinan G30S. Kehadiran Aidit
di Halim misalnya, terjadi atas pengaturan Brigjen Suparjo dan Sjam
yang menugaskan Mayor Udara Sujono untuk menjemput Aidit. Dari
berbagai sumber mengesankan bahwa Aidit tidak tahu pasti mengapa
ia di bawa ke Halim.49
Di berbagai daerah G30S juga dipimpin oleh anasir-anasir AD. Di
KODAM Diponegoro, kepemimpinan G30S dipegang oleh Kolonel
Saherman, Kolonel Marjono, dan Letkol Usman Sastrodibroto yang
selama beberapa waktu berhasil mengambil alih komando Divisi
Diponegoro dari tangan Brigjen Soerjosoempeno. Di Salatiga, peng­
ambilalihan terhadap komando militer setempat juga dilakukan oleh
personel tentara, yaitu Letnan Kolonel Idris. Sementara itu pimpinan
G30S di Yogyakarta adalah Mayor Mulyono.50
www.facebook.com/indonesiapustaka

47
Anderson & McVey, Kudeta 1 Oktober 1965, hlm. 222-224.
48
Soegiarso Soerojo, Siapa Menabur Angin akan Menuai Badai: G 30 S-PKI dan Peran Bung
Karno; Jakarta: Antar Kota, 1989, hlm. 208-209.
49
Siregar, Naiknya Para, hlm. 27-29.
50
Anderson & McVey, Kudeta 1 Oktober 1965, hlm. 84-87. Nugroho Notosusanto, Tragedi
nasional Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesia (Jakarta: Intermasa, 1989), hlm. 30-44.

267

01-TA-16x24-terakir.indd 267 1/30/2012 9:39:20 PM


Singgih Tri Sulistiyono

Pelaksana G30S
Dalam berbagai pertemuan telah diputuskan bahwa pasukan yang
bergerak di bawah SENKO dibagi dalam tiga grup:
1. Grup Pasopati yang berada di bawah pimpinan Letnan Satu Dul
Arif dan Letnan Dua Siman. Mereka membawahi satu kompi,
masing-masing dari Batalion Kawal Kehormatan 1 Resimen
Tjakrabirawa, Batalion Para 454, Batalion Para 530, dan dua pele-
ton masing-masing dari Brigade Infanteri 1, Kesatuan Pasukan
Para Angkatan Udara, serta Kesatuan Kavaleri. Mereka bertugas
menculik anggota utama Dewan Jenderal dan dibawa ke Lubang
Buaya. Dalam daftar nama siapa-siapa yang akan diculik ter-
dapat: Nasution, Yani, Suprapto, Harjono M.T., S. Parman, D.I.
Panjaitan, Sutojo Siswomihardjo, dan A. Sukendro. Akan tetapi
khusus untuk Sukendro, beberapa saat menjelang aksi Gerakan
namanya dicoret dari daftar, karena dia sedang berada di luar
negeri.
2. Kesatuan Bimasakti yang berada di bawah komando Kapten
Suradi diberi tugas menguasai Jakarta dan menguasai tempat-
tempat penting. Kota dibagi menjadi enam sektor. Tempat-tem-
pat penting di sektor pertama yaitu Lapangan Merdeka dan
sekitarnya, di mana terdapat Istana Presiden di Merdeka Utara,
stasiun radio di Merdeka Barat dan gedung telekomunikasi di
Merdeka Selatan. Pasukan ini terdiri dari tiga kompi yang ma-
sih tersisa dari Batalion Para 454, empat kompi yang tersisa dari
Batalion 530. Kesatuan ini juga mendapat tugas untuk mem-
bantu kesatuan Pasopati.
3. Kesatuan Pringgodani dipimpin Mayor Udara Sujono terdiri
dari satu Batalion Pasukan Para Angkatan Udara dan pasukan
cadangan serta kekuatan massa yang dipersenjatai. Mereka ber-
tugas mengamankan Lubang Buaya, menguasai logistik dan me-
www.facebook.com/indonesiapustaka

nerima para jenderal yang ditangkap oleh pasukan Pasopati.51


51
B
asuki Gunawan, Kudeta staatsgreep in Djakarta: De achter gronden van de 30 September-
beweging in Indonesie; MeppeL: J.A. Boom en Zoon, 1968. Lihat juga Notosusanto dan

268

01-TA-16x24-terakir.indd 268 1/30/2012 9:39:20 PM


APAKAH ANGKATAN DARAT TERLIBAT?

Tentang keberadaan dua Batalion Para dalam gerakan ini, masing-


masing Batalion 454 Diponegoro dan Batalion 530 Brawijaya, dapat
dijelaskan bahwa dalam rangka perayaan 5 Oktober (Hari Angkatan
Perang) keduanya hadir Jakarta, berdasar panggilan dari Pangkostrad
dengan radiogram tertanggal 21 September 1965. Selain kedua
batalion tersebut, telah datang juga memenuhi radiogram Pangkostrad
yaitu Batalion 328 Para/Siliwangi, Kesatuan (Tank/Panser) Kostrad
dari Bandung (Batalion 2 Kavaleri) dan kesatuan artileri dari Cimahi,
untuk datang ke Jakarta pada tanggal 28 September 1965 dengan per-
lengkapan tempur “Siaga Satu”.
Kesatuan Pasopati yang bertugas menculik para jenderal dikum-
pulkan di Lubang Buaya pada pukul 02.30 dini hari, dan mendapat
briefing tentang tugasnya, untuk menyelamatkan Presiden dan bang-
sa. Seluruh operasi dipimpin oleh Lettu Dul Arief, bawahan Untung
dalam Cakrabirawa. Pasukan dibagi dalam tujuh unit yang tidak sama
besar, dan setiap unit bertugas membawa seorang jenderal. Kesatuan-
kesatuan itu diatur sebagai berikut:52
1. Sub-kesatuan Pembantu Letnan Dua Djahurub dari Resimen
Cakrabirawa yang terdiri dari satu regu Batalion I Resimen
Cakrabirawa, satu peleton masing-masing dari Pasukan Para
454 dan 530, Kesatuan Pasukan Para Angkatan Udara, dan satu
peleton sukarelawan dan Pemuda Rakyat yang bertugas untuk
menahan dan menyerahkan Jenderal A.H. Nasution.53
2. Sub-kesatuan yang berada di bawah komando Letnan Satu
Mukidjan dari Brigade 1 yang terdiri dari masing-masing satu
peleton Brigade Infanteri 1, Batalion Pasukan Para 454 dan 530,

Shaleh, op.cit, hlm. 12.


52
Sebagian besar keterangan mengenai persoalan ini diambil dari Notosusanto & Shaleh,
www.facebook.com/indonesiapustaka

op.cit, hlm. 14-15.


53
Keterlibatan sukarelawan Dwikora dan Pemuda Rakyat dalam mengambil para jenderal
ini diragukan apakah mereka benar-benar Pemuda Rakyat dan sukarelawan yang sedang
dilatih di Lubang Buaya dalam rangka Dwikora atau pelaku lain, dan apakah mereka
hanya bertugas di Lubang Buaya saja setelah para jenderal dibawa oleh para kesatuan
yang sudah diatur tugasnya. Lihat Siregar, op.cit, hlm. 33-42.

269

01-TA-16x24-terakir.indd 269 1/30/2012 9:39:20 PM


Singgih Tri Sulistiyono

satu regu dari Cakrabirawa, serta dua regu dari Pemuda Rakyat
bertugas untuk mengambil Letjen Ahmad Yani.
3. Sub-kesatuan yang dipimpin oleh Sersan Kepala Sulaiman yang
membawa dua regu dari Resimen Cakrabirawa bertugas untuk
mengambil Mayjen Suprapto.
4. Sub-kesatuan yang berada di bawah komando Sersan Mayor
Satar yang terdiri dari satu regu Cakrabirawa dan satu peleton
dari Batalion 530 bertugas menahan Mayjen S. Parman.
5. Sub-kesatuan yang bertugas untuk mengambil Brigjen Sutoyo
Siswomiharjo berada di bawah komando Sersan Mayor
Surono dari Cakrabirawa yang terdiri dari tiga regu resimen
Cakrabirawa.
6. Sub-kesatuan yang berada di bawah komando Sersan Kepala
Bungkus dari Cakrabirawa yang membawa tiga regu tentara
bertugas untuk mengambil Mayjen M.T. Haryono.
7. Sub-kesatuan yang berada di bawah pimpinan Sersan Mayor
Sukardjo dari Batalion 454 yeng terdiri dari masing-masing satu
regu Brigade Infanteri 454 dan Brigade Infanteri 1 bertugas un-
tuk mengambil Brigjen D.I. Pandjaitan.

Gerakan itu berhasil menculik (istilah mereka sendiri menangkap)


enam orang perwira tinggi, dan karena suatu kekeliruan, seorang
perwira pertama AD dari rumah masing-masing. Mereka masing-
masing adalah Letjen Ahmad Yani, Menteri Panglima Angkatan
Darat; Mayjen Soeprapto, Deputy Administrasi Menpangad; Mayjen
M.T. Harjono, Deputy III Menpangad; Mayjen S. Parman, Asisten I
Menpangad; Brigjen Donald Izaacus Panjaitan, Asisten IV Menpangad;
dan Mayjen Soetojo Siswomihardjo, Kepala Odituriat Militer AD.
Sementara itu satu target mereka, Jenderal Abdul Harris Nasution,
Menteri Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata ber-
www.facebook.com/indonesiapustaka

hasil meloloskan diri. Akan tetapi ajudannya, seorang perwira perta-


ma berpangkat Letnan Satu, ikut diculik dan dibawa ke Lubang

270

01-TA-16x24-terakir.indd 270 1/30/2012 9:39:20 PM


APAKAH ANGKATAN DARAT TERLIBAT?

Buaya. “Tumbal” yang lain dari lolosnya Nasution ini ialah putrinya
sendiri, seorang gadis kecil berusia 4 tahun yang terluka akibat pelu-
ru nyasar dan meninggal beberapa hari kemudian. Dari enam orang
jenderal sisanya, tiga orang ditembak mati di rumahnya karena mela-
wan, sedangkan tiga lainnya dieksekusi di Lubang Buaya, termasuk
Letnan Satu Pierre Tendean, ajudan Nasution. Mayat ketujuh orang
itu dimasukkan ke dalam sebuah sumur tua di kawasan yang sama.
Pada saat yang hampir bersamaan unit-unit militer yang pro ku-
deta juga bergerak ke pusat kota, menduduki lapangan Merdeka,
Stasiun Pusat RRI dan kawasan sekitar Istana Presiden. Di Lubang
Buaya sendiri sejumlah tokoh inti kudeta telah berada di sana pada
saat kudeta dimulai. Bahkan ada yang telah berhari-hari mempersiap-
kan segala sesuatunya di Lubang Buaya, di antaranya Letnan Kolonel
Untung Sutopo, Komandan Batalion I Kawal Kehormatan (KK);
Brigadir Jenderal Supardjo, Panglima Komando Tempur II Kolaga;
Kolonel Abdul Latief, Komandan Brigade Infantri I/Jaya; Mayor Udara
Soejono, komandan Pasukan Pertahanan Pangkalan Halim (P3AU);
Mayor Udara Gatot Sukrisno, dan Letnan Kolonel Udara Heru Atmojo,
seorang perwira intel di Mabes AU. Sementara itu di Pangkalan
Halim, Menteri Panglima Angkatan Udara, Laksamana Madya Udara
Omar Dhani telah hadir di sana. Malam sebelumnya ia telah memba-
has tentang adanya gerakan tersebut bersama sejumlah perwira tinggi
dan menengah AURI. Di Halim juga hadir Ketua CC PKI D.N. Aidit,
tepatnya di rumah Sersan Udara Suwardi, seorang bintara P3AU yang
menempati rumah di kompleks pangkalan udara Halim. Menurut be-
berapa sumber, Aidit selalu ditemani oleh Kamaruzaman alias Sjam,
seorang sipil misterius, yang diduga mempunyai peran besar dalam
peristiwa-peristiwa penting di hari-hari tersebut. 54
www.facebook.com/indonesiapustaka

54
Versi standar Orde Baru menyebut Sjam sebagai Ketua Biro Khusus PKI, yang tugas
pokoknya adalah merekrut pengikut dari kalangan militer. Versi tersebut juga menyebut-
nya sebagai orang yang berperan sentral dalam kudeta, karena ia yang menjadi peng-
hubung antara para pelaku gerakan dengan pimpinan PKI. Akan tetapi tidak semua
penga­mat setuju dengan kesimpulan itu. Secara ekstrem bahkan ada yang berteori bahwa
justru militerlah yang menyusupkan Sjam ke dalam PKI.

271

01-TA-16x24-terakir.indd 271 1/30/2012 9:39:20 PM


Singgih Tri Sulistiyono

Dengan demikian sebagian besar para pelaksana G30S juga berasal


dari kelompok militer, terutama AD. Hal ini terjadi karena memang
G30S merupakan sebuah gerakan militer. Keterlibatan orang sipil
dalam pelaksanaan gerakan itu, seperti sukarelawan Dwikora, meru-
pakan supplement belaka yang tentu saja masih diteliti lebih lanjut.

Serangan Balik
Sebagaimana disinggung di depan bahwa pada awalnya G30S di-
maksudkan untuk menjadi gerakan kontra kudeta untuk mencegah
kudeta yang dilakukan oleh Dewan Jenderal. Oleh karena itu target
dari G30S adalah para jenderal yang diduga menjadi anggota Dewan
Jenderal.
Masyarakat umum mendengar adanya G30S dari siaran berita RRI
Jakarta pada pukul 07.00 pagi hari, tanggal 1 Oktober 1965. Siaran
itu menyebutkan telah terjadinya “gerakan militer dalam Angkatan
Darat” yang dinamakan “Gerakan 30 September” yang dipimpin oleh
Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalion Cakrabirawa, Pasukan
Pengawal Pribadi Presiden. Gerakan ditujukan kepada jenderal-jen-
deral anggota Dewan Jenderal yang telah merencanakan sebuah kup
menjelang Hari Angkatan Perang. Siaran itu juga menyebutkan bah-
wa sejumlah jenderal telah ditangkap, alat-alat komunikasi yang pen­
ting-penting serta objek-objek vital lainnya telah dikuasai oleh ger-
akan tersebut, Sementara itu Presiden Sukarno dalam keadaan aman
di bawah perlindungan mereka. Diterangkan juga bahwa akan diben-
tuk “Dewan Revolusi Indonesia” mulai dari tingkat pusat sampai ke
tingkat desa.55 Selanjutnya pada pukul 11.00 disiarkan sebuah dekret
yang intinya menyatakan bahwa seluruh kekuasaan negara Indonesia
telah dialihkan kepada suatu Dewan Revolusi Indonesia yang akan
memegang pemerintahan sampai pemilihan umum dapat diselengga-
rakan. Dalam siaran ini juga diumumkan susunan komando Gerakan
www.facebook.com/indonesiapustaka

30 September yang dikomandani oleh Letkol Untung, dengan wakil-

55
Tentang siaran itu lihat Sugiyarso Soerojo, Siapa Menabur Angin akan Menuai Badai: G
30 S-PKI dan Peran Bung Karno; Jakarta: Antar Kota, 1989, hlm. 207-208.

272

01-TA-16x24-terakir.indd 272 1/30/2012 9:39:20 PM


APAKAH ANGKATAN DARAT TERLIBAT?

wakilnya adalah Brigjen Soepardjo dari Angkatan Darat, Kolonel Laut


Sunardi dari Angkatan Laut, Letkol Udara Heru dari Angkatan Udara,
dan Ajun Komisaris Besar Polisi Anwas dari Angkatan Kepolisian.
Aneh sekali, bahwa di satu pihak G30S ingin menyelamatkan
Presiden, tetapi di pihak lain siaran itu tidak menyebut peran dan po-
sisi Presiden Sukarno dalam rencana penyusunan struktur kekuasaan
Indonesia yang baru, bahkan kabinet RI yang di dalamnya termasuk
juga Presiden Sukarno, dinyatakan dalam keadaan demisioner. Siaran-
siaran itu berkontradiksi satu dengan yang lainnya. Dengan demikian
mengesankan bahwa gerakan itu sama sekali bukan sekedar persoalan
intern Angkatan Darat atau sekedar persoalan penyelamatan Presiden
dari aspek teknis pengamanan saja. Hal ini di kemudian hari menjadi
senjata yang sangat ampuh bagi lawan-lawannya untuk menghan-
curkan seluruh gerakan itu dengan pembenaran bahwa suatu “pem-
berontakan” sedang “ditumpas”. Kesan ini seolah diperkuat dengan
keluarnya pernyataan Komandan Resimen Cakrabirawa, Brigjen
Sabur, yang notabene merupakan atasan Untung, melalui stasiun ra-
dio yang sama, bahwa Presiden Sukarno dalam ”keadaan yang sehat”
dan “tetap memimpin negara”. Sejauh diketahui, Brigjen Sabur tidak
mempunyai peran sama sekali dalam gerakan tersebut, dan isi pengu-
muman itu berlawanan dengan pernyataan Untung sebelumnya yang
menyatakan bahwa gerakan yang dipimpinnya itu merupakan satu-
satunya sumber kekuasaan di Indonesia.
Meskipun terdapat kabar yang simpang-siur, ada juga sejumlah
dukungan terhadap G30S pada tanggal 1 Oktober itu juga. Atas nama
korpsnya, Panglima AURI Omar Dhani, yang sudah tahu akan adanya
gerakan tersebut, menyatakan dukungan penuhnya terhadap G30S. Di
Semarang, Solo, dan Yogyakarta, sejumlah perwira menengah di jajar­
an Divisi Diponegoro, yang merupakan kawan-kawan lama Untung,
merebut komando militer setempat dan menyatakan dukungannya
www.facebook.com/indonesiapustaka

terhadap gerakan Untung. Tidak hanya dari unsur militer saja, dukung­
an juga datang dari Walikota Solo, Utomo Ramelan, seorang anggota
PKI dan saudara ipar mantan Panglima AURI, Suryadi Suryadarma.

273

01-TA-16x24-terakir.indd 273 1/30/2012 9:39:20 PM


Singgih Tri Sulistiyono

Namun demikian, hanya itu yang diperoleh oleh para pelaku kudeta,
sebab para penguasa militer dan sipil, serta berbagai tokoh politik
dan ormas di seluruh pelosok negeri, bersikap menunggu dengan
hati-hati perkembangan yang terjadi.56
Reaksi yang paling menentukan datang dari arah yang mungkin
tidak diduga sebelumnya, yaitu dari Pangkostrad Mayjen Soeharto,
seorang perwira AD yang selama ini dikenal pendiam, apolitis, dan
yang paling penting, dia dikenal secara pribadi oleh para pemimpin
kudeta. Pada sore hari itu juga Soeharto berhasil menguasai pusat kota,
menarik sebagian pasukan pro kudeta dan mengusir sisanya, serta
merebut semua objek vital dari tangan mereka. Ia juga meng­ambil-
alih kepemimpinan AD ke dalam genggamannya. Pukulan yang paling
mematikan dari Soeharto ialah saat di depan corong RRI menyatakan
G30S sebagai kontrarevolusioner, dan mengajak seluruh rakyat untuk
menumpasnya. Ini merupakan pukulan moril dan psikologis yang
sangat dahsyat bagi kelompok kudeta, karena seruan Pangkostrad itu
berarti aba-aba bagi siapa saja yang tidak sepakat dengan kudeta itu
untuk segera melawannya. Meskipun lewat siarannya pada malam
hari tanggal 1 Oktober itu, Soeharto belum memberi identifikasi poli-
tik sama sekali kepada G30S, tetapi di sebagian kalangan militer dan
masyarakat sipil, sudah ada anggapan bahwa PKI pasti berada “di be-
lakang” kelompok kudeta. Sebagian besar komandan militer daerah
di luar kelompok pendukung kup, rata-rata memang bersikap ‘wait
and see’, menunggu kejelasan situasi. Akan tetapi ada yang bertindak
lebih jauh dari sekedar menunggu kejelas­an. Kolonel Tharmat Wijaya,
komandan sebuah Brigade Infantri di Palopo, Sulawesi Selatan, mulai
melakukan penangkapan-penangkap­an terhadap pengurus-pengurus
PKI setempat, saat ia mendengar siaran Untung yang pertama.57 Dari
kalangan sipil, khususnya kelompok-kelompok yang nyata anti ko-
munis, juga diperoleh cerita-cerita serupa. Seorang tokoh pimpinan
organisasi mahasiswa muslim terkemuka, HMI, segera menyimpul-
www.facebook.com/indonesiapustaka

kan bahwa PKI di belakang kudeta tersebut, ketika mendengar siaran


56
Anderson & McVey, op.cit, hlm. 113.
57
Ulf Sundhaussen, op.cit, hlm. 370.

274

01-TA-16x24-terakir.indd 274 1/30/2012 9:39:21 PM


APAKAH ANGKATAN DARAT TERLIBAT?

Untung pada pagi hari 1 Oktober itu.58 Bagaikan bola salju, reaksi
balas yang dipimpin oleh Soeharto ini menggelinding dengan hebat
dan melindas tanpa ampun siapa pun yang dianggap pendukung atau
sekedar memiliki hubungan de­ngan G30S, baik dari kalangan mili-
ter sendiri maupun dari sipil. Sejak saat itu pengejaran dan rentetan
pembunuhan yang panjang yang dilakukan oleh militer bersama se-
kutu sipilnya dialami oleh anggota dan simpatisan atau yang diduga
anggota dan simpatisan PKI baik dari kalangan militer maupun sipil.

Simpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa garis penting bahwa keter-
libatan militer khususnya Angkatan Darat dalam politik sudah me-
miliki akar yang panjang dalam sejarah Indonesia modern bahkan
hal itu sudah dimulai sejak masa akhir kolonial Belanda. Situasi sosi­
al dan politik sejak kemerdekaan lebih memberikan pembelajaran
kepada kelompok militer mengenai keterlibatannya dalam dunia
politik. Perkembangan politik pada masa perang kemerdekaan, masa
Demokrasi Liberal, dan Demokrasi Terpimpin semuanya memberi-
kan kesempatan bahkan mendorong militer untuk melangkah lebih
jauh dan mendalam untuk ikut ambil bagian dalam memperebutkan
kekuasaan.
udah barang tentu di dalam tubuh militer sendiri tidak terdapat
S
keseragaman dalam cara pandang mereka terhadap peran politik
yang harus mereka mainkan. Demikian juga perbedaan itu juga mun-
cul dari basis kultural dan ideologi yang berbeda di antara kelom-
pok-kelompok dalam tentara. Basis ini memberikan penghayatan dan
praktik yang berbeda dalam permainan politik. Tidak bisa dipungkiri
juga bahwa faksi-faksi yang ada dalam tubuh militer juga dipenga-
ruhi mekanisme situasi sosial politik bangsa Indonesia sejak prokla-
masi kemerdekaan. Keterkaitan antara militer dengan dinamika sosial
www.facebook.com/indonesiapustaka

politik nasional dapat dilihat dari kenyataan bahwa hampir dalam

58
Sulastomo; Hari-Hari Yang Panjang 1965-1966; Jakarta: CV Haji Masagung, 1990, hlm.
29.

275

01-TA-16x24-terakir.indd 275 1/30/2012 9:39:21 PM


Singgih Tri Sulistiyono

setiap pergolakan politik berskala nasional selalu melibatkan militer


atau anasir-anasir militer. Dalam konteks inilah keterlibatan militer,
khususnya AD, dalam G30S 1965 bisa dipahami. Meskipun telah
mencuat berbagai teori tentang gerakan ini, namun satu hal yang
sangat menonjol adalah apapun teori yang dikemukakan selalu tetap
memperlihatkan keterlibatan tentara dalam petualangan itu baik dili-
hat dari sisi para pelaku, pelaksana, target, dan operasi penumpasan,
serta epilognya semuanya memperlihatkan peran yang menonjol dari
tentara, khususnya AD. Namun demikian untuk menentukan dalang
di balik G30S hingga sekarang masih penuh dengan perdebatan.

Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik. “Perdebatan Sejarah dan Tragedi 1965”, Sejarah No. 9
Adam, Asvi Warman. 2004. Pelurusan Sejarah Indonesia; Yogyakarta:
Tride.
Adam, Asvi Warman. “Kontrol Sejarah Semasa Pemerintahan Soeharto”,
makalah disampaikan pada Seminar Pra KIPNAS: Memandang Tragedi
Nasional 1965 Secara Jernih; Serpong: 8 September 1999.
Ahmad, Zakaria Haji & Harold Crouch (eds). 1985. Military Civilian Relation
in South-East Asia; Singapore, Oxford, New York: Oxford University
Press.
Anderson, B. R. O’G & R.T.McVey. 2001. Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah
Analisis Awal; Yogyakarta: LKPSM-Syarikat.
Anwar, Rosihan. (ed). 1980. Mengenang Sjahrir, Jakarta: PT Gramedia.
‘Ben Anderson tentang Pembunuhan Massal 1965’, dalam: www.hamline.
edu/ apakabar /basisdata/1996/09/28/0063.html
Crouch, Harold. 1986. Militer dan Politik di Indonesia; Jakarta: Sinar
Harapan.
Dinas Sejarah Angkatan Darat. 1974. Pemberontakan PKI dan Penumpasannya,
Jakarta.
Feith, Herbert. 1999. Pemilihan Umum 1955 di Indonesia; Jakarta: KPG.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Gunawan, Basuki. 1968. Kudeta staatsgreep in Djakarta: De achter gronden


van de 30 September-beweging in Indonesie; MeppeL:J.A. Boom en
Zoon.

276

01-TA-16x24-terakir.indd 276 1/30/2012 9:39:21 PM


APAKAH ANGKATAN DARAT TERLIBAT?

Heffner, Robert. 2001. Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia,


terjemahan oleh Ahmad Baso Yogyakarta, Jakarta: ISAI dan The Asia
Foundation.
Kantor Sekretariat Negara. 1994. Gerakan 30 September: Pemberontakan
Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya;
Jakarta.
Kahin, George McT. 1952. Nationalism and Revolution in Indonesia; Ithaca:
Cornell University Press.
Kartodirdjo, Sartono. 1981. “Wajah Revolusi Indonesia Dipandang dari
Perspektivisme Struktural”, Prisma (8).
Kartodirdjo, Sartono. 1981. “Wajah Revolusi Indonesia Dipandang dari
Perspektifme Struktural”, Prisma (8).
Kreutzer, Ruud. 1984. The Madiun Affair of 1948: Internal Struggle in
Indonesian’s Nationalist Movement; Amsterdam: University of
Amsterdam.
Leirriza, R. Z. 1991. PRRI -Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa
Komunis; Jakarta: Grafiti Pers. Barbara S. Harvey, Permesta: Half A
Rebellon; Ithaca: Cornell University Press.
Lucas, Anthon. 1980. The Bamboo Spear Pierces the Payung: The Revolution
against the Bureaucratic Alite in North Central Java in 1945; Ann
Arbor, Mitch: University Microfilm International.
Marzoeki, S. “Dukungan Negara-negara Asing Terhadap PRRI/Permesta (1958-
1961)”, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Mahasiswa
Sejarah V (Pekanbaru: 25-26 Juli 1995).
Nasution, A. H. 1985. Memenuhi Panggilan Tugas, Jakarta: Gunung Agung.
Noer, Deliar. 1987. Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta: Grafiti
Pers.
Notosusanto, Nugroho & Ismail Saleh. 1968. The Coup Attempt o the ’30
September Movement’ in Indonesia Djakarta: Pembimbing Mas.
Notosusanto, Nugroho. 1973. Tentara Peta pada Jaman Pendudukan Jepang
di Indonesia; Jakarta: Gramedia.
Notosusanto, Nugroho. 1989. Tragedi Nasional Percobaan Kup G 30 S/PKI di
www.facebook.com/indonesiapustaka

Indonesia; Jakarta: Intermasa.


Pauker, G. J. 1969. The Rise and Fall of the Communist Party of Indonesia;
Santa Monica: Rand Corporation.

277

01-TA-16x24-terakir.indd 277 1/30/2012 9:39:21 PM


Singgih Tri Sulistiyono

Prasetyo, S. T. A. & Toriq Hadad. 1998. Jenderal tanpa Pasukan Politisi tanpa
Partai: Perjalanan Hidup A.H. Nasution; Jakarta: Grafiti Pers.
Ramadhan K.H. 1994. Soemitro (Mantan Pangkopkamtib) Dari Pangdam
Mulawarman Sampai Pangkopkamtib; Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Rocamora, J. Eliseo.1991. Nasionalisme Mencari Ideologi: Bangkit dan
Runtuhnya PNI 1945-1965, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Seksi Penerangan Komando Operasi Tertinggi. 1965. Tjatatan Kronologis di
Sekitar Peristiwa G30S/PKI, Djakarta: KOTI.
Siregar, M. R. 2000. Naiknya Para Jenderal; Medan: SHRWN.
Soebagijo, I. N. 1979. Wilopo 70 Tahun, Jakarta: PT Gunung Agung.
Soerojo, Soegiarso. 1989. Siapa Menabur Angin akan Menuai Badai: G 30
S-PKI dan Peran Bung Karno; Jakarta: Antar Kota.
Sundhaussen, Ulf. 1998. Politik Militer Indonesia 1945-1967, Jakarta:
LP3ES.
Sulastomo. 1990. Hari-Hari Yang Panjang 1965-1966, Jakarta: CV Haji
Masagung.
Sulistyono, Singgih Tri. 2003. “Perdagangan antar Daerah dan Integrasi
Ekonomi di Indonesia: Persoalan Pusat-Daerah pada Akhir Tahun 1950-
an”, makalah disampaikan pada Workshop Rethinking Regionalism:
Changing Horizon in Indonesia 1950s; Jakarta: 29-30 Agustus.
Suprayitno. 2001. Mencoba (lagi) Menjadi Indonesia; Yogyakarta: Terawang
Press.
Sutrisno, Slamet. 2003. Kontroversi dan Rekonstruksi Sejarah; Yogyakarta:
Media Pressindo.
Tim ISAI. 1995. Bayang-bayang PKI, Jakarta: Institut Studi Arus Informasi.
www.facebook.com/indonesiapustaka

278

01-TA-16x24-terakir.indd 278 1/30/2012 9:39:21 PM


BAB VI
PRESIDEN SUKARNO DALAM KRISIS
G30S

Nina Herlina

Pendahuluan
Hingga saat ini ada beberapa buku yang membahas Peristiwa G30S.
Pertama, adalah buku resmi yang dikeluarkan pemerintah dengan
judul Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis
Indonesia. Dalam buku yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara pada
tahun 1994 ini, dijelaskan bahwa dalang Gerakan 30 September
adalah PKI dengan Biro Khususnya yang memperalat unsur ABRI.
Tujuan gerakan ialah merebut kekuasaan dan menciptakan masyara-
kat komunis di Indonesia. Setahun kemudian, muncul buku Bayang-
bayang PKI, yang peredarannya dilarang Kejaksaan Agung. Dalam
buku ini disebutkan bahwa menjelang tahun 1965, terjadi perpecah-
an di kalangan atas pimpinan PKI, yang tidak diketahui oleh mayori-
tas anggota PKI di seluruh Indonesia. Sebagian pimpinan PKI, seperti
Aidit dan Sjam Kamruzzaman, yang bersekongkol dengan beberapa
perwira, merancang gerakan tersebut.
uku lainnya yang juga membahas “dalang” peristiwa G30S, ialah
B
buku-buku yang ditulis di luar negeri dengan berbagai versi­nya.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Pertama, buku yang ditulis oleh Benedict R. Anderson dan Ruth


Mc.Vey, yang dikenal sebagai ‘Cornell Paper’. Dalam buku ini dijelas-
kan bahwa peristiwa G30S itu merupakan puncak konflik intern di

279

01-TA-16x24-terakir.indd 279 1/30/2012 9:39:21 PM


Nina Herlina

tubuh Angkatan Darat, antara “faksi tengah” yang dipimpin oleh


Menpangad Mayjen Ahmad Yani, yang setia kepada Sukarno, dan
“faksi kanan” yang tidak setuju dengan dukungan Ahmad Yani ter-
hadap Sukarnoisme. Dalam faksi ini terdapat nama Mayjen Soeharto.
Meskipun kedua kelompok ini sama-sama anti-PKI, konflik tidak
terhindarkan. Sukarno yang mencium adanya faksio-nalisme ini
mencoba memecah-belah kedua kubu. Jadi, menurut Cornell Paper,
adanya peristiwa G30S itu diduga merupakan suatu skenario untuk
melapangkan jalan bagi Mayjen Soeharto dalam mengalahkan saing­
annya, karena terbukti yang menjadi sasaran G30S adalah para per-
wira-perwira “faksi tengah”.
Versi lainnya terdapat dalam tulisan Peter Dale Scott dan Geoffrey
Robinson. Dalam sumber ini disebutkan bahwa dalang utama
G30S ialah Dinas Rahasia Amerika, CIA, yang ingin menjatuhkan
Sukarno dan kekuatan komunis. CIA bekerja sama dengan sebuah
klik Angkatan Darat untuk memprovokasi PKI. Versi berikutnya ialah
versi yang dikemukakan oleh A.C.A. Dake dan John Hughes. Menurut
versi ini, G30S ialah skenario yang dipersiapkan Sukarno untuk me-
lenyapkan oposisi sebagian perwira tinggi Angkatan Darat. PKI ikut
terlibat karena dekatnya hubungan mereka dengan Sukarno. Versi ke-
empat yang dikemukakan dalam Nawaksara dan Pelnawaksara-nya
Sukarno dan juga dalam buku Manai Sophiaan dan Oei Tjoe Tat yang
menganggap bahwa G30S adalah sebuah konspirasi antara unsur-un-
sur Nekolim, yang ingin menggagalkan jalannya revolusi Indonesia,
didukung oleh PKI dan oknum-oknum Angkatan Darat.
Melihat berbagai versi yang ada, penulis secara khusus menyo­
roti sejauh mana keterlibatan Presiden Sukarno dalam peristiwa ini.
Untuk itu, perlu dilihat jauh ke belakang, adakah faktor-faktor yang
mengondisikan bahwa Presiden Sukarno memang terlibat. Selain me-
nyoroti hari “H” peristiwa G30S, dilihat pula peristiwa yang terjadi
www.facebook.com/indonesiapustaka

setelah G30S yang mengindikasikan keterlibatan tersebut.

280

01-TA-16x24-terakir.indd 280 1/30/2012 9:39:21 PM


PRESIDEN SUKARNO DALAM KRISIS G30S

Siapa Sukarno?
Dalam biografi tentang Sukarno yang ditulis oleh Lambert Giebels
(2000) dijelaskan tentang apa dan siapa Sukarno secara detail. Kusno
Sosro Sukarno lahir di Surabaya, tanggal 6 Juni 1901, sebagai anak
kedua dari pasangan Raden Sukemi Sosrodiharjo, seorang guru seko-
lah dasar bumiputra di Singaraja Bali, dengan Ida Ayu Nyoman Rai,
putri salah satu keluarga Bali dari kelas Brahmana. Nama depannya
tidak dipakai lagi sejak masa kanak-kanak, sehingga ia hanya dike-
nal sebagai Sukarno. Sebagai tanda bukan orang sembarangan,
Sukarno menceritakan bahwa kelahirannya disambut dengan letus­
an Gunung Kelud, sebuah gunung berapi dekat Kediri Jawa Timur.
Sejak kecil, Sukarno diasuh oleh inang pengasuh bernama “Sarinah”.
Nama ini rupanya begitu melekat di hati Sukarno kecil hingga dewa-
sa. Salah satu bukunya yang diterbitkan pada tahun 1947, diberi
judul dengan nama Sarinah, juga bangunan pertokoan monumental
di Jalan Thamrin di Jakarta, diberinya nama Sarinah.
Pendidikan pertama Sukarno diperoleh di sekolah desa di
Tulungagung, Jawa Timur. Ketika Sukarno berumur 6 tahun, ke-
luarganya membawa pindah ke Sidoarjo, kemudian pindah lagi ke
Mojokerto, di mana ayahnya mendapat pekerjaan sebagai guru di
Sekolah Kelas Dua. Tahun 1914, ia memasuki ELS di Mojokerto. Pada
tahun 1916 (ada yang menyebut tahun 1915, ada pula yang menye-
but tahun 1917), atas jasa baik Tjokroaminoto, ia dapat bersekolah di
HBS Surabaya dan lulus tahun 1921. Setelah itu ia mendaftarkan diri
ke Technische Hoge School (THS) yang baru didirikan pada tahun
1919 di Bandung.
Sukarno menyerap filsafat Jawa dari kakek-neneknya di
Tulungagung, dari ayahnya di Mojokerto, dan dari Wagiman, seorang
petani miskin yang sering menceritakan para pahlawan dari dunia
pewayangan. Ketika masih mahasiswa di Bandung ia sering mengi-
www.facebook.com/indonesiapustaka

dentifikasi dirinya dengan tokoh Bima, yang bersifat nekat, berani,


dan jujur, tetapi juga galak, tak kenal kompromi, kasar, meremehkan
otoritas yang mapan, dan siap membantah bahkan terhadap para

281

01-TA-16x24-terakir.indd 281 1/30/2012 9:39:21 PM


Nina Herlina

dewa. Tradisi wayang ternyata sangat berpengaruh dalam kehidupan


Sukarno selanjutnya. Seringkali ia menggunakan kisah dan tokoh-to-
koh pewayangan bila ia hendak mengomunikasikan pikiran-pikiran-
nya kepada khalayak.

Kegiatan dan Pemikiran Politik Sukarno


Bandung, tahun 1920-an, berkembang menjadi pusat pemikiran dan
gerakan nasionalis. Pada tahun 1923, Sukarno muda menghadiri
rapat raksasa “Konsentrasi Radikal”. Ia ikut berpidato di sana. Dengan
semangat mudanya yang berapi-api ia secara sadar menggunakan is-
tilah-istilah yang militan dan akhirnya dihentikan polisi. Pada ta-
hun itu juga, Sukarno hadir dalam Kongres PKI di Bandung, dan ia
tampil di mimbar untuk membela Tjokroaminoto, tokoh Sarekat
Islam, yang juga mertuanya, dari serangan Haji Misbach, tokoh “Haji
Merah”. Melalui kegiatan seperti ini, Sukarno memperluas hubung­
annya dengan tokoh-tokoh terkemuka gerakan nasionalis.
Pada tanggal 4 Juli 1927, bersama dengan Sartono, Anwari, Tjipto
Mangunkusumo, dan lain-lain, Sukarno mendirikan Perserikatan
Nasional Indonesia (PNI), yang setelah kongres pertamanya di
Surabaya berubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Kegiatan
politiknya, yang digambarkan oleh istrinya, Inggit Garnasih, bagai-
kan kincir yang bergerak ke barat ke timur, mulai dari daerah-daerah
pinggiran kota hingga ke kota-kota lain di Jawa. Hal ini ternyata di-
anggap membahayakan negara (kolonial). Terlebih pada tahun 1929
itu muncul desas-desus akan pecahnya Perang Pasifik, dan juga de-
sas-desus akan terjadinya revolusi untuk menggulingkan pemerintah
kolonial. Akibatnya, Ir. Sukarno dan teman-temannya yaitu, Gatot
Mangkupraja, Maskun, dan Supriadinata, ditangkap di Yogyakarta
pada tanggal 29 Desember 1929. Setelah ditahan selama enam bu-
lan di penjara Banceuy, pemeriksaan perkara berlangsung di Gedung
www.facebook.com/indonesiapustaka

pengadilan kolonial (Landraad) dimulai pada tanggal 18 Agustus


1930. Pemeriksaan dilakukan cukup lama dan akhirnya, pada tanggal
22 Desember 1930, Sukarno mendapat hukuman empat tahun pen-

282

01-TA-16x24-terakir.indd 282 1/30/2012 9:39:21 PM


PRESIDEN SUKARNO DALAM KRISIS G30S

jara. Ia naik banding dan menyampaikan pembelaannya yang terke-


nal berjudul Indonesia Menggugat. Akhirnya ia tetap harus menerima
hukuman kolonial. Ia ditempatkan di Penjara Sukamiskin.
Pemikiran politik Sukarno terefleksikan dalam pidato pembelaan-
nya di Gedung Landraad itu. Pidato ini kemudian menjadi dokumen
politik historis dalam upaya perlawanan menghadapi kolonialisme
dan imperialisme. Dalam paparannya, Sukarno memperkenalkan kon-
sep “trilogi sejarah” tanah air: masa lalu yang gemilang, masa “kini”
yang gelap gulita, dan masa depan yang penuh harapan. Masa lalu
yang gemilang adalah masa sebelum penjajahan oleh bangsa Barat,
masa kini yang gelap gulita adalah masa kolonial yang dianggapnya
sebagai penyimpangan sejarah yang tidak bisa dibenarkan dan harus
diluruskan. Dalam pleidoinya, ia memperlihatkan analisis sejarah so-
sial-ekonomis tentang kejahatan kapitalisme dan imperialisme, yang
telah dipelajarinya dari para pemikir Barat. Imperialisme dan kapital-
isme bukan saja sebagai sistem penindasan, tetapi juga sistem kekua-
saan yang harus dilawan dengan kekuasaan pula.
Pidato pembelaan Sukarno ini dianggap sebagai salah satu karya
klasik dalam sejarah pergerakan nasional, di samping karya kla-
sik lainnya yaitu Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme (1926).
Pikiran-pikiran yang disampaikan dalam karya klasik ini mewarnai
seluruh pemikiran Sukarno ke depan, bahkan hingga akhir hayatnya,
sehingga bisa dikatakan kedua tulisannya itu merupakan peletak
dasar pemikiran politik Sukarno. Dalam pidato-pidatonya Sukarno
setelah menjadi presiden, inti pidatonya yang radikal ini selalu diku-
tip ulang.
Dalam Indonesia Menggugat, Sukarno ingin menjelaskan bahwa
pergerakan dan partainya tidak membuat program atau cita-citanya
dengan didasarkan kepada kebencian kepada Belanda, tetapi keben-
cian kepada sistem kapitalisme dan imperialisme. Ia juga menyatakan
www.facebook.com/indonesiapustaka

bahwa taktik kekerasan bukanlah pilihan kaum pergerakan, tetapi

Lihat Indonesia Menggugat, Pidato Pembelaan Bung Karno di Depan Pengadilan Kolonial


Bandung.

283

01-TA-16x24-terakir.indd 283 1/30/2012 9:39:21 PM


Nina Herlina

sikap revolusioner merupakan suatu keharusan. Gagasan lain yang


diucapkannya ialah hal-hal yang berkaitan dengan persatuan bangsa,
kemajuan, pengingkaran terhadap keabsahan kapitalisme dan impe-
rialisme, kemerdekaan, keadilan, dan harkat manusia. Seperti telah
disebutkan dalam tulisannya ini, terlihat kecenderungan intelektual
Sukarno, yaitu menekankan unsur persatuan dari apa pun yang ber-
beda. Ini merupakan refleksi dari pengalaman politisnya yang dimu-
lai di Surabaya. Ia melihat betapa tokoh-tokoh politik selalu bertikai
sesamanya, bahkan dalam satu partai sekalipun. Selain itu, yang tam-
pak menonjol adalah analisis sejarah Marxisnya yang selalu melihat
gerak sejarah sebagai kontradiksi antara menindas dan tertindas.

Sukarno Sebagai Presiden


Ketika terjadi peristiwa pemberontakan PKI Madiun 1948. Sikap
Bung Karno saat itu masih tegas, ia meminta: ”Silahkan pilih Sukarno-
Hatta atau Moeso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya
RI”. Namun, warna politik Sukarno tampak berubah setelah Pemilu
tahun 1955 yang memunculkan empat besar partai politik, yaitu PNI,
Masyumi, NU, dan PKI. Sukarno menjadi pelindung/pembela PKI.
Kecenderungan Sukarno kepada komunis sebenarnya tercermin
dalam ideologi “Nasakom” yang telah digulirkannya beberapa dekade
lalu. Ketika tahun 1960-an, Indonesia dilanda krisis ekonomi dan
konfrontasi dengan Malaysia. Presiden Sukarno berulangkali me-
nyatakan bahwa satu-satunya jalan keluar dari kemelut yang dialami
oleh bangsa Indonesia ialah dengan menerapkan ajaran-ajaran Karl
Marx, peletak dasar paham komunis. Kemudian bulan Maret 1964,
Presiden Sukarno mengatakan kepada AS “Go to hell with your aid”.
Bung Karno juga selalu gembar-gembor tentang kegandrungannya
untuk selalu berevolusi karena “Revolusi Belum Selesai”. Pernyataan-
pernyataan politiknya juga mencerminkan sikap kirinya itu, misal-
www.facebook.com/indonesiapustaka

nya ia menyatakan bahwa musuh sebenarnya bukanlah komunis


yang datang dari Utara (maksudnya RRC atau Uni Soviet), tetapi

Peter Dale Scott, 1985, “Amerika Serikat dan Penggulingan Sukarno”, makalah, hlm. 7


284

01-TA-16x24-terakir.indd 284 1/30/2012 9:39:21 PM


PRESIDEN SUKARNO DALAM KRISIS G30S

Nekolim. Ketika PKI merayakan HUT ke-45 pada tahun 1965, Jakarta
dipenuhi poster-poster raksasa, di mana gambar Presiden Sukarno
dipajang sama besarnya dengan DN Aidit, Lenin, dan Karl Marx di
beberapa jalan utama Jakarta. Bung Karno dengan wajah berseri-seri
berpakaian kebesaran dengan semua bintang menghiasi dadanya
tampil di depan massa mendapat sambutan gegap-gempita. Di sini-
lah keluar ucapan Bung Karno yang terkenal, ditujukan kepada PKI,
“Ora sanak, ora kadang, yen mati aku melu kelangan” (bukan sauda-
ra, bukan keluarga, kalau mati saya ikut kehilangan). Memasuki
awal tahun 1960-an hingga pertengahan tahun 60-an, panggung
politik nasional pada dasarnya hanya memunculkan tiga kekuatan
politik utama: Sukarno, PKI, dan TNI-AD. Dalam perkembangannya
kemudian, salah satu dari tiga pilar politik tersebut, yakni PKI,
setelah merasa kuat secara politik maupun militer, kemudian mem-
persiapkan langkah-langkah penting untuk merebut pusat
ke­kuasaan.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Kepala Staf Badan Pusat
Intelijen Brigjen Polisi Soetarto, DN Aidit menyebarkan isu tentang
adanya Dewan Jenderal, sebagai dewan yang terdiri dari para jende­
ral yang memiliki tujuan untuk menggulingkan kekuasaan Sukarno.
Menurut isu yang dikembangkan PKI ini, Dewan Jenderal diperki-
rakan akan merebut kekuasaan dari tangan Sukarno menjelang per-
ingatan hari ulang tahun ABRI tanggal 5 Oktober 1965. Setelah itu,
Pelda Sujono seorang perwira pertama TNI AD oleh PKI dicap dari ka-
langan “Kabir” (kapitalis birokrat), tewas oleh orang-orang PKI/BTI di
Perkebunan Negara Bandar Betsy, Sumatra Utara. Peristiwa itu men-
jadikan sikap TNI AD makin keras terhadap PKI. Pertentangan antara
TNI AD dan PKI makin tajam. Presiden Sukarno menanyai Jenderal
Ahmad Yani tentang isu Dewan Jenderal ini. Menpangad menjelas-
kan bahwa tidak ada yang namanya “Dewan Jenderal” seperti yang
diisukan itu, yang ada adalah sejumlah jenderal yang bertugas mem-
www.facebook.com/indonesiapustaka

berikan penilaian pada promosi pangkat ke Jenderal. Oleh komunitas


Soegiarso Soerojo, Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai: G-30S-PKI dan Peran Bung


Karno; Jakarta, 1988, hlm. 217

285

01-TA-16x24-terakir.indd 285 1/30/2012 9:39:22 PM


Nina Herlina

di lingkungan TNI AD badan itu kemudian untuk mudahnya kemudi-


an dinamakan “dewan jenderal”. DN Aidit yang hadir mendengarkan
penjelasan itu, dikabarkan tertawa saja mendengar penjelasan Yani.
Kondisi Sukarno yang tengah mengalami gangguan kesehatan
serius memberi keyakinan kuat pada PKI tentang kebenaran rencana
Dewan Jenderal ini. Oleh karena itu, dalam menghadapi rencana ku-
deta Dewan Jenderal ini, hanya ada dua pilihan bagi PKI, mendahului
rencana gerakan Dewan Jenderal atau membiarkan rencana tersebut.
Pilihan mendahului gerakan Dewan Jenderal pada akhirnya menjadi
keputusan yang diambil PKI.
enurut kesaksian Bambang S. Widjanarko, pada tanggal 4
M
Agustus 1965, Bung Karno memberikan tugas kepada Letkol Untung
untuk mengambil tindakan terhadap Dewan Jenderal, dan pada tang-
gal 30 September 1965 Letkol Untung di Senayan memberikan surat
kepada Bung Karno tentang akan dimulainya gerakan penindakan
terhadap jenderal-jenderal yang dianggap sebagai kelompok Dewan
Jenderal. Widjanarko selanjutnya menyatakan bahwa ada Pati-pati
yang mela­por kepada Bung Karno tentang jenderal-jenderal AD yang
tidak loyal. Dalam hal ini Pati-pati itu menyetujui pengambilan tindak­
an terhadap para jenderal yang dianggap sebagai Dewan Jenderal itu
(Widjanarko, 1974). Ketika Brigjen Sugandhi memberitahu Presiden
Sukarno tentang adanya rencana bahwa PKI akan melakukan kudeta,
Bung Karno malah marah dan menuduh Sugandhi dicekoki Nasution
dan komunisto phobi. Sugandhi kemudian menghadap Jenderal A.
Yani dan memberitahu niat PKI, namun Yani tak percaya (Soerojo,
1988:266-267). Kalaulah kesaksian ini bisa dipercaya, jelas bahwa
Presiden Sukarno tidak bisa lepas tanggung jawab dari skenario yang
telah disusun PKI, dan juga sepengetahuan “Kelompok pati” yang
menyetujui gerakan pembersihan itu.
ol. Abdul Latif, mantan Komandan Brigade Infantri I Kodam V Jaya
K
www.facebook.com/indonesiapustaka

waktu itu, menyatakan bahwa pada rapat di rumahnya yang dihadiri


Brigjen Soepardjo, Letkol Untung, dan Sjam Kamaruzzaman, tanggal

Rollad Challis, Shadow of a Revolution; Thrupp: Sutton Publishing, 2001, hlm. 77.


286

01-TA-16x24-terakir.indd 286 1/30/2012 9:39:22 PM


PRESIDEN SUKARNO DALAM KRISIS G30S

29 September 1965 pukul 02.00, diputuskan sejumlah jenderal akan


dihadapkan kepada Presiden Sukarno dan penangkapan akan dilaku-
kan tanggal 30 September 1965 pukul 02.00. Dalam rapat itu Brigjen
Soepardjo menyusun daftar nama “Dewan Jenderal”, tetapi di dalam-
nya tidak terdapat nama Soeharto. Kol. Latif melaporkan hal ini kepa-
da Panglima Kostrad, Mayjen Soeharto, sebanyak dua kali, pertama di
rumah Soeharto, di Jl. Agus Salim, pada tanggal 29 September 1965,
kedua ketika menjenguk Tommy Soeharto yang dirawat di RSPAD,
pada malam menjelang 1 Oktober 1965. Namun Soeharto diam saja,
tidak melaporkan hal itu kepada Menpangad Jenderal Ahmad Yani
sebagaimana seharusnya. Ini salah satu bukti, bahwa Soeharto sudah
mengetahui dan “menyetujui” rencana tersebut.
esuai dengan “skenario”, dinihari tanggal 1 Oktober 1965 dilan-
S
carkanlah operasi penculikan terhadap para anggota Dewan Jenderal.
Hampir bersamaan dengan dilancarkannya operasi penculikan, di-
lakukan pula operasi perebutan gedung-gedung vital. Satu di antara
gedung vital yang menjadi target penguasaan ialah gedung RRI Pusat
di Jakarta. Setelah berhasil dikuasai, tepat pukul 07.20 WIB tanggal
1 Oktober 1965, melalui RRI disiarkanlah pengumuman tentang ada­
nya sebuah gerakan yang bernama “Gerakan 30 September” di bawah
komandan, Letkol Untung, yang juga komandan Batalion I Resimen
Cakrabirawa. Pengumuman sama kemudian diulang lagi pukul 08.15
WIB. Dalam penjelasannya, Komando Gerakan 30 September menga­
takan bahwa gerakan tersebut semata-mata merupakan gerakan
dalam tubuh Angkatan Darat yang ditujukan kepada Dewan Jenderal,
yang kini anggota-anggotanya telah ditangkap, sedangkan Presiden
Sukarno dalam keadaan selamat.
residen Sukarno yang dibawa ke Halim Perdanakusumah tang-
P
gal 1 Oktober 1965 pukul 09.00, berkumpul bersama Letkol Untung
dan DN Aidit. Anderson dan McVey dalam bukunya menduga bahwa
www.facebook.com/indonesiapustaka

motif dari tindakan ini ialah untuk membujuk Presiden Sukarno agar
menyetujui rencana-rencana komplotan ini. Namun yang jelas, ke-
beradaan Presiden Sukarno di Halim Perdanakusumah menimbulkan

287

01-TA-16x24-terakir.indd 287 1/30/2012 9:39:22 PM


Nina Herlina

dugaan adanya suatu komplotan PKI-AURI-Sukarno. Hal inilah yang


nantinya akan dijadikan dalih oleh Soeharto untuk membasmi kom-
plotan itu.
ntuk lebih mempertegas keberadaanya, tepat pukul 14.00 WIB,
U
Komando Gerakan 30 September kembali mengeluarkan sebuah
pengumuman berupa Dekrit No. 1 tentang Pembentukan Dewan
Revolusi Indonesia. Setelah itu, Gerakan 30 September selanjutnya
menyiarkan dua buah keputusan penting. Pertama, Keputusan No.
1 tentang Susunan Dewan Revolusi Indonesia. Kedua, Keputusan
No. 2 tentang Penurunan dan Penaikan Pangkat. Di samping koman-
dan dan para wakil komandan Gerakan 30 September dalam Dewan
Revolusi Indonesia yang anggotanya berjumlah 45 orang, di mana
tercantum pula nama-nama seperti Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen
Amir Machmud, Subandrio, J. Leimena, Surachman (Golongan
Nasionalis), Fatah Jasin (Golongan Agama), KH Siradjuddin Abbas
(Golongan Agama), Tjugito (Golongan Komunis), dan Mayjen Umar
Wirahadikusumah.
elanjutnya Brigjen Supardjo melaporkan tindakan penculikan
S
“Dewan Jenderal” kepada Presiden Sukarno di PAU Halim. Dalam
kesempatan itu Supardjo melaporkan juga bahwa Jenderal Nasution
lolos. Menurut satu sumber, Presiden menanyakan “Kok bisa lolos,
bagaimana?” Setelah itu Bung Karno memberikan pujian atas ha-
sil kerja Brigjen Supardjo sambil menepuk bahunya. Selanjutnya
Presiden Sukarno diminta oleh Soeharto untuk meninggalkan Halim
menuju Bogor. Presiden Sukarno memerintahkan Supardjo agar
menghentikan gerakannya guna menghindari pertumpahan da-
rah. Dalam kesempatan itu Presiden Sukarno menolak permintaan
Supardjo untuk mendukung G30S. Supardjo dan Omar Dhani berada
di Istana Bogor di bawah perlindungan Bung Karno sampai 5 Oktober
1965, kemudian ia pergi menyelamatkan diri. Pada 2 Oktober 1965,
www.facebook.com/indonesiapustaka

Bung Karno menerima radiogram dari PAU Halim yang mengatakan


bahwa pelacakan jenderal-jenderal yang hilang telah menemukan

Peter Dale Scott, op.cit, hlm. 12




288

01-TA-16x24-terakir.indd 288 1/30/2012 9:39:22 PM


PRESIDEN SUKARNO DALAM KRISIS G30S

jejak-jejaknya di dekat Halim. Menanggapi perkembangan tersebut


Bung Karno memerintahkan Kolonel Saelan pada malam itu bersama
timnya pergi ke lokasi dan mencarinya.

Sutradara Beralih Tangan


Peristiwa selanjutnya pasca G30S menunjukkan bahwa skenario
yang telah disetujui Presiden Sukarno berubah, keadaan menjadi ti-
dak terkendali dan menjadi demikian rumit. Secara perlahan sema-
kin jelas sutradara skenario yang telah dirancang beralih tangan dan
kemudian dikendalikan sepenuhnya oleh sutradara baru, yang
agaknya memang telah merencanakan perubahan skenario itu.
Siapakah sutradara baru itu? Tidak lain ialah Pangkostrad Mayjen
Soeharto. Paparan berikut ini membuktikan kesimpulan ini.
Pernyataan politik yang dikeluarkan Gerakan 30 September dalam
perkembangannya kemudian menjadi awal munculnya aksi-aksi per-
lawanan untuk menumpas gerakan tersebut. Dalam aksi perlawanan
ini setidaknya muncul dua pola aksi perlawanan. Aksi perlawanan
pertama berupa aksi perlawanan yang bersifat fisik, yakni berupa ge­
rakan penumpasan yang dilakukan oleh kalangan militer di bawah
koordinasi Pangkostrad Mayjen Soeharto. Bersamaan dengan digelar-
nya aksi-aksi penumpasan ini, Soeharto pun kemudian memperke-
nalkan “teorinya” tentang keberadaan PKI sebagai dalang Gerakan 30
September. Pada tahap awal, setidaknya ada dua hal penting yang
dijadikan dasar oleh Soeharto untuk mengembangkan teorinya terse-
but. Pertama, keberadaan Ketua CC PKI D.N. Aidit bersama Letkol
Untung di sekitar Halim Perdanakusumah pada saat aksi penum­
pasan Gerakan 30 September berlangsung. Kedua, keberadaan pusat
gerakan di sekitar Halim Perdanakusumah yang diindikasikan oleh
Soeharto dijadikan tempat latihan para sukarelawan yang berasal
dari Pemuda Rakyat dan Gerwani.
www.facebook.com/indonesiapustaka

I su keterlibatan PKI sebagai aktor utama Gerakan 30 September


yang dikembangkan Soeharto ternyata mampu menumbuhkan sim-
pati dan dukungan kuat masyarakat terhadap gerakan penumpasan
289

01-TA-16x24-terakir.indd 289 1/30/2012 9:39:22 PM


Nina Herlina

yang dipimpin Soeharto. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila


dalam waktu relatif singkat, gerakan penumpasan oleh Soeharto ini
segera diikuti oleh aksi-aksi demonstrasi yang mengutuk keberadaan
PKI. Bahkan, lewat pernyataannya yang sangat berani, hampir ber-
samaan dengan saat berlangsungnya upacara pemakaman para jen-
deral korban penculikan pada tanggal 5 Oktober 1965, NU menge-
luarkan tuntutan tentang pembubaran PKI. Tuntutan pembubaran
PKI ini kemudian disuarakan lebih tegas lagi oleh Kesatuan Aksi
Pengganyangan Gerakan 30 September (KAP-Gestapu) dalam rapat
umum keduanya pada tanggal 8 Oktober 1965. Lebih dari itu, KAP-
Gestapu juga menuntut pula pembersihan kabinet, parlemen, MPRS,
dan semua lembaga-lembaga negara dari unsur-unsur komunis dan
simpatisannya.
Keberadaan Sukarno yang sebelumnya seperti mustahil untuk
digoyang, secara perlahan tapi pasti menghadapi tantangan-tan-
tangan yang cukup berat. Peta politik nasional yang semula terpo-
larisasi dalam tiga kekuatan besar, yakni Sukarno, PKI, dan militer
(TNI-AD), pasca pecahnya G30S berubah menjadi bipolar, dengan
menempatkan Sukarno dan militer sebagai pemain-pemain utama.
Dalam kondisi demikian, Sukarno yang semula lebih berperan se-
bagai wasit, suka atau tidak suka, secara terpaksa harus mengubah
perannya menjadi pemain. Ia tidak lagi memiliki banyak kesempat­
an untuk bisa memanfaatkan “bola muntah” dalam konflik politik
antara PKI dan militer. Di sisi lain, keberhasilan militer mendepak
PKI dari percaturan politik di tanah air pasca Gerakan 30 September,
pada akhirnya memaksa militer untuk langsung berhadapan dengan
Sukarno. Militer yang semula “hanya” berkeinginan menghancurkan
bahaya komunisme serta menggagalkan PKI menjadi partai berkuasa,
mengingat perkembangan situasi, kemudian menempatkan Sukarno
sebagai sasaran bidikan selanjutnya. Namun demikian, upaya mili-
ter menjadikan Sukarno sebagai target selanjutnya tidaklah mudah
www.facebook.com/indonesiapustaka

untuk dilaksanakan. Di kalangan militer bisa dikatakan masih terjadi

Nina H. Lubis, Sejarah Tatar Sunda, Bandung: Satya Historica, 2003.




290

01-TA-16x24-terakir.indd 290 1/30/2012 9:39:22 PM


PRESIDEN SUKARNO DALAM KRISIS G30S

friksi yang kuat antara mereka yang pro dan anti Sukarno. Dikotomi
militer dalam kelompok pro dan anti Sukarno bisa dipetakan de­ngan
berdasarkan pada trikotomi kekuatan politik anti komunis sebagaima-
na digambarkan Ulf Sundhaussen. Kelompok pertama adalah kelom-
pok militer yang bersikap kritis terhadap Sukarno hanya sepanjang
Sukarno belum memperlihatkan sikap tegas dalam menindak PKI.
Kelompok ini di antaranya mencakup Angkatan Laut, Angkatan
Kepolisian, dan sebagian besar perwira dari Divisi Brawijaya dan
Diponegoro. Kedua, kelompok militer yang di samping menuntut si-
kap tegas Sukarno dalam menindak PKI, juga menginginkan adanya
pembersihan total terhadap kekuatan-kekuatan komunis yang masih
berada di pemerintahan, termasuk pembersihan kabinet dari para
koruptor, pembatasan kekuasaan presiden untuk menghindarkan ke-
sewenang-wenangan Presiden dalam membuat keputusan, serta peng­
hentian konfrontasi dengan Malaysia. Kelompok Pembaru Moderat
ini dipimpin oleh Soeharto dan Nasution. Kelompok ketiga, merupa­
kan kelompok yang menginginkan adanya perubahan tatanan politik
lama secara total serta tidak lagi memberi tempat bagi Sukarno. Kaum
radikal dalam tubuh militer ini di antaranya terdiri dari para perwira
dan para veteran yang condong kepada Partai Sosialis Indonesia (PSI),
seperti Daan Jahja, Suwarto, Kemal Idris, H.R. Dharsono, Soemitro,
dan Sarwo Edhie Wibowo. Ketiga kelompok kekuatan anti komunis
ini dalam perkembangannya kemudian dapat dikatakan mengkristal
menjadi dua kekuatan besar, yakni kekuatan pro Sukarno, yang di-
representasikan oleh militer kelompok pertama, serta kekuatan anti
Sukarno, yang direpresentasikan oleh militer dari kelompok kedua
dan kelompok ketiga.
riksi yang terjadi di tubuh militer dalam menghadapi kekuasaan
F
Sukarno tampaknya tidak menjadi halangan bagi kelompok mili-
ter anti Sukarno untuk melanjutkan manuver-manuver politiknya.
Dalam situasi seperti ini, terjadilah adu strategi di antara pihak-pihak
www.facebook.com/indonesiapustaka

yang berkonflik. Keberadaan G30S yang pada akhirnya menempat-


Ulf Sundhaussen; Road to Power: Indonesia Military Politics 1945-1967; Jakarta, LP3ES,


1986, hlm. 390-393.

291

01-TA-16x24-terakir.indd 291 1/30/2012 9:39:22 PM


Nina Herlina

kan PKI sebagai pihak yang dianggap paling bertanggung jawab serta
ketidaktegasan Sukarno dalam menyikapi peran PKI pada peristiwa
G30S, secara konsisten dan intens digunakan kelompok militer anti
Sukarno untuk memperoleh simpati rakyat, sekaligus menjadikan
rakyat agar antipati terhadap Sukarno. Masyarakat Indonesia yang
terkenal religius dan anti komunis diformat sedemikian rupa agar
sampai pada suatu anggapan bahwa Sukarno ternyata lebih memihak
PKI daripada membela keinginan rakyat.
paya kelompok militer anti Sukarno mengoptimalkan isu-isu di
U
seputar G30S bisa dikatakan mencapai hasil yang baik. Hal ini ter-
bukti dengan munculnya dukungan dari berbagai elemen masyara-
kat, khususnya mahasiswa, tokoh-tokoh agama, dan ormas Islam.
Akibatnya, aksi-aksi demonstrasi anti Sukarno merebak di Jakarta dan
di beberapa daerah di luar ibu kota. Dalam situasi seperti itu, dapat
diduga, militer yang memiliki kepentingan dengan adanya aksi-aksi
demonstrasi anti Sukarno, berupaya memayungi aksi-aksi tersebut.
Kalangan mahasiswa dan ormas-ormas Islam yang sejak awal ba­nyak
yang kurang simpati dengan kebijakan-kebijakan politik dan ekono-
mi Sukarno, dengan adanya payung dari militer, menjadi semakin
le­luasa untuk mengadakan aksi-aksinya.
emasuki awal bulan Maret 1966, berbagai aksi demonstrasi
M
dalam skala besar digelar oleh kesatuan-kesatuan aksi (KAPPI-KAMI).
Aksi demonstrasi pada awal Maret ini bahkan meluas sampai ke dae-
rah-daerah lain di luar ibu kota negara. Namun demikian, berbeda de­
ngan aksi-aksi demonstrasi sebelumnya, aksi-aksi demonstrasi KAPPI
dan KAMI kali ini ditandai oleh adanya bentrokan fisik dengan para
demonstran yang mendukung Presiden Sukarno. Adanya aksi demon-
strasi tandingan dari pendukung Presiden Sukarno dimungkinkan
karena kepiawaian Presiden Sukarno dalam menghidupkan kembali
semangat para pendukungnya untuk melawan aksi-aksi yang dinilai
www.facebook.com/indonesiapustaka

kontra revolusioner. Inti kekuatan dari massa demonstran pendukung


Sukarno adalah Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan
pemuda-pemuda PNI.

292

01-TA-16x24-terakir.indd 292 1/30/2012 9:39:22 PM


PRESIDEN SUKARNO DALAM KRISIS G30S

i tengah situasi politik yang semakin tidak menentu, Presiden


D
Sukarno kemudian merencanakan mengadakan tiga buah pertemuan.
Pertama, pertemuan dengan para pimpinan organisasi dan partai poli-
tik pada tanggal 10 Maret 1966. Kedua, pertemuan dengan para ang-
gota kabinet tanggal 11 Maret 1966. Ketiga, pertemuan dengan para
pimpinan angkatan bersenjata beserta para panglima daerah militer
seluruh Indonesia tanggal 12 Maret 1966. Dari ketiga rencana perte-
muan tersebut, pertemuan dengan para pimpinan angkatan bersen-
jata dan para panglima daerah militer akhirnya gagal dilaksanakan.
alam pertemuan tanggal 10 Maret 1966, Sukarno terkesan berha-
D
sil memengaruhi para pimpinan organisasi dan partai politik untuk
mendukung kebijaksanaannya, dalam menghadapi aksi-aksi demon-
strasi KAPPI-KAMI. Hal ini terbukti dari adanya pernyataan bersa-
ma pemimpin organisasi dan partai politik yang mengutuk aksi-aksi
demonstrasi tersebut. Namun demikian, kesan itu segera termentah-
kan, ketika keesokan harinya hampir semua partai politik, di luar
PNI dan Partindo, mencabut kembali dukungan mereka terhadap per-
nyataan itu.
Sementara itu, sejak terjadinya peristiwa Gerakan 30 September
1965, terjadi perbedaan pendapat antara Presiden Sukarno dengan
Jenderal Soeharto yang menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan
Darat. Perbedaan pendapat berfokus pada cara untuk mengatasi krisis
nasional yang semakin memuncak setelah terjadinya G30S tersebut.
Soeharto berpendapat bahwa pergolakan rakyat tidak akan reda se-
lama PKI tidak dibubarkan. Sementara itu, Sukarno menyatakan bah-
wa ia tidak mungkin membubarkan PKI karena hal itu bertentangan
dengan doktrin Nasakom yang telah dicanangkan ke seluruh dunia.
Perbedaan pendapat ini selalu muncul dalam pertemuan-pertemuan
berikutnya di antara keduanya. Soeharto kemudian menyediakan diri
untuk membubarkan PKI, asal mendapat kebebasan bertindak dari
www.facebook.com/indonesiapustaka

Presiden.

Angkatan Bersenjata, 12 Maret 1966




293

01-TA-16x24-terakir.indd 293 1/30/2012 9:39:22 PM


Nina Herlina

Pada tanggal 11 Maret 1966, Kabinet yang dijuluki “Kabinet 100


Menteri”, karena jumlah menterinya mencapai 102 orang, mengada-
kan sidang paripurna untuk mencari jalan ke luar dari krisis. Sidang
diboikot, para mahasiswa melakukan pengempesan ban-ban mobil
di jalan-jalan menuju ke istana. Ketika Presiden berpidato, Brigjen
Sabur, Komandan Cakrabirawa (Pengawal Presiden) memberitahu-
kan bahwa istana sudah dikepung pasukan tak dikenal. Meskipun
ada jaminan dari Pangdam Jaya, Brigjen Amir Mahmud, bahwa ke-
adaan tetap aman, Presiden Sukarno tetap merasa khawatir, ia pergi
de­ngan helikopter ke Istana Bogor bersama Wakil Perdana Menteri
Dr. Subandrio dan Dr. Chairul Saleh. Setelah itu, tiga perwira tinggi
AD, Mayjen Basuki Rahmat (Menteri Urusan Veteran), Brigjen M.
Yusuf (Menteri Perindustrian), dan Brigjen Amir Machmud, dengan
seizin atasannya yaitu Jenderal Soeharto yang menjabat Menpangad
merangkap Pangkopkamtib, pergi menemui Presiden Sukarno di
Bogor. Di sana ketiganya mengadakan pembicaraan dengan Presiden
dengan didampingi ketiga Waperdam, yaitu Dr. Subandrio, Dr. Chairul
Saleh, dan Dr. J. Leimena. Pembicaraan yang berlangsung berjam-jam
itu berkisar seputar cara-cara yang tepat untuk mengatasi keadaan
dan memulihkan kewibawaan Presiden. Akhirnya Presiden Sukarno
memutuskan untuk membuat surat perintah yang ditujukan kepada
Jenderal Soeharto, yang intinya adalah memberi wewenang kepada
Jenderal Soeharto untuk: mengamankan dan memulihkan keamanan
negara, menjaga ajaran Bung Karno, menjaga keamanan Presiden, dan
melaporkan kepada Presiden. Jadi, Soeharto diberi kewenangan un-
tuk mengambil semua tindakan yang perlu guna mengatasi keadaan
dan memulihkan kewibawaan presiden. Teks surat dirumuskan oleh
ketiga Wakil Perdana Menteri bersama ketiga perwira tinggi AD yang
disebut di atas, ditambah dengan Brigjen Sabur sebagai sekretaris.
Surat itu kemudian ditandatangani oleh Presiden. Serah terima secara
resmi Surat Perintah 11 Maret 1966 dari ketiga perwira tinggi TNI-AD
www.facebook.com/indonesiapustaka

kepada Soeharto dilaksanakan pada tanggal 11 Maret itu juga, seki-


tar pukul 21.00 WIB, bertempat di markas Kostrad. Surat inilah yang
dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)

294

01-TA-16x24-terakir.indd 294 1/30/2012 9:39:22 PM


PRESIDEN SUKARNO DALAM KRISIS G30S

Lepas tengah malam tanggal 11 Maret 1966, Jenderal Soeharto


membubarkan PKI dengan dasar hukum surat perintah tersebut.
PKI beserta ormas-ormasnya dilarang di seluruh Indonesia terhitung
sejak 12 Maret 1966. Seminggu kemudian 15 menteri yang dinilai
terlibat dalam G30S ditahan. Dengan demikian, dua dari Tritura,
sudah dilaksanakan. Popularitas Soeharto pun meningkat. Ternyata
setelah Supersemar dilaksanakan, kewibawaan Presiden Sukarno
tidak pulih. Antara tahun 1966-1967 terjadi dualisme kepemimpin­
an nasional, yaitu Sukarno sebagai Presiden, dan Soeharto sebagai
Pengemban Supersemar yang dikukuhkan dalam Ketetapan MPRS
noIX/MPRS/66. Soeharto kemudian ditugaskan membentuk Kabinet
Ampera yang dibebani tugas pokok: memulihkan perekonomian dan
menstabilkan kondisi politik. Konflik kepemimpinan tampaknya ber­
akhir setelah tanggal 20 Februari 1967, ketika Presiden Sukarno me-
nyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Jenderal Soeharto selaku
Pengemban Tap No. IX/MPRS/66.
Pasca pembubaran PKI, Soeharto kemudian berupaya menata lang-
kah-langkah lain yang memungkinkan tercapainya secara optimal
“pasal-pasal” Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) serta tugas yang terkan-
dung dalam Supersemar. Untuk itu, Soeharto kemudian melakukan
aksi pembersihan terhadap orang-orang yang selama ini diduga terli-
bat atau mendukung G30S PKI, khususnya mereka yang ada di dalam
birokrasi pemerintahan, baik sipil maupun militer. Dalam rangka
pembersihan terhadap anggota-anggota kabinet, Soeharto setidaknya
melakukan penahanan terhadap 15 orang menteri. Sebagai pengganti
para menteri yang ditahan, dalam waktu yang bersamaan, Soeharto
menunjuk menteri-menteri koordinator dan menteri ad interim un-
tuk mengisi lowongan dalam kabinet.
idak berapa lama setelah aksi pembersihan di atas, dibentuk-
T
lah Kabinet Dwikora yang lebih disempurnakan lagi. Dalam kompo-
www.facebook.com/indonesiapustaka

sisi kabinet baru tersebut bisa dikatakan hampir tidak ada seorang
menteri pun yang dapat diandalkan Sukarno untuk melaksanakan

295

01-TA-16x24-terakir.indd 295 1/30/2012 9:39:22 PM


Nina Herlina

kebijaksanaannya. Sama halnya dengan kabinet, birokrasi militer


pun tidak luput dari penataan Soeharto. Di samping membubarkan
Pasukan Cakrabirawa sejak tanggal 28 Maret 1966 dan mengganti-
kannya dengan Polisi Militer, penataan lain yang dilakukan Soeharto
adalah mengganti beberapa perwira tinggi yang dipandang masih ber-
sikap mendua dalam mengantisipasi perubahan politik yang tengah
terjadi. Di antara perwira tinggi yang akhirnya tergeser dari keduduk­
annya adalah Pangdam Siliwangi Ibrahim Adjie, yang digantikan
Mayjen H.R. Dharsono sejak 20 Juli 1966, serta Pangdam Diponegoro
Surjosumpeno yang digantikan Mayjen Surono. Di luar itu, angkat­
an udara juga harus menerima calon yang diajukan Soeharto, yakni
Roesmin Nurjadin, sebagai panglimanya yang baru.10
i samping penataan di dalam tubuh eksekutif, Soeharto pun
D
melakukan penataan di dalam tubuh legislatif. Dari hasil pena-
taan terhadap lembaga legislatif, di samping berhasil menempat-
kan A.H. Nasution sebagai Ketua MPRS sejak tanggal 20 Juni 1966,
Soeharto pun kemudian memperoleh dukungan politik yang sangat
berarti. Setidaknya ada empat buah ketetapan MPRS yang secara
langsung menguntungkan kedudukan Soeharto. Pertama, Ketetapan
MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang Surat Perintah Presiden/Panglima
Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar
Revolusi/Mandataris MPRS RI. Kedua, Ketetapan MPRS No. XIII/
MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera. Ketiga, Ketetapan MPRS No.
XV//MPRS/1966 tentang Pemilihan/Penunjukkan Wakil Presiden dan
Tata Cara Pengangkatan Pejabat Presiden. Keempat, Ketetapan MPRS
No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia,
Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara
RI bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan
Untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme.
www.facebook.com/indonesiapustaka


Ulf Sundhaussen, op cit, hlm. 410.
Ibid., hlm. 412-413
10

296

01-TA-16x24-terakir.indd 296 1/30/2012 9:39:22 PM


PRESIDEN SUKARNO DALAM KRISIS G30S

Simpulan
Dengan memperhatikan latar belakang sosio-politik dalam kehidup­
an Presiden Sukarno, jelas bahwa Sukarno menganggap komunis ha-
rus bisa hidup berdampingan dengan golongan lainnya seperti ter-
cermin dari ideologi Nasakom. Pemikiran-pemikirannya tentang hal
itu selalu dihidupkan dalam berbagai cara dan di berbagai kesempat­
an. Ketika terjadi konflik antar golongan yang mengakibatkan ter-
jadinya krisis, maka Presiden Sukarno merasa harus memilih jalan-
nya sendiri. Jelas bahwa ia ikut terlibat dalam perencanaan G30S,
namun pada akhirnya skenario diambil alih oleh Soeharto yang telah
merencanakan untuk mengakhiri kekuasaan Presiden Sukarno, seba­
gaimana terlihat dari langkah-langkah pasti yang dilakukannya me-
lalui Supersemar. Bahwa ada pihak lain yang terlibat (CIA) tidak bisa
dipungkiri, ikut andil dalam melapangkan jalan terjadinya suksesi
kepemimpinan nasional di negeri ini.

Daftar Pustaka
Anderson, Benedict R. O’ G dan Mc Vey, Ruth. 1971/2001. Kudeta 1 Oktober
1965; Sebuah Analisis Awal (terj.). Yogyakarta: LKPSM/Syarikat
Challis, Roland. 2001. Shadow of a Revolution. Thrupp: Sutton Publishing.
Elson, R. E. 2001. Soeharto: A Political Biography. Cambridge: Cambridge
University Press
Giebels, Lambert. 2001. Sukarno: Biografi 1901-1950. Jakarta: Grasindo.
K.H., Ramadhan. 1981. Kuantar ke Gerbang. Jakarta: Sinar Harapan.
Latief, Abdul. 2000. Pleidooi Kolonel A. Latief. Soeharto Terlibat G30S.
Jakarta: ISAI
Legge, John D. 1985. Sukarno Sebuah Biografi Politik. Jakarta: Sinar
Harapan.
Lubis, Nina H. ed. 2003. Sejarah Tatar Sunda. Bandung: Satya Historika
----------. 2001. Mitos di Sekitar Kelahiran Bung Karno. Makalah. Bandung
www.facebook.com/indonesiapustaka

----------. 2002. Indonesia Menggugat. Makalah. Bandung


Robinson, Geoffrey. 1995. The Dark Side of Paradise: Political Violence in
Bali. Ithaca and London: Cornell University Press.

297

01-TA-16x24-terakir.indd 297 1/30/2012 9:39:22 PM


Nina Herlina

Roeder, O.G. t.t. Anak Desa; Biografi Presiden Soeharto. Jakarta: Gunung
Agung
Scott, Peter Dale. 1985. “Amerika Serikat dan Penggulingan Sukarno”.
Makalah.
Soerojo, Soegiarso. 1988. Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai. (G30S
PKI dan Peran Bung Karno). Jakarta.
Sulistyo, Hermawan. 2000. Palu Arit di Ladang Tebu. Jakarta: KPG.
Sundhaussen, Ulf. 1986. Road to Power: Indonesian Military Politics 1945-
1967; Jakarta: LP3ES.
www.facebook.com/indonesiapustaka

298

01-TA-16x24-terakir.indd 298 1/30/2012 9:39:22 PM


BAB VII
MUNGKINKAH BUNG KARNO
TERLIBAT?

Aminuddin Kasdi

Bung Karno: Sikapnya terhadap Peristiwa Madiun 1948


Bagaimana sikap Bung Karno pada tahun 1948 tatkala terjadi peristi-
wa Madiun? Ia dengan lantang menyatakan kepada bangsa Indonesia:
”Silahkan pilih Sukarno-Hatta atau Moeso dengan PKI-nya yang
akan membawa bangkrutnya RI”. Tetapi, mengapa setelah Pemilu I
tahun 1955 pikirannya mulai berubah, bahkan justru kemudian
menjadi pelindung/pembela PKI, atau paling tidak memberi peluang
kepada partai itu mencapai cita-cita politiknya, yaitu terbentuknya
masyarakat dan negara komunis di Indonesia. Namun, bila dilihat
agak jauh ke belakang, yaitu pada tahun 1920-an, sesungguhnya ce-
tak biru (blueprint) warna ideologi yang menjadi obsesi Bung Karno
telah nampak pada tulisannya berjudul “Nasionalisme, Islamisme
dan Marxisme di Indonesia”.
ada 21 Februari 1957 Bung Karno menyampaikan Konsepsi
P
Presiden, yang menyarankan mengganti sistem pemerintahan yang
ada, dengan sistem yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia, yaitu
www.facebook.com/indonesiapustaka

gotong royong. Bung Karno kemudian mendesak supaya dibentuk


suatu Kabinet Gotong-Royong yang diibaratkan sebagai “alle kinderen
aan een eet tafel en aan een werktafel” (semua anak makan bersama

299

01-TA-16x24-terakir.indd 299 1/30/2012 9:39:23 PM


Aminuddin Kasdi

semeja dan bekerja sama semeja). Yang dimaksud Bung Karno adalah
agar PKI yang pada Pemilu tahun 1955 keluar sebagai salah satu par-
tai pemenang diikutsertakan dalam pemerintahan. Partai-partai poli-
tik diberi waktu seminggu untuk memberikan jawaban.
artai politik yang menyetujui adalah PKI, Murba, PNI, PRN,
P
Baperki, dan Persatuan Pegawai Polisi Negara. Masyumi dan Partai
Katolik menolak, sedang NU, PSII, Parkindo, IPKI, dan PSI menolak
secara halus. Bung Karno mengancam akan membubarkan partai-par-
tai karena dianggapnya sebagai biang keladi ketidakstabilan. Namun,
tatkala pimpinan partai besar seperti PNI menyatakan ketidak-se-
tujuannya atas ancaman Presiden itu, Bung Karno menghindar dan
menyatakan saran agar partai-partai disederhanakan. Sementara itu
terjadi perkembangan yang cepat di beberapa daerah, Letkol Ventje
Sumual, Panglima TT Indonesia Timur, dalam pertemuan antara TT
Sumatra Barat, TT Sriwijaya dan TT Indonesia Timur di Palembang,
mengumumkan Piagam Perjuangan Semesta (Permesta) yang in-
tinya menuntut pemulihan Dwi Tunggal Sukarno-Hatta, otonomi
daerah, penggantian pimpinan AD, dan pelarangan komunisme di
Indonesia.
ada September 1957 diselenggarakan Munas yang mengha-
P
silkan super team, terdiri dari Sukarno, Hatta, dan Sri Sultan
Hamengkubuwana IX, untuk membuat terapi dan diagnosis guna
mengatasi keadaan. Dalam hal ini Bung Karno telah melihat Hatta
sebagai representasi kekuatan tiga daerah yang anti komunis. Oleh
karena hal ini bertolak belakang dengan konsepsi yang telah dikemu-
kakannya, Bung Karno kemudian menolak kembalinya Dwi Tunggal
dengan Hatta, ia bersikeras melaksanakan konsepsinya dengan
konsekuen.
ikap Bung Karno terhadap persoalan Dwi Tunggal dan ketegasan-
S
nya untuk mewujudkan konsepsi yang ia ajukan, khususnya dalam
www.facebook.com/indonesiapustaka

mengakomodasi kekuatan dan paham komunis dalam pemerintahan,

Dalam Konsepsi Presiden itu antara lain akan dibentuk Dewan Nasional, kedudukannya


sederajat dengan Kabinet Gotong Royong. Dewan Nasional bertugas memberikan nasihat
kepada Presiden baik diminta ataupun tidak diminta.

300

01-TA-16x24-terakir.indd 300 1/30/2012 9:39:23 PM


MUNGKINKAH BUNG KARNO TERLIBAT?

menyebabkan kelompok Palembang yang secara tegas menolak pa-


ham komunis, karena dianggap sebagai anti Tuhan, anti kebangsaan,
dan anti Pancasila, memperluas jaringan anti komunis dan memper-
siapkan Pemerintahan Pusat Darurat RI di Padang. Pada 15 Februari
1958 PRRI diproklamasikan yang dihadiri oleh Kol. Dahlan Djambek,
Letkol. Achmad Husein, Kol. Simbolon, Mr. Burhanuddin Harahap,
dan Mr. Sjafrudin Prawiranegara (dua terakhir dari Masyumi).
Gerakan Permesta dan PRRI secara resmi dinyatakan sebagai gerak­
an separatis, karena harus dihancurkan. Pihak PRRI dan Permesta
kemudian mendapat dukungan Amerika Serikat, terutama dari ke-
kuatan Armada VII. Keterlibatan Allan Pope membuktikan hal ter-
sebut. Akan tetapi kekuatan counter yang dilakukan oleh PRRI dan
Permesta gagal. Dengan momentum tersebut Sukarno semakin yakin
akan kebenaran gagasannya seperti tercermin dalan konsepsi yang te-
lah diajukan. Dalam perkembangannya setelah tahun 1960 terjadilah
perubahan sangat cepat.

Bung Karno di Tahun 1960-an


Dalam Seminar AD 3 April 1965 Presiden Sukarno menyatakan agar
Angkatan Bersenjata (AB) menyadari bahwa bahaya komunis tidak
ada. Dalam amanatnya di hadapan 4 panglima AB dan perwira-per-
wira peserta Seminar AD 3 April 1965 dinyatakannya “Musuh-musuh
kita yang sebenarnya dan kekuatan-kekuatan yang memusuhi kita ti-
dak lagi datang dari Utara, yaitu RRC atau Uni Soviet, tetapi jelas
Nekolim. Menurut Bung Karno sewaktu masih menyeleweng, ABRI
mengadopsi kebijakan pertahanan yang salah, yang tidak cocok
dengan revolusi Indonesia yang asli, tetapi cocok dengan revolusi
yang nyeleweng, tetapi kemudian RI, berhasil membanting stir,
namun ABRI belum sepenuhnya membanting stir”. Pada Januari
1965 Menlu Subandrio menjalankan muhibah ke Peking. Chou En
www.facebook.com/indonesiapustaka

Lai dengan lihainya menawarkan bantuan 100.000 pucuk senjata


ringan, untuk mempersenjatai buruh dan tani agar semua tenaga re-

Soegiarso Soerojo, Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai,Jakarta, 1988, hlm. 214.


301

01-TA-16x24-terakir.indd 301 1/30/2012 9:39:23 PM


Aminuddin Kasdi

volusioner dapat digerakkan mengganyang Malaysia. RRC juga me-


nyatakan akan memberi kredit 150 juta dolar. Oleh Ahmad Ponsen,
kredit RRC itu sesuai dengan prinsip berdikari.
ada bulan April 1965, seorang anggota Angkatan Kepolisian RI
P
yang bertugas di Boyolali, Jawa Tengah, berhasil menyusup ke dalam
organisasi PKI dan mencatat isyarat-isyarat gerakan berbahaya PKI.
Tanggal 13 April 1965 ia mengikuti rapat gelap di rumah Josoprawiro
(PKI) Kecamatan Mojosongo. Rapat diadakan tengah malam, diikuti
oleh 12 orang gembong PKI Jawa Tengah. Yang dibicarakan adalah
instruksi CC PKI kepada anggota-anggota seluruh Indonesia agar me-
lancarkan kampanye serentak saat Presiden mengumumkan perang
dengan Malaysia. Pada saat gawat ini nanti, ketika seluruh AB sedang
berperang melawan musuh, PKI akan melancarkan aksi dari dalam.
Di samping itu seluruh anggota PKI diinstruksikan melakukan aksi
pemecatan dan kekacauan di segala bidang. Laporan ini diteruskan
ke atas, tetapi tidak lengkap, takut disemprot sebagai “komunisto
phobi”.
ejadian-kejadian berskala nasional juga muncul pada awal 1965,
K
di antaranya peristiwa berbagai pengroyokan di Banyuwangi, Besuki,
Jombang, Kediri, Sidoarjo, Tanggul, Kanigoro, Mantingan (Ngawi), dan
di beberapa tempat lainnya. Klimaksnya di Bandar Betsy, Sumatra
Utara, pada tanggal 15 Mei 1965. Dalam kasus itu, Pelda Sudjono
dikeroyok ramai-ramai oleh BTI dan kepalanya dipenggal dengan pa-
cul. Apa tindakan Bung Karno terhadap persoalan itu?
Pada tanggal 23 Mei 1965, PKI merayakan HUT ke-45 secara besar-
besaran. Tamu-tamu dari luar negeri berdatangan, seperti dari RRC,
Albania, Korea, Vietnam, dan PKUS. Jakarta dipenuhi poster-poster
raksasa, spanduk-spanduk, patung tokoh-tokoh komunis. Gambar
Presiden Sukarno dipajang sama besarnya dengan DN Aidit, Lenin,
dan Karl Marx di beberapa jalan utama Jakarta. Dalam resepsi HUT
www.facebook.com/indonesiapustaka

PKI ke-45 bulan Mei 1965, Bung Karno dengan wajah berseri-seri

Ibid., hlm. 215.

Ibid., hlm. 219.

Harian Rakjat, tanggal 24 Mei 1965.

302

01-TA-16x24-terakir.indd 302 1/30/2012 9:39:23 PM


MUNGKINKAH BUNG KARNO TERLIBAT?

berpakaian kebesaran dengan semua bintang menghiasi di dadanya,


tampil di depan massa mendapat sambutan gegap-gempita. Di sinilah
keluar ucapan Bung Karno yang terkenal, ditujukan kepada PKI, “Ora
sanak, ora kadang, yen mati aku melu kelangan” (bukan saudara, bu-
kan keluarga, kalau mati saya ikut kehilangan).

Bung Karno dan Dewan Jenderal


Awal bulan Mei 1965 istilah Dewan Jenderal tampaknya belum mun-
cul, karena D.N. Aidit dalam rapat Politbiro masih menggunakan is-
tilah Kapitalis Birokrat. Saat itu Aidit melemparkan tuduhan, meski-
pun tanpa bukti, bahwa kaum Kapitalis Birokrat (Kabir) sedang
mempersiapkan suatu kudeta. Seminggu kemudian Pelda Sujono se-
orang perwira pertama TNI AD yang di cap PKI dari kalangan
“Kabir”, tewas oleh orang-orang PKI /BTI di Perkebunan Negara
Bandar Betsy, Sumatra Utara. Peristiwa ini menjadikan sikap TNI
AD makin keras terhadap PKI. Pertentangan antara TNI AD dan PKI
makin tajam. Dalam suasana suhu politik yang terus memanas, PKI
menemukan ide bahwa suatu badan di lingkungan TNI AD yang
dianggap cocok untuk sebuah lembaga, dapat digunakan sebagai
kambing hitam. Badan itu ialah suatu dewan dari sejumlah jenderal
yang diberi tugas memberikan penilaian pada promosi dari Kolonel
ke Jenderal. Oleh komunitas di lingkungan TNI AD, badan itu kemu-
dian dinamakan “dewan jenderal”. Badan ini juga terdapat pada
Angkatan lain, misalnya di TNI AU. Masalah keberadaan dewan
jenderal ini kemudian mendapatkan legitimasi dengan adanya
Dokumen Gilchrist, karena di dalamnya terdapat kata-kata “our local
army friends”. Berdasarkan dokumen itu isu kebenaran adanya
“Dewan Jenderal” dikonfirmasikan oleh Presiden kepada Men/Pangad
A. Yani sekitar 27 Mei 1965. Isu tentang Dewan Jenderal itu dibantah
keberadaannya oleh Pangad. Jenderal A. Yani, yang menyatakan bah-
www.facebook.com/indonesiapustaka

Soegiarso Soerojo, op.cit., hlm. 217.




Kesaksian Suyitno Sukirno (Marsekal Muda TNI AU), Peristiwa G-30 S./PKI di Auri yang


Saya Alami, 1984, Jakarta.

303

01-TA-16x24-terakir.indd 303 1/30/2012 9:39:23 PM


Aminuddin Kasdi

wa yang ada ialah Wanjakati, yaitu yang menilai promosi dari pang-
kat Kolonel menjadi Jenderal. Akan tetapi bola panas “Dewan Jenderal”
telah menggelinding di medan politik Indonesia. Pada 28 Mei 1965,
dalam sebuah rapat para panglima tentara, ia menyatakan telah me-
miliki bukti-bukti bahwa nekolim akan membunuh dia, Subandrio,
dan Yani. Apabila rencana itu gagal nekolim akan menggunakan
“kaki tangan mereka, tentara setempat”.
ubandrio selaku kepala Badan Pusat Intelejen (BPI), seharusnya
S
memeriksa otentisitas Dokumen Gilchrist, tetapi ia hanya memperca-
yakan kepada Kepala Stafnya Brigjen (Pol) Sutarto, yang ternyata tidak
memeriksakan keotentikan dokumen itu melalui tes di Laboratorium
Kriminal Angkatan Kepolisian. Sutarto menyerahkan kembali kepada
Subandrio dan mengatakan bahwa dokumen itu asli. Subandrio ke-
mudian menyatakan bahwa dokumen tersebut otentik, dan tanggal
25 Mei 1965 Subandrio menyerahkannya kepada Bung Karno. Sejak
saat itu Bung Karno sangat dipengaruhi dan percaya akan adanya
Dewan Jenderal yang dianggap bersikap anti Bung Karno. Dan Bung
Karno tampak sering marah-marah terhadap beberapa jenderal AD,
dan sebaliknya ia juga kerap menerima kunjungan beberapa jenderal
lain yang lebih dipercayanya.10
i tengah-tengah situasi polemik tentang masalah penyelesaian
D
revolusi, adanya Dewan Jenderal, konfrontasi mengganyang Malaysia
dan kesulitan ekonomi akibat Indonesia diisolasi oleh dunia interna­
sional, karena keluar dari PBB, DN. Aidit Ketua CC PKI, menuntut
dilaksanakan penasakoman pada semua unsur pemerintahan. Dalam
hal ini Aidit menyatakan bahwa konsep Nasakom yang dicetuskan
oleh Bung Karno pada tahun 1926 itu makin hari makin terbukti ke-
benarannya. Dilihat dari segala segi, bagi rakyat Indonesia tidak ada


Berita Yudha dan Harian Rakjat,29 Mei 1965.

Rosihan Anwar, “G.30 S/PKI, Gilchrist, dan CIA”, dalam Tim Cidesindo, Membuka
www.facebook.com/indonesiapustaka

Lipatan Sejarah: menguak Faakta gerakan PKI, 1999, Jakarta, Pustaka Cidesindo, hlm.
43-48. Dokumen tersebut ternyata disusun oleh intel pada Atase Militer Cekoslowakia
di Jakarta yang kemudian menyeberang ke AS.
10
Bambang S. Widjanarko, The Devious Dalang ; Sukarno and the so-called Untung-putch
Eye-witness report by Bambang S. Widjanarko,The Hague: Interdoc Publishinhg House,
1974, hlm. 10.

304

01-TA-16x24-terakir.indd 304 1/30/2012 9:39:23 PM


MUNGKINKAH BUNG KARNO TERLIBAT?

jalan lain kecuali melaksanakan Nasakom di segala bidang. Alternatif


lain, menurut Aidit ialah perkelahian antara kekuatan-kekuatan yang
hidup di negeri kita.11
i dalam kondisi sosial-ekonomi bangsa Indonesia yang sangat su-
D
lit tersebut, Bung Karno mempertegas pendiriannya bahwa satu-sa-
tunya jalan keluar dari kemelut yang dialami oleh bangsa Indonesia
ialah dengan menerapkan ajaran Karl Marx, peletak dasar paham
komunis. Dalam Kongres PNI tahun 1962, konsep mengembangkan
wacana bahwa Sosialisme Indonesia yang dikampanyekan secara be-
sar-besaran dalam akronim Usdek, tidak lain adalah ajaran Marxisme
yang diterapkan di Indonesia. Kebijakan PNI yang kepengurusannya di
tingkat pusat telah disusupi oleh unsur komunis, yaitu Ir. Surahman,
menyebabkan Bung Karno semakin gandrung dalam menerapkan
kehidupan bangsa dalam rangka menyelesaikan Revolusi Indonesia.
Akibatnya, secara ideologis Bung Karno semakin kekiri-kirian.12
pakah Dokumen Gilchrist yang menghebohkan sejak bulan Mei
A
1965 telah sampai di tangan Bung Karno? Dan bagaimana sikap
Bung Karno hingga bulan September 1965? Di tengah-tengah kega-
mangan terhadap perkembangan politik nasional pada 13 September
1965 dengan tidak diduga-duga Presiden menganugerahkan Bintang
Mahaputra Kelas III kepada DN Aidit, atas contoh kepahlawanan, dan
teladan dalam political leadership.13
ada akhir tahun 1964 dan awal 1965, terjadi konfrontasi anta-
P
ra Malaysia-Indonesia, dan RI keluar dari PBB sebagai jawaban atas
diterimanya Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan
PBB. Kemudian dibentuklah pasukan Sukwan-sukwati dalam rang-
ka menghadapi Malaysia. Sejalan dengan itu, PKI juga menuntut
agar kaum buruh dan kaum tani revolusioner dipersenjatai sebagai
Angkatan V. Angkatan Darat menolak pembentukan Angkatan V dan
juga tidak bersedia memberikan senjata kepada sukwan-sukwati
www.facebook.com/indonesiapustaka

11
Soegiarso Soerojo, op, cit., hlm. 218.
12
John Hughes, The End of Sukarno, A Coup that Misfired: A. Purge that ran wild., Singapore,
Stamford Press Pte Ltd., 2002, hlm. 117.
13
Ibid., hlm. 221.

305

01-TA-16x24-terakir.indd 305 1/30/2012 9:39:23 PM


Aminuddin Kasdi

tersebut karena curiga dengan PKI. Sukarno dalam pidato TAKARI


menuduh bahwa gagasan pembentukan Angkatan V masih ditolak
oleh golongan yang dipengaruhi oleh teks-teks book oldefo. Bung
Karno menegaskan bahwa setiap warganegara berhak dan wajib ikut
serta dalam pembelaan negara menurut pasal 30 UUD 1945.14
ung Karno menyatakan bahwa machtvoorming diperlukan untuk
B
memaksa kaum sana tunduk kepada kita.15 Bertepatan dengan itu PKI
dan Front Marhaen melakukan pengganyangan terhadap SERBUMIT-
GASBIINDO dan DPS KBKI karena dituduh antek BPS.16
alam pidato kenegaraan 17 Agustus 1965, Bung Karno berbicara
D
seperti bukan kehendaknya (Jawa: dudu karepe dewe). Orang-orang
yang pada masa revolusi sangat berjasa namun pada tahap penyele-
saian revolusi tahun 1965 tidak sejalan lagi, pasti akan dilibas. Bung
Karto antara lain menyatakan:

”Mengira dirinya presdir republik, lalu maunya bukan dia berkorban


buat Republik, tapi Republik berkorban untuk dirinya. Orang semacam
ini, parvenu-parvenu charlatan-charlatan, profier-profier, macam ini
ada baiknya kita promovir menjadi penghuni bui Nusakambangan...
Yang kemarin revolusioner, hari ini mungkin menjadi mlempem. Maka
jangan mengagul-agulkan jasa masa lampau... Aku muak, biar engkau
dulu jenderal petak di tahun 1945, tetapi kalau sekarang memecah
persatuan nasional revolusioner. Kalau sekarang mengacaukan Front
Nasional, kalau sekarang memusuhi soko guru revolusi, engkau akan
menjadi tenaga reaksi. Sebaliknya biar engkau dulu bukan apa-apa,
ya biar sekarang bukan apa-apa, tetapi setia kepada revolusi, engkau
tenaga revolusioner....”17

Menurut kesaksian Bambang S. Widjanarko, pada tanggal 30


September 1965 Letkol Untung di Senayan memberikan surat kepada
Bung Karno tentang akan dimulainya gerakan penindakan terhadap
jenderal-jenderal yang dianggap sebagai kelompok Dewan Jenderal.18
www.facebook.com/indonesiapustaka

14
Ibid., hlm. 215.
15
Warta Bhakti, 7 Maret 1965
16
John Hughes, op. cit, 2002
17
Ibid., hlm. 219.
18
Anthonie C.A. Dake, op.cit, hlm. 408.

306

01-TA-16x24-terakir.indd 306 1/30/2012 9:39:23 PM


MUNGKINKAH BUNG KARNO TERLIBAT?

Ia menyatakan bahwa ”ada Pati-pati yang melapor kepada Bung Karno


tentang jenderal-jenderal AD yang tidak loyal. Dalam hal ini Pati-pati
itu menyetujui pengambilan tindakan terhadap Jenderal-jenderal
yang dianggap sebagai Dewan Jenderal itu. Menurut kesaksian terse-
but pada 4 Agustus 1965 Bung Karno memberikan tugas kepada
Untung untuk mengambil tindakan terhadap Dewan Jenderal”.19
Pada 30 Agustus 1965 pemuda-pemuda komunis yang disusup-
kan ke dalam organisasi politik dan organisasi massa mengadakan
demonstrasi besar di Jakarta, menuntut pemutusan hubungan diplo-
matik dengan AS. Mereka mendatangi Kedubes AS dan menyampai-
kan resolusi kepada Dubes Marshall Green yang dituduh membawa
papan-papan nama Partai Murba dan menuntut tunjuk hidung neo-
BPS. Puncak demonstrasi dilakukan pembakaran Kedubes Inggris.
Membakar dan menghancurkan semua milik kedutaan. Pada waktu
demonstrasi ke tempat peristirahatan Bill Palmer di Gunung Mas,
Puncak, kata mereka menemukan Dokumen Rahasia Gilchrist, yang
berisi rencana penggulingan kekuasaan Presiden Sukarno bersama-
sama “our local army friend”.
Menghadapi kerusuhan yang sangat hebat itu pihak berwajib sea-
kan-akan sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Presiden Sukarno seba-
liknya, justru memuji tindakan-tindakan revolusioner para pemuda.
Harian Rakjat, edisi 4 September 1965 memuat tajuk: ”Kaum kon-
tra revolusioner menyebarkan kampanye seakan-akan PKI mau kup.
Sesungguhnya mereka sendirilah yang menyiapkan kup itu.” Orang
justru menafsirkan suara HR sebagai pengungkapan dari rencana PKI
yang sebenarnya, ibarat “maling teriak maling”. Di berbagai pelosok,
pentolan-pentolan PKI dan simpatisannya membakar massa. Munir,
Ketua DN Sobsi di depan sidang ke II, DN Sobsi pada awal September
berpantun.

“ Suwe ora jamu, jamu godong turi,


www.facebook.com/indonesiapustaka

Suwe ora ketemu, ketemu pisan terus aksi”

Bambang Widjanarko, op.cit., hlm. 81-82.


19

307

01-TA-16x24-terakir.indd 307 1/30/2012 9:39:23 PM


Aminuddin Kasdi

Menurut kesaksian Widjanarko, pada tanggal 23 September 1965 te-


lah dilangsungkan pertemuan di Istana Presiden untuk mengambil
keputusan. Pertemuan itu dihadiri antara lain Subandrio, Leimena,
Chairul Saleh, Omar Dhani, Brigjen Sabur, dan Jenderal Mursid.
Kepada presiden, Mursid melaporkan bahwa memang ada Dewan
Jenderal yang tidak loyal kepada kebijaksanaannya. Bung Karno ber-
tanya kepada Sabur bagaimana persiapan dari “perintah”nya. Sabur
menjawab, bahwa ia telah siap, tinggal menunggu perintah rinci
Bung Karno lebih lanjut. Selanjutnya Sukarno memberikan perintah
kepada Sabur untuk membersihkan Dewan Jenderal sesegera mung-
kin.20 Terkait dengan hal tersebut, A.H. Nasution menyatakan adalah
jelas dari pernyataan Leimena kepada Tim Pemeriksa Pusat (Teperpu)
pada tahun 1969. Dalam pemeriksaan itu ia mengatakan bahwa ia
mengetahui bahwa Presiden bermaksud untuk membuang sejumlah
jenderal.21
Adapun yang dibahas oleh Bung Karno dan kawan-kawanya dalam
pertemuan itu menyangkut dua tindakan yang akan diambil. Tindakan
militer akan dipimpin oleh Komandan Pasukan pengawal Presiden
Jenderal Sabur, dengan Untung di garda depan. Adapun aspek politik
yang akan dilakukan oleh PKI di tengah-tengah demam revolusi pada
21 September 1965 atau sembilan hari menjelang G30S/1965, ber-
dasarkan Keppres Nomor 291/1965 tanggal 21 September 1965 secara
resmi membubarkan Partai Murba.

Bung Karno dan Malam Jahanam G30S 1965


Pada 26 September 1965 Brigjen Sugandhi bertemu dengan Bung
Karno di Istana. Saat itu hadir pula Sayuti Melik dan Pak Hardjo,
Kepala Rumah Tangga Presiden Soekarno. Bung Karno bertanya ke-
pada Sayuti, “Kalau menurut pewayangan, Gandhi itu siapa kira-
kira?”. Sayuti Melik, sambil njoged mengatakan, “Kalau saya adalah
www.facebook.com/indonesiapustaka

Kumbokarno. Right or wrong Sukarno”. Kumbokarno adalah raksasa

Anthonie C.A. Dake, op.cit., hlm.405.


20

Ibid.
21

308

01-TA-16x24-terakir.indd 308 1/30/2012 9:39:23 PM


MUNGKINKAH BUNG KARNO TERLIBAT?

berbudi ksatria. Ia sebenarnya mengutuk perbuatan batil Prabu


Rahwana, tetapi tetap setia kepada negaranya. “Kalau Gandhi kira-
kira Wibisono”, sahut Bung Karno.22
anggal 27 September 1965 Brigjen Sugandhi bertemu Sudisman,
T
bekas teman sekolah dahulu di AMS. Sugandhi menanyakan kepada
Sudisman, “Man, ini ada apa kok di kampung-kampung ada persiap­
an dan pembuatan sumur?” Sudisman menjawab: ”Sudahlah jij ikut
kita saja!” Gandhi: ”Ndak bisa Man saya ikut PKI, karena saya punya
agama”. Sudisman: ”Kalau jij ndak mau, memang kamu sudah dice-
koki Nasution”. Sugandhi: ”Bukan soal dicekoki, tapi soalnya adalah
ideologi. Tapi bila jij akan meneruskan rencanamu, pasti kau akan
digilas dan akan habis, Man”. Sudisman: ”Ndak bisa, kita akan pe-
gang inisiatif, siapa yang memulai dan pukul dulu itu yang menang.
Percayalah pada kita, semuanya sudah kita perhitungkan dengan ma-
sak-masak”. Kemudian Brigjen Sugandhi juga bertemu D.N. Aidit, dan
Aidit menanyakan kepadanya: ”Bung, Harianmu masih reaksioner?
Sudah bicara dengan Sudisman? Kita akan mulai sebentar lagi dalam
satu, dua, tiga hari ini. Dan ini semua Bung Karno sudah tahu. Lebih
baik kalau Bung ikut dengan kita.” Sugandhi: ”Sudisman telah bicara
dengan saya, tetapi aku tak mau ikut dengan PKI. Memangnya PKI
mau coup? Saya (ABRI) punya doktrin sendiri, yaitu Saptamarga.”
Aidit: ”Bung, jangan bilang coup. Itu perkataan jahat. PKI akan per-
baiki (istilah yang dipakai ndandani). Revolusi yang dirongrong oleh
Dewan Jenderal. Dua tiga hari lagi kita akan mulai, Bung ikut apa
ndak? Ini semua Bung Karno sudah saya beritahu semuanya”.
iga hari kemudian, yaitu tanggal 30 September 1965 (jamnya
T
tidak disebutkan) Sugandhi menemui Bung Karno. Ia mengatakan,
”Pak, PKI akan coup, Bapak sudah tahu? Saya telah dihubungi sendiri
oleh Sudisman dan Aidit”. Bung Karno menjawab, ”Jangan kau ko-
munisto phobi (dengan nada marah). Kau tahu Dewan Jenderal? Kau
www.facebook.com/indonesiapustaka

tahu jenderal-jenderal brengsek? Kamu hati-hati kalau ngomong!”


Sugandhi: ”Kalau para Jenderal itu memang brengsek, ya dipecat

22
Ibid., hlm. 267.

309

01-TA-16x24-terakir.indd 309 1/30/2012 9:39:23 PM


Aminuddin Kasdi

saja to, Pak, kan wewenang ada di tangan Bapak. Dewan Jenderal itu
ndak ada Pak. Yang ada adalah Wanjakti, yang tugasnya membantu
Men/Pangad untuk peneropongan Kolonel-kolonel yang akan dinaik-
kan jadi Jenderal, jadi bukan untuk tujuan lain”. Bung Karno: ”Wis,
kowe ora usah campur, diam saja kamu. Kowe wis dicekoki Nasution,
ya”. Bung Karno: ”Sudah kamu jangan banyak bicara. Kamu tahu,
dalam Revolusi menurut Thomas Carlyle, seorang Bapak bisa ma-
kan anaknya sendiri. Kamu tahu?” Sugandhi: ”Waduh, kalau begitu
Bapak ini sudah jadi PKI.” Bung Karno: ”Diam kau. Tak tempeleng
pisan kowe mengko. Sudah pulang sana. Yang ngati-ati”.23
Brigjen Sugandhi, kemudian juga menghadap Jenderal A. Yani dan
memberitahu niat PKI. Tetapi Jenderal A. Yani tak percaya. “Mana
mungkin PKI berani melancarkan kup. TNI-AD kompak dan kuat,”
kata A. Yani.24 Pada 27 September 1965 CC PKI menyebarkan instruk-
si ke semua CDB di seluruh Indonesia. Instruksi itu ditandatangani
oleh Sudisman selaku Sekretaris Jenderal CC PKI sebagai berikut:

Comite Central Jakarta, 27 September 1965


Partai Komunis Indonesia
Kramat Raya 81
Jakarta II/4
Kepada Semua CDB
Hal : Petunjuk instruksi-instruksi yang telah diberikan secara lisan.

Bersama ini kami berikan petunjuk instruksi guna pelaksanaan


keputusan CC sesuai dengan yang telah diberikan kepada semua
CDB secara lisan oleh anggota-anggota CC. Instruksi mengenai hal
itu akan segera dilaksanakan bilamana kode-kode yang telah diberi-
kan secara lisan oleh anggota CC disiarkan melalui RRI. Bilamana
www.facebook.com/indonesiapustaka

23
Djenderal Dr. AH Nasution, Menegakkan Keadilan dan Kebenaran (Panji Tertinggi Orde
Baru) II, Djakarta: Seruling Masa, 1967, hlm. 30-32.
24
Soegiarso Soerojo, op.cit., hlm. 266-267.

310

01-TA-16x24-terakir.indd 310 1/30/2012 9:39:24 PM


MUNGKINKAH BUNG KARNO TERLIBAT?

hal tersebut di atas terjadi, kawan-kawan diharapkan pengertiannya,


bahwa apa yang dinamakan Dewan Jenderal yang semua kegiatan-
nya telah diketahui, semuanya telah akan dipatahkan termamsuk
Jenderal Nasution, Yani, Soeharto, Parman, Panjaitan, Suprapto,
Harjono dan Sutojo. Semua kesatuan Angkatan Bersenjata, kecuali
yang ada di bawah kekuasaan kita akan menjadi kacau dan tidak
mempunyai kemampuan untuk melawan. Semua kesatuan yang se-
tia kepada kita akan menguasai istana Merdeka dan RRI untuk meng­
amankan Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno dan memberikan
kesempatan kepada beliau untuk menerangkan kepada rakyat serta
seluruh Angkatan Bersenjata, bahwa revolusi kita telah dapat dise-
lamatkan. Kawan Nyoto akan selalu mendampingi Bung Karno dan
akan bertindak sebagai penghubung, sehingga gerakan menyelamat-
kan revolusi kita dapat diselamatkan. Untuk membuat agar semua
kesatuan Angkatan Bersenjata yang tidak setia kepada kita akan ber­
ada dalam keadaan kacau-balau, maka semua CDB harus melakukan
segera tugas-tugasnya yang ditujukan kepada kesatuan-kesatuan
Angkatan Bersenjata di daerah masing-masing, dan segera setelah
menerima penyiaran kode-kode melalui RRI. Di samping itu kepada
semua CDB diperingatkan, apabila dalam jangka waktu antara 28
September hingga 5 Oktober 1965 telah mempunyai rencana/janji,
maka rencana/janji tersebut harus diundurkan dengan memberikan
alasan yang masuk akal demi untuk menghindarkan kecurigaan dari
pihak-pihak mana pun.
Instruksi ini harus dibaca oleh setiap kawan pimpinan CDB dan
setelah selesai, instruksi ini harus dirobek/dibakar di muka pembawa
surat dari CC ini.

Sekretariat CC PKI
Sekretaris
www.facebook.com/indonesiapustaka

ttd.
(Sudisman)

311

01-TA-16x24-terakir.indd 311 1/30/2012 9:39:24 PM


Aminuddin Kasdi

urat yang dikirim ke Pimpinan CDB di atas menggambarkan si-


S
kap optimis pimpinan G30S 1965. Akan tetapi tampaknya mereka juga
mengantisipasi kondisi seandainya G30S 1965 mengalami kegagalan.
Sudah tentu para pimpinan partai harus mampu menyelamatkan par-
tai dan keamanan para kader dan anggota-anggotanya. Demikian pula
sikap dan tindakan yang perlu diambil oleh pimpinan partai di hadap­
an para pejabat atau kaum “kontra revolusi” demi menyelamatkan
partai. Untuk itu, sehari setelah CC PKI mengirimkan surat kepada
CDB-CDB di seluruh Indonesia, pada 28 September 1965 juga segera
dikirimkan surat ke alamat yang sama sebagai antisipasi seandaianya
terjadi kegagalan, sebagai berikut:

Komite Central Partai Komunis Indonesia


Jk. Kramat Raya 81 Jakarta.

Telp. : O.G. 448227 Jakarta, 28 September 1965


No. : 13/PI/65
Lamp. :- Kepada:
Hal : Petunjuk lanjutan instruksi yang Semua C.D.B.
Telah diberikan secara lisan

awan-kawan kaum tani, pekerja yang heroik militan dan revolusio-


K
ner, dengan ini kami berikan petunjuk lanjutan intsruksi, guna pe-
doman-pedoman realisasi keputusan CC yang telah kita maklumi
bersama. Dalam melaksanakan rencana kita nanti selanjutnya kita
tidak pesimis, karena sudah jelas sudah mempunyai kekuatan dan
sanggup untuk melaksanakan rencana kita sampai darah yang peng-
habisan dan pasti sukses. Namun demikian kita harus memperhi-
tungkan juga garis perjuangan dan rencana kelanjutannya apabila di
www.facebook.com/indonesiapustaka

suatu tempat CDB terpaksa mengalami kegagalan (walaupun secara


pasti tak mungkin gagal). Maka untuk itu bersama ini kami sampai-
kan pedoman sebagai berikut:

312

01-TA-16x24-terakir.indd 312 1/30/2012 9:39:24 PM


MUNGKINKAH BUNG KARNO TERLIBAT?

1. Apabila sesudah 1 Okktober 1965 dan seterusnya di salah satu CDB


mengalami kegagalan akibat hal-hal yang tidak disangka-sangka
sehingga misalnya tidak berdaya sama sekali, maka semua senjata
api yang telah diterima harus segera disingkirkan dan disimpan di
tempat yang jauh tidak terduga sama sekali oleh siapapun secara
terpencar.
2. Di waktu keadaan begitu, dengan pura-pura secara legal bisa
menyatakan membubarkan diri dengan disaksikan oleh instansi
setempat.
3. Kawan-kawan dari luar daerah yang telah direncanakan (bukan
penduduk asli), yang sudah tiba di tempat harus sudah diberi
daftar nama-nama kaum kontra revolusioner beserta petunjuk-pe-
tunjuknya dan tempat senjata apinya yang telah tersimpan diberi
petunjuk yang jelas.
4. Penempatan semua kawan-kawan dari luar daerah supaya di-
tempatkan secara rahasia pada anggota-anggota/simpatisan atau
rumah-rumah Naga.
5. Dalam pembubaran diri di hadapan instansi (jika mungkin) tidak
boleh gentar untuk menandatangani janji-janji/saksi-saksi apapun
yang diinginkan kaum kontra revolusioner, kalau perlu ditandata­
ngani dengan darah guna sekedar untuk mengurangi kecurigaan
mereka.
6. Setelah anggota CDB setempat, dipandang sudah agak tenang, su-
paya semua anggota yang masih ada, menukar tempat tinggalnya
pindah ke daerah lain yang sudah kita ketahui bersama.
7. Petunjuk inti setelah dipahami harus segera dibakar dengan disak-
sikan oleh semua anggota CDB.
8. Rencana jalan terus sampai titik darah penghabisan.

Berani Mati 5 x
C VI A.25
www.facebook.com/indonesiapustaka

Alex Dinuth, Dokumen Terpilih Sekitar Pemberontakan G. 30 S/PKI, Jakara, Lemhanas,


25

1993, hlm. 16-17.

313

01-TA-16x24-terakir.indd 313 1/30/2012 9:39:24 PM


Aminuddin Kasdi

ementara itu, figur yang secara nyata akan menangani dan me-
S
mimpin gerakan militer adalah Brigadir Jenderal Supardjo, yang saat
itu seharusnya berada di pos tugasnya di Kalimantan, yaitu di fron
konfrontasi dengan Malaysia. Atas panggilan Omar Dhani, pada 28
September 1965 Brigjen Supardjo ke Jakarta. Bung Karno mengetahui
Omar Dhani memanggil Supardjo, namun ia akan mengambil kepu-
tusan dan memegang kendali di tangannya sendiri.
Pada 29 September 1965 Supardjo bertemu Bung Karno sehubung­
an dengan rencana pemberian komando kepada pasukan-pasukan
yang ada digaris depan untuk menyerbu Malaysia. Dalam kesempatan
tersebut Supardjo juga melaporkan bahwa ia telah bertemu dengan
para pemimpin PKI dan menyatakan bahwa kelompok Sjam-Untung
telah mengadakan 10 kali pertemuan sejak ia datang ke Jakarta pada
bulan Agustus.26 Ternyata pada malam harinya Supardjo oleh Sjam,
kepala Biro Khusus dari PKI, diperkenalkan dengan para pimpinan
G30S lainnya. Semalam sebelum G30S dilaksanakan.27 Tanggal 28
September 1965 selepas tengah hari Men/Pangau Omar Dhani meng­
hadap Presiden Sukarno di Istana Merdeka, Jakarta. Ketika ia ma-
suk kamar, Bung Karno mengenakan kaos oblong tanpa peci, sedang
mencukur kumis. Men/Pangau melaporkan bahwa para perwira dan
bawahan AD yang tidak puas terhadap pimpinannya, sudah tidak
sabar lagi untuk melakukan gerakan. Bung Karno menjawab bahwa
ia akan mengambil keputusan menyetujui atau menolak langkah itu
pada hari Minggu tanggal 3 Oktober 1965 di Istana Bogor.28
arena sikap Presiden Sukarno itu, kemudian PKI mengambil
K
langkah mendahului, yaitu pasukan-pasukan penculik untuk mem-
bangunkan para jenderal dengan dalih karena dipanggil untuk segera
menghadap Presiden. Anehnya, panggilan menghadap Presiden tang-
gal 1 Oktober 1965 juga dibenarkan oleh para korban dan keluarga­
nya. Jika memang adanya panggilan Presiden kepada para Pimpinan
www.facebook.com/indonesiapustaka

26
Antonie C.A. Dake, op.cit., hlm. 406, berdasarkan Pembelaan Sjam di Mahmillub.
27
Berita Acara Pememriksaan (BAP) Mahmillub Kamarusaman bin Ahmad Mubaidah
(Kepala Biro Khusus CC PKI, dalam G. 30 S., 1965.
28
Aristides Katoppo, dkk., Menyingkap Kabut Hali, 1965, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan,
2000.

314

01-TA-16x24-terakir.indd 314 1/30/2012 9:39:24 PM


MUNGKINKAH BUNG KARNO TERLIBAT?

AD tanggal 1 Oktober 1965 itu benar, berarti ada perubahan menda-


dak rencana pemanggilan itu dari tanggal 3 menjadi 1 Oktober 1965.
Sehubungan dimanipulasinya panggilan Presiden kepada para jende-
ral yang mengetahui Omar Dhani, apalagi ia menyatakan ketidaksabar­
an para perwira progresif untuk segera menindak para Jenderal, dan
dari Istana saat itu, ia bertemu pula dengan Supardjo. Seharusnya
Supardjo berada di posnya Kalimantan, sedangkan saat menghadap
Bung Karno, Omar Dhani berjanji akan memanggilnya. Oleh karena
itu tidak dapat dipungkiri keterlibatan Omar Dhani dalam G30S.
ada tanggal 29 September 1965, Anwar Sanusi di Jambi menga-
P
takan bahwa: “Ibu Pertiwi sudah hamil tua yang akan melahirkan bayi
Nasakom, tetapi sang bidan terlebih dahulu harus membersihkan
setan-setan”.29 Ternyata itu merupakan kode bagi para anggota PKI
untuk siap-siap tunggu tanggal mainnya. Pada waktu itu harga beras
juga naik dengan mencolok. Pihak PKI menuduh bahwa kelangkaan
bahan pangan itu karena ulah tengkulak jahat yang mengacaukan eko-
nomi dengan cara memborong beras yang ada di pasaran.30 Menurut
kesaksian Widjanarko, Bung Karno pada tanggal 29 September 1965
memberikan perintah kepada Jenderal Sabur, Jenderal Sunarjo, dan
Jenderal Sudirgo, untuk mengambil tindakan terhadap para jenderal
dari Dewan Jenderal.
ada tanggal 30 September 1965 Tjugito mendapat katabele-
P
ce (nota) dari Sudisman (Anggota Politbiro CC PKI) yang berbunyi:
“Bung Sukirman! Saudara Tjugito ingin merundingkan kongkretisasi
Bung masuk ke dalam barisan kita. Tjugito menyatakan ada informasi
bagi Bung, bahwa demonstrasi ganyang Kabir oleh kekuatan Nasakom
kemarin dulu akan diteruskan oleh rakyat poros Nasakom. Kalau ini
berhasil, parade pada tanggal 5 Oktober 1965 akan berubah sifatnya.
Di samping ABRI akan turut berparade, satu divisi rakyat yang akan
dipersenjatai, bahkan mengingat situasi sekarang, gerakan ganyang
www.facebook.com/indonesiapustaka

Kabir ini mungkin sekali akan bergerak malam ini juga”.31

29
Harian Rakyat, 2 Oktober 1965. Lihat Anthonie C. A. Dake, op.cit., hlm. 407.
30
Soegiarso Soerojo, op.cit., hlm. 224.
31
Aristides Katopo, Dkk.,op.cit., hlm. 131. Lihat: Soegiarso Soerojo, op.cit., hlm. 226.

315

01-TA-16x24-terakir.indd 315 1/30/2012 9:39:24 PM


Aminuddin Kasdi

Kondisi politik di Indonesia yang gegap gempita karena dalam


suasana konfrontasi terus-menerus itu, menarik perhatian seorang
sarjana Belanda Jan M. Pluvier yang membuat studi Confrontation:
a Study in Indonesia Politics. Menurut sejumlah politisi yang meng­
amati gerak PKI, sebetulnya PKI bukan besar karena kehebatannya
sendiri, melainkan karena mendapat restu, di samping bantuan dana
dari luar negeri. Tanpa itu semua, PKI sesungguhnya tidaklah dapat
berlaku nekad.
Ladislav Bittman bekas tokoh Departemen D Intel Cekoslawakaia
dalam karyanya Deception Game mengenai bagian Indonesia menga­
takan “Pada malam hari 30 September 1965, orang-orang komunis
Indonesia melancarkan serangan terhadap lawan-lawan politik­nya,
yang secara diam-diam disetujui oleh Presiden Sukarno”. Pada
tanggal 30 September 1965 malam, tatkala Bung Karno menghadiri
Musyawarah Besar (Mubes) Teknik, yaitu Kongres Persatuan Insinyur
Indonesia (PII) di Istora, Senayan Letkol Untung memberikan sepu-
cuk surat kepada Bung Karno. Isinya bahwa gerakan untuk menindak
Dewan Jenderal akan segera dilaksanakan. Surat itu kemudian oleh
Bung Karno dimasukkan ke dalam baju Pangti yang saat itu dipakai­
nya. 32
alam penggrebegan di Krukut (1 Oktober 1965), berhasil disergap
D
anggota Pemuda Rakyat yang berkedudukan di ranting maupun ca-
bang Krukut. Sebagian besar dari mereka ikut aksi penculikan jende-
ral-jenderal di bawah pimpinan Lurah Krukut, Hasan Djang. Jika kup
berhasil mereka rencananya akan membangun dapur-dapur umum
di seluruh pelosok Jakarta. Markas besar dapur umum yang diren-
canakan itu telah disiapkan di Jl. Bandan, Jakarta. Dalam sergapan
di Krukut itu juga dapat disita sejumlah pakaian militer, senjata ge-
lap, tanda-tanda pangkat kesatuan baru yang akan dibentuk apabila
perebutan kekuasaan berhasil. Dalam gerakan pengejaran terhadap
www.facebook.com/indonesiapustaka

kesatuan-kesatuan yang terlibat G30S oleh kompi Yon 203 dan kompi

Bambang S. Widjanarko, op.cit., hlm. 81-82. Lihat catatan kaki no. 15 (atas), dan catatan
32

kaki no. 30 (bawah).

316

01-TA-16x24-terakir.indd 316 1/30/2012 9:39:24 PM


MUNGKINKAH BUNG KARNO TERLIBAT?

Kavaleri 7 panser dapat diringkus 140 dari Yon 530 Para dan 97 dari
Yon 454 Para di Bekasi dalam perjalanan mereka kembali ke Jawa
Tengah. Sampai 16 Oktober 1965 telah berhasil ditangkap 1.334 ok-
num yang terlibat langsung dalam G30S. Sementara itu pengejaran
terhadap anggota-anggota Pemuda Rakyat yang ikut aktif dalam pem-
bunuhan Pahlawan Revolusi di daerah Bekasi dapat ditangkap ratus­
an orang, 39 pucuk senjata dengan 5.000 butir peluru, 5 buah peluru
anti tank. Di Tanjung Priok anggota-anggota KKO berhasil menyita
100 buah granat tangan buatan RRC dan beberapa pucuk senjata.
ada tanggal 1 Oktober 1965 pagi hari, Jenderal Supardjo bersa-
P
ma-sama dengan Mayor Bambang Supeno (Dan Yon 530 Para), Mayor
Sukirno (Dan Yon 454 Para), dan Kapten Heru Atmodjo menghadap
Presiden di Istana Merdeka untuk melaporkan pelaksanaan G30S
dalam rangka pengamanan Presiden dari kudeta Dewan Jenderal.
Ternyata malam itu Presiden tidak tidur di istana sesuai dengan jad-
wal, melainkan bermalam di kediaman Dewi Sukarno di Wisma Yaso
(sekarang Museum Satrya Mandala). Di situ Bung Karno memperoleh
laporan apa yang terjadi pada malam harinya. Tatkala Bung Karno ber-
sama rombongannya akan kembali ke istana, setelah sampai di Budi
Kemuliaan oleh Kolonel M. Saelan diberitahu bahwa istana dikepung
oleh tentara tidak dikenal, karena itu Bung Karno kemudian memutus­
kan untuk pergi ke Halim. Tiba di Halim sekitar pukul 09.00. Karena
tidak mengetahui di mana keberadaan Bung Karno, Kapten Heru
Atmojo memutuskan kembali ke Halim untuk malapor kepada Men/
Pangau. Setibanya di PAU Halim Perdanakusuma Heru Atmojo mela-
por kepada Omar Dhani, kemudian diberitahu bahwa Presiden juga
akan ke Halim. Maka Omar Dhani menyuruh Heru Atmodjo menjem-
put Brigjen Supardjo dengan helikopter Men/Pangau. Setibanya di
Halim, dengan perantara Omar Dhani, Supardjo menghadap Presiden
melaporkan tentang jenderal-jenderal yang telah berhasil diamankan
(diculik). Perginya Presiden Soekarno ke PAU Halim dan kedatangan
www.facebook.com/indonesiapustaka

Supardjo menemui dan memberikan laporan perihal pelaksanaan


penculikan para Jenderal kepada Bung Karno, hanya diketahui oleh

317

01-TA-16x24-terakir.indd 317 1/30/2012 9:39:24 PM


Aminuddin Kasdi

mereka bertiga, yaitu Supardjo, Bung Karno, dan Omar Dhani. Ketiga
tokoh ini merupakan kunci dari banyak persoalan yang nyaris tidak
terjawab mengenai masalah kudeta G30S. Khususnya dalam hal hu-
bungan antara peristiwa G30S, Omar Dhani, Supardjo, dan Presiden
Soekarno.33
Dalam kesempatan itu, Supardjo melaporkan bahwa Jenderal
Nasution lolos. Mendengar laporan itu Men/Pangau Omar Dhani ber-
teriak gusar, “Rusak … rusak … rusak”, dan Presiden menanyakan
“Kok bisa lolos, bagaimana?” Setelah itu Bung Karno memberikan
pujian atas hasil kerja Brigjen Supardjo sambil menepuk bahunya,
dan mengatakan, “Kamu telah bekerja dengan baik!” Padahal menurut
pandangan umum, tepukan tangan itu juga bermakna sebagai ucapan
selamat (congratulatory) terhadap yang telah dikerjakan Supardjo.34
Dengan demikian sebenarnya perilaku itu merupakan kecerobohan
yang menyingkap sikap Bung Karno bahwa tindakan Supardjo itu te-
lah direncanakan dan telah ia ketahui sebelumnya.35 Apalagi Bung
Karno sebagai Pangti juga tidak memerintahkan menindak para pe-
laku penculikan, adalah merupakan sikap yang aneh, dan dengan
mudah menduga bahwa tindakan itu telah menunjukkan berada di
pihak mana ia berada.
indakan Bung Karno lainnya yang membuka jalan untuk men-
T
duga atas keterlibatannya dalam G30S 1965 ialah responnya terha-
dap berita tentang diculiknya para Jenderal pimpinan AD sedemikian
enteng (ringan-menganggap sepele). Hal ini dapat dikatakan sebagai
indikasi bahwa sejak semula penculikan para Jenderal itu memang
akan dibunuh. Dalam hal ini Bung Karno tidak menjatuhkan disi-
plin apapun terhadap Supardjo. Menurut Omar Dhani, Bung Karno
bertanya kepada Supardjo apakah ia memiliki bukti-bukti dokumen
tentang keberadaan Dewan Jenderal dan tindakan subversif mereka.
Supardjo menjawab, “kata orang” bahwa Dewan Jenderal memang
www.facebook.com/indonesiapustaka

33
John Hughes, op.cit., hlm. 64.
34
Ibid.
35
Harian Jawa Pos, “Dari Silaturrahmi Anak-anak Bangsa. Mengubur Luka Dendam Sejarah
II”, 9 Maret 2004. Lihat Nasution, op.cit., hlm. 71-75. Lihat juga, Bambang S. Widjanarko,
op. cit., hlm. 71.

318

01-TA-16x24-terakir.indd 318 1/30/2012 9:39:24 PM


MUNGKINKAH BUNG KARNO TERLIBAT?

ada dan ia akan memberikan bukti-buktinya. Namun hal itu tidak


pernah dilakukannya.36
elanjutnya Presiden Soekarno memerintahkan Supardjo agar
S
menghentikan gerakannya guna menghindari pertumpahan da-
rah. Dalam kesempatan itu Presiden Soekarno menolak permintaan
Supardjo untuk mendukung G30S.37
Tindakan Bung Karno menolak permintaan Supardjo untuk mem-
berikan dukungan kepada G30S menjadi alibi bahwa ia tidak terli-
bat langsung, akan tetapi di situ letak kecerobohan Bung Karno be-
rikutnya, karena sebagai Panglima Tertinggi ia tidak menanyakan di
mana jenazah korban pembunuhan tersebut ditaruh atau ditanam,
serta usaha-usaha pencariannya. Lebih dari itu Bung Karno juga ti-
dak memberikan reaksi apa pun tatkala G30S menyatakan Kabinet
Dwikora yang ia pimpin dinyatakan demisioner dan diumumkan­nya
pembentukan Dewan Revolusi. Selanjutnya pada 1 Oktober siang
itu juga (1965), Bung Karno memerintahkan kepada Suparto, salah
seorang anggota Pasukan Pengawal Presiden untuk mengambil baju
dinas Pangti di kediaman Dewi. Dari dalam saku baju Pangti itu Bung
Karno mengambil surat yang diberikan oleh Letkol Untung pada ma-
lam hari di Istora Senayan, kemudian merobek-robeknya.38
alam pertemuan di Halim dibahas pula tentang pengisian
D
Pimpinan AD. Atas usul Supardjo, Presiden mengangkat Mayjen
Pranoto Reksosamodro menjadi Pejabat Pimpinan Harian (care-
taker) AD, sedangkan pimpinan AD dipegang langsung oleh Presiden
Soekarno.39 Akan tetapi adanya kenyataan bahwa harapan pimpinan
G30S seperti Sjam dan Brigjen Supardjo yang ditumpukan kepada
sikap dan peran Pranoto dalam posisinya sebagai caretaker guna
menyukseskan G30S sedemikian besar, tidak mustahil pilihan Bung
36
John Hughes, op.cit., hlm. 64-65.
37
Aristides Katoppo, Dkk., op.cit., hlm. 122-123.
www.facebook.com/indonesiapustaka

38
Bambang S. Widjanarko, op.cit., hlm. 82.
39
Lembaga Studi Ilmu-ilmu Kemasyarakatan (LSIK), Rangakaian Peristiwa Pemberontakan
Komunis di Indonesia, 1982, Jakarta, LSIK, hlm. 95. Lihat: H. Maulwi Saelan; Dari Revolusi
’45 Sampai Kudeta ’66, 2001, Jakarta, Yayasan Hak Bangsa, hlm. 314-315. Menurut M.
Saelan perintah Bung Karno untuk mencari jenazah para jenderal AD pada 3 Oktober
1965.

319

01-TA-16x24-terakir.indd 319 1/30/2012 9:39:24 PM


Aminuddin Kasdi

Karno tersebut benar-benar atas usulan dan saran dari Supardjo.40


Pengangkatan Pranoto Reksosamodro sebagai care taker Men/Pangad
juga merupakan kecerobohan Bung Karno yang lain. Dalam hal suk-
sesi kepemimpinan di lingkungan AD, seperti halnya di AURI dan
Angkatan lainnya, memang ada Dewan Perwira Tinggi (Wanjakti-
Dewan Jenderal) sebagai forum internal untuk memproses hal ter-
sebut.41 Padahal, sampai saat itu pejabat di lingkungan Departemen
Pertahanan dan Keamanan, yaitu Menko KASAB Jenderal Nasution
yang lolos dari penculikan belum ditemukan. Sikap Bung Karno yang
mengesampingkan keberadaan Nasution dan Soeharto sebagai kom-
ponen Pimpinan TNI AD menunjukkan ia memang percaya bahwa
Dewan Jenderal itu ada, dan cukup memberikan bukti Bung Karno se-
sungguhnya berada pada posisi mana. Dalam hal ini tidak sulit untuk
mengambil kesimpulan bahwa tindakan G30S membunuh jenderal-
jenderal itu paling tidak telah diketahui dan disetujuinya.
ada 1 Oktober 1965, Bung Karno atas permintaan (perintah?)
P
Jenderal Soeharto meninggalkan Halim menuju ke Bogor. Setelah 1
Oktober 1965 di Bogor Supardjo oleh Bung Karno diperintahkan un-
tuk menghentikan gerakan G30S. Supardjo sendiri berada di Istana
Bogor di bawah perlindungan Bung Karno hingga 5 Oktober 1965, ke-
mudian ia pergi menyelamatkan diri. Sementara itu Omar Dhani juga
berlindung di Istana Bogor, pada 2 Oktober 1965 menerima radio-
gram dari PAU Halim yang mengatakan bahwa pelacakan jenderal-
jenderal yang hilang telah menemukan jejak-jejaknya di dekat Halim.
Menanggapi perkembangan tersebut, Bung Karno memerintahkan
Kolonel Saelan pada malam itu bersama dengan timnya untuk pergi
ke lokasi dan mencarinya.42
Menurut kesaksian Maulwi Saelan, Bung Karno memang benar-
benar tidak mengetahui rencana penculikan tersebut, dan baru tahu
setelah dalam perjalanan menuju ke Slipi. Setelah diberitahu oleh
www.facebook.com/indonesiapustaka

40
Aristides Katoppo, Dkk., op.cit., hlm. 126-127.
41
Kesaksian Suyitno Sukirno,(Marsekal Muda TNI AU), Peristiwa G. 30 S/PKI di AURI yang
Saya Alami, Jakarta, 25 Nopember 1984. Lihat ; Ulf Sundhaussen¸ Politik Militer Indonesia
1945-1967, Menuju Dwi Fungsi Abri,1988, Djakarta, LP3ES, hlm. 140-157.
42
Anthonie CA. Dake, op.cit., hlm. 409.

320

01-TA-16x24-terakir.indd 320 1/30/2012 9:39:24 PM


MUNGKINKAH BUNG KARNO TERLIBAT?

Saelan, Bung Karno kelihatan terperangah.43 Kehadiran rombongan


Saelan di PAU Halim kemudian diterima oleh Kolonel Dokter Slamet
Cokro dan diantarkan ke lokasi penggalian jenazah para jenderal yang
dilakukan oleh Tim Kostrad dan RPKAD. Karena hari telah petang ke-
giatan tersebut dihentikan.44

Posisi Bung Karno Pasca 1 Oktober 1965


Pada 1 Oktober 1965 lepas tengah malam, Supardjo menyampaikan
permintaan Aidit kepada Omar Dhani untuk diterbangkan ke
Yogyakarta. Dengan pesawat yang disediakan oleh Omar Dhani,
Aidit terbang ke Yogyakarta, mendarat di PAU Adi Sucipto sekitar
pukul 03.00 dini hari. Dengan diantar oleh para pimpinan PAU Adi
Sucipto, antara lain, Komodor Udara Dono Indarto, Aidit menuju ke
rumah Sutrisno, anggota BPH dari PKI. Para perwira AURI terheran-
heran tatkala mereka menawarkan untuk mengantar Aidit ke kediam­
an Gubernur DIY, ia malah menolak dan minta diantar ke rumah
seorang anggota BPH DIY dari unsur PKI, Sutrisno. Alasan yang
dikemukakan kepada para perwira AURI kedatangannya di Yogya
bertugas melakukan survei, karena mungkin Presiden akan mengung­
si ke Yogya.45
Di Jakarta telah terjadi perkembangan sangat cepat, sejak 1 Oktober
1965 lokasi-lokasi strategis telah berhasil direbut kembali oleh TNI,
pasukan Yon 454 dan 530, sentral gerakan G30S di Halim juga dire-
but, dan dari pihak ALRI dan AKRI menyatakan tidak tahu-menahu
dengan gerakan tersebut, dan menyatakan siap untuk membantu AD
guna menumpas gerakan kontra revolusi oleh G30S.46
ada 2 Oktober 1965 Aidit menuju Semarang bertemu dengan
P
Lukman dan Sakirman yang telah beberapa hari di kota itu. Hari itu
juga datang Sujono Atmo, Wagub Jawa Tengah, dari PKI, pemimpin
www.facebook.com/indonesiapustaka

43
HJ. Maulwi, Saelan, lok. cit.
44
Aristides Katoppo, op, cit., hlm. 181-182.
45
Ibid
46
I bid.

321

01-TA-16x24-terakir.indd 321 1/30/2012 9:39:25 PM


Aminuddin Kasdi

pemuda kesayangan Bung Karno. Kedatangan Sujono Atmo mem-


bawa kabar tentang perkembangan keadaan di Jakarta, dan juga di
Semarang yang situasinya juga tengah berkembang. Oleh karena itu,
ketiga pemimpin PKI segera menuju ke Solo setelah singgah di rumah
Bupati Boyolali yang juga dari PKI.
Pada 3 Oktober 1965 Aidit tiba di Solo, karena Utomo Ramelan
(adik dari Ny. Surya Darma-Gerwani) adalah Wali Kota Solo sebagai
pilot project PKI. Karena massa komunis di Solo sangat kuat, menja-
dikannya basis perlawan­an terhadap kekuatan kontra G30S. (Aidit
sendiri tertangkap dan ditembak mati di Solo pada 22 November
1965.47)
ada 4 Oktober 1965 Aidit berusaha mendapatkan fasilitas pesawat
P
untuk kembali ke Jakarta, memenuhi undangan Presiden Sukarno
yang akan menyelenggarakan Sidang Pleno Kabinet Dwikora. Namun
Komodor Suyoto di Panasan tidak bersedia memenuhi permintaan
Aidit dengan alasan pesawat terbang rusak. Dan tanggal 5 Oktober
1965 pagi Aidit kembali ke Suyoto untuk meminta pesawat terbang
guna ke Bali. Rencana Aidit ke Bali pun gagal karena Komandan PAU
Panasan tidak dapat mengabulkan permintaannya dengan alasan ti-
dak ada pesawat. Padahal sebenarnya Suyoto telah mencurigainya,
karena RRI Pusat Jakarta telah melancarkan tuduhan bahwa PKI ber­
ada di belakang G30S. Dengan kritisnya pertanyaan para perwira TNI
AU di Yogyakarta dan ditolaknya permintaan Aidit untuk diterbang-
kan guna mengikuti Sidang Kabinet tanggal 6 Oktober 1965, berarti
AURI tidak demikian saja sewaktu-waktu memenuhi keperluannya,
maka lenyaplah segala angan-angan yang beranggapan bahwa seluruh
slagorde AURI berdiri di belakang G30S.48 Selanjutnya Aidit menuju
ke Jawa Timur, yaitu ke Surabaya, yang dianggapnya juga mutlak di-
kuasai oleh komunis, karena walikotanya, Murahman SH, juga dari
PKI. Namun Aidit kecewa, justru kondisi Surabaya dan daerah/kota
www.facebook.com/indonesiapustaka

lain di Jawa Timur telah mulai diobrak-abrik oleh kelompok agama.

Aristides Katoppo, op.cit., hlm. 148-149.


47

Aristides Katoppo, loc. cit., hlm. 146-147.


48

322

01-TA-16x24-terakir.indd 322 1/30/2012 9:39:25 PM


MUNGKINKAH BUNG KARNO TERLIBAT?

Aidit segera kembali ke Jawa Tengah lewat Blitar. Di Blitar bertepatan


tanggal 6 Oktober 1965, ia menulis surat kepada Presiden Sukarno
sebagai berikut.
I. Tanggal 30 September tengah malam saya diambil oleh orang yang
berpakaian Cakrabirawa (tidak saya kenal) dengan keterangan; di-
panggil ke istana untuk sidang darurat kabinet, tetapi kendaraan
tersebut menuju jurusan Jatinegara. Kemudian pindah mobil terus
menuju ke sebuah kampung dan ditempatkan di sebuah rumah
kecil. Di situ saya diberi tahu bahwa diadakan penangkapan ter-
hadap anggota-anggota Dewan Jenderal. Tanggal 1 Oktober, saya
diberitahu bahwa tindakan terhadap Dewan Jenderal itu sudah
berhasil. Saya bertanya, “Apakah sudah dilaporkan kepada PYM.”
Dijawab sudah dan beliau merestuinya.
II. Tanggal 1 Oktober saya diberitahu: Pak Aidit sekarang juga harus
ke Jateng dengan plane yang sudah disediakan oleh Pangau. Harap
diusahakan supaya Yogjakarta dapat dijadikan tempat pengungsi-
an Presiden. Atas permintaan ini pada malam itu juga saya diantar
ke rumah anggota BPH Yogyakarta Sdr. Sutrisno.
III. Pada 2 Oktober saya menuju Semarang untuk memberi instruksi
kepada Comite PKI Jawa Tengah. Kepada Wakil Gubernur Sujono
Atmo saya minta supaya Pemerintah Daerah Jawa Tengah berjalan
sebagaimana biasa. Dari Semarang saya dan MH Lukman menuju
ke Solo bertemu dengan Utomo Ramelan. Pada tanggal 2 Oktober
saya mendengar amanat Bung Karno yang pertama. Bung Lukman
saya instruksikan untuk segera ke Jakarta.
IV. Pada tanggal 3-4-5 persoalan-persoalan pokok yang saya hadapi
adalah:
1. Masalah mencegah pertempuran di antara pasukan-pasukan
AD (Kodam Diponegoro).
2. Mencegah bunuh-membunuh sebagai akibat provokasi golong­
www.facebook.com/indonesiapustaka

an komunisto pobhi dan Nasakom phobi.

323

01-TA-16x24-terakir.indd 323 1/30/2012 9:39:25 PM


Aminuddin Kasdi

3. Memenuhi undangan sidang paripurna. Mengenai sidang


Paripurna tak dapat dipenuhi karena plane AURI rusak, ten-
tang ini saya sudah mengirim kawat lewat saluran AURI kepada
Pangau untuk diteruskan kepada Bung Karno.

Saya sekarang ada di Jawa Timur dengan tujuan membantu mence-


gah pertempuran bersenjata dalam Angkatan Darat, membantu
mencegah bunuh-membunuh akibat provokasi golongan yang komu-
nisto pobhi dan membantu supaya pemerintah daerah dan kehidup­
an politik berjalan sebagaimana mestinya.
V. Sekarang pendapat saya tentang G30S
1. Saya berpendapat G30S bukan kontra revolusi dan bukan ge­
rakan yang ditujukan kepada Bung Karno. Saya, baik sebagai
Ketua CC PKI maupun sebagai Menteri Kabinet Dwikora, sangat
menyesal bahwa saya tidak mengetahui lebih dahulu tentang
adanya gerakan itu, sehingga tidak dapat menyalurkan potensi
revolusioner yang besar ini ke arah yang wajar.
2. Tidak dibantah bahwa G30S adalah akibat daripada salah urus
dalam Angkatan Darat;
a. di bidang sosial adanya AD yang merampok;
b. di bidang politik timbulnya G30S.

USUL
VI. Keputusan PYM harus memuat:
1. Penyelesaian Dewan Jenderal dan G30S sepenuhnya harus ber­
ada dalam tangan PYM/Pangti/PBR.
2. Untuk itu diperlukan ketenangan, oleh karena itu dilarang
adanya pernyataan-pernyataan yang bersifat mengutuk baik
Dewan Jenderal maupun G30S.
www.facebook.com/indonesiapustaka

324

01-TA-16x24-terakir.indd 324 1/30/2012 9:39:25 PM


MUNGKINKAH BUNG KARNO TERLIBAT?

3. Semua alat revolusi terutama ABRI, orpol, koran-koran dan


radio, supaya bekerja seperti biasa, kembali seperti sebelum
G30S.
4. Masalah keamanan supaya diserahkan kepada AKRI dengan
dibantu oleh Front Nasional.
5. Kepada semua alat revolusi diserukan supaya berkompetisi
melaksanakan Lima Azimat Revolusi.
6. Dilarang tuduh-menuduh dan salah menyalahkan.

Blitar, 6 Oktober 1965


Wassalam
Senantiasa

(D.N. Aidit)49

Berdasarkan kesaksian Bambang Widjanarko pada 6 Okktober


1965, Bung Karno bertemu dengan Nyoto yang menyampaikan surat
kepada Presiden dan saran-saran lisan tentang penyelesaian G30S.
Bung Karno membalas surat DN Aidit melalui seorang kurir yang
langsung datang menemui Aidit di tempat “perjuangannya”. Presiden
menja­wab surat tersebut antara lain sebagai berikut, “ Sementara ini
saya belum dapat mengadakan pidato-pidato yang menggarisbawahi
se­suai dengan saran Saudara. Waktu ini barulah saya dapat membuat
pidato-pidato umum sementara saya mengusahakan untuk mengubah
pikiran-pikiran para panglima tanggal 20 November 1965 untuk tidak
hanya memikirkan tugas-tugas G30S saja. Penjemputan akan meng­
alami kesukaran teknis. Saran-saran dan laporan-laporan saudara
yang lain akan kami perhatikan benar-benar”.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Jenderal Dr. AH Nasution, Menegakkan Keadilan dan Kebenaran (Panji Tertinggi Orde
49

Baru) II, Djakarta, Seruling Masa, 1967, hlm. 64.

325

01-TA-16x24-terakir.indd 325 1/30/2012 9:39:25 PM


Aminuddin Kasdi

Menurut kesaksian Kolonel Widjanarko pada 4 Agustus 1965,


Untung menghadap Bung Karno untuk menyatakan kesediaannya
mengambil tindakan terhadap para jenderal yang tidak loyal kepada­
nya. Menurut ingatan Bambang di sekitar tanggal 26-27 September
1965 Untung melaporkan kepada Bung Karno bahwa gerakan para
perwira maju (progressive) sudah dapat dilakukan. Selanjutnya pada
tanggal 30 September 1965 malam, Untung pernah menyampaikan
surat kepada Bung Karno di Istora Senayan yang isinya berupa lapor­
an tentang hari/tanggal permulaan gerakan.
mar Dhani melaporkan bahwa misinya untuk mengambil senjata
O
bantuan dari RRC telah berhasil. Senjata-senjata itu diangkut dengan
pesawat Hercules AURI dan Kapal Laut Gunung Kerinci. Pengangkutan
senjata RRC dengan menggunakan Kapal Gunung Kerinci itu pada
Oktober 1965 telah menjadi pembicaraan umum. Kemudian penga-
turan pengangkutan itu dilakukan oleh KOTI/KOGAM. Selanjutnya
senjata-senjata tersebut dibagi-bagikan kepada kader-kader PKI mela-
lui para pelatih AURI yang melatihnya di Lubang Buaya, sebelum
terjadinya peristiwa G30S. Pada tanggal 1 Oktober 1965 malam sen-
jata-senjata bantuan RRC itu juga dibagikan secara langsung kepada
Pemuda Rakyat di dekat Senayan.50 Senjata-senjata bantuan RRC itu
oleh masyarakat dinamakan “Tjung”oleh AURI disimpan di gudang
AURI Mampang. 51
ada 2 Oktober 1965 pembagian senjata bantuan RRC kepada
P
massa komunis itu juga telah dilaporkan oleh Jenderal Sabur kepada
Bung Karno pada 2 Oktober 1965. Laporan Jenderal Sabur antara lain
disaksikan oleh Dr. J. Leimena, Kol. Saelan, Kombes Sumirat, Kombes
Mangil, dan Kol. Bambang Widjanarko. Ternyata Bung Karno tidak
pernah menegur atau menyalahkan adanya pembagian senjata ter-
sebut. Bung Karno pernah mengatakan bahwa seharusnya tenaga-te-
naga revolusioner itu dipersenjatai.52 Memang benar pada 1 Oktober
www.facebook.com/indonesiapustaka

50
Bambang S. Widjanarko, op.cit., hlm. 95.
51
Ibid.,hlm. 97.
52
Bambang S. Widjanarko, op.cit., hlm. 96-97.

326

01-TA-16x24-terakir.indd 326 1/30/2012 9:39:25 PM


MUNGKINKAH BUNG KARNO TERLIBAT?

1965 juga terjadi pendobrakan dan pembongkaran gudang senjata


AURI di Mampang oleh pihak G30S.

Kesimpulan
Sebagai penutup dari kajian mengenai terlibat-tidaknya Bung Karno
dalam peristiwa G30S 1965 dapat dilihat dari beberapa perspektif.
Pertama, dari kepergian Bung Karno ke PAU Halim dapat diduga
bahwa tindakan tersebut merupakan salah satu indikator bahwa Bung
Karno sebelumnya telah mengetahui dan bahkan ikut merencanakan
G30S, sebagai tindakan tegas terhadap Dewan Jenderal yang diang-
gap sebagai kaki tangan CIA. Faktor-faktor yang memperkuat tuduhan
ini antara lain: (1) Halim menjadi Central Komando (Cenko) G30S;
(2) saat kedatangan Bung Karno di Halim pada pukul 09.30 bertepat­
an dengan penganiayaan jenderal-jenderal yang dibawa oleh G30S
tetapi masih hidup; (3) telah ada laporan dari Omar Dhani pada 28
September 1965 dan pemberitahuan Untung kepada Bung Karno pada
tanggal 30 September 1965 malam hari di Istora Senayan yang mu-
lai mengambil tindakan terhadap Dewan Jenderal; (4) tindakan me-
nepuk pundak dan mengatakan bahwa Supardjo telah melaksanakan
tugasnya dengan baik saat Jenderal itu melapor kepada Bung Karno;
(5) pada tanggal 1 Oktober 1965 juga telah ada di PAU Halim.
Kedua, dari perspektif keberadaan Dewan Jenderal yang mem-
perkuat dugaan keterlibatan Bung Karno terdapat petunjuk-petun-
juk bahwa, (1) berdasarkan laporan antara lain dari Jenderal Mursid,
Bung Karno mengetahui bahwa ada sejumlah jenderal yang bersi-
kap kritis terhadap kebijakannya sehingga ia tidak senang terhadap
mereka, yang kemudian dimanfaatkan oleh PKI dengan legitimasi
Dokumen Gilchrist sebagai “Dewan Jenderal”; (2) Bung Karno pernah
membahas tindakan yang akan diambil terhadap “Dewan Jenderal”;
(3) untuk kepentingan itu Bung Karno menyatakan akan mengambil
www.facebook.com/indonesiapustaka

tindakan militer yang akan dilakukan oleh Jenderal Sabur, dan secara
politik akan dilakukan oleh PKI; (4) ucapan Bung Karno tatkala me-
nerima laporan Supardjo bahwa Nasution lolos, cara meresponnya
327

01-TA-16x24-terakir.indd 327 1/30/2012 9:39:25 PM


Aminuddin Kasdi

begitu enteng “Kok bisa lolos bagaimana” demikian pula ucapannya


“yang demikian itu pasti terjadi dalam suatu revolusi”?; dan (5) pada
1 Oktober 1965 saat menentukan pengganti A. Yani, Bung Karno sama
sekali tidak mengakomodasi Nasution dan Soeharto.
etiga, dari segi terjadinya Peristiwa G30S 1965 terdapat fakta-
K
fakta: (1) Bung Karno tidak meminta keterangan lebih lanjut tatkala
Omar Dhani pada 28 September 1965 memberi laporan bahwa para
perwira progresif di lingkungan AD untuk segera mengambil tindak­
an kepada Dewan Jenderal; (2) Bung Karno juga tidak memberikan
reaksi ketika Supardjo pada tanggal 29 September 1965 melaporkan
bahwa ia telah bertemu dengan para pemimpin PKI, padahal seha-
rusnya Supardjo berada di posnya di Kalimantan; (3) Bung Karno ti-
dak memberikan reaksi terhadap radiogram Men/Pangau Omar Dhani
pada pukul 09.00 yang isinya mendukung G30S; dan (4) Bung Karno
juga tidak memberikan reaksi tatkala G30S mengumumkan pen-
demisoner-an Kabinet Dwikora dan pembentukan Dewan Revolusi,
(5) Bung Karno juga tidak memberikan reaksi tatkala dilaporkan pem-
bagian senjata “Tjung” bantuan RRC kepada simpatisan komunis di
Senayan.
Keempat, dari segi hubungannya dengan Aidit dan Supardjo ter-
dapat fakta-fakta: (1) Bung Karno tidak pernah menegur tindakan
Omar Dhani yang menyediakan pesawat udara untuk kepergian Aidit
ke Yogyakarta lewat perantaraan Supardjo, pada dini hari tanggal 1
Oktober 1965; (2) Bung Karno menerima surat Aidit yang dikirimkan
dari Blitar, dan sebaliknya Bung karno juga membalas surat terse-
but; (3) kebijakan yang disampaikan oleh Bung Karno dalam Sidang
Kabinet tanggal 6 Oktober 1965 tidak berbeda jauh dengan saran
Aidit; (4) Bung Karno memberikan perlindungan kepada Omar Dhani
dan Supardjo di Istana Bogor dalam waktu tertentu; dan (5) Bung
Karno masih melakukan surat-menyurat dengan Supardjo selama
www.facebook.com/indonesiapustaka

dalam persembunyiannya.
da beberapa faktor yang menjadi antitesis atau alibi terhadap
A
keterlibatan Bung Karno dalam G30S. Pertama, (1) kepergiannya

328

01-TA-16x24-terakir.indd 328 1/30/2012 9:39:25 PM


MUNGKINKAH BUNG KARNO TERLIBAT?

ke Halim bukan merupakan rencana semula, karena pada pagi hari


1 Oktober 1965 dari kediaman Dewi, Bung Karno akan kembali ke
istana; (2) pernyataannya sendiri bahwa kepergian Bung Karno ke
Halim atas kehendaknya sendiri; (3) seandainya Bung Karno men-
jadi dalang, pastilah keluarganya telah dipindahkan ke tempat yang
aman; (4) penolakan Bung Karno terhadap permohonan Supardjo
untuk mendukung G30S dan perintahnya kepada yang bersangkut­
an untuk menghentikan pertumpahan darah; (5) Bung Karno meng-
utuk pembunuhan para Jenderal; dan (6) penganugerahan Presiden
Soekarno kepada para jenderal sebagai Pahlawan Revolusi.

Daftar Pustaka
Berita Yudha dan Harian Rakjat,29 Mei 1965.
Dinuth, Alex. 1993. Dokumen Terpilih Sekitar Pemberontakan G30S/PKI,
Jakarta: Lemhanas
Harian Jawa Pos. “Dari Silaturrahmi Anak-anak Bangsa. Mengubur Luka
Dendam Sejarah II”, 9 Maret 2004.
Harian Rakjat, 24 Mei 1965 dan 2 Oktober 1965.
Hughes, John. 2002. End of Sukarno, A Coup that Misfired: A Purge that ran
wild, Singapore: Stamford Press Pte Ltd.
Katopo, Aristides dkk.. 2000. Menyingkap Kabut Hali, 1965, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Kesaksian Suyitno Sukirno (Marsekal Muda TNI AU). 1984. Peristiwa G30S./
PKI di Auri yang Saya Alami, Jakarta.
Lembaga Studi Ilmu-ilmu Kemasyarakatan (LSIK).1982. Rangakaian
Peristiwa Pemberontakan Komunis di Indonesia, Jakarta: LSIK.
Nasution, A. H. 1967. Menegakkan Keadilan dan Kebenaran (Panji Tertinggi
Orde Baru) II, Djakarta: Seruling Masa.
Saelan, H. Maulwi. 2001. Dari Revolusi ’45 Sampai Kudeta ’66, Jakarta:
Yayasan Hak Bangsa.
Soerojo, Soegiarso. 1988. Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai, Jakarta
www.facebook.com/indonesiapustaka

(n.p)
Sundhaussen, Ulf. 1988. Politik Militer Indonesia 1945-1967, Menuju Dwi
Fungsi ABRI, Djakarta: LP3ES

329

01-TA-16x24-terakir.indd 329 1/30/2012 9:39:25 PM


Aminuddin Kasdi

Tim Cidesindo. 1999. Membuka Lipatan Sejarah: Menguak Fakta Gerakan


PKI, Jakarta: Pustaka Cidesindo.
Widjanarko, Bambang S. 1974. The Devious Dalang; Sukarno and the socal-
led Untung-putch Eye-witness report by Bambang S. Widjanarko; The
Hague: Interdoc Publishinhg House.
www.facebook.com/indonesiapustaka

330

01-TA-16x24-terakir.indd 330 1/30/2012 9:39:25 PM


BAB VIII
MENGUNGKAP AKTOR DI BALIK
GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

I. G. Krisnadi

Tulisan ini mencoba mencari aktor intelektual G30S dengan mengem­


bangkan hipotesis yang mengacu pada jawaban tertulis Presiden
Sukarno dalam Pelengkap Nawaksara. Hal ini dimaksudkan untuk
memenuhi permintaan MPRS dalam melengkapi laporan pertanggung­
jawaban sekitar peristiwa. Dalam Pelengkap Nawaksara disebutkan,
terjadi­nya peristiwa G30S merupakan pertemuan tiga sebab, yaitu:
(1) para pimpin­an PKI yang keblinger; (2) kelihaian subversif Nekolim;
(3) adanya oknum-oknum “yang tidak benar.”

Kelihaian Subversif Nekolim


Keterlibatan Amerika Serikat (AS) pertama kali melikuidasi kekuat­
an komunis di Indonesia ditandai dengan pemberian dana bantuan
kepada pemerintah Hatta untuk membersihkan pengaruh komunis
di dalam tubuh militer melalui Program Rera (Reorganisasi-rasional-
isasi). Pemerintah Hatta kemudian menghancurkan kekuatan komu-

Dokumen Nawaksara dan Pelengkap Nawaksara. Suwidi Tono (Editor), Nawaksara Bung
www.facebook.com/indonesiapustaka

Karno; Depok: Vision 03, 2003, hlm. 14.



Dokumen berupa surat-menyurat via telegram antara Penasehat Luar Negeri Presiden
Amerika Serikat, Truman yang tinggal di Jakarta yaitu Merle Cochran dengan Kepala
Staf Tentara Amerika Serikat, George Catlett Marshall di Washington, antara Konsul
Jendral AS di Jakarta dengan George Catlett Marshall di Washington, telah membuktikan
pihak Amerika Serikat sangat bernafsu untuk melikuidasi pengaruh komunis di

331

01-TA-16x24-terakir.indd 331 1/30/2012 9:39:25 PM


I. G. Krisnadi

nis di Indonesia dalam Madiun Affair, September 1948. Pasca peng-


hancuran komunis di Madiun, AS menempatkan seorang agen CIA
pertama kalinya di ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta, untuk
mengasistensi para pimpinan Republik anti-komunis. Namanya
Arthur Campbell. Melalui orang ini, AS segera membuka link de­ngan
para elite nasional, seperti Hatta, Soejono Hadinoto, Sumitro
Djojohadikusumo, dan Sjafruddin Prawiranegara, yang dalam pan-
dangan AS mereka itu adalah orang-orang yang tertarik terhadap
modal asing. Menurut Caldwell, sebagian kelompok hasil binaan
CIA itu adalah para elite pimpinan PSI dan Masyumi, yang bersama
CIA mendukung pemberontakan PRR/Permesta. Melalui mereka,
CIA mulai membangun jaringan di Indonesia untuk mengembang-
kan kekuatan non-komunis bersama pihak militer sejak tahun 1950-
an hingga menjelang peristiwa G30S. Menurut Peter Dale Scott, Sjam
Kamaruzzaman adalah seorang kader PSI yang telah dibina CIA,
yang pada tahun 1965 “dimainkan” sebagai “agen rangkap” yang
bekerja untuk D.N. Aidit dan Soeharto serta sebagai otak Gestapu.
Pendapat senada dikemukakan Wertheim yang mengatakan bahwa
Sjam adalah kader PSI, yang pada tahun 1950-an mempunyai hubung­

Indonesia. Hersri Setiawan, Negara Madiun?: Kesaksian Soemarsono Pelaku Perjuangan;


Tanpa Kota Terbit: FuSAD, 2003, hlm 155-165. Menurut Mc Mahon, pemerintah telah me-
nerima dana bantuan dari AS sebesar 10 juta dollar untuk keperluan menghancurkan
komunisme di Indonesia. Stanley; (Peny) Bayang-Bayang PKI; Jakarta: ISAI, 1995, hlm.
56.

Stanley, op.cit., hlm. 58.

Pimpinan pemberontak, Kolonel M. Simbolon dan Letkol Achmad Hussein diundang
CIA kepangkalan di Singapura, kemudian diikuti pengiriman dana dalam jumlah besar
dan bantuan alat komunikasi serta persenjataan modern kepada 8.000 pemberontak yang
diserahkan melalui kapal selam AS yang berlabuh di lepas pantai Padang. Ibid., hlm 59.
AS juga memberikan bantuan serupa kepada para pembangkang PRRI/Permesta. Pesawat-
peswat terbang AS yang beroperasi dari pangkalan militer di Taiwan dan Philipina men-
erjunkan berbagai barang keperluan makanan, amunisi sampai berbagai jenis senjatan
api untuk para pemberontak di Sumatra dan di Sulawesi. Hilman Adil, Hubungan
Australia-Indonesia 1945-1962; Jakarta: Djambatan 1993, hlm. 161. Setelah pemberon-
www.facebook.com/indonesiapustaka

takan PRRI/Permesta dapat dipadamkan, Pemerintah Sukarno membubarkan Masyumi


dan PSI masing-masing berdasarkan Kepres No. 200/1960 dan No. 201/1960 pada 17
Agustus 1960. IG. Krisnadi, Tahanan Politik Pulau Buru (1969-1979). Jakarta: LP3ES,
2001, hlm. 33.

Peter Dale Scott. U.S. Overthrow of Sukarno 1965-1967, (Penterj. Darma). Yogyakarta:
Lembaga Analisis Informasi, 1999, hlm. 21, 31.

332

01-TA-16x24-terakir.indd 332 1/30/2012 9:39:25 PM


MENGUNGKAP AKTOR DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

an dekat dengan Kol. Soeharto yang seringkali datang dan bermalam


di rumahnya.
AS melalui CIA dan para elite partai PSI dan Masyumi mendu-
kung pemberontakan PRRI/Permesta didasarkan rasa khawatir sema-
kin menguat pengaruh komunis di Indonesia, terbukti dalam pemilu
1955 PKI masuk dalam empat besar pemenang pemilu. Menteri Luar
Negeri AS, Foster Dulles, yang meyakini kebenaran Teori Domino,
menganggap Indonesia memiliki nilai strategis dalam upaya mem-
bendung pengaruh komunis di Asia Tenggara. Hal ini diduga bahwa
jika Indonesia jatuh ke dalam pelukan komunis, maka negara-nega­
ra tetangga lainnya secara berantai akan jatuh ke dalam pengaruh
komunis. Hal ini akan mengancam keberadaan aset-aset AS dan
Sekutunya di kawasan Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara. Dalam
konteks Perang Dingin, Presiden AS, Eisenhower, lebih suka memilih
Indonesia terpecah-pecah daripada jatuh ke tangan komunis. Namun
seorang veteran CIA, Frank Wisner, beranggapan bahwa CIA lebih
mendukung pemberontakan PRRI/Permesta daripada menggulingkan
pemerintah Sukarno secara langsung, karena ingin “memanggang
kaki Sukarno di atas api,” dan secara lebih khusus lagi untuk me-
ningkatkan ketergantungan Sukarno kepada TNI-AD di bawah A.H.
Nasution. Pemberontakan PRRI/Permesta, berbagai aksi pomogokan
buruh selain mengganggu keamanan nasional juga mengancam keutuh­
an bangsa, sehingga petinggi TNI, Jenderal A.H. Nasution mendesak
Presiden Sukarno untuk mengumumkan SOB pada 14 Maret 1957.
Hal ini memberi legitimasi militer untuk leluasa terjun ke panggung
politik dan membangun bisnis ekonominya.10 Legitimasi militer se-


Ibid.

Teori ini beranggapan, seluruh kartu domino yang dimainkan secara otomatis akan jatuh
berantai, seperti halnya jika suatu negara sudah jatuh ke tangan komunis, maka negara-
negara tetangga lainnya segera jatuh ke tangan komunis secara berantai. Norman Harper,
A Great Powerfull Friend: A Study of Australian American Relations Between 1900 and
www.facebook.com/indonesiapustaka

1975; Queensland Press, 1987, hlm. 323. Henry Meyer, Australian Politics, Melbourne:
The Grifin Press, 1973, hlm. 761.

Manai Sophiaan, Kehormatan Bagi Yang Berhak: Bung Karno Tidak Terlibat G30S/PKI;
Jakarta: Yayasan Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, 1994, hlm. 52-53.

Peter Dale Scott, op.cit., hlm. 32.
10
Stanley, op.cit., hlm. 63.

333

01-TA-16x24-terakir.indd 333 1/30/2012 9:39:26 PM


I. G. Krisnadi

makin memperoleh bentuknya ketika AS memberi bantuan pelatih­


an, instruktur dan model program bantuan sipil kepada TNI-AD.
Memasuki tahun 1960-an pendulum politik luar negeri Indonesia
mulai bergerak ke arah negara-negara komunis dengan poros Jakarta-
Peking-Pyongyang-Hanoi, sehingga sangat mengkhawatirkan AS. Pada
Juli 1963 Kongres AS menjawab kekhawatiran dengan mensahkan
sebuah amandemen yang menangguhkan bantuan keuangan kepada
pemerintah Sukarno. Rencana perbaikan ekonomi pun berantakan.11
Kebijakan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan asing sejak
tahun 1957 untuk membantu perbaikan ekonomi, tidak berjalan efek-
tif. Menurut Richard Robinson, pengambilalihan harta benda milik
perusahaan asing itu disalahgunakan para panglima militer daerah
(anti-komunis) dengan menangkap banyak kaum komunis karena
menguasai perusahaan-perusahaan asing secara tidak “sah.” Para
panglima tersebut menampung dan menempatkan seluruh bekas per­
usahaan asing di bawah pengawasan militer.12 Aset-aset perusahaan
tersebut bukannya menjadi aset negara, melainkan dikangkangi mi-
liter (TNI-AD), kemudian dimanfaatkan sebagai dana taktis operasio­
nal untuk menggulingkan pemerintah Sukarno.13
Pada saat perekonomian Indonesia memburuk, AS menghentikan
bantuan kepada pemerintah Sukarno, namun pengiriman bantuan
kepada TNI-AD terus berlanjut. Pada tahun fiskal 1962, AS mengirim
bantuan kepada TNI-AD sebesar 16,3 juta dolar, satu tahun berikut-
nya (1963) 13,9 juta dolar AS, kemudian pada tahun 1965 sebesar 2,1
juta dolar AS. Bahkan setelah Presiden Sukarno berpidato mengecam
dana bantuan asing dengan jargon “Go to Hell With Your Aid” (Maret
1964), AS terus–menerus mengirim dana bantuan militer kepada
TNI-AD termasuk pelatihan bagi perwira militer Indonesia ke AS.14
Jumlah perwira TNI-AD yang dikirim ke AS untuk mengikuti pelatih­
an meningkat cukup tajam. Sebelum tahun 1957, rata-rata 15 perwira
www.facebook.com/indonesiapustaka

11
Peter Dale Scott, op.cit., hlm. 55.
12
Y. Pohan, Siapa Sesungguhnya Yang Melakukan Kudeta Terhadap Pemerintahan Presiden
Sukarno Amsterdam: Stichting “Indonesia Media, 1985, hlm. 4.
13
Ibid.
14
Peter Dale Scott, op.cit., hlm. 30.

334

01-TA-16x24-terakir.indd 334 1/30/2012 9:39:26 PM


MENGUNGKAP AKTOR DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

TNI-AD dikirim ke AS setiap tahun untuk mengikuti pelatihan mili-


ter. Jumlah itu meningkat menjadi 150 perwira pada tahun 1957 dan
menjelang pertengahan tahun 1958 jumlah perwira AD yang belajar
ke AS diperkirakan 250 perwira,15 menjadi 4.000 perwira pada tahun
1965.16 Pada saat hubungan diplomatik Indonesia-AS memburuk,
perusahaan Lockheed Standard AS mengirimkan bantuan beberapa
pesawat ringan Aero-Commanders kepada TNI-AD, pada Juli 1963.
Pesawat-pesawat itu sangat cocok untuk mendukung gerakan operasi
militer tertentu.17
TNI-AD lahir dari kancah perjuangan kemerdekaan melawan ko-
lonialisme Belanda dan fasisme Jepang, sehingga para prajurit me-
miliki jiwa patriotisme (revolusioner) dan anti-Nekolim. Namun
kehadiran Jenderal Soewarto di Indonesia, setelah lulus dari pendi-
dikan militer di Leavenwoth AS (1958), memainkan peran penting
dalam mengubah para prajurit TNI-AD yang berjiwa revolusioner
menjadi kontra-revolusioner dan pro-Nekolim melalui SSKAD (ke-
mudian menjadi SESKOAD) yang didirikan bersama Jenderal A. H.
Nasution.18 Amerika Serikat memberi bantuan kepada SESKOAD me-
lalui program Military Training and Advisory Group (MILTAG) untuk
mengembangkan Doktrin Perang Wilayah dan Operasi Karya. Kol.
Soeharto pada Oktober 1959 masuk SESKOAD dan menjalin kontak
intensif dengan Soewarto. Ia dilibatkan dalam penyusunan Doktrin
Perang Wilayah dan Operasi Karya. Program ini tampaknya sebagai
proyek sipil yang bekerja di bidang perbaikan saluran, membangun
jembatan dan jalan, membuka sawah dan sebagainya, namun sebena-
rnya merupakan operasi terselubung CIA untuk membangun kontak
dengan unsur anti-komunis dalam tubuh TNI-AD.19 Soewarto men-
gundang sekelompok ekonom terkemuka dari UI, seper­ti Moh. Sadli
dan Widjojo Nitisastro, untuk memberikan masukan pada program
15
Peter Briton, Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia: Perpektif Tradisi-tradisi
www.facebook.com/indonesiapustaka

Jawaban Barat. Terj. Tim Redaksi; Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1996, hlm 100.
16
Stanley, op.cit., hlm. 62.
17
Ibid., hlm. 33.
18
Wawancara dengan mantan anggota DPRGR, Hardoyo 2 Oktober 2001.
19
Melacak “The Soeharto-CIA Connection,” dalam DeTAK No. Th. 1, 29 September-5 Oktober
1998. Hlm. 10.

335

01-TA-16x24-terakir.indd 335 1/30/2012 9:39:26 PM


I. G. Krisnadi

SESKOAD. Kelompok spesialis konsultan ini kemudian diperluas


dengan memasukkan ilmuwan-ilmuwan sosial lainnya yang per-
nah mengenyam pendidikan di AS. Ia membuat SESKOAD seper­
ti Leavenworth atau U.S. War College. Lembaga ini menjadi salah
satu pusat kegiatan intelektual mengenai peranan TNI-AD, pusat
pelatihan “soal-soal kekuasaan politik” di samping kemahiran di bi-
dang ekonomi dan administrasi negara bagi para perwira TNI-AD.
Menurut Sundhausen, melalui Doktrin Perang Wilayah dan Operasi
Karya, perwira-perwira TNI-AD berhasil menyusup ke dalam semua
lapangan kegiatan pemerintahan dan tugas-tugas kepemerintahan.20
Sesungguhnya SESKOAD beroperasi sebagai “negara bayangan” dari
pemerintahan Sukarno.21
SESKOAD mampu mencetak para perwira TNI-AD yang berin-
telektual dan anti-komunis serta pro-AS, sehingga lembaga ini ber-
peran sebagai kekuatan utama untuk menghancurkan kekuatan PKI
dan menggulingkan pemerintah Sukarno. Oleh karena itu, SESKOAD
menjadi pusat perhatian Pentagon maupun Ford Foundation.22
Melalui SESKOAD, Soeharto melakukan diskusi intensif (berkon-
spirasi) de­ngan CIA seputar penyusunan strategi maupun taktik yang
efektif untuk menghancurkan PKI maupun mengguling pemerintah
Sukarno.
Pada 16 September 1963 lahir negara Federasi Malaysia yang me-
liputi Malaya, Singapura, dan Kalimantan Utara. Hal ini mengancam
keberadaan Indonesia, sehingga Presiden Sukarno menjalankan ke-
bijakan politik Konfrontasi Malaysia.23 Kebijakan ini mendapat ke-
caman keras dari Menteri Luar Negeri Australia, Barwick. Ia, pada
18 April 1964, memperingatkan secara tegas kepada Sukarno, “Jika
Indonesia tidak menghentikan kebijakan Konfrontasi Malaysia, maka
ANZUS akan melibatkan diri dalam masalah tersebut.” Ini membuk-
tikan, ANZUS merupakan ancaman bagi Indonesia dari arah selatan.
www.facebook.com/indonesiapustaka

20
Peter Dale Scott, op.cit., hlm. 45.
21
Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer, 19 Januari 1996.
22
Peter Dale Scott, 1998, op.cit., hlm. 16-17.
23
Hilman Adil, Australia’s Policy Toward Indonesia During Confrontation 1962-1966;
Singapura: Institute of South East Asian Studies, 1977, hlm. 24.

336

01-TA-16x24-terakir.indd 336 1/30/2012 9:39:26 PM


MENGUNGKAP AKTOR DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

AS sebagai ancaman dari arah utara ditunjukkan dengan memberikan


dukungan secara tegas kepada Perdana Menteri Tun Abdul Rahman,
berupa pengiriman beberapa perwira untuk memberikan pelatihan
khusus bagi tentara Malaysia dan penjualan secara kredit beber­
apa pesawat tempur kepada Malaysia.24 Dalam suasana Konfrontasi
Malaysia, menempatkan Indonesia berhadapan dengan musuh-mu-
suh yang telah mengepungnya. Dari arah selatan adalah Australia,
Selandia Baru, dan AS yang tergabung dalam ANZUS, sedangkan
dari arah utara Federasi Malaysia, Inggris, AS, dan beberapa negara
lain yang sejak tahun 1954 telah masuk ke dalam SEATO sebagai pak-
ta pertahanan untuk membendung meluasnya pengaruh komunis di
Asia Tenggara.25
Uni Soviet dalam upaya menyebarkan komunis menetapkan garis
kebijakan politik luar negeri dengan membantu negara-negara yang
baru merdeka melawan kekuatan kolonial. Hal ini pernah dilakukan-
nya ketika mendukung pemerintah Indonesia dalam merebut Irian
Barat dari Belanda. Dalam kasus Konfrontasi Malaysia, Uni Soviet
bersifat ragu dalam menyatakan dukungannya, karena konfrontasi
tersebut merupakan konflik antara sesama negara yang baru merdeka.
Lain halnya dengan Cina, yang menganggap konfrontasi tersebut se-
bagai konflik antara negara yang baru merdeka (Indonesia) melawan
negara boneka bikinan Nekolim Inggris (Malaysia), sehingga Cina
mendukung Indonesia untuk menggagalkan pembentukan Federasi
Malaysia.26
Ketakutan kemungkinan intervensi Indonesia atas Malaysia atau
kemungkinan komunis mengambil alih kekuasaan di Indonesia, se-
hingga Duta Besar AS di Malaysia, James Bell mengirim telegram ke
Departemen Luar Negeri AS pada 9 Januari 1965, yang berisi peng­
usulan agar AS mengirim bantuan senjata bagi anasir-anasir militer
anti-komunis di Indonesia untuk mengambil alih kekuasaan dengan
www.facebook.com/indonesiapustaka

24
Hilman Adil, op.cit., 50-51.
25
J. Siboro, Sejarah Australia; Bandung: Tarsito, 1994, hlm. 179-180.
26
Nadia Darkach, The Sovyet Policy Towards Indonesia in The West Irian and Malaysia
Disputes,” dalam Survey, Vol. 11, 1965, hlm. 568.

337

01-TA-16x24-terakir.indd 337 1/30/2012 9:39:26 PM


I. G. Krisnadi

bantuan Malaysia dan pakta ANZUS. Telegram itu kemudian dikenal


dengan Bell’s Proposal. Namun, Duta Besar AS di Indonesia, Howard
Jones, pada 13 Januari 1965 mengirim telegram kepada Departemen
Luar Negeri AS yang berisi pernyataan Jones tentang Bell’s Proposal
itu belum saatnya, karena selain Sukarno seorang figur yang sangat
populer di mata rakyat dan belum ada satu pun kekuatan non-ko-
munis, termasuk militer, yang siap. Berkenaan dengan ini, Penasehat
Keamanan AS, McGeorge Bundy, meminta pertimbangan kepada
seorang agen CIA yang berwawasan luas mengenai masalah Timur
Jauh, yaitu Chester Cooper. Ia segera memeriksa hasil kerja Seksi
Analisis CIA dan Seksi Pelayanan Bawah Tanah CIA, dan meminta
masukan agen CIA yang beroperasi di Indonesia, kemudian memberi-
kan jawaban tertulis secara singkat sebagai berikut: “Mac, you asked
my views on the incoming from Malaya (attached) (Sic). I have brood-
ed and have checked around and agree with Jones.”27
Pada 22 Januari 1965, Duta Besar Howard Jones mengirim telegram
kepada Departemen Luar Negeri AS, yang mengungkapkan salah
seorang staf kedubes telah mendiskusikan dengan Jenderal S. Parman
rencana keinginan TNI-AD untuk mengambil kekuasaan sebelum
Sukarno yang sakit-sakitan meninggal.28 Kepala BPI, Dr. Subandrio,
menjelang Konferensi Asia Afrika di Aljazair pada Juni 1965, tepatnya
di Kairo, Mesir memberikan keterangan pers bahwa Indonesia memi-
liki bukti akurat adanya plot Nekolim AS-Inggris dengan dibantu sa-
habat-sahabatnya di dalam negeri akan mengadakan serangan militer
terhadap Indonesia.29 Maxwell menulis surat kepada The New York
Review of Books pada 5 Juni 1978, yang menyatakan dirinya mene­
mukan dokumen sebagai bukti keterlibatan dinas rahasia Barat yang
“mematangkan” kup 1965 di Indonesia. Dokumen tersebut ditemu-
kan ketika sedang riset di Pakistan menyangkut penyelesaian India-
Pakistan pada tahun 1965, dari tumpukan surat-surat dan dokumen
kementerian luar negeri. Dokumen itu berupa sepucuk surat yang
www.facebook.com/indonesiapustaka

27
Stanley, op.cit., hlm. 67.
28
Ibid., hlm. 69.
29
Ibid., hlm. 71.

338

01-TA-16x24-terakir.indd 338 1/30/2012 9:39:26 PM


MENGUNGKAP AKTOR DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

ditulis Duta Besar Pakistan di Paris, Mr. JA Rahim, yang dikirimkan


kepada Menteri Luar Negeri Pakistan, Bhutto, pada bulan Desember
1964. Surat tersebut berisi hasil percakapannya dengan seorang pega-
wai intelijen Belanda di NATO yang menyebutkan Indonesia akan
jatuh ke tangan Barat seperti “apel busuk”. Di dalam dokumen itu
disebutkan dinas rahasia Barat akan mempersiapkan suatu kup ko-
munis pra-dini/prematur yang akan memberi peluang dan legitimasi
bagi militer untuk menumpas PKI dan menjadikan Sukarno sebagai
tahanan militer.30
Dokumen Gillchrist itu palsu atau asli? Dokumen ini berisi su-
rat Duta Besar Inggris di Jakarta, Sir Andrew Gillchrist kepada
Departemen Luar Negeri Inggris yang salah satu alineanya berbunyi:

“... Akan baik untuk menekankan sekali lagi kepada para sahabat kita
di dalam Angkatan Darat (our local army friends) bahwa kehati-hatian
yang memerlukan keseksamaan, disiplin dan koordinasi adalah es-
ensi dari suksesnya usaha.”

Dokumen itu tidak jelas diketahui asal-usul pihak yang mengeluar-


kan dokumen tersebut.31
Menurut Manai Sophiaan, pihak AS dan Inggris menyatakan bahwa
dokumen itu palsu. Ada kemungkinan yang mengeluarkan dokumen
itu jaringan intelijen Subandrio dengan maksud untuk mempolarisa-
si politik Indonesia agar waspada terhadap kemungkinan pengambil­
alihan kekuasaan oleh TNI-AD, tentu juga dalam rangka Konfrontasi
Malaysia. Namun mantan Kepala intelijen Cekoslowakia, Ladislav
Bittman, dalam buku The Decepcion Game, menyebutkan bahwa su-
rat itu dikeluarkan oleh Dinas Rahasia Blok Sovyet yang ditujukan
kepada Sekretaris Muda Kementerian Luar Negeri Sir, Harold Cassia,
yang berkedudukan di London. Dokumen itu dibuat agar sentimen
anti Blok Barat di saat sentimen anti-AS di Indonesia sedang berlang-
www.facebook.com/indonesiapustaka

sung.32 Selain itu ada lagi dokumen palsu lainnya yang diproduksi
30
Stanley, Ibid., hlm. 72.
31
Ibid.
32
Ibid., hlm. 73.

339

01-TA-16x24-terakir.indd 339 1/30/2012 9:39:26 PM


I. G. Krisnadi

seperti Operasi Palmer. Operasi Palmer adalah sebutan bagi sebuah


dokumen yang mengambil nama Bill Palmer yang disinyalir agen CIA
yang menyamar sebagai wakil AMPAI dan telah 19 tahun melakukan
kegiatan subversif di Indonesia. Menurut Bittman, pada April 1965,
Kepala Departemen Berita-Berita Palsu KGB Jenderal, Agayant, datang
ke Jakarta untuk memantau perkembangan. Ia merasa puas terhadap
berbagai dokumen palsu itu, karena hubungan Indonesia-AS men-
capai taraf kritis. Dokumen-dokumen palsu itu sengaja disam­paikan
kepada pejabat-pejabat Indonesia dengan harap­an agar makin meng-
giring Indonesia ke arah politik luar negeri yang anti Barat.33 Terlepas
dari kontroversi asal-usul Dokumen Gillchrist, tampak terbitan doku-
men itu telah mematangkan situasi dan berguna untuk tujuan-tujuan
politik AS menuju kristalisasi kekuasaan. Apalagi de­ngan diramai-
kan isu “Dewan Jenderal,” maka lengkap sudah provokasi yang akan
menyeret PKI dalam situasi konflik fisik apa yang disebut sebagai
“kup prematur” komunis/PKI semakin mendekati kenyataan. Teori
Geoffrey Robinson, memang pada akhir­nya “kup prematur” PKI be­
tul-betul terjadi dan dikenal dengan peristiwa G30S.

Oknum-oknum yang “Tidak Benar”


Mantan Komandan Brigif I, Kodam V/Jaya, Kol. A. Latief, dalam
pledoinya menyatakan, dua minggu sebelum G30S, ia menghadap
Pangkostrad Mayjen Soeharto, untuk melaporkan adanya desas-desus
“Dewan Jenderal” yang merencanakan kup terhadap Presiden Sukarno
sebelum HUT ABRI 5 Oktober 1965. Soeharto telah mengetahui
informasi itu dari bekas anak buahnya yang berasal dari Yogyakarta
bernama Subagyo. Beberapa saat sebelum terjadi G30S, Latief menemui
Soeharto di RSPAD yang sedang menunggui anaknya tersiram sup
panas sekitar pukul 23.00 WIB (30 September 1965), untuk melaporkan
bahwa diri­nya bersama kawan-kawan akan melakukan gerakan untuk
www.facebook.com/indonesiapustaka

menangkap “Dewan Jenderal” pada tengah malam (30 September 1965).


Selain itu, hal tersebut juga dilaporkan kepada Pangdam V Jaya,
33
Ibid.

340

01-TA-16x24-terakir.indd 340 1/30/2012 9:39:26 PM


MENGUNGKAP AKTOR DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

Jenderal Umar Wirahadikusuma melalui jalur garnisun dan Pomdam


Jaya. Setelah itu ia kembali ke basis menemui teman-teman dengan
keyakinan bahwa Soeharto dan Umar berada di pihaknya,34 sehingga
kedua jenderal itu tidak masuk dalam target operasi G30S.
Soeharto dan Umar semestinya bertanggung jawab terhadap
keamanan Jakarta, dan telah mengetahui hal itu, namun keduanya tidak
melarang apalagi mencegahnya. Ini berarti Soeharto dan Umar dengan
sengaja membiarkan operasi G30S mulai berjalan dan tidak melaporkan
kepada atasannya, yaitu Menkohankam/KASAB Jenderal A.H. Nasution
dan Menpangad Majen A. Yani. Menurut Benedict Anderson, Soeharto
memiliki hubungan dekat dengan seluruh perwira teras TNI-AD yang
merupakan para pelaku penting dalam G30S. Mereka itu adalah anak
buah atau bekas anak buah Soeharto, seperti Soepardjo, Untung, dan
Latief di Jakarta, dan kawan-kawannya di Markas Divisi Diponegoro
di Semarang. Bahkan ketika Untung mengawinkan anaknya, Soeharto
hadir dalam perayaan perkawinan tersebut di suatu kota kecil di Jawa
Tengah. Ketika Soeharto mengkhitankan anaknya (Sigit), keluarga
Latief diundang, dan sebaliknya ketika Latief mengkhitankan anaknya,
keluarga Soeharto hadir sebagai tamu kehormatan.35 Berdasarkan
kedekatan hubungan itu, Latief dan kawan-kawannya merasa tidak
curiga dengan Soeharto. Benedict Anderson mewawan­carai Latief
untuk menanyakan bagaimana perasaannya pada sore hari (1 Oktober
1965) setelah ia mengetahui Soeharto melakukan gerakan penumpasan
terhadap G30S (pagi hari, 1 Oktober 1965) yang dianggap melakukan
kudeta pemerintah Sukarno. Maka tidak menghe­rankan jika Latief
menjawab “saya merasa dikhianati.”36
Pada tengah malam, Kamis 30 September 1965 Komandan I Resimen
Cakrabirawa, Letkol Untung, memimpin gerakan untuk menangkap
“Dewan Jenderal” yang dianggap melakukan kudeta terhadap Presiden
Sukarno. Gerakan tersebut berhasil menculik dan membunuh 6
www.facebook.com/indonesiapustaka

34
Abdul Latief, Pledoi Kol. A. Latief; Soeharto Terlibat G.30.S; Jakarta: ISAI, 2000, hlm.
128-129.
35
Latief, op.cit., hlm. xxxiv.
36
Ibid., hlm. xxxv.

341

01-TA-16x24-terakir.indd 341 1/30/2012 9:39:26 PM


I. G. Krisnadi

jenderal dan 1 perwira pertama, serta satu jenderal lolos dari target
operasi, yaitu A. H. Nasution.37 Pada Jumat pagi, pukul 07.00 WIB, 1
Oktober 1965, rakyat Indonesia dikejutkan siaran berita RRI Jakarta
yang pada waktu itu telah dikuasai G30S. Di dalam siaran tersebut
diberitakan sebagai berikut: (1) pada waktu tengah malam, Kamis
30 September 1965 di Jakarta terjadi sebuah gerakan dalam tubuh
Angkatan Darat dengan dibantu oleh satuan-satuan dari unsur-unsur
angkatan beserta lainnya; (2) G30S yang dipimpin oleh Komandan
Resimen Cakrabirawa, Letkol Untung telah menahan anggota-anggota
“Dewan Jenderal” yang disponsori CIA, yang semenjak sakitnya
Presiden Sukarno awal Agustus 1965 telah menunjukkan kegiatan
“luar biasa”. Hal ini terbukti bahwa ”Dewan Jenderal” telah membawa
pasukan-pasukan dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur ke
Jakarta untuk melakukan kudeta sekitar HUT Angkatan Bersenjata,
5 Oktober 1965; (3) para anggota “Dewan Jenderal” tersebut gila
kekuasaan, mengabaikan kesejahteraan pasukannya, hidup mewah di
atas penderitaan rakyatnya, merendahkan wanita dan menghambur-
hamburkan uang negara; (4) mengambil tindakan untuk mencegah
terjadinya kudeta yang dilakukan “Dewan Jenderal” terhadap Presiden
Sukarno; (5) G30S adalah suatu gerakan yang murni dari intern
Angkatan Darat yang ditujukan untuk melawan “Dewan Jenderal”; (6)
Presiden Sukarno ada dalam keadaan selamat di bawah perlindungan
G30S; (7) Dewan Revolusi akan segera dibentuk di Jakarta yang diikuti
oleh Dewan Revolusi di tingkat provinsi dan tingkat pemerintahan
yang lebih rendah di daerah; (8) Dewan Revolusi akan melaksanakan
kebijakan-kebijakan Presiden Sukarno seperti Panca Azimat Revolusi,
politik luar negeri bebas aktif dan menentang Nekolim.38

37
Para korban jenderal tersebut adalah: (1) Menpangad Letjen Ahmad Yani, (2) Deputi II
Pangad, Majen R. Soeprapto, (3) Deputy III Pangad, Majen Harjono Mas Tirtodarmo, (4)
www.facebook.com/indonesiapustaka

Asisten I Pangad, Majen Siswondo Parman, (5) Asisten IV Pangad, Brigjen Donald Izacus
Pandjaitan; (6) Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat, Brigjen Soetojo
Siswamihardjo, dan seorang perwira pertama, Lettu Piere Andreas Tendean. Seorang
target operasi yang lolos adalah Menkohankam/PANGAB Jenderal A.H. Nasution.
38
Naskah siaran berita tersebut dikutip M.R. Siregar dari sumber CIA, “The Coup That
Backfired, Intelligence, December 1968.” M.R. Siregar, op.cit., hlm. 2-3.

342

01-TA-16x24-terakir.indd 342 1/30/2012 9:39:26 PM


MENGUNGKAP AKTOR DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

Ketika “malam jahanam” itu tiba, Presiden Sukarno bermalam di


kediaman Ratnasari Dewi di Wisma Yaso, di Jalan Gatot Subroto. Pagi
pukul 06.30 WIB, ia bergegas meninggalkan rumah menuju Istana
Merdeka, namun karena istana sedang dikepung pasukan-pasukan
yang tidak dikenal, pada maka pukul 08.30 WIB Presiden Sukarno
atas inisiatif sendiri menuju ke PAU Halim melalui darat dengan per-
timbangan di PAU Halim tersedia pesawat jetstar sebagai pesawat
kepresidenan yang selalu siaga, dan siap membawa Presiden untuk
menyelamatkan diri jika dianggap perlu. Hal ini sesuai dengan SOP
Resimen Cakrabirawa yang menyebutkan bahwa salah satu cara me-
nyelamatkan Presiden dalam keadaan bahaya adalah dengan pesawat
C-140 Jetstar.39
Sesaat tiba di PAU Halim, Brigjen Soepardjo menghadap Presiden
Sukarno untuk melaporkan bahwa dirinya bersama kawan-kawan
telah mengambil tindakan terhadap “Dewan Jenderal” yang beren-
cana melakukan kudeta terhadap Presiden Sukarno. Selain itu ia juga
meminta Presiden Sukarno untuk mendukung G30S. Namun Sukarno
menolak permintaannya,40dan memerintahkan kepadanya agar meng­
hentikan gerakan guna menghindari terjadinya pertumpahan darah.
Kehadiran Presiden Sukarno di PAU Halim membawa persoalan
tersendiri bagi PKI, sehubungan dengan itu Soepardjo menyatakan
kepada Sukarno bahwa PKI harus cepat bersilat politik, harus cepat
menentukan titik strategi, apa mau berjalan sendiri atau berjalan ber-
sama Sukarno. Jika PKI tidak mampu memenangkan revolusi sendi­
ri, maka harus pula cepat merangkul Bung Karno untuk bersama-
sama menghancurkan kekuatan lawan.41 Berdasarkan laporan dari
Soepardjo, Sukarno segera menulis sepucuk surat untuk Dewi yang
isinya sebagai berikut:

“Saya berada di suatu tempat dalam keadaan sehat. Semua ini dise-
babkan oleh hal-hal yang terjadi tadi malam. Anak-anak ini yang
www.facebook.com/indonesiapustaka

39
Aristides Katoppo dkk. Menyingkap Kabut Halim ; Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999,
hlm. 118-119.
40
Ibid., hlm. 123.
41
Ibid., hlm. 122.

343

01-TA-16x24-terakir.indd 343 1/30/2012 9:39:26 PM


I. G. Krisnadi

melakukan suatu “revolusi” tidak melawan saya, tetapi menyelamat-


kan saya. Karena itu jangan khawatir.”42

Pada sore hari setelah Dewi mengetahui Sukarno ada di PAU Halim,
kemudian segera menyusulnya. Setelah bertemu dengan Sukarno, ia
menanyakan seputar peristiwa yang telah terjadi seperti yang ditu-
turkan Dewi berikut ini.

“Bapak mengatakan, bahwa ada sejumlah jenderal di dalam Angkatan


Darat yang ingin mencoba melakukan kudeta terhadap Bapak dan
sejumlah orang lain telah mendengar ini sebelum mereka berbuat
demikian dan telah mengambil tindakan untuk menyelamatkan
Bapak. Jenderal Panjaitan dan jenderal lainnya saya lupa, apakah
Jenderal Haryono atau Jenderal Parman, melawan penangkapan dan
suatu perkelahian terjadi, dan mereka dibunuh.”43

Presiden Sukarno di PAU Halim segera memanggil para pejabat nega­


ra untuk keperluan koordinasi guna menyelamatkan bangsa. Mereka
yang dipanggil untuk menghadap adalah Menpangal, Laksamana
Madya Laut R.E. Martadinata, Menpangak Inspektur Jenderal Pol.
Soetjipto Joedidiardjo, Pangdam V Jaya Umar Wirahadikusumah,
dan Waperdam II Dr. Leimena. Sedangkan Waperdam I, Dr. Subandrio
dan Waperdam II, Jenderal Chairul Saleh tidak diminta menghadap
karena sedang melakukan kunjungan kerja ke Medan dan sedang
memimpin perutusan MPRS ke RRC.44 Di antara mereka yang
dipanggil, hanya Umar Wirahadikusumah yang tidak hadir, karena
ia berkomplot dengan Soeharto. Presiden Sukarno memanggil para
peja­bat negara untuk menunjukkan bahwa otoritas pemerintahannya
masih ada. Rapat tersebut juga membahas seputar penggantian pim­
pinan TNI-AD setelah Yani terbunuh. Rapat memutuskan sebagai
berikut: (1) pimpinan TNI-AD untuk sementara waktu berada di ta­
ngan Presiden RI selaku Pangti ABRI/Pemimpin Besar Revolusi, dan
www.facebook.com/indonesiapustaka

mengangkat Mayjen Pranoto Rekso Samudro sebagai pejabat caretaker

42
MR Siregar, Naiknya Para Jenderal; Medan: SHRWN: 2000, hlm. 21.
43
Ibid., hlm. 21-22.
44
Ibid., hlm. 123.

344

01-TA-16x24-terakir.indd 344 1/30/2012 9:39:27 PM


MENGUNGKAP AKTOR DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

Men/Pangad, tetapi untuk pelaksanaaan tugas sehari-hari diperca­


yakan kepada Pangkostrad, Soeharto45; (2) Mayjen Pranoto Rekso
Samudro diminta segera menghadap Presiden Sukarno di PAU Halim;
(3) Kol. KKO Bambang Widjanarko ditunjuk untuk menghadap
Pangkostrad Jenderal Soeharto guna menyampaikan hasil keputusan
rapat.
Sesampai di Kostrad, Kol. KKO, Bambang Widjanarko menyampai-
kan hasil rapat kepada Pangkostrad Jenderal Soeharto. Berkenaan den-
gan itu, Jenderal Soeharto tidak mengizinkan Jenderal Pranoto pergi ke
Halim, dengan alasan ia tidak mau mengambil risiko jatuhnya korban
jenderal Angkatan Darat lagi. Bahkan pada hari itu, Soeharto menjaw-
ab kebijakan Presiden Sukarno tersebut dengan mengangkat dirinya
sebagai pemimpin TNI-AD yang didasarkan pada Standard Operating
Procedure (SOP). Berkenaan dengan itu, ia mengatakan sebagai beri-
kut: “Karena saya adalah satu-satunya panglima lapangan yang masih
dalam keadaan dapat bertindak. Saya pernah ditugaskan sebagai peja-
bat KASAD pada waktu Jenderal Yani tidak ada di tempat.”46
Menurut Amir Machmud, tindakan semacam ini tidak dapat
dibenarkan, karena Presiden Sukarno selaku Pangti/ABRI/Pemimpin
Besar Revolusi telah menetapkan suatu kebijakan bahwa pimpinan
TNI-AD untuk sementara berada langsung dalam tangan Presiden/
Pangti ABRI. Bahkan untuk melaksanakan tugas sehari-hari dalam
Angkatan Darat ditunjuk Asisten III/Pangad, Majen Pranoto Rekso
Samodro sebagai pejabat “caretaker.” Dengan demikian SOP
tidak mempunyai kekuatan hukum.47 Presiden Sukarno setelah
mengambil alih pimpinan TNI-AD, pada siang hari pukul 13.30 (1
Oktober 1965) sebuah pengumuman dibacakan melalui RRI bahwa
Presiden Sukarno hidup, selamat, dalam keadaan sehat, serta masih
memegang pimpinan negara. Pengumuman tersebut dibuat atas
otoritas Komandan Cakrabirawa Pengawal Presiden, Jenderal Sabur.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Selain itu, juga diumumkan bahwa untuk sementara Sukarno telah

45
Aristides Katoppo, op.cit hlm., 125.
46
Y. Pohan, op.cit., 12.
47
Ibid., hlm. 13.

345

01-TA-16x24-terakir.indd 345 1/30/2012 9:39:27 PM


I. G. Krisnadi

meng­ambil alih pimpinan TNI-AD dan telah menunjuk Jenderal


Pranoto Rekso Samodro sebagai “caretaker” panglima TNI-AD untuk
melaksanakan pekerjaan sehari-hari dari TNI-AD.48 Pengumuman ini
menambah kelegaan masyarakat yang tidak anti-Sukarno.
Soeharto menjawab pidato Presiden Sukarno melalui yang
siaran RRI pada siang hari itu dengan mengambil langkah strategis
yaitu merebut RRI dari tangan G30S dan menguasai media cetak
serta media elektronik lainnya. Setelah RRI dapat dikuasai, sekitar
pukul 21.00 malam (1 Oktober 1965), Pangkostrad Mayjen Soeharto
mengucapkan pidato radio singkat yang memberitakan “suatu
gerakan kontra-revolusioner telah menahan enam jenderal termasuk
Men/Pangad Yani. Selain itu juga diberitakan bahwa pembentukan
Dewan Revolusi adalah suatu kudeta melawan Presiden Sukarno,
dan ia (Soeharto) telah mengambil alih kepemimpinan Angkatan
Darat, dan telah dicapai pengertian bersama antara Angkatan Darat,
Laut, dan Kepolisian untuk menghancurkan G30S.49 Isi pokok dari
pidato tersebut sangat bertentangan dari pidato beberapa jam
sebelumnya yang dibuat atas otoritas Sabur. Hal ini sangat mem­
bingungkan masyarakat, khususnya para pendukung Sukarno, se­
hingga kebingungan berkembang menjadi kecemasan. Soeharto di
dalam pidato radio itu tidak menyebut siapa yang memberinya kuasa
untuk mengambil alih kepemimpinan Angkatan Darat dan untuk
menghancurkan G30S. Namun yang jelas kebijakan itu diambil
Soeharto didasarkan pada SOP.
Pada 2 Oktober 1965, seluruh surat kabar di Jakarta berhasil
dikuasai pasukan Soeharto untuk dimanfaatkan menyebar benih-
benih kebencian terhadap PKI dan ormas-ormasnya. Berita-berita
surat kabar yang tidak sejalan dengan kepentingan Soeharto, dibredel
diganti dengan berita seputar pendiskreditan atau pengganyangan
PKI. Opini publik masyarakat Jakarta pada awal Oktober 1965 tentang
www.facebook.com/indonesiapustaka

G30S adalah persoalan intern Angkatan Darat, namun muncul artikel

Ibid. hlm. 3-4.


48

M.R. Siregar, op.cit., hlm 4.


49

346

01-TA-16x24-terakir.indd 346 1/30/2012 9:39:27 PM


MENGUNGKAP AKTOR DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

yang dimuat Harian Rakyat (koran PKI) yang telah dikuasai TNI-AD
berisi dukungan PKI terhadap G30S. Munculnya artikel “tepat waktu”
terasa aneh, sebab sudah jelas gerakan itu gagal. Lagi pula pada saat
itu ada larangan pemuatan berita tentang. Berkenanan dengan itu,
Wertheim berpendapat, keseluruhan penerbitan Harian Rakyat pada
hari itu merupakan pemalsuan editorial yang dilakukan militer untuk
merusak citra PKI.50
Suatu bukti bahwa opini publik seputar G30S merupakan per-
soalan internal TNI-AD, dapat dilihat dalam pidato sambutan A.H.
Nasution pada upacara penguburan 6 jenderal yang terbunuh pada
HUT ABRI 5 Oktober 1965, yang tidak menuduh PKI sebagai dalang,
seperti dalam kutipan berikut ini:

“Sampai hari ini pun HUT ABRI kita masih tetap penuh khitmad dan
kebanggaan meskipun ditandai oleh peristiwa yang merupakan noda
bagi kita ABRI. Yaitu bahwa telah terjadi suatu fitnah dan pengkhi-
anatan serta kekejaman atas perwira-perwira tinggi kita. Walaupun
begitu saudara-saudara kita yang menjadi korban itu adalah tetap
merupakan pahlawan-pahlawan di hati kita bangsa Indonesia. Yang
pada akhirnya nanti kebenaran pasti akan menang meskipun kita
telah difitnah oleh pengkianat-pengkianat itu. Hal mana pada waktu-
nya nanti kita akan memperhitungkannya.”51

Pidato Jenderal A.H. Nasution itu sama sekali tidak memberi kesan
bahwa PKI sebagai dalang pembunuhan 6 jenderal. Sebaliknya, pi-
dato tersebut mengesankan peristiwa G30S itu akibat konflik inter-
nal Angkatan Darat. Istilah “fitnah dan pengkianatan” dalam pidato
itu menunjuk oknum-oknum yang tidak benar di jajaran TNI-AD,
yaitu Soeharto bersama kliknya.
Seluruh surat kabar di Jakarta pada saat itu sudah dikendalikan
TNI-AD untuk dimanfaatkan membentuk opini publik tentang keben-
cian terhadap PKI. Demi tujuan itu, militer memanipulasi berita de­
www.facebook.com/indonesiapustaka

50
Stanley, op.cit., hlm. 21.
51
Melatinur, “Mencekik dengan Kain Sutera”; Surat-surat Terbuka dari Ratna Sari Dewi
Sukarno dan Willem Oltmans; Tanpa Kota Penerbit: Yayasan Indonesia Baru, 1998, hlm.
8.

347

01-TA-16x24-terakir.indd 347 1/30/2012 9:39:27 PM


I. G. Krisnadi

ngan menyebar benih-benih kebencian terhadap PKI. Misalnya dapat


dilihat pada artikel Angkatan Bersenjata, 11 Oktober 1965 memberi-
takan sebagai berikut:

“... cerita ini membuktikan tentang kebinatangan Gestapu... Sesudah


tertangkap ia disiksa dengan sangat kejam, karena para penculik itu
mengira ia Jenderal Nasution. Ia kemudian diserahkan kepada sukare-
lawan-sukarelawan Gerwani. Lalu dengan tangan dan kaki terikat,
Tendean menjadi permainan cabul setan-setan perempuan Gerwani,
yang perbuatan mereka merendahkan martabat wanita Indonesia”52
“... sukarelawan-sukarelawan Gerwani telah bermain-main dengan
para jenderal dengan menggosok-gosokan kemaluan mereka ke kema­
luan sendiri.”53

Surat Kabar Berita Yudha (Minggu, 11 Oktober 1965) memberitakan


tentang tubuh-tubuh jenderal yang telah dirusak (Gerwani): “mata
dicungkil, dan sementara itu ada yang dipotong kemaluan mereka.”
Sinar Harapan, 9 Oktober 1965 juga memberitakan Dewan Gereja
Indonesia (DGI) menyatakan perasaan kesedihannya yang men-
dalam, karena sungguh hampir tidak bisa dipercaya, bahwa orang-
orang tertentu (PKI) yang ber-Pancasila di negara kita bisa melaku-
kan perbuatan-perbuatan, seperti perkosaan yang di luar batas-batas
kemanusiaan.54 Berita soal kekejaman Gerwani terhadap para jende­
ral korban merupakan fiksi yang menjadi fakta, yang bertahan puluh­
an tahun lamanya dan dikutip berulang-ulang oleh kalangan
wartawan maupun sejarawan. Hasil visum tim dokter yang diketuai
Brigjen TNI dr. Roebiono Kertapati menyebutkan semua kelamin
jena­zah utuh. Malah ada seorang jenazah yang kelaminnya belum
disunat, karena almarhum memang beragama Kristen. Hasil otopsi
juga menyebutkan di antara jenasah ada bola mata yang copot, kare-
na pada saat dicemplungkan ke sumur posisinya kepala terlebih dulu.
Jadi cerita penyayatan kelamin oleh Gerwani merupakan isapan jem-
www.facebook.com/indonesiapustaka

52
Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia; Tanpa Kota
Terbit: Garba Budaya dan Kalyanamitra, hlm. 517.
53
Ibid., hlm. 517.
54
Ibid.

348

01-TA-16x24-terakir.indd 348 1/30/2012 9:39:27 PM


MENGUNGKAP AKTOR DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

pol belaka. Tim dokter pada saat itu menemui kesulitan menyusun
laporan akhir otopsi, karena berita yang dilansir di media massa su-
dah terlanjur misinformation.55

Pimpinan PKI yang Keblinger


Keberhasilan Pemerintah Hatta menghancurkan PKI di Madiun pada
September 1948, berdampak buruk terhadap citra PKI di masyarakat.
D.N. Aidit selaku pimpinan CC-PKI mencoba menghilangkan kesan
buruk terhadap organisasi yang dipimpinnya dengan mengubah ge­
rakan PKI yang militan ke arah gerakan parlementer. Presiden
Sukarno dikenal sebagai seorang patriot yang gandrung persatuan
semua kekuatan revolusioner, berusaha keras mewujudkan samen-
bundeling van alle revolutioner krachten mengajak kaum nasionalis,
agama, dan komunis, untuk bersatu dalam Nasakom guna mengha-
dapi Nekolim.
Ajakan Presiden Sukarno tersebut dibahas dalam Kongres Luar
Biasa VII PKI yang berlangsung pada 25-30 April 1962. Keputusan
kongres menghasilkan Strategi “Kawan Berkoalisi” yang meliputi lima
garis perjuangan sebagai berikut: (1) PKI berjuang untuk memperoleh
kekuasaan; (2) Kekuasaan baru yang akan dibentuk adalah koalisi na-
sional; (3) PKI menghendaki semua pemerintah koalisi nasional itu di
bawah pimpinannya; (4) Pemerintah koalisi nasional akan memenuhi
kepentingan kelas-kelas anti-imperialis dan anti-feodal; (5) untuk
mencapai tujuan (perolehan kekuasaan) dengan perubahan-perubah­
an demokratis atau melalui jalur parlementer.56 Dengan demikian
ajakan Sukarno tersebut diterima PKI dengan konsekuensi partai ini
harus menerima Pancasila dan Manipol-USDEK. Walaupun demikian
ajakan ini sangat menguntungkan PKI, karena partainya akan tampil
sebagai unsur legal dalam konstelasi politik di Indonesia. Melalui
www.facebook.com/indonesiapustaka

55
Stanley (b), “Penggambaran Gerwani Sebagai Kumpulan Pembunuh dan Setan; Fitnah
dan Fakta Penghancuran Organisasi Perempuan Terkemuka” (makalah). Disajikan dalam
seminar sehari “Tragedi Nasional 1965” yang diadakan MSI pada 8 Nopember 1999 di
Gedung Dewan Riset Nasional; Kompleks Puspitek, Serpong. hlm. 4-5.
56
Stanley (a), op.cit., hlm. 134.

349

01-TA-16x24-terakir.indd 349 1/30/2012 9:39:27 PM


I. G. Krisnadi

dukungan yang gigih terhadap kebijakan politik Sukarno, PKI akan


semakin memperoleh berbagai posisi penting di pemerintahan.
Melalui perjuangan parlementer dalam Kabinet Gotong Royong
berporos Nasakom dengan PKI ada di dalamnya, merupakan pen-
tahapan yang panjang, dan PKI mencanangkan perolehan kekuasaan
melalui Pemilu, sehingga dibutuhkan perjuangan sabar dan ulet.
Berkenaan dengan itu, Nyoto ketika berceramah di depan sekolah
partai di dekat Moskow, menggambarkan Indonesia bagaikan taman
bunga dengan bunga yang beraneka warna. Lambat-laun warna bunga
akan berubah, hingga akhirnya semuanya menjadi merah.57 Namun
kebijakan ini mendapat kritikan tajam khususnya dari komunis luar
negeri. Para kritisi berpendapat, langkah PKI yang demikian itu justru
akan memperlemah partai. Hal ini terbukti kebijakan politik Sukarno
tentang Konfrontasi Malaysia tahun 1963, menimbulkan frustasi di
kalangan kader PKI. Sukarno berhasil mendomestikkan PKI hing-
ga aksi-aksi massa untuk membela kepentingan buruh dan petani
tergeser oleh aksi-akasi solidaritas perjuangan rakyat. Demikianlah,
ketergantungan PKI pada Sukarno. Sejauh mana kesiapan PKI untuk
mendapatkan dukungan kaum buruh dan petani, jika ada pukulan
dari kaum reaksioner. Kebijakan semacam itu sangat sia-sia, karena
kaum borjuis tidak pernah sukarela melepaskan kekuasaannya.58
Ketika masa pentahapan Pemilu 5 tahunan tiba (1959), PKI menuntut
supaya Pemilu segera diselenggarakan. Namun pemerintah Sukarno
maupun kekuatan kanan yang ada di parlemen keberatan untuk me-
nyelenggarakan, karena khawatir PKI akan memenangkannya.
Namun di sisi lain Presiden Sukarno sangat menyadari perkem-
bangan PKI yang saat cepat dapat membahayakan gagasan persatuan
yang dikehendakinya. Ia membutuhkan penyeimbang dan hal ini di-
perolehnya dari organisasi Angkatan Bersenjata. Sukarno pun sadar
dengan semangat anti-komunis yang sangat mengakar di Angkatan
www.facebook.com/indonesiapustaka

Bersenjata. Nasakom digunakannya sebagai penyeimbang menghada-

57
Ibid., 106.
58
Stanley (a), op.cit., hlm 105.

350

01-TA-16x24-terakir.indd 350 1/30/2012 9:39:27 PM


MENGUNGKAP AKTOR DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

pi tekanan Angkatan Bersenjata yang mungkin terpancing mengambil


langkah drastis bila ia bersikeras memperkuat posisi kaum komunis.
Dengan demikian Sukarno berperan sebagai “bandul politik” atau
sebagai penyeimbang yang tentu tidak menghendaki komunis (PKI)
terlalu kuat atau Angkatan Bersenjata yang terlalu kuat di negeri ini.
Berkenaan dengan itu, Crouch beranggapan bahwa Sukarno ingin
senantiasa mempertahankan perimbangan kekuatan agar kekuasaan
tetap tersentralisir pada dirinya dengan cara “bermain” di antara dua
kekuatan yang saling bertentangan, yakni TNI-AD dan PKI.59
Memasuki tahun 1960-an, perseteruan antara PKI dengan lawan-
lawan politiknya semakin memanas. Aksi ofensif PKI mengganyang
“setan desa”, “setan kota” dan kapitalis-kapitalis birokrat, pengusulan
pembentukan Angkatan ke-5 dengan mempersenjatai buruh dan tani
oleh PKI, perseteruan para seniman dalam berpolemik kebudayaan
antara kubu Lekra (PKI), Lesbi (Partindo) dan LKN (PNI) melawan
kaum Manifesto Kebudayaan yang mengantarkan pada situasi pra-
hara budaya,60 memanaskan situasi politik dalam negeri. Kebijakan
politik Konfrontasi Malaysia (1963) yang dicanangkan pemerintah
Sukarno, semakin menambah gairah negara-negara Nekolim Barat
seperti Amerika Serikat, Inggris, yang bekerja sama dengan kaum
reaksioner (TNI-AD, PSI, Masyumi) untuk menghancurkan PKI dan
menggulingkan Sukarno. Hal ini menjadikan Indonesia terkepung
oleh musuh-musuh (Nekolim Barat) baik dari arah utara (SEATO),
dari arah selatan (ANZUS) dan dari dalam negeri. Perayaan HUT PKI
ke-45 secara kolosal dengan demonstrasi drumband Pemuda Rakyat
dan dihadiri ribuan massa PKI, sebagai show of forces untuk meres­
pon tekanan dan ancaman lawan.61
enurut Sjam, pada 12 Agustus 1965 ia dipanggil Aidit untuk
M
datang di rumahnya. Ia diberitahu bahwa Presiden Sukarno sakit
serius, dan ada kemungkinan “Dewan Jendral” segera mengambil
www.facebook.com/indonesiapustaka

59
Stanley (Penyunting), Bayang-Bayang PKI (Jakarta: ISAI, 1995), hlm 65-66.
60
D.S. Moeljanto, Taufiq Ismail, Prahara Budaya; Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk; Jakarta:
Mizan, 1995, hlm. 6.
61
Wawancara dengan Hardoyo 2001.

351

01-TA-16x24-terakir.indd 351 1/30/2012 9:39:27 PM


I. G. Krisnadi

tindakan apabila Sukarno meninggal, karena itu Sjam diperintahkan


meninjau kekuatan yang dimilikinya untuk mempersiapkan suatu
gerakan.62 Aidit membawa permasalahan ini untuk dibahas dalam
sidang Biro Khusus Pusat pada awal September 1965. Di dalam sidang
itu muncul dua pendapat yang berbeda yaitu, pendapat pertama, PKI
mendahului dan menculik “Dewan Jenderal.” Pendapat ini didukung
Sjam dan Aidit. Pendapat yang kedua, menunggu sampai terjadi kup
“Dewan Jenderal” baru melakukan langkah antisipasi sesuai dengan
keadaan. Pendapat ini didukung oleh Pono dan anggota Biro Khusus
Pusat lainnya, Bono Hamim, Soejono Pradigdo. Akhirnya sidang itu
bersepakat memilih pendapat kedua, dengan pertimbangan perbuat­
an kudeta tidak akan didukung rakyat, dan sebagian besar rakyat yang
simpati PKI akan antipati kepada tentara yang melakukan kudeta.
Hasil rapat ini segera disampaikan ke Biro Khusus di daerah-daerah.
Namun yang terjadi, Sjam dan Aidit menyelewengkan keputus­an
yang pernah disepakati, padahal keputusan hasil rapat itu belum
menyebar.63 Ketika terjadi “tumpes kelor” terhadap para anggota/
simpatisan/berstigma PKI di daerah-daerah, tidak ada perlawan­an dari
PKI. Aidit merasa yakin bahwa tindakannya untuk membersihakan
“Dewan Jenderal” dari rencana kup, akan melapangkan jalan bagi diri­
nya untuk memperoleh kekuasaan, apalagi kesehatan Sukarno sedang
memburuk. Tindakan semacam ini oleh Bung Karno dikatakan seba­gai
pimpinan PKI yang keblinger.Tampaknya Aidit terperangkap skenario
yang dipasang Soeharto melalui agennya yang bernama Sjam, yang
diselundupkan ke PKI, walaupun Aidit merasa Sjam adalah sebagai
agen PKI yang diselundupkan ke dalam militer.
Menurut Coen Holtzapel, pendelegasian dan keleluasan yang
berlebihan yang diberikan Aidit kepada Sjam mengakibatkan adanya
kekacauan dan tidak terkoordinasinya penggendalian oleh Aidit
selaku Ketua PKI terhadap apa pun yang dikerjakan Biro Khusus.64
Hal tersebut terungkap dari pengakuan seorang perwira G30S,
www.facebook.com/indonesiapustaka

62
MR Siregar, op.cit., hlm. 63.
63
Stanley, 136-137)
64
Stanley (a), op.cit., hlm. 128.

352

01-TA-16x24-terakir.indd 352 1/30/2012 9:39:27 PM


MENGUNGKAP AKTOR DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

Mayor Soejono (AU), sebelum dieksekusi yang menyatakan pada


30 September malam, ia ditugaskan Sjam untuk menjemput Aidit
di rumahnya untuk dibawa ke PAU Halim. Di perjalanan Soejono
mengonfirmasikan kepada Aidit mengenai kebenaran kabar bahwa
penyampaian berita-berita penting menyangkut gerakan harus
melalui Sjam sebelum diteruskan kepadanya. Ternyata Sjam membuat
ketentuan sendiri, bahwa persoalan yang akan disampaikan kepada
Aidit tidak boleh disampaikan langsung, melainkan harus melalui
dirinya, dan Sjam yang akan menyampaikan kepada Aidit.65
Sjam sengaja membawa Aidit ke Halim untuk mencegah jangan
sampai PKI mengekploitasi situasi, dan yang kedua, untuk menekan
Presiden Sukarno supaya mendukung G30S dengan tujuan sebagai
berikut: (1) Aidit selaku pimpinan PKI ada di Halim bersama Sjam,
Pono (anggota Biro Khusus Pusat), dan para perwira teras G30S, seperti:
Letkol Untung, Kol. Latief, Major Angkatan Udara, Soejono, dan Brigjen
Soepardjo, untuk dijadikan bukti bahwa Aiditlah yang memimpin
kup; (2) untuk mengucilkan Aidit dengan para pimpinan PKI yang
lain, sehingga tidak bisa melakukan konsolidasi partai atau tidak bisa
memobilisasi massanya. Berkenaan dengan itu Helen menyatakan, Aidit
di Halim terpisah dari orang-orang yang sesungguhnya memimpin kup
yakni: Untung, Latief, Soejono, Sjam, dan Pono. Ia berhubungan dengan
Sentral Komando hanya melalui kurir, bahkan ia tidak berhubungan
dengan Sukarno atau Oemar Dhani.66
Sebenarnya, tanpa bukti pun KOSTRAD sudah memastikan bahwa
dalang dari G30S adalah PKI. Ini dapat diketahui dari Memori bekas
Kepala BAKIN, Yoga Sugomo yang memastikan bahwa penculikan
para jenderal itu adalah PKI. Beberapa perwira tampak ragu pada
anggapan itu, karena pada saat itu (pagi hari 1 Oktober 1965) belum
diperoleh bukti-bukti yang mendukung anggapan tersebut, seperti
yang dikatakan Ali Murtopo “Pak Yoga jangan tergesa-gesa, nanti bisa
www.facebook.com/indonesiapustaka

keliru.” “Tidak, ini mesti perbuatan PKI. Kita tinggal mencari bukti-

Ibid., hlm. 128.


65

MR. Siregar, op.cit., hlm. 29.


66

353

01-TA-16x24-terakir.indd 353 1/30/2012 9:39:28 PM


I. G. Krisnadi

buktinya.” Jawab Yoga. “Waduh, kok PKI. Kalau salah nanti bagaima-
na?” Sudah, kita harus melakukan persiapan-persiapan,” kata Yoga
menghentikan percakapan.67

Simpulan
Terjadinya peristiwa G30S merupakan pertemuan tiga sebab yaitu,
kelihaian subversif nekolim, adanya oknum-oknum “yang tidak
benar”, dan pimpinan PKI yang “keblinger.” Keterlibatan Nekolim
Barat terhadap penghancuran anasir komunis di Indonesia dimulai
sejak AS memberikan dana bantuan kepada Pemerintahan Hatta
(1948) untuk mendukung Program Rera, dan penghancuran FDR/PKI
di Madiun (September 1948). Penempatan Arthur Campbell (CIA)
sebagai awal penanaman ideologi kapitalis yang anti-komunis di
kalangan para pimpinan nasional, para pimpinan partai (PSI dan
Masyumi), dan TNI-AD. Mereka itu dikenal dengan kaum kanan atau
kaum reaksioner. Keterlibatan AS bersama kaum reaksioner (PSI dan
Masyumi) dalam pemberian dukungan terhadap pemberontakan
PRRI/Permesta sebagai manifestasi ketidaksenangan komunis tum­
buh dan berkembang di Indonesia. Kehadiran SESKOAD mengubah
prajurit yang revolusioner menjadi pro-Nekolim, anti-PKI. Melalui
SESKOAD tersusun strategi dan taktik penghancuran PKI dan
penggulingan pemerintah Sukarno. Pemilihan taktik Kup Komunis
Prematur de­ngan mempercayakan Sjam sebagai agen ganda (Soeharto
dan Aidit) dan melepas isu “Dewan Jenderal” dari kalangan jenderal
yang loyal Sukarno, Soeharto memperoleh justifikasi untuk meng­
hancurkan PKI dan memudahkan menggulingkan Sukarno. Tindakan
pembangkangan Pangkostrad Mayjen Soeharto dan Pangdam V Jaya
Jenderal Umar Wirahadikusuma secara sengaja membiarkan atau
tidak mencegah Kol. Latief bersama kawan-kawan melakukan gerakan
penangkap­an “Dewan Jenderal” yang merencanakan kudeta terhadap
www.facebook.com/indonesiapustaka

pemerintah Sukarno sekitar HUT ABRI 5 Oktober 1965 dan tidak


melapor kepada atasannya Menkohankam/KASAB Jenderal A. H.

Ibid., hal. 31.


67

354

01-TA-16x24-terakir.indd 354 1/30/2012 9:39:28 PM


MENGUNGKAP AKTOR DI BALIK GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

Nasution, Menpangad Jenderal A. Yani, melapangkan jalan bagi


Letkol. Untung bersama kawan-kawan melakukan G30S. Hal ini yang
oleh Presiden Sukarno dianggap adanya oknum-oknum yang “tidak
benar” yang ikut mengantarkan terjadinya peristiwa G30S. Keber­
hasilan Sjam selaku pemimpin Biro Khusus PKI menyeret Aidit
melakukan tindak­an “mendahului” menangkap “Dewan Jenderal”
yang diyakini dapat melapangkan jalan Aidit untuk memperoleh
kekuasaan. Hal ini, oleh Presiden Sukarno dalam Pelengkap Nawak­
sara, dianggap sebagai pemimpin PKI yang keblinger.

Daftar Pustaka
Adil, Hilman. 1977. Australia’s Policy Toward Indonesia During Confrontation
1962-1966 Singapura: Institute of South East Asian Studies.
----------. 1993. Hubungan Australia-Indonesia 1945-1962. Jakarta:
Djambatan.
Amnesti Internasional Report. 1977. New York Review of Books.
Briton, Peter. 1996. Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia: Perpektif
Tradisi-tradisi Jawaban Barat. Terj. Tim Redaksi. Jakarta: Pustaka
LP3ES Indonesia.
Darkach, Nadia. 1965. The Sovyet Policy Towards Indonesia in The West
Irian and Malaysia Disputes,” dalam Survey, vol. 11.
DeTAK Th. 1, 29 September-5 Oktober 1998. “ Melacak The Soeharto-CIA
Connection”.
Harper, Norman. 1987. A Great Powerfull Friend: A Study of Australian
American Relations Between 1900 and 1975 (Queensland Press).
Katoppo, Aristides. dkk. 1999. Menyingkap Kabut Halim. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Krisnadi, IG. 2001. Tahanan Politik Pulau Buru (1969-1979). Jakarta: LP3ES.
Latief, Abdul. 2000. Pledoi Kol. A. Latief; Soeharto Terlibat G.30.S. Jakarta:
ISAI.
Melatinur. 1998. “Mencekik dengan Kain Sutera”; Surat-surat Terbuka dari
www.facebook.com/indonesiapustaka

Ratna Sari Dewi Sukarno dan Willem Oltmans. Tanpa Kota Penerbit:
Yayasan Indonesia Baru.
Meyer, Henry. 1973. Australian Politics; Melbourne: The Grifin Press.

355

01-TA-16x24-terakir.indd 355 1/30/2012 9:39:28 PM


I. G. Krisnadi

Moeljanto, D. S. 1995. Prahara Budaya; Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk.


Jakarta: Mizan.
Pohan, Y. 1085. Siapa Sesungguhnya Yang Melakukan Kudeta Terhadap
Pemerintahan
Presiden Sukarno. Amsterdam: Stichting “Indonesia Media.
Scott, Peter Dale. 1999. U.S. Overthrow of Sukarno 1965-1967, (Penterj.
Darma). Yogyakarta: Lembaga Analisis Informasi.
Setiawan, Hersri. 2003. Negara Madiun?: Kesaksian Soemarsono Pelaku
Perjuangan Tanpa Kota Terbit: FuSAD.
Siboro, J. 1994. Sejarah Australia. Bandung: Tarsito.
Siregar, M.R. 2000. Naiknya Para Jenderal. Medan: SHRWN.
Sophiaan, Manai. 1994. Kehormatan Bagi Yang Berhak: Bung Karno Tidak
Terlibat G.30.S/PKI. Jakarta: Yayasan Mencerdaskan Kehidupan
Bangsa.
Stanley (Penyunting). 1995. Bayang-Bayang PKI; Jakarta: ISAI.
Stanley. “Penggambaran Gerwani Sebagai Kumpulan Pembunuh dan Setan;
Fitnah dan Fakta Penghancuran Organisasi Perempuan Terkemuka”
(makalah). Disajikan dalam seminar sehari “Tragedi Nasional 1965”
yang diadakan MSI pada 8 November 1999, di Gedung Dewan Riset
Nasional; Kompleks Puspitek, Serpong.
Suwidi Tono (Editor). 2003. Nawaksara Bung Karno. Depok: Vision. Dokumen
Nawaksara dan Pelengkap Nawaksara.
Wieringa, Saskia Eleonora. 1999. Penghancuran Gerakan Perempuan di
Indonesia Tanpa Kota Terbit: Garba Budaya dan Kalyanamitra.
Wawancara dengan mantan anggota DPRGR, Hardoyo 2 Oktober 2001.
Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer, 19 Januari 1996.
www.facebook.com/indonesiapustaka

356

01-TA-16x24-terakir.indd 356 1/30/2012 9:39:28 PM


BAB IX
CIA DAN G30S-1965

Abdul Syukur

Central Intelligence Agency (CIA) adalah dinas rahasia Amerika


Serikat (AS) yang berdiri pada tahun 1947. Hingga sekarang, CIA
masih berperan penting dalam menentukan kebijakan pemerintah
AS. Pada umumnya kebijakan pemerintah AS banyak dipengaruhi
oleh ‘the invisible goverment’ (pemerintah bayangan), yakni badan ti-
dak resmi yang terdiri atas lembaga intelijen AS. Kelompok ini biasa
disebut sebagai Special Group (Kelompok Istimewa) atau Secret Team
(Tim Rahasia). Pemerintah AS mempunyai beberapa lembaga inteli-
jen yang terdiri dari satu lembaga intelijen independen (CIA), unsur
lembaga intelijen departemen pertahanan (National Reconnaissance
Office, National Imagery and Mapping Agency, Marine Corps
Intelligence, Air Force Intelligence, Navy Intelligence, Army
Intelligence, National Security Agency, dan Defense Intelligence
Agency) dan unsur intelijen departemen non-pertahanan (Department
of State, Department of Energy, Department of the Treasury, dan
Federal Bureau of Investigation/FBI). Seluruh lembaga intelijen ini di
bawah koordinasi Community Management Staff dan National
www.facebook.com/indonesiapustaka


Untuk sejarah pembentukan CIA lihat tulisan mantan Deputy Director of CIA. Ray
S.Cline, Secrets Spies and Scholars: Blueprint of the Essential CIA; ttp: 1976, hlm. 93-96.

David Wise dan Thomas Ross, the Invisible Government; New York: Random House, 1964
dikutip oleh Willem Oltmans, Dibalik Keterlibatan CIA: Bung Karno Dikhianati?, Jakarta:
Aksara Karunia, 2001, hlm. 53-54.

357

01-TA-16x24-terakir.indd 357 1/30/2012 9:39:28 PM


Abdul Syukur

Intelligence Council yang dikepalai oleh Director of Central


Intelligence (DCI).
Di antara lembaga intelijen tersebut, yang paling istimewa adalah
CIA, karena tidak bertanggung jawab kepada menteri terkait, namun
langsung kepada Presiden. Posisi ini menyebabkan CIA menjadi un-
sur utama ‘the invisible goverment’ dalam sistem pemerintahan AS.
Seluruh Presiden Amerika Serikat yang baru terpilih akan diperke-
nalkan oleh pejabat Gedung Putih kepada pimpinan Special Group
di tempat rahasia bernama Situation Room di bawah tanah Gedung
Putih. Direktur CIA menempati posisi terpenting dalam Special Group,
sebagaimana tergambar setelah pelantikan Presiden Amerika Serikat
ke-36, Lyndon Baines Johnson (1908-1973) pada tahun 1963. Ia, oleh
McGeorge Bundy, seorang pejabat Gedung Putih yang merangkap se-
bagai “orang dalam Special Group,” dibawa ke Situation Room un-
tuk menemui Direktur CIA yang saat itu dijabat oleh John McCone.
Jabatan L.B. Johnson sebelum tahun 1963 adalah Wakil Presiden.
Sebagai Wakil Presiden, ia telah mengenal orang-orang yang terma-
suk Special Group, namun tidak pernah menyadari hingga McBundy
membawanya ke Situation Room.
Tugas utama CIA adalah menyerap informasi tentang negara-negara
asing untuk kepentingan pemerintah Amerika Serikat. Pembentukan
CIA pada dasarnya merupakan “jawaban” AS terhadap perubahan
tatanan masyarakat internasional pasca Perang Dunia II (1939-1945).
Amerika Serikat beserta negara-negara besar lainnya seperti Inggris,
Perancis, dan Uni Soviet berhasil mengalahkan kekuatan fasisme
Jerman, Italia, dan Jepang. Namun, kemenangan tidak menyebabkan
persatuan semakin erat di antara negara-negara penentang fasisme.
Justru yang terjadi sebaliknya, mereka dilanda perpecahan terutama
di antara AS dan Uni Soviet yang menjadi dua negara terkuat pas-
ca Perang Dunia II. Perpecahan AS versus Uni Soviet berkembang
www.facebook.com/indonesiapustaka

http://www.cia.gov (8/12/99), http://www.dci.gov (8/12/99), http://www.ic.gov (8/12/99).




Willem Oltmans, op.cit., hlm. 55.




358

01-TA-16x24-terakir.indd 358 1/30/2012 9:39:28 PM


CIA DAN G30S-1965

menjadi Perang Dingin. Meskipun keduanya menghindari kon-


flik senjata secara langsung, namun memberikan dukungan kepada
pihak-pihak yang bertikai. “Pernyataan Perang” AS terhadap Uni
Soviet diumumkan oleh Presiden Harry S. Truman (1884-1972) di
depan anggota Kongres pada tahun 1947. Pidatonya itu dikenal se-
bagai Doktrin Truman. Pada dasarnya, Doktrin Truman merupakan
kebijakan luar negeri yang bersifat intervensi, meskipun dibungkus
tujuan mulia membantu memulihkan perekonomian negara-negara
yang meng­alami kehancuran selama Perang Dunia II dan membantu
kemerdekaan bangsa-bangsa merdeka melawan usaha penaklukan
kelompok bersenjata dukungan negara luar. Negara luar yang dike-
cam Truman adalah Uni Soviet karena telah memberi bantuan terha-
dap golongan komunis di seluruh dunia untuk merebut kekuasaan di
negaranya masing-masing. AS tidak ingin menambah kejatuhan nega­
ra-negara baru ke dalam genggaman Uni Soviet setelah kehilangan
separuh Benua Eropa (Eropa Timur). Wilayah Perang Dingin segera
melebar keluar Benua Eropa, yaitu Benua Afrika, Asia, dan Benua
Amerika sendiri.
Dalam kasus Asia, terutama Asia Timur, komunisme memperoleh
kemajuan di Daratan Cina. Pada tahun 1949 golongan komunis Cina di
bawah kepemimpinan Mao Zedong (1893-1976), berhasil mengalah-
kan nasionalis Cina pimpinan Jenderal Chiang Kai-Shek (1887-1975).
Kemenangan komunis Cina mengejutkan AS, sehingga memperbesar
rasa komunisto phobia (ketakutan yang berlebihan terhadap komu-
nis). Amerika Serikat sangat percaya bahwa gelombang komunis akan
segera menerpa wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara. Ketakutan ini
menjadi dasar ‘teori domino’, dengan komunis Cina sebagai lemparan
kartu pertamanya. Dalam permainan kartu domino, lemparan kartu
pertama akan diikuti dengan lemparan kartu berikutnya. Begitu juga
kemajuan komunis di Cina akan diikuti pula dengan kemajuan ko-
munis di negara-negara lain yang tersebar di Asia Timur dan Asia
www.facebook.com/indonesiapustaka

Untuk latar belakang perang dingin lihat, John lukacs, A History of the Cold War; New


York: Doableday, 1961, dan Hugh Higgins, The Cold War; London: Hienemann Educational,
1984.

359

01-TA-16x24-terakir.indd 359 1/30/2012 9:39:28 PM


Abdul Syukur

Tenggara. Golongan komunis di Asia Timur dan Tenggara mengalami


kebangkitannya selama periode 1950-an, seperti komunis Vietnam,
komunis Korea, dan komunis Indonesia.
Golongan komunis di Indonesia sudah ada sejak awal tahun 1900-
an dengan tokoh utamanya H.J.F.M. Sneevliet, J.A. Brandsteder, H.W.
Dekker, dan P. Bergsma. Keempatnya mendirikan Indische Sociaal
Democratische Vereeniging (ISDV) pada tahun 1914, sebuah orga­
nisasi beraliran Marxisme yang pertama di Asia Tenggara. ISDV ke-
mudian berubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI), dan sempat
dihancurkan pemerintah kolonial Hindia Belanda pada akhir tahun
1920-an. PKI muncul kembali pada tahun 1947. Satu tahun kemu-
dian dihancurkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Pada tanggal
4 Februari 1950 golongan komunis di Indonesia memba­ngun kembali
PKI. Secara mengejutkan PKI masuk empat partai besar pemenang
Pemilu 1955 bersama Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi,
dan Nahdlatul Ulama. Dengan demikian, PKI merasa berhak untuk
diikutsertakan ke dalam kabinet. Namun, Masyumi menolaknya,
sehingga formatur kabinet selalu mengalami kegagalan memben-
tuk kabinet yang definitif. Sikap Masyumi didukung penuh Partai
Sosialis Indonesia (PSI). Konflik politik Masyumi-PSI dan PKI di-
manfaatkan oleh Presiden Sukarno (1901-1970) dengan menjadikan
dirinya sebagai pelindung PKI. Sukarno membutuhkan kemampuan
PKI mengerahkan massa untuk mendukung kebijakannya merebut
kembali wilayah Irian Barat dari Belanda.
Kemajuan PKI telah diantisipasi pihak Amerika Serikat sebagai­
mana tersirat dalam pesan Presiden Amerika Serikat Dwight David
Eisenhower (1953-1961) pada tahun 1953 kepada Duta Besar Amerika
Serikat untuk Indonesia Hugh S. Cumming Jr (1953-1957). Ia oleh
Eisenhower ditugasi untuk mencegah agar kemenangan golongan
www.facebook.com/indonesiapustaka


Untuk sejarah perkembangan golongan komunis di Indonesia, lihat Ruth T. McVey, The
Rise of Indonesian Communism; Ithaca: Cornell Univerisity Press, 1968 dan Rex Mortimer,
Indonesian Communism under Sukarno: ideology and Politics 1959-1965, Ithaca: Cornell
University Press, 1974.

Lihat Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta: Grafitipers, 1987,
hlm. 197-256.

360

01-TA-16x24-terakir.indd 360 1/30/2012 9:39:28 PM


CIA DAN G30S-1965

komunis di Cina tidak berulang di Indonesia. Instruksi senada juga


diterima Cummning Jr dari Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John
Foster Dulles (1953-1959). Presiden Eisenhower dan Menteri Luar
Negeri Dulles lebih menyukai perpecahan negara kesatu­an Republik
Indonesia daripada mempertahankan kesatuan negara Indonesia
yang berada dalam genggaman komunis, sebagaimana terjadi pada
Cina. Kebijakan ini diterapkan pihak Amerika Serikat dengan mem-
beri dukungan penuh kepada Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI) di Sumatera dan Perjuangan Semesta (Permesta) di
Sulawesi pada akhir 1950-an. Para agen CIA mempunyai peran yang
aktif dalam mendorong kemunculan PRRI dan Permesta. Laporan in-
telijen CIA lebih dipercaya oleh Presiden Eisenhower dan Menteri
Luar Negeri Dulles daripada laporan Duta Besar Amerika Serikat
di Indonesia John M. Alisson (21 Februari 1957-28 Januari 1958).
Alisson segera mengajukan pengunduran diri pada 13 Maret 1957
karena merasa kewenangannya telah dilangkahi oleh trio Presiden
Eisenhower, Menteri Luar Negeri Dulles, dan Direktur CIA Allen
W. Dulles (1953-1961). Posisi Alisson hingga 5 Maret 1958 diganti-
kan Sterling Cottrel, mantan konsul Amerika Serikat di Singapura.
Menteri Luar Negeri Dulles kemudian mengangkat Howard P. John
sebagai Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia (6 Maret 1958-
April 1965).
Pemerintah Indonesia berhasil menghancurkan kekuatan militer
PRRI dan Permesta dalam waktu relatif singkat, kurang dari satu bulan
pada tahun 1958. Setelah kekalahan para pemberontak, Pemerintah
Amerika Serikat langsung menghentikan dukungannya kepada PRRI-
Permesta. Hal ini juga didukung oleh keyakinan bahwa Kepala Staf
Angkatan Darat (KSAD), Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution, adalah
seorang anti komunis. Pihak Amerika Serikat segera mengalihkan du-
kungan kepada Nasution dengan harapan agar Angkatan Darat ber-
sedia menghadapi PKI yang telah memperoleh keuntungan politik
www.facebook.com/indonesiapustaka

dari keterlibatan Amerika Serikat dan dua partai politik anti komunis
Lihat George McT. Kahin dan Audrey R. Kahin, Subversion as Foreign Policy: The Secret


Eishonhower and Dulles Deblacle in Indonesia, New York: The New Press, 1995.

361

01-TA-16x24-terakir.indd 361 1/30/2012 9:39:28 PM


Abdul Syukur

(Masyumi dan PSI) dalam pemberontakan PRRI-Permesta. PKI berha-


sil mendesak Presiden Sukarno agar membubarkan Masyumi dan PSI
dengan tuduhan berkhianat kepada negara. Tuntutan PKI dikabulkan
oleh Presiden Sukarno, sehingga Masyumi dan PSI menjadi partai ter-
larang sejak tahun 1960. Di samping itu, PKI juga berhasil membujuk
Presiden Sukarno untuk membawa Indonesia ke dalam lingkungan
negara-negara komunis, terutama Uni Soviet dan Republik Rakyat
Cina (RRC). Bujukan PKI mudah diterima Sukarno karena Indonesia
membutuhkan dukungan Uni Soviet dan RRC untuk memenang-
kan sengketa kepemilikan Irian Barat antara Indonesia dan Belanda.
Penyelesaian bilateral Indonesia-Belanda selama empat tahun (1950-
1954) dalam masalah Irian Barat telah mengalami kegagalan. Sejak ta-
hun 1954 masalah Irian Barat menjadi agenda sidang Majelis Umum
Persatuan Bangsa-Bangsa (MU PBB). Namun, persoalan belum sele-
sai juga. Belanda masih tetap berkuasa di Irian Barat. Negara-negara
Barat yang memusuhi komunis menjadi pendukung setia Belanda.
Pada tahun 1957, pemerintah Indonesia memutuskan untuk menem-
puh cara lain, untuk memaksa Belanda mengembalikan Irian Barat,
yakni dengan mengambil alih seluruh perusahaan Belanda yang ada
di Indonesia. Hubungan bilateral Indonesia-Belanda semakin mem-
buruk setelah Indonesia memutuskan hubungan diplomatiknya
de­ngan Belanda pada tanggal 17 Agustus 1960. Dengan demikian,
pe­rang Indonesia-Belanda memperebutkan Irian Barat ‘tinggal se-
langkah lagi’, terutama setelah Presiden Sukarno pada 2 Januari 1962
mengeluarkan Surat Keputusan No. 1 tahun 1962 tentang pembentuk­
an Komando Mandala Pembebasan Irian Barat.
Amerika Serikat berusaha mencegah Perang Indonesia-Belanda
karena hanya akan mempercepat Indonesia jatuh ke dalam ‘pelukan’
Blok Komunis pimpinan Uni Soviet. Apabila Indonesia telah menjadi
komunis, maka kawasan Asia Tenggara dan Timur terkepung oleh tiga
kekuatan komunis, yakni Uni Soviet, RRC, dan Indonesia. Dengan
www.facebook.com/indonesiapustaka

Tentang pengaruh Soviet dan RRC di Indonesia, lihat Justus M. van der Kroef, “Soviet


and Chinese Influence in Indonesia” dalam Alvin Z. Rubinstein (ed.), Soviet and Chinese
Influence in the Third Word, New York: Praegen, 1975.

362

01-TA-16x24-terakir.indd 362 1/30/2012 9:39:28 PM


CIA DAN G30S-1965

demikian kepentingan Amerika Serikat, Perancis, dan Inggris di Asia


Tenggara dan Timur langsung terancam juga. Menyadari risiko yang
akan ditanggung, maka Amerika Serikat dan Inggris segera mende-
sak Belanda untuk berunding dengan Indonesia. Pada 15 Agustus
1962 di New York, Amerika Serikat, tercapai perjanjian damai antara
Indonesia dan Belanda untuk menyelesaikan sengketa Irian Barat.
Belanda menyerahkan kekuasaannya di Irian Barat kepada United
Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) yang dibentuk
PBB. Satu tahun kemudian UNTEA menyerahkan kekuasaan Irian
Barat kepada Indonesia.
Keberhasilan Indonesia memanfaatkan iklim Perang Dingin antara
Uni Soviet dan Amerika Serikat untuk memenangkan sengketa kepe-
milikan Irian Barat dengan Belanda merupakan kebijakan luar negeri
yang brilian. Presiden Sukarno semakin percaya diri untuk menampil-
kan Indonesia sebagai pemimpin dunia. Beberapa langkah ke arah
itu bisa terlihat dari penentangan Indonesia terhadap pembentukan
negara federasi Malaysia yang disponsori Inggris, keluar dari keang-
gotaan PBB, dan upaya membentuk organisasi tandingan PBB yaitu
Conference of New Emerging Force (CONEFO). Embrio dari CONEFO
adalah pembentukan aliansi dengan negara-negara komunis di Asia
Timur dan Asia Tenggara, yaitu Poros Peking (RRC)-Hanoi (Vietnam
Utara)-Pyongyang (Korea Utara)-Jakarta (Indonesia). Keberadaan poros
ini langsung mengancam kepentingan Amerika Serikat, Perancis, dan
Inggris yang ingin mempertahankan pengaruhnya di Asia Timur dan
Asia Tenggara. Pembentukan poros itu sendiri memberi keuntungan
jangka pendek bagi Indonesia, yaitu menentang pembentukan negara
federasi Malaysia yang disponsori Inggris. Sejak awal Indonesia men-
jadi penentang utama pembentukan Malaysia pada akhir tahun 1963.
Namun upaya Indonesia mengalami kegagalan. Ternyata negara-nega­
ra Blok Barat berpihak kepada Inggris. Puncak kemarahan Indonesia
terjadi pada 7 Januari 1965, karena Malaysia diterima sebagai anggota
www.facebook.com/indonesiapustaka

tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Indonesia memprotesnya dengan


menyatakan diri keluar dari keanggotaan PBB. Sejak Januari 1965

363

01-TA-16x24-terakir.indd 363 1/30/2012 9:39:28 PM


Abdul Syukur

Indonesia semakin aktif membentuk aliansi dengan RRC, Vietnam


Utara, dan Korea Utara. Embrio aliansi ini diungkapkan oleh Presiden
Sukarno pada 17 Agustus 1965 dengan menggambarkan hubungan
Indonesia dengan RRC sebagai awal sebuah poros untuk menan­dingi
Poros Berlin-Tokyo. Sukarno berusaha merangkul RRC melalui suatu
kemitraan dengan Asia Tenggara yang akan dibagi kembali masing-
masing ke dalam pengaruh kekuasaan Cina dan Melayu, dengan
Peking dan Jakarta sebagai pusatnya.10
Tidak ayal lagi bahwa rencana aliansi Indonesia dengan sejum-
lah negara komunis di Asia Timur mempertinggi ketegangan politik
di kawasan Asia Timur dan Tenggara. Pada saat itu masih berlang-
sung Perang Vietnam dan Perang Korea. Di sisi lain, rencana aliansi
ini semakin meyakinkan Amerika Serikat dan sekutunya tentang
kemenang­an golongan komunis di Indonesia. Namun, rencana pem-
bentukan poros Jakarta-Hanoi-Pyongyang-Peking berantakan akibat
terjadi krisis politik di Indonesia pada 1 Oktober 1965, yang berujung
dengan kejatuhan Presiden Sukarno.
Krisis politik itu berawal dari aksi penculikan dan pembunuhan
enam perwira tinggi yang memimpin Markas Besar Angkatan Darat
oleh Gerakan 30 September pimpinan Letkol Untung, salah seorang
Komandan Batalion Resimen Cakrabirawa yang bertugas menjaga ke-
selamatan Presiden Sukarno.11 Keberhasilan Untung menyelamatkan
Presiden Sukarno dan Republik Indonesia tersebut disiarkan Radio
Republik Indonesia (RRI) pada pukul 07.15 WIB tanggal 1 Oktober

10
Arnold C. Brackman, Communist Colaps in Indonesia, New York: W.W. Norton, 1969,
hlm. 26-27
11
Resimen Cakrabirawa dibentuk pada tanggal 14 Mei 1962 setelah terjadi usaha pem-
bunuhan terhadap Presiden Sukarno sewaktu melaksanakan sholat Idul Adha di depan
Istana Merdeka, Jakarta. Kekuatan Resimen Cakrabirawa terdiri dari satu Detasemen
Kawal Presiden dan empat batalion dari masing-masing angkatan, yakni Angkatan Darat,
Angkatan Laut (Marinir), Angkatan Udara (PGT = Pasukan Gerak Tjepat), dan Angkatan
Kepolisian (Brimob = Brigade Mobil). Para anggota Resimen Cakrabirawa merupakan
www.facebook.com/indonesiapustaka

orang-orang pilihan. Lambat-laun mereka mendapat perlakuan istimewa yang melebihi


standar normal anggota tentara. Uniform (pakaian seragam) mereka dari angkatannya
semula diganti dengan suatu uniform dengan baret yang warnanya mirip dengan baret
RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat), sehingga mereka merasa sebagai pa-
sukan yang paling elit. Lihat Maraden Panggabean, Berjuang dan Mengabdi, Jakarta:
Sinar Harapan, 1993, hlm. 155.

364

01-TA-16x24-terakir.indd 364 1/30/2012 9:39:29 PM


CIA DAN G30S-1965

1965. Pihak yang mengancam keselamatan Presiden Sukarno dan


Republik Indonesia adalah sejumlah jenderal Angkatan Darat yang
tergabung dalam Dewan Jenderal. Menurut siaran berita RRI itu,
Dewan Jenderal adalah gerakan subversif yang disponsori oleh
CIA. Aktivitas subversif Dewan Jenderal meningkat sejak Presiden
Sukarno menderita sakit serius pada minggu pertama bulan Agustus
1965. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuannya, Dewan Jenderal
merencanakan pamer kekuatan (machtsvertoon) pada hari Angkatan
Bersenjata 5 Oktober 1965 dengan mendatangkan pasukan-pasukan
dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.12 Menteri/Panglima
Angkatan Udara Republik Indonesia Laksamana Madya Omar Dhani
mendukung hasil analisis Gerakan 30 September bahwa CIA berada
di belakang rencana subversif Dewan Jenderal.13 Kesimpulan seru-
pa dilontarkan pula oleh Presiden Sukarno dalam teks pidato per-
tanggungjawabannya yang berjudul Pelengkap Nawaksara kepada
peserta SU MPRS (Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara) pada bulan Juni 1966. Hanya saja Sukarno tidak menye-
but CIA secara spesifik, tetapi secara umum, yakni subversi Nekolim
(Neo Kolonialisme dan Imperialisme). Istilah Nekolim merupakan
ciptaan Sukarno untuk menyebut Blok Barat pimpinan Amerika
Serikat.14
Keterlibatan pemerintah AS, terutama CIA dalam tragedi nasional
1 Oktober 1965 dijadikan pokok bahasan oleh David T. Johnson pada
tahun 1976 dalam sebuah artikel yang panjangnya 39 halaman ter-
diri dari 6 bagian, yakni (1) pendahuluan, (2) penilaian AS menge-
nai Indonesia, (3) AS menghadapi enam pilihan, (4) latar belakang
kudeta 1 Oktober, (5) peristiwa-peristiwa pada 1 Oktober, dan (6)
kesimpulan.15

12
Dokumen Siaran RRI Jakarta 1 Oktober 1965 setelah warta berita pukul 07.00 WIB ter-
dapat dalam Alex Dinuth, Dokumen Terpilih Sekitar G30S/PKI, Jakarta: Intermasa, 1997,
www.facebook.com/indonesiapustaka

hlm. 42-44.
13
Lihat Perintah Harian Menteri/Panglima Angkatan Udara Republik Indonesia Nomor
445/ Pen /1965 dalam ibid, hlm. 50.
14
Teks pidato Pelengkap Nawaksara ditulis lengkap dalam ibid, hlm. 201-205.
15
Artikel ini dicetak untuk kembali untuk diketahui oleh masyarakat umum pada tahun
1995 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2000. Lihat David T.

365

01-TA-16x24-terakir.indd 365 1/30/2012 9:39:29 PM


Abdul Syukur

Johnson mengawali analisisnya dengan membantah tiga analisis se-


belumnya, yakni kudeta Gerakan 30 September dilancarkan kelompok
perwira menengah Angkatan Darat yang progresif atau tidak puas,16
Gerakan 30 September merupakan kudeta ciptaan PKI,17 ataupun
Presiden Sukarno untuk menyingkirkan pimpinan Angkatan Darat.18
Kesimpulan akhir Johnson bahwa kudeta Gerakan 30 September meru-
pakan hasil ciptaan CIA dengan memanfaatkan Menteri Pertahanan
dan Keamanan (Menhankam) Jenderal Abdul Haris Nasution dan
Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Mayor
Jenderal Soeharto.19 Menurut Johnson, keterlibatan CIA merupakan
akibat logis dari kebijakan AS yang tidak menginginkan Indonesia
menjadi negara komunis. Kecenderungan Indonesia menjadi negara
komunis membuat AS mempunyai enam pilihan untuk mencegah­
nya. Pertama, lepas tangan. Kedua, membujuk Presiden Sukarno agar
membatalkan niatnya memasukkan Indonesia ke dalam blok negara-
negara komunis. Ketiga, membunuh Sukarno. Keempat, mendorong
Johnson, “GESTAPU: “Dua Jalur” CIA di Indonesia” dalam Tigor Bonar Naipospos dan
Rahadi T. Wiratama (eds.), Plot TNI-AD- Barat Dibalik Tragedi ’65, Jakarta: TAPOL-MIK-
Solidamor, 2000, hlm. 71-109.
16
Teori bahwa kudeta Gerakan 30 September dilancarkan oleh perwira menengah Angkatan
Darat yang progresif atau tidak puas diajukan pertama kali oleh Benedict R.O’G. Anderson
dan Ruth T. McVey, A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia,
Interim Report Series, Modern Indonesia Project, Cornell University, Ithaca, New York,
1971 atau yang lebih dikenal Cornell Paper yang sudah terbit secara terbatas pada tahun
1965. Menurut Arnold C. Brakman (1969) sekitar lima puluh salinan Cornell Paper justru
menyebar di luar Universitas Cornell, seperti Inggris, Belanda, dan Australia. Hal yang
sama dikemukakan oleh W.F. Wertheim, seorang pengamat Indonesia terkemuka asal
Belanda. Ia menerima salinan Corner Paper pada bulan Januari 1966, lihat W.F. Wertheim,
“Sejarah Tahun 1965 Yang Tersembunyi” dalam ibid, hlm. 50.
17
Teori bahwa kudeta Gerakan 30 September dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia
(PKI) pertama kali dikemukakan secara akademis oleh Nugroho Notosusanto dan Ismael
Saleh, The Coup Attempt of the “September 30 Movement” in Indonesia, Jakarta: Penmas,
1967. Teori ini sesuai dengan pandangan Presiden Soeharto dalam rapat mendadak di
Markas Kostrad pada 1 Oktober 1965. Empat tahun sebelum kejatuhan Soeharto dari
tampuk kekuasaan, Pemerintah Orde Baru sempat menerbitkan ‘buku putih’ yang mene-
tapkan PKI sebagai dalang kudeta Gerakan 30 September, lihat Sekretariat Negara
Republik Indonesia, Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai Komunis Indonesia,
Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994.
18
Teori bahwa Presiden Sukarno sendiri yang menjadi dalang kudeta Gerakan 30 September
www.facebook.com/indonesiapustaka

diperkenalkan pertama kali oleh Antonie C.A. Dake, In the Spirit of the Red Banteng:
Indonesia Communists Between Moscow and Peking 1959-1965, The Hague: Mouton,
1973.
19
Khusus seputar keterlibatan Soeharto dalam kudeta Gerakan 30 September telah diperke-
nalkan oleh W.F. Wertheim, “Soeharto and the Untung Coup-The Missing Link”, Journal
of Contemporary Asia, 1 (Winter), 1970.

366

01-TA-16x24-terakir.indd 366 1/30/2012 9:39:29 PM


CIA DAN G30S-1965

Angkatan Darat Indonesia untuk mengambilalih kekuasaan. Kelima,


merusak hubungan PKI dengan Sukarno sehingga PKI terprovokasi
merebut kekuasaan. Keenam, menghancurkan PKI dan Sukarno.
Pemerintah AS tidak mungkin memilih pilihan pertama karena
mengandung risiko tinggi, yakni Indonesia akan menjadi negara ko-
munis. Bila ini terjadi maka kepentingan AS di Indochina dan Asia
Tenggara akan terganggu. Pilihan kedua juga tidak bisa dilakukan,
karena Sukarno sudah tidak bisa lagi dibujuk. Pilihan ketiga, mem-
bunuh Sukarno hanya mempercepat kekuasaan jatuh ke tangan PKI
yang pada saat itu merupakan partai terkuat di Indonesia.
Pemerintah AS pada mulanya berharap dapat melaksanakan pilih­
an keempat. Namun, pilihan keempat tidak bisa dilaksanakan karena
Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani be-
serta para stafnya di Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) adalah per-
wira-perwira loyalis Sukarno. Mereka tidak bersedia menggulingkan
Sukarno, bahkan sebaliknya cenderung mempertahankannya.
Pilihan kelima sudah dilakukan oleh para agen CIA dengan mem-
buat dokumen palsu tentang rencana kudeta PKI. Dokumen itu dise­
rahkan pada bulan Oktober 1964 kepada dinas intelijen Angkatan
Darat yang dipimpin Kolonel Soekendro. Ia lalu menyerahkannya
kepada Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Mayor Jenderal Abdul
Haris Nasution. Dokumen palsu tentang rencana kudeta PKI itu ke-
mudian diserahkan oleh Nasution kepada Wakil Perdana Menteri III
Chaerul Saleh. Isi dokumen diberitahukan kepada Presiden Sukarno
dalam suatu rapat akhir tahun 1964 di Istana Bogor. Namun, hubung­
an Sukarno dan PKI tetap baik. Hanya hubungan Chaerul Saleh dan
Ketua PKI D.N. Aidit yang menjadi tidak harmonis karena sempat
terjadi adu fisik antara keduanya.
Pada akhirnya pemerintah AS mengambil pilihan keenam, yaitu
menghancurkan Sukarno dan PKI sekaligus. Keduanya merupakan
www.facebook.com/indonesiapustaka

ancaman besar yang bersifat permanen bagi kepentingan pemerin-


tah AS. Pilihan keenam ini bisa terlaksana apabila Ahmad Yani ber-
sedia mengerahkan kekuatan Angkatan Darat untuk menggulingkan

367

01-TA-16x24-terakir.indd 367 1/30/2012 9:39:29 PM


Abdul Syukur

Presiden Sukarno. Namun, Yani menolaknya bahkan tidak mem-


berikan tanda-tanda perlawanan meskipun akan diganti. Pihak CIA
memerlukan perwira tinggi Angkatan Darat yang berpengaruh atau
yang menduduki jabatan penting, anti komunis, dan bukan loyalis
Sukarno. Pilihan jatuh kepada Menhankam Nasution dan Pangkostrad
Soeharto. Menurut Johnson, Nasution dan Soeharto adalah perwi-
ra tinggi Angkatan Darat yang dimanfaatkan CIA untuk mencegah
Indonesia menjadi negara komunis dan bersahabat dengan AS.
Johnson memperkuat analisis keterlibatan Nasution dalam peris-
tiwa tragedi nasional 1 Oktober 1965 dengan menelusuri latar be-
lakang Nasution sebagai perwira tinggi Angkatan Darat yang sudah
lama didekati pihak CIA setelah keberhasilannya menghancurkan
pemberontakan PRRI-Permesta pada akhir 1950-an. Bukti lain yang
dipaparkan Johnson adalah keberhasilan Nasution meloloskan diri
dari aksi penculikan pasukan Gerakan 30 September. Bagi Johnson
keberhasilan itu merupakan kesengajaan.
Johnson mencoba memperjelas keterlibatan Nasution dalam peris-
tiwa tragedi 1 Oktober 1965 dengan menampilkan peranan mantan
kepala dinas intelijen Angkatan Darat Brigadir Jenderal Sukendro,
yang hingga tahun 1965 mempunyai hubungan dekat dengan
Nasution. Sukendro menurut Johnson adalah juga perwira tinggi
Angkatan Darat yang sudah lama mempunyai hubungan dekat de­
ngan CIA. Peranan terpenting Sukendro dalam peristiwa tragedi nasi-
onal 1 Oktober 1965 adalah menyeret RRC sebagai pihak yang turut
bertanggung jawab dalam peristiwa Gerakan 30 September. Ia terma-
suk salah satu anggota delegasi Indonesia yang diundang pemerintah
RRC untuk menghadiri perayaan ulang tahun Partai Komunis Cina
pada 1 Oktober 1965, ketika pulang ke Indonesia ia menyebarkan
informasi bahwa pemerintah RRC telah mempunyai daftar perwira
tinggi Angkatan Darat yang dibunuh Gerakan 30 September hanya
www.facebook.com/indonesiapustaka

beberapa jam setelah siaran RRI pukul 07.15 WIB 1 Oktober 1965.
Informasi dari Sukendro memperkuat penilaian Soeharto bahwa
kudeta Gerakan 30 September dilakukan oleh PKI. Hubungan baik

368

01-TA-16x24-terakir.indd 368 1/30/2012 9:39:29 PM


CIA DAN G30S-1965

antara RRC dan PKI mempermudah tuduhan kerja sama antara


kedua­nya untuk merebut kekuasaan di Indonesia. Keterlibatan RRC
diperjelas dengan penemuan senjata buatan RRC bermerk CHUNG.
Pemerintah Indonesia telah menerima bantuan senjata dari RRC un-
tuk menentang pembentukan negara federasi Malaysia dukung­an
Inggris, Australia, dan AS. Penemuan senjata bermerk CHUNG menim­
bulkan dugaan pasukan Gerakan 30 September memperoleh bantuan
dari RRC. Benarkah senjata bermerk CHUNG yang dijadikan bukti
keterlibatan RRC oleh Soeharto berasal dari RRC? Johnson mempu­
nyai jawaban lain. Senjata bermerk CHUNG itu menurut Johnson bu-
kan berasal dari RRC langsung tetapi dari gudang persenjataan milik
CIA. Pihak CIA sengaja menyimpan senjata CHUNG dalam jumlah
besar pada tahun 1960-an untuk kepentingan operasi intelijennya,
seperti menjerumuskan RRC sebagai pihak yang turut bertanggung
jawab terhadap kematian Yani beserta lima stafnya oleh Gerakan 30
September.
Penemuan senjata CHUNG juga berdampak pada Angkatan Udara
Indonesia, yakni melengkapi tuduhan Soeharto bahwa Angkatan
Udara terlibat dalam pembunuhan Yani beserta lima staf, rencana
pembunuhan terhadap Nasution, dan merebut kekuasaan dari
Presiden Sukarno. Rencananya senjata CHUNG akan dipergunakan
oleh para sukarelawan yang dilatih pihak Angkatan Udara Indonesia
untuk menghadapi pasukan Inggris dan Australia di Malaysia. Posisi
Angkatan Udara terjepit oleh Perintah Harian Menteri/Panglima
Angkatan Udara Republik Indonesia, Laksamana Madya Omar Dhani
bernomor 445/Pen/1965 yang memberi dukungan kepada Gerakan 30
September dan penemuan mayat Yani beserta lima stafnya di tempat
latihan para sukarelawan.
Johnson melihat pembuangan mayat Yani dan lima stafnya itu
mempunyai motivasi politik demi kepentingan CIA, yakni mem-
www.facebook.com/indonesiapustaka

bungkam kekuatan Angkatan Udara agar tidak memberi perlawanan


terhadap pasukan Kostrad pimpinan Soeharto yang sedang melan-
carkan operasi penumpasan terhadap Gerakan 30 September. CIA

369

01-TA-16x24-terakir.indd 369 1/30/2012 9:39:29 PM


Abdul Syukur

dengan cerdik mengesankan konspirasi jahat terhadap pimpinan


Angkatan Darat yang dilakukan oleh RRC-PKI-Angkatan Udara-
Presiden Sukarno. Konspirasi yang sesungguhnya adalah antara CIA,
Nasution, dan Soeharto. Tujuan konspirasi mencegah Indonesia men-
jadi negara komunis. Langkah pertama yang dilakukan CIA-Nasution-
Soeharto ialah merebut kepemimpinan Angkatan Darat dari Yani kare-
na Yani menolak untuk menggulingkan Presiden Sukarno. Posisi Yani
oleh Johnson disamakan dengan Kepala Staf Angkatan Darat Chile,
Jenderal Schneider juga terpaksa dibunuh oleh konspirator CIA dan
perwira tinggi Angkatan Darat Chile untuk menggulingkan Presiden
Allende pada tahun 1973. Pembunuhan terhadap Yani beserta lima
stafnya bertujuan untuk memudahkan konspirator CIA di Indonesia
(Soeharto) mengambil alih kepemimpinan Angkatan Darat.
Johnson membuktikan keterlibatan Soeharto dalam tragedi nasi-
onal 1 Oktober 1965 dengan melihat daftar perwira tinggi Angkatan
Darat yang akan dibunuh oleh pasukan Gerakan 30 September.
Soeharto pada saat itu adalah perwira tinggi Angkatan Darat yang
sangat penting, dengan jabatan Panglima Kostrad. Jadi, merupakan
suatu keanehan luar biasa apabila Soeharto tidak masuk daftar orang
yang akan dibunuh. Di samping itu juga latar belakang pimpinan uta-
ma Gerakan 30 September mempunyai hubungan pribadi maupun
kedinasan dengan Soeharto, seperti Letkol Untung, Kolonel Abdul
Latif, dan Brigjen Soepardjo. Bahkan pasukan-pasukan militer utama
yang terlibat di pihak Gerakan 30 September secara resmi berada di
bawah komando Soeharto sebagai Panglima Kostrad. Bukti lain yang
dipaparkan Johnson adalah sikap Soeharto pada 1 Oktober 1965 yang
memperlihatkan dirinya secara pasti mengetahui Yani telah dibunuh,
padahal kabar apakah Yani sudah meninggal atau masih hidup belum
ada yang tahu.
Pembunuhan terhadap Yani beserta lima stafnya dirancang secara
www.facebook.com/indonesiapustaka

rapih oleh CIA karena pasukan Gerakan 30 September sesungguh-


nya merupakan buatan CIA. Johnson memperkuat analisisnya de­
ngan bukti bahwa di antara pimpinan militer Gerakan 30 September

370

01-TA-16x24-terakir.indd 370 1/30/2012 9:39:29 PM


CIA DAN G30S-1965

(Brigjen Soepardjo dan Kolonel Suherman) telah memperoleh latihan


militer di AS, sehingga telah lulus dari “ujian” CIA dan badan inteli-
jen pertahanan AS. Dua pengumuman Gerakan 30 September melalui
RRI pada 1 Oktober 1965 (jam 7.15 WIB dan 13.00 WIB) memperjelas
peranan CIA yang ingin menggulingkan Sukarno. Pengumuman per-
tama menekankan bahwa tindakan Gerakan 30 September menghan-
curkan Dewan Jenderal merupakan urusan internal Angkatan Darat.
Bagi Johnson pengumuman pertama ini bertujuan untuk mencegah
pihak di luar skenario turut campur sehingga dapat menggagalkan
rencana semula. Posisi Gerakan 30 September dalam pengumuman
pertamanya sengaja dibuat oleh CIA menjadi tidak jelas apakah pro
atau anti Sukarno.
Kejelasan posisi Gerakan 30 September baru diperoleh pada peng­
umuman kedua yang memperlihatkan ciri-ciri gerakan komunis
dengan pembentukan Dewan Revolusi tanpa melibatkan Sukarno.
Tujuan pengumuman kedua dalam pandangan Johnson adalah untuk
menumpahkan tanggung jawab Gerakan 30 September hanya kepada
PKI sebagai pihak yang harus bertanggung jawab.
Pengumuman pertama dan kedua sangat menguntungkan Soeharto,
sehingga pasukan Gerakan 30 September dibiarkan menggunakan
RRI meskipun ia sanggup menghentikannya. Letak markas Kostrad
berdekatan dengan gedung RRI, dan Kostrad memiliki peralatan ko-
munikasi yang dapat mematikan peralatan komunikasi RRI. Soeharto,
menurut Johnson, sengaja membiarkan Gerakan 30 September meng-
gunakan RRI untuk menyampaikan pesannya yang memberatkan PKI.
Tindakan Soeharto tersebut berada di bawah pengarahan para agen
CIA. Pukulan kedua yang ditujukan untuk menyeret PKI diberikan
CIA lewat penulisan editorial surat kabar PKI (Harian Rakjat) edisi
2 Oktober 1965. Menurut Johnson, editorial Harian Rakjat tersebut
dibuat para agen CIA yang memang mempunyai kemampuan mem-
www.facebook.com/indonesiapustaka

buat pemalsuan. Dokumen Gilchrist menurut Johnson juga merupa­


kan hasil karya para agen CIA dengan tujuan untuk mempertajamkan

371

01-TA-16x24-terakir.indd 371 1/30/2012 9:39:29 PM


Abdul Syukur

konflik antar kekuatan politik di Indonesia, terutama antara Angkatan


Darat dan PKI.
Artikel Johnson yang berusaha membongkar operasi intelijen CIA
untuk mencegah Indonesia menjadi negara komunis tersebut diter-
bitkan lagi dalam bentuk aslinya pada tahun 1995. Ia memberikan
catatan kaki untuk menghilangkan nama Nasution sebagai perwira
tinggi Angkatan Darat yang berkonspirasi dengan CIA. Penghapusan
ini tidak disertai argumentasi, sehingga pembaca tidak diberikan dasar
argumentasi Johnson tersebut. Dengan demikian, ada pergeseran kon-
spirator yang semula CIA-Nasution-Soeharto menjadi CIA-Soeharto.
Johnson dalam menulis artikelnya tidak mengikuti standar penu­
lisan ilmiah, seperti mencantumkan sumber rujukan, baik sebagai
catatan kaki, catatan akhir, atau catatan dalam teks, sehingga me-
nyulitkan pembaca artikelnya apabila ingin menelusuri sumber ru-
jukan yang dijadikan dasar argumentasinya. Artikel Johnson ditulis
untuk tujuan politik, yakni mendorong penyelidikan Kongres AS
terhadap masalah kudeta Gerakan 30 September di Indonesia. Ia sa­
ngat yakin akan keterlibatan CIA sebagaimana terjadi dalam kudeta
militer di Chile pada musim gugur tahun 1970 yang dirancang CIA
atas perintah Presiden AS Ricahrd Milhous Nixon (1968-1972, 1972-
1974). Nixon mengundurkan diri pada 9 Agustus 1974 setelah pem-
bongkaran skandal Watergate. Dua tahun kemudian Johnson menulis
artikelnya. Johnson dalam lembar keempat artikelnya menjelaskan
bahwa artikelnya berawal dari penelitian terhadap hasil studi CIA
yang disiarkan pada tahun 1976, Research Study CIA, Indonesia-1965:
The Coup that Backfired. Penelitian dilakukan secara intensif selama
satu bulan, dengan memanfaatkan seluruh bahan berbahasa Inggris
di Perpustakaan Kongres hingga tahun 1976. Karya Benedict R. O’G
Anderson dan Ruth T. McVey, A Preliminary Analysis of the October
1, 1965, Coup in Indonesia, atau yang lebih dikenal dengan nama
www.facebook.com/indonesiapustaka

Cornell Paper, dijadikan sebagai rujukan utama lainnya oleh Johnson.


Ia juga mengutip Mortimer (Rex Mortimer?), Chalmers Roberts, yang
menulis di surat kabar The Washington Post pada Oktober 1965, Justus

372

01-TA-16x24-terakir.indd 372 1/30/2012 9:39:29 PM


CIA DAN G30S-1965

van der Kroef, hasil interogasi pemerintah Indonesia dan berkas-ber-


kas pengadilan.
Delapan tahun setelah artikel Johnson disebarkan secara terba-
tas, pada tahun 1985 Peter Dale Scott menulis artikel ilmiah yang
membahas keterlibatan CIA dalam kudeta Gerakan 30 September
di Indonesia. Artikel Scot berjudul “U.S. and the Overthrow of
Sukarno, 1965-1967” dan dimuat dalam Journal Pasific Affairs No. 58,
Musim Panas 1985. Jurnal ini diterbitkan oleh Universitas California,
Barkeley, Amerika Serikat. Artikel Scott terdiri dari lima bagian, yai-
tu (1) Amerika serikat dan Penggulingan Sukarno, (2) AS dan “Misi”
Angkatan Darat Indonesia, (3) Langkah-langkah AS Menghadapi
Sukarno, (4) Dukungan AS terhadap Faksi Soeharto Sebelum Gestapu,
dan (5) Operasi CIA Tahun 1965.
Kesimpulan Scott hampir mirip dengan Johnson, yakni kude-
ta Gerakan 30 September merupakan ciptaan para agen CIA yang
bekerja sama dengan Panglima Kostrad Soeharto untuk menggu­
lingkan Presiden Sukarno dan menghancurkan PKI demi mencegah
Indonesia menjadi negara komunis. Hanya saja, artikel Scott ditulis
berdasarkan sistem penulisan ilmiah dengan mencantumkan sumber
rujukannya sebagai catatan kaki sebanyak 123. Scott berusaha mem-
buktikan Gerakan 30 September merupakan rangkaian kudeta sayap
kanan Angkatan Darat pimpinan Soeharto dengan bantuan pemerin-
tah AS, terutama CIA. Menurut Scott ada tiga tahap kudeta. Pertama,
menyingkirkan kelompok tengah Angkatan Darat pimpinan Yani.
Kedua, penghancuran kekuatan sipil komunis. Ketiga, penggulingan
Presiden Sukarno.
Selain Scott, ilmuwan Barat yang berpendapat CIA sebagai
“dalang” tragedi 1965 adalah Geoffrey B. Robinson dalam artikelnya,
“Some Arguments Concerning U.S. Influence and Complicity in the
Indonesia ‘Coup’ of October, 1, 1965”. Artikel Robinson diterjemah-
www.facebook.com/indonesiapustaka

kan ke dalam bahasa Indonesia oleh Abijan Wahid dan diterbitkan


oleh penerbit Teplok di Jakarta tahun 2000 dengan judul, Kudeta
Angkatan Darat. Robinson berusaha memperlihatkan hubungan an-

373

01-TA-16x24-terakir.indd 373 1/30/2012 9:39:29 PM


Abdul Syukur

tara faktor-faktor internasional dan dalam negeri Indonesia sehingga


berujung pada kudeta 1 Oktober 1965. Ia sangat yakin bahwa peme­
rintah AS melalui CIA telah memanfaatkan perpecahan internal di
dalam negeri Indonesia. Perpecahan di dalam negeri yang dibahas se-
cara khusus oleh Robinson ialah antara Angkatan Darat Indonesia dan
Angkatan Udara Indonesia. CIA juga telah memanfaatkan keretakan
internal dalam tubuh Angkatan Darat Indonesia yang terbelah antara
kelompok perwira Sukarnois dan yang tidak Sukarnois. Kemenangan
diperoleh oleh kelompok perwira Angkatan Darat Indonesia yang ti-
dak Sukarnois dengan bantuan penuh dari CIA.
Keterlibatan CIA dalam tragedi nasional 1965 di Indonesia juga
berusaha diungkapkan oleh Willem Oltman, seorang berkebang-
saan Belanda yang telah menjadi sahabat Presiden Sukarno sejak
pertengahan tahun 1950-an. Pada tahun 1995, Oltman menerbitkan
buku Mijn Vriend Sukarno20 yang terdiri dari 34 bab dan merupakan
otobiografi. Pembahasan dimulai oleh wawancara Oltman dengan
Presiden Sukarno dalam kunjungan pertamanya ke luar negeri, yaitu
di Roma pada tanggal 10 Juni 1956. Oltman kemudian diundang oleh
Sukarno ke Indonesia dan sejak itu menjadi sahabatnya. Tragedi 1965
oleh Oltman dibahas secara panjang lebar hingga menghabiskan 13
bab dengan judul Jakarta. Bagi Oltman kejatuhan Sukarno dari tam-
puk kekuasaannya merupakan tipu muslihat CIA. Pada tahun 2001,
Oltman kembali menerbitkan buku yang mempertegas argumentasin-
ya tentang keterlibatan CIA dalam tragedi 1965 di Indonesia.21

Daftar Pustaka
Anderson, Benedict R. O’ G., dan Ruth T. McVey. 1971. A Preliminary Analysis
of the October 1, 1965, Coup in Indonesia, Interim Report Series,
Modern Indonesia Project, Cornell University, Ithaca, New York.
www.facebook.com/indonesiapustaka

20
Buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Bung Karno Sahabatku,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001.
21
Willem Oltman, Di Balik Keterlibatan CIA: Bung Karno Dikhianati?; Jakarta: Aksara
Karunia, 2001.

374

01-TA-16x24-terakir.indd 374 1/30/2012 9:39:29 PM


CIA DAN G30S-1965

Brackman, Arnold C. 1969. Communist Colaps in Indonesia. New York: W.W.


Norton.
Cline, Ray S. 1976. Secrets Spies and Scholars: Blueprint of the Essential CIA,
ttp.
Dinuth, Alex Dinuth. 1997. Dokumen Terpilih Sekitar G30S/PKI. Jakarta:
Intermasa.
Dake, Anthony C. 1973. A. In the Spirit of the Red banteng: Indonesia
Communists Between Moscow and Peking 1959-1965. The Hague:
Mouton.
http://www.cia.gov (8/12/99), http://www.dci.gov (8/12/99), http://www.
ic.gov (8/12/99).
Higgins, Hugh Higgins. 1984. The Cold War. London: Hienemann
Educational.
Kahin, George McT. dan Audrey R. Kahin. 1995. Subversion as Foreign Policy:
The Secret Eishonhower and Dulles Deblacle in Indonesia. New York:
The New Press.
Lukacs, John. 1961. A History of the Cold War. New York: Doableday.
McVey, Ruth T. 1968. The Rise of Indonesian Communism, Ithaca: Cornell
Univerisity Press.
Mortimer, Rex. 1974. Indonesian Communism under Sukarno: Ideology and
Politics 1959-1965, Ithaca: Cornell University Press.
Naipospos, Tigor Bonar dan Rahadi T. Wiratama (eds.). 2000. Plot TNI-AD
– Barat Dibalik Tragedi ’65, Jakarta: TAPOL-MIK-Solidamor.
Noer, Deliar. 1987. Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965. Jakarta:
Grafitipers.
Notosusanto, Nugroho dan Ismael Saleh. 1967. The Coup Attempt of the
“September 30 Movement” in Indonesia, Jakarta: Penmas.
Oltman, Willem. 2001. Di Balik Keterlibatan CIA: Bung Karno Dikhianati?
Jakarta: Aksara Karunia.
Panggabean, Maraden. 1993. Berjuang dan Mengabdi. Jakarta: Sinar
Harapan.
Perintah Harian Menteri / Panglima Angkatan Udara Republik Indonesia
www.facebook.com/indonesiapustaka

Nomor 445 / Pen /1965.


Rubenstein, Alvin Z. (ed.). 1975. Soviet and Chinese Influence in the Third
Word. New York: Praegen.

375

01-TA-16x24-terakir.indd 375 1/30/2012 9:39:29 PM


Abdul Syukur

Sekretariat Negara Republik Indonesia. 1994. Gerakan 30 September:


Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Jakarta: Sekretariat Negara
Republik Indonesia.
Wertheim, W. F. 1970. “Soeharto and the Untung Coup – The Missing Link”,
Journal of Contemporary Asia, 1 (Winter).
Wise, David dan Thomas Ross. 1964. The Invisible Government. New York:
Random House.
www.facebook.com/indonesiapustaka

376

01-TA-16x24-terakir.indd 376 1/30/2012 9:39:30 PM


BAB X
FAKTA DAN GAGASAN DARI
LOKAKARYA

Penyusun: Sukri Abdurrachman

AB. Lapian (Pembicara)


Dalam membahas malam bencana “malam yang panjang” dari tang-
gal 30 September sampai subuh 1 Oktober 1965, terdapat beberapa
teori tentang siapa yang berada di balik peristiwa ini. Suatu upaya
untuk merekonstruksi dari segala macam teori kira-kira apa yang
mendekati kebenaran yang tadi sudah dikemukakan oleh Pak Taufik
sulit untuk digapai.
Mengenai peristiwa malam bencana ini sebenarnya sudah banyak
disinggung, karena ada kaitannya dengan berbagai teori yang muncul.
Dimulai dengan sekitar Presiden Sukarno yang pada malam itu beliau
menghadiri Musyawarah Nasional (Munas) Teknik di Gedung Istora
Bung Karno. Misalnya, ada yang disebut verbal oleh tim Bambang
Widjanarko, ajudan presiden pada waktu itu, yang telah diterbit-
kan. Buku Karni dan Dake di Negeri Belanda berjudul The Devious
Dalang. Di dalam buku itu dikatakan bahwa pada malam itu Bambang
Widjanarko menerima surat dari Letkol Untung untuk dise­rahkan ke-
pada Presiden Sukarno. Apa isinya, ia sendiri tidak tahu, tapi banyak
www.facebook.com/indonesiapustaka

dugaan. Hanya saja, peristiwa ini dibantah oleh Kol. Saelan yang juga
mengawal Presiden Sukarno pada malam itu. Jadi, benar tidaknya
masih harus kita lacak lebih mendalam.

377

01-TA-16x24-terakir.indd 377 1/30/2012 9:39:30 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

Kemudian yang juga disebut-sebut berkaitan dengan Munas


Teknik itu adalah pidato Presiden Sukarno sendiri yang mengutip
Mahabarata, soal bagaimana Arjuna itu harus melakukan tindakan
atau tugasnya untuk menghadapi Kurawa. Dan ini dipakai oleh be-
berapa penulis untuk mengatakan bahwa ini suatu “perintah” dan
yang akan melakukan harus sudah siap melaksanakan tugasnya. Saya
telah berusaha mencari pidato aslinya, tapi hingga sekarang belum
diperoleh. Ada yang ditulis oleh Gibels tentang pidato Soekarno se-
cara lengkap, tapi dalam bahasa Belanda. Hal itu juga pertama kali
disebut di dalam buku Brackman. Jadi mulai di situ sebenarnya mu-
lai ada tuduhan-tuduhan tentang Aidit, tapi kami sendiri masih kritis
terhadap ini dan kita harus melacak lebih dalam.
Sesudah itu, Bung Karno kembali ke istana. Ini suatu hal yang
saya kira belum pernah disinggung oleh siapa pun. Lalu beliau di
sana ditunggu oleh seorang India, Shri Biju Patnaik, utusan Perdana
Menteri Shastri. Siapa Patnaik ini? Patnaik adalah seorang pilot/pe­
nerbang, kawan lama dari masa perang kemerdekaan yang berhasil
menembus blokade Belanda dengan pesawat terbangnya. Ia banyak
membantu kita selama perjuangan fisik (revolusi). Pada tahun 1993
atau 1994 Shri Biju Patnaik menjabat sebagai menteri pertama dari
negara bagian Orisa di India dan beliau datang ke Bali dan Jakarta
bersama dengan rombongan kesenian dari negara bagian Orisa me-
lalui kegiatan proyek dengan nama Bali Atra atau Perjalanan ke Bali.
Pada waktu itu, karena saya tahu peranannya di masa revolusi, saya
minta izin kalau boleh mewawancarainya. Dan ia menyetujuinya.
Jadi saya mendapat kesempatan wawancara bagaimana ia menembus
blokade, bagaimana ia membawa PM Sjahrir ke luar, membawa Pak
Hatta dari Jogya ke Sumatra dengan pesawat terbangnya sendiri. Jadi
semuanya tidak ada sangkut-pautnya dengan masalah ini.
Pada waktu di Bali, kami sedang membahas soal kebudayaan,
www.facebook.com/indonesiapustaka

Dirjen Kebudayaan pada waktu itu, Ibu Edi Sedyawati, juga hadir.
Ketika ia mendengar bahwa saya akan mengadakan wawancara de­
ngan Patnaik. Ibu Edi bertanya pada saya, boleh ikut tidak, saya bi-

378

01-TA-16x24-terakir.indd 378 1/30/2012 9:39:30 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

lang boleh saja. Jadi ada yang mendengar kesaksian dari Patnaik.
Hasil wawancara ini sudah diterbitkan dalam majalah Sejarah No.
4 tahun 1993. Hasil wawancara itu setelah saya susun dalam bahasa
Inggris, selanjutnya dikirim ke India, lalu dikembalikan, baru diter-
bitkan dalam majalah Sejarah pada tahun 1993. Yang menarik, waktu
itu saya juga menanyakan kapan terakhir bertemu dengan Presiden
Sukarno? Lalu dia bilang pada malam tanggal 30 September. Kenapa?
Waktu itu mungkin Saudara masih ingat hubungan RI dengan India
sedang memburuk. Kerja sama RI-RRT dirasakan sebagai ancaman
bagi India. Malahan ada berita rahasia bahwa Indonesia mau menye­
rang India dari laut. Bahkan Presiden Sukarno mengatakan “bukan
Indian Ocean tapi Indonesian Ocean”. Kedutaan besar kita di New
Delhi didemonstrasi dan dirusak. Jadi ketegangan antara Indonesia
dan India meningkat pada waktu itu dan ada rumor di pihak India
bahwa kita akan membantu RRT melawan India.
PM India waktu itu Shastri menugaskan pada Patnaik, “kamu ha­
rus bisa bertemu dengan Sukarno untuk menahan aksi ini”. Hubungan
Patnaik dengan Sukarno sangat baik, ketika putri pertama Presiden
Sukarno lahir di Yogya ada petir, lalu Presiden tanya kepada Patnaik,
bahasa Sansekerta petir itu apa? Mega, jawab Patnaik. Jadilah na-
manya Megawati. Karena itu Patnaik ditugaskan untuk bisa menahan
Indonesia agar tidak menyerang India. Ini rumor, tapi bagaimana-
pun, PM India Shastri menugaskan Patnaik untuk datang. Meskipun
ia sangat sukar bertemu Sukarno, karena koordinasi pengamanan di
sekitar Bung Karno waktu itu sangat ketat dan tidak mengizinkan
ia masuk ke istana. Menurut Patnaik, “lewat pintu belakang ia bisa
masuk dan hanya bisa bertemu pukul 24.00 malam pada tanggal 30
September. Jadi ini cocok dengan apa yang kita ketahui bahwa beliau
kembali dari Istora ke Istana untuk ganti pakaian, selanjutnya pergi
ke Wisma Yarso di Gatot Subroto. Yang saya agak lebih confidence,
ia mengatakan “Ya, saya lihat Sukarno waktu itu baru kembali dari
www.facebook.com/indonesiapustaka

Senayan dengan pakaian kebesaran AL”. Dan saya sendiri ingat wak-
tu itu melihat di televisi Presiden Sukarno malam itu berpakaian AL.

379

01-TA-16x24-terakir.indd 379 1/30/2012 9:39:30 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

Di setiap upacara beliau sebagai panglima tertinggi selalu bermacam-


macam uniform yang dipakainya. Waktu Patnaik bertemu Bung Karno,
kata Bung Karno, “I know, mengapa kamu datang di sini, saya sudah
mengerti. I will stop this operation, but you have to go, atau segera
meninggalkan Jakarta malam ini juga sebelum subuh, karena sesudah
subuh saya akan menutup lapangan udara”. Hal yang menarik bagi
saya adalah apakah beliau sudah tahu bahwa itu akan terjadi. Jadi ini
suatu indikasi saja, apakah Bung Karno terlibat atau tidak itu hal lain,
tapi setidak-tidaknya mengetahuinya.
Satu hal lagi, Sukarno kembali ke Wisma Yarso dan tidur di sana
lalu pagi-pagi berangkat ke Istana tapi di tengah jalan, Mangil seba­
gai DKP nya waktu itu memerintahkan rombongannya berbelok ke
kiri menuju jalan Budi Kemulyaan. Karena “ada tentara di lapangan
Merdeka yang mencurigakan” katanya. Mereka melakukan kontak
dengan Saelan yang berada di Grogol. Saelan mengatakan “pergilah ke
sini, ke Grogol, ke rumahnya Haryati”. Dari sanalah baru diputuskan
untuk pergi ke Halim. Menurut Mangil, mengapa ke Halim? Karena,
para pengawal Presiden selalu merencanakan kalau terjadi sesuatu
dengan Bung Karno ada beberapa kemungkinan. Pertama, pergi ke
tempat tentara untuk mencari perlindungan, karena ada tank atau
alat lainnya yang dapat melindungi Presiden. Kedua, pergi ke Halim,
karena di sana ada pesawat Jet star yang bisa mengangkut beliau ke
mana saja untuk mencari tempat yang aman. Ketiga, pergi ke pelabuh­
an, karena ada kapal kepresidenan yang bisa digunakan. Keempat,
pergi ke Bogor karena di sana ada helikopter yang bisa mengangkut
beliau. Jadi, menurut Saelan dan yang lainnya, perginya Presiden
Sukarno ke Halim itu atas pertimbangan ini. Tetapi, ada teori lain
yang mengatakan bahwa Presiden Sukarno pergi ke Halim karena su-
dah direncanakan.
Apa yang terjadi di Halim, dan apa yang beliau dengar? Pukul
www.facebook.com/indonesiapustaka

07.20 pagi waktu itu, Bung Karno masih di rumah Nyonya Haryati,
beliau sudah dengar berita tentang pengumuman dari Letkol Untung,
tapi berita tentang Dewan Revolusi itu baru disiarkan ketika beliau

380

01-TA-16x24-terakir.indd 380 1/30/2012 9:39:30 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

sudah berada di Halim. Mengenai hal ini juga ada banyak teori, nan-
ti kita dapat dengar dari kawan-kawan lain. Tapi yang penting dan
mena­rik, Pak Taufik mendapatkan draft dari seorang guru besar di
Kanada yang mengadakan wawancara dengan Latif dan dari polisi
Sucipto Yudodiharjo. Dua sumber ini saya kira belum banyak diketa-
hui. Kita bisa membaca draft buku ini, karena saya kira belum ter-
bit, atau sudah terbit. Saya hanya membaca draft dari buku itu. Apa
yang terjadi dalam rapat sidang kabinet di Halim waktu itu. Menurut
Victor Vic beliau agak terkejut. Juga bisa kita baca dari buku Saelan
bahwa “Bung Karno itu terkejut.
“Terkejut” atau “kaget”. Tapi bisa juga over rumput itu seakan-
akan disergap. Tapi kata yang dipakai dalam konteks ini artinya beliau
kaget dan tidak tahu apa-apa. Ini suatu keterangan yang kami dapat.
Lalu yang juga dilihat oleh Victor Vic adalah adanya dialog atau ada
kedekatan antara Brigjen Soeparjo dengan kelompok Istana dan Bung
Karno. Tetapi ketika diumumkan oleh Dewan Revolusi, sebenarnya
itu suatu kudeta. Karena perintah pertama disebutkan bahwa Kabinet
Dwikora itu demisioner. Dan hanya Presiden yang bisa mengatakan
kabinet sudah demisioner. Begitu pula mengenai pangkat-pangkat
yang di level atas semuanya diturunkan menjadi Letkol dan yang di
bawah pangkatnya justru akan naik. Hal-hal seperti itu menunjuk-
kan pengambil alih kekuasaan. Di sini juga dapat dilihat bahwa nama
Bung Karno itu tidak ada dalam Dewan Revolusi, walaupun sebena-
rnya nama-nama itu juga tidak semua setuju. Tidak adanya nama
Bung Karno, berarti juga beliau sudah disingkirkan.
Sementara itu, apa yang terjadi, misalnya, di Kostrad. Di sana sudah
berkumpul Jenderal TNI AD, yaitu Mayjen Soeharto, lalu ada Jendral
Nasution, yang kakinya sudah cedera dan mendapat perawatan darurat
di Kostrad, Brigjen Umar Wirahadikusumah, Mayor Jenderal Pranoto,
semuanya ada di Kostrad. Ketika kabinet Dwikora yang di­pimpin
www.facebook.com/indonesiapustaka

oleh Presiden Sukarno rapat di Halim, Presiden Sukarno meng­angkat


Pranoto sebagai caretaker, tetapi Pranoto tidak diperbolehkan pergi
oleh Soeharto. Begitu pula Brigjen Umar Wirahadikusumah sebagai

381

01-TA-16x24-terakir.indd 381 1/30/2012 9:39:30 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

Pangdam juga dipanggil, tapi tidak diizinkan oleh Soeharto. Bambang


Widjanarko yang ditugaskan oleh Presiden Sukarno untuk menjemput
mereka, ketika menghadap Mayjen Soeharto, Soeharto mengatakan,
“Kalau kamu mau berjasa, usahakan supaya Presiden Sukarno kel-
uar dari Halim”, karena Halim akan diserang. Berdasarkan laporan
dari Bambang Wijanarko, permintaan itu ia tidak menyampaikan se-
cara langsung kepada Presiden Sukarno melainkan melalui Leimena
(Waperdam II Leimina). Dan Pak Leimena yang mengajak Presiden
Sukarno untuk keluar dari Halim. Saya kira ini yang terjadi pada
malam itu. Perlu juga kita sebut tentara-tentara yang terlibat. Artinya,
pasukan-pasukan yang berada di sana. Ada kesaksian baru dari buku
Letkol Penerbang Heru Atmojo. Menurut dia, gerakan ini dikatakan
gagal karena bukan operasi militer. Juga bisa kita baca dalam otokritik
Soeparjo bahwa operasi gerakan itu bukan operasi militer. Terbukti
pasukan-pasukan itu tidak diberi makan, jadi mudah saja untuk dia-
jak bergabung kembali dengan Kostrad.

Ambarwulan (Pembicara)
Di dalam melihat atau melakukan suatu eksplanasi terhadap keterli-
batan PKI dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965, baik pelaku,
sasaran, maupun lokasi tidak mungkin tidak dikaitkan dengan peris-
tiwa-peristiwa berikutnya, yaitu peristiwa pada tanggal 1 Oktober
1965, dengan dikeluarkannya Dekrit Pertama yang berisi antara lain
pembentukan Dewan Revolusi.
Sebelum membahas permasalahan keterlibatan PKI, perlu juga
dikemukakan tentang bagaimana kondisi perpolitikan yang men-
dukung pada saat itu. Peristiwa G30S tahun 1965 merupakan suatu
kondisi yang tidak terlepas dari kebijakan Presiden Sukarno dalam
melakukan perimbangan kekuatan atau balance of power policy anta-
ra Angkatan Bersenjata terutama Angkatan Darat dengan PKI. Karena
www.facebook.com/indonesiapustaka

keduanya merupakan dua kekuatan politik yang dominan saat itu.


Hal itu bermula dari awal tahun 1958, ketika Sukarno mulai
mengembangkan persekutuan dengan PKI, sementara persekutuan
382

01-TA-16x24-terakir.indd 382 1/30/2012 9:39:30 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

dengan TNI AD tetap dipelihara dan dipertahankan karena keduanya


saling membutuhkan dukungan TNI, terutama dalam upaya mereali­
sasikan konsepsi dan gagasan demokrasi terpimpinnya. Namun tidak
dipungkiri bahwa perkembangan persekutuan Presiden Sukarno de­
ngan PKI juga meningkat sebagai upaya Sukarno untuk mengimbangi
TNI AD yang telah tumbuh dan berkembang menjadi kekuatan utama
politik di Indonesia. Meskipun TNI AD tidak radikal, tapi Sukarno
sangat mengkhawatirkan TNI AD yang mungkin akan menghapuskan
kebebasannya. Meskipun Presiden Sukarno melihat bahwa perseku-
tuannya dengan TNI AD dalam banyak hal antara Presiden Sukarno
dan TNI AD sependapat dan bersatu, namun dalam beberapa persoal­
an politik antara Soekarno dan TNI AD terdapat pertentangan yang
tajam. Sebaliknya TNI, khususnya pimpinan AD, sangat khawatir
terhadap kecenderungan Presiden yang lebih condong kepada PKI.
Seperti kebijakan politik luar negerinya yang sangat konfrontatif ter-
hadap neo-kolonialisme-imperalisme (NEKOLIM). Hal itu diwujud-
kan dalam penolakannya terhadap pembentukan negara Malaysia,
Unifikasi Malaya, Sabah, Sarawak, Brunei, dan Singapura.
Kebijakan politik luar negeri tersebut mendapat dukungan dari
PKI tapi tidak dari TNI. Negara-negara di Asia Tenggara telah ter-
pecah saat itu dalam Blok Barat dan Blok Timur. Blok Barat yaitu
Filipina, Malaysia, Vietnam Selatan, dan Thailand. Sedangkan Blok
Timur adalah Vietnam Utara, Laos. Kedua negara adidaya berusaha
keras untuk menarik Indonesia ke dalam bloknya. Sikap Presiden
Sukarno yang sangat konfrontatif dan revolusioner seolah-olah mem-
beri angin kepada PKI. Pidato-pidatonya yang penuh jargon revolusi
dinilai banyak kalangan bahwa Sukarno telah mendekati Blok Timur,
dan itu terlihat dalam kebijakan selanjutnya, ia membuat suatu poli-
tik poros Jakarta-Phnom Penh-Pyongyang-Peking.
Dalam perkembangan selanjutnya, secara umum kekuatan poli-
www.facebook.com/indonesiapustaka

tik sudah berada di tangan PKI dengan berlindung di bawah kekuat­


an Bung Karno. Kekuatan-kekuatan anti PKI pun dibasmi, seperti
dibubarkannya BPS, Manikebu, dan lain sebagainya. Meskipun

383

01-TA-16x24-terakir.indd 383 1/30/2012 9:39:30 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

demikian, PKI masih memperhitungkan kekuatan TNI AD yang dini-


lainya sangat anti komunis atau menghambat program pengembang­
an PKI. Para pemimpin PKI pun menyadari bahwa partainya amat
mudah dikalahkan jika terjadi adu kekuatan dengan TNI AD. Apalagi
jika pimpinan TNI AD menggunakan kekerasan. Selama Presiden
Sukarno masih memakai pengaruhnya untuk membatasi dominasi
kelompok AD, pimpinan PKI masih merasa aman. Yang mereka kha-
watirkan ialah apabila Presiden Sukarno meninggal atau menjadi
tidak berdaya, atau terjadi perpecahan terbuka antara Presiden dan
pimpinan TNI AD, maka partai akan ditempatkan ke suatu posisi di
mana tidak ada lagi yang dapat mempertahankannya. Oleh karena
itu, pendadahan yang telah direncanakan merupakan faktor penting
dalam pelaksanaan G30S 1965. Dalam strategi ini PKI menciptakan
totalitas pendadahan dengan mensinergikan kondisi strategis teruta-
ma faktor kesehatan Bung Karno, yang pada awal Agustus jatuh sakit.
Pemanfaatan politik konfrontasi dengan Malaysia dan pendadahan
taktis dengan melaksanakan gerakan pada dini hari.
Lantas bagaimana PKI terlibat dalam peristiwa G30S?Tulisan ini
bertolak dari peristiwa G30S dengan peristiwa berikutnya, yaitu pem-
bentukan Dewan Revolusi pada tanggal 1 Oktober 1965 sebagai suatu
gerakan yang tidak terpisahkan. Dalam memahami gerakan tersebut,
dipakai MKTBB atau metode kombinasi tiga bentuk yang digariskan
oleh PKI sejak tahun 1951 dan hasil kongres PKI tahun 1954. Bentuk
pertama, adalah bekerja serta melakukan gerilya di pedesaan, teru-
tama oleh buruh tani. Bentuk kedua, perjuangan revolusioner oleh
kaum buruh di kota-kota terutama buruh transportasi. Bentuk keti-
ga, bekerja secara intensif di kalangan kekuatan bersenjata musuh.
MKTBB ini merupakan cara yang digunakan PKI dalam mencapai
tujuan politiknya. Bentuk yang ketiga tersebut menjadi andalan PKI
dalam gerakan revolusinya yaitu dengan membina anggota-anggota
ABRI melalui biro khusus PKI.
www.facebook.com/indonesiapustaka

G30S adalah gerakan pendahuluan dan dijadikan sebagai sasar­


an antara untuk melakukan pembersihan di tubuh TNI AD dengan

384

01-TA-16x24-terakir.indd 384 1/30/2012 9:39:30 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

penculikan tujuh jenderal (satu-satunya yang lolos ialah Jenderal


Nasution) untuk diganti dengan orang-orang yang pro PKI yang su-
dah disiapkan, antara lain Mayjen Pranoto Rekso Samudro, yang se-
cara formal berhasil diangkat, namun tidak berjalan karena ditentang
oleh Jenderal Nasution. Dalam keterbatasan sasaran, pelaku dan lo-
kasi G30S 1965 merupakan satu strategi yang dirancang PKI. Gerakan
ini seolah-olah sebagai persoalan AD. Dengan mengetengahkan per-
soalan para perwira menengah yang tidak puas dan memberontak ter-
hadap pimpinannya. Namun G30S sebagai satu gerakan militer dan
para pelakunya, adalah para tentara yang tidak merepresentasikan se-
buah operasi militer. Di antaranya, dalam Operasi Militer sekecil apa
pun harus memiliki kejelasan struktur sesuai dengan tatanan militer
yang berlaku. Seperti kejelasan pimpinan yang bertanggung jawab
terhadap operasi serta didukung oleh staf-staf operasi dan itu tidak
terlihat di dalam G30S yang dikatakan sebagai suatu gerakan mili-
ter. Di samping itu, pasukan gerakan yang bersumber dari Batalion
Satu, Kawal Kehormatan Resimen Cakrabirawa, Brigade Infanteri
Satu Kodam 5 Jaya, Batalion 454 Diponegoro, Batalion 530 Brawijaya,
dan ditambah dengan para sukwan pemuda rakyat yang dipimpin
oleh seorang komandan berpangkat Letnan Kolonel. Hal ini meru-
pakan sesuatu, yang tentunya tidak normatif dalam tatanan militer.
Sedangkan rencana gerakan Dewan revolusi telah dipersiapkan sejak
awal September 1965 oleh Ketua Biro Khusus, Sjam Kamaruzaman,
dengan mendatangkan biro khusus dari berbagai daerah, yang di-
instruksikan untuk mempersiapkan pembentukan Dewan Revolusi
daerah sambil menunggu pengumuman dari RRI Jakarta.
Bersamaan dengan itu, DN Aidit sebagai ketua CC PKI juga meng­
instruksikan anggota CC PKI di Jakarta untuk melakukan turun ke
daerah, yaitu membantu CDB-CDB atau Central Daerah Besar PKI
dalam persiapan pemberontakan dan memerintahkan untuk selalu
memonitor siaran RRI Jakarta sampai dengan pengumuman pemben-
www.facebook.com/indonesiapustaka

tukan Dewan Revolusi Pusat agar mendukungnya. Kemudian mem-


bentuk Dewan Revolusi di daerah. Oleh karena itu, pembentukan

385

01-TA-16x24-terakir.indd 385 1/30/2012 9:39:30 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

Dewan Revolusi yang diumumkan dalam bentuk Dekret terdiri dari


semua golongan dan merupakan kekuasaan yang tertinggi dalam nega­
ra, sehingga Dewan Revolusi ini dapat mendemisionerkan Kabinet
Dwikora dengan menggantikan Kabinet Koalisi Revolusi. Dengan
demikian skenario gerakan ini seolah-olah merupakan masalah AD
menjadi eksplisit ketika menangkap motivasi dari gerakan tersebut.

Singgih Tri Sulistyono (Pembicara)


Makalah ini mencakup 2 hal. Pertama, tentang keterlibatan tentara,
khususnya Angkatan Darat di dalam kemelut dan pergolakan politik
sejak awal revolusi hingga masa-masa menjelang tahun 1965.
Meskipun ini sudah banyak ditulis oleh para ahli, sebetulnya keter-
libatan tentara di dalam segala bentuk kemelut politik di Indonesia
sudah merupakan hal yang biasa di dalam sejarah Indonesia, hampir
setiap kemelut politik dan militer yang terjadi, selalu melibatkan ten-
tara, khususnya Angkatan Darat (AD). Kedua, diproyeksikan untuk
menemukan suatu teori baru mengenai keterlibatan AD di dalam
peristiwa G30S. Bagi saya, selama melakukan penelitian ini ada
keyakinan bahwa peristiwa G30S merupakan hasil dari sebuah opera­
si intelejen tingkat tinggi. Hanya persoalannya, penelitian ini dilaku-
kan dalam waktu yang begitu singkat, maka belum cukup represen-
tatif untuk mengungkap apakah Angkatan Darat sebagai dalang atau
bukan.
Di dalam tulisan ini saya hanya ingin mengungkapkan bahwa apa
pun versinya, apakah versi yang didalangi misalnya oleh Bung Karno,
PKI, Soeharto, CIA, atau didalangi oleh Peking atau mungkin kerja
sama antara KGB dengan CIA, dan sebagainya, yang jelas terlihat di
dalam peristiwa G30S adalah keterlibatan AD. Apakah itu mungkin
secara kelembagaan ataupun secara personel, atau dari kelompok-ke-
lompok yang ada di dalam AD. Yang jelas, peranan AD, baik secara
www.facebook.com/indonesiapustaka

kelembagaan, secara kelompok, atau secara personel dalam peristiwa


itu sangat menonjol sekali.

386

01-TA-16x24-terakir.indd 386 1/30/2012 9:39:30 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

Keterlibatan AD di dalam kemelut politik di Indonesia sudah ber­


awal sejak masa kelahirannya, yaitu masa revolusi di mana AD dan
tentara pada umumnya lahir di dalam kancah revolusi, kancah ke-
melut politik yang penuh dengan konflik yang berbasiskan ideologi
dan kepentingan antara satu dengan yang lainnya. Barangkali ber-
beda dengan yang banyak dipikirkan oleh orang bahwa semestinya
revolusi atau peperangan melawan Belanda itu akan memberikan
semangat persatuan secara internal di antara para pejuang, terma-
suk tentara, guna membangun satu kesatuan yang lebih solid. Tetapi
kenyataannya tidak selalu demikian, di dalam suasana revolusi itu
justru berbagai kelompok kepentingan, kelompok ideologi, kelompok
politik, justru memanfaatkan itu sebagai sarana untuk menanamkan
basis ideologi dan mencari pengikutnya, yang pada nantinya akan
memperkuat kelompok-kelompok mereka sendiri.
Saya pernah melakukan wawancara dengan Pak Sidiq Kertapati
di Belanda. Dulu ia juga bagian dari pemuda yang ikut ambil bagian
dalam peristiwa Rengasdengklok, kemudian ia juga aktif di dalam
Laskar Rakyat. Ketika wawancara dengannya, karena ia berjalan pin-
cang, saya sempat menanyakan apa penyebabnya? Teryata ada dua
peluru yang bersarang di tubuhnya. Darimana asal dua peluru itu?
“Ini Mas, yang satu dari DI/TII, yang satu dari Siliwangi.” Jadi tak
satu pun peluru itu berasal dari Belanda. Padahal itu terjadi pada
masa revolusi, ini merupakan peristiwa yang ganjil sekali, “Beraninya
dengan teman sendiri,” katanya. Artinya, bahwa basis konflik ideolo-
gi, konflik kepentingan yang melatarbelakangi lahirnya dan berkem-
bangnya tentara itu sudah begitu kental sejak masa revolusi, apalagi
pada masa PETA (Pembela Tanah Air) yang banyak dipengaruhi oleh
sistem kemiliteran Jepang yang tidak mengakui supremasi sipil, hing-
ga menyebabkan selama masa revolusi hingga periode-periode beri-
kutnya, tentara tidak mau atau enggan mengakui supremasi sipil di
dalam kehidupan mereka. Sehingga di dalam promosi pengangkatan
www.facebook.com/indonesiapustaka

para komandan-komandan itu tetap mereka yang memiliki otoritas,


mereka tidak mau campur tangan dari para pimpinan politik, meski-

387

01-TA-16x24-terakir.indd 387 1/30/2012 9:39:30 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

pun sebaliknya, mereka sebetulnya juga ingin melakukan campur


tangan terhadap perpolitikan sipil. Ini yang menjadi sangat aneh.
Ketika demokrasi liberal berlangsung dengan konstitusi Undang-
Undang Dasar Sementara yang memungkinkan pemberian hak yang
luas penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, kemudian hak-
hak politik yang luas yang pada akhirnya menimbulkan berbagai
macam instabilitas di bidang politik, kabinet jatuh bangun dan seba­
gainya, sementara tentara merasa dijadikan sebagai tumbal. Para elit
politik bermain diskusi di forum-forum resmi, tentara diminta untuk
melakukan peperangan di berbagai wilayah dalam menumpas RMS,
kemudian ada APRA Westerling, DI TII, dan sebagainya. Sehingga ini
dilihat oleh kelompok tentara sebagai sesuatu yang tidak adil. Kenapa
kalau politisi begitu mudahnya mengorbankan persatuan demi sesu­
atu yang tidak substansial dalam kehidupan politik, tapi nanti yang
akan dikorbankan adalah para tentara.
Oleh sebab itu, setapak demi setapak pada akhirnya para elite
militer, secara internal, berusaha untuk membangun soliditas agar
mereka memiliki tawar-menawar yang tinggi ketika mereka berhadap­
an dengan kaum politisi sipil. Kemudian berpuncak kepada peris-
tiwa PRRI, yang sebetulnya menurut Nasution dalam bukunya
Jendral Tanpa Pasukan, Politisi Tanpa Pengikut, mengatakan bahwa
sebetul­nya peristiwa PRRI PERMESTA merupakan persoalan internal
Angkatan Darat, ketika pemerintah pusat mencoba untuk melakukan
kontrol yang lebih ketat terhadap potensi ekonomi daerah. Ketika
polarisasi antara pusat dengan daerah yang begitu menonjol setelah
PEMILU tahun 1955, PNI dan PKI yang berbasis di Jawa kemudian
dipolarisasikan dengan Masyumi yang berbasis di luar Jawa, dan
ada upaya-upaya dari Nasution—yang kembali menjadi KSAD pada
waktu itu—untuk melakukan sentralisasi di dalam birokrasi militer
yang akan menghilangkan atau mencabut akar-akar pengaruh per-
www.facebook.com/indonesiapustaka

wira lokal yang sudah mengakar untuk dimutasikan ke mana-mana.


Kemudian meletuslah konflik, yang oleh Nasution dianggap sebagai
satu persoalan intern AD, yang kemudian menyeret beberapa politisi

388

01-TA-16x24-terakir.indd 388 1/30/2012 9:39:30 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

lokal dan politisi tingkat nasional yang mungkin kecewa dengan ke-
hidupan politik di tingkat pusat.
Saya melihat tradisi persoalan internal AD ini mungkin muncul
kembali pada tahun 1965, terutama yang bersumber dari versi PKI,
bahwa G30S merupakan persoalan internal AD. Persoalan internal
ini sebetulnya pada masa-masa sebelumnya sudah merupakan sesu­
atu yang tidak asing bagi dunia militer di Indonesia, dan pada akhir­
nya juga menyeret politisi lokal maupun politisi nasional ke dalam
persoalan yang mereka hadapi. Dengan demikian, menjelang tahun
’65, tentara, khususnya AD, sebagai sebuah lembaga, sebetulnya su-
dah memiliki soliditas yang tinggi di dalam proses tawar-menawar
politik, artinya dia tidak mau ada campur tangan sipil yang signifikan
di dalam tubuh mereka, tetapi mereka semakin memiliki naluri yang
tinggi untuk ikut campur tangan di dalam bidang politik sipil.
Persoalan kedua, ternyata AD secara kelembagaan solid, tetapi se-
cara personal terjadi klik-klik atau kelompok-kelompok, atau bukan
merupakan sesuatu yang monolitik, dan mereka terdiri dari banyak
faksi faksi yang didasarkan atas berbagai macam kepenting­an. Apakah
mereka setuju dengan PKI atau tidak? Setuju dengan Angkatan V atau
tidak? Apakah mereka Sukarnois atau tidak, mereka dari luar Jawa
atau tidak? Atau antara perwira tinggi dengan perwira bawahan yang
mungkin kesejahteraannya kurang, dan sebagainya. Hal itu bisa men-
jadi semacam bom waktu untuk meletusnya persoalan internal AD
yang nanti akan terbukti pada masa G30S. Jadi, saya melihat per-
soalan internal AD itu sebagai “sebuah tradisi dalam tanda petik”
dan dalam dunia AD memang itu merupakan konsekuensi dari keter­
libatan mere­ka di dunia politik yang begitu mendalam pada waktu
itu.
Peran AD sendiri dalam peristiwa G30S, seperti yang saya jelas-
kan pada awal tadi, saya tidak ingin atau mungkin saya tidak bisa
mengungkapkan atau membuktikan bahwa Angkatan Darat itu
www.facebook.com/indonesiapustaka

dalang atau tidak dalam peristiwa G30S. Saya hanya ingin menun-
jukkan peranan AD di dalam peristiwa G30S itu sangat signifikan, hal
itu bisa diukur dari berbagai indikator. Yang pertama ialah, kita lihat

389

01-TA-16x24-terakir.indd 389 1/30/2012 9:39:31 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

dari sisi pemimpin gerakan itu sendiri, kemudian juga pelaksana ge­
rakan, kemudian yang ketiga, target gerakan, dan keempat, serangan
balik terhadap G30S itu sendiri, dan terakhir, siapa yang memimpin
setelah gerakan itu selesai.
Mengenai para pemimpin gerakan, kita semua sudah tahu bahwa
para pemimpin utama yang terdiri dari Letkol. Untung, Kolonel Abdul
Latief, dan Brigjen Suparjo sebagai pucuk pimpinan G30S. Kalau kita
lihat dari dokumen Dewan Revolusi yang diumumkan oleh Untung,
terdapat 45 anggota Dewan Revolusi. Tetapi saya tidak yakin apakah
Dewan Revolusi itu disusun secara profesional atau tidak, atau asal
comot saja. Yang jelas, dari 45 anggota itu, jumlah personel PKI yang
disebut di situ secara eksplisit hanya 1, yaitu Sugito, meskipun ada 3
orang lain yang sebetulnya juga orang PKI, berarti ada 4. Sedangkan
AD ada 11 orang, AL 3 orang, kepolisian 4 orang, dan AU juga 4 orang.
Memang betul Aidit ada di sana, tapi keberadaannya masih menjadi
tanda tanya. Karena berdasarkan informasi dari berbagai sumber yang
saya peroleh, sebagian mengatakan bahwa keberadaan Aidit di sana
itu karena terpaksa, dan dia sendiri tidak menyadari ini mau dibawa
ke mana.
Kemudian kalau kita lihat dari pelaksana gerakan sendiri, ada
3 grup yang pada waktu itu di bagi-bagi oleh Letkol Untung. Yang
pertama adalah Grup Pasopati. Kedua Grup Bimasakti atau kesatuan
Bimasakti, dan yang ketiga adalah Kesatuan Pringgondani, semuanya
nama wayang.
Grup pertama dipimpin oleh Letnan Satu Dul Arif dan Letnan
Dua Siman, para anggota dari gerakan ini terdiri dari Batalion
Cakrabirawa sendiri. Selanjutnya Batalion 454, kemudian Batalion
530, juga 1 Brigade Infantri Satu, pasukan para Angkatan Udara, dan
1 kesatuan Kavaleri, jadi semuanya militer. Demikian juga untuk ke-
satuan yang kedua, Bimasakti, yang dipimpin oleh Kapten Suradi,
diberi tugas untuk menguasai tempat-tempat penting di Jakarta.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Terdiri dari beberapa kompi dari Batalion 454 dan Batalion 530 dari
Jawa Timur. Kemudian yang ketiga, Kesatuan Pringgondani, berada di
bawah pimpinan Mayor Udara Sujono, yang diberi tugas untuk meng­

390

01-TA-16x24-terakir.indd 390 1/30/2012 9:39:31 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

amankan daerah Halim dan untuk memberesi soal-soal akomodasi


dan logistik. Juga beberapa Batalion Angkatan Udara yang dibantu
dengan kekuatan massa yang dipersenjatai pada waktu itu, mungkin
para sukarelawan Dwikora yang sedang dilatih di sana. Di samping
tiga kesatuan utama itu, ada 1 kesatuan yang dibagi menjadi 7 sub
kesatuan yang tugasnya menculik para jenderal yang menjadi target
dari operasi.
Tujuh kesatuan itu semuanya dari tentara, baik Angkatan Darat
maupun Angkatan Udara, kemudian dibantu oleh sukarelawan
Dwikora. Hanya kesatuan yang dipimpin oleh Letda Jahurup, yang di-
beri tugas untuk menangkap Jenderal Nasution dan Jenderal Ahmad
Yani. Sedang yang lima lainnya murni anggota-anggotanya dari para
tentara. Dengan demikian target gerakan itu semuanya diarahkan
untuk menangkap para jenderal yang dianggap sebagai anggota dari
Dewan Jenderal. Menurut mereka, para jenderal itu diyakini akan
melakukan kudeta pada saat peringatan hari Angkatan Bersenjata,
5 Oktober. Demikian juga serangan balik yang dilakukan oleh
Pangkostrad Mayjend Soeharto pada waktu itu, pertama-tama diarah-
kan pada tentara meskipun nanti pada tahap kedua barulah orang-
orang sipil, terutama dari para anggota PKI maupun simpatisannya.
Dengan demikian, dari seluruh operasi dari G30S itu, posisi AD
sangat signifikan, dan hanya sebagian kecil orang-orang sipil yang
terlibat di dalam operasi itu, dan itupun mereka yang dilibatkan kare-
na pada waktu itu dilatih sebagai sekarelawan Dwikora di Lubang
Buaya.

Nina Lubis (pembicara)


Apakah Sukarno Terlibat? Ada berbagai alasan bisa dikemukakan,
saya akan mencoba mengungkapkan seperti apa sebetulnya keterli-
batan Sukarno dalam pristiwa itu.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Dilihat dari sumber-sumber yang saya gunakan, tidak secara


eksplisit merupakan sumber-sumber primer. Kenapa? Sudah terlalu
banyak buku ditulis dan kesaksian ditulis, ada sekitar 23 atau 24, dan

391

01-TA-16x24-terakir.indd 391 1/30/2012 9:39:31 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

semua berkutat tentang siapa yang jadi dalangnya? Lalu orang akhir­
nya tidak bisa memutuskan siapa dalangnya?
Seperti yang saya katakan, akan berteori-teori. Begini, sejarawan
itu kalau kekurangan data atau kebingungan dengan sumber yang
ada, ia akan lari pada teori, kenapa? Teori-teori itu kadang-kadang
bisa menutupi, bisa membuat analisis, meskipun mungkin data yang
diperoleh itu meragukan. Setidak-tidaknya dugaaanlah bisa dibuat
begitu.
Kalau ditanya, adakah sumber baru yang dipakai? Mungkin ya,
kalau dilihat semua studi yang telah dilakukan, baik oleh sejarawan,
antropolog, wartawan, ataupun kesaksian dari para korban. Sumber
yang baru itu terutama hasil wawancara saya dengan anak Aidit, Iwan
dan Ilham. Saya berdiskusi antara tahun 2003-2004 melalui internet.
Iwan ternyata teman kuliah saya di ITB, tanpa saya tahu bahwa dia
anak Aidit. Saya dikirimi oleh Iwan dari Paris berupa buku-buku, dan
katanya tolong Ibu Nina mau membuka tabir peristiwa G30S ini. Dari
diskusi itu lama-lama saya pikir, biar bagaimanapun Iwan anak Aidit.
Kemudian Ilham sengaja datang ke Bandung ngomong panjang de­
ngan saya. Lalu akhirnya, dalam hati saya berkata, bahwa betapapun
mereka adalah Anak Aidit, tentu yang dibela juga Bapaknya. Ketika
saya berpikir lain, maka terhentilah diskusi itu, karena rupanya mere­
ka berpikir bahwa saya akan mengatakan bahwa korban adalah selalu
benar.
Kita lihat sekarang ini ada kecenderungan sumber-sumber yang
ditulis oleh korban-korban itu, apakah dia itu PKI ataupun keluar-
ganya, seolah olah korban itu selalu benar. Ada sebagian sejarawan
berpikir seperti itu. Padahal belum tentu juga. Artinya, kita tidak bisa
mengambil jarak, karenanya saya abaikan saja hasil wawancara saya
dengan mereka itu, dan saya tahu bahwa mereka kecewa karena saya
tidak menyalahkan pihak di luar PKI, saya sendiri termasuk yang me-
www.facebook.com/indonesiapustaka

nyalahkan PKI. Keinginan mereka, Soehartolah yang salah, kenapa?


Karena mereka adalah korban rezim itu. Begitu kira-kira, kalau ber-
dasarkan sumber-sumber seperti itu. Akhirnya, saya menggunakan

392

01-TA-16x24-terakir.indd 392 1/30/2012 9:39:31 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

teori yang di dalam sejarah menggunakan interpretasi, baik itu in-


terpretasi logis, interpretasi faktual, maupun interpretasi psikologis
yang bersifat hermeneutis. Kenapa demikian? Karena masalahnya
berkaitan dengan sumber. Betapapun sedikitnya sumber tergolong
primer yang disinggung, juga tidak detail atau tidak rinci, dan itu
sudah disinggung oleh sekian banyak penulis. Dan saya membuat
interpretasi hermeneutis dengan melihat lebih dulu apakah ada ke-
mungkinan bahwa latar belakang sosial, budaya, politik, Bung Karno
dari masa lalunya itu yang memungkinkan dia untuk bertindak seper­
ti itu, pada tanggal 30 September. Misalnya, dari biografi yang di-
tulis Gibels, seperti apa sih Bung Karno itu? Kita juga sudah tahu
bahwa Bung Karno dari tahun 1925 sudah membuat pidato politik
yang menghantui, bukan menghantui barangkali, tetapi yang selalu
dikutip ulang sampai akhir kejatuhannya. Pada tahun 1925 ia menu-
lis sebuah buku, juga pada tahun 1929 dalam pidatonya di Gedung
Landrad, Bandung, “Indonesia Menggugat”, tergambar dengan jelas
sebetulnya Sukarno itu siapa? Dengan kata lain, saya bisa menga­
takan bahwa Bung Karno itu orang yang selalu mencoba berbuat baik
bagi semua orang, ia ingin bahwa semua perbedaan itu diakomoda-
si dalam berbagai bentuknya. Jadi, kalau sudah melihat seperti ini
kadang-kadang dia bisa mengatakan apa saja. Tapi bisa juga disebut
orang yang oportunis, atau lihat-lihat situasi.
Pendekatan hermeneutis yang dilakukan ialah menjelaskan,
misal­nya, betapa kebencian Sukarno kepada imperialisme dan kolo-
nialisme. Bung Karno bilang “Go To Hell With Your Aids”, karena di
dalam pikirannya, atau mindset-nya, seperti itu. Kemudian Sukarno
mengatakan bahwa komunis harus berada bersama-sama dengan na-
sionalis dan agama, itu sudah terbawa dari muda. Dan itu sebabnya
ketika tahun sesudah 1955 PKI naik ke atas, maka yang ia jaga adalah
keseimbangan. Ia perlu mengendalikan semuanya dan ketika ia me-
lihat bahwa salah satu yang akan naik sendirian atau terlalu kuat,
www.facebook.com/indonesiapustaka

maka ia harus membuat keseimbangan baru, ini yang menurut se-


mentara orang Sukarno itu oportunis. Dalam bahasa lainnya disebut,

393

01-TA-16x24-terakir.indd 393 1/30/2012 9:39:31 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

katakan saja, tidak bisa punya pendirian. Dan itu terbukti ketika ia
mengatakan menyerah dan membuat surat bersalah. Kalau dilihat-
lihat, kok bisa? Ya bisa saja, dilihat Sukarno sebagai negarawan, apa-
lagi sebagai politisi, bisa berbuat apa saja.
Kemudian kita lihat ketika masa mudanya, memang punya pe-
mikiran atau punya pendirian yang seperti itu. Dan ini bisa dilihat
ketika ia sudah jadi Presiden, tepatnya pada tahun 1948, ada Madiun
Affair, dan sikap Bung Karno jelas kelihatan. Sebetulnya ia tidak me-
mihak, bahkan dikatakan disuruh memilih, mau Muso dengan PKI
nya atau Dia dengan Sukarno-Hatta-nya. Ini masih kelihatan sikapnya
seperti apa? Tapi ketika sesudah tahun 1955, makin kentara bahwa
Sukarno itu bukan komunis, tapi ke kiri sikapnya. Itu sangat terlihat
dan sudah diuraikan oleh banyak buku. Apa saja yang menunjukkan
bahwa ia membela atau mendukung PKI, tapi ia bukan sebagai ko-
munis, karena ia selalu mengatakan, misalnya, “Ya, kalau ini susah-
susah tahun 62-63 dan begitu susah keadaan negeri ini, maka ia se-
lalu mengatakan kalau begitu pakai saja cara-cara Marx”. Untuk apa?
Mengatasi kemelut seperti ini, itulah yang ia katakan. Kita pun tahu
bahwa tadi sudah disinggung apa yang terjadi, dan dari sumber-sum-
ber berupa pengakuan Wijanarko, misalnya, kita tidak bisa melaku-
kan kolaborasi, apakah kesaksian ini bisa dipercaya? Apakah Sugandi
yang diwawancara kemudian jauh sesudah peristiwa itu juga, apakah
ia bisa netral? Karena apa?
Kredibilitas sumber itu hanya ditentukan oleh 2 hal, pertama,
apakah ia mau mengungkapkan kebenaran, dan kedua, mampu ti-
dak ia mengungkapkan semua kebenaran, sehingga kita tidak bisa
menangkap apakah pengakuan-pengakuan itu kredibilitasnya tinggi.
Mengingat situasi yang sudah berubah, misalnya Sugandi mengatakan
ia dibilang melaporkan mau ada kudeta. Dan kapan pengakuan itu
dilakukan. Kesimpulannya bahwa buku yang membahas peristiwa
www.facebook.com/indonesiapustaka

G30S, dan tentunya yang terbaru karya Kerstin Beise, membantu saya
dalam membaca pemetaan seluruh studi yang dilakukan.

394

01-TA-16x24-terakir.indd 394 1/30/2012 9:39:31 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

Sebetulnya seberapa banyak yang mengatakan Sukarno terlibat,


dari paparan-paparan yang ada, maka saya pun berteori, dengan
menggunakan interpretasi logis dan faktual, yaitu Sukarno tahu, ia
menyetujui, kalau tidak masa’ ia membiarkan, tapi ketika tahu bahwa
ini tidak, maka sutradara pun diambil alih. Siapa yang mengambil
alih? Kita sudah tahu itu dan tentu saja tidak terlepas dari strategi
Soeharto. Ia juga tahu bahwa ada indikasi bahwa Soeharto memang
sudah merencanakannya. Jadi, apakah dalangnya Sukarno? Jelas saya
katakan tidak, dia bukan dalang, tapi ia terlibat. Hanya saja, sejauh
mana keterlibatannya, data-data tadi yang mendukungnya.
Akhirnya saya mengatakan, jelas Sukarno ikut terlibat, tapi tidak
ada bukti bahwa ia dalang G30S dalam perencanaan itu. Hanya itu
saja barangkali yang bisa saya katakan. Karena kita juga tahu bahwa
sekarang ini kecenderungan orang beranggapan bahwa PKI sebetul-
nya dalang kuat. Itu sebabnya para mantan PKI itu bersuara kencang-
kencang sampai kesaksian terakhir dari Heru Atmojo. Orang-orang
yang seperti itu begitu keras meminta kepada saya, tolong katakan
bahwa “Soeharto yang salah”.

Abdul Syukur (Pembicara)


Saya tidak berkompeten untuk mengeluarkan suatu teori CIA sebagai
dalang. Saya hanya mengungkapkan tentang buku-buku yang me-
nyebutkan CIA sebagai dalang G30S.
Dalang sangat penting dalam seni pertunjukkan wayang, ia ber-
peran sebagai pembuat skenario cerita, sekaligus sebagai pemain
tunggal. Ia menggerakkan wayang-wayang sesuai keinginannya. Kata
“Dalang” bila masuk dalam kosakata politik, dalam pengertian nega-
tif, tidak ada seorang pun yang menolak penggunaan istilah dalang
untuk melemparkan kesalahan terhadap perubahan politik yang diser­
tai tragedi kemanusiaan di Indonesia pada tahun 1965. Kita umum-
www.facebook.com/indonesiapustaka

nya berselisih paham mengenai siapa yang pantas difitnah sebagai


dalang. Yang memfitnah sebagai dalang juga sudah banyak. Teori-

395

01-TA-16x24-terakir.indd 395 1/30/2012 9:39:31 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

teori tentang siapa-siapa di balik peristiwa ’65 juga banyak, termasuk


pula tentang teori CIA sebagai dalang.
Saya hanya sempat membaca 5 buku yang menyatakan secara te-
gas CIA sebagai dalang, yaitu buku yang dikarang oleh David Johnson,
Kun Hozhavel, DT Dascold, Geoffrey Robinson, dan William Odman.
Mereka berteori bahwa CIA sebagai dalang kudeta. Dari hasil bacaan
itu saya memperoleh adanya kesamaan cara mereka mempresentasi-
kan CIA sebagai dalang.
Pertama, dasar-dasar teori yang mereka gunakan ada tiga, yaitu,
Pertama, keharusan logika perang dingin. Kedua, wajah Indonesia
Pasca 1965 menjadi dasar teori CIA. Karena setelah ’65 Indonesia
benar-benar sangat berubah dari segi konteks Internasional, dari saha­
bat komunis menjadi sangat anti komunis, kemudian yang anti Barat
menjadi sangat dekat dengan Barat. Sehingga di Indonesia sendiri
pernah sempat terjadi istilah Westernisasi atau modernisasi di tahun
1970-an. Ini akibat perubahan-perubahan drastis, di mana perubah-
an-perubahan itu dijadikan dasar bahwa CIA sangat terlibat di dalam
peristiwa ’65. Ketiga, saya mencoba menelusuri kira-kira data fakta
apa yang mereka pakai. Kebanyakan yang mereka pakai itu alternatif
satu.
Kedua, mereka memakai logika berpikir perang dingin dan pasca
Soeharto. Tetapi ada juga penulis yang menggunakan data laporan
intelejen CIA dengan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat yang
mereka gunakan. Saya kira kita bisa berdebat sampai di mana data
intelejen bisa digunakan sebagai landasan untuk bercerita dalam se-
jarah. Kemudian ketika saya membaca buku-buku itu, ada hal yang
menimbulkan tanda tanya. Kalau memang CIA terlibat, bagaimana
prosesnya sampai CIA terlibat?
Kelima penulis buku itu mengemukakan teori yang berbeda-beda,
dan umumnya mengatakan CIA terlibat secara tidak langsung, arti­
www.facebook.com/indonesiapustaka

nya mereka menggunakan agen-agen orang Indonesia. Kemudian sia-


pa agen-agen yang digunakan oleh CIA untuk menciptakan peristiwa
’65? Saya mendapatkan 5 nama yang diungkapkan oleh para penulis,

396

01-TA-16x24-terakir.indd 396 1/30/2012 9:39:31 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

yaitu, Pertama, kepala intelejen Angkatan Darat, Mayjen S. Parman,


orang yang digunakan CIA untuk merekayasa terjadinya peristiwa
penangkapan, penculikan, sampai akhirnya kejatuhan Sukarno.
Kedua, ada juga yang menyebut 3 perwira intelejen yang dijadikan
sebagai tangan-tangan CIA yaitu Pertama, Parman, Kedua, Soekindro,
mantan intelejen AD pada masa Nasution. Soekindro dipercaya me-
nyeret Cina untuk bertanggung jawab terhadap peristiwa ’65. Ketiga,
bantahan terbaru, yaitu seorang perwira yang kurang diperhitung-
kan, yaitu Heru Atmojo, perwira intelejen Angkatan Udara dari ha-
sil kajian Kun Hozhavel. Menurut Kun Hozhavel, di antara anggota
G30S yang paling tinggi pangkatnya di bidang intelijen ialah Heru
Atmojo. Heru-lah yang merekayasa terjadinya peristiwa G30S. Ialah
yang menyeret kepala staf Angkatan Udara masuk ke dalam konflik
internal Angkatan Darat. Selain ketiga perwira intelejen, ada lagi satu
perwira politik yaitu siapa lagi kalau bukan Pak Nasution. Nasution
adalah perwira politik AD teratas pada saat itu. Dan Nasution sudah
dibina CIA sejak peristiwa PRRI. Jadi Soekindro dan Nasution su-
dah menjadi orang CIA sejak peristiwa PRRI. Berkat Nasution dan
Soekindro lah Amerika menghentikan dukungan kepada pemberon-
tak di Padang dan di Sulawesi. Dan yang terakhir adalah Soeharto
perwira lapangan yang digunakan oleh CIA sebagai tangannya untuk
menciptakan G30S.
Dari hasil bacaan beberapa buku tersebut, terdapat beberapa
kelemahan tentang CIA yang dipaparkan. Pertama, terkesan bahwa
CIA sebagai pemain tunggal di Indonesia. Memang ada permasalah­
an di sini, apakah tahun ’65 merupakan peristiwa operasi intelejen
atau merupakan dinamika sosial politik di dalam negeri. Saya kira
pilihan dari 5 penulis yang saya ungkapkan tadi mengungkapkan
adanya operasi intelejen. Cuma persoalannya apakah CIA pemain
tunggal. Karena di antara penulis itu tidak ada yang mengungkap-
kan bagaimana peranan badan intelejen asing lainnya. Jika kita setuju
www.facebook.com/indonesiapustaka

bahwa Indonesia sangat strategis dalam perang dingin, maka yang


berkepentingan tidak hanya Amerika, tetapi juga Uni Soviet, RRC,

397

01-TA-16x24-terakir.indd 397 1/30/2012 9:39:31 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

Inggris, dan Australia, yang terlibat dalam konfrontasi Malaysia.


Kemudian ada juga India, yang saya baca dari laporan Pak Lapian
di majalah sejarah. India ternyata juga punya kepentingan, terutama
masalah kepemilikan laut itu dengan Sukarno. Sedang badan-badan
intelejen asing lainnya sama sekali tidak disinggung, bagaimana ope­
rasi atau perang intelejen di Indonesia.
Hal lain, saya melihat hanya data CIA yang dikemukakan, tetapi
tidak menguraikan data, bagaimana, misalnya, Badan Intelejen Uni
Soviet menanggapi laporan dari badan intelejen Amerika Serikat,
bagaimana perang-perang informasi itu terjadi. Yang kalau diungkap-
kan akan lebih lengkap dan mungkin akan menambah kepercayaan
bahwa CIA terlibat. Tetapi karena hal-hal seperti itu tidak diungkap-
kan, saya masih meragukan apakah benar CIA sebagai dalang peris-
tiwa G30S.
Kelima penulis juga mengabaikan dinamika sosial politik di
Indonesia. Seolah-olah CIA itu digambarkan pembuat skenario dari
awal sampai akhir. Padahal di sini perlu ada klarifikasi di mana CIA
terlibat, di awal, di pertengahan, atau di akhir.

I.G. Krisnadi (Pembicara)


Mengenai masalah di seputar G30S itu masih gelap, masih sulit un-
tuk dianalisis secara jernih, dan dibutuhkan kearifan sejarah. Karena
untuk menganalisis yang bebas dari pretensi ideologi sulit, pretensi
politik juga sulit. Selain realitas politik yang memang kompleks juga
dokumen-dokumen yang ada terbatas, bahkan ada yang belum bisa
dibuka, seperti dokumen yang ada di perpustakaan Amerika masih
disensor. Begitu pula masalah beberapa saksi kunci yang telah di-
bunuh. Saya tidak mengatakan terbunuh, terbunuh itu kecelakaan,
dibunuh atau dihilangkan di sini ada proses manipulasi sejarah yang
selama Orde Baru justru mengaburkan kejadian yang sesungguhnya,
www.facebook.com/indonesiapustaka

karena ada pretensi kekuasaan. Hipotesis yang diajukan ialah ketika


Bung Karno, selaku Presiden, diminta pertanggungjawaban oleh
MPRS, ia mengajukan pelengkap Nawaksara. Hipotesis pertama ini
398

01-TA-16x24-terakir.indd 398 1/30/2012 9:39:31 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

dibolak balik, para pimpinan PKI yang keblinger atau kelihaian


Nekolim atau oknum-oknum yang “tidak benar”, karena benar menu-
rut Sukarno belum tentu benar menurut Soeharto, apalagi dalam
politik. Yang jelas, dalam politik tidak boleh salah tetapi boleh bo-
hong, membunuh saja boleh.
Mari kita melakukan pengujian hipotesis. Yang ditampilkan per-
tama ialah, Kelihaian Nekolim. Dalam pertemuan di Sarangan 21
Juli 1948, di situ jelas ada Bung Karno, Hatta, dan penasihat Luar
Negeri Amerika. Juga disebutkan ada Merle Cochran, Konsul Jenderal
Amerika Serikat di Jakarta dan Arthur Calmwell. Dalam pertemuan
ini telah disepakati uang sebesar US$ 10 juta untuk menglikuidasi
komunis di Indonesia. Bung Karno pada waktu itu berharap dalam
Renville nanti ada jaminan dan bantuan dari Amerika Serikat. Oleh
sebab itu, Peristiwa Madiun ini merupakan kudeta provokasi, dan
dari sisi sejarah terjadi paradigma korban kekuasaan. Dan risiko dari
diterimanya uang US$ 10 juta ialah untuk pertama kalinya kita me-
nerima agen CIA, yaitu Arthur Calmwell.
Sejak itulah PSI dan Masyumi, yang semula dikatakan anti Barat,
anti Amerika dan anti modal asing, justru mendukung Barat dan
Amerika dalam peristiwa PRRI dan Permesta. Asia Tenggara khu-
susnya dan Asia Pasifik pada umumnya, sebenarnya dalam sua-
sana politik perang dingin antara Blok Barat yang mengusung ide-
ologi kapitalis dan Blok Timur yang mengusung ideologi komunis.
Permasalahannya di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, menurut
penilaian Menlu Vosterdalles, sangat strategis untuk membendung
komunis di Asia Tenggara. Selain itu, kandungan minyak dan sum-
ber energi lainnya terdapat cukup banyak di Indonesia. Karena itu
RRC juga menginginkan RI berada di bawah pengaruhnya. Terjadinya
peristiwa PRRI dan Permesta, aksi-aksi buruh, menyebabkan negara
dalam SOB. Hal inilah yang dinanti-nantikan militer sebagai upaya
www.facebook.com/indonesiapustaka

untuk menjustifikasi militer terjun ke dalam panggung politik dan


kegiatan bisnis ekonomi. Pada sisi lain, kebijakan politik luar negeri
Indonesia bergerak ke arah Peking, Phnom Penh, dan Hanoi, atau se-

399

01-TA-16x24-terakir.indd 399 1/30/2012 9:39:31 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

baliknya dari Jakarta, Peking, Phnom Penh, dan Hanoi. Keadaan ini
menimbulkan kekhawatiran Amerika, sehingga kongres membatal-
kan atau menghentikan bantuannya. Namun untuk AD bantuan terus
diberikan, hal itu dapat dilihat, misalnya, pada akhir 1965, ketika
sekitar 4.000 perwira TNI AD dikirim ke Amerika.
al lain, kebijakan nasionalisasi tidak berjalan efektif karena
H
para jenderal yang menguasai perusahaan asing yang dinasionalisasi
itu korup, juga militer menggunakan dana taktis operasional untuk
menggulingkan Sukarno dan PKI. Dan yang lebih penting lagi kunci
sebenarnya SSKAD, sebagai negara bayangan yang disponsori oleh
Pentagon, Ford Foundation, dalam merumuskan strategi dan taktik-
taktik yang diperlukan.
Untuk menerjemahkan strategi itu, jelas di sini keterlibatan in-
telektual PSI, M. Sadli, Sumitro, dan sebagainya. Kebijakan konfron-
tasi dengan Malaysia misalnya, kita mendapat kecaman dari musuh
kita dari Selatan ANZUS (Australia, New Zealand, dan United State),
kemudian dari garis atas ada SEATO, dan bagaimana dengan Uni
Soviet? Uni Soviet netral, Uni Soviet pada tahun ’60-an itu dalam
Soviet Policy Towards West Irian and Malaysia disebutkan khusus
untuk Irian, Uni Soviet membantu negara yang sedang merdeka mela­
wan kolonial, akan tetapi dalam memandang konfrontasi Indonesia
dengan Malaysia adalah persoalan sesama negara yang baru merde-
ka. Lain halnya dengan RRT, RRT memaknai konfrontasi Indonesia
dengan Malaysia, Indonesia adalah negara baru merdeka yang perlu
didukung. Sementara Malaysia adalah negara bikinan Inggris dan
otomatis sekutunya. Bukti lain adanya Bel proposal, juga dokumen
dari Gilchrist dan dokumen Bill Palmer.
Subandrio, ketika di Kairo dengan pers, mengungkapkan tentang
kabut Halim itu dengan membagikan foto copy dokumen tersebut.
Sebenarnya itu dilakukan untuk mencari simpatik agar mendapat du-
www.facebook.com/indonesiapustaka

kungan bahwa kita sedang anti Barat. Permasalahannya, apakah do-


kumen itu palsu atau tidak. Bagi saya itu No Problem atau tidak pen­
ting. Yang jelas dokumen itu bisa mematangkan situasi yang genting

400

01-TA-16x24-terakir.indd 400 1/30/2012 9:39:31 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

pada waktu itu. Apalagi diramaikan dengan isu Dewan Jendral, maka
lengkaplah sudah provokasi yang dapat menyeret PKI ke dalam kon-
flik fisik, yang oleh Jefry Robinson dianggap sebagai scoop prema-
ture PKI menjadi sebuah kenyataan. Bahkan dari bukti lain, William
Ottman mengatakan bahwa Amerika itu sudah siap untuk memban-
tu. Bahkan mantan anggota CIA, Maggy Hie, menyebutkan bahwa ia
telah memberi rekomendasi agar metode atau model yang dipakai
CIA di Indonesia telah menjadi model baku dalam clandestin, beru-
pa model operasi rahasia yang pernah diterapkan keberhasilannya
dalam menggulingkan Presiden Allende yang dikenal de­ngan Jakarta
East Approaching atau Jakarta East Coming. William mewawancarai
12 anggota CIA yang pernah bekerja di Indonesia. Dari 12 anggota
CIA yang diwawancarai, ada 8 anggota yang mengaku bahwa mer-
eka secara rahasia membantu gerakan ini. Kunci sebenarnya ada pada
Soeharto. Jika Soeharto waktu itu, ketika mendapat lapor­an dari Latief
bahwa “nanti malam saya mau bergerak”, dan Soeharto mau menang-
kapnya, maka tidak akan terjadi peristiwa G30S. Jadi kuncinya ialah
Soeharto. Apalagi sebagai Pangkostrad, seharusnya ia melaporkan ke-
pada pimpinannya, yaitu A. Yani dan Nasution. Tapi mengapa hal itu
tidak dilakukannya? Bung Karno mengatakan “ada oknum yang tidak
benar”. Namun bagi Soeharto, masalahnya bukan benar atau tidak
benar, karena tanpa ini tidak ada Orde Baru. Di sinilah masalah yang
sebenarnya mengenai peristiwa itu.
Hal penting lainnya ialah pimpinan PKI yang keblinger. Saya
mencoba menganalisisnya. Sebenarnya pada masa demokrasi ter-
pimpin, Sukarno gandrung akan kekuatan persatuan revolusioner
guna mewujudkan samenbundelen van alle revolutioner krachten.
Di sini sebenarnya Bung Karno menghendaki semua komponen yang
revolusioner untuk bersatu. Sukarno sebenarnya ingin memperke-
nalkan ajarannya tentang Nasakom. Di dalam Nasakom ini, menurut
Crouch, Sukarno sebenarmya bermain di dalam dua kekuatan. Untuk
www.facebook.com/indonesiapustaka

apa? Justru agar jangan sampai dua-duanya lebih kuat, dan kekua-
saan terkonsentrasi pada dirinya. Terbukti Sukarno mampu mendo-

401

01-TA-16x24-terakir.indd 401 1/30/2012 9:39:31 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

mestikasikan PKI dalam hal isu-isu buruh yang dalam teori Marxis
seharusnya ini diperjuangkan, tapi justru diarahkan oleh Sukarno
untuk Ganyang Malaysia. Di dalam kenyataannya yang lebih penting
lagi bahwa Sjam memegang peran penting atau peran kunci. Sjam
adalah kunci permasalahan, Sjam itu agennya Soeharto atau agen-
nya Aidit? Di sinilah permasalahannya. Sjam itu siapa? Sjam dekat
dalam kelompok Patuk, tetapi ia juga dekat dengan Soeharto, bahkan
sering ke rumahnya. Sjam juga punya utang budi dengan Aidit, se-
baliknya Aidit juga punya utang budi pada Sjam, ketika Aidit ma-
suk Jakarta, ia diselamatkan atau dibantu oleh Sjam. Karena itu Sjam
adalah agen ganda. Menurut Aidit, Sjam adalah agen yang disusup-
kan ke dalam militer, tapi menurut Soeharto, Sjam adalah agen yang
bisa disusupkan ke dalam PKI. Hal ini terbukti ia berhasil menyeret
Aidit melakukan Advonturisme Militer bersama Biro Khusus Pusat
tanpa dirembug lebih dulu dengan Dewan Harian Politbiro, juga tan-
pa melalui tingkat Sidang Pleno Politbiro. Tidak hanya itu, di dalam
Biro Khusus terjadi perpecahan. Terdapat dua pendapat (walaupun
ini masih rahasia). Sjam mengatakan “kita didahului didukung oleh
Aidit”. Tetapi Bono, Pono Hamim, dan Sujono mengatakan “siapa
itu?”, mereka mengatakan “Jangan, kalau kita mendahului, rakyat ti-
dak simpatik dengan kita, bahkan orang yang sudah simpatik dengan
PKI kalau kita mendahului jadi tidak simpatik”. Intinya, sebaiknya
jangan mendahului, tapi kita tunggu saja. Keputusan Bono, Pono
tetap memilih yang kedua. Tetapi ketika mau disosialisasikan ke dae-
rah, justru diselewengkan oleh Aidit dan Sjam. Kesimpulan ini masih
sementara, sebagai pancingan.
Akhirnya saya ingin menegaskan bahwa latar belakang terjadi­
nya G30S adalah ada tiga faktor penyebab, yaitu, Pertama, Kelihaian
Necolim, dan Amerika Serikat sangat dominan. Kedua, Pangkostrad
Soeharto bersama kliknya sebagai oknum-oknum yang “tidak benar”
yang memicu G30S. Sebab, jika ketika Latief melaporkan bahwa saya
www.facebook.com/indonesiapustaka

akan bergerak, dan Soeharto mau menangkapnya, maka tidak akan


terjadi peristiwa G30S. Tapi mengapa Soeharto tidak menangkap-

402

01-TA-16x24-terakir.indd 402 1/30/2012 9:39:32 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

nya? Ketiga, Advonturisme militer DN Aidit bersama Biro Khusus


Pusat PKI, yang oleh Sukarno dianggap sebagai pimpinan PKI yang
keblinger. Namun, saya tetap beranggapan aktor di balik peristiwa
G30S adalah Soeharto bersama klik-kliknya. Hal itu didukung oleh
bukti-bukti sebagai berikut: Para pimpinan teras G30S adalah orang-
orang yang dekat dengan Soeharto, dan Soeharto memanfaatkan
Sjam Kamarudzaman sebagai agennya yang berhasil memprovokasi
DN Aidit melakukan Advonturisme Militer bersama Biro Khusus PKI
yang dianggap sebagai PKI illegal. Soeharto menggunakan strategi
kudeta prematur komunis, dengan melaksanakan taktik isu tentang
adanya Dewan Jendral yang berhasil disingkirkan. Dan jenderal-
jenderal dari faksi tengah dianggap rivalnya. Menurut Crouch Yani
dkk, khususnya Nasution dianggap rival Soeharto. Walaupun Tuhan
menghendaki lain, terbukti Nasution selamat. Juga sikap Soeharto
yang membiarkan para pelaku G30S, dan membersih­kan para Dewan
Jendral serta mengangkat dirinya sebagai pimpin­an TNI AD atas dasar
SOB. Tindakan ini merupakan tindakan makar, karena Soeharto mem-
bangkang kepada pemerintahan resmi di bawah Presiden Sukarno.
Soeharto juga memprovokasi rakyat dengan menga­takan bahwa PKI
sebagai dalang peristiwa G30S dengan menyebar benih-benih ke-
bencian kepada PKI dan ormasnya, semakin memperkuat tuduhan
Soeharto bersama kliknya sebagai aktor di balik G30S. Selain itu,
yang berperan sebagai sponsorship dalam G30S dan upaya penggul-
ingan pemerintah Sukarno serta penghancuran PKI adalah Amerika
Serikat, juga tidak menutup mata keterlibatan sekutu Amerika yang
lainnya. Benih-benih kebencian itu disebarkan melalui surat kabar,
misalnya ada surat kabar yang mengatakan jenderal yang sedang sek-
arat itu disiksa secara sadis, matanya dicongkel, alat kelaminnya di-
potong, dan sebagainya. Padahal, menurut hasil visum dari Rubiyono
Kertopati, alat kelaminnya itu masih utuh, bahkan ada satu yang ti-
dak disunat/dikhitan. Ada mata yang tercongkel dikarenakan ketika
www.facebook.com/indonesiapustaka

pengambilan mayat dari dalam sumbur lubang buaya terkena dind-


ing, bukan karena disiksa. Akan tetapi semuanya sudah misslead-
ing, karena diberitakan oleh surat kabar, bahkan ada artikel tanggal

403

01-TA-16x24-terakir.indd 403 1/30/2012 9:39:32 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

2 Oktober di harian Rakyat yang dikuasai oleh tentara yang menye-


butkan bahwa PKI mendukung G30S. Kalau itu memang benar dari
PKI jelas aneh, PKI yang sudah gagal malah dengan bangga mengaku
mendukung G30S. Menurut Wertheim hal itu sebagai kese­ngajaan
untuk mendiskreditkan PKI sebagai dalangnya. Hanya ini yang bisa
saya sampaikan. Terima kasih.

Susanto Zuhdi (Pembicara)


Makalah ini ditulis bersama dengan Pak Lapian, sebagai suatu upaya
untuk mengulas secara teoritik tentang G30S. Begini, masyarakat
melihat sejarah dengan kepentingannya, sementara sejarawan de­
ngan teori dan metodologinya. Oleh sebab itu, kami berusaha untuk
melakukannya secara objektif, meskipun nanti dalam penjelasannya
ada bagian yang tekait pada kepentingan, kepentingan tim. Jika kita
lihat para pembicara sebelumnya, cara menyampaikan pendapat itu
terkesan ada kecenderungan untuk memilih dari sekian teori yang
kelihatannya diyakini benar bahwa pelaku peristiwa itu sudah kita
ketahui bersama. Namun di balik peristiwa itu, siapa dalang atau
pelaku utama yang melakukan tindakan ini, merupakan problematik
yang hingga kini diperdebatkan.
Saya hanya mengulas beberapa bagian, karena pembicara sebe­
lumnya sudah menyampaikannya, seperti Pak Lapian mengemukakan
tentang Sukarno, kemudian diteruskan oleh Ibu Nina. Ada satu hal
menarik yang disampaikan oleh Victor Vic, ke arah mana Sukarno itu
harus dibawa sesudah peristiwa yang terjadi pada tanggal 30 malam
itu? Kalau dengan pesawat terbang sangat riskan karena akan dikua-
sai oleh pilot untuk dibawa ke mana. Salah satu yang diungkapkan
oleh Victor Vic ialah akan dibawa ke Cina, karena dengan pola seperti
Sihanouk sudah disiapkan di Danau Angsa. Juga Subandrio sudah
menunggu di Medan. Jadi, dalam pandangan Victor Vic hal itu sudah
www.facebook.com/indonesiapustaka

diskenariokan bahwa yang akan menjadi Presiden ialah Omar Dhani,


dan yang menjadi Perdana Menteri D.N. Aidit. Karena dengan pe-

404

01-TA-16x24-terakir.indd 404 1/30/2012 9:39:32 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

sawat sangat riskan, dan atas saran Leimena kemudian mengalihkan


lewat jalan darat ke Bogor, di sinilah peranan Leimina.
Mengenai isu Dewan Jenderal yang sering diungkap, apakah itu
ada atau tidak ada? A. Yani sering ditanya oleh Sukarno, Yani menga­
takan itu “tidak ada” yang ada “Wanjati”. Dalam buku Theodore Friend,
yang dimaksud Dewan Jenderal adalah pertemuan-pertemuan yang
diadakan untuk makan siang di Jerman Club, mungkin bapak-bapak
masih ada yang tahu bahwa setiap kali Soeharto diajak untuk acara
makan-makan itu, maka jawabannya selalu “ibu menunggu dirumah
untuk makan bersama”. Jadi, dalam konstelasi ini Soeharto tidak ma-
suk di dalam pertemuan-pertemuan yang diadakan tersebut. Yang
menarik, ketika Kolonel Benson, Atase Militer, hendak kembali ke
Amerika, ada pertemuan perpisahan di German Club. Di situ tampak
S. Parman, yang yakin sekali bahwa hanya dalam hitungan beberapa
jam saja apa yang diharapkan oleh PKI “kami telah kuasai dan kami
telah mengetahuinya”. Sebab A. Yani sempat menanyakan kepada
Benson, apa yang akan Anda sampaikan kepada Pentagon, kemudian
Benson mengatakan bahwa “keadaan sudah dalam dominasi Sukarno
dan PKI”. Ini catatan-catatan tambahan yang barangkali belum disam­
paikan ke hadirin dengan teori-teori yang tadi sudah disampaikan
oleh pembicara.
Saya akan membaca pada bagian terakhir dari kesimpulan semen-
tara, yaitu teori yang disampaikan oleh Robert Cribb. Menurut Robert
Crip, mengenai konspirasi, jika ada suatu konspirasi maka kemung­
kinan besar ada lebih dari satu konspirasi, karena situasi memung-
kinkan banyak orang terlibat dalam konspirasi tersebut. Jadi kalau
ada pembicara yang menjelaskan dari sisi CIA, mungkin saja CIA juga
memasukkan orang-orangnya ke semua kalangan. Kedua, teori yang
mengatakan bahwa sebagian besar dari konspirasi ini cenderung ga-
gal oleh karena apa, karena organisasinya sangat sulit dan bersifat
www.facebook.com/indonesiapustaka

sa­ngat rahasia. Kesulitannya untuk mengungkapkan dengan suatu ke­


terbukaan, kejujuran, semua yang terlibat didalam peristiwa itu. Jadi
persoalannya menurut teori ini, bagaimana mengungkapkan secara

405

01-TA-16x24-terakir.indd 405 1/30/2012 9:39:32 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

terbuka dan jujur. Ketiga, yang menarik keuntungan dari konspirasi


yang gagal itu bukanlah mereka yang merencanakannya,tetapi mere­
ka yang siap mengadakan respon dengan cepat memanfaatkan ter-
hadap kesempatan yang baru terjadi. Jadi, apakah kerangka tawaran
dari teori Robert Cribb ini bisa kita gunakan untuk menganalisis data
dan fakta yang tadi sudah diungkapkan oleh teman-teman pembicara
sebelumnya? Hal yang juga sangat menarik buat saya, misalnya ada
pembicara yang rupannya tidak hanya di dalam urusan menangani
korupsi dengan cara pembuktian terbalik, tetapi ia mengemukakan
teori dengan cara melihat bagaimana Orde Baru memanipulasi se-
jarah, lalu dipakai untuk itu, apakah ini juga suatu teori pembuktian
terbalik di dalam sejarah? Saya tidak tahu. Terima kasih.

Aristides Katoppo (Pembahas)


Saya kira presentation-presentation yang diberikan itu memang sa­
ngat menarik. Kalau buat saya, itu semacam komputer merefreshlah,
karena banyak hal yang kadang-kadang, karena waktu, sudah mulai
agak kabur atau samar-samar. Sekarang, dengan adanya alam lebih
bebas, saya kira ada kesempatan untuk menampilkan berbagai sudut
pandang yang tadinya bukan hanya diabaikan tapi mungkin dilarang­
lah, di-repres atau di-surpresed. Sekarang sebagian terungkap, tapi
apakah kita sudah mulai berkurang gelapnya. Saya kira kejernihan
itu belum tentu akan bertambah, sebab sisa-sisa kabut itu masih ba­
nyak, baik di lapangan maupun di otak kita sendiri.
Di sini tentunya sebagai ilmuan kita membahas dengan memakai
rasio dan logika, tentu kita mencari kebenaran berdasarkan fakta.
Salah satu pengalaman saya sebagai wartawan, ternyata sekarang
sedikit wartawan yang mengasah ilmunya. Seringkali kita membuat
laporan, kemudian ditanya, “mengapa Anda melakukan kesimpulan
begini”. Jawabannya, logis karena a+b+c pasti hasilnya begini. Saya
www.facebook.com/indonesiapustaka

bilang, “Ya betul, tapi pengalaman saya di bidang jurnalistik, sering-


kali realitas itu sama sekali tidak logical, dan banyak hal yang sangat
logical tetapi tidak benar, tidak faktual dan tidak realistis”. Saya kira

406

01-TA-16x24-terakir.indd 406 1/30/2012 9:39:32 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

ini tantangan yang harus kita hadapi. Upayanya tentu ikhtiar kejujur­
an untuk mencari kebenaran, tetapi sekali lagi logic itu merupakan
pemberian yang maha pengasih. Saya kira itu bukan satu-satunya
yang harus menentukan, bahkan bisa menyesatkan, karena belum
tentu yang logical itu factual, atau fakta itu dari banyak fakta terba­
ngun realitas yang lebih besar, melihat sebagian dari keseluruhan
bisa merupakan suatu distorsi daripada kebenaran. Apalagi kalau
memang kita alami selama ini.
Bukan untuk menjelek-jelekkan Orde Baru, tapi kenyataan bahwa
waktu Orde Baru melegitimasi kekuasaannya, ia perlu memonopoli
kebenaran, dan kebenaran itu dilakukan secara sangat sistematik,
baik oleh pers yang menjadi Weapon of Mass Deception dan bukan
destruction, dan mungkin juga destruction of the truth, atau reality,
termasuk saya. Mungkin banyak di antara kita yang tidak menyadari
bahwa kita, sadar atau tidak sadar atau langsung atau tidak langsung,
sebenarnya terlibat dalam sesuatu, punya kebanggaan profesional,
tetapi sebenarnya pengingkaran terhadap the quest for truth.
Ada satu point, yang kalau boleh saya sampaikan, adalah sering-
kali tadi ada teori, skenario, dan sebagainya. Tetapi berdasarkan
pengalam­an, seringkali suatu kejadian yang berdampak historis yang
besar, bukan lahir dari sesuatu yang mungkin direncanakan atau di-
rancangkan, atau dilakukan dengan sangat sadar, misalnya salah satu
contoh kalau boleh saya sebut, dalam salah satu paper disebut pada
waktu Bung Karno di Halim, Soeharto waktu itu memberi ultimatum
bahwa Halim akan ia gempur dan Presiden Sukarno diminta mening-
galkan Halim. Untuk itu diutus, kalau tidak salah, Wijanarko dan be-
berapa yang lain. Konon Bung Karno sendiri dalam keadaan bingung,
tetapi pada waktu itu, at least, menurut versi ini ia merasa semacam
menjadi tawanan atau bisa merupakan suatu halangan atau menjadi
sandera. Memang keadaannya tidak seluruhnya jelas hitam putih,
www.facebook.com/indonesiapustaka

tetapi ada kelompok yang berkomplot. Apakah itu Dewan Revolusi


menggunakan beberapa prasarana dari Angkatan Udara, termasuk
beberapa pimpinannya, tetapi juga ada perwira-perwira di sana yang

407

01-TA-16x24-terakir.indd 407 1/30/2012 9:39:32 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

totally neutral, bahkan mungkin punya simpati, atau kalau ada yang
disebut, misalnya, Sudisman memberi tahu kepada Sugandhi, itu
kan aneh. Tapi di Indonesia, it can happen, misalnya, salah satu ang-
gota saudara adalah pimpin­an Masyumi, yang satu adalah pimpinan
dari PKI. Seorang saudara Sakirman, adalah pimpinan dari Angkatan
Darat.
Pada waktu kejadian, misalnya, Sukarno digiring menuju Hercules
yang tadinya akan terbang, paling tidak dikatakan terbangnya ke
Madiun dan tidak ada opsi lain. Soeharto mengatakan harus kelu-
ar, tetapi yang menguasai medan pada waktu itu adalah kelompok
Suparjo dan lain-lain. Jadi, waktu iring-iringan itu berjalan menu-
ju Hercules, kalau yang saya ketahui, misalnya, adalah pada saat
wawan­cara Sukarno naik mobil VW Kodok yang disupiri Mangil,
ajudan komisaris, pengawal pribadinya sejak lama, dan waktu naik
mobil diajak serta Pak Leimena, mungkin karena dianggap No Threat,
waktu iring-iringan mobil berjalan ke Hercules, Mangil bertanya
kepada Bung Karno ke mana, Pak? Bung Karno melihat ke Oom Yo.
Kalau tidak salah dalam bahasa Belanda, ke mana? Oom Yo bilang
Bogor. Pada saat itu Mangil masih bertanya lagi kepada Bung Karno,
dan Bung Karno menganguk-anguk lagi, dan, ya Bogor. Mobil VW itu
memisahkan diri dari iring-iringan, dan hal itu nampaknya menge-
jutkan atau mengacaukan rencana yang menyebut namanya G30S.
Karena dengan demikian, Sukarno tidak lagi dalam cengkeramannya,
tidak bisa dipresentasikan kepada rakyat bahwa berada di tengah-te­
ngah mereka. Paling tidak ia tidak mendukung pembunuhan itu, dan
seterusnya.
Saya pernah tanya kepada Oom Yo waktu ambil keputusan, “Kenapa
Anda sebut Bogor“. Ia tidak bilang kalau ada skenario, tapi Saelan
betul, mungkin ada skenario harus ke Tangsi AD, atau AU ada pe-
sawat Jetstar atau ke AL ada Faruna, ia mengatakan, “Wah, itu adalah
ilham”. Dan memang beliau sebagai orang yang selalu tidak segan-se-
www.facebook.com/indonesiapustaka

gan dalam keadaan kritis berdoa meminta petunjuk dari Yang Maha
Kuasa. Ini kejadian yang signifikan, yang tidak direncanakan sama
sekali sebelumnya dan bahkan si pelakunya tidak mengerti. Tapi saya

408

01-TA-16x24-terakir.indd 408 1/30/2012 9:39:32 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

kira banyak sekali mengubah jalan ceritanya. Jadi, saya kira banyak
sekali contoh yang semacam ini dan ini juga saya kira teori.
Syak wasangka, sesuatu yang sudah kita pikirkan buruk sangka,
atau alibi yang sudah kita telan mentah-mentah, kita sudah inter-
nalized sebagai sesuatu bagian dari kebenaran dan tidak bisa men-
distinct-kan lagi. Tapi kalau kita berpegang teguh, jika kita bertanya
siapa dalangnya, saya kira banyak dalangnya, dan kita mesti menjaga
juga jangan simplifikasi, misalnya CIA. Ada ungkapan, “Kol. Benson
sangat akrab, sangat dekat dengan Yani”. Ia adalah satu-satunya Atase
Militer yang berani keluar masuk kamar tidur atau kamar kerja Yani.
Bahkan ketika mau mendarat di Pekanbaru, staf umum AD tidak pu-
nya peta yang paling akhir, mereka meminta ke Benson. Beberapa
jam sebelum RPKAD mendarat di Pekanbaru, mereka mendapat peta-
peta itu. Apakah kebetulan, bahwa jam tiga pagi ada air drop, kata­
nya dari CIA, untuk pasukan PRRI Permesta. Jam lima pagi, dua jam
kemudian, RPKAD mendarat di situ. Mereka seolah-olah berterima
kasih mendapat gift. Apakah itu alibi atau tidak, bagaimana diatur,
bolehlah kita bersangka-sangkaan, waktu itu pure luck dari TNI, bisa
juga. Tetapi kalau sekedar mencatat fakta, masing-masing dari kita
berhak berinterpretasi sendiri-sendiri, dan memang akan kaya dalam
interpretasi. Maksud saya adalah CIA dari sisi AS, bukan single ac-
tor. Di sini juga disebut bahwa, misalnya, Duta Besar AS di Malaysia
menyarankan kepada State Department, supaya membantu Malaysia
dengan ANZUS-nya untuk melakukan gerakan menumbangkan
Sukarno.
Howard Jones yang ada di sini berpendapat beda, dan itu per-
nah menjadi semacam pengulangan dari waktu Howard Jones juga
dikirim ke sini, karena Indonesia dianggap akan menjadi komunis,
maka ada pendapat Allen Dulles dari CIA, John Foster Dulles dari
State Department, “Sudahlah SEATO daripada lubang besar, ada em-
pat NATO, SENTO, SEATO termasuk Pakistan, India—tidak apa-apa
www.facebook.com/indonesiapustaka

ada Himalaya—kemudian Jepang, Korea, Taiwan, tapi ada lubang kan


Indonesia, untuk mengepung yang komunis.” Ada pemikiran untuk
memisahkan Sumatra, tetapi waktu itu di veto oleh Eisenhower, kare-

409

01-TA-16x24-terakir.indd 409 1/30/2012 9:39:32 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

na apa? Karena, salah satu, mungkin dia dari militer, yang notabene
lebih teliti dalam membaca laporan Benson. Laporan Benson bukan
ke CIA, tetapi ke Pentagon, biasanya Pentagon lapor ke Presiden. Jelas
ada peran, apakah peran utama? Apakah bukan Inggris yang punya
peran lebih penting? Karena kita sedang konfrontasi dengan Malaysia.
Pasukan yang berhadapan dan bertembak-tembakan dengan sukare-
lawan kita di Kalimantan itu adalah pasukan Inggris dan memang
MI6 tidak begitu tenar seperti The Kazens, tetapi tidak bisa diang-
gap tidak memainkan peranan, dan apakah kebetulan bahwa itu Gill
Crist documents—kok pakai dubes? Walaupun itu dipalsukan,tetapi
dalam soal kelihaian spy game, saya kira sampai hari ini Amerika
yang bisa kita lihat. Mungkin kalau ini terbuka bisa foto Pak Salim
pakai kacamata atau tidak. Tetapi kalau namanya human intelligence
di Iran atau di Irak, ia angkat topi kepada Inggris. Di sini sepintas
lalu disebut peran Inggris, tetapi tidak terfokus seperti pembahasan
CIA, sementara mungkin itu lebih penting. Apakah kebetulan bahwa
Inggris yang sekarang membentuk freedom of information act yang
baru awal tahun ini disahkan, sekaligus mengatakan bahwa semua
dokumen mengenai Indonesia, khusus yang menyangkut tentang ta-
hun 1965 diperpanjang lagi hingga 25-30 tahun, baru boleh diung-
kapkan karena security, sesuatu yang terjadi. Itu contoh bahwa masih
ada sumber yang belum digali. Alhasil, saya kira bagus sekali kita
mencoba menampilkan berbagai persepsi. Dari perbenturan persep-
si-persepsi mudah-mudahan kita bisa salvage the truth. Tapi masih
dipertanyakan, apakah kita bisa mendapatkan the whole truth and
nothing but the truth, sebab yang sekarang cuma ada kepingannya
saja. Terima kasih.

Sulastomo (Pembahas)
Kita perlu mengetahui apa yang tersirat dari fakta-fakta apa yang su-
dah disampaikan. Dimulai dengan presentasi Pak AB Lapian menge-
www.facebook.com/indonesiapustaka

nai apa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober. Barangkali saya bisa
mulai dari satu hari sebelumnya, yaitu tanggal 29 September 1965,
ketika Bung Karno menolak tuntutan Aidit untuk membubarkan

410

01-TA-16x24-terakir.indd 410 1/30/2012 9:39:32 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

HMI dalam forum terbuka, dalam rapat umum yang diselenggarakan


oleh Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) di Gelora
Bung Karno, Senayan. Dalam forum terbuka itu Bung Karno dan
Leimena dengan tegas menolak tuntutan CGMI dan Aidit untuk
membubarkan HMI, hanya satu hari sebelum G30S. Apalagi jika di-
kaitkan dengan kesimpulan salah satu pembicara bahwa kekuatan
politik praktis hanya tiga: PKI, AD, dan Bung Karno sebagai penyeim-
bang. Kalau kita bisa menginterprestasi peristiwa itu, menunjukkan
bahwa Bung Karno tidak selalu mengikuti permintaan PKI. Dengan
perkataan lain, adalah keliru, menempatkan Bung Karno seolah-olah
di bawah pengaruh PKI, meskipun dalam banyak hal Bung Karno
memberikan toleransi mengakomodir permintaan PKI. Hal ini mem-
buktikan bahwa Bung Karno benar-benar sebagai penyeimbang.
Bung Karno bisa dan berani menolak permintaan PKI. Dari segi PKI,
saya tidak tahu, apakah kejadian itu hendak dijadikan ‘test case’ pe­
ran Bung Karno untuk peristiwa besar sehari setelah itu, yaitu G30S?
Ini harus dibuktikan. Sebagai ketua HMI, saya termasuk terkejut,
“kok, PKI berbuat begitu, memaksakan hendak memforsir malam itu
juga HMI harus bubar.” Pertanyaannya adalah, apa ini ada kaitannya
dengan peristiwa satu hari berikutnya? Siapa tahu ini persiapan
dalam rangka mengeliminir lawan-lawan yang dianggap berpotensi
menggagalkan?
pa yang terjadi pada 1 Oktober, yang jatuh pada hari Jumat itu?
A
Meskipun masih pukul 07.00, karena HMI sedang diga­nyang, saya
sudah berada di rumah Mas Subhan,seorang tokoh NU yang kemu-
dian menjadi ketua KAP Gestapu, yang sekjennya adalah Mas Harry
Tjan Silalahi. Kira-kira pukul 07.30 telepon masuk dari salah seorang
ketua HMI, yaitu Sdr. Syarifudin Harahap, yang mende­ngarkan warta
berita pengumuman Dewan Revolusi. “... Mas Tom, Mas Tom, ini ada
kudeta”. Kemudian ditambahkan, “Dan ini mesti PKI....”
www.facebook.com/indonesiapustaka

Supaya bapak-bapak bisa merasakan suasana di waktu itu, saya


ceritakan apa yang kemudian kami lakukan. Seperti biasa, saya ingin
mengecek dulu keadaan. Bersama Syarifudin Harahap, dengan vespa

411

01-TA-16x24-terakir.indd 411 1/30/2012 9:39:32 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

saya berkeliling ke Jalan Merdeka, Teuku Umar. Dari apa yang terlihat,
timbul pertanyaan, “Kok, ini ada pasukan Diponegoro?” Kemudian
kami kembali ke Jalan Banyumas 4, kediaman Mas Subhan. Mas
Subhan baru makan pagi. Kesan kami, rasanya ia belum tahu apa
yang terjadi dengan peristiwa hari itu. Begitu saya beritahu, ia lang-
sung mengikat sarungnya naik ke atas, kemudian turun lagi membawa
pistol dan diletakkan di meja. Ini saya ingin menggambarkan betapa
orang pada waktu itu merasa tegang luar biasa. Subchan saja terkejut
dan tegang seperti itu. Subhan, seorang tokoh politisi muda, pembe­
rani, begitu saya beri tahu, makannya belum selesai, naik ke atas lang-
sung membawa pistol dan terus memberikan instruksi-instruksi.
ekitar pukul 10.00, PB HMI sudah berkumpul semuanya, mem-
S
bagi pekerjaan, antara lain dokumen-dokumen dipindahkan, dan
lain-lainnya. PB HMI pindah kantor dari Diponegoro 16 ke Pasuruan
6, karena kita menganggap kalau ini betul PKI tentu HMI akan men-
jadi sasaran. Perlu ditambahkan, di kalangan masyarakat tertentu,
dan juga PKI sendiri, dikatakan suasana sudah hamil tua. Jadi bahwa
akan ada clash antara PKI dengan AD, bagi kalangan tertentu, terma-
suk yang saya pahami, tinggal menunggu waktu, besok pagi, lusa,
kapan, ya tinggal menunggu waktu. Jadi, pada waktu G30S terjadi,
meskipun terkejut, sedikit banyak kita sudah memperhitungkan akan
terjadi peristiwa seperti itu. Siapa mendahului, apakah AD atau PKI,
itu sudah menjadi pembicaraan di kalangan kami semua. Ini yang
pertama yang ingin saya sampaikan.
ang kedua, saya sangat setuju, bahwa banyak yang berkepen­
Y
tingan. Apakah CIA, KGB, AS, atau segala macam lainnya. Saya
kira sangat naif kalau menganggap AS tidak punya kepentingan di
Indonesia, begitu juga KGB dan lainnya.Tetapi saya juga mengatakan
sangat naif jika dengan intervensi itu kemudian kita menyimpulkan
atau lepas tanggung jawab bahwa seolah-olah kita tidak bertanggung
www.facebook.com/indonesiapustaka

jawab atas yang terjadi di Indonesia. Bahwa CIA campur tangan, in-
filtrasi, lobi, tadi saya katakan kepada teman-teman saya sendiri, de­
ngan kedutaan AS, istilahnya apakah didekati atau mendekati. Tetapi

412

01-TA-16x24-terakir.indd 412 1/30/2012 9:39:32 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

kalau saya sampai terpengaruh oleh teman dari Kedutaan Amerika,


maka itu salah saya sendiri. Begitu juga AD, Bung Karno, Soeharto,
PKI, kalau sampai terpengaruh dengan intervensi itu, tentu salah­
nya sendiri, tidak boleh lepas dari tanggung jawab. Ini prinsip saya.
Karena itu sangat naif jika CIA dianggap tidak ikut main, pasti ikut
main. Cuma, bagaimana mengelola ‘intervensi’ mereka di sini, inilah
yang harus kita sikapi. Karena itu saya tidak cenderung untuk menya­
lahkan CIA sebagai dalang, sebab CIA tidak bisa apa-apa jika tidak
ada orang kita yang terlibat atau membantu. Demikian juga de­ngan
yang lain-lainnya. Karena itu, yang dikatakan “dalang itu tidak dalang
be­tul”. Mungkin orang cuma keblinger, kata Bung Karno me­ngenai pe­
ran PKI, dalam G30S. Tapi keblinger pun itu apa tidak salah? Ya, salah.
Kenapa mau keblinger oleh provokasi Dokumen Gilchrist, Dewan
Jenderal, dan lain sebagainya. Kenapa bisa begitu? Ini titik tolak ber-
pikir saya. Apakah itu suatu kudeta? Ya, karena pengumuman Dewan
Revolusi pukul 11.00 dengan tegas mengatakan presiden, kabinet,
semua sudah tidak ada. Apakah ini intern AD? Dalam teori yang saya
percayai, di Indonesia tidak akan ada suatu gerakan seperti itu tanpa
keterlibatan AD. Bodoh kalau ada orang seperti itu tanpa melibat-
kan AD. Kalau kita pelajari Biro Khusus. Dalam Victor Vic Anatomy
of the Jakarta Coup: September 30, 1965, Brock University, Canada,
2001, di situ dilaporkan bahwa biro khusus itu dibentuk tahun 1964
dengan tujuan untuk membina kaum militer. Saya kagum, dari tahun
1964-1965 sudah ada 700 tentara dalam berbagai pangkat yang berha-
sil dibina. Kemudian apakah PKI terlibat? Di situ juga dicantumkan
dialog antara Mao Zedong dengan DN Aidit yang isinya kira-kira be-
gini: Mao Zedong menyarankan untuk mendahului “kudeta” Dewan
Jenderal’ itu. Aidit mengatakan “Nanti akan banyak korban”. “Oh, ti-
dak apa-apa, di Cina juga saya mengorbankan sekian ribu orang untuk
revolusi waktu itu, tidak apa-apa!” Jadi saat itu Aidit sebenarnya juga
ragu-ragu. Tetapi dalam pertemuan-pertemuan pada bulan Agustus
www.facebook.com/indonesiapustaka

di Dewan Biro Khusus seperti yang disampaikan oleh seorang pem-


bicara, akhirnya Aidit dan Sjam Kamaruzaman memutuskan untuk
‘mendahului’ Dewan Jenderal itu. Dan kenapa gagal, dari naskah ini

413

01-TA-16x24-terakir.indd 413 1/30/2012 9:39:33 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

juga kita baca, sebenarnya Letnal Kolonel atau (Kolonel) Heru Atmojo
sudah memprediksi operasi ini akan gagal karena tidak memenuhi
syarat operasi militer sekecil apa pun, kenapa? Pimpinannya tidak
jelas. Ini menurut Heru Atmojo. Tapi, bahwa itu diputuskan oleh Biro
Khusus, itu ada faktanya.
Tokoh kunci peristiwa G30S adalah Sjam Kamaruzaman yang
menurut Dr. Fic sejak tahun 1964 adalah salah satu ketua Biro Khusus
itu. Meskipun Biro Khusus itu berada di luar struktur PKI, tetapi akhir­
nya disetujui oleh Sentral Komite PKI dengan pertimbangan memang
diperlukan tugas-tugas yang dibantu oleh kalangan militer.
Apakah Sjam itu double agent? saya masih kesulitan mengecek
Sjam ini siapa, termasuk kepada Bpk. Rosihan Anwar. Kalau kalang­
an militer umumnya tidak mengakui bahwa dia double agent, apalagi
“double agent” Aidit dan militer, khususnya Soeharto. Tetapi yang
jelas ia adalah Biro Khususnya PKI. Kemudian bagaimana peran AD?
Tadi telah dikatakan bahwa yang berperan waktu itu hanya AD dan
PKI dengan Bung Karno sebagai penyeimbang. Yang lain, termasuk
ormas dan partai politik, ibaratnya cuma penggembira saja. Kalau ti-
dak pro AD, ya pro PKI, pilihannya cuma dua itu. Dan kesadaran AD
terhadap gerakan Komunis tidak hanya 1-2 tahun. Saya kira, sudah
lama dimulai dengan pembentukan badan kerja sama pemuda-mili-
ter, buruh-militer, dan sebagainya, yang semua itu sebenarnya untuk
mengcounter SOBSI dan lain-lainnya. Bahwa AD berpolitik, sebenar­
nya telah terjadi sejak awal kemerdekaan. Jika kita membaca buku
Pak Nas, buku Syaifudin Zuhri dan lain-lainnya, pokoknya asal ter-
kait dengan Pancasila, UUD 1945, AD pasti terlibat.
Kenapa Pak Nas mendirikan Ikatan Pendukung Kemerdekaan
Indonesia ( IPKI ) di tahun 1954 atau menjelang pemilu 1955? Karena
khawatir PKI sudah akan menang, sehingga Pak Nas khawatir keadaan
Negara tidak akan sesuai dengan cita-cita proklamasi. Kira-kira itu alas­
an pendirian Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia. Demikian
www.facebook.com/indonesiapustaka

juga pada saat 1959, ketika kembali ke Dekrit Presiden UUD 1945, ada
cerita bahwa Pak Idham Chalid, Ketua PB NU didatangi oleh Pak Nas,
pukul 01.30 malam untuk ikut menyakinkan Sukarno agar kembali

414

01-TA-16x24-terakir.indd 414 1/30/2012 9:39:33 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

saja ke UUD 1945. Namun, setelah itu tentu kekhawatiran terhadap


komunisme semakin besar. Jadi dapat dikatakan keterlibatan AD mo-
tivasinya adalah untuk melawan komunisme. Dalam hal ini, terma-
suk HMI juga ikut di situ. Kemudian saya tanya kepada kalangan AD,
apa betul Pak Harto mau kudeta Bung Karno? Ini saya tanyakan de­
ngan orang-orang yang dekat dengan Pak Harto sampai hari kemarin.
Jawabannya, Soeharto itu loyal dengan Sukarno. Apa buktinya? Yang
saya rasakan mungkin Sdr. Rahman Tolleng juga ikut waktu tahun
(1966). Waktu sidang MPRS tahun 1966, melalui resolusi Jamaludin
Malik, MPRS sudah mempersoalkan kedudukan Bung Karno, antara
lain oleh Rd. Panji Soeroso, juga termasuk alumni HMI yang men-
jadi anggota MPRS. Saya ditelepon oleh orang yang dekat dengan Pak
Harto, “Kok, alumni HMI sikapnya melawan Bung Karno”. Padahal
baru bulan Maret 1966 (diralat oleh Salim Said, yaitu bulan Juli-red)
Juli 66. Menurut dia ini bukti yang pertama. Yang kedua, waktu sidang
MPRS tahun 1967, ada revolusi untuk mengadili Soekarno. Kembali
ada utusan untuk melobi, tolong jangan sampai ada resolusi MPRS
untuk mengadili Bung Karno. Untuk ini banyak saksi yang masih
hidup saya kira. Bahkan Pak Moerdiono mengingat, “Mas Sulastomo,
waktu menyusun pembubaran PKI, tidak ada yang dicoret oleh Pak
Harto, selain menambah untuk mengamankan Panca azimat revolusi
dalam konsideran naskah pembubaran PKI.” Jadi adanya kata Panca
azimat revolusi dalam konsideran pembubaran PKI adalah dari Pak
Harto. Moerdiono mengatakan, “Mas Sulastomo, Pak Harto itu loyal
banget pada Bung Karno”. Ini untuk menunjukkan, kalau logika ini
kita pegang apakah ada suatu reasoning bahwa ini adalah suatu ku-
deta AD, khususnya Soeharto kepada Sukarno. Ini adalah contoh-
contoh yang dikemukakan oleh orang-orang yang dekat dengan Pak
Harto. Sehingga tanpa mengurangi kekaburan yang masih ada, kalau
saya pribadi, saya menilai peristiwa G30S adalah PKI, meskipun ke-
blinger. PKI tetap tanggung jawab. Jadi istilah Bung Karno bahwa ada
www.facebook.com/indonesiapustaka

pimpinan PKI yang kblinger, itu betul. Tetapi meskipun keblinger,


terprovokasi oleh, mungkin, Sjam yang ‘double agent’, mungkin oleh
isu dewan Jenderal atau isu sakitnya Bung Karno, tapi dia bertang-

415

01-TA-16x24-terakir.indd 415 1/30/2012 9:39:33 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

gung jawab. Dan karena itu, meskipun keblinger, dialog saya pada
hari pertama 1 Oktober dengan telepon di rumah Mas Subhan tadi
bahwa G30S adalah PKI, itu adalah betul, meskipun PKI hanya ke-
blinger. Dan tidak perduli campur tangan CIA, dokumen Gillchrist,
kedutaan Inggris, dan segala macam lainnya. Kenapa sampai begitu?
Meskipun keblinger, saya katakan, saya yakin pelakunya PKI, sekali
lagi, meskipun keblinger. Jadi maaf adik-adik sekalian yang menga­
takan masih complicated segala macam, bagi saya ini makin jelas pada
hari ini bahwa meskipun PKI keblinger, tetap salah. Cuma ekses beri-
kutnya ini yang saya kira harus dapat perhatian dari kita. Saya kira
Sdr. Rahman Tolleng ingat waktu itu semangat anti PKI sangat luar
biasa, terjadi bunuh-bunuhan. HMI datang ke Bung Karno, “Pak, ini
tidak betul”. Kemudian Bung Karno mau mengirim misi HMI ke Jawa
Tengah untuk “melerai”, istilahnya menenangkan keadaan dan kita
sudah siap, tapi tidak tahu kenapa, itu tidak terjadi. Pada tanggal 17
Oktober itu, di kali Solo, Klaten, mayat-mayat sudah bergelimpangan.
Rasanya, aduh! Saya hampir ketangkap waktu itu. Saya ke Solo me-
lihat situasi dikawal oleh Dik Marno, saya bilang kamu jangan bawa
senjata. Kita dulu semua dikasih senjata. Saya bilang, kita menyamar
saja. Jadi saya tidak bawa senjata, dia bawa. Dia menga­wal saya dan
dia malah tertangkap. Saya malah tidak tertangkap. Ya, itulah ekses
yang terjadi. Justru inilah yang harus kita bicarakan bahwa ribuan
orang terbunuh. Saya kira ini jadi pengalaman buruk bagi Indonesia.
Jadi, saya berani pertegas pendapat dengan segala literatur yang ada,
bahwa G30S adalah tetap PKI meskipun keblinger.

Salim Said
Tentang Gestapu: Sebuah Usaha Awal untuk Mengerti
Sepanjang masa berkuasanya rezim Orde Baru, pemerintah ingin
kita sepakat dengannya bahwa peristiwa G30S itu adalah hasil karya
PKI. Tapi betulkah demikian yang sebenarnya? Betulkah hanya PKI
www.facebook.com/indonesiapustaka

yang berada di balik G30S?

416

01-TA-16x24-terakir.indd 416 1/30/2012 9:39:33 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

Ketika peristiwa itu terjadi, saya berumur 22 tahun, mahasiswa,


dekat kepada golongan Manifes Kebudayaan yang anti komunis, dan
wartawan pada koran Angkatan Bersenjata. Mengikuti dengan saksa-
ma perkembangan politik Indonesia dari Jakarta sejak tahun 1963.
Pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, ketika mendengar pengumum­
an Letnan Kolonel Untung dari Radio Republik Indonesia (RRI) me­
ngenai gerakan mereka, saya dan teman-teman dengan cepat menyim­
pulkan PKI berada di belakang gerakan ini.
da dua informasi penting yang saya dapatkan beberapa hari sebe-
A
lum Gestapu—selain pengamatan dan pengalaman politik saya sendi­
ri sejak tahun 1963—yang mendorong saya dengan cepat yakin PKI
terlibat pada gerakan itu. Pertama adalah informasi dari teman kami,
Zainal Zakse, tentang rencana PKI merayakan peringatan ulang tahun
Peristiwa Madiun, yang katanya akan mereka adakan pada tanggal 30
September 1965. Mereka merencanakan mengarak foto-foto jenderal
yang mereka tuduh sebagai jenderal korup dan kapi­talis birokrat, kata
Zakse. Cerita Zakse itu kami tafsirkan sebagai bagian dari ofensif revo­
lusioner PKI yang sejak lama telah mereka lancarkan.
ang kedua adalah briefing dari Brigadir Jenderal Soegandhi,
Y
Direktur Penerangan Staf Angkatan Bersenjata yang juga penanggung
jawab harian Angkatan Bersenjata, tempat saya bekerja sebagai re-
porter pemula. Soegandhi memang secara teratur memberi briefing
politik kepada kami para wartawannya, biasanya dua pekan sekali.
Briefing yang saya anggap penting ini adalah briefing yang diada-
kan beberapa hari sebelum Gestapu beraksi. “PKI sekarang sedang
mempropagandakan bahwa ada Dewan Jenderal di Angkatan Darat
yang akan melakukan Kup,“ kata Soegandhi. “Dewan Jenderal ini
menurut PKI bekerja sama dengan CIA untuk menggulingkan Bung
Karno.“ Soegandhi, yang pernah menjadi ajudan senior Presiden
Sukarno, menjelaskan bahwa ia baru saja menemui mantan bosnya
www.facebook.com/indonesiapustaka

untuk meyakinkannya bahwa tidak ada yang disebut Dewan Jenderal


di dalam Angkatan Darat, bahwa Jenderal Yani (KSAD) itu sangat lo­
yal kepada Bung Karno, dan bahwa Aidit sedang merencanakan pe­

417

01-TA-16x24-terakir.indd 417 1/30/2012 9:39:33 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

rampasan kekuasaan. “Gandhi, kau tau apa? Kau itu sudah dicekoki
Nasution.“ Begitu reaksi Bung Karno dengan marah kepada mantan
ajudannya itu.
ada briefing-briefing sebelumnya, soal otentik palsunya Dokumen
P
Gilchrist telah pula jadi bahan. Dan itu semua dihubungkan dengan
ketegangan yang makin memuncak antara PKI dengan Angkatan
Darat. Adapun ketegangan antara Sukarno dengan Angkatan Darat,
kemudian kita tahu secara terinci setelah Rosihan Anwar mener-
bitkan bukunya, Sebelum Prahara, yang merupakan catatan harian
wartawan senior itu selama masa Demokrasi Terpimpin. Sementara
itu dari Jawa Tengah dan Jawa Timur makin banyak cerita mengenai
ketegangan yang melanda hubungan golongan santri dan orang-orang
nasionalis, di satu pihak dan PKI di pihak lain, yang menyiratkan
makin percaya dirinya dan makin agresifnya PKI. Pokoknya seperti
itulah terjadinya Gestapu. Maka bisa dimengerti jika ada hanya satu
tafsiran yang mudah dicerna akal sehat waktu itu mengenai siapa di
belakang gerakan tersebut. Dan itu adalah PKI.
afsiran alternatif mulai muncul ketika di Jakarta beredar dari
T
ta­ngan ke tangan, apa yang lebih populer disebut sebagai Cornell
Paper, hasil analisis sementara ahli-ahli Indonesia dari Cornell
University. Kalau penjelasan resmi pemerintah Orde Baru mene­
lusuri akar Gestapu pada perkembangan konflik TNI dengan PKI
serta peran Soekarno yang makin memberi angin kepada golongan
komunis, maka Cornell Paper berkonsentrasi pada analisis potensi
konflik dalam Angkatan Darat, terutama antara orang-orang Kodam
Diponegoro di Jawa Tengah, di satu pihak, dan perwira-perwira di
metropolitan Jakarta, di pihak lain. Singkatnya, Cornell Paper lebih
melihat Gestapu sebagai akibat konflik internal Angkatan Darat, dan
PKI hanya jadi korban. Anehnya memang, PKI pun ingin Gestapu
dilihat sebagai konflik internal Angkatan Darat.
www.facebook.com/indonesiapustaka

ornell Paper diterima dengan kemarahan di Jakarta waktu itu.


C
Saya masih ingat terlibat debat dengan Ben Anderson—salah seorang
penulis dokumen itu—di rumah Soe Hok Gie pada tahun 1963 hing-

418

01-TA-16x24-terakir.indd 418 1/30/2012 9:39:33 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

ga Oktober 1965, akan sulit sekali bagi Anda untuk tidak melihat PKI
berada di balik Gestapu.
ebih 20 tahun kemudian saya mendapat kesempatan menjadi ma-
L
hasiwa Pasca sarjana di Ohio, Amerika Serikat. Kesempatan itu saya
manfaatkan untuk juga memuaskan hasrat tahu saya mengenai apa
dan siapa sebenarnya yang berada di balik Gestapu itu? Kesimpulan
saya kemudian tidak sesederhana keyakinan kami di Indonesia pada
hari-hari dan tahun-tahun pertama setelah tanggal 1 Oktober. Meski
saya tetap yakin bahwa PKI terlibat Gestapu, tapi saya juga yakin PKI
bukan pelaku tunggal, bahkan mungkin bukan perancang tunggal,
gerakan berdarah itu. Lalu siapa saja yang terlibat?
ahwa ada konflik yang makin tajam antara PKI dengan Angkatan
B
Darat yang mendapat dukungan golongan anti komunis, itu kenyata-
an sejarah tak terbantah. Bahwa hubungan Angkatan Darat dengan
Presiden Sukarno makin memburuk, juga bukan rahasia di Jakarta
sepanjang tahun 1965. Bahwa PKI makin meningkatkan ofensif revo­
lusioner dan agitasi politiknya di hampir segala sektor, itu juga sesu­
atu yang terdokumentasi dalam koran-koran terbitan masa itu. Yang
barangkali kurang diperhatikan orang di Indonesia waktu itu adalah
peran agen-agen intelejen asing dari Barat—terutama CIA Amerika
dan M 16 Inggris—maupun dari Timur yakni KGB Rusia, agen-agen
Eropa Timur dan Cina.
api yang sama sekali luput dari perhatian orang banyak di
T
Indonesia waktu itu adalah konflik yang berkembang dalam tubuh
Angkatan Darat: antara kelompok Nasution dengan kelompok Markas
Besar Angkatan Darat pimpinan KSAD Achmad Yani, kelompok
Kostrad pimpinan Soeharto yang merasa dianggap remeh oleh kelom-
pok Yani, Angkatan Udara pimpinan Omar Dhani yang sangat loyal
kepada Panglima Tertinggi ABRI, dan karena itu cenderung bersikap
antagonistik terhadap Angkatan Darat, Angkatan Kepolisian yang
www.facebook.com/indonesiapustaka

meski tidak mengambil posisi antogonistik kepada Angkatan Darat,


tapi jelas sibuk menyatakan loyalitasnya kepada Bung Karno.

419

01-TA-16x24-terakir.indd 419 1/30/2012 9:39:33 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

ecara sederhana bisa dikatakan bahwa di sekitar terjadinya


S
Gestapu tersebut, terdapat paling sedikit empat kelompok dengan ke-
pentingan masing-masing terhadap kekuasaan dan kelanjutan politik
Indonesia.
Pertama, tentu saja Sukarno. Presiden pertama Indonesia itu
berkuasa dan bertahan pada singgasananya selama konflik antara
kekuatan komunis dan anti komunis bisa dikelola oleh Sukarno de­
ngan baik. Pengelolaan konflik itu ditopang oleh ideologi yang dipo­
pulerkan Sukarno sebagai Nasakom.
edua, PKI. Partai Komunis Indonesia pada puncak masa Perang
K
Dingin itu tentu ingin secepatnya mengkonsumsikan Indonesia.
Rencana demikian jelas tidak mudah terlaksana. PKI sadar akan kon-
disi tersebut. Oleh karena itu, sebagai taktik mudah dimengerti jika
PKI sangat mendukung Nasakom, dan karena itu lalu menjadi pendu-
kung militan Presiden Sukarno yang melindungi mereka dari ancam­
an Angkatan Darat.
etiga, kekuatan anti komunis dengan Angkatan Darat sebagai
K
garda terdepannya. Setelah PSI dan Masyumi dibubarkan pada ta-
hun 1960, yang disusul oleh ofensif revolusioner PKI yang memo-
jokkan semua kekuatan anti komunis di Indonesia, secara perlahan
namun pasti, Angkatan Darat mengambil alih kepemimpinan golong­
an anti komunis. Salah satu produk dari kepemimpinan itu adalah
Sekretariat Bersama Golongan Karya yang terbentuk atas inisiatif
pimpinan Angkatan Darat pada bulan Oktober 1964. Sekber Golkar
adalah tempat berlindung sejumlah besar organisasi anti komunis
yang berusaha menghindari persekusi PKI sebagai konsekuensi dari
ofensif revolusioner PKI tersebut.
eempat, pihak asing dengan kepentingan masing-masing. Dalam
K
hal ini, Amerika yang kewalahan di Vietnam dan terus dihantui oleh
teori domino, tentu saja tidak ingin melihat Sukarno lebih lama men-
www.facebook.com/indonesiapustaka

jadi pelindung PKI yang tumbuh makin subur dalam alam Nasakom.
Inggris yang menghabiskan energi mendukung Malaysia yang diga­
nyang Sukarno tentu juga ingin segera mengakhiri ketegangan, bah-

420

01-TA-16x24-terakir.indd 420 1/30/2012 9:39:33 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

kan bentrokan bersenjata yang sudah sering terjadi waktu itu. Jadi,
masuk akal kalau CIA dan M 16 berusaha memanfaatkan segala ke-
sempatan untuk secepatnya mengakhiri kekuasaan Sukarno waktu
itu. Termasuk dalam kelompok keempat ini ialah dinas rahasia Uni
Soviet dan Cina. Hubungan Beijing-Moskow waktu itu sudah sa­ngat
tegang. PKI memilih memihak garis Beijing, sesuatu yang sejalan
dengan politik luar negeri Sukarno, yang membangun poros Jakarta,
Beijing, Pyongyang. Bagaimana KGB dan dinas rahasia Cina mener-
jemahkan ketegangan Beijing-Moskow itu ke dalam konflik segi tiga
TNI, Sukarno, dan PKI, itulah yang hingga kini belum terungkap.
Kita hanya bisa menduga bahwa apa yang mereka lakukan, siapa
yang mereka bantu dan bagaimana caranya? Itulah pekerjaan yang
menanti kedatangan para peneliti.
ementara itu, pada kelompok ketiga, khususnya Angkatan Darat,
S
ternyata terjadi juga pengelompokan. Paling sedikit ada tiga kelom-
pok yang aktif waktu itu: kelompok Nasution, Ahmad Yani, dan
kelompok Soeharto. Nasution menganut garis keras menghadapi
Sukarno, Yani mencoba merangkul sang Pemimpin Besar, sementara
Soeharto berdiri di sudut dengan perasaan yang diremehkan oleh ke-
lompok Yani yang berkuasa. Kalau Nasution menilai Soeharto sebagai
seorang oportunis, Yani menilai Soeharto sebagai prajurit yang bodoh.
Sementara itu antara Yani dan Nasution sendiri terjadi konflik yang
memuncak pada awal tahun 1965. Konon pada awal tahun 1965, Yani
memerintahkan Mayor Jenderal Suprapto, salah seorang asistennya,
menangkap Nasution. Perintah yang nampaknya dimaksudkan untuk
menunjukkan loyalitas Yani kepada Sukarno itu dibatalkan beberapa
hari kemudian, sehingga bentrok antara pendukung masing-masing
yang nyaris terjadi, sempat terhindarkan.
etika kita membicarakan konflik dalam Angkatan Darat waktu
K
itu, faktor para perwira Diponegoro yang dimunculkan secara mena­
www.facebook.com/indonesiapustaka

rik oleh Cornell Paper tentulah harus dibicarakan. Pengalaman saya


sebagai wartawan yang meliput operasi militer pembersihan elemen-
elemen Gestapu dalam militer di Jawa Tengah pada bulan Oktober

421

01-TA-16x24-terakir.indd 421 1/30/2012 9:39:33 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

dan November 1965, serta bacaan-bacaan saya kemudian membawa


saya pada kesimpulan bahwa fenomena yang ditengarai para ahli dari
Cornell University itu memang ada, tapi ketika mereka bergerak pada
tanggal 1 Oktober, mereka adalah bagian dari gerakan besar yang di-
rancang secara terpusat di Jakarta. Para perwira Diponegoro itu tidak
semuanya komunis, banyak di antara mereka adalah Sukarnois, tapi
rata-rata mereka menganut ideologi nasionalisme dengan lapisan xe-
nophobia yang agak kental dengan pandangan kerakyatan yang ditan-
dai oleh kesederhaan dan keprihatinan, hal yang umum ditemukan
di kalangan abangan di Jawa Tengah masa itu. Dengan latar belakang
ideologi demikian, tidak sulit bagi mereka menerima ajakan para kon-
spirator di Jakarta untuk menyelamatkan Bung Karno dari rencana
kudeta para jenderal yang korup yang didukung oleh CIA.
anya kalau peta kekuatan dan dinamika politik domestik, in-
H
ternasional maupun regional waktu itu, ditambah dengan pengeta-
huan mengenai dampak dan persepsi terhadap pemberontakan PKI
di Madiun 1948 dikuasai dengan baik, seorang peneliti bisa dengan
jernih berbicara dan mendekati kebenaran mengenai tragedi berda-
rah bulan Oktober 1965 itu dan akibat-akibatnya di kemudian hari.
Pembantaian besar-besaran di Jawa Tengah dan Jawa Timur, misal­
nya, tidak bisa dilepaskan dari persepsi dan ketakutan golongan
Islam dan nasionalis kepada kaum komunis yang membantai mereka
setelah PKI menguasai Madiun di penghujung tahun 1948.
alu, siapa sebenarnya yang berada di balik Gestapu? PKI sendiri,
L
kata Orde Baru; akibat pertentangan internal Angkatan Darat, kata
PKI dan para ahli Indonesia di Cornell; CIA kata Peter Dale Scott;
Soeharto, kata Wertheim; PKI, tentara dan agen asing (Nekolim), kata
Presiden Sukarno yang didukung oleh Manai Sophiaan. Sebagai orang
yang mengalami dan terus membaca tentang tragedi berdarah terse-
but, nampaknya memang paling persuasif penjelasan Sukarno sebagai
www.facebook.com/indonesiapustaka

yang dikemukannya dalam pidato Nawaksara di depan MPRS pada


tahun 1967. Tentu saja dengan itu Sukarno membersihkan diri dari
segala kemungkinan keterlibatan. Persoalannya lalu bagaimana bisa

422

01-TA-16x24-terakir.indd 422 1/30/2012 9:39:33 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

terjadi kerja sama antara PKI, tentara dan Nekolim dalam mendesain
dan melaksanakan Gestapu? Sukarno tidak menjelaskannya, bahkan
tidak pernah mengemukakan bukti. Tapi saya kira justru di situlah
peran Sukarno dan Soeharto menjadi mungkin sangat penting.
ebelum saya berbicara tentang peran Sukarno dan Soeharto,
S
ada baiknya saya mengingatkan kita semua kepada tradisi daulat,
mendaulat, dan pendaulatan yang di zaman revolusi sering mun-
cul dalam bentuk penculikan. Yang paling menyolok tentu saja
penculikan terhadap Sukarno dan Hatta oleh para pemuda Jakarta
menjelang proklamasi 1945. Kedua pemimpin Indonesia itu dibawa
oleh para pemuda ke Rengas Dengklok untuk didaulat mengumum-
kan kemerdekaan Indonesia secepat mungkin. Lalu ada penculikan
Perdana Menteri Sjahrir di Solo oleh elemen pemuda dan tentara yang
anti diplomasi Sjahrir dengan Belanda. Dengan penculikan Sjahrir
diharapkan perundingan dengan Belanda bisa dicegah. Setelah di-
daulat, Kabinet Sjahrir memang bubar, tapi kabinet yang mengganti-
kannya tetap saja menjalankan perundingan.
jahrir, Sukarno, dan Hatta diculik tanpa dianiaya secara fisik.
S
Tapi Dr. Muwardi, pemimpin Barisan Banteng di Solo pada zaman
revolusi, diculik dan dibunuh. Kasus penculikan dengan tujuan
pendaulatan cukup banyak terjadi di zaman revolusi, karena pen-
culikan pada zaman itu menjadi suatu modus operandi perubahan
elit atau kebijakan. Sedangkan yang dialami Dr. Muwardi merupakan
usaha likuidasi oleh lawan politiknya. Yang ingin saya tekankan se-
hubungan dengan cerita culik tersebut adalah culik untuk mendaulat
sebagai salah satu modus perubahan elit di sebuah zaman ketika
aturan main yang ada adalah terutama aturan main revolusi. Tapi apa
pun namanya, culik sebagai alat mendaulat telah mengendap rapi
dalam sejarah politik Indonesia.
J ika Sukarno dan Soeharto dianggap terlibat Gestapu, maka menu-
www.facebook.com/indonesiapustaka

rut saya terutama yang harus dimengerti dalam hubungannya dengan


tradisi culik untuk mendaulat tadi itu. Presiden Sukarno yang makin
kewalahan menghadapi Angkatan Darat yang secara terbuka menolak

423

01-TA-16x24-terakir.indd 423 1/30/2012 9:39:33 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

Nasakom dan makin sibuk mengatur barisan kaum komunis, mendo-


rong sang Presiden untuk tiba kepada kesimpulan bahwa cara terbaik
adalah mengganti KSAD Yani. Hal itu telah berhasil ia lakukan ke-
pada Nasution pada tahun 1962. Tidak ada ketegangan yang terjadi
waktu itu, karena Nasution berhasil dikecoh oleh Sukarno dengan
janji menjadi Panglima ABRI, untuk akhirnya hanya menjadi Kepala
Staf Angkatan Bersenjata (KSAB) tanpa garis komando ke bawah.
ada tahun 1965, ketika suhu politik domestik dan regional su-
P
dah nyaris mendidih, nampaknya di mata Sukarno tertinggal han-
ya satu modus untuk menggantikan Yani dengan jenderal yang bisa
dikontrol oleh Panglima Tertinggi, yakni daulat lewat penculikan, a
la Rengas Dengklok, tapi jelas bukan a la Dr. Muwardi. Sukarno suatu
kali memanggil pengawalnya, Untung untuk diberi petunjuk tentang
rencana Sang Presiden. Tentu saja rencana itu mudah bocor, sebab
Untung sudah lama berhubungan dengan Biro Khusus PKI pimpinan
Sjam Kamaruzzaman. Dan kalau benar bahwa Sjam juga agen tentara
(ia kabarnya kenal dengan Soeharto sejak tahun 1945 di Yogyakarta)
dan agen asing, maka bisa diduga dinamika macam apa yang dihasil-
kan oleh bocornya rencana Sukarno menyingkirkan Yani tersebut.
engertian Sukarno dan Soeharto, demikian juga Kolonel Latif
P
dan Brigjen Supardjo mengenai penculikan nampaknya sama, saya
hampir yakin, bukan pembantaian seperti yang kemudian terjadi.
Yani dan para pembantunya di Markas Besar Angkatan Darat, dicu-
lik atau diambil dengan tuduhan agen CIA dan berniat melakukan
kudeta kepada Pemimpin Besar dan lalu oleh para penculik, seharus-
nya menurut konsep Sukarno, diserahkan kepadanya. Dengan cara
itu para jenderal tersebut didaulat dan dipermalukan untuk selan-
jutnya digantikan oleh jenderal pilihan Sukarno. Itulah yang paling
mungkin diperintahkan oleh Sukarno kepada Untung. Itu pula yang
disampaikan Untung kepada para Sukarnois dalam tentara, seperti
www.facebook.com/indonesiapustaka

Kolonel Latif, misalnya. Dan itulah yang disampaikan Latif kepada


Soeharto.

424

01-TA-16x24-terakir.indd 424 1/30/2012 9:39:33 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

ada tingkat ini ada dua pertanyaan penting yang menohok.


P
Mengapa Soeharto tidak melaporkan rencana Sukarno itu kepada
Yani dan Nasution sebagai atasannya? Pertanyaan lainnya, bagaima-
na rencana penculikan Sukarno berubah menjadi pesta pembataian
para jenderal?
erhadap pertanyaan pertama, jawabannya disediakan oleh
T
Nasution. Soeharto itu bukan komunis, tapi dari Yogya dulu adalah
seorang oportunis, kata Nasution kepada saya pada bulan November
1984. Sebagai jenderal paling senior dalam Angkatan Darat setelah
Yani, maka jika Yani tersingkir, kesempatan Soeharto menjadi KSAD
terbuka. Psikologi ini nampaknya diketahui oleh Kolonel Latif, karena
itu ia mendekati Soeharto untuk mendapatkan dukungan menying-
kirkan Yani dan kawan-kawannya. Sebagai seorang oportunis yang
cerdik, Soeharto mempunyai perhitungan sendiri, dan tahu bahwa
jika pohon digoyang buah akan jatuh ke halamannya. Jadi buat apa
ikut-ikut gerakan yang malah akan membuat dirinya dituduh ambi-
sius dengan risiko besar. Tapi ketika kemudian para jenderal terbukti
dibunuh, maka sebagai orang Jawa Soeharto langsung saja menga-
malkan filsafat leluhurnya, ”tega larane, ora tega patine,” begitulah
warisan leluhur Soeharto yang artinya, sampai hati melihatnya sakit,
tapi tidak menerima pembunuhan atasnya. Dan lantas saja mengamuk
dengan membantai PKI dan menyingkirkan kaum Sukarnois. Dengan
tindakan seperti itu bukankah Soeharto sekaligus membangun kon-
stituen di kalangan golongan anti komunis dan anti Sukarno, tapi
sekaligus juga membersihkan potensi-potensi kompetitor yang diper-
hitungkannya akan menjadi penghalang baginya untuk mendapatkan
kekuasaan setelah kejatuhan Sukarno?
embali kepada perpecahan dalam tubuh Angkatan Bersenjata
K
sehubungan dengan Gestapu, faktor Angkatan Udara penting untuk
disinggung. Seperti tercatat dalam sejarah, Panglima Angkatan Udara,
www.facebook.com/indonesiapustaka

Omar Dhani mempunyai hubungan khusus dengan Bung Karno sejak


beliau diangkat menggantikan Suryadharma sebagai pemimpin ter-
tinggi Angkatan Udara. Juga bukan rahasia lagi bahwa sebelum Omar

425

01-TA-16x24-terakir.indd 425 1/30/2012 9:39:33 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

Dhani menjadi pemimpin Angkatan Udara, hubungan Angkatan


Darat di bawah pimpinan Nasution dengan Angkatan Udara di bawah
pimpinan Suryadharma sudah buruk. Persoalan utama yang melatar-
belakangi konflik antara Angkatan Udara dengan Angkatan Darat,
terutama pada masa Demokrasi Terpimpin, pada dasarnya adalah si-
kap kedua angkatan yang berbeda terhadap Presiden Sukarno. Omar
Dhani dan teman-temannya yang memimpin Angkatan Udara pada
dasarnya adalah pengagum Sukarno yang merumuskan loyalitasnya
kepada sang Pemimpin sebagai loyalitas kepada Panglima Tertinggi.
Yang tidak disadari oleh para perwira tinggi Angkatan Udara itu adalah
bahwa Bung Karno terutama adalah seorang politikus dengan ide-
ologi Nasakom, hal yang membawanya berkonflik dengan Angkatan
Darat sebagai garda depan golongan anti komunis. Maka loyalitas
yang demikian secara otomatis membawa Omar Dhani dan Angkatan
Udara kedalam tataran konflik dengan Angkatan Darat. Maka ketika
ada gerakan yang ”membersihkan kekuatan kontra revolusioner” di
dalam Angkatan Darat, prinsip yang nampaknya diadopsi oleh Omar
Dhani adalah lawan dari lawan saya adalah teman saya. Inilah saya
kira penjelasan dukungan tergesa-gesa dan fatal Omar Dhani kepada
Gestapu yang diumumkannya pada tanggal 1 Oktober 1965. Dengan
ini saya ingin mengatakan bahwa Omar Dhani bukanlah seorang ko-
munis melainkan seorang Sukarnois dengan loyalitas kukuh kepada
Panglima Tertinggi.
ekarang tentang agen asing. Sampai kini tidak cukup bukti un-
S
tuk berkesimpulan bahwa mereka memainkan peran langsung dalam
tragedi berdarah tersebut. Tapi saya kira cukup alasan untuk percaya
bahwa mereka ikut memainkan peran mempercepat proses dalam
rangka memperpendek masa ketegangan yang mereka pikul. Masuk
akal jika CIA dan M 16 Inggris ingin tentara segera menumpas PKI
dan mengakhiri rezim Sukarno yang merepotkan mereka. Sebaliknya
agen Blok Timur, terutama Cina, juga ingin secepatnya Sukarno ber-
www.facebook.com/indonesiapustaka

tindak mengakhiri pembangkangan tentara terhadap Nasakom yang


menguntungkan PKI. Dalam rangka inilah saya kira kita harus mem-

426

01-TA-16x24-terakir.indd 426 1/30/2012 9:39:34 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

baca munculnya Dokumen Gilchrist serta sejumlah dokumen lainnya


yang beredar pada tahun-tahun menjelang Gestapu. Tapi bagaimana
persisnya dan berapa besar magnitud peran langsung agen-agen asing
itu, hanya bisa dibuktikan kelak jika dokumen-dokumen di kantor-
kantor pusat mereka dapat diakses oleh para peneliti.
elain peran-peran agen asing, yang saya kira amat penting diteliti
S
adalah peran Sjam Kamaruzzaman sebagai intel kawakan yang sudah
menjadi intel di zaman Jepang. Hubungan Sjam dengan D.N. Aidit,
hubungan Sjam dengan tentara (kabarnya ia pernah menjadi intel
Kodam Jaya) serta kemungkinan hubungan Sjam dengan agen asing
semua perlu diungkapkan. Hanya setelah misteri Sjam terbongkar
kita akan tahu bagaimana perintah culik dan daulat dari Sukarno,
jika memang benar ada, berubah menjadi perintah pembataian ter-
hadap para Jenderal Angkatan Darat. Apakah itu perintah pimpinan
PKI, perintah Sjam sendiri, atau sebuah hasil pengarahan dari agen
asing yang bertujuan memprovokasi tentara?

Rahman Toleng (Penanggap)


Saya sebenarnya hanya ingin memperkuat kritik Sdr. Aristides. Yang
ingin saya kemukakan bahwa satu dua pemakalah dari sejumlah pe-
makalah tadi, banyak mengambil kutipan-kutipan dari karya-karya
yang menurut hemat saya, maaf kalau saya sebut, isinya sebagian
sampah. Peter Dale Scott dan Robinson atau Johnson, saya kira tidak
sepantasnya digunakan. Ya... (diinterupsi oleh Pak Salim Said,
“Oltman juga”) Ya, Oltman juga. Kita harus berhati-hati karena karya-
karya ini sedikit banyaknya menerapkan teori konspirasi dan dengan
seenaknya meng-gatok-gatok-kan fakta-fakta yang ada. Dari situ, lalu
ia simpulkan ini soal intern AD-lah, didalangi CIA-lah, dan seba­
gainya. Dengan cara seperti itu, siapa saja bisa dituding. PSI bisa,
bahkan “Dinasti Can” juga bisa—Kesatuan Aksi Pengganyangan
www.facebook.com/indonesiapustaka

Gestapu pada 1960-an di pimpin oleh Subhan ZE dan Harry Tjan se-
hingga waktu itu oleh Wiratmo Sukito secara kelakar sering menye-
butnya sebagai Dinasti Can.

427

01-TA-16x24-terakir.indd 427 1/30/2012 9:39:34 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

Jadi, saya kira, sebaiknya kita buang saja “teori-teori’ konspirasi


itu. Bahkan karya Subandrio sendiri yang ditulis sesudah ia keluar
dari tahanan, itu dasarnya cerita Latief. Ya, bagaimana bisa—dan
saya heran—seorang kepala intelejen (pada waktu G30S meletus) de­
ngan cerita-cerita from hearsay dalam penjara lalu serta-merta meng­
angkat dan menuliskannya seakan-akan sebagai fakta waktu itu.
Dan, maaf, soal cerita Latief, kita harus bertanya apa benar begitu?
Tadi, salah seorang pembicara menuding Soeharto—dus, kuncinya
Soeharto. Kenapa kita harus lebih percaya kepada Latief daripada ke-
pada Soeharto? Kebenaran di seputar cerita ini masih harus dites.
(Soeharto sendiri membantah dengan mengatakan mengapa Latief
harus melapor kepadanya padahal ia bukan atasan Latief.)
Soal kedua yang ingin saya kemukakan, bahwa keterlibatan PKI,
setidak-tidaknya tokoh-tokoh PKI, sudah out of question. Kritik dan
Otokritik Sudirman sudah cukup berbicara. Dia kritik semua, terma-
suk pimpinan PKI yang menurutnya terlampau individualistis dan
oportunistik. Pimpinan PKI, ya, secara tidak langsung ia katakan
terlalu percaya kepada segelintir orang dan membangun saluran-
saluran tersendiri—yang maksudnya, agaknya Biro Khusus. Ia juga
mengatakan pimpinan PKI menerapkan teori revolusi yang salah,
karena bersumber pada penilaian situasi revolusioner yang subjek-
tif. Ia, bahkan, menggugat praktek yang dijalankan dalam mengga-
rap angkatan bersenjata. Jadi, kalau dokumen Kritik dan Otokritik itu
dapat dipercaya, tokoh-tokoh PKI jelas terlibat, sehingga tinggal ma-
salahnya apakah keseluruhan PKI harus disalahkan. Ini diakui oleh
Sudisman sendiri, malah ia menyatakan ikut bertanggung jawab.
Saya sesungguhnya agak sedikit sangsi kalau dikatakan Pak Harto
sangat loyal kepada Bung Karno. Untuk menyingkat saja, saya ingin
menunjuk (sikap Soeharto) dalam persoalan Malaysia. Secara diam-
diam sebelum G30S, sebenarnya Soeharto bisa dikatakan melakukan
www.facebook.com/indonesiapustaka

pembangkangan atau insubordinasi. Faktanya besok saya kemukakan


dalam hubungan dengan Komando Mandala Siaga, karena kebetulan
saya terlibat. Ada suatu soal yang ganjil di sini, yang melibatkan se-

428

01-TA-16x24-terakir.indd 428 1/30/2012 9:39:34 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

buah lembaga yang dikenal dengan nama Opsus. Saya kira Des Alwi,
barangkali ia dapat menerangkannya kejadiannya sebelum G30S
sejumlah perwira yang setia kepada Pak Harto. Cara beroperasinya,
wallahualam, tetapi dari luar secara samar-samar terlihat perbedaan
garis antara Soeharto dan Omar Dhani di dalam Komando Mandala
Siaga.

Mayjen. (Purn) Syamsudin (Penanggap)


Dari pemaparan tadi ada beberapa hal yang perlu kami tanggapi.
Kami belum mendengar secara agak lengkap konteks persoalan G30S
ini dengan Grand Strategy dari Blok Barat dan Blok Timur di Asia
Tenggara. Kalau kami lihat dalam Grand Strategy ini, Blok Timur
sama dengan Blok Barat. Keduanya ingin sekali menanamkan penga-
ruh di Asia Tenggara. Kita lihat mereka menilai bahwa di Utara
Indonesia ada Indocina, dan persoalan Indocina ini tidak bisa selesai
dalam waktu singkat. Di Selatan ada Indonesia, di mana kekuatan
komunis sudah berkembang dengan baik dan situasipun sudah
matang untuk dijadikan lahan kegiatan. Bagaimana Indonesia bisa
masuk ke blok mereka?
Dilihat dari segi ini, maka kelihatannya Blok Timur ini lebih ber-
kesempatan untuk bisa segera mendorong G30S untuk melakukan
kegiatan mengambil alih kekuasaan, karena memang situasi sudah
matang pada waktu itu. Kalau kami lihat, Blok Timur ini lebih pu-
nya kepentingan untuk mendorong G30S ini daripada Blok Barat.
Masalahnya mereka mengetahui kekuatan Bung Karno waktu itu.
Tidak ada satu kekuatan pun yang bisa menjatuhkannya, termasuk
TNI dan juga PKI. Paling-paling yang mereka inginkan keadaan status
quo, di mana Bung Karno ini ditempatkan sebagai deterend, PKI tidak
bisa mengambil kekuasaan. Kemudian TNI-AD juga tidak bisa. Kalau
tadi dikatakan seumpamanya ini didorong oleh Amerika atau CIA,
www.facebook.com/indonesiapustaka

keterlibatan Angkatan Darat apakah sebodoh itu?


Bung Karno yang begitu kuat, very-very strong, pada waktu itu tidak
ada satu kekuatan pun yang bisa menjatuhkannya. Dalam keadaan
429

01-TA-16x24-terakir.indd 429 1/30/2012 9:39:34 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

seperti itu, mungkinkah AD dengan CIA akan mengcoup de­ngan


menjatuhkan dengan cara kudeta? Bodoh benar. Kalau PKI naik siapa
yang akan rugi? Angkatan Darat tentunya, apalagi Amerika, di Utara
ada Vietnam atau Indocina walaupun awal-awal terlibat, di Indonesia
ada negara Komunis, dia terjepit. Mau intervensi ke Indonesia, terba-
kar seluruh Asia Tenggara. Memang latar belakang kami dari militer,
tapi kami membebaskan kami dalam menganalisis. Jadi sangat kecil
kemungkinan bahwa G30S didorong oleh CIA de­ngan AD, karena
ada teori yang mengatakan itu konspirasi antara CIA atau Amerika
de­ngan AD. Angkatan Darat tidak sebodoh itu.
Kemudian mengenai Soeharto, tadi ada yang mengatakan bahwa
Latief lapor kepada Soeharto bahwa mau ada gerakan. Mungkin dia
benar, mungkin dia bohong. Pak Harto mengatakan, “Betul, Latif
ketemu saya,” cuma dia mengatakan, “menanyakan keluarga saya”.
Mungkin dia bohong. Apa Soeharto bisa dipercaya juga? Saya juga
sama, tapi dalam keadaan seperti itu analisisnya apa? Analisisnya
begini. Latif sebagai pimpinan gerakan, tapi dalam tempo 4 jam lagi
dia bocorkan rencana gerakan itu, bodoh enggak dia? Kecuali kalau
dia dungu membocorkan gerakan itu kepada Pak Harto. Dalam doku-
men tidak pernah Pak Harto dikatakan terlibat persoalan itu, artinya
di dalam merencanakan peristiwa itu. Kemudian kalau itu memang
terjadi tentunya Latif akan memberitahu Pak Harto “Dukung kami
karena Bung Karno sudah restu”.
Tadi ada pembicara yang mengatakan bahwa Bung Karno tahu.
Saya juga sependapat itu. Paling tidak tahu karena Latif mengatakan
kepada Pak Harto. Dia pasti mengatakan kepada Pak Harto, “Pak
Harto, saya sudah direstui oleh Bung Karno”. Pasti Pak Harto tanya
kepada Bung Karno. Itu tidak ada. Jadi mungkin Latif bohong, Pak
Harto juga bohong. Tapi saya analisis caranya begitu, bukti-bukti
keterlibatan atau tidaknya Amerika itu ada tulisan Marshall Green.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Ia menulis bagaimana waktu itu kedutaan Amerika bersikap pada


peristiwa itu. Ia mengatakan begini, “Kami di kedutaan lebih baik
diam, kalau kami membantu Soeharto dan Nasution itu akan meru-

430

01-TA-16x24-terakir.indd 430 1/30/2012 9:39:34 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

gikan ge­rakan itu sendiri.” Kemudian ada dokumen yang bisa saya
katakan PKI dalangnya. Pertama, tulisan atau pidato tentang Revolusi
Indonesia DN Aidit. Dia mengatakan bahwa mencapai tujuan me-
lalui tujuan perjuangan bersenjata. Kedua, juga ada dokumen Aidit,
yaitu surat Aidit kepada CDB-CDB nya tiga hari sebelum G30S. Dia
mengatakan begini, “Jika 1 Oktober kita gagal melakukan ini, senjata
disimpan supaya menyelamatkan nyawanya”. Jadi kata-kata JIKA itu
sudah kelihatan. Jika setelah 1 Oktober kita gagal lakukan a, b, c, d,
e sebuah instruksi. Dia mengatakan bahwa untuk mencapai tujuan
adalah dengan melakukan perjuangan bersenjata. Hal ini diperkuat
oleh Pledoinya Sudisman. Dia mengatakan bahwa memang PKI, ka-
lau untuk merebut kekuasaan, melakukan perjuangan bersenjata,
dengan buruh dan tani sebagai tulang punggung.
Kemudian mengenai Bung Karno, traumanya kepada AD tinggi
sekali. Usul PKI untuk mempersenjatai buruh dan tani yaitu angkatan
ke 5, dan sebelumnya tahun 1948, waktu Pak Dirman menolak untuk
melakukan perjuangan melalui diplomasi. Memang benar Bung Karno
itu trauma sekali kepada AD, Pak Nasution juga pernah mengharap-
kan beliau ke istana pada waktu Dewan Jenderal diisukan dia per-
caya, sehingga itu ditumpangi oleh PKI. Lalu yang terakhir masalah
konfrontasi dengan Malaysia. Saya baru dengar dari Pak Panggabean
sebelum dia meninggal. Waktu akan merebut Irian Barat kita mem-
butuhkan senjata, negara yang bisa memberikan senjata gratis yaitu
Rusia, tapi syarat yang diberikan ada dua. Pertama, jangan halangi
PKI untuk mengembangkan kekuasaannya atau mengembangkan par-
tainya. Yang kedua, usir Nekolim dari Asia Tenggara. Itulah konfron-
tasi dengan Malaysia. Ini saya dengar dari Pak Panggabean.
Jadi, masalah G30S ini konteksnya banyak sekali. Keluar artinya
Grand Strategy yang ada di blok Barat maupun di blok Timur. Hal itu
ber pengaruh sekali pada masalah PKI seperti Indochina. Sebetulnya
www.facebook.com/indonesiapustaka

kegagalan PKI ini adalah kelemahan leadershipnya. Yang paling fatal


ialah waktu Bung Karno tahu ada pembunuhan, dia suruh berhenti.
Karena itu Aidit betul-betul tolol. Kalau saya, maaf ya NO, saya te­

431

01-TA-16x24-terakir.indd 431 1/30/2012 9:39:34 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

rus tahan Bung Karno. Tapi dia bukan seorang Lenin dan juga bukan
seorang Mao Zedong. Dia berhenti. Dan itu patal karena momentum
yang begitu bagus sudah berada di tangannya, dia hentikan. Disitulah
Pak Harto masuk. Jadi kami kira ini banyak dokumen-dokumen ma-
suk yang bisa dikaji kenapa PKI gagal? Lalu disini saya tulis dialog
atau surat menyurat antara Bung Karno dengan DN Aidit. Sewaktu
di Jawa Tengah, Bung Karno kirim surat dibalas Aidit. Jadi kami kira
banyak hal yang perlu kita bicarakan lebih lanjut mengenai masalah
ini. Jadi kalau kita meluruskan sejarah jangan menutup mata kita ke-
pada hal-hal yang mungkin lebih luas lagi. Terima kasih.

Mayjen. (Purn) Syafrudin Bahar (Penanggap)


Ketika peristiwa ini terjadi saya sedang mengikuti pendidikan di
pemerintahan sebagai mahasiswa ikatan dinas Kementerian Dalam
Negeri. Tapi sial, saya terbawa rendong oleh gejolak ini, sehingga
sepanjang karier saya di AD tugas saya banyak di sipil, yakni 2/3 sipil
dan 1/3 tentara. Pada waktu peristiwa ini terjadi, saya kepala seksi V
Korem 031 di Pekanbaru. Saya pindah dari Kodam III tahun 1976.
Datang ke Kodam III tahun 1960. Jadi, saya 16 tahun di Kodam III.
Kodam III sudah dihapus. Jadi, saya bisa menambahkan pengalaman
dan informasi mengenai G-30- S ini.
Sewaktu di Pekanbaru, komandan saya PKI, namanya Kol. Sumedi.
Beliau sebelumnya sebagai asisten II Kodam III yang melancarkan op-
erasi menangkap Dahlan Djambek dan memerintahkan penembakan
langsung. Tahun 1968, saya hakim perwira, mengadili wakil ketua
Biro Khusus PKI Sumatra Barat, Djayusman alias Mamak. Ketika me-
nyusun disertasi, saya mencari bahan-bahan sehubungan dengan PKI
ini. Dan menemukan bahwa Mayor Ali Moertopo—waktu itu perwira
dari RTP II di Bukit Tinggi—mengusulkan kepada AD supaya 7.000
orang anggota OPR (Organisasi Pemuda Rakyat) diangkat untuk mem-
www.facebook.com/indonesiapustaka

bantu operasi menggantikan AD yang akan ditarik ke Sulawesi Utara.


Beliau juga mendorong semua Wali Nagari diganti dengan orang
PKI.

432

01-TA-16x24-terakir.indd 432 1/30/2012 9:39:34 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

Di Sumatra Barat berkembangnya PKI adalah kebijaksanaan Kodam


III, dan saya perwira di Kodam III tahu persis misalnya Djayusman
alias Mamak adalah Pembantu Letnan dari Jawa Barat adalah wakil
ketua Biro Khusus, ketuanya Bahrudin Hanafi. Persiapannya itu khas
cerita spionase, dia diberi uang, dirobek dua, dia pegang sebelah dan
satu dikirimkan ke Padang. Jika ada orang yang mengaku Djayusman,
dia diuji 2 potong uang tersebut. Dia ditugaskan menggalang anggota
AD terutama batalyon 132—adalah bekas anggota CTN di Pasaman—
mereka yang sengsara waktu pemberontakan PRRI. Jadi PKI ada per-
anan di dalam keseluruhan G30S.
Mungkin kata kunci, “kok di Kodam III ada kebijakan demikian?”
Kodam III semacam filial dari Kodam Diponegoro—dulunya bernama
Kodam VII. Seluruh panglimanya—seluruh anggotanya itu—adalah
dari Kodam VII Diponegoro. Saya bisa masuk kesana karena saya
wajib militer dan dibutuhkan oleh AD untuk membuat buku petun-
juk territorial. Kebetulan AD tidak punya staf yang mengenal rakyat.
Jadi, saya yang lulusan Fak. Sospol UGM termasuk yang diwajibmi-
literkan bersama dengan Pak Moerdiono. Saya kawan dekat dengan
Moerdiono. Setelah itu, karir saya di AD banyak bersinggungan de­
ngan masalah-masalah yang berkaitan dengan PKI.
Pertanyaan yang timbul dalam kepala saya mengenai krisis nasi-
onal ini adalah apakah ini ‘by design’? Kalau ya, by whom? atau ‘by
default’? hanya terjadi begitu saja. Saya menghargai begitu ba­nyak
teori yang menampilkan hipotesa dan tanggapannya. Saya sangat
bergembira dapat memperoleh pandangan baru, tapi tampaknya ke-
mungkinan besar ini by default. Aktor-aktor yang tampil oleh Bung
Salim Said disebut pengelompokan 4. Saya setuju, masing-masing
sudah mempunyai rencana sendiri. Kita tahu, PKI itu dimotivasi oleh
filsafat historis materialisme, teori pertentangan kelas, perang revo­
lusi, kalau kita baca Lenin.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Tahun 1960 saya menulis makalah, saya serahkan kepada sdr.


Moerdiono, judulnya Doktrin Pembinaan Wila. Tahun 1960, setelah
saya membaca buku PKI itu, saya mengatakan “PKI berontak begini”

433

01-TA-16x24-terakir.indd 433 1/30/2012 9:39:34 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

karena semua elemen yang ada di dalam doktrin PKI itu sudah ada di
Indonesia—tentang kelas—dia bikin kekacauan dimana-mana. Waktu
itu kami berdua tidak berani menyampaikan perkiraan itu. Maklumlah
karena suasananya sudah pro Nasakom. Kita tahu juga Sukarno yang
sejak mudanya, sudah menulis tentang Marxisme, Islamisme dan
Nasionalisme. Beliau makin lama semakin cenderung kepada komu-
nisme. Ini diperkuat lagi oleh penglihatan saya di Kodam III. Para
perwira yang terlibat PKI umumnya dari Jawa Tengah. Kelompok
Jawa Tengah itu filialnya di Kodam III, sejak dari panglimanya sam-
pai pada perwira-perwira pertamanya. Saya mengira bahwa kelom-
pok-kelompok yang menjadi aktor ini berinteraksi satu dengan lain-
nya. Faktor pemicunya dalam penglihatan saya adalah berita sakitnya
Bung Karno. Jadi kalau tidak ada berita sakitnya Sukarno, mungkin
aktor-aktor yang masing-masing punya rencana terselubung ini tidak
akan berani tampil ke depan. PKI tidak, AD juga tidak, CIA atau apa-
pun juga tidak. Jadi, kemungkinan besar masing-masing pelaku itu
tidak siap.
Mayjen Syamsudin sudah menulis buku tentang itu dan saya de­
ngan sedikit latar belakang pendidikan militer juga melihat PKI mau
berontak tapi amatir sekali. Seorang perwira pertama yang mendapat
kursus pendidikan Pleton saja, kami lihat tidak memenuhi syarat
sebagai operasi militer. Ini operasi tertutup PKI yang spekulatif dan
mungkin dalam istilah PKI ini juga semacam subjektivisme. Jadi se-
cara teori, PKI tidak terlalu pintar. Dia mesti melihat bahwa sesung-
guhnya masyarakat Indonesia itu tidak begitu cocok dengan teorinya
PKI. Dan mohon jadi perhatian kita, dan ini agak missing dalam pre-
sentasi tadi, daerah-daerah yang dipengaruhi PKI adalah daerah-dae-
rah yang dipengaruhi oleh budaya Jawa.
Dan kalau kita bisa percaya bukunya Leo Suryadinata tentang pen-
duduk Indonesia, partai-partai yang kultur politiknya sangat sentral-
www.facebook.com/indonesiapustaka

istik adalah di daerah Jawa, seperti PNI, PKI, PKB, PDI-P. Sumatra
Utara itu boleh kita katakan 30-40% penduduknya adalah orang
Jawa. Sumatra Barat dan Riau itu dulu perwiranya banyak dari Jawa.

434

01-TA-16x24-terakir.indd 434 1/30/2012 9:39:34 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

Jadi mohon aspek kultur politik ini juga mendapat analisa yang lebih
besar. Mengapa di pulau-pulau lain tidak ada, seperti di Sulawesi
misalnya. Itu tidak begitu nampak. Papua saat itu belum dibawah
pemerintahan kita, belum terlalu banyak penguasaan. Jadi saya setuju
dengan pendapat Mas Sulastomo, ini kerja PKI. Mereka yang paling
siap sebagai partai. Dia punya 2 jenis organisasi, yang aboveground
dan underground, punya kader, dia sudah masuk kepada AD dengan
teori MKTWP-nya tahun 1952. Metode tiga kombinasi bentuk per-
juangan termasuk bekerja di kalangan musuh.
Saya usulkan juga supaya pengadilan terhadap Biro Khusus
Sumatra Barat ini dapat dibongkar untuk membuktikan sebagai tam-
bahan bahwa PKI-lah yang mempersiapkan itu dengan masuk ke ka-
langan tentara. Saya juga punya penglihatan bahwa tentara kita tidak
terlalu sophisticated dalam bidang politik. Jadi keterlibatan mereka
sejak tahun 1958, itu juga sebagai by default. Prof. Juwono Sudarsono
yang paling sering mengatakan bahwa kelemahan sipil menyebabkan
tentara itu harus masuk. S aya melihat bahwa keadaan sekarang ini
hampir sama dengan tahun 1955, sudah menang pemilu partainya
tawuran sendiri. Sekarang lebih jelek lagi, ideologinya tidak jelas.
Sehingga pihak tentara juga trauma tidak akan mau masuk politik.
Susahnya, Indonesia sekarang ini siapa yang akan memegang kepe-
mimpinan ini. Sudah berkali-kali tentara dihujat, yang terpilih ten-
tara lagi. Saya kira masalah yang paling mendasar yang perlu kita
jawab apakah krisis nasional ini by design atau by default? Dari segala
macam itu, kelihatannya by default sebab tidak ada yang sungguh-
sungguh siap. PKI-nya pun juga tidak siap untuk mengambil alih.
TNI AD juga belum selesai konsolidasinya. Sejak tahun 1958 mau
disentralisasi. Dan PKI-nya, PKI Melayu, beberapa kali berontak tidak
ada yang berhasil. Tidak sama dengan Partai Komunis Vietnam atau
Partai Komunis Cina. Tetapi bagaimanapun saya menghargai adanya
pertemuan ini. Dan bahan-bahan baru saya memang melihat bahwa
www.facebook.com/indonesiapustaka

ada yang disinyalir—oleh Bung Salim Said tadi disebutkan—para


pelurus sejarah baru tidak mengikuti suasana pada waktu itu.

435

01-TA-16x24-terakir.indd 435 1/30/2012 9:39:34 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

Ada teman saya dari Jawa Timur bahwa PKI juga melakukan keke-
jaman-kekejaman. Dan banyak reaksi terhadap PKI itu akibat dari
kekejaman PKI. Baiknya kedua belah pihak ini kita tampung penga­
duannya. Saya di Komnas HAM juga menampung pengaduan dari
korban PKI. Jadi mari kita lihat krisis nasional itu secara kontekstual
memperhitungkan seluruh faktor. Terimakasih.

Harry Tjan Silalahi (Penanggap)


Saya sangat yakin PKI, karena pengalaman dan keikutsertaan saya
10 hari sebelum peristiwa ini terjadi. Saya telah menyampaikan ke-
pada Pak Nas, diantar oleh dr. Ery Sudiwo bersama Pak Kasimo.
Kemudian pada Ahmad Jusuf—Menteri Perdagangan waktu itu dan
kepada Pak Umar, bahwa ini terjadi. Saya ngomong dengan Mas
Subhan sehingga dia sudah punya pistol dan sebagainya. Dan ini
saya dapat, sudah saya tulis atau di wawancara dalam buku saya dari
anak CGMI yang kebetulan menjadi sekretaris Sudisman. Dan ini
dibicarakan bahwa kami akan menggayang kapitalis birokrat (Kabir).
Dan ini saya laporkan kepada Pak Nas waktu itu. Tetapi AD dan
pimpinan ABRI mengatakan “Kalau mereka keluar pasti bisa kita
tumpas”. Lupa bahwa keluarnya dari dalam. Itu saya kira yang men-
jadi masalah. Waktu saya laporkan, saya bicarakan dengan Pak Nas
dan juga beberapa orang lainnya. Dengan Mas Subhan “Di lubang
buaya ada latihan, dan latihannya dipimpin oleh Imam”. Dan Imam
ternyata nama samaran Suyono.
Di PPMI sudah saya bicarakan, antara lain kawan saya adalah anak-
anak HMI. Tetapi kalau saya membicarakan ini sebetulnya sedih, ya
sakit. Terutama akibat setelah itu, the aftermath, dan korban-korban-
nya. Karena sekarang anak-anak muda sudah mulai mengadakan
rekonsiliasi dan lainnya, buku-buku baru juga sudah timbul. Apakah
Bung Karno yang terlibat? Soeharto yang terlibat? Dan lain-lainnya.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Menurut saya semua itu memang gothak, gathik, gathuk–kata orang


Jawa—senangnya dihubung-hubungkan lalu menjadi semacam seo-

436

01-TA-16x24-terakir.indd 436 1/30/2012 9:39:34 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

lah-olah teori yang terjadi berkembang. Itu menurut saya apa yang
terjadi.
Saya tidak percaya Bung Karno terlibat. Apa Bung Karno tahu? Ya
terang tahu bahwa ini akan terjadi sesuatu. Tapi apa terlibat, itu lain
soalnya. Apakah Pak Nas tahu? Tahu karena sudah dibicarakan dengan
Pak Nas. Dan saya dengar juga pimpinan AD tahu bahwa ini semua
akan terjadi. Dalam percakapan kita, tadi Mas Sulastomo me­ngatakan
bahwa di dalam mahasiswa atau kepartaian, kapan ini semua akan
terjadi? Ada yang percaya, ada yang tidak, ada yang kurang percaya,
dan lain sebagainya. Lalu saya kira marilah kita menulis.

Rusdi Husen (Penanggap)


Saya rasa betul apa yang diceritakan Pak Salim. Namun kali ini saya
ingin mengemukakan mengenai keterlibatan AURI yang belum dibi-
carakan secara khusus. AURI tidak bisa dipukul rata. Memang ada
yang terlibat di dalam persekongkolan dengan oknum-oknum PKI
sehingga memberi fasilitas kepada PKI untuk menggunakan Lubang
Buaya yang nantinya terjadi pertemuan di mana dihadiri oleh Bung
Karno dan sebagainya. Hal itu sudah ditulis dalam Kabut Halim.
Saya punya satu contoh lain, tokoh yang saya rasa perlu diperhati-
kan pada saat itu, mungkin tidak terlalu banyak dikenal, yaitu Slamet
Cokro, seorang Marsekal wakil komandan G7 Koti. Mereka umumnya
bersahabat karena sama-sama dari AMS Solo. Slamet Cokro sering
datang ke rumah saya, hampir dua hari sekali. Ketika saat peristiwa
G30S terjadi dia ditangkap oleh AURI, karena dicurigai sebagai orang
yang bekerja di G7 Koti. G7 koti itu dekat dengan pihak AD. Di sini
dia melakukan pembelaan, dan dia memang bersahabat dengan Yani.
Saya rasa disini ada beberapa tokoh yang masih hidup yang bisa di-
jadikan narasumber. Pertama, adalah Jenderal Muskita, kemudian
Jenderal Mursyid, dan Herman Saren.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Pak Muskita pada tanggal 1 Oktober pagi berangkat ke Kostrad,


tetapi tidak mau menemui Soeharto karena sudah 3 bulan tidak bi-

437

01-TA-16x24-terakir.indd 437 1/30/2012 9:39:34 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

cara dengan Soeharto. Ini suatu hal yang aneh juga, mungkin yang
diceritakan Pak Salim Said benar bahwa memang tidak ada kecocok­
an antara kelompoknya Yani dengan kelompoknya Soeharto atau
Soeharto pribadi.
Apa peranannya dari Pak Slamet Cokro ini? Beliau dalam keduduk­
annya sebagai seorang yang kemudian oleh banyak orang dinyatakan
cukup netral, pada saat itu dia diutus oleh AURI untuk melihat Lubang
Buaya. Kalau membaca bukunya Ibu Yani, di situ disebut Marsekal
Slamet datang ke Lubang Buaya. Dan dia yang sebetulnya diminta
untuk bargaining, berbicara dengan RPKAD karena siang itu RPKAD
akan masuk ke Halim. Dia diminta agar RPKAD tidak berbuat terlalu
eksklusif sedemikian rupa, sehingga tidak terjadi tembak-menembak.
Dan faktanya memang RPKAD masuk ke Halim dengan keadaan yang
biasa-biasa saja, damai-damai saja.
Seperti saya ceritakan tadi, dia ditangkap oleh orang-orang AURI
sendiri untuk dimintai keterangan apa yang terjadi sebetulnya dalam
situasi yang begitu sangat tegang antara AURI dan AD. Dia banyak
bercerita mengenai persoalan ini, antara lain—ia bercerita juga pada
banyak orang—bahwasanya dia sudah memperingatkan kepada
orang-orang sekitar Yani hati-hati. S. Parman sendiri sudah diperingat­
kan. Tetapi seperti yang sudah diceritakan Pak Salim tadi, bahwa ke-
lompok Yani sangat overconfidence dan merasa bahwa semua bisa
diatasi dengan mudah. Dan kenyataannya terbunuh.
Dari semua itu yang paling penting adalah mengenai Soeharto.
Dalam kedudukannya ini, saya kurang setuju kalau dikatakan
sebe­tulnya dia loyal kepada Bung Karno. Saya pikir dalam situasi
yang seper­ti itu, Bung Karno nanti akan menjelaskannya di dalam
Supersemar. Tanggal 9 Maret, Pak Harto meminta bantuan dari
Hasyim Ning dan Dasaad—dari bukunya Hasyim Ning—untuk ber-
bicara kepada Bung Karno mengenai suatu surat yang bisa diberikan
www.facebook.com/indonesiapustaka

kepada dirinya. Dia tidak langsung membicarakan hal tersebut, dan


dia minta tolong karena dia tahu Hasyim Ning dan Dasaad sangat
dekat dengan Bung Karno. Tanggal 10 Maret pergi ke Bogor untuk

438

01-TA-16x24-terakir.indd 438 1/30/2012 9:39:35 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

membicarakan penyerahan Supersemar. Dan hal ini apakah ada kait­


annya dengan Supersemar yang ditandatangani tanggal 11 Maret.
Kita bisa bicara pada lain waktu mengenai hal ini. Tetapi agaknya
akan menimbulkan pertanyaan. Apakah betul Soeharto dengan Bung
Karno cukup dekat? Apakah dalam hal ini Soeharto sebagai orang
yang yang dikatakan sebagai dom Soldaat—saya tidak tahu persisnya.
Tetapi yang pasti pada saat Hasyim Ning mengusulkan agar membuat
surat Supersemar itu untuk menciptakan ketertiban dan keamanan.
Bung Karno bilang kepada Hasyim Ning “saya tidak kenal siapa itu
Soeharto”. Menurut Soeharto di dalam bukunya—jika dikaitkan de­
ngan hal tersebut—dia kenal dengan Bung Karno.

Yulianto Ibrahim (Penanggap)


Ada 3 hal yang menyebabkan saya mengatakan bahwa PKI terlibat
dalam peristiwa G30S. Pertama, adalah saya telah mewawancarai
kurang lebih 30 orang, apa yang disebut training center (TC)—ada
pembentukan training center—mereka direkrut 20 hari sebelum
G30S. Mereka umumnya dari pemuda-pemuda rakyat, pemimpin-pe-
mimpin Lekra dan lainnya. Mereka diajari militer, baris-berbaris dan
kemudian slogan-slogan “ganyang militer”, “ganyang ABRI” dan lain-
nya. Menurut saya itu aneh, karena sudah ada persiapan. Yang kedua,
pada tanggal 3 Oktober—kalau tidak salah pada waktu Aidit datang
ke Yogya—Aidit menginap di rumah Sutrisno yang tokoh PKI. Aidit
kemudian berpidato di TC daerah Kota Gede. Dia mengatakan bahwa
dia mendukung Dewan Revolusi. Dan perjuangan Dewan Revolusi
akan dipindahkan ke Yogya dan Jawa Tengah. Hal ini mungkin
dimuat di dalam harian Kedaulatan Rakyat pada waktu itu. Ketiga,
mungkin tidak begitu kuat. Tetapi saya kira sangat mendukung bah-
wa tanggal 2 Oktober kekuatan PKI dengan mendadak mendukung
gerakan Dewan Revolusi yang diumumkan oleh Untung.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Selanjutnya, mengenai Untung. Saya kira Untung ini memang


benar-benar untung. Jadi teori seperti Pak Harry katakan “Kalau kita
terpaku dalam teori nanti akan gothak, gathik, gathuk”. Menurut

439

01-TA-16x24-terakir.indd 439 1/30/2012 9:39:35 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

saya, kalau secara sejarah, mana fakta yang kuat—pada malam ja-
hanam yang melakukan pembunuhan itu adalah Cakrabirawa, anak
buahnya Untung. Dan tanggal 1 Oktober yang mengumumkan Dewan
Revolusi adalah Untung. Pertanyaan saya, mengapa kita tidak mulai
dari Untung? Mengapa kita mulai dari begitu banyak teori? Saya usul
agar berangkat dari Untung, karena dia yang jelas melakukan itu. Dia
berpihak pada siapa, dekat dengan siapa. Terima kasih.

Firauz Fauzan (Penanggap)


Terima kasih. Saya dari Komnas HAM khusus membidangi pengka-
jian pelanggaran HAM oleh PKI. Yang kami pertanyakan adalah
tema di depan itu, Krisis Nasional 1965. Saya mempertanyakan ke-
pada LIPI, sebetulnya LIPI ini independen atau ada keberpihakan?
Karena TAP MPR RI No. 25 sampai hari ini belum tercabut. UU No.
27 tahun 1999 juga belum dicabut. Dan masih banyak keputusan
Menteri, Mendagri, maupun Jaksa Agung yang kaitannya dengan
tragedi nasional penghianatan PKI tahun 1965. Tetapi kita hadir di
sini dalam rangka krisis nasional 1965, sebetulnya mau dibawa ke
mana? Apa berikutnya TAP MPR RI No. 25 dicabut dan sebagainya?
Kemudian kaitannya dengan yang disampaikan. Yang saya tanya­
kan, dari Pak Lapian adalah malam 30 September 1965—di sini kita
bersama kalau mau meluruskan sejarah sebetulnya momentumnya
forum yang terhormat ini. Di sini saya lihat memang skenarionya
G30S tentang Dewan Revolusi, Dekrit No.1. “Pada waktu tengah
malam, hari Kamis tanggal 30 September 1965 di ibukota dilaku-
kan gerakan pembersihan terhadap anggota…”. Setahu kami tanggal
30 September malam, beliau-beliau itu masih menghadiri banyak
acara di luar. Termasuk Pak Nas, pulang malam hari, termasuk juga
Presiden Sukarno yang baru pulang larut malam. Pak Nas terbangun
pukul 03.45 karena di kelambunya ada nyamuk, sehingga pada saat
www.facebook.com/indonesiapustaka

pasukan datang beliau dalam keadaaan terbangun. Di sini saya akan


mengatakan, tidak lazim penyebutan hal-hal seperti itu. Di militer
biasanya hanya disebut hari H jam J.

440

01-TA-16x24-terakir.indd 440 1/30/2012 9:39:35 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

Tanggal 1 Oktober 1965, pukul 04.00 inilah peristiwanya—jangan


sampai nanti karena kesan 30 September malam, kemudian bendera
setengah tiang. Kemudian tanggal 1 Oktober tega-teganya bendera 1
tiang lagi. Apakah ini kemenangan RRC tanggal 1 Oktober 1949 atau
selama Oktober itu bulan kemenangan revolusi Bolsevik di Rusia?
Tetapi yang jelas hari pertama tanggal 1, Pak Katamso baru ditangkap
sore hari dengan Pak Giyono. Tengah malam dinihari jam 2 beliau baru
dibawa ke Kentungan untuk dibunuh. Terjadi pembunuhan Dewan
Revolusi di daerah-daerah sampai di Banyuwangi, Cemetuk, Celuring.
Bulan Oktober ada beberapa tim. Salah satu tim adalah Pak. Basuki
Rahmat. Beliau sedang di Jakarta, jadi tidak berhasil. Keinginannya
agar supaya Pak Basuki Rahmat mendukung Dewan Revolusi. Tim
satu lagi ke RRI sudah mengumumkan mendukung Dewan Revolusi
pusat dan membentuk Dewan Revolusi Daerah. Berarti, kejadian di
Banyuwangi jangan dimanipulasi, dilakukan oleh G30S PKI, tetapi
itu dilakukan oleh Dewan Revolusi. Kenapa semua kejadian di Solo
juga ditulis dilakukan oleh G30S PKI. Padahal Utomo Ramlan tang-
gal 1 Oktober—éh, 2 Oktober—setelah Aidit datang. Yang dibilang
Dewan Revolusi melalui RRI Surakarta dengan SK.01/FN/Tahun 65
mendukung Dewan Revolusi Pusat dan membentuk Dewan Revolusi
di daerah.
Kenapa yang dibunuh oleh PKI yang notabene sudah dikaitkan
dengan Dewan Revolusi? Namanya dimanipulasi dengan PKI, bukan
disebut nama sebetulnya, yaitu Dewan Revolusi. Struktur Dewan
Revolusi tidak hanya Biro Khusus seperti yang dikatakan G30S tetapi
di situ ada CDB, komite daerah besar, komite seksi, komite subseksi,
komite reksot yang terkait antara sipil dan militer. Kombinasi dari
Biro Khusus, baik yang di tingkat provinsi, tingkat kabupaten dengan
sipil, ini namanya Dewan Revolusi. Kenapa Dewan Revolusi ditutup-
tutupi? Apakah karena nanti tidak bisa bangkit lagi? Kalau Dewan
Revolusi ini diangkat karena ini legal, sah, struktural-hirarkhi, dia
www.facebook.com/indonesiapustaka

terlibat di dalam Dewan Revolusi.

441

01-TA-16x24-terakir.indd 441 1/30/2012 9:39:35 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

Momentum yang bagus ini kami sarankan lebih baik kalau tema
yang lalu adalah tema G30S itu. Peristiwa 1965 yang besar telah diker­
dilkan dengan peristiwa—walaupun itu suasana yang hebat—men-
culik 6 Jenderal dalam 1 jam. Itu suatu yang luar biasa. Tapi kejadian
dinihari itu sudah berhasil digagalkan dalam membentuk Dewan
Revolusi. Dan pukul 10-11, Supardjo menghadap Bung Karno. Dan
Bung Karno memerintahkan “Hentikan sampai di sini, jangan dilan-
jutkan”. Untuk Dewan Revolusi “Jangan dilanjutkan”. Tetapi ke Senko
1, tidak ada orang. Ke Senko 2 dengan Sjam semua dibahas, tetapi di-
tolak, dan tetap dilaksanakan. Pukul 1 siang diumumkan pembentuk­
an Dewan Revolusi.
DN Aidit malam hari terbang ke Yogya, tidak mau diperlakukan
sebagai Menko, minta diperlakukan sebagai gerakan rahasia. Di sana
diterima oleh CDB bersama Biro Khusus PKI daerah, ketemu di Yogya
dan Solo. Terus ke Semarang. Bagaimana mungkin Dewan Revolusi
yang berhasil menguasai Kodam Diponegoro dan berhasil menguasai
Korem, Danremnya tanggal 1 ditangkap. Dini hari tanggal 2 Oktober
beliau di Kentungan di Batona L dikepruk, terus terjadi yang lain-
lain. Bagaimana dibilang Pancasila sakti? Sekarang mohon maaf,
apa tepat tanggal 1 Oktober dibilang hari pengkhianatan terhadap
Pancasila? Karenanya, kami juga akan menulis buku, mohon maaf
kalau nanti terdapat disinformasi Strategi Komunis, Pemberontakan
Dewan Revolusi PKI digelapkan. Dan untuk Dewan Revolusi ini cu-
kup banyak datanya. Bagaimana Sjam mengumpulkan orang-orang
Biro Khusus dari daerah datang ke Jakarta, sebelum G30S, “kamu
bentuk dulu Dewan Revolusi, nanti dengar radio, kalau ada berita
Dewan Revolusi, kamu deklarasikan yang sudah kamu bentuk, terus
dukung Dewan Revolusi tersebut.” Tidak ada bicara G30S. Sejak awal
orang hanya membicarakan Bung Karno sakit, kemudian ada Dewan
Jenderal yang mau ini, tidak ada yang ngomong-ngomong G30S, kare-
na ini operasi rahasia, operasi terbatas.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Memang Aidit sekitar bulan Agustus datang ke Rusia untuk me-


minta persetujuan. Untuk ini teman dekat saya yang orang CC PKI,

442

01-TA-16x24-terakir.indd 442 1/30/2012 9:39:35 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

dia memberikan informasi bahwa Rusia tidak setuju. Bahkan pihak


Rusia mengatakan “sudah kamu diam saja, nanti pemilu menang”.
Atau kalau memang mau berbuat, biarkan dulu. Jika memang Dewan
Jenderal ada, nanti kalau dia sudah berbuat, kamu akan dapat simpati
dari rakyat kalau kamu hantam dia dari belakang. Tetapi ternyata ke-
tika datang ke RRC diterima dengan baik, dengan catatan lakukan se­
suai dengan yang sudah disepakati tahun 1951, yaitu menggunakan
metode kombinasi 3 bentuk perjuangan. Bentuk pertama gerilya tani
di desa—tani bersenjata—bentuk kedua revolusi buruh di kota, ben-
tuk ketiga kegiatan intensif di kalangan ABRI. Dan metode kombinasi
tersebut dijadikan andalan revolusi a la Indonesia adalah bentuk ke-
tiga. Jadi kalau revolusi buruh Bolsevik itu dijadikan andalan, tidak
percaya nanti kalau RRC mengandalkan tani, ternyata dengan tani
berhasil.
Di Indonesia, dilihat dari geografinya, buruh pada waktu tahun-
tahun itu belum banyak di pabrik, kita ini beribu-ribu pulau, musta-
hil untuk bisa menguasai seluruh Indonesia. Tani juga demikian. Tani
kita ini sami’na wa atho’na, qanaah dan lainnya, sulit diajak radikal
dan anarkis. Tani di Indonesia masih saudaranya dengan pak Haji.
Memang ada di seluruh pulau, tapi tani sulit diajak revolusi. Satu-sa-
tunya yang menguasai teritorial, inilah dijadikan andalan. Jadi kami
merasa bahwa yang hadir di sini, yang concern dengan peristiwa ini,
bisa memahami bahwa yang dijadikan andalan di Indonesia, bukan
buruh, bukan tani, tetapi bentuk ketiga, dan ini bukan TNI atau ten-
tara yang Saptamarga. Tetapi tentara yang sudah menurut pengakuan
mereka karena dia sudah ikut garis PKI, ditinggalkan tentaranya lebih
utama PKI-nya. Jadi ini harus dipahami dulu untuk bisa melihat ke-
mudian berikutnya.
Membicarakan soal malam 30 Sepetember, apakah itu layak? Saya
rasa yang layak adalah hari H jam J. kemudian G30S internal AD.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Ini memang paketnya, dilaporkan ke RRC atau memang itu nanti in-
ternal AD, mohon maaf, bahasa Jawa Timurnya ‘G30S dikasih PKI
pangkat sepuluh.’

443

01-TA-16x24-terakir.indd 443 1/30/2012 9:39:35 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

Mungkin kalau di mahkamah internasional internal AD tetap kena,


kita tidak akan menang selama temanya G30S. Untuk mengangkat
kebenaran karena tidak ada yang tertulis dan semua perintah secara
lisan. Dan itu memang sudah dirancang. Sehingga kita harus berani
melihat hal lain untuk melakukan yang sebenarnya di dalam penu-
lisannya. Mengenai G30S, kalau komunis di Malaysia mungkin akan
mengatakan binatang G30S itu seperti apa? Lebih-lebih komunis di
Eropa, mereka punya partai internasional yang punya kaitan dengan
nama-nama tertentu. Kalau diangkat Dewan Revolusi, komunis Eropa
pun langsung kontak ya Dewan Revolusi memang dipersiapkan. Jadi,
kultur mereka itu nama-nama tertentu yang diangkat.
Dan yang terakhir yang hendak disampaikan oleh Nina Lubis be-
lum dijawab. Tolong katakan bahwa Soeharto salah. Hal lain, yang
mungkin bisa saya sampaikan sedikit ialah tentang masalah ta­hanan
komunis, terutama keterlibatan seseorang dalam G30S, ada yang di­
nyatakan terlibat langsung dan ada pula yang dinyatakan terlibat se-
cara tidak langsung. Kalau diduga terlibat langsung itu dapat dilihat
dari klasifikasinya, C1 terlibat Madiun, C2 underbow PKI, C3 yang
simpatisan. Kemudian golongan B adalah golongan orang yang men-
jadi kader, sehingga orang-orang B, golongan C, maupun yang wajib
lapor ditangani melalui tim penyelesaian tentang tahanan komunis,
di mana di situ ada tim khusus yang tugasnya mengklasifikasikan-
nya. Jadi ada prosesnya, tidak begitu saja diklasifikasikan.
Di dalam klasifikasi ini ada tindakan-tindakan disiplin, ada tin-
dakan-tindakan administrasi, ada tindakan-tindakan politik. Dan
penanganannya yang ini non-pengadilan. Kemudian yang golongan
A sebetulnya tidak banyak, karena operasi G30S konteksnya yang
dijelaskan tadi, ada Pasopati, Bimasakti, dan rumah jenderal-jenderal
yang dituju, itu saja kaitannya. Habis itu sudah hilang. Hit and run.
Jangan semua kejadian di mana-mana dikatakan, kalau Ade Irma
www.facebook.com/indonesiapustaka

kena itu bukan target. Targetnya cuma 7 jenderal. Jadi jangan membe-
sar-besarkan G30S. Yang ingin saya katakan jumlahnya tidak banyak,
yang terlibat G30S hanya sekitar dua ribu hingga tiga ribu. Ini golong­

444

01-TA-16x24-terakir.indd 444 1/30/2012 9:39:35 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

an A yang terlibat langsung, sehingga kalau kita menyebut golongan


B sampai 30 ribuan, golongan C mungkin 500 ribuan, dan dengan di
daerah-daerah semuanya sampai satu juta adalah pelakunya Dewan
Revolusi. Apakah tepat. Dia tidak mau tahu soal lubang buaya. Dia
tidak tahu soal mendatang. Kalau sekarang dia mengaku tidak tahu,
ya, itu bukan berarti tidak terlibat, dia terlibat Dewan Revolusi di
daerah-daerah. Jangan sampai Dewan Revolusi tidak diangkat, dia
lepas. Kalau kita menghitung jumlah pelaku G30S tidak sampai
5.000, tidak sampai. Batalion 530, 454, Cakrabirawa, Brigif 1, PGT,
sukarelawan/wati 2.000, semuanya tidak sampai 5.000. Sedang yang
golongan C lima ratus ribu, itu pelaku di mana? Apa di planet dia
melakukan ge­rakan, sehingga dari planet sekarang dia tidak mengaku
pelaku G30S.

P. Hasibuan (Penanggap)
Saya sangat setuju dengan apa yang disampaikan oleh pembicara ter-
dahulu, ada upaya untuk menulis buku sejarah yang benar, terutama
peristiwa 1965. Karena belakangan ini seolah-olah PKI lah yang
benar, dan yang salah TNI.
Begini, soal tradisi bahwa ada konflik intern di AD, tidak usah
heran, sejak dari dulu, contoh eks-PETA dengan eks-KNIL. Sekarang,
lulusan Wamil dengan Akmil, dan lulusan Sesko dengan yang tidak,
atau antara pasukan khusus dengan yang tidak. Namun itu masalah
intern, selama tidak dipolitisir tidak masalah, biasa-biasa saja dalam
rangka meraih prestasi, karier yang lebih tinggi. Jadi sebenarnya itu
bukan masalah. Saya katakan tadi, kalau tidak dipolitisasi tidak apa-
apa. Dari awal berdirinya, TNI sudah dipolitisasi. Mau bentuk tentara
atau tidak saja ditunda dulu oleh elit-elit politik. Suasananya tidak
pas, sekutu masih kuat dan lain-lain. Pak Dirman dilantik saja ditun-
da satu bulan lebih, 3 Juli 1948. Saya setuju dengan Pak Sulastomo
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Mana ada pemberontakan di Indonesia yang tidak melibatkan ten-


tara”. Kenapa dilibatkan? Ya dia punya power dan punya senjata.

445

01-TA-16x24-terakir.indd 445 1/30/2012 9:39:35 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

Rosihan Anwar (Penanggap


Cerita pendek saya begini, waktu terjadi G30S saya tinggal di jalan
Teuku Umar 23, paviliun, terletak di depan rumah Jenderal Nasution.
Malam itu, pukul 2 pagi saya terbangun mendengar tembak menem-
bak, ribut, tetapi tidak tahu apa penyebabnya. Rumah saya dengan
rumah Nasution kira-kira 500 meter, ada jendela kaca. Jadi bisa dili-
hat. Saya dengan ibu Rosihan, apa itu? Kelihatannya lampu keluar,
lampu mobil. Lalu serdadu-serdadu berlarian. Udah itu jalan dua
truk berangkat. Tidak tahu saya apa yang terjadi. Jadi saya tidur lagi.
Dilihat di depan halaman saya, prajurit-prajurit bergelimpang­an
menjaga steling, pakai senapan mesin. Ini ada apa di pekarangan
saya? Saya jalan ke depan. Saya lihat ke kiri, Pangdam Umar
Wirahadikusuma pakai tank, dia di bundaran Teuku Umar, dia lagi
jalan. Makin heran lagi saya. Saya lihat ke kanan ke rumah Waperdam
Leimena, kok ada mayat di bungkus di sana, apa itu? Ada polisi me-
ninggal dan kemudian ternyata Tubun. Jadi bagaimana, saya tidak
tahu, ini mau cerita, tidak tahu siapa pelakunya.
Saya ambil sepeda, sebab banyak prajurit sudah di jalan Teuku
Umar. Saya genjot itu sepeda pergi ke jalan Tanjung 18—dekat—
rumah Sudjatmoko, teman saya. Saya tanya, tahu tidak, di rumah
saya tadi malam terjadi begini. Ya, ada apa ya? Lalu dia dapat tele-
pon dari suz Haryono—istri MT Haryono—mengabarkan apa yang
terjadi malam itu. MT Haryono dibawa dengan paksa oleh yang men-
culiknya. Pada waktu itu, baik Sudjatmoko dan saya, bilang ini peker-
jaan PKI. Kenapa PKI?
Tiga hari sebelumnya, MT Haryono datang ke markas AD, ke rumah
Sudjatmoko sama saya, ngobrol, kita biasa ngomong. Dia cerita ten-
tang pimpinan AD yang sudah mengetahui ada sesuatu yang akan
terjadi, tidak konkret dari gerakan PKI. Tapi, baik Yani atau kepala
intel waktu itu—Parman—tidak menganggapnya terlalu serius. Jadi
www.facebook.com/indonesiapustaka

itu cocok dengan cerita-cerita tadi, bagaimana pun juga it’s in the air,
akan terjadi. Tetapi dianggap tidak serius, tiba-tiba terjadi juga. Jadi
saya pulang dari Sudjatmoko. In our mind, ini PKI, tidak bisa lagi.

446

01-TA-16x24-terakir.indd 446 1/30/2012 9:39:35 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

Buktinya itu keterangan MT Haryono. Dia mengantarkan saya malam


itu pulang ke jalan Teuku Umar. Dia cerita lagi di mobi jipnya—ten-
tang report-report yang masuk.
Pagi hari saya pergi membawa anak saya ke sekolah, anak saya
waktu itu masih di SD. Pulang, saya dikasih tahu sudah ada berita ra-
dio dari siaran Dewan Revolusi. Itu ipar saya tidak tahu, siapa Untung
itu. Pokoknya fit dalam mindset, ini PKI punya kerjaan. Sudah, tidak
pakai logika yang keblinger atau apa, ini PKI. Jadi, saudara-saudara,
mencari cara-cara menulis sejarah itu, memperoleh apa saja itu sudah
bagus. Harry Tjan bilang “Tinggal masukkan, sudah, tidak apa-apa”.
Saya ada usul, Pertama, kalau susah mencari siapa dalangnya, sdr.
Sulastomo sudah tanya sama saya, Sjam Kamaruzaman itu memang
PSI, saya tahu dia agen ganda. Jadi begini saudara, kalau susah dicari,
bilang saja ini dalangnya PSI. Semua selesai. Sudah, pusing sauda-
ra-saudara. Yang kedua, saya harus juga kasih infotainment sama
saudara-saudara. Yang ketiga begini, kalau kita dengar apakah CIA,
Sukarno, Soeharto, dan sebagainya. Itu bagus. Itu pekerjaan tugas
saudara sebagai seorang sejarawan. Tetapi saya minta perhatiannya,
kalau ditanya sama saya, saudara itu percaya atau tidak, tahu apa
tidak, yakin apa tidak bahwa Sukarno itu terlibat atau ada hubungan-
nya dengan G30S?
Kalau pandangan saya begini. Saya baca buku, saudara-saudara
bilang baca buku, saya juga baca buku. Saudara banyak baca buku,
lebih banyak buku yang saya baca, percayalah. Dalam meninjau ini
lihat saja what makes this person’s take? Ada novel di Holywood na-
manya What’s Makes Sammy Run? Kemudian dibikin film. Jadi kita
perlu what makes Sukarno run atau take. Saya sudah kenal Sukarno
muda, Sukarno tua. Jadi Saudara boleh bilang begini, begitu, dan se-
bagainya. Buat saya, ini orang tahu? Knowing him, begitu buat saya.
I am scientific, saya punya pendirian, tapi begitulah. Begitu juga de­
www.facebook.com/indonesiapustaka

ngan Soeharto.
Saya pertama kali kenal Soeharto pada waktu pergi menjemput
Pak Dirman tanggal 7 Juli bersama dia. Dia kayak orang Jawa, meneng

447

01-TA-16x24-terakir.indd 447 1/30/2012 9:39:35 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

saja, sama saya kulino meneng. Tidak pernah ngomong tuh. Saya ma-
kin tahu ini orang, ditambah dengan pengetahuan saya sebelumnya
baik mengenai Sukarno maupun Soeharto. Jadi kesimpulannya, coba
Saudara-saudara masukkan ini dalam wawasan dan kelengkapan
Saudara meninjau soal pengetahuan psychological inside human per-
sonality orang-orang itu, sehingga cerita by default atau by design, itu
benar.

Aminuddin Kasdi (Penanggap)


Pada tahun 1965, kita memang sangat intens berdiskusi, di mana
pada waktu itu telah terjadi polarisasi kekuatan. Jadi, paling tidak
kekuatan progresif terbagi menjadi 3 di akar rumput. Nasionalis,
Islam, dan komunis. Selanjutnya, kalau kita melihat buku-buku yang
menjadi acuan sekarang, kita perlu waspada, karena apa? Karena
buku-buku yang ditulis belakangan ini banyak memuat peristiwa-
peristiwa yang menjadi necessary condition, sehingga faktor penyulut
pada tahun 1965 itu tidak kelihatan.
Padahal kalau melihat ke belakang, maka di sana ada sejumlah
peristiwa dan fakta yang nantinya akan berakumulasi pada tahun
1965. Satu contoh, di lingkungan umat Islam, sangat geram, sangat
luka, tersinggung di dalam proses land reform atau UUPA. Umat Islam
paling kena, di samping sebagai sumber daya ekonomi, juga jargon-
jargon yang waktu itu dikeluarkan PKI. Misalnya, ‘tujuh setan desa’,
yang di antaranya adalah guru ngaji, haji, dan kyai. Ini sangat me-
nyakitkan. Kemudian pada waktu itu di dalam konflik kebudayaan,
kita ingat dan saya mencermati betul polemik—karya dari Hamka
Tenggelamnya kapal Van Der Wick, yang dihujat oleh Abdul Karim
DP, Abdullah SP, dan juga Pramoedya Ananta Toer. Juga bagaimana
sikapnya kepada Manikebu, dan bagaimana sikapnya kepada BPS
dan partai Murba. Bagaimana usaha PKI untuk membubarkan HMI
www.facebook.com/indonesiapustaka

yang diasosiasikan sebagai organisasi bawahan dari Masyumi. Tetapi


hal ini tidak dapat terjadi dan situasi yang semakin panas, tatkala

448

01-TA-16x24-terakir.indd 448 1/30/2012 9:39:35 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

pada tanggal 29 September Aidit mengatakan, “Bila CGMI tidak bisa


membubarkan HMI, lebih baik sarungan”.
Kemudian pada bulan Ramadhan 13 Januari 1965, tatkala ada
training PII di desa Krasak Kediri. Itu juga sangat menyakitkan, kare-
na mereka masuk ke tempat ibadah tanpa melepas alas sepatu, bar
tandur dari sawah. Juga ngerangket atau bondo para peserta diba-
wa ke kepolisian, dan Al Qur’an dimasukkan ke dalam karung. Pak
Rosihan Anwar menulis hal ini, juga Anis Abiyoso, yang pada waktu
itu sebagai peserta atau panitia training. Jadi, kalau peristiwa 1965
itu dilepaskan dari masa-masa sebelumnya, maka ini juga tidak adil.
Di dalam masalah tuduhan yang sekarang ini dilancarkan dan
difokuskan pada ABRI sebagai pembantai PKI, saya ingat betul.
Karena saya sebagai pelaku sejarah, waktu itu usia saya 19 tahun,
jadi guru SD, juga jadi sekretaris pemuda Ansor. Pada pertengahan
Oktober kita mengadakan satu rapat koordinasi. Karena di sana-sini
sudah ada pembakaran, pembunuhan, dan sebagainya. Untuk mem-
buat agar penumpasan PKI tidak salah arah. Atas inisiatif TNI, tidak
seluruhnya benar. Tetapi antara Oktober sampai 11 Maret, daerah-
daerah yang umat Islamnya kuat adalah swakarsa, misalnya di Tebu
Ireng, dan beberapa daerah di Nganjuk, Kediri, dan lainnya. Pada
daerah-daerah minus seperti di Grobogan, Gunung Kidul, Boyolali,
memang dipelopori RPKAD.
Kemudian mengenai R. Sugandi, laporannya itu diragukan. Saya
sudah pernah membaca di dalam Angkatan Bersenjata. Kalau tidak
salah, pengakuan Sugandi ini pada awal tahun 1966, jadi tidak ha­
nya pada tulisannya Soegiarso Suroyo saja. Juga mengenai masalah
laporan Latief. Saya selaku anggota tim penulis sejarah nasional
saat ini sedang mengoreksi, apakah betul Soeharto pada malam 30
September setelah kembali dari RSPAD itu, mengadakan rapat seperti
yang dituduhkan oleh Latief? Informasi Latief itu dapat kita kritik
www.facebook.com/indonesiapustaka

dari sumber sejarah, yaitu kritik internal, meskipun memiliki banyak


kelemahan.

449

01-TA-16x24-terakir.indd 449 1/30/2012 9:39:35 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

Hal lain, mengenai masalah kondisi korban. Kalau tadi dikatakan


oleh dr. Sidik Kertapati yang menyatakan bukan Rubiyono, tetapi dok-
ter Cina. Justru Rubiyono Kertapati mengatakan bahwa jenazah itu
tidak manusiawi dan itu sesuai dengan keterangan Mang Oon yang
memandikan mayat. Juga pengakuan Durmawel Achmad yang men-
cari petingginya, yaitu Brigjen Soetoyo. Dia hanya bisa mengenalinya
karena rusaknya jenazah dari kaki yang tidak memiliki jempol atau
ibu jari. Ini kira-kira mengenai masalah kondisi jenazah. Masalah
yang waktu itu sangat mengerikan, adalah di daerah-daerah, juga di
tempat saya tinggal, dibuatnya sumur kolektif di areal sawah kira-
kira setengah hektar. Pada tahun 1965 konservasi air masih cukup
bagus, dan yang memelopori adalah Front Nasional.
Terakhir saya sampaikan, pada bulan September 1965 ada satu ke-
jadian alam yang sangat jarang terjadi, yaitu adanya Bintang Kemukus
dan Joko Belek. Hal ini diinterpretasikan akan terjadi suatu hal yang
sangat luar biasa, dan tidak lama setelah itu terjadi pristiwa G30S.
Terima kasih.

Marsilam Sianjuntak (Penanggap)


Ada kecenderungan untuk bersimpati pada korban, karena tidak me-
misahkan peristiwa G30S, keterlibatan PKI dan aftermath-nya—ba-
rangkali dua hari sesudah itu—reaksi terhadap mereka. Kalau
Saudara tanya, apakah justified melakukan reaksi dengan kekejaman
yang luar biasa itu, sekarang dan dulu saya katakan tidak justified
sama sekali. Tetapi jangan karena kekejaman itu kemudian menjadi
menghapus peristiwa dan sebab-akibat dari G30S.

Humaidi (Penanggap)
Kebetulan saya beberapa bulan yang lalu baru menyelesaikan skripsi
www.facebook.com/indonesiapustaka

tentang AURI tahun 1965-1966. Kebetulan tadi ada yang mencoba


mengambil sebuah tema mengenai AU. Saya pikir selama ini ketika
orang berbicara mengenai G30S atau krisis nasional 1965, semua

450

01-TA-16x24-terakir.indd 450 1/30/2012 9:39:36 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

orang selalu beranggapan bahwa AU bersama dengan PKI turut men-


jadi pelaku dalam peristiwa itu. Dan saya kira hal ini perlu dikritisi
ulang.
Pak Aristiddes Katoppo pernah menerbitkan sebuah buku yang
berjudul Menyingkap Kabut Halim, sebagai upaya yang sangat baik
untuk meletakkan kembali AURI pada rel yang semestinya. Dan keti-
ka tadi, misalnya, ada yang mengatakan PGT AURI terlibat, saya pikir
tidak seluruhnya. Bahkan di Kompas tahun 1966 bulan Februari, PGT
telah menyangkal tuduhan itu, bahwa PGT tidak terlibat, bahkan
kemudian langsung melakukan konsiyir lapangan di Halim dan be-
berapa lapangan udara di Indonesia. Kemudian mengenai fakta-fakta
AU lainnya, seperti keberadaan Lubang Buaya yang letaknya dekat
Halim, itu bukan kepunyaan AU. Itu adalah fakta yang juga harus
dikritisi, karena itu bukan terletak di wilayah Pangkalan Halim.
Kemudian tentang pembongkaran senjata, dengan sendirinya
menunjukkan bahwa AURI tidak memberikan fasilitas, karena bukti-
nya gudang persenjataannya sendiri di Mampang dibongkar.
Hal lain terhadap AURI, saya kira peristiwa ini tidak menunjuk-
kan bahwa secara institusi AURI terlibat. Jika AURI terlibat, kenapa
AURI sebagai kekuatan yang cukup besar di Asia—bahkan 3 besar
saat itu—tidak melakukan tindakan balasan terhadap RPKAD dan
AD? Bahkan ketika pasukan RPKAD masuk ke Halim, tentara PGT ti-
dak melakukan perlawanan apa-apa. Itu yang pertama tentang AURI.
Yang kedua, tadi ada salah satu pembicara bahwa operasi G30S adalah
operasi amatir, saya sepakat sekali. Kalau memang ini adalah sebuah
konspirasi antara PKI dengan melibatkan tentara dan Sukarno. Saya
juga bertanya tentang Brigjen Suparjo—kalau memang terjadi kon-
spirasi antara Sukarno dan kelompok G30S, kenapa Brigjen Suparjo
bersusah payah mencari Bung Karno di Istana Negara? Kenapa mere­
ka tidak janjian saja langsung ke Halim atau di suatu tempat.
Selain itu, mengenai ada kelaparan, ada tentara tidak dikasih
www.facebook.com/indonesiapustaka

makan, juga ada beberapa nama yang ditulis salah. Pak Heru Atmojo,
ketika saya wawancarai, beliau pun menanyakan kepada saya, “Apa­
kah kamu yakin nama Heru di Dekrit Dewan Revolusi tanggal 1 itu

451

01-TA-16x24-terakir.indd 451 1/30/2012 9:39:36 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

adalah nama Heru Atmojo?”. Karena di situ namanya cuma ditulis


Letkol Heru. Padahal di AU ada 2 nama Heru dan keduanya berpang-
kat Letkol. Kalau yang mencernakan ini adalah orang militer dan
benar-benar orang yang mengerti sebuah operasi yang sangat jeli, dia
tidak akan menulis dengan cara demikian. Dia akan menulis de­ngan
cara lengkap: Letkol Penerbang Heru Atmojo. Juga, kenapa ketika me­
nguasai RRI tidak digunakan secara maksimal, hanya digunakan un-
tuk melakukan siaran pengumuman dan lagu-lagu perjuangan. Saya
kira itu menunjukkan bahwa operasi ini adalah operasi amatir. Dan
yang terakhir, saya sepakat ketika tadi dari sahabat sebelah ka­nan
saya menunjukkan bahwa kita harus kembali menyusuri siapa itu
Untung. Menelusuri karakter Untung adalah sangat penting, kena-
pa operasi yang sedemikian hebat—katakanlah itu sebuah kudeta—
ditim­pakan kepada seorang Untung. Untung adalah orang lapangan,
dia memang orang hebat yang pernah bersama-sama Beny Murdani
mendapatkan bintang jasa di Irian Barat. Tetapi dia bukanlah orang
yang mengerti mengenai strategi. Pilihan lain, kenapa misalnya, PKI
tidak menjatuhkan pilihan kepada Brigjen Rukmana atau Pranoto,
atau Brigjen Suparjo. Ini adalah pilihan-pilihan lain yang mungkin
kalau ini dilaksanakan oleh orang-orang yang ahli strategi keadaan-
nya akan berbeda. Bahkan Pak Heru Atmojo ketika saya wawancarai,
dia pernah mengatakan, “Seandainya ini adalah operasi yang benar-
benar didukung oleh sebuah kekuatan yang pasti dari Cakrabirawa,
kalau saya yang memimpin, saya jamin operasi ini tidak akan sea-
matir demikian”. Terima kasih.

Salim Said (Pembahas)


Saya cuma ingin menjelaskan bahwa PKI punya rencana, masuknya
lewat rencana Sukarno. Sukarno juga punya problem menghadapi
tentara, dia mau sikat Yani dengan cara daulat. Itu yang dipakai oleh
www.facebook.com/indonesiapustaka

PKI yang ingin saya sampaikan. Juga saya tetap menganggap bahwa
PKI terlibat peristiwa 1 Oktober tahun 1965.

452

01-TA-16x24-terakir.indd 452 1/30/2012 9:39:36 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

Adapun hal yang ingin saya katakan bahwa waktu itu, orang mau
masuk mencari pintu. Langsung mengadakan serangan, kan repot.
Tapi ini ada kesempatan, karena Bung Karno punya problem sendiri.
Pada waktu itu begitu complicated-nya keadaannya, Amerika punya
kepentingan, Eropa Timur punya kepentingan, PKI punya kepenting­
an, AD punya kepentingan, tidak ada yang berani masuk. Semua
mau masuk ke dalam ruangan. Bung Karno punya problem, dan dia
melakukan gerakan. Itu menjadi pintu bagi masuknya ini semua. Jadi
bagi saya tidak terkejut. Saya sudah tahu PKI akan melakukan itu.
Tadi ada tambahan, Pak Parman itu sebelumnya sudah ke Lubang
Buaya, di mana dia beberapa hari kemudian dikuburkan. Pak Yani
malam itu menyuruh pulang para pengawal. Dia tidak percaya bah-
wa itu akan terjadi. Sudah dikirim oleh MBAD pengawal, menambah
pengawal karena akan ada serangan PKI. Jadi artinya, semua kita tahu
akan terjadi, tetapi bagaimana terjadinya? Lewat mana masuknya?
Kita tidak tahu. Begitulah kira-kira.
Hal yang kedua yang ingin saya ingatkan soal PKI, harap diban­
dingkan—apakah ditulis atau tidak—tiga pemberontakan PKI di
Indonesia. Persamaannya besar sekali, peristiwa tahun 1926, 1948, dan
1965 adalah sama, semuanya tidak disepakati oleh Politbiro.Yang jelas
ditentang oleh Tan Malaka di tahun 1926. Tahun 1948 oleh Sumarsono,
Muso ada di luar, Muso ketika bertemu Pak Harto menga­takan, “Kalau
saya dibeginikan terus, ya saya melawan”. Sebenarnya daulat. “bu-
daya penting dalam sejarah kita ini. Jadi, pimpinan PKI tahun 1926
mendaulat Politbiro, inilah akar dari permusuhan antara PKI dan Tan
Malaka yang menjadi Moerba kemudian. Tahun 1948, terjadi lagi, ta-
hun 1965 terjadi lagi. Tahun 1965 yang melakukan daulat itu Aidit. Ia
lebih percaya kepada Opsus-nya atau Biro Khusus daripada Politbiro.
Gentlemanly ini diakui oleh Sudisman di dalam otokritiknya.

Aristiddes Katoppo (Pembahas)


www.facebook.com/indonesiapustaka

Saya kira kita juga harus melihat konteksnya, kalau mengetahui ber­
arti sudah terlibat atau mengetahui sebagian sudah terlibat, itu saya

453

01-TA-16x24-terakir.indd 453 1/30/2012 9:39:36 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

kira apa ukurannya? Misalnya, Sinar Harapan, saya pernah dipang-


gil dan diinterogasi pada minggu-minggu terakhir bulan September,
karena salah seorang anggota redaksi Sinar Harapan menulis Angin
Lesus—Suhardi­­—yang ternyata dia masuk Dewan Revolusi. Saya di-
panggil ke Kodam Jaya karena dikatakan ada keresahan dan kege-
lisahan di lingkungan AD. Jadi seolah-olah sudah mengungkapkan
orang yang mau melakukan gerakan, kok justru diungkapkan. Kalau
itu fakta berarti ada keresahan. Saya waktu itu diinterogasi oleh
Letkol Suryadi. Sebenarnya saya bukan Pemimpin Redaksi, waktu
itu Pemred Simorangkir, beliau tidak ada, Suhardi yang waktu itu
Wapemred sakit keras di RS Pelni, ada satu orang lagi Pemred, akhir­
nya saya disuruh maju. Waktu itu hari Jumat, saya kira one week be-
fore the action dan cukup lama, orang-orang Kodam menganggap
Sinar Harapan itu kawan, walaupun mungkin dianggap kawan na-
kal. Kita dianggap bukan PKI karena yang diidentifikasikan sebagai
musuh adalah PKI. Dan saya kira itu timbal-balik. Jadi, maksudnya
kalau PKI menjadikan pimpinan AD sasaran, itu bukan berarti di
kalangan AD tidak ada rencana atau niat.
Memang itu pertarungan yang sudah kita ketahui. Waktu itu setelah
ada keterangan-keterangan, saya dengar sendiri karena sudah sepi
dan kantor tidak terlalu besar. Letkol Suryadi lapor kepada Pak Umar,
kemudian Pak Umar telepon ke Yani. Dan saya sendiri pada akhir
Agustus berjumpa dengan Yani. Saya bilang begini, tadi didekati atau
mendekati CIA, ada teman-teman AS bilang, “eh, elo itu ngungsi aja
dari Indonesia. Orang macam Anda, kalau PKI itu sekarang anggota
DPR banyak dikuasai. Gubernur, Walikota, Bupati, Menteri-menteri.”
Berdasarkan cerita-cerita di Hungaria, Ceko, dan lain-lain, pokoknya
yang dianggap kurang progresif apalagi kontra revolusi, akrab dengan
reaksioner waktu itu pokoknya paling dikurung.
Saya bertemu Yani waktu itu di Istana Negara. Kebetulan dia keluar
sendirian dan saya juga sendirian, “Pak Yani, bagaimana ini, teman-
www.facebook.com/indonesiapustaka

teman saya bilang kok Indonesia is going communist katanya?” Waktu


itu kita sudah tahu bahwa Sukarno menegur keras pimpinan AD—
Yani—karena komunis phobia. Jadi itu bukan sesuatu yang baru. Yani

454

01-TA-16x24-terakir.indd 454 1/30/2012 9:39:36 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

mengatakan, “Selama ada AD, selama saya pimpinan AD, PKI will
never take over di Indonesia. Dengan kata lain, mengisyaratkan kami
siap. Memang saya kira itu diketahui. Sebenarnya Sinar Harapan ter-
masuk yang ikut Badan Pendukung Sukarno yang digalang oleh BM
Diah dan Adam Malik, sebagai suatu gerakan anti komunis. Tetapi
memakai nama Sukarno, seakan-akan saya mau menggambarkan
konteksnya, maksudnya supaya kalau tidak ada konteks dan banyak
fakta, itu seolah-olah meaning-nya atau artinya bisa menjadi lepas-
lepas. Jadi jelas waktu itu ada pertarungan.
Memang betul bahwa Sukarno di tengah-tengah, dan diketahui
bahwa Sukarno incapacity, apakah lumpuh, meninggal atau apa, ini
langsung akan terjadi perbenturan. Dan dari teman AD, saya diberi
tahu, “Kami dukung Sukarno tapi sekarang kuasanya makin besar”,
kasih angin sama PKI. Ya tidak apa-apa, akan begini-begini, nanti
akan ambruk sendiri. Jadi itu bukan suatu yang konspirasi, itu terbu-
ka kok, dibahas bahwa dua-duanya siap. Bahwa kemudian ada Sjam
Kamaruzaman, saya kira ini salah satu elemen kalau tadi dikatakan
teliti Untung. Menurut hemat saya, Kamaruzaman merupakan salah
satu aktor yang sangat penting karena dia bisa memengaruhi Aidit
dan dia bisa mendapat kepercayaan dari S. Parman mungkin, bahkan
kalau sekarang orang tanya apa betul dia dieksekusi? Di mana mayat-
nya? Where is he now? Itu masih ada banyak hal yang saya kira mesti
ditanya apakah waktu PKI, jelas Biro Khusus itu ada, saya waktu itu
berdebat dengan Ben Anderson, saya kira bisa kita verifikasi lah.
Mengenai Sjam memainkan peran penting. Aidit memang tidak
menggunakan seluruh Politbiro, saya kira hanya sebagian Politbiro
yang diketahui atau mengetahui, apalagi secara operasional. Dan itu
dibenarkan oleh Sudisman. Apakah itu legal, berarti organization ter-
libat atau tidak, itu pertanyaan. Tetapi satu hal lagi, pemerintah bebe­
rapa kali menerbitkan buku putih. Salah satu buku putih itu dari Pak
Domo, tetapi yang terakhir adalah waktu itu masih wakil Presiden,
www.facebook.com/indonesiapustaka

Pak Darmono, tetapi tidak jadi. Mula-mula tidak jadi, waktu itu lama
sekali. Waktu itu salah satu kunci adalah Jenderal Taher, CPM yang
melakukan persiapan Mahmilub, dan sebagainya. Saya tanya apakah

455

01-TA-16x24-terakir.indd 455 1/30/2012 9:39:36 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

ini karena ada bukti Soekarno terlibat—saya sudah ada agreement


dengan beliau. Begini, “Ok deh Pak, I know Anda bisa banyak rahasia,
tapi please jangan bohongi saya. Please don’t tell me lie.” Saya tahu
dia diam. Kalau dia diam berarti tidak mau membenarkan, tapi se-
benarnya dia tahu. Kalau salah dia bilang tidak, bukan begitu, tetapi
begini. Ah, kita sama-sama tahu, dia tahu dong. So is it the present
president? Ya, semua juga tahu waktu itu bahwa akan ada gerakan.
Kemudian masalah yang patut ditanyakan? Kenapa pemerintah
tidak mengumumkan saja waktu itu. Pak Harto mengatakan karena
ini masalah penting sejarah nasional, ini dokumen harus sempurna.
Konon itu diartikan, Anda tahu dirilah, kita belum menjadi manusia
sempurna. Jadi jangan dulu diterbitkan dalam bentuk itu. Akhirnya,
diedit berat dan keluarlah versi yang ada. Saya masih tawarkan, saya
bukan pemerintah, kasih sayalah, saya tidak sempurna, jadi boleh.
Tetapi hanya dikasih sedikit bocoran-bocorannya. Sebenarnya ba­
nyak hal sudah diketahui, saya kira salah satu masalah yang kita
hadapi sekarang dalam pengungkapan ini adalah bukan menyalah-
kan Orba—its just a description­­—karena begitu jealous menjaga versi
mereka, walaupun itu salah satu versi yang belum tentu salah. Tetapi
menurut saya not the whole truth, kemudian ngotot ini satu-satunya
versi, lain-lain semuanya salah. Bukan berarti kalau ini benar, bukan
berarti versi yang itu salah, mungkin ada dua kebenaran kok, dua-
duanya benar. Kita bisa ambil banyak contoh, bahwa sudut pandang
itu berbeda, contoh melihat pena ini, yang satu akan bilang ada tu-
lisannya yang lain menyatakan tidak. Dan memang dari mana kita
memandang masalahnya. Saya kira ini tantangan-tantangan yang
saya harapkan para significant ini. Tetapi sekali lagi jangan kita men-
jadi sandera, dalam kultur hanya ada satu kebenaran yang mutlak
dan itu didukung dengan kekuasaan dan ketakutan.

Harry Tjan Silalahi (Penanggap)


www.facebook.com/indonesiapustaka

Tentang buku yang disiapkan oleh Sekneg itu dulu memang tebal
sekali, karena saya turut membaca draft-draft tersebut, atau tidak

456

01-TA-16x24-terakir.indd 456 1/30/2012 9:39:36 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

membaca tetapi diberitahu untuk membaca. Karena terlibat teman-


teman yang disebut, kita itu lalu ewoh pakewoh, mbok ini jangan di-
masukkan, yang ini jangan dibicarakan, ini kan saudara sendiri. Dan
satu hal saya kira juga, Soeharto—saya ini memang agak dekat pada
hari-hari, bulan-bulan, atau tahun-tahun pertama. Memang betul-
betul mikul duwur mendhem jero terhadap Bung Karno. Itu betul. Itu
dalam, tetapi kalau kita yang membandingkan, dia sakit hati, terus
kalau kita bilang, mbok seperti Bung Karno, dia akan bilang, ‘Ndak
bisa, saya lebih baik.’ Tetapi kalau disuruh menghina Bung Karno
dia tidak mau, suruh menelanjangi Bung Karno, dia tidak mau, kare-
na ini bagaimanapun Proklamator. Ucapannya pada waktu Bung
Karno meninggal, dan saya hadir. Ketemu Pak Harto, omong-omong,
‘Ya, saya punya kewajiban mikul duwur mendem jero.’ Tetapi seka-
rang anak-anak bisa bilang itu cuma pura-pura. I dont know, tetapi ini
fakta ucapan. Kenapa dipindah ke Blitar? Kalau di Bogor nanti rakyat
mulai datang, jadi geger di Jakarta. Sedangkan itu belum ada konsoli-
dasi politik. “Bagaimana saudara-saudara?” Setuju kita. Partai-partai
semua setuju, termasuk saya yang memimpin rombongan partai ke
Blitar. Itu tentang sikap Pak Harto terhadap Bung Karno.
Kalau dibanding-bandingkan, Pak Harto tidak mau sakit hati dia.
Ini satu psychological dari Pak Harto. Lalu yang kedua, ini untuk me-
nambah orang yang mau ngecap Pak Harto bahwa itu konspirasi, me-
mang pada 1 Oktober pagi waktu Pak Harto pergi ke Kostrad pagi itu,
biasanya rada telat, tetapi waktu itu masih pagi. Kemudian disusul
oleh Wiranata Kusuma yang tidak tahu apa-apa. Dia datang agak telat
karena semalam baru dansa di Hotel Indonesia. Dia datang ketemu
Pak Harto. “Loh, kok pagi-pagi sudah datang?” “Ini kan ada perkara.”
Pertanyaan pertama Soeharto, Sjam di mana? Orang yang mengang-
gap Soeharto konspirasi, he knows well, memang ada hubungan sama
Sjam. Tetapi kalau saya mengenal Pak Harto dan lain-lain, kalau ada
masalah di Amerika Latin atau di dunia Barat, dia akan manggil saya,
www.facebook.com/indonesiapustaka

karena dia menganggap saya tahu, orang-orang yang tahu lebih tahu
dibanding kelompoknya dulu. “Bagaimana Saudara Harry tentang

457

01-TA-16x24-terakir.indd 457 1/30/2012 9:39:36 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

Amerika Latin?” Karena di sana yang berkuasa Kristen Demokrat, saya


juga dari partai Katolik. Pak Hardi waktu itu ditugaskan ke Amerika
Latin, nanti kalau ada apa-apa, itu you yang formal, tetapi yang infor-
mal baiknya Saudara Harry yang bicara. Sjam ini memang kenalan
Pak Harto di Marks house di Pathuk. Kita dulu anak-anak muda ma-
suk di Marks house yang progresif revolusioner, Pesindo, termasuk
PSI juga di Marks house. Oleh karena itu mereka berkenalan. Lalu,
Pak Harto bisa dianggap Jenderal Jambon. Tetapi semua orang Jawa
yang tidak santri dan kurang sekolahnya itu abangan. Kalau abangan
memang pronya PKI. Itu kultur politiknya. Kalau yang pintar PSI,
meskipun bukan anggota PSI. Itu kita punya stereotipe di Yogya. Dan
kelompok ini juga di situ. Panglima Soedirman memerintah Pak Harto
untuk ketemu Muso. Pada waktu turun, ditangkap Siliwangi, ditan-
ya, “Saya disuruh Panglima Besar, tanya apa duduk soalnya.” Saya
kira yang menangkap Pak Darsono ( diralat oleh Pak Salim Said nama
penangkapnya yaitu batalion Lukas Sustaryo—red), batalion Lukas
Kustaryo, dan dilepas oleh Sadikin, tetapi tidak pulang melalui jalan
besar, tetapi ke Selatan dulu karena mau ketemu Jenderal Suwadi.
Jenderal Suwadi dianggap menjadi jambon, karena rivalitas Siliwangi
dengan Diponegoro. Karena Yogya dulu dijajah oleh Siliwangi oleh
orang Yogya SLW itu dinamakan Stoot Leger Wilhelmina. Thus, arti-
nya kalau memang ideologi dan lain-lainnya confuse. Jadi kalau kita
sudah mengambil—para sarjana yang terhormat—satu strict paradig-
ma, lantas kita mencari analisis, memang bisa in the waar—bukan in
the war—kalau orang Belanda bilang menjadi bingung.
Salim Said : Menurut Anda, Pak Harto tahu tidak si Sjam itu Biro
Khusus?
Harry Tjan : Tidak tahu—saya tidak tahu persis ya—expert ten-
tang komunis, karena seperti juga Wiratmo Sukito,
itu tempat you kumpul, kan dia dianggap ahli marx-
www.facebook.com/indonesiapustaka

is. Kumpulkan semua, lantas you, Rahman Tolleng,


bersila di depannya. Dia ceritakan begini, begini.

458

01-TA-16x24-terakir.indd 458 1/30/2012 9:39:36 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

Salim : Saya cuma ingin mengatakan Mas, bahwa tidak bisa


dibandingkan antara Wiratmo Sukito dengan Sjam.
Sjam ini aktivis dari dulu. Soeharto mesti tahu
bahwa Sjam itu adalah orang yang menyelamatkan
Aidit. Jadi artinya agak berat saya terima penjelasan
itu. Saya tidak bilang Anda salah. Agak berat saya
terima bahwa netral saja mencari Sjam sebab Pak
Ahmad kita di CSIS—saya kan panel waktu itu—
dan dia memang sangat curiga dan saya share kecu-
rigaannya ini. Masa dia tidak tahu siapa Sjam? Jadi
artinya the fact bahwa Pak Harto mencari Sjam itu
patut diwaspadai, kalau istilah AD.
Harry Tjan : Ya, memang, Pak Harto pada waktu 1 Oktober sore
ngomong. Pagi itu Pak Harto diberi kuliah oleh
Mashuri. Ini terjadi. Yang memberitahu pada dia
adalah Kapten Bruno, bekas Kapten. Dia baru turun
nightclub, musik-musik, pulang, dengar dor..dor..
dor, cerita sama sekretaris RT—Mashuri—kok jadi
begini. Lalu Mashuri pada jam 05.00 pagi memba­
ngunkan Pak Harto, ini kok terjadi. Mashuri sudah
bilang, “Ini PKI, Pak, sebab sebelumnya Mashuri te-
man dengan Yani. Kagama itu kelompoknya Yani.
Harto sakit hati, ternyata. “Ya, saya tahu kalian meng­
anggap saya ringan karena tidak sekolahan, sekarang
kamu datang pada saya.” And he laughed at that, ka-
lau dia bisa bilang begitu. Thus, ini situasi­nya pada
waktu itu. Lantas Pak Harto jadi sudah tahu waktu
berangkat bahwa ini ontran-ontran nya PKI. Tetapi,
pada waktu dia mengumumkan bahwa ini PKI, saya
sudah curiga dan Subhan ada di sebelah saya, teta-
pi Mas, Harto ini Jenderal jambon. Pada umumnya
www.facebook.com/indonesiapustaka

orang Jawa yang tidak jambon siapa—Jawa bener—


belum santri dan belum intelektual.

459

01-TA-16x24-terakir.indd 459 1/30/2012 9:39:36 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

Salim : Mas Harry, itu yang saya coba jelaskan dengan teori
saya, bahwa Soeharto seorang oportunis, doesn’t
matter for him jambon atau merah, dia dapat ke-
sempatan di situ untuk membalas sakit hati ke-
pada Yani dan untuk membalas sakit hati kepada
Nasution yang memberhentikan dia dari Pangdam
Diponegoro. Selain itu, dia punya klik dan punya
ambisi. Saya dengar dari almarhum Zen Maulani
yang baru saja meninggal. Katanya di markasnya
Soeharto, “Sekarang Yani tidak ada lagi, ini giliran
kita sekarang!”
Harry Tjan : Tidak begitu dong kalau Harto.
Salim : Bukan Soeharto, orang-orangnya Soeharto. I know
you’re the friend of Soeharto.
Harry Tjan : No… no…no… I know him, I think dia tidak meng­
akui kalau saya tahu dia.
Salim : I’m joking
Harry Tjan : Kelompoknya tidak terdiri dari orang-orang yang
begini-begini.
Salim : Itu kan saya yang mengatakan. That’s my way, but
yang saya mau katakan pada Anda, sadar betul mere­
ka bahwa Yani sudah lewat. Bersihkan orang Yani
dan juga Nasution. Makanya Nasution dihabisin.
Tinggallah klik Soeharto.
Harry Tjan : Itu juga tidak terlalu betul, karena pada waktu Pak
Nas dicopot sebagai Menko, Pak Harto yang datang
kepada Pak Nas, “Kenapa ini kamu terima?” “Ya, tapi
kan sudah sama saja karena Sarbini yang jadi. Kita
kan sealiran.”
www.facebook.com/indonesiapustaka

Salim : Saya masih boleh komentar satu, ini kesempatan


kami bicara di depan Anda. Mas, Anda berdua, saya
tidak percaya Soeharto teori mendem jero. Kenapa

460

01-TA-16x24-terakir.indd 460 1/30/2012 9:39:36 PM


FAKTA DAN GAGASAN DARI LOKAKARYA

Soeharto lakukan itu karena dia tidak kuat pada


waktu itu, kalau kuat dia injak Sukarno. Pada waktu
Soeharto melakukan itu semua, dia punya penjelas­
an kultural untuk membela diri di depan kita yang
radikal—termasuk HR Darsono, Kemal Idris—dan
kulturil saya ini orang Jawa, mendem jero. In reali­ty,
he is an opportunist, pada waktu itu dia tidak pu-
nya kekuatan, AD belum dikuasai, officially belum
dikuasai, KKO dia tidak kuasai, AU tidak dikua-
sai, Kepolisian tidak dia kuasai, tetapi justru saya
menghormati kehebatan Soeharto sebagai politikus.
Ketika itu, ia pakai kebudayaan.
Harry Tjan : Tidak, tetapi kalau boleh saya meneruskan ini ya,
sekaligus biar selesai. Kalau you tanya Megawati
saat ini, apakah Pak Harto menyia-nyiakan Bung
Karno, jawabnya akan bilang tidak, saya kira. Itu
dapat dipastikan.
Salim : Ya, sekarang.
Harry Tjan : Tidak, waktu itu. Karena hari-hari pertama mening-
gal, juga karena sikap dasarnya.
Salim : Because he got a lot of temptation.
Harry Tjan : Tapi, saya kira Pak Harto yang—Mashuri, Sayuti
Melik, Sugiarto bilang sama saya—ini orang me-
mang perspektif patriotiknya lemah sekali. Kalau
semua orang yang kemudian jadi Presiden itu anti
Belanda, dia jadi polisi entah surodadu, jadi mar-
sose, jika Belanda lebih lama barangkali akan diki­
rim ke Aceh. Itu masalahnya. Ini untuk menambah
orang yang menyatakan Soeharto konspiratif.
Rahman Tolleng: Saya sendiri sebenarnya mau simpan untuk besok.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Ya, saya juga sebenarnya agak sedikit sanksi kalau


dikatakan Pak Harto sangat loyal pada Bung Karno,
dan sebagainya. Untuk menyingkat saja, saya kata­
461

01-TA-16x24-terakir.indd 461 1/30/2012 9:39:37 PM


Penyusun: Sukri Abdurrachman

kan ini persoalan Malaysia, selebihnya untuk besok.


Itu diam-diam sebelum G30S, sebenarnya Soeharto
bisa dikatakan insubordinasi. Faktanya besok saya
kemukakan dalam hubungan Komandan Mandala
Siaga karena memang saya terlibat. Jadi memang
ada satu soal di sini, insubordinasi, terlibat, dan
itu Opsus. Saya kira, siapa teman yang dari Banda
Neira itu, lebih tahu sebelumnya. Des Alwi bisa
menerangkan. Itu sebelum G30S PKI. Ini bagaima-
na mene­rangkan, saya tidak tahu dan itu meli-
puti sejumlah jenderal yang setia pada Pak Harto.
Apakah Pak Harto terang-terangan, wallahu alam,
tetapi garisnya jelas didalam hal Komando Mandala
Siaga itu berbeda dengan garis Oemar Dani sebagai
Komandan.
Harry Tjan : Tapi sama dengan Yani, karena rapat yang dimaksud
itu dipimpin oleh Yani. Dan kenapa mempunyai tra-
disi begitu, karena ini Panglima Sudirman kenapa
disebut dwifungsi, ini radionya, sebab konfrontasi
dengan Malaysia merugikan Indonesia, menurut
penglihatan mereka. Fine. Thank you.
www.facebook.com/indonesiapustaka

462

01-TA-16x24-terakir.indd 462 1/30/2012 9:39:37 PM


Indeks

abangan, 31, 135 Anwar, Rosihan, 129, 154, 418


ABC Revolusi Indonesia, 137, 164 Arief, Dul, 84, 92
Abdulgani, Roeslan, 50 Asia, 14, 25, 359
agama, 14, 31, 37, 57, 65, 116, 160, Asian Games, 14
237 Atmodjo, Heru, 84, 91, 95, 104, 125,
Aidit, D.N., 21, 24, 56, 58, 63, 72, 266, 317
73, 74, 75, 78, 80, 81, 119, 122,
125, 130, 142, 145, 146, 148,
156, 157, 165, 168, 172, 174, Badan Keamanan Rakyat (BKR), 240
219, 231, 262, 285, 305, 322, Badan Pendukung Sukarno (BPS),
349 66, 67, 77, 78, 135, 167, 306, 383
Amerika Serikat, 25, 119, 121, 167, Bali, 31, 75, 119, 134, 135, 140, 214
245, 264, 301, 331, 332, 335, Bandung, 116, 140, 185, 210, 281,
357, 358, 359, 362, 363 282
Anderson, Benedict R., 128, 263, bangsa, 2, 269, 344
279, 341 anak, 35
Andoko, 91, 125 ekonomi, 34
Angkatan Bersenjata Republik kolektif, 13, 16, 32
Indonesia (ABRI), 41, 51, 60, 63, komunitas, 13
64, 76, 152 masa depan, 39
permusuhan dengan PKI, 128 pembentukan (nation formation),
Angkatan Bersenjata, 67 2
Angkatan Darat, 5, 61, 79, 80, 92, pemimpin, 34
124, 128, 131, 135, 145, 147, 264 Barisan Rakyat, 66
Dewan Jenderal dalam tubuh, Barisan Tani Indonesia, 15, 56, 62,
146 160
konflik internal, 23, 92, 124, 194, afiliasi dengan PKI, 30
263, 347 Bimasakti, kelompok, 92, 93, 95,
www.facebook.com/indonesiapustaka

peran dalam sejarah kemelut 101, 162, 185, 190, 268, 390
politik, 237-242 Bell, James, 337
Angkatan ke-5, 119, 142, 143, 144, Bell’s Proposal, 338
146 Bergsma, P., 360

463

01-TA-16x24-terakir.indd 463 1/30/2012 9:39:37 PM


indeks

Berita Yudha, 67 Dekker, H.W., 360, 377


Bintang Timur, 67 Deklarasi Bogor, 59, 77
Biro Khusus (Politbiro), 78, 81, 148, Dekret Presiden (5 Juli 1959), 14,
167, 168, 169, 172, 184, 218, 48, 50, 51, 131, 165
413, 428 Demokrasi Terpimpin, 12, 13, 15,
Daerah, 169 24, 30, 34, 40, 41, 48, 52, 55, 57,
PKI, 188 115
rancangan, 187 kritik Bung Hatta terhadap, 39
tugas, 169 peran politik militer pada masa,
Bittman, Ladislav, 316, 339 259
Brandsteder, J.A., 360 Dewan Jenderal, 1, 19, 79, 91, 120,
Brunell, Frederick, 263 123, 124, 146, 150, 285, 286,
Bundy, McGeorge, 358 303, 342, 365
Dewan Kolonel, 79, 149
Dewan Nasional, 48, 56, 300
Campbell, Arthur, 332, 354 DPR-Gotong Royong, 53
Central Intelligence Agency (CIA), dalam Demokrasi Terpimpn, 55
25, 67, 126, 129, 333, 357, 370, Dewan Revolusi, 1, 6, 81, 83, 101,
373, 401 150, 179, 194, 210, 266
dan dukungan kepada PRRI dan di Bali, 214
Permesta, 361 di Jakarta, 215
keterlibatan dalam G30S, 365, di Jawa Tengah, 211
370, 372, 374 di Jawa Timur, 213
pembentukan, 358 di Kalimantan Selatan, 214
tugas utama, 358 di Medan, 213-214
Central Komando (Cenko), 84, 92, di Sumatra Barat, 214
95, 178, 186, 196, 266 Kabupaten, 210
Cokro, Slamet, 227 kudeta, 83-84
Conference of New Emerging Force pembentukan, 266, 382
(CONEFO), 363 penyusunan konsep, 182
Cooper, Chester, 338 pimpinan, 183
Cornell paper, 23, 128, 263, 279, Dewan Revolusi Indonesia, 111,
280, 372 122, 199, 200
Cribb, Robert, 126 Dewan Revolusi Provinsi, 201
Crouch, Harold, 263 Dewan Revolusioner, 101
Cumming, Hugh S., 360 Dewanto, 223
Dewi, Ratnasari, 90
Dhani, Omar, 90, 92, 130, 144, 145,
www.facebook.com/indonesiapustaka

Daerah Istimewa Yogyakarta, 31 150, 155, 196


Dake, Antonie C.A., 125, 130, 262, Dharsono, H.R., 291
280, 314 Diah, B.M., 66

464

01-TA-16x24-terakir.indd 464 1/30/2012 9:39:37 PM


indeks

Divisi Diponegoro, 23 persiapan, 266


Djajengminardo, Wisnu, 109 Gestapu, 86, 121, 332
Djatikoesoemo, 149 Giebels, Lambert, 281
Djojohadikusumo, Sumitro, 332 Gilschrist, Sir Andrew, 154
“Doktrin Perang Wilayah”, 73 Golongan Karya, 51
Doktrin Truman, 359 Gotong Royong, konsepsi, 65
Dokumen Gilchrist, 79, 121, 129,
153, 173, 292, 303, 371
“domestikasi”, 119 Hadinoto, Soejono, 332
Djuanda, 50, 51 Hamengkubuwono IX, Sri Sultan,
dualisme, 37 248
dalam kepemimpinan politik Hankamrata, Doktrin (Pertahanan
negara, 37 dan keamanan Rakyat Semesta),
73
Harahap, Syarifudin, 225
Eisenhower, Dwight David, 333, 360 Harian Rakjat, 67Harjono, M.T., 270
Harmoko, 66
Haryono, MT., 84
Federasi Malaysia, 336 Hatta, Mohammad, 39, 332, 349
fiksi, 9 Herlambang, Sri Muljono, 220
Friend, Theodore, 123 Hindley, Donald, 119
Front Nasional, 55, 65, 72, 138 Hisbullah/Sabilillah, 238
Holtzapel, Coen, 352
Hughes, John, 130
Gatotkaca, kelompok, 177, 186
Geertz, C., 31
Gerakan Mahasiswa Nasional Ideologi, polarisasi, 237-238
Indonesia (GMNI), 292 Idris, Asnawi, 66
Gerakan Perwira Progressif Idris, Kemal, 291
Revolusioner (GPPR), 61 Indische Sociaal Democratische
Gerakan 30 September (G30S), 1, 3, Vereeniging (ISDV), 360
12, 16, 28, 86, 93, 101, 108, 115, Indonesia, 26, 38, 366, 368, 370
208, 230, 231, 265, 272, 364, Indonesia Menggugat, pidato, 38
366, 373 In the Spirit of the Red Banteng,
dalang, 262-266, 279 Indonesia Communists Between
dan peran tentara, 261-266 Moscow
isu keterlibatan PKI dalam, and Peking, 130
289-290 Irian Barat, konflik, 13, 362
www.facebook.com/indonesiapustaka

keterlibatan CIA, 365, 366,


370-371
pasca, 289 Jahja, Daan, 291

465

01-TA-16x24-terakir.indd 465 1/30/2012 9:39:37 PM


indeks

“Jalannya Revolusi Kita (Jarek)”, Legge, John D., 131


pidato, 57, 68, 71, 165 Leimena, J., 51, 87, 111, 217, 294
Jawa Tengah, 23 Lembaga Kebudayaan Rakyat
Johnson, David T., 365, 366, 371 (Lekra), 56, 351
Jones, Howard, 338 Liga Demokrasi, 51, 54
Lubang Buaya, 84, 85, 227
latihan kemiliteran di, 161
Kabinet Ampera, 295 Lukman, H.M., 56, 137
Kabinet Dwikora, 76, 122, 179, 199,
231, 295, 322
Kabinet Gotong Royong, 48, 299 Machmud, Amir, 294
Kabinet Kerja, 52, 55 “Madiun Affair”, 15
“Kabinet 100 Menteri”, 294 Majelis Permusyawaratan Rakyat
Kai-Shek, Chiang, 359 Sementara (MPRS), 52, 64, 65
kapitalis-birokrat (kabir), 23 Malaysia, 14, 158, 167, 302, 363
Kamaruzaman, Sjam, 78, 81, 82, 83, konfrontasi, 19, 63, 284, 305,
95, 124, 148, 174, 184 314, 337, 350
Katoppo, Aristides, 132 pembentukan, 14, 118
Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI), Malik, Adam, 66
33 Mangil, 98, 99
Kesatuan Aksi Sarjana (KASI), 33 Manipol-USDEK, 13, 65
komunis, 4, 14, 25, 37, 60, 136, 164, Mantik, G.A., 205
284, 322, 326, 366, 368 Mardjono, Mahar, 157
di Asia Timur dan Tenggara, 360 Marhaenis, 15
di Cina, 359 Marhaenisme, 58
di Indonesia, 360 Marx, Karl, 164, 284, 302, 305
doktrin partai, 136 Masyumi, 243, 244
kelompok petani, 136 McVey, Ruth, 263, 279
masyarakat, 133, 164 Melik, Sayuti, 66
pengaruh di Indonesia, 333 Metode Kombinasi Tiga bentuk
penghancuran di Madiun, 332 Perjuangan (MKTB), 164
Uni Soviet dan upaya mitos, 9
penyebaran, 337 Muchid, Sogol Djauhari Abdul, 88
“Konsepsi Presiden”, 48, 258, 299 Muhammadiyah, 243
konspirasi, 122 Musyawarah Nasional Teknik
krisis “multikompleks”, 41 (Munastek), 86
Kuntjoro, 226 Mulyono, 66
Murtopo, Ali, 225
www.facebook.com/indonesiapustaka

Muslim Modernis, 243, 245


Lahirnya Pancasila, pidato, 38 Muslim Tradisionalis, 243
Latief, 24, 82, 151, 186, 266, 340

466

01-TA-16x24-terakir.indd 466 1/30/2012 9:39:37 PM


indeks

Partai Nasional Indonesia (PNI), 48,


Nahdlatul Ulama (NU), 243, 360 51, 282
NASAKOM, 14, 37, 42, 63, 73, 116, partai politik, 29-30
119, 293, 304, 350 Partai Rakyat Indonesia, 55
Nasional Pelopor Indonesia Pasopati, kelompok, 92, 93, 186,
(Napindo), 238 188, 268
Nasution, A.H., 37, 48, 60, 71, 84, Patnaik, Shri Biju, 89, 378
94, 117, 118, 248, 252, 270, 296, Pauker, G.J., 262
366, 368 pedesaan, 28, 30, 33, 164
Nawaksara, pidato, 38, 280, 365 kekuatan PKI di, 141
New Emerging Forces, 19 konflik keras di, 31
Notosusanto, Nugroho, 132 “pembangunan nasional”, 43
Nyoman Rai, Ida Ayu, 281 Pemberontakan PRRI/Permesta, 244-
Nyoto, 56 245, 253-254
Pemilu, 243, 244
Pemuda Sosialis Indonesia
Ofensif Manipolis, 69-70, 73 (Pesindo), 238
Ofensif Revolusioner, 74, 75, 76 Pemilihan Umum 1955, 30
Old Established Forces (inggris), 14 Pemimpin Besar Revolusi, 12
Oltmans, Willem, 126, 374 Penyambung Lidah Rakyat, 12
Operasi Dwikora, 118 Perang Dingin, 24
Operasi Palmer, 340 Perdanakusuma, Makki, 92, 144
Orde Baru, 24, 32, 43 Peristiwa Kanigoro, 140
“Peristiwa Tiga Selatan”, 68
Peristiwa 17 Oktober 1953, 246-247
Palmer, Bill, 79 persekongkolan, 16
Pancasila, 58 Perserikatan Nasional Indonesia
Panjaitan, D.I., 85, 270 (PNI), 282
Parman, S., 84, 248, 270 petani, 28
Partai Komunis Indonesia (PKI), 4, Piagam Yogya, 250, 252, 253
15, 16, 18, 33, 51, 56, 59, 60, 73, “Plan Partai”, 70
118, 167, 243, 279, 353, 360 Pluvier, Jan M., 316
aksi-aksi terhadap perkebunan polarisasi, 247-248
dan kehutanan, 138-141 Pono (Supono Marsudidjojo), 82
di madiun, 349 Prawiranegara, Sjafruddin, 332
konflik dengan orang-orang Pringgodani, kelompok, 92, 93, 268
Islam, 135 Prodjodikoro, Wiryono, 50
pembubaran, 37
www.facebook.com/indonesiapustaka

peranan, 263
permusuhan dengan ABRI, 128 Rabidi, Joseph, 212
Rahmat, Nasuki, 294

467

01-TA-16x24-terakir.indd 467 1/30/2012 9:39:37 PM


indeks

Reksosamudro, Pranoto, 110, 197 sosial-ekonomi, 29


RRT (Republik Rakyat Tjina), 25 ketimpangan, 29
revolusi, 4 Sosrodiharjo, Sukemi, 281
multikompleks, 4, 43 Subandrio, 34, 79, 125, 294, 304
“Revolusi tanpa henti”, 30 Subardi, 225, 227
Robinson, Geoffrey, B., 264, 280, Sugandhi, 126
373 Sugeng, Bambang, 249
Robinson, Richard, 334 Sugomo, Yoga, 353
Rosyadi, Imron, 54 Sujono, 266
sukarelawan, 159
pelatihan, 159-160
Sabur, 107, 273 Sukarno (Bung Karno), 4, 5, 12, 20,
Saelan, Maulwi, 87, 99, 101, 125, 34, 48, 51, 55, 106, 117, 123,
227, 320 125, 130, 217,281, 327
Saleh, Chaerul, 77, 294 sakitnya, 155-158
Saleh, Ismail, 132 sebagai presiden, 284-288
Samudro, Pranoto Rekso, 344 Sukendro, 368
Santosa, 223 Sukirno, 109, 176, 222
santri, 31, 135 Sukitman, 224, 225, 227
Sartono, 50, 54 Sukrisno, Gatot, 92
Sastroamidjojo, Ali, 77 Sulastomo, 225
Scott, Peter Dale, 129, 264, 280, 332, Sumartono, 66
373 Sumpah Pemuda, 2
sejarah, 2, 8, 9, 26 Sunardi, 266
batas (awal periode), 2, 3, 5 Sundhaussen, Ulf, 291, 336
Silalahi, Harry Tjan, 187, 225 Supardjo, 84, 95, 107, 266
Simbolon, 254 Supeno, Bambang, 176, 222, 248
Siswomihardjo, Soetojo, 270 Suprapto, 84
Simatupang, 248 Suradi, 92
Sneevliet, H.J.F.M., 360 Surat Perintah 11 Maret (Super
Soebroto, Gatot, 148 Semar), 36, 294
Soejono, 160, 186 Sutomo, 55
Soeharto, 16, 17, 24, 33, 36, 42, 108, Sutoyo, 85
109, 111, 122, 124, 204, 207, Suwarto, 291
274, 294, Suyono, 83, 91, 92
341, 354, 366, 370 Syarifuddin, Amir, 143
Soerjosoempeno, 211, 267
Soemitro, 291
www.facebook.com/indonesiapustaka

Soeprapto, 270 “Tahun Viveri Pericoloso (Tavip)”,


Soewarto, 335 pidato, 75
Sophiaan, Manai, 131, 280 Tendean, Pierre, 85

468

01-TA-16x24-terakir.indd 468 1/30/2012 9:39:37 PM


indeks

Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Untung, 6, 17, 82, 83, 121, 222,
240 266, 341, 364
TNI (Tentara Nasional Indonesia), 5 Utoyo, Bambang, 249, 252
Angkatan darat, 335
The Devious Dalang, 125
The End of Sukarno, 130 Waluyo, 82
‘the invisible government’, 357 Warta Bakti, 67
Tjakrabirawa, 6 Wattimena, Leo, 91, 106
Tjoe Tat, Oei, 131, 194, 280 Wertheim, 263
Tjokrohadisuryo, Iskaq, 54 Wibowo, H., 66
“trilogi sejarah”, 283 Wibowo, Sarwo Edhie, 143, 204,
Tritura, 34 222, 291
Tri Ubaya Sakti, 61 Widjanarko, Bambang, 87, 96, 217,
Truman, Harry S., 359 325, 326, 345
Wirahadikusuma, Umar, 204, 205,
341
Undang-Undang Dasar Sementara, Wirjodiprodjo, Hartono, 86
242 Wisner, Frank, 333
Undang-Undang Dasar 1945, 49
Undang-Undang Pokok Agraria, 15, Yamin, Muhammad, 50
30 Yani, Ahmad, 61, 62, 63, 84, 118,
Uni Soviet, 337, 359, 362 143, 147, 270
United Nations Temporary Yusuf, M., 294
Executive Authority (UNTEA),
363
Zedong, Mao, 359
www.facebook.com/indonesiapustaka

469

01-TA-16x24-terakir.indd 469 1/30/2012 9:39:37 PM


BIODATA PENULIS

Taufik Abdullah, Ahli Peneliti Utama LIPI dan Guru Besar (Luar
Biasa) Sejarah Universitas Gadjah Mada. Menjadi ketua LIPI dari
tahun 2000 sampai 2002; direktur LEKNAS-LIPI tahun 1974-1978;
Ketua HIPIIS tahun 1975-1979; Ketua Umum Masyarakat Sejarawan
Indonesia (MSI) tahun 1995-2005; Presiden IAHA tahun 1996-1998;
Ketua Akademi Jakarta sejak tahun 2006 hingga sekarang; Ketua
Komisi Ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia sejak
tahun 2008, dan sejak tahun 200 hingga sekarang sebagai Direktur
Partner Institute, Asian Public Intellectuals Program/Nippon
Foundation. Memperoleh gelar sarjana dalam bidang sejarah dari
Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada tahun
1962. Melanjutkan studi di Cornell University, Amerika Serikat, dan
memperoleh gelar PhD dalam bidang Sejarah Asia Tenggara pada
tahun 1970. Karya-karya ilmiahnya banyak dipublikasikan di
berbagai buku, jurnal, majalah dalam dan luar negeri. Sebagai
ilmuwan ia telah memperoleh penghargaan dari dalam dan luar
negeri, antara lain Fukuoka Asian Cultural Prize, Jepang (1991),
Bintang Jasa Utama (1994), Mahaputra Utama (1999), Habibie Award
(2001), anggota kehormatan KITLV (2001), Penghargaan Sarwono
Prawirohardjo (2001), Doktor Honoris Causa (UI) tahun 2009, dan
lain-lain.

Sukri Abdurrachman, peneliti pada Pusat Penelitian Kemasyarakatan


dan Kebudayaan (PMB)-LIPI, tahun 1983 sampai sekarang.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Memperoleh gelar Sarjana Hukum Jurusan Hukum Perdat, Universitas


Negeri Surakarta. Pernah mengikuti training “Didactic Methods for
Directors and Teachers of Professional Training” d Roma, Itali (1991);
470

01-TA-16x24-terakir.indd 470 1/30/2012 9:39:37 PM


Biodata penulis

training R & D Human Resources Planningand management System,


kerja sama LIPI dengan STEPI/KIST Korea Selatan (1993), SPAMA-
LIPI dan LAN (1999). Menekuni penelitian sejak masih mahasiswa
(1979) dan dilanjutkan di LIPI sejak tahun 1983 hingga sekarang.
Fokus kajian di bidang hukum dan perkembangan masyarakat. Karya
tulisnya antara lain, “Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah: Kasus
Riau” (2003); “Pers di Masa Orba” (2003); editor/penulis Konflik
Pertanahan di Era Reformasi: Hukum negara, Hukum Adat, dan
Tuntutan Rakyat (Kasus Sumatera Barat) (2003) dan Kasus Bali (2004);
editor dan penulis Demokrasi & Penegakan Supremasi Hukum (2004);
Kebijakan Taskin dan Implemen­tasinya, Evaluasi Pelaksanaan
Program Taskin di Provinsi Lampung (2007); “Dinamika Perilaku
Kehidupan Masyarakat dalam Penerapan Hukum Ekonomi Syariah:
Studi Kasus Perbankan Syariah Kota Makassar” (2007); “Pelayanan
Publik Bidang Kesehatan Kasus Kota Malang” (2008); Dinamika
Pengobatan dan Obat Tradisional di Kota Cilacap” (2009); “Pertautan
Hukum Islam dan Hukum Adat dalam Sistem Kewarisan pada
Masyarakat Adat Minangkabau di Sumatera Barat” (2009); anggota
Tim Hukum & Perubahan Sosial: Analisis Perkembanga Peraturan
Perundang-undangan dan Kelemba­gaan tentang Pemberantasan
Korupsi di Indonesia (2010); editor Indonesia Across Orders: Arus
Bawah Sejarah Bangsa 1930-1960 (2011), dan lain-lain. Aktif
mengiktui pertemuan ilmiah di dalam dan luar negeri.

Restu Gunawan, lahir di Karanganyar 16 Juli 1969, saat ini bekerja


di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menjabat sebagai
Kasubdit Peradaban Sejarah. Menyelesaikan S1 Jurusan Sejarah
Universitas Sebelas Maret lulus tahun 1987; S2 di Jurusan Sejarah,
Universitas Indonesia dengan tesis “Muhammad Yamin dan Cita-cita
Persatuan Indonesia”; gelar doktor diperoleh dari Jurusan Sejarah,
Universitas Indonesia tahun 2008. Buku yang pernah ditulis di
www.facebook.com/indonesiapustaka

antaranya Gagalnya Sistem Kanal: Penanganan Banjir di Jakarta dari


Masa ke Masa; selain aktif melakukan penelitian, juga aktif menulis

471

01-TA-16x24-terakir.indd 471 1/30/2012 9:39:37 PM


Biodata penulis

artikel di berbagai koran dan jurnal, serta berbagai pertemuan ilmiah


di dalam dan luar negeri.

Saleh As’ad Djamhari, sebelum pensiun adalah sejarawan yang


bekerja di Pusat Sejarah TNI, selain itu juga aktif mengajar di
Universitas Indonesia dan berbagai perguruan tinggi swasta di
Jakarta. Gelar doktor diperoleh dari Universitas Indonesia. Aktif
melakukan penelitian yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku
maupun jurnal ilmiah. Karya yang mutakhir adalah tentang: Politik
Benteng Stelsel dalam perang Diponegoro. Aktif dalam berbagai
pertemuan ilmiah di dalam dan luar negeri.

AB. Lapian (Alm.), lahir di Tegal Jawa Tengah, tanggal 1 September


1929. Lincah dalam pelbagai pertemuan ilmiah karya, yang paling
tersohor ialah “Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasan
Laut Sulawesi Abad XIX“, dianggap sebagai pembuka lembaran baru
penulisan sejarah maritim dan sejarah kawasan di Indonesia.
Menhadiri berbagai pertemuan ilmiah di berbagai negara, dan karya-
karyanya juga diterbitkan dalam berbagai bahasa. Karena sakit yang
dideritanya, pada tahun 2011 beliau dipanggil kehadirat Tuhan Yang
Maha Kuasa dan dimakamkan di Tomohon, Sulawesi Utara.

G. Ambar Wulan, PNS Pusat Sejarah TNI, selain itu juga menjadi
dosen  Kajian Ilmu Kepolisian, Program Pascasarjana UI, dan juga
Dosen Universitas Pertahanan Indonesia. Gelar Doktor diraihnya
dari Program Studi Sejarah Univeritas Indonesia (2008). Sebelumnya,
gelar master (2001) dan sarjana (1986) diperoleh dari jurusan Sejarah
dari universitas yang sama. Aktif melakukan penelitian dan menulis
di berbagai jurnal ilmiah dan surat kabar. Satu di antara bukunya
adalah Polisi dan Politik: Intelijen Kepolisian Pada Masa Revolusi
Tahun 1945-1949. Selain itu juga aktif dalam berbagai pertemuan
ilmiah di dalam dan luar negeri.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Aminuddin Kasdi, guru besar di Universitas Negeri Surabaya, lahir


di Nganjuk, Jawa Timur. Pendidikan Sarjana dari IKIP Malang,
sementara S2 dan S3 dari Jurusan Sejarah dari Univeristas Gadjah
472

01-TA-16x24-terakir.indd 472 1/30/2012 9:39:37 PM


Biodata penulis

Mada Yogyakarta (2000). Selain mengajar, juga aktif menulis buku


dan jurnal ilmiah, serta menjadi pembicara di berbagai pertemuan
ilmiah. Aktif dalam berbagai organisasi sejarah MSI dan organisasi
lainnya.

Singgih Trisulistyono, guru besar Sejarah di Universitas Diponegoro


Semarang; dilahirkan di Blora, 26 Juni 1964. Pada tahun 1987
menyelesaikan kuliah Jurusan Sejarah di Universitas Diponegoro, S2
Sejarah diselesaikan di Universitas Gadjah Mada, lulus tahun 1994,
sedangkan S3 Sejarah lulus tahun 2003 dari Leiden University, the
Netherlands. Selain aktif mengajar, juga aktif melakukan penelitian
dan seminar di dalam negeri maupun luar negeri. Beberapa karya
juga diterbitkan di berbagai jurnal ilmiah.

Nina Herlina, guru besar sejarah Universitas Padjajaran Bandung;


lahir di Bandung, 9 September 1956. Sebelum kuliah di Jurusan
Sejarah, pernah kuliah di Institut Teknologi Bandung (1975), kemu­
dian hengkang ke Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara (1978-1980), dan meneruskan di Universitas Padjajaran
Bandung (1994); Program S2 Bidang Sejarah diselesaikan di
Univeristas Gadjah Mada, Yogyakarta, gelar Doktor diperoleh di
univeritas yang sama, lulus tahun 1997. Puluhan buku sudah dihasil­
kan, dua di antaranya adalah Historiografi Barat (1999) dan Sejarah
Kebudayaan Sunda. Selain aktif meneliti, juga aktif sebagai pembicara
di berbagai seminar di dalam dan luar negeri.

I.G. Krisnadi, dilahirkan di Klaten, Jawa Tengah, 28 Februari 1962.


Saat ini adalah dosen tetap di Universitas Jember. Meraih gelar
sarjana dari Jurusan Sejarah Universitas Jember (1988) dengan skripsi
berjudul “Pergerakan Serikat Buruh di Amerika Serikat pada Tahun
1886-1892“. Pernah mengajar Ilmu Sejarah dan Pendidikan Sejarah
Perjuangan Bangsa di SMAK Yos Sudarso Balung (1982-1985) dan
www.facebook.com/indonesiapustaka

SMPK Maria Fatima Jember (1986-1989). Melanjutkan Program Studi


Ilmu Sejarah pada Pasca Sarjana Universitas Indonesia (1994) dan
memperoleh gelar Master of Humaniora (1997) dengan tesis “Sejarah

473

01-TA-16x24-terakir.indd 473 1/30/2012 9:39:38 PM


Biodata penulis

Tahanan Politik di Pulau Buru (1969-1979). Aktif dalam berbagai


kegiatan ilmiah baik penelitian, seminar, dan workshop.

Abdul Syukur, dosen Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas


Negeri Jakarta, lahir pada 10 Oktober 1969 di Jakarta. Belajar sejarah
sejak 1989 di Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab
IAIN Jakarta, setelah itu melanjutkan studi ke Program Ilmu Sejarah
Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Tesisnya diterbitkan
penerbit Ombak, Yogyakarta, dan mendapat penghargaan sebagai
Buku Bermutu Program Kerjasama Yayasan Adikarya Ikapi (Ikatan
Penerbit Indonesia) dan The Ford Foundation. Saat ini sedang me­
nempuh Program S3 Ilmu Sejarah dari Departemen Sejarah Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Sebelum menjadi
dosen, sempat berprofesi sebagai wartawan selama 12 tahun (1993-
2005) di sejumlah surat kabar nasional. Aktif melakukan penelitian
dan menulis artikel di berbagai surat kabar dan jurnal ilmiah, selain
itu juga aktif sebagai pembicara dalam berbagai seminar.
www.facebook.com/indonesiapustaka

474

01-TA-16x24-terakir.indd 474 1/30/2012 9:39:38 PM

Anda mungkin juga menyukai