Anda di halaman 1dari 5

Cerita Sejarah Menurut Tokoh Sejarah

Wahidin Sudirohusodo

Wahidin Sudirohusodo, dr. adalah salah seorang pahlawan nasional Indonesia. Namanya
Wahidin Sudirohusodo selalu dikaitkan dengan organisani Budi Utomo karena meskipun Wahidin
Sudirohusodo bukan merupakan pendiri organisasi kebangkitan nasional itu, Wahidin Sudirohusodo
menjadi salah satu penggagas berdirinya organisasi yang didirikan para pelajar School tot Opleiding
van Inlandsche Artsen Jakarta itu.

Pria yang lahir di Mlati, Sleman, Yogyakarta pada tanggal 7 Januari 1852 ini menyelesaikan
pendidikan sekolah dasarnya di Yogyakarta yang kemudian dia lanjutkan dengan bersekolah di
Europeesche Lagere School yang juga berlokasi di Yogyakarta. Setelah menyelesaikan studinya di
sekolah tersebut, Sudirohusodo memutuskan untuk masuk di Sekolah Dokter Jawa atau yang juga
dikenal dengan sebutan STOVIA di Jakarta.

Selama hidupnya, Sudirohusodo yang diketahui merupakan keturunan Bugis-Makassar ini


sangat senang bergaul dengan rakyat biasa. Sehinggga tak heran bila dia disukai banyak orang. Dari
pergaulannya inilah, Sudirohusodo akhirnya sedikit banyak mengerti penderitaan rakyat akibat
penjajahan Belanda.

Menurutnya, salah satu cara untuk membebaskan diri dari penjajahan, rakyat harus cerdas.
Untuk itu, rakyat harus diberi kesempatan mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah. Sebagai salah
satu cara yang bisa dilakukannya untuk sedikit membantu meringankan penderitaan adalah dengan
memanfaatkan profesinya sebagai dokter, selama mengobati rakyat, Sudirohusodo sama sekali tidak
memungut bayaran.

Selain sering bergaul dengan rakyat, dokter yang terkenal pula pandai menabuh gamelan
dan mencintai seni suara, ini juga sering mengunjungi tokoh-tokoh masyarakat di beberapa kota di
Jawa. Para tokoh itu kemudian diajaknya untuk menyisihkan sedikit uang mereka yang nantinya
digunakan untuk menolong pemuda-pemuda yang cerdas, tetapi tidak mampu melanjutkan
sekolahnya. Namun sayangnya, ajakan Sudirohusodo ini kurang mendapat sambutan.

Perjuangan Sudirohusodo tidak sampai disitu saja. Di Jakarta, Sudirohusodo mencoba


mengunjungi para pelajar STOVIA dan menjelaskan detail gagasannya. Saat itu, Sudirohusodo
menganjurkan agar para pelajar itu mendirikan organisasi yang bertujuan memajukan pendidikan
dan meninggikan martabat bangsa. Ternyata gagasan Sudirohusodo ini mendapat sambutan baik
dari para pelajar STOVIA itu. Mereka juga sependapat dan menyadari bagaimana buruknya nasib
rakyat Indonesia pada waktu itu.

Pada tanggal 20 Mei 1908, Sutomo dan kawan-kawannya mendirikan sebuah organisasi yang
diberi nama Budi Utomo. Inilah organisasi modern pertama yang lahir di Indonesia. Karena itu,
tanggal lahir Budi Utomo, 20 Mei, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Wahidin
Sudirohusodo sendiri wafat pada tanggal 26 Mei 1917. Jasadnya kemudian dimakamkan di desa
Mlati, Yogyakarta.
Cerita Sejarah Menurut Tempat Sejarah

Menara Kudus

Masjid Menara Kudus adalah salah satu masjid yang berperan dalam sejarah perkembangan
Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Masjid yang berada di Kudus, Jawa Tengah, ini memiliki
arsitektur unik, yakni perpaduan Hindu-Jawa dengan Islam. Masjid bersejarah yang juga disebut
dengan Masjid Al Aqsha dan Masjid Al Manar ini sudah eksis ada sejak tahun 1549. Letaknya
berlokasi di Kecamatan Kauman, Kota Kudus, Jawa Tengah. Pendiri Masjid Kudus adalah Sunan
Kudus atau Syekh Ja'far Shodiq. Disebut Masjid Menara Kudus karena masjid ini sepaket dengan
menara unik yang menjadi ciri khasnya. Tri Maya Yulianingsih dalam buku Jelajah Wisata Nusantara
(2010), menjelaskan bahwa Menara Kudus merupakan hasil akulturasi budaya Hindu-Jawa dengan
Islam.

Sejarah & Pendiri Masjid Menara Kudus

Sama seperti masjidnya, Menara Kudus juga didirikan oleh Sunan Kudus sebagai simbol
dalam candrasengkala "gapuro rusak ewahing jagad". Sunan Kudus sendiri adalah salah satu dari
Walisongo atau para ulama yang mempelopori dakwah Islam di Jawa. Sunan Kudus pernah menjadi
senopati di Kesultanan Demak, kerajaan bercorak Islam pertama di Jawa yang sekaligus
meruntuhkan Kerajaan Majapahit. Selain itu, Sunan Kudus juga dikenal sebagai ahli hukum Islam.
Seperti para Wali lainnya, Sunan Kudus juga punya strategi untuk menebarkan syiar Islam di Jawa
dengan cara-cara yang bisa diterima oleh masyarakat lokal. Pembangunan Masjid Menara Kudus
menjadi salah satu contohnya. Sunan Kudus mendirikan Masjid Menara Kudus dengan arsitektur
perpaduan antara budaya Hindu atau Jawa dengan Islam yang datang dari arab.

Mengutip laman Kabupaten Kudus, saat itu dilakukan akulturasi agar masyarakat tidak
merasa asing dan terkejut dengan bangunan masjid. Hasilnya, penduduk tidak menolak kehadiran
masjid sehingga dakwah Islam lebih mudah dilakukan. Antara masjid dan Menara Kudus tidak dapat
dipisahkan. Keduanya merupakan satu kesatuan yang berhubungan langsung dengan sejarah Kota
Kudus dan masih difungsikan hingga saat ini.

Bangunan & Arsitektur Masjid Menara Kudus

Masjid Menara Kudus didirikan di tanah seluas sekitar 5.000 meter persegi. Masjid dikelilingi
tembok pembatas yang memisahkannya dengan perkampungan setempat. Terdapat "Gapura
Bentar" sebagai jalan utama di utara dan selatan masjid. Gerbang utara menjadi jalan masuk untuk
jamaah langsung ke masjid. Gerbang selatan menjadi jalan menuju kompleks pemakanan. Penamaan
"Gapura Bentar" diambil dari istilah Hindu yang bermakna "gerbang". Masuk ke halaman masjid
akan disuguhi pemandangan menara. Menara Kudus dibuat dari bata merah dengan luas 100 meter
pesegi dan tinggi 18 meter. Ukiran bermotif Hindu dapat ditemukan pada bagian bawah menara

Menurut Andanti Puspita Sari Pradisa dalam "Perpaduan Budaya Islam dan Hindu dalam
Masjid Menara Kudus" (2017) yang disampaikan pada Seminar Heritage Ikatan Peneliti Lingkungan
Binaan Indonesia (IPLBI), bangunan Menara Kudud memiliki bagian kepala, badan, dan kaki. Bagian
kepala atau di bawah atap terdapat bedug yang digungakan sebagai penanda waktu salat dengan
menghadap utara-selatan. Sementara bagian badan memiliki ruang kecil atau relung yang
dikosongkan. Jika dalam bangunan Pura, relung ini biasa diisi patung. Lalu, bagian kaki terdapat
ornamen-ornamen motif Hindu. Arah bangunan Masjid Menara Kudus seperti masjid-masjid lainnya
di Indonesia yang mengarah ke arah Kakbah sebagai kiblat. Atap masjid turut mengadopsi arsitektur
Hindu saat itu yang dibuat tumpang dengan jumlah ganjil. Meski Masjid Menara Kudus dibangun
dengan mengadaptasi gaya bangunan Hindu, namun tetap memiliki pedoman-pedoman ajaran
Islam. Akulturasi ini membuat dakwah Islam lebih diterima masyarakat dengan cara yang elegan.
Cerita Sejarah Menurut Peristiwa Bersejarah

Bandung Lautan Api

Kejadian peristiwa pertempuran Bandung Lautan Api diawali dengan datangnya pasukan
sekutu di bawah Brigade MacDonald pada 12 Oktober 1945. Sejak awal, hubungan antara
pemerintah RI setempat memang sudah memanas. Sekutu meminta seluruh senjata api yang dimiliki
penduduk, kecuali milik Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Polisi diserahkan kepada Sekutu.
Kondisi Bandung semakin memanas saat orang-orang Belanda yang baru saja bebas dari kamp
tahanan mulai melakukan tindakan yang mengacaukan keamanan . Hal tersebut membuat
bentrokan antara tentara Sekutu dengan TKR tidak dapat dihindari.

Kemudian pada malam tanggal 24 November 1945, TKR dan badan–badan perjuangan
lainnya melancarkan serangan terhadap markas–markas Sekutu di Bandung bagian utara, termasuk
Hotel Homan dan Hotel Preanger yang menjadi markas besar Sekutu. Setelah tiga hari terjadinya
penyerangan markas Sekutu, MacDonald menyampaikan ultimatumnya kepada Gubernur Jawa
Barat agar segera mengosongkan wilayah Bandung Utara oleh seluruh warga Indonesia termasuk
pasukan bersenjata. Ultimatum itu harus dilaksanakan selambat–lambatnya pukul 12.00 tanggal 29
November 1945. Karena adanya ultimatum tersebut, Sekutu membagi kota Bandung Utara menjadi
wilayah kekuasaan mereka sedangkan Bandung Selatan kekuasaan pemerintah Republik Indonesia.

Selanjutnya ultimatum tersebut dijawab pasukan Indonesia dengan mendirikan pos–pos


gerilya di berbagai tempat. Kemudian bulan Desember terjadi beberapa pertempuran di berbagai
tempat antara lain, Cihaurgeulis, Sukajadi, Pasir Kaliki dan Viaduct. Pihak sekutu berusaha merebut
Balai Besar Kereta Api namun usaha tersebut gagal. Sekutu juga berusaha untuk membebaskan
interniran Belanda di Ciater, Sekutu terlibat dalam pertempuran dengan pasukan Indonesia di
wilayah Lengkong Besar.

Setelah itu pada saat memasuki awal tahun 1946, pertempuran semakin berkobar secara
sporadis.Pertempuran berlangsung, banyak serdadu India yang merupakan bagian dari pasukan
Sekutu melakukan desersi dan bergabung dengan pasukan Indonesia. Satu diantara serdadu India
yang membelot di antaranya adalah Kapten Mirza dan pasukannya saat terjadi pertempuran di jalan
Fokker (sekarang jalan Garuda) pada pertengahan Maret 1946. Tidak lama setelah itu, pihak Sekutu
menghubungi Panglima Divisi III Jenderal A.H Nasution meminta agar pasukan India tersebut
diserahkan kembali kepada Sekutu. Namun Nasution menolaknya, bukan hanya untuk
mengembalikan pasukan India semata, tetapi juga untuk mengadakan pertemuan dengan pihak
Sekutu. Serangan sporadis dari pasukan Indonesia dan kegagalan mencari penyelesaian di tingkat
daerah menyebabkan posisi Sekutu semakin terdesak. Sekutu pun akhirnya melakukan pendekatan
terhadap pihak petinggi pemerintahan Republik Indonesia.
Tepat pada tanggal 23 Maret 1946, mereka menyampaikan ultimatum kepada Perdana
Menteri Syahrir agar selambat – lambatnya pada pukul 24.00 tanggal 24 Maret 1946 pasukan
Indonesia sudah meninggalkan Bandung Selatan sejauh 10 sampai 11 kilometer dari pusat kota.
Syahrir pun menanggapi ultimatum tersebut, dengan menugasi Syafruddin Prawiranegara dan
Jenderal Mayor Didi Kartasasmita hadir ke Bandung. Jenderal Mayor Nasution maupun aparat
pemerintah menolak Ultimatum karena dianggap sangat mustahil jika harus memindahkan ribuan
pasukan dalam waktu singkat. Mereka pun akhirnya menemui Mayor Jenderal Hawthorn meminta
agar batas Ultimatum diperpanjang. Pihak Sekutu terus menyebarkan pamflet berisi tentang berita
Ultimatum tersebut. Tiba pada saat sore harinya tanggal 23 Maret 1946, Nasution ikut ke Jakarta
bersama Syafruddin dan Didi Kartasasmita untuk menemui Perdana Menteri Syahrir. Akhirnya
mereka membuat alasan untuk menyelamatkan Tentara Republik Indonesia (TRI) dari kehancuran.
Pihak Syahrir mendesak Nasution agar memenuhi Ultimatum tersebut. Syahrir pun berpendapat
bahwa TRI belum mampu menandingi kekuatan pasukan Sekutu. Keesokannya, Nasution kembali ke
Bandung untuk sekali lagi dan melakukan negosiasi terkait penundaan pelaksanaan Ultimatum.
Tetapi, tentara Sekutu tetap pada pendiriannya menolak penundaan Ultimatum. Namun sebaliknya,
Nasution juga menolak tawaran Sekutu yang hendak meminjamkan seratus truk untuk membawa
pasukan Indonesia ke luar kota.

Pertemuan yang diadakan Nasution dengan para Komandan TRI para pemimpin laskar dan
aparat pemerintahan akhirnya mencapai kesepakatan untuk membumihanguskan Bandung sebelum
kota itu ditinggalkan. Mereka berencana untuk membumihanguskan wilayah itu pada tanggal 24
Maret pukul 00.00. Tetapi ternyata peristiwa tersebut dilaksanakan lebih awal yakni pukul 21.00.
Gedung pertama yang diledakkan ialah Bank Rakyat. Kemudian disusul dengan pembakaran tempat
seperti Banceuy, Cicadas, Braga dan Tegalega. Dan anggota TRI membakar sendiri asrama – asrama
mereka.

Pada malam tanggal 24 Maret 1946 bukan hanya pasukan bersenjata yang meninggalkan
peristiwa bersejarah di Kota Bandung tersebut disebut sebagai peristiwa Bandung Lautan Ap

Anda mungkin juga menyukai