1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Zainal Munasichin, Resolusi Jihad NU Sejarah Yang Dilupakan (Jakarta: Dewan
Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa, 2001), 12
2
Ahmad Mansur Suryanegara, API Sejarah 2 (Bandung: PT Grafindo Media Pratama,
2010), 201.
2
bangsa Indonesia melawan kolonialisme, peran ulama dalam menegakkan
dan mempertahankan proklamasi berdampak para kiai dan santri dari Jawa
Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat, membanjiri kota Surabaya, berdasar
amanat berupa pokok-pokok kaidah tentang kewajiban umat Islam dalam
jihad mempertahankan tanah air dan bangsanya yang disampaikan Rais
Akbar Hasyim Asyari, dalam rapat PBNU yang dipimpin ketua besar KH
Abdul Wahab Hasbullah, menetapkan satu keputusan dalam bentuk
resolusi yang diberi nama “Resolusi Jihad Fi Sabilillah”.3
Resolusi jihad yang dikeluarkan oleh para ulama merupakan ruh
dari peristiwa 10 November 1945. Fatwa itu dikeluarkan 20 hari sebelum
meletusnya peristiwa yang diperingati sebagai hari pahlawan. Dalam
membahas resolusi untuk mempertahankan kemerdekaan. Para ulama se-
Jawa dan Madura berkumpul di salah satu bangunan yang saat ini
berlokasi di Jalan Bubutan VI/2 Surabaya. Ditempat tersebutlah para
ulama mencetuskan Resolusi Jihad fii Sabilillah sebagai salah satu cara
mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ancaman sekutu.
Istilah resolusi jihad itu memiliki kaitan erat dengan Hari
Pahlawan, karena resolusi jihad yang dicanangkan para ulama pada 22
Oktober 1945 di gedung tua itu pula yang menjadi pemicu Arek-Arek
Surabaya untuk mengganyang penjajah dalam pertempuran 10 November
1945 dan naskah Resolusi Jihad itu dijadikan sebagai panglima perang.
Surabaya sebagai kota Pahlawan didasarkan pada SK penetapan
Pemerintah No. 9/UM/1946. Identitas ini dilandasi oleh rangkaian
peristiwa 10 November 1945 yang menjadi peristiwa penting dan paling
menentukan kelangsungan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam
mempertahankan Kemerdekaan.4 Sekalipun kejadian tersebut di Surabaya,
pada hakekatnya peristiwa kepahlawanan ini menjadi tonggak pertama
3
Suryanegara, Api Sejarah 2, 209.
4
Septina Alrianingrum, “Cagar Budaya Surabaya Kota Pahlawan Sebagai Sumber Belajar
(Study Kasus Mahasiswa Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial di Universitas Negeri Surabaya)”,
(Tesis, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2010), xvii
3
perjuangan semesta kesatuan bangsa Indonesia melawan Kolonialisme
Imperialisme barat.
B. Rumusan Masalah
1. Sejarah kebangsanan Indonesia dan peran ulama
2. Karakteristik KH. Hasyim Asy’ari
3. Karakteristik KH. Abdul Wahab Chasbullah
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui dan memahami sejarah kebangsanan indonesia dan peran
ulama
2. Mengetahui dan memahami karakteristik ulama ( KH. Hasyim Asy’ari
dan KH. Abdul Wahab Hasbullah )
4
BAB II
PEMBAHASAN
6
Ahmad Mansur Suryanegara, A.P.E Korver, Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil, (Jakarta: Grafiti,
1985), h. 353
6
PBNU yang dipimpin oleh Ketua Besar KH. Abdul Wahab Hasbullah
terdorong untuk mengeluarkan sebuah fatwa terkenal dengan nama "Resolusi
Jihad " tepatnya pada hari senin pahing tanggal 22 Oktober 1945 M
bertepatan dengan tanggal 15 Dzulqaidah 1364 H. Sebuah kebulatan tekad
yang isinya mewajibkan kepada seluruh umat Islam baik pria maupun wanita
mengangkat senjata melawan kolonialisme dan imperialisme yang meng-
ancam keselamatan negara Republik Indonesia.
Hadratus Syekh K.H. Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahab
Hasbullah sebagai pemimpin jam’iyah Nahdlatul Ulama sekaligus tokoh
panutan masyarakat di zamannya sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
kebangsaan dan nasionalisme yang berdasarkan atas syari’at Islam ‘alā Ahl
al-Sunnah wal al-Jamā’ah, sikap inilah yang menjadikan jam’iyah Nahdlatul
Ulama dan seluruh warganya memiliki keterlibatan yang besar untuk
menjalankan jihad mengusir penjajah, dan pada gilirannya bisa mendorong
kehendak kuat bagi negara dan NU untuk menuntut peranannya yang lebih
besar dalam perjuangan selanjutnya (mengisi kemerdekaan) yang tentunya
berlandaskan pada semangat nilai-nilai Resolusi Jihad dengan bentuk
aktualisasi yang lain.7
Peranan Nahdlatul Ulama pada masa penjajahan Belanda dapat
dilihat pada keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-2 di Banjarmasin pada
tahun 1936, yang memutuskan bahwa kedudukan Hindia Belanda (Indonesia)
sebagai Dār al-Salām yang menegaskan keterikatan Nahdlatul Ulama dengan
nusa-bangsa. Meskipun disadari peraturan yang berlaku tidak menggunakan
Islam sebagai dasarnya, akan tetapi Nahdlatul Ulama tidak mempersoalkan,
karena yang terpenting adalah umat Islam dapat melaksanakan syari’at
agamanya dengan bebas dan aman. Pandangan Nahdlatul Ulama bahwa
perjuangan jihad ulama dalam mengusir penjajah Belanda sebenarnya adalah
tuntunan ajaran agama Islam yang harus dilaksanakan setiap umatnya
sebagai bentuk manivestasi rasa syukur terhadap Allah yang Mahakuasa.
Jihad yang dilakukan oleh ulama dan santrinya ialah jihad membela tanah air,
7
Suryanegara, Api Sejarah 2, 209.
7
sebagai bentuk cinta tanah air (ḥubb al-waṭan) yang dimaknai sebagai jihād
fī sabīlillāh. Karena upaya mempertahankan dan menegakkan negara
Republik Indonesia dalam pandangan hukum Islam merupakan bagian dari
kewajiban agama yang harus dijalankan umat Islam.8
Menurut KH. Hasyim Asy’ari, jihad merupakan satu amalan besar
dan penting dalam Islam dengan keutamaannya yang sangat banyak sekali,
tentunya menjadi kewajiban seorang muslim untuk melaksanakanya bila
suatu saat diserang oleh orang kafir. Oleh karena itu KH. Hasyim Asy’ari
dalam konteks melawan penjajah Belanda memberikan fatwa jihad
mempertahankan tanah air Indonesia hukumnya wajib atas seluruh orang
yang berada di wilayah negara Indonesia yang diserang musuh penjajah kafir
Belanda, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 190 yang
artinya “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu,
(tetapi) janganlah kamu melampaui batas.“ (QS. al-Baqarah [2]: 190)”
B. Karakteristik Ulama
16
Ahmad Khoirul Anam, dkk. Ensiklopedia Nahdlatul Ulama: Sejarah, Tokoh, dan
Khazanah Pesantren Jilid 2, (Jakarta: Pustaka Kompas, 2014). 59
17
Lathifatul Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama..., 90.
11
yang lebih mementingkan progresivitas berpikir dan bertindak, maka jelas pula
kelompok diskusi ini juga menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang
gandrung pada pemikiran keilmuan dan dunia politik. Kemudian pada tahun
1916 mendirikan Organisasi Pemuda Islam yang diberi nama Nahdlatul
Wathan, kemudian pada 1926 menjadi Ketua Tim Komite Hijaz.
KH Abdul Wahab Hasbullah adalah seorang ulama yang berpandangan
modern, da’wahnya dimulai dengan mendirikan media massa atau surat kabar,
yaitu harian umum “Soeara Nahdlatul Oelama” atau Soeara NO dan Berita
Nahdlatul Ulama. Bersama dengan KH Hasyim Asy’ari menghimpun tokoh
pesantren dan keduanya mendirikan Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama)
pada tahun 1926. Selain itu KH. Abdul Wahab Hasbulloh juga seorang pencetus
dasar-dasar kepemimpinan dalam organisasi NU dengan adanya dua badan,
Syuriyah dan Tanfidziyah sebagai usaha pemersatu kalangan Tua dengan Muda.
Kemudian pada masa penjajahan, KH. Abdul Wahab Hasbullah menjadi
Panglima Laskar Mujahidin (Hizbullah) ketika melawan penjajah Jepang.
BAB III
PENUTUP
12
Simpulan
DAFTAR PUSTAKA
14
Zainal Munasichin, Resolusi Jihad NU Sejarah Yang Dilupakan (Jakarta: Dewan
Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa, 2001)
Ahmad Mansur Suryanegara, A.P.E Korver, Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil,
(Jakarta: Grafiti, 1985)
Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama dan santrinya & Resolusi Jihad; Garda
Depan Menegakkan Indonesia 1945-1949 (Jakarta: Pustaka Compass
Tangerang, 1998)
Robin Bush dan Greg Fealy, “The Political Decline of Traditional Ulama in
Indonesia”, Asian Journal of Social Science, Vol. 42, No. 5, 2014, 94.
Mohammad Rizal Fadli dan Hidayat, KH. Hasyim Asy’ari dan Resolusi Jihad
dalam Usaha Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia Tahun 1945,
(Lampung: Laduny Alifatama, 2018).
15
Ahmad Khoirul Anam, dkk. Ensiklopedia Nahdlatul Ulama: Sejarah, Tokoh,
dan Khazanah Pesantren Jilid 2, (Jakarta: Pustaka Kompas, 2014).
16