Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

SEJARAH KEBANGSAAN, PERAN ULAMA, DAN


KARAKTERISTIKNYA

Diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah :


Pendidikan Karakter/Nilai Aswaja
Dosen Pengampu : Dr. H. Iman Fadhilah, M.S.I

Disusun Oleh Kelompok 2


1. Nasoha : 21200011008
2. Muhtarom : 21200011007
3. Saeful Bahri : 21200011005
4. Anif Khanafi : 21200011013
5. Dzulial Albab A : 21200011025

PASCASARJANA FAKULTAS AGAMA ISLAM


PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
TAHUN 2022

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bangsa Indonesia setelah berjuang ratusan tahun melawan


kolonialisme, akhirnya menuai hasil yang maksimal, Indonesia dengan
tegas menyatakan kemerdekaannya setelah Soekarno-Hatta membacakan
naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Namun,
kemerdekaan itu tidak berlangsung lama. Pada tanggal 15 September
1945, tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied
Forces Netherland East Indies) untuk melucuti tentara Jepang yang sudah
kalah perang. Tentara Inggris membawa misi titipan untuk
mengembalikan Indonesia kepada pemerintahan Belanda sebagai jajahan
Hindia Belanda.1
Peran ulama dan santri dalam mempertahankan kemerdekaan
Indonesia, merupakan sejarah panjang yang tidak bisa dilupakan begitu
saja. Berangkat dari pengalaman kelembagaan pesantren yang lama
dipimpinnya, ulama hanya memiliki makna lawannya adalah imperealis
Barat, yakni kerajaan Protestan Belanda dan pemerintahan kolonial
Belanda. Oleh karena itu, fokus perhatiannya dalam mempertahankan
Proklamasi 17 Agustus 1945 hanya dengan angkat senjata dalam
organisasi kesenjataan, baik dalam Laskar Hizbullah, Sabilillah bersama
BKR, TKR, TRI, TNI, selama perang kemerdekaan pada tahun 1365-1369
H/ 1945-1950 M, melawan Tentara Sekutu Inggris dan NICA.2
Tepatnya tanggal 22 Oktober 1945, Senin Pahing, 15 Dzulqaidah
1364. Terjadi peristiwa yang merupakan rangkaian sejarah perjuangan

1
Zainal Munasichin, Resolusi Jihad NU Sejarah Yang Dilupakan (Jakarta: Dewan
Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa, 2001), 12
2
Ahmad Mansur Suryanegara, API Sejarah 2 (Bandung: PT Grafindo Media Pratama,
2010), 201.
2
bangsa Indonesia melawan kolonialisme, peran ulama dalam menegakkan
dan mempertahankan proklamasi berdampak para kiai dan santri dari Jawa
Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat, membanjiri kota Surabaya, berdasar
amanat berupa pokok-pokok kaidah tentang kewajiban umat Islam dalam
jihad mempertahankan tanah air dan bangsanya yang disampaikan Rais
Akbar Hasyim Asyari, dalam rapat PBNU yang dipimpin ketua besar KH
Abdul Wahab Hasbullah, menetapkan satu keputusan dalam bentuk
resolusi yang diberi nama “Resolusi Jihad Fi Sabilillah”.3
Resolusi jihad yang dikeluarkan oleh para ulama merupakan ruh
dari peristiwa 10 November 1945. Fatwa itu dikeluarkan 20 hari sebelum
meletusnya peristiwa yang diperingati sebagai hari pahlawan. Dalam
membahas resolusi untuk mempertahankan kemerdekaan. Para ulama se-
Jawa dan Madura berkumpul di salah satu bangunan yang saat ini
berlokasi di Jalan Bubutan VI/2 Surabaya. Ditempat tersebutlah para
ulama mencetuskan Resolusi Jihad fii Sabilillah sebagai salah satu cara
mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ancaman sekutu.
Istilah resolusi jihad itu memiliki kaitan erat dengan Hari
Pahlawan, karena resolusi jihad yang dicanangkan para ulama pada 22
Oktober 1945 di gedung tua itu pula yang menjadi pemicu Arek-Arek
Surabaya untuk mengganyang penjajah dalam pertempuran 10 November
1945 dan naskah Resolusi Jihad itu dijadikan sebagai panglima perang.
Surabaya sebagai kota Pahlawan didasarkan pada SK penetapan
Pemerintah No. 9/UM/1946. Identitas ini dilandasi oleh rangkaian
peristiwa 10 November 1945 yang menjadi peristiwa penting dan paling
menentukan kelangsungan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam
mempertahankan Kemerdekaan.4 Sekalipun kejadian tersebut di Surabaya,
pada hakekatnya peristiwa kepahlawanan ini menjadi tonggak pertama

3
Suryanegara, Api Sejarah 2, 209.
4
Septina Alrianingrum, “Cagar Budaya Surabaya Kota Pahlawan Sebagai Sumber Belajar
(Study Kasus Mahasiswa Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial di Universitas Negeri Surabaya)”,
(Tesis, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2010), xvii
3
perjuangan semesta kesatuan bangsa Indonesia melawan Kolonialisme
Imperialisme barat.

B. Rumusan Masalah
1. Sejarah kebangsanan Indonesia dan peran ulama
2. Karakteristik KH. Hasyim Asy’ari
3. Karakteristik KH. Abdul Wahab Chasbullah

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui dan memahami sejarah kebangsanan indonesia dan peran
ulama
2. Mengetahui dan memahami karakteristik ulama ( KH. Hasyim Asy’ari
dan KH. Abdul Wahab Hasbullah )

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Kebangsaan Indonesia

Indonesia merupakan negara yang menganut paham kebangsaan


(nation state), bukan negara yang menganut sistem monarki juga bukan
negara yang menganut sistem teokratis yang dilandaskan oleh ideologi
agama tertentu. Banyak agama yang berkembang di Indonesia. Di antara
yang telah diakui yaitu, Islam, Kristen, Budha, Hindu. Islam merupakan basis
agama terbesar di Indonesia, walaupun memiliki penganut yang terbesar
Islam sangat terbuka dan toleran terhadap agama yang lain hal ini terbukti
dari hubungan antarumat beragama yang selama ini relatif harmonis.5
Jauh sebelum terjadinya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, para
tokoh Nahdhatul Ulama mengambil peran penting dalam upayanya
menggapai kemerdekaan Indonesia dari tangan para kolonial. Para tokoh ini
memberikan tauladan dalam bersikap kebangsaan. Melalui pergerakan fisik
mengangkat senjata melawan penjajah maupun di dalam pendidikan
pesantrennya mereka menanamkan sikap nasionalisme dengan mengambil
slogan hubbul wathan minal iman. Pada masa kolonial, pesantren sering
dijadikan sebagai kantong-kantong pergerakan dalam memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia.
Umat Islam di bawah komando para ulama telah memberikan warna
dan sangat yang terang dalam sejarah perjuangan pergerakan kemerdekaan
negara Indonesia, utamanya dalam perlawanan menetang penjajahan
Belanda, merebut dan mempertahankan kemerdekaan pada masa revolusi
5
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitstional di Indonesia (Jakarta:
Pustaka Utama Grafuti, 1995), 49.
5
fisik saat seluruh bangsa mempertaruhkan hidup dan mati untuk tetap
tegaknya kemerdekaan Indonesia. Begitu mendalamnya torehan sejarah yang
dipahat umat Islam sepanjang masa Imperialisme di bumi Nusantara ini,
sehingga kemanapun kita mencoba melacak jejak perjuangan dimasa
penjajahan maka senantiasa pula akan kita temukan pijaran api semangat
perjuangan Islam dimana-mana.
Mempelajari tentang sejarah perjuangan perlawanan umat Islam
Indoneisa melawan penjajah Belanda, maka dalam perjalanannya akan kita
temukan periode dimana bermunculan berbagai macam lembaga atau
organisasi sosial dan keagamaan yang berjuang mewadahi kekuatan ummat
sebagai salah satu potensi yang menopang untuk tegaknya kedaulatan negara.
Perjuangan umat Islam dan organisasi yang mewadahinya dapat dilihat mulai
dari lahirnya SDI (Serikat Dagang Indonesia) tahun 1911 M yang kemudian
pada tanggal 10 September 1912 menjadi wadah Serikat Islam (SI), 6
kemudian muncul organisasi Muhamadiyyah tahun 1912, kemudian disusul
NU pada tahun 1926 di bawah pimpinan oleh KH. Hasyim Asy’ari, dimana
NU tampil sebagai pionir dan perintis kemerdekaan semenjak masa jauh
sebelum Indonesia merdeka dan merekapun ikut menjadi bagian pendiri dari
negara Republik Indonesia ini.
Pada masa penjajahan Jepang menguasai Indonesia, arena
perjuangan NU justru semakin melebarkan sayapnya. Sikap anti penjajah
yang memang sudah pembawaannya, menyebabkan antisipasi terhadap
perkembangan keadaan yang menyangkut keselamatan negara semakin
ditingkatkan, lebih-lebih lagi ketika kehadiran tentara sekutu dan NICA
(Belanda) mendarat di Indonesia dan dimana-mana melakukan teror untuk
merobohkan negara Republik Indonesia yang masih sangat mudah pada
waktu itu. Kondisi yang sangat genting seperti ini menjadikan NU di bawah
kepemimpinan Rais Akbar KH. Hasyim Asy’ari (yang merasa mempunyai
andil dalam proses-proses perumusan kemerdekaan Indonesia) dalam rapat

6
Ahmad Mansur Suryanegara, A.P.E Korver, Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil, (Jakarta: Grafiti,
1985), h. 353
6
PBNU yang dipimpin oleh Ketua Besar KH. Abdul Wahab Hasbullah
terdorong untuk mengeluarkan sebuah fatwa terkenal dengan nama "Resolusi
Jihad " tepatnya pada hari senin pahing tanggal 22 Oktober 1945 M
bertepatan dengan tanggal 15 Dzulqaidah 1364 H. Sebuah kebulatan tekad
yang isinya mewajibkan kepada seluruh umat Islam baik pria maupun wanita
mengangkat senjata melawan kolonialisme dan imperialisme yang meng-
ancam keselamatan negara Republik Indonesia.
Hadratus Syekh K.H. Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahab
Hasbullah sebagai pemimpin jam’iyah Nahdlatul Ulama sekaligus tokoh
panutan masyarakat di zamannya sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
kebangsaan dan nasionalisme yang berdasarkan atas syari’at Islam ‘alā Ahl
al-Sunnah wal al-Jamā’ah, sikap inilah yang menjadikan jam’iyah Nahdlatul
Ulama dan seluruh warganya memiliki keterlibatan yang besar untuk
menjalankan jihad mengusir penjajah, dan pada gilirannya bisa mendorong
kehendak kuat bagi negara dan NU untuk menuntut peranannya yang lebih
besar dalam perjuangan selanjutnya (mengisi kemerdekaan) yang tentunya
berlandaskan pada semangat nilai-nilai Resolusi Jihad dengan bentuk
aktualisasi yang lain.7
Peranan Nahdlatul Ulama pada masa penjajahan Belanda dapat
dilihat pada keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-2 di Banjarmasin pada
tahun 1936, yang memutuskan bahwa kedudukan Hindia Belanda (Indonesia)
sebagai Dār al-Salām yang menegaskan keterikatan Nahdlatul Ulama dengan
nusa-bangsa. Meskipun disadari peraturan yang berlaku tidak menggunakan
Islam sebagai dasarnya, akan tetapi Nahdlatul Ulama tidak mempersoalkan,
karena yang terpenting adalah umat Islam dapat melaksanakan syari’at
agamanya dengan bebas dan aman. Pandangan Nahdlatul Ulama bahwa
perjuangan jihad ulama dalam mengusir penjajah Belanda sebenarnya adalah
tuntunan ajaran agama Islam yang harus dilaksanakan setiap umatnya
sebagai bentuk manivestasi rasa syukur terhadap Allah yang Mahakuasa.
Jihad yang dilakukan oleh ulama dan santrinya ialah jihad membela tanah air,

7
Suryanegara, Api Sejarah 2, 209.
7
sebagai bentuk cinta tanah air (ḥubb al-waṭan) yang dimaknai sebagai jihād
fī sabīlillāh. Karena upaya mempertahankan dan menegakkan negara
Republik Indonesia dalam pandangan hukum Islam merupakan bagian dari
kewajiban agama yang harus dijalankan umat Islam.8
Menurut KH. Hasyim Asy’ari, jihad merupakan satu amalan besar
dan penting dalam Islam dengan keutamaannya yang sangat banyak sekali,
tentunya menjadi kewajiban seorang muslim untuk melaksanakanya bila
suatu saat diserang oleh orang kafir. Oleh karena itu KH. Hasyim Asy’ari
dalam konteks melawan penjajah Belanda memberikan fatwa jihad
mempertahankan tanah air Indonesia hukumnya wajib atas seluruh orang
yang berada di wilayah negara Indonesia yang diserang musuh penjajah kafir
Belanda, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 190 yang
artinya “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu,
(tetapi) janganlah kamu melampaui batas.“ (QS. al-Baqarah [2]: 190)”

B. Karakteristik Ulama

1. KH. Hasyim Asy’ari


KH. Hasyim Asy’ari mempunyai nama asli Muhammad Hasyim
Asy’ari, lahir pada hari Selasa Kliwon, 24 Dzulqa’dah 1287 H,
bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871 M di Desa Gedang, satu
kilometer sebelah utara Kota Jombang, Jawa Timur. Beliau wafat pada
tanggal 7 Ramadhan 1366 H / 25 Juli 1947 di kediamannya yaitu
Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang dan dimakamkan di dalam
pondok yang telah dibangunnya. Ayahnya bernama Kyai Asy’ari berasal
dari Demak, Jawa Tengah. Ibunya bernama Halimah, puteri Kyai
Utsman, pendiri Pesantren Gedang. Gedang sendiri merupakan salah
satu dusun yang menjadi wilayah administratif Desa Tambak rejo
Kecamatan Jombang. Sementara kakek ibunya yang bernama Kyai Sihah
(w. 1860 M) dikenal luas sebagai pendiri dan pengasuh Pesantren
8
Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama dan santrinya & Resolusi Jihad; Garda Depan Menegakkan
Indonesia 1945-1949 (Jakarta: Pustaka Compass Tangerang, 1998), h. 208
8
Tambak Beras, Jombang. 9
Selain dikenal sebagai keturunan kiai, kiai Hasyim juga dikenal
sebagai keturunan bangsawan, yaitu dari Raja Muslim Jawa. Sehingga
silsilah Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari adalah Muhammad
Hasyim bin Asy’ari bin Abdurrahman bin Abdul Halim yang
mendapatkan gelar Pangeran Benowo bin Abdurrahman yang
mendapatkan gelar Jaka Tingkir Sulthan Hadi Wijaya bin Abdurrahman
bin Abdul Aziz bin Abdul Fattah bin Maulana Ishaq bapaknya Raden
Ainul Yaqin yang terkenal dengan nama Sunan Giri.10
KH. Hasyim Asy’ari memiliki karakteristik yang sangat kuat
dalam belajar serta haus dengan keilmuan. Hal ini dapat dilihat dari cara
beliau mencari ilmu. Pendidikan awalnya dimulai dengan belajar al-
Qur’an dan berbagai kitab agama yang dididik secara langsung oleh
ayahnya. Setelah usianya menginjak dewasa, kiai Hasyim berkelana
untuk melanjutkan pendidikannya ke sejumlah Pondok Pesantren yang
terkenal di pulau Jawa dan Madura, yakni di Pondok Pesantren
Wonokoyo (Probolinggo), Pondok Pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo),
Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Kademangan (Bangkalan,
Madura), selain itu beliau pernah juga berguru kepada kiai Saleh Darat
bin Umar (Semarang).11
Setelah mendapat bekal pendidikan dari berbagai pesantren, kiai
Hasyim melanjutkan pendidikannya ke Makkah al-Mukarramah dan
beberapa tempat terkenal di tanah haram tersebut selama beberapa tahun.
Kiai Hasyim belajar kepada ulama-ulama besar seperti Syekh Muhammad
Nawawi al-Bantani, Syekh Khotib al-Minangkabawi, Syekh Syu’aib bin
Abdurrahman yang memiliki kemampuan dalam berbagai cabang ilmu
pengetahuan, kemudian belajar kitab-kitab hadits kepada Sayyid Abbas al-
Maliki al-Hasani. Selain itu juga belajar ilmu-ilmu Syari’at, sastra, dan gerakan-
9
Lathifatul Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH. Hasyim Asy’ari (Yogyakarta:
LkIS, 2000), hal.17.
10
Lathifatul Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama..., 15.
11
Khasanah dan Waskito, “Genealogi Pemikiran Pendidikan KH. Hasyim Asy‟ari”,
Analisa: Jurnal Studi Keislaman, 2019, 24.
9
gerakan modern kepada Syekh Muhammad Mahfudh bin Abdurrahman al-
Tarmasi yang merupakan ulama ahli hadis di Mekah.
Setelah kiai Hasyim menguasai berbagai ilmu, beliau kembali ke
Indonesia dan meneruskan kegiatan mengajar santri, mengarang kitab,
dan mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng Jombang pada tahun 26
Rabi‟ul Awwal 1317. Kemudian disusul dengan membangun Madrasah
Salafiyyah Syafi’iyyah, dan memimpin proses pengajarannya.12 Selain
itu, kiai Hasyim juga mendirikan organisasi yang dijadikan wadah untuk
diskusi dan membahas permasalahan sosial-keagamaan kaum Muslim.
Kemudian pada tanggal 31 Januari 1926, kiai Hasyim bersama dengan
muridnya KH. Wahab Hasbullah dan beberapa ulama lainnya
mendeklarasikan berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama (NU).13
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi sosial keagamaan,
didirikan untuk membela umat Islam tradisionalis supaya mereka tetap
berpegang pada al-Qur’an, hadits, menghindari kesesatan dan bid’ah,
serta antusias berjuang dalam menegakkan keagungan kalimat Allah. 14
Didirikannya organisasi NU juga ditujukan untuk melawan segala
bentuk penjajahan dan merebut kemerdekaan Indonesia dari penjajah,
sekaligus sebagai organisasi yang aktif berdakwah untuk menjaga
kesatuan bangsa Indonesia dalam wadah NKRI. Motif nasionalisme
timbul karena NU lahir dengan niat kuat untuk menyatukan para ulama
dan tokoh-tokoh agama dalam melawan penjajah. 15 Itulah sebabnya
organisasi yang didirikan kiai Hasyim dinamakan Nahdlatul Ulama
“Kebangkitan Para Ulama”, bukan dengan nama Nahdlatul Muslimin
ataupun Nahdlatul Ummah.16 Pondok Pesantren Tebuireng dan
organisasi Nahdlatul Ulama keduanya adalah peninggalan besar dari
12
Jamal Ma‟mur Asmani, Pemikiran Kiai Hasyim Asy’ari. , xii.
13
Robin Bush dan Greg Fealy, “The Political Decline of Traditional Ulama in Indonesia”,
Asian Journal of Social Science, Vol. 42, No. 5, 2014, 94.
14
Robin Bush dan Greg Fealy, “The Political Decline …., 94.
15
Mohammad Rizal Fadli dan Hidayat, KH. Hasyim Asy’ari dan Resolusi Jihad dalam
Usaha Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia Tahun 1945, (Lampung: Laduny Alifatama,
2018), 12.
10
beberapa karya terbaik kiai Hasyim.
Kiai Hasyim Asy’ari selain menjadi ulama yang karismatik, juga
merupakan guru bangsa. Potensi yang dimiliki kiai Hasyim dalam memimpin
umat Islam menjadi beliau memiliki peran penting dalam memajukan
masyaraktnya dan membangkitkan semangat perjuangan, baik dalam bidang
kemanusiaan, keagamaan ataupun kebangsaan. Hal ini terlihat dari banyaknya
santri yang ikut berjuang dalam rangka membebaskan bangsa Indonesia dari
penjajahan. 17

2. KH. Abdul Wahab Hasbullah


KH Abdul Wahab Hasbullah lahir di Jombang, Jawa Timur pada 31
Maret 1888. Ayahnya adalah KH Hasbulloh Said, Pengasuh Pesantren
Tambakberas Jombang Jawa Timur, sedangkan Ibundanya bernama Nyai
Latifah. dan mempunyai cicit bernama Rizky Fadlullah.
KH. Abdul Wahab Hasbullah juga seorang yang haus akan ilmu
pengetahuan terutama ilmu agama. Beliau belajar di Pesantren Langitan Tuban,
Pesantren Mojosari Nganjuk, Pesantren Tawangsari Sepanjang, belajar pada
Syaikhona R. Muhammad Kholil Bangkalan Madura, dan Pesantren Tebuireng
Jombang di bawah asuhan Hadratusy Syaikh KH. M. Hasyim Asy‘ari.
Disamping itu, Kyai Wahab juga merantau ke Makkah untuk berguru kepada
Syaikh Mahfudz at-Tirmasi dan Syaikh Al-Yamani.
KH. Abdul Wahab Hasbullah adalah pelopor kebebasan berpikir di
kalangan Umat Islam Indonesia, khususnya di lingkungan nahdhiyyin. KH. A.
Wahab Hasbullah merupakan seorang ulama besar Indonesia. Ia merupakan
seorang ulama yang menekankan pentingnya kebebasan dalam keberagamaan
terutama kebebasan berpikir dan berpendapat. Untuk itu kyai Abdul Wahab
Hasbullah membentuk kelompok diskusi yang diberi nama “Tashwirul Afkar“
(Pergolakan Pemikiran) di Surabaya pada 1914. Tashwirul Afkar tidak hanya
menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga menjadi ajang komunikasi dan
forum saling tukar informasi antar tokoh nasional sekaligus jembatan bagi
komunikasi antara generasi muda dan generasi tua. Karena sifat rekrutmennya

16
Ahmad Khoirul Anam, dkk. Ensiklopedia Nahdlatul Ulama: Sejarah, Tokoh, dan
Khazanah Pesantren Jilid 2, (Jakarta: Pustaka Kompas, 2014). 59
17
Lathifatul Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama..., 90.
11
yang lebih mementingkan progresivitas berpikir dan bertindak, maka jelas pula
kelompok diskusi ini juga menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang
gandrung pada pemikiran keilmuan dan dunia politik. Kemudian pada tahun
1916 mendirikan Organisasi Pemuda Islam yang diberi nama Nahdlatul
Wathan, kemudian pada 1926 menjadi Ketua Tim Komite Hijaz.
KH Abdul Wahab Hasbullah adalah seorang ulama yang berpandangan
modern, da’wahnya dimulai dengan mendirikan media massa atau surat kabar,
yaitu harian umum “Soeara Nahdlatul Oelama” atau Soeara NO dan Berita
Nahdlatul Ulama. Bersama dengan KH Hasyim Asy’ari menghimpun tokoh
pesantren dan keduanya mendirikan Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama)
pada tahun 1926. Selain itu KH. Abdul Wahab Hasbulloh juga seorang pencetus
dasar-dasar kepemimpinan dalam organisasi NU dengan adanya dua badan,
Syuriyah dan Tanfidziyah sebagai usaha pemersatu kalangan Tua dengan Muda.
Kemudian pada masa penjajahan, KH. Abdul Wahab Hasbullah menjadi
Panglima Laskar Mujahidin (Hizbullah) ketika melawan penjajah Jepang.

BAB III
PENUTUP

12
Simpulan

Indonesia merupakan negara yang menganut paham kebangsaan


(nation state), bukan negara yang menganut sistem monarki juga bukan
negara yang menganut sistem teokratis yang dilandaskan oleh ideologi
agama tertentu. Banyak agama yang berkembang di Indonesia. Di antara
yang telah diakui yaitu, Islam, Kristen, Budha, Hindu.
Umat Islam di bawah komando para ulama telah memberikan warna
dan sangat yang terang dalam sejarah perjuangan pergerakan kemerdekaan
negara Indonesia, utamanya dalam perlawanan menetang penjajahan
Belanda, merebut dan mempertahankan kemerdekaan pada masa revolusi
fisik saat seluruh bangsa mempertaruhkan hidup dan mati untuk tetap
tegaknya kemerdekaan Indonesia.
Ketika kehadiran tentara sekutu dan NICA (Belanda) mendarat di
Indonesia dan dimana-mana melakukan teror untuk merobohkan negara
Republik Indonesia yang masih sangat mudah pada waktu itu. NU di bawah
kepemimpinan Rais Akbar KH. Hasyim Asy’ari dalam rapat PBNU yang
dipimpin oleh Ketua Besar KH. Abdul Wahab Hasbullah terdorong untuk
mengeluarkan sebuah fatwa terkenal dengan nama "Resolusi Jihad " pada
hari senin pahing tanggal 22 Oktober 1945 M bertepatan dengan tanggal 15
Dzulqaidah 1364 H. Sebuah kebulatan tekad yang isinya mewajibkan kepada
seluruh umat Islam baik pria maupun wanita mengangkat senjata melawan
kolonialisme dan imperialisme yang meng- ancam keselamatan negara
Republik Indonesia.
KH. Hasyim Asy’ari memiliki karakter yang sangat kuat dalam
belajar serta haus dengan keilmuan. Hal ini dapat dilihat dari cara beliau
mencari ilmu. Mulai dari belajar al-Qur’an dan berbagai kitab agama bahkan
dalam berkelana untuk belajar ke sejumlah Pondok Pesantren yang terkenal
di pulau Jawa dan Madura.
KH. Abdul Wahab Hasbullah adalah pelopor kebebasan berpikir di
kalangan Umat Islam Indonesia, khususnya di lingkungan nahdhiyyin. KH.
Abdul Wahab Hasbullah merupakan seorang ulama besar Indonesia yang
13
yang menekankan pentingnya kebebasan dalam keberagamaan terutama
kebebasan berpikir dan berpendapat.
Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahab
Hasbullah sebagai pemimpin jam’iyah Nahdlatul Ulama sekaligus tokoh
panutan masyarakat di zamannya sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
kebangsaan dan nasionalisme yang berdasarkan atas syari’at Islam ‘alā Ahl
al-Sunnah wal al-Jamā’ah,

DAFTAR PUSTAKA

14
Zainal Munasichin, Resolusi Jihad NU Sejarah Yang Dilupakan (Jakarta: Dewan
Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa, 2001)

Ahmad Mansur Suryanegara, API Sejarah 2 (Bandung: PT Grafindo Media


Pratama, 2010).

Septina Alrianingrum, “Cagar Budaya Surabaya Kota Pahlawan Sebagai


Sumber Belajar (Study Kasus Mahasiswa Pendidikan Sejarah Fakultas
Ilmu Sosial di Universitas Negeri Surabaya)”, (Tesis, Universitas Sebelas
Maret, Surakarta, 2010)

Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitstional di Indonesia


(Jakarta: Pustaka Utama Grafuti, 1995),

Ahmad Mansur Suryanegara, A.P.E Korver, Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil,
(Jakarta: Grafiti, 1985)

Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama dan santrinya & Resolusi Jihad; Garda
Depan Menegakkan Indonesia 1945-1949 (Jakarta: Pustaka Compass
Tangerang, 1998)

Lathifatul Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH. Hasyim Asy’ari


(Yogyakarta: LkIS, 2000)

Khasanah dan Waskito, “Genealogi Pemikiran Pendidikan KH. Hasyim


Asy’ari”, Analisa: Jurnal Studi Keislaman, 2019,

Robin Bush dan Greg Fealy, “The Political Decline of Traditional Ulama in
Indonesia”, Asian Journal of Social Science, Vol. 42, No. 5, 2014, 94.

Mohammad Rizal Fadli dan Hidayat, KH. Hasyim Asy’ari dan Resolusi Jihad
dalam Usaha Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia Tahun 1945,
(Lampung: Laduny Alifatama, 2018).

15
Ahmad Khoirul Anam, dkk. Ensiklopedia Nahdlatul Ulama: Sejarah, Tokoh,
dan Khazanah Pesantren Jilid 2, (Jakarta: Pustaka Kompas, 2014).

16

Anda mungkin juga menyukai