Anda di halaman 1dari 8

NAHDAHTUL ULAMA DAN DINAMIKA SEJARAH

PERJUANGAN BANGSA

Disusun oleh :
Aulia Putri Ananta (06)
Chantika Alma Desita (08)
Dalia (09)
Dewi Anggraeni Kusuma (10)
Naufal Muhammad Ikbar (22)

SMA WACHID HASYIM 1 SURABAYA


JL. SIDOTOPO WETAN NO. 37
TAHUN PELAJARAN 2022-2023
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Nahdlatul Ulama pada Masa Penjajahan

Pada awal periode berdirinya, NU lebih mengutamakan pembentukan persatuan


di kalangan umat Islam untuk melawan kolonial Belanda, Untuk mempersatukan umat
Islam, KH. Hasyim Asy'ari melontarkan ajakan untuk bersatu dan mengajukan perilaku
moderat. Hal ini diwujudkan dalam sebuah konfederasi, Majelis Islam Ala Indonesia
(MIAI) yang dibentuk pada tahun 1937. Pada waktu itu perjuangan NU diarahkan pada
dua (2) sasaran, yaitu: Pertama, NU mengarahkan perjuangannya pada upaya
memperkuat aqidah dan amal ibadah ala Ahlussunnah wal Jamaah disertai
pengembangan persepsi keagamaan, terutama dalam masalah sosial, pendidikan, dan
ekonomi. Kedua; Perjuangan NU diarahkan kepada kolonialisme Belanda dengan pola
perjuangan yang bersifat kultural untuk mencapai Xemerdekaan. Selain itu, sebagai
organisasi sosial keagamaan NU bersikap tegas terhadap kebijakan kolonial Belanda
yang merugikan agama dan umat Islam. Misalnya: NU menolak berpartisipasi dalam
Milisia (wajib militer), dan menentang undang-undang perkawinan, masuk dalam
lembaga semu Volksraad (non kooperatif).

Pada masa penjajahan Jepang semua organisasi pergerakan nasional dibekukan


dan melarang seluruh aktivitasnya, termasuk NU. Bahkan KH. Hasyim Asy'ari (Rois
Akbar) dipenjarakan karena menolak seikirei yaitu penghormatan kaisar Jepang dengan
cara membungkukkan badan ke arah timur pada waktu waktu tertentu. Mengantisipasi
perilaku Jepang, NU melakukan serangkaian pembembenahan. Untuk urusan ke dalam
diserahkan kepada KH. Nahrowi Thohir sedangkan urusan keluar dipercayakan kepada
KH. Wahid Hasyim dan KH. Wahab Hasbullah, Program perjuangan diarahkan untuk
memenuhi tiga (3) sasaran utama, yaitu: Pertama, menyelamatkan aqidah Islam dari
faham Sintoisme, terutama ajaran Shikerei yang dipaksakan oleh Jepang. Kedua,
menanggulangi krisis ekonomi sebagai akibat perang Asia Timur. Ketiga, bekerjasama
dengan seluruh komponen Pergerakan Nasional untuk melepaskan diri dari segala
bentuk penjajahan. Setelah itu, Jepang menyadari kesalahannya memperlakukan umat
Islam dengan tidak adil. Beberapa organisasi Islam kemudian dicairkan pembekuannya.
Untuk menggalang persatuan, pada bulan Oktober 1943 dibentuk federasi antar
organisasi Islam yang diberi nama Majelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI)
dengan ketua umum KH. Hasyim Asy'ari. Pada bulan Agustus 1944 dibentuk Shumubu
(Kantor Urusan Agama) untuk tingkat pusat dengan ketua KH. Hasyim Asy'ari tetapi
kemudian diserahkan kepada putranya KH. Wahid Hasyim karena KH. Hasyim Asy'ari
lebih memilih fokus mengurusi pondok pesantren dan Shumuka untuk tingkat daerah.
B. Nahdlatul Ulama ada Masa Kemerdekaan

Pada tanggal 7 September 1944 Jepang mengalami kekalahan perang Asia


Timur, sehingga pemerintah Jepang akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia.
Untuk itu dibentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI). BPUPKI berangggotakan 62 orang yang diantaranya adalah tokoh NU (KH.
Wahid Hasyim dan KH. Masykur).Materi pokok dalam diskusi-diskusi BPUPKI ialah
tentang dasar dan bentuk Negara. Begitu rumitnya pembahasan tentang dasar dan
falsafah negara maka disepakati dibentuk "Panitia Sembilan. Dalam panitia kecil ini
NU diwakili oleh KH Wahid Hasyim, hasilnya disepakati pada dasar Negara mengenal
"Ketuhanan" ditambah dengan kalimat "Dengan kewajiaban menjalankan Syari'at
Islam bag pemeluknya. Keputusan ini dikenal dengan "Piagam Jakarta".

Sehari setelah Indonesia merdeka, Moh Hatta memanggil empat tokoh muslim
untuk menanggapi keberatan masyarkat non muslim tentang dimuatnya Piagam Jakarta
dalam pembukaan UUD 1945. Demi menjaga keutuhan dan kesatuan bangsa, KH.
Wahid Hasyim mengusulkan agar Piagam Jakarta diganti dengan "Ketuhanan yang
Maha Esa. Kata "Esa berarti keesaan Tuhan (Tauhid) yang ada hanya dalam agama
Islam, dan usul ini diterima. Pada 16 September 1945 tentara Belanda (NICA) tiba
kembali di Indonesia dengan tujuan ingin kembali menguasai Indonesia. Melihat
ancaman tersebut, NU segera mengundang para utusan dan pengurus seluruh Jawa dan
madura dalam sidang Pleno Pengurus Besar pada 22 Oktober 1945. Pada rapat tersebut
dikeluarkan "Resolusi Jihad yang secara garis besar berisi:

1. Kemerdekaqan Indonesia wajib dipertahankan


2. Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah wajib dibela dan
diselamatkan.
3. Musuh RI, terutama Belanda pasti akan menggunakan kesempatan politik dan
militer untuk kembali menjajah Indonesia.
4. Umat Islam terutama warga NU wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan
kawan-kawanya yang hendak kembali menjajah Indonesia.
5. Kewajiban Jihad tersebut adalah suatu jihad yang menjadi kewajiban bagi setiap
muslim (Hukumnya fardlu 'Ain).

Resolusi Jihad ini benar-benar menjadi inspirasi bagi berkobarnya semangat


juang Arek-Arek Surabaya dalam peristiwa 10 November 1945 yang dikenal dengan
"Hari Pahlawan".

C. Nahdlatul Ulama pada Masa Orde Lama

Setelah proklamasi kemerdekaan, hampir semua organisasi Islam sepakat


menjadikan MASYUMI sebagai partai politik, termasuk NU. Namun pada tahun 1950
NU memutuskan untuk keluar dari MASYUMI karena terjadi konflik internal, Pada
Muktamar NU ke-19 di Palembang 1952 memutuskan menjadi Partai Politik, dengan
demikian NU memasuki dunia politik secara otonom dan terlibat langsung dalam
persoalan-persoalan Negara. Untuk melapangkan jalan di dunia polotik, NU masuk
dalam kabinet Ali Sastroamijoyo, seperti KH. Zainul Arifin (Wakil Perdana Menteri),
KH. Masykur (Menteri Agama), begitu pula dengan susunan kabinet yang lain.

Prestasi yang disandang NU pada masa Orde Lama, diantaranya:


1) Penyelenggaraan PEMILU pertama diserahkan kepada sebuah panitia PEMILU
yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil partai politik. Jadi, tidak dilaksanakan
oleh pemerintah. Hal yang demikian dikenang dan dicatat oleh sejarah sebagai
PEMILU yang diselenggarakan berdasarkan policy Mendagri Mr. Soenarjo
(dari NU). Pada PEMILU ini, NU meraih 45 kursi di parlemen (DPR).
2) lahirnya PP 10: membatasi aktifitas ekonomi para pengusaha asing serta
bertujuan memproteksi dan mendorong agar para pengusaha pribumi dapat
berkembang. PP ini lahir pada saat Departemen Perdagangan dipimpin oleh Drs.
Rahmat Mulyoamiseno (NU).
3) Penggagasan berdirinya masjid Istiqlal oleh KH. A. Wahid Hasyim (Merte
Agama saat itu) dan disetujui Presiden Soekarno. Adapun pelaksanaanny
direalisasikan pada masa Menteri Agama KH. M. Ilyas (NU). Keempat,
penggagasan pendirian IAIN oleh KH. Wahib Wahab (Menteri Agama saat itu).
4) Realisasi penerjemahan al-Qur'an kedalam bahasa Indonesia oleh Menter
Agama Prof. KH. Syaifuddin Zuhri (NU).
5) Penyelenggaraan kegiatan Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) yang
diprakarsai oleh Menteri Agama KH. M. Dahlan (NU), yang di kemudian hari
menjad acara nasional, silaturrohmi para qori' dan huffadz se-tanah air.
6) Penggagalan terbentuknya "Kabinet Kaki Empat (PNI-PKI-Masyumi NU),
perlawanan langsung terhadap aksi-aksi PKI disegala bidang. Ketika Prof. Dr.
Hamka dihantam PKI, NU melalui media massa yang dimiliknya, yaitu surat
kabar harian Duta Masyarakat (Dumas) secara terang-terangan membela
Hamka Puncak dari perlawanan NU terhadap PKI adalah gagalnya G30S PKI.
NU tercatat sebagai partai politik pertama yang mengusulkan kepada Presiden
Soekamo agar PKI dibubarkan. Sikap tegas ini dicetuskan oleh NU pada tanggal
5 Oktober 1965 ketika masyarakat Indonesia masih bersikap ragu-ragu tentang
siapa yang menjadi arsitek gerakan 30S PKI. Sikap tegas tersebut berupa
pembentukan Front Pembela Pancasila yang diketuai oleh Subhan ZE (Ketua
PBNU).

D. Nahdlatul Ulama pada Masa Orde Baru

Setelah Kabinet Ampera terbentuk (25 Juli 1966), menyusul tekad membangun
dicanangkan UU Penanaman Modal Asing (10 Januari 1967), kemudian Penyerahan
Kekuasaan Pemerintah RI dari Soekamo kepada Mandataris MPRS (12 Februari 1967),
lalu disusul pelantikan Soeharto (12 Maret 1967) sebagai Pejabat Presiden sungguh
merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Gerakan Pemuda Ansor. Luapan kegembiraan
itu tercermin dalam Kongres VII GP Ansor di Jakarta, Ribuan utusan yang hadir seolah
tak kuat membendung kegembiraan atas runtuhnya pemerintahan Orde Lama,
dibubarkannya PKI dan diharamkanya komunisme, Marxisme dan Leninisme di bumi
Indonesia.
Bukan berarti tak ada kekecewaan, justru dalam kongres Vil itulah, rasa tak puas
dan kecewa terhadap perkembangan politik pasca Orla ramai diungkapkan. Seperti
dungkapkan Ketua Umum GP Ansor Jahja Ubald SH, bahwa setelah mulai rampungnya
perjuangan Orde Baru, diantara partner sesama Orba telah mulai melancarkan siasat
untuk mengecilkan peranan GP Ansor dalam penumpasan G 30 S/PKI dan
penumbangan rezim Orde Lama. Bahwa suasana Kongres VII, dengan demikian,
diliputi dengan rasa kegembiraan dan kekecewaan yang cukup mendalam.Kongres VII
GP Ansor berlangsung di Jakarta, 23-28 Oktober 1967. hadir dalam kongres tersebut
sejumlah utusan dari 26 wilayah (Propinsl) dan 252 Cobang (Kabupaten) se-Indonesia.
Hadir pula menyampaikan amanat; Ketua MPRS Jenderal A.H.Nasution; Pejabat
Presiden Jenderal Soeharto; KH. Dr Idham Chalid (Ketua PBNU): H.M.Subchan ZE
(Wakil Ketua MPRS); H. Imron Rosyadi, SH (mantan Ketua Umum PP.GP Ansor) dan
KH. Moh. Dachlan (Ketua Dewan Partai NU dan Menteri Agama RI).

Dalam kongres ini juga merumuskan Penegasan Politik Gerakan sebagai berikut:

1) Menegaskan Orde Baru dengan beberapa persyaratan:


• membasmi komunisme, marxisme dan leninisme.
• menolak kembalinya kekuasaan totaliter/Orde Lama dalam segala bentuk.
• mempertahankan kehidupan demokrasi yang murni dan
• mempertahankan eksistensi Partijwezen
2) Toleransi Agama dijamin oleh UUD 1945. Dalam pelaksanaannya harus
memperhatikan kondisi daerah serta perasaan penganut-penganut agama lain
3) Mempertahankan politik luar negeri yang bebas aktif, anti penjajahan dan
penindasaan dalam menuju perdamaian dunia.

Rumusan penegasan politik tersebut tentu dilatarbelakangi kajian mendalam


mengenai situasi politik yang berkembang saat itu. Kajian atau analisis itu, juga
mengantisipasi perkembangan berikutnya. Memang begitulah yang dilakukan kongres.
Perkara politik itu pula-lah yang paling menonjol dalam kongres VII tersebut. Itulah
sebabnya, dalam kongres itu diputuskan: Bahwa GP Ansor memutuskan untuk ikut
dalam penumpasan sisa-sisa PKI yang bermotif ideologis dan strategis. Kepada yang
bermotif politis. Ansor menghadapinya secara kritis dan korektif. Sedangkan yang
bermotif terror, GP.Ansor harus menentang dan berusaha menunjukkan kepalsuannya.
Atas dasar itulah, GP Ansor mendukung dan ikut di dalamnya dalam operasi
penumpasan sisa-sisa PKI di Blitar dan Malang yang dikenal dengan operasi Trisula.
Bahkan GP Ansor waktu itu sempat mengirim telegram ucapan selamat kepada
Pangdam VIIV/Brawijaya atas suksenya operasi tersebut. Ansor ikut operasi itu karena,
operasi di kedua daerah tersebut bermotif ideologis dan strategis.

Pada masa Orde Baru, Soeharto memaksa NU berfusi dengan faksi Islam lain
dengan membentuk PPP paska pemilihan umum 1971 di mana NU meraih suara
terbesar kedua setelah Golkar. Pembentukan PPP ini mengulang kejadian pembentukan
Masyumi di mana peran NU termarjinalkan oleh faksi Islam modern. Puncaknya pada
Muktamar NU Situbondo pada 1984 dengan dimotori Gus Dur mencoba "menetralkan"
NU dari politik praktis dengan kembali ke khitthah 1926. Selama 14 tahun Gus Dur
mencoba menjaga jarak dengan kekuasaan dan bermain politik bebas aktif dengan
bermain di dua kaki, ikut gerakan pro demokrasi dengan salah satunya mendirikan
Fordem tapi di sisi lain berdampingan dengan lingkar kekuasaan. Masih ingat
pernyataan Gus Dur tentang Mbak Tutut sebagai calon pemimpin masa depan Indonesia
dan menemani safari politik Tutut ke kantong kantong NU. Aktivitas Gus Dur membuat
gerah Soeharto sehingga pada Muktamar di Cipasung Tasikmalaya 1994, mencoba
didongkel dengan pencalonan Abu Hasan namun ternyata gagal.

E. Nahdlatul Ulama pada Masa Reformasi

Masa reformasi yang menjadi tanda berakhirnya kekuasaan pemerintahan orde


baru merupakan sebuah momentum bagi Nahdlatul Ulama untuk melakukan
pembenahan diri. Selama rezim orde baru berkuasa, Nahdlatul Ulama cenderung
dipinggirkan oleh penguasa saat itu. Ruang gerak Nahdlatul Ulama pada masa orde
baru juga dibatasi, terutama dalam hal aktivitas politiknya. Pada masa reformasi inilah
peluang Nahdlatul Ulama untuk memainkan peran pentingnya di Indonesia kembali
terbuka. Nahdlatul Ulama yang merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia, pada
awalnya lebih memilih sikap netral menjelang mundurnya Soeharto. Namun sikap ini
kemudian berubah, setelah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan
sebuah pandangan untuk merespon proses reformasi yang berlangsung di Indonesia,
yang dikenal dengan Refleksi Reformasi.

1) Refleksi reformasi ini berisi delapan butir pernyataan sikap dari PBNU, yaitu:
2) Nahdlatul Ulama memiliki tanggung jawab moral untuk turut menjaga agar
reformasi berjalan kearah yang lebih tepat.
3) Rekonsiliasi nasional jika dilaksanakan harus ditujukan untuk merajut kembali
ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) dan dirancang ke arah
penataan sistem kebangsaan dan kenegaraan yang lebih demokratis, jujur dan
berkeadilan,
4) Reformasi jangan sampal berhenti di tengah jalan, sehingga dapat menjangkau
terbentuknya sebuah tatanan baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
5) Penyampaian berbagai gagasan yang dikemukakan hendaknya dilakukan
dengan hati-hati, penuh kearifan dan didasari komitmen bersama serta dihindari
adanya pemaksaan kehendak,
6) Kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu harus disikapi secara and dan
bertanggung jawab.
7) TNI harus berdiri di atas semua golongan.
8) Pemberantasan KKN harus dilakukan secara serius dan tidak hanya dilakukan
pada kelompok tertentu.
9) Praktik monopoli yang ada di Indonesia harus segera dibasmi tuntas dalam
setiap praktik ekonomi.

Pada perkembangan selanjutnya, PBNU kembali mengeluarkan himbauan


yang isinya menyerukan agar agenda reformasi diikuti secara aktif oleh seluruh lapisan
dan jajaran Nahdlatul Ulama. Himbauan itu dikeluarkan pada tanggal 31 Desember
1998 yang ditandatangani oleh KH. M. Ilyas Ruhiyat, Prof. Dr. KH. Said Agil Siraj,
MA, Ir. H. Musthafa Zuhad Mughni dan Drs. Ahmad Bagdja. Menjelang Nopember
1998, para mahasiswa yang merupakan elemen paling penting dalam gerakan
reformasi, makin menjadi tidak sabar dengan tokoh-tokoh nasional yang enggan
bergerak cepat dalam gerakan reformasi ini. Pada tanggal 10 Nopember 1998 para
mahasiswa merancang sebuah pertemuan dengan mengundang KH. Abdurrahman
Wahid, Megawati Soekarnoputri, Prof.Dr. Amien Rais dan Sri Sultan
Hamengkubuwono X. Tempat pertemuan ini dipilih di Ciganjur (rumah KH.
Abdurrahman Wahid), karena kondisi kesehatan KH. Abdurrahman Wahid saat itu
belum sembuh total dari serangan stroke yang menimpanya. Keempat tokoh nasional
pro reformasi tersebut membentuk sebuah kelompok yang sering disebut Kelompok
Ciganjur. Kelompok ini kemudian mengeluarkan sebuah deklarasi yang dikenal dengan
Deklarasi Ciganjur, yang berisi delapan tuntutan reformasi, yaitu:

1) Menghimbau kepada semua pihak agar tetap menjunjung tinggi kesatuan dan
pesatuan bangsa.
2) Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan memberdayakan lembaga
3) perwakilan sebagai penjelmaan aspirasi rakyat.
4) Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat sebagai asas perjuangan di dalam
proses pembangunan bangsa.
5) Pelaksanaan reformasi harus diletakkan dalam perspektif kepentingan yang
akan datang.
6) Segera dilaksanakan pemilu oleh pelaksana independent.
7) Penghapusan dwi fungsi ABRI secara bertahap, paling lambat 6 tahun dari
tanggal pernyataan ini dibacakan.
8) Menghapus dan mengusut pelaku KKN, yang diawali dari kekayaan Soeharto
dan kroni-kroninya. 8. Mendesak untuk segera dibubarkannya PAM Swakarsa

Gerakan reformasi harus dijalankan dengan cara-cara yang damai dan menolak
segala bentuk tindakan kekerasan atas nama reformasi, Di berbagai wilayah Indonesia
digelar istighosah yang bertujuan untuk memohon kepada Allah SWT agar bangsa
Indonesia dapat segera terbebas dari krisis yang sedang melanda. Istighosah terbesar
yang diselenggarakan oleh Nahdlatul Ulama diadakan di Jakarta pada bulan Juli 1999,
yang dihadiri tokoh-tokoh nasional. Dengan penyelengaraan istighosah, diharapkan
dapat mempererat silaturahim dan mengurangi ketegangan antar komponen bangsa.
Presiden NU pertama lahir di era ini, yakni KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) seorang
tokoh NU yang kontroversial (baca: pola pikimya sulit dipahami dan sering Meskipun
pemerintahan Gus Dur hanya berlangsung dua tahun, Gus Dur telah berhasil
meletakkan dasar-dasar demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan
dalam dunia internasinal. Dua presiden RI yang disegani oleh Amerika Serikat adalah
Bung Karno dan Gus Dur.

Pada masa Reformasi, NU dari tingkatan pusat hingga daerah semakin tertata
dalam penggodogan" kader-kadernya untuk berkiprah membangun bangsa, namun
masih kurangnya respon distribusi kader (baca: mainstream penokohan) sehingga
sedikit terhambat dalam beberapa hal teknis dan kurang merata. Oleh karena itu sebagal
Jam'iyah NU harus kembali merealisasikan cita-cita luhur dalam pengembangan
keagamaan dan kebangsaan. Memulai dari hal kecil untuk gerakan yang lebih besar,
dari NU untuk Indonesia. NU dikenal sebagai organisasi keagamaan yang mengusung
moderatisme yang rahmatan lil alamin. Islam dalam coraknya NU diapresiasi oleh
banyak kalangan juga berkat konsep tawazunisme, i'tidalisme, dan tawasutisme, namun
dinamis dan kontekstual. Islam tidak hanya ramah terhadap sesama umat Islam tetapi
juga terhadap lainnya, bahkan terhadap seluruh lingkungan. Islam sebagai mayoritas
dapat menjadi pelindung bagi kaum minoritas. Makanya harus terdapat formulasi yang
tepat untuk semuanya itu. Di dalam sistem kenegaraan, maka pilihannya adalah NKRI
dengan asas Pancasila dan UUD 1945.

Anda mungkin juga menyukai