Anda di halaman 1dari 5

NU dalam Persiapan dan Setelah Kemerdekaan Indonesia

Keterlibatan NU untuk memperjuangkan berdirinya Republik terus berlanjut ketika Jepang


datang
menggantikan
penjajah
Belanda
pada
tahun
1942.

Penguasa Jepang sejak awal lebih condong bekerjasama dengan para pemimpin Islam,
ketimbang pemimpin tradisional atau pemimpin nasionalis. Kecondongan ini terjadi karena
Jepang menganggap para kyai yang memimpin pesantren merupakan pendidikan masyarakat
pedesaan, sehingga dapat dijadikan alat propaganda yang efektif. Sebagai imbalannya para
pemimpin Islam diberi kemudahan dalam urusan keagamaan. Kecondongan Jepang yang seperti
itu tidak diabaikan oleh NU.
Alasannya bukan karena mau dijadikan sebagai propagandis melainkan untuk memanfaatkan
kesempatan untuk mensosialisasikan keinginan untuk merdeka. Ketika Jepang membentuk
kantor urusan agama (shumubu) yang membentuk jaringan langsung para kyai pedesaan dan
memberi pelatihan terhadap para kyai dengan mengajarkan sejarah, kewarganegaraan, olah raga
senam dan bahasa Jepang, bukan malah membawa kyai tunduk pada Jepang tetapi sebaliknya,
terjadi
politisasi
di
kalangan
kyai.
Siasat yang dibuat NU tersebut tercium oleh Jepang. K.H. Hasyim Asyari ditangkap dengan
alasan yang tidak jelas. Terjadi kegoncangan di tubuh organisasi NU. Kegoncangan bertambah
hebat ketika K.H. Mahfudz Shiddiq ikut ditangkap dengan tuduhan melakukan gerakan anti
Jepang. Penangkapan itu terus terjadi pada ulama-ulama lain di Jawa Tengah dan Jawa Barat
dengan tuduhan yang sama yakni gerakan anti Jepang. K.H. Wahab Hasbullah mengeliminir
kegoncangan yang terjadi dalam NU dengan melakukan lobi ke beberapa pejabat Jepang, seperti
Saiko Siki Kan (Panglima tertingi bala tentara Jepang di Jakarta), Gunseikan (Kepala
Pemerintahan militer Jepang di Jakarta) dan Shuutyokan (Residen Jepang di Surabaya). Usaha
keras K.H. Wahab untuk membebaskan K.H. Hasyim, K.H. Mahfudz Shiddiq dan beberapa kiai
lainnya membuahkan hasil dibebaskannya kiai-kiai itu. Usaha untuk pembebasan ini memakan
waktu
sampai
enam
bulan.
Untuk memperkuat kekuatan militernya, Jepang membentuk kekuatan sukarela Indonesia yakni
Peta yang diikuti banyak orang Indonesia dari berbagai kalangan tak terkecuali umat Islam dan
para kiai. Kenapa orang Indonesia mau menjadi Peta, padahal mereka tahu pembentukan Peta
dimaksudkan untuk membantu tentara Jepang menghadapi Sekutu yang akan datang ke Jawa?
Masuknya banyak orang Indonesia ke Peta lebih karena untuk mengetahui seluk-beluk
kemiliteran dan mengangankan mendapat peranan politik yang lebih besar di masa yang akan
datang, bukan karena semata ingin membantu Jepang.

Selain itu, pemerintah Jepang akan membubarkan organisasi sosial-politik-keagamaan yang tidak
mau diajak bekerjasama, sebaliknya yang masih mau diajak kerjasama akan dikooptasi. MIAI
dibubarkan oleh Jepang pada tahun 1943 dan diganti dengan Masyumi (Majelis Syuro Muslimin
Indonesia) yang menyatakan siap membantu kepentingan Jepang. Hanya NU dan
Muhammadiyah yang diperbolehkan secara sah oleh Jepang untuk menjadi anggota Masyumi.
Pada tahun 1944, NU pertama kalinya masuk ke dalam struktur pemerintahan dengan
diangkatnya K.H. Hasyim Asyari sebagai Ketua Shumubu (Kantor Urusan Agama). Pada tahun
itu juga K.H. Wahid Hasyim berhasil melobi Jepang untuk memberikan pelatihan militer khusus
kepada para santri dan mengizinkan mereka membentuk barisan pertahanan rakyat tersendiri
yakni Hizbullah dan Sabillilah. Sejak saat itu ormas Islam memiliki pasukan tersendiri. Kaum
nasionalis yang netral agama menguasai tentara nasional (Peta) yang dibentuk Jepang.
Baik Peta, Hisbullah ataupun Sabilillah yang diharapkan Jepang bisa membantu Perang Asia
Timur Raya, ternyata yang terjadi malah kebalikan, kemampuan ketika komponen ini
dipergunakan untuk memukul Jepang. Pada tanggal 7 September 1944, Perdana Menteri Jepang
Kuaki Kaiso menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia. Janji itu dilontarkan karena di
beberapa medan pertempuran, Jepang mengalami kekalahan terhadap Sekutu. Janji itu kemudian
direspons secara positif oleh Pimpinan Kongres Umat Islam se-Dunia, Syekh Muhammad Amin
Al-Husaini dari Palestina mengirimkan surat kepada pemerintahan Jepang melalui Duta Besar
berkuasa penuh pemerintah Jepang untuk Jerman. Surat itu juga ditembuskan kepada K.H.
Hasyim Asyari (Rais Am Masyumi). Dengan cepat K.H. Hasyim menyelenggarakan rapat
khusus Masyumi pada tanggal 12 Oktober 1944, yang menghasilkan resolusi ditujukan kepada
pemerintah
Jepang.
Resolusi tersebut berisi; pertama, mempersiapkan umat Islam Indonesia agar mampu dan siap
menerima kemerdekaan Indonesia dan agama Islam. Kedua, mengaktifkan kekuatan umat Islam
Indonesia untuk memastikan terlaksananya kemenangan final dan mengatasi setiap rintangan dan
serangan musuh yang mungkin berusaha menghalangi kemajuan kemerdekaan Indonesia dan
agama Islam. Ketiga, bertempur dengan sekuat tenaga bersama Jepang Raya di jalan Allah untuk
mengalahkan musuh. Keempat, menyebarkan resolusi ini kepada seluruh tentara Jepang dan
kepada segenap bangsa Indonesia. (Choirul Anam, 1999: 126). Berbagai fasilitas dan kemudahan
yang diberikan oleh Jepang dimanfaatkan umat Islam untuk menyadarkan masyarakat akan hakhak politiknya di masa depan.
Jauh hari sebelum persiapan kemerdekaan dilakukan, NU pada Muktamarnya ke-15 yang
diselenggarakan bulan Juni 1942 (muktamar terakhir masa kolonial Belanda) diadakan rapat
tertutup yang dihadiri oleh 11 orang ulama yang dipimpin oleh K.H. Mahfudz Shiddiq untuk
membicarakan calon yang pantas untuk dijadikan presiden pertama Indonesia. Sebelas tokoh NU
menentukan pilihan dua nama yang disebut, yakni Soekarno dan Mohammad Hatta. Para ulama
memilih Soekarno banding Hatta dengan perbandingan suara 10:1.

Pembicaraan mengenai calon pemimpin pertama Indonesia itu dilakukan pada saat Indonesia
belum bisa memastikan kapan akan merdeka. NU melakukan pembicaraan dini mengenai
pemimpin bangsa Indonesia dikarenakan NU menganggap pemimpin itu sangat penting. Ada
ajaran (Islam) yang menyebutkan bahwa pemimpin yang lalim masih lebih baik ketimbang tidak
ada
pemimpin.
Untuk mematangkan persiapan Indonesia menyambut kemerdekaannya, pada tanggal 29 April
1945 dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
yang anggotanya berjumlah 62 orang diketuai oleh Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai
wakilnya. Dalam badan itu juga tercantum nama K.H. Wahid Hasyim sebagai anggota. BPUPKI
selain menyusun Undang-Undang Dasar (UUD) juga muncul pembicaraan mengenai bentuk
negara. Polarisasi pendapat di dalam BPUPKI mengenai bentuk negara; satu pihak
menginginkan Indonesia menjadi negara Islam, pihak lainnya menginginkan Indonesia menjadi
negara kesatuan nasional yang memisahkan negara dan agama. Di BPUPKI inilah Soekarno
meletakkan dasar-dasar bakal negara Indonesia.
Sebagian umat Islam menginginkan dibentuknya Negara Islam sehingga memungkinkan
dilaksanakannya syariat Islam secara penuh. Menurut Soekarno ada dua pilihan tentang bentuk
negara Indonesia yakni persatuan staat-agama tetapi sonder (tanpa) demokrasi atau demokrasi
tetapi staat dipisahkan dari agama.Soekarno condong memilih pilihan yang kedua. Menurutnya,
negara demokrasi dengan memisahkan agama dari negara tidak mengabaikan (nilai-nilai) agama.
(Nilai-nilai) agama bisa dimasukkan ke dalam hukum yang berlaku dengan usaha mengontrol
parlemen, sehingga undang-undang yang dihasilkan parlemen sesuai dengan Islam. Pemikiran
Soekarno ini substansialistik yang menginginkan dilaksanakannya ajaran Islam, tetapi tidak
setuju terhadap formalisasi ajaran Islam.
Dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mengusulkan agar negara Indonesia didasarkan
pada Pancasila atau lima dasar, yakni; 1) kebangsaan; 2) Internasionalisme, perikemanusiaan; 3)
Permusyawaratan, perwakilan, mufakat; 4) Kesejahteraan; 5) Ketuhanan.
Polarisasi di BPUPKI tidak berhenti begitu saja. Perdebatan sengit tentang sila Ketuhanan yang
Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan syariat agama Islam bagi pemeluk-pemeluknya yang
diajukan dalam Piagam Jakarta. Tujuh kata terakhir mendapat tentangan keras dari kelompok
nasionalis-sekuler-kristen. Perdebatan ini menurun ketika para pemimpin nasionalis-muslim
seperti Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo, dan Bagus Hadikusumo dalam pertemuannya
dengan Hatta menjelang sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal
18 Agustus 1945, sepakat untuk mencabut tujuh kalimat dalam Piagam Jakarta yang menjadi titik
sengketa dengan kelompok nasionalis-sekuler-kristen.
Piagam Jakarta adalah hasil rumusan dari tim sembilan anggota PPKI (di dalamnya KH. Wahid
Hasyim) yang bertugas merumuskan tentang dasar negara. Sikap ketiga pemimpin nasionalaismuslim tersebut merupakan kelanjutan dari diskusi antara KH. Wahid Hasyim, KH. Masykur

(NU)

dan

Kahar

Muzakir

(PII)

dengan

Soekarno

pada

akhir

Mei

1945.

Pasca Proklamasi
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia ternyata perjuangan masih terus berlanjut. Kondisi
kehidupan berbangsa dan bernegara diliputi ketegangan setelah kekalahan Jepang dari Sekutu.
Sekutu yang datang ke Indonesia untuk melakukan pelucutan senjata terhadap Jepang dilihat
sebagai musuh yang akan mengembalikan Indonesia ke tangan Belanda kembali. Terbukti tentara
Sekutu diboncengi oleh tentara Belanda (NICA). Selama periode 1945-1949, Tentara Nasional
dan laskar-laskar rakyat melakukan perlawanan sengit terhadap Sekutu dan Belanda.
Para kiai dan pengikutnya dalam jumlah yang sangat besar sejak awal terlibat aktif dalam perang
kemerdekaan. Banyak dari mereka yang tergabung dalam barisan Hizbullah yakni kelompk
semi-reguler yang dilatih kemiliteran oleh tentara Jepang. Komandan Hizbullah adalah Zainul
Arifin tokoh NU dari Sumatera Utara. Pada saat yang sama laskar-laskar yang terdiri dari kiai
desa bersama dengan pengikutnya muncul dengan nama Sabilillah yang dikomandani KH.
Masykur, tokoh NU yang kelak menjadi politisi terkenal dan pernah menjabat sebagai Menteri
Agama berkali-kali. Pada permulaan tahun 1944 setelah empat bulan Hizbullah terbentuk,
seluruh Jawa-Madura dan beberapa daerah di Kalimantan dan Sumatera juga sudah terbentuk.
Sabilillah adalah laskar pendamping Hisbullah yang terdiri dari kelompok rakyat non reguler.
Tentara Inggris mendarat pada bulan September 1945 yang menduduki Jakarta atas nama
Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Pada pertengahan bulan Oktober tentara Jepang
merebut kembali beberapa kota di Jawa (Semarang dan Bandung) yang telah jatuh ke tangan
Indonesia dan menyerahkan kepada Inggris. Pemerintah Republik Indonesia yang telah
diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 menahan diri untuk tidak melakukan perlawanan
dan mengharapkan penyelesaian secara diplomatik. Pemerintah tampaknya menerima saja ketika
bendera Belanda dikibarkan di Jakarta. Kondisi dan kenyataan ini membuat para pempimpin
Indonesia sangat marah, termasuk para ulama NU.
NU kemudian ikut terlibat aktif dalam perjuangan ini dengan fatwa yang sangat terkenal
Resolusi Jihad. Pada tanggal 21-22 Oktober wakil-wakil cabang NU di seluruh Jawa dan
Madura berkumpul di Surabaya dan menyatakan perjuangan kemerdekaan sebagai jihad.
Resolusi jihad ini meminta pemerintahan RI mendeklarasikan perang suci dengan Resolusi
tentang
jihad
Fisabilillah.
Isi resolusi Jihad itu adalah,berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ain (jang
harus dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata atau
tidak (bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 Km dari tempat masoek dan kedodoekan
moesoeh.Bagi orang-orang jadi berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi
fardloe kifayah (jang tjoekoep, kalau dikerdjakan sebagian sadja).Apabila kekoetan dalam no 1

beloem dapat mengalahkan moesoeh, maka orang-orang jang berada diloear djarak lingkaran 94
Km wajib berperang djoega membantoe No 1, sehingga moesoeh kalah. Kaki tangan moesoeh
adalah pemedjah teqat dan kehendak rajat, dan haroes dibinasakan, menoeroet hoekoem Islam
sabda Chadist, riwajat Moeslim.Resoloesi ini disampaikan kepada: P.J.M Presiden Repoeblik
Indonesia dengan perantaraan Delegasi Moetamar; Panglima Tertinggi T.R.I.; M.T. Hizboellah;
M.T. Sabilillah dan Rajat Oemoem.
Resolusi Jihad sangat berpengaruh besar terhadap umat Islam, khususnya NU. Banyak santri dan
pemuda NU ataupun rakyat umum yang kemudian bergabung ke pasukan-pasukan non reguler
seperti Hizbullah dan Sabillilah. Pada tanggal 10 Nopember, dua minggu setelah Surabaya
kedatangan Inggris (diboncengi Belanda) pecah perang, yang dikenal sebagai perang 10
Nopember
1945.
Banyak santri dan kaum muda NU terlibat aktif dalam perang tersebut. Banyak pejuang-pejuang
NU ini memakai jimat yang diberikan kiai-kiai mereka di pesantren atau di desanya. Bung
Tomo yang menggerakkan massa melalui pidato radio, mungkin tidak pernah menjadi santri,
tetapi diketahui meminta nasehat kepada K.H. Hasyim Asyari. Perang juga terjadi dibeberapa
daerah seperti di Ambarawa dan Semarang.
Dengan Resolusi Jihad dan kritiknya terhadap pemerintahan RI yang dianggap pasif menghadapi
serangan kaum agresor penjajah, NU telah menampilkan dirinya sebagai kelompok yang cinta
tanah air dengan membangun kekuatan radikal melawan musuh dengan perang. Sikap ini muncul
berkali-kali dengan terus mengkritik pemerintah yang menandatangani Perjanjian Linggarjati
dan Renville dengan Belanda. Perubahan sikap NU yang berpegang pada tradisi Sunni, yang
kadang bisa moderat dan kadang bisa radikal dipicu oleh sebuah kaidah fikih yang menjadi dasar
pegangan keagamaan mereka.
Dalam konteks ini penguasa sah adalah pemimpin-pemimpin RI, walaupun dalam sejarahnya NU
juga mengakui pemerintah Hindia Belanda sebagai pemerintah de facto yang sah yang wajib
ditaati (walaupun bukan muslim) selama masih memperbolehkan umat Islam menjalankan
agamanya. Jepang telah mengakhiri pemerintahan Hindia Belanda, dan ketika Belanda ingin
kembali, sebuah pemerintahan pribumi sudah menggantikannya.
Dari sudut pandang ini, Belanda dan sekutunya tidak lain adalah musuh kafir yang harus
dilawan. Perang suci menjadi kewajiban agama. Muktamar NU yang pertama setelah perang
adalah pada bulan Maret 1946, dan NU kembali mengeluarkan resolusi yang kali ini dikhususkan
kepada mereka yang diwajibkan agama untuk ikut serta dalam memperjuangkan
mempertahankan Negara Kesatuan Indonesia. (***) Aji Setiawan Rekening: BANK MANDIRI:
139-00-1091517-5

Anda mungkin juga menyukai