PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau disingkat menjadi Masyumi, adalah partai
politik Islam yang pernah ada selama era Demokrasi Liberal di Indonesia. Partai ini
dibubarkan oleh Presiden Sukarno pada tahun 1960 karena keterlibatan tokoh-tokohnya
dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Masyumi adalah nama yang diberikan kepada sebuah organisasi yang dibentuk oleh
Jepang yang menduduki Indonesia pada tahun 1943 dalam upaya mereka untuk
mengendalikan umat Islam di Indonesia.[2] Tidak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia, pada tanggal 7 November 1945 sebuah organisasi baru bernama Masyumi
terbentuk. Dalam waktu kurang dari setahun, partai ini menjadi partai politik terbesar di
Indonesia. Masyumi termasuk dalam kategori organisasi Islam, sama seperti Nahdlatul
Ulama dan Muhammadiyah. Selama periode demokrasi liberal, para anggota Masyumi
duduk di Dewan Perwakilan Rakyat dan beberapa anggota dari partai ini terpilih sebagai
Perdana Menteri Indonesia, seperti Muhammad Natsir dan Burhanuddin Harahap.
B. Tujuan
1. Menjelaskan latar belakang sejarah organisasi Majelis Islam A’la Indonesia dan
Masyumi.
2. Menyampaikan maksud dan tujuan dibentuknya organisasi Majelis Islam A’la Indonesia
dan Masyumi.
3. Menyampaikan tokoh pendiri organisasi Majelis Islam A’la Indonesia dan Masyumi.
C. Manfaat
PEMBAHASAN
A. Sejarah MIAI
Bubarnya MIAI
Dalam perkembangannya, MIAI kian sadar bahwa mereka tidak bisa terus hidup di
bawah naungan Jepang. Maka, MIAI terus mengembangkan organisasi mereka dengan
membentuk Majelis Pemuda yang dipimpin oleh Ir Sofwan pada Mei 1943. Tidak hanya itu,
MIAI juga membentuk Majelis Keputrian yang diketuai oleh Siti Nurjanah dan menerbitkan
majalah bertajuk Soeara MIAI.
Lewat majalah ini, MIAI mendapat simpati dari umat Islam di Indonesia. Hal itu
membuat Jepang semakin waspada. Jepang terus mengawasi setiap aktivitas yang dilakukan
para tokoh Islam dan sempat melakukan pelatihan bagi para kiai selama satu bulan.
Hasilnya, MIAI tidak membahayakan Jepang namun tak memberikan kontribusi terhadap
Jepang mengakibatkan MIAI dibubarkan pada November 1943. Organisasi penggantinya
adalah Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi.
Masyumi pada awalnya merupakan sebuah organisasi Islam yang berada dalam
pengawasan pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia. Organisasi ini didirikan pada tanggal
24 Oktober 1943 sebagai pengganti MIAI (Madjlisul Islamil A'laa Indonesia). Tujuan
pembentukan Masyumi sebagai sarana penghimpun masyarakat muslim di Indonesia untuk
dijadikan sebagai pasukan pendukung Jepang dalam perang pasifik.
Dalam kongres pertama itu, Masyumi mendeklarasikan diri sebagai partai Politik dan
bukan lagi organisasi yang menghimpun organisasi-organisasi Islam di Indonesia. Salah satu
alasan berubahnya haluan Masyumi disebabkan oleh keluarnya maklumat pemerintah tanggal
3 November 1945 yang berisi anjuran untuk mendirikan partai politik. Perkembangan anggota
Masyumi semakin pesat sejak berkat bergabungnya organisasi-organisasi Islam dari berbagai
daerah.
Perkembangan Masyumi
Tahun 1952, NU memutuskan keluar dari Masyumi. NU sudah merasa tidak nyaman
sejak pelaksanaan Muktamar Masyumi IV di Yogyakarta pada 15-18 Desember 1949. Salah satu
alasannya adalah adanya perubahan Majelis Syuro menjadi badan penasehat, serta kedudukan
wakil NU di jajaran pimpinan partai tidak seimbang dibandingkan dengan unsur-unsur lainnya.
Tahun 1960, Bung Karno mengeluarkan Keputusan Presiden terkait kebijakan anti-
multipartai. Presiden Sukarno menegaskan bahwa partai politik di Indonesia tidak usah terlalu
banyak jumlahnya karena akan membuat rakyat bingung. Kebijakan inilah yang kemudian
memungkasi riwayat Masyumi. Masyumi dinyatakan bubar per tanggal 13 September 1960
untuk menghindari cap partai terlarang dan jatuhnya korban. Adapun yang menyebutkan
Masyumi dibubarkan paksa karena menolak menyalahkan PRRI. Disebutkan pula, beberapa
anggota senior Masyumi dipenjara dengan tudingan terlibat pemberontakan.
D. Tokoh Pendiri
1. Majelis MIAI
Hasyim Asy'ri: Salah satu pendiri
Sukiman: Perdana Menteri Indonesia
Wahid Hasjim: termasuk pimpinan Masyumi
Abdul Malik Karim Amrullah: Wakil Masyumi dalam konstituante
KH Aboebakar Atjeh: Wakil Masyumi dalam konstituante
Muh. Natsir: Menteri Penerangan
Burhanuddin Harahap: Perdana Menteri Indonesia
Sjafruddin Prawiranegara: Menteri Kemakmuran
Moh. Roem: Diplomat
Muh. Isa Anshari: Ketua Partai Masyumi di parlemen
Kasman Singodimedjo: Daidan PETA
Anwar Harjono: juru bicara terakhir Partai Masyumi
2. Majelis Masyumi
Hasyim Asy'ari, salah satu pendiri,
Sukiman, Perdana Menteri Indonesia
Wahid Hasjim, putra KH Hasyim Asy'ari, termasuk dalam pimpinan partai
Masyumi sebelum membentuk Partai NU, akibat perbedaan dan kekecewaan
terhadap kebijakan dalam organisasi
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), wakil Masyumi dalam Konstituante, Kader
dan Ulama Muhammadiyah
Prof. Dr. KH. Aboebakar Atjeh, wakil Masyumi dalam Konstituante
Muhammad Natsir, Menteri Penerangan dalam beberapa kabinet pada masa
revolusi, Perdana Menteri Pertama NKRI, terkenal dengan Mosi Integral Natsir
yang mengubah Republik Indonesia Serikat menjadi Negara Kesatuan Republik
Indonesia
Burhanuddin Harahap, Perdana Menteri Indonesia
Syafrudin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran dalam beberapa kabinet pada
masa revolusi, Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia, Gubernur Bank
Indonesia Pertama, terkenal dengan kebijakan Gunting Sjafrudin
Mr. Mohammad Roem, Diplomat ulung yang dikenal lewat inisiatifnya
dalam perundingan yang kemudian dikenal sebagai Perundingan Roem -
Royen, Kader Muhammadiyah
Muhammad Isa Anshari, Ketua Partai Masyumi di Parlemen yang dikenal lantang
dan tegas dalam memegang teguh prinsip perjuangan, termasuk saat polemik
tentang dasar negara berlangsung di Majelis Konstituante sebelum akhirnya
dibubarkan dengan Dekret Presiden tanggal 5 Juli 1959.
Kasman Singodimedjo, Kader Muhammadiyah, Daidan PETA daerah Jakarta, yang
menjamin keamanan untuk diselenggarakannya Proklamasi Kemerdekaan
NKRI dan Rapat Umum IKADA
Dr. Anwar Harjono, merupakan juru bicara terakhir Partai Masyumi yang
dibekukan oleh Pemerintah Orde Lama, sehingga lahirlah Keluarga Besar Bulan
Bintang dan pada masa Orde Baru mendirikan Organisasi Dakwah.
Pada awal didirikan MIAI bertujuan menampung semua organisasi Islam yang
berkembang di Indonesia. Pasalnya, pada masa pendudukan Belanda, umat Islam banyak yang
terpecah dan pemerintah kolonial tidak menyukai umat Muslim di tanah jajahannya. Hal itu
yang kemudian dimanfaatkan oleh Jepang guna mendapatkan dukungan rakyat. Pada 1942,
pemimpin bagian pengajaran dan agama yang dibentuk Jepang, Kolonel Horie,
menyelenggarakan pertemuan bersama beberapa pemuka agama Islam dari Jawa Timur di
Surabaya. Horie mengatakan bahwa ia hendak berkenalan dengan semua pemuka agama Islam.
Namun, itu sebenarnya hanya dalih saja, karena tujuan utamanya yaitu untuk meminta umat
Islam menghentikan kegiatan politiknya. Di tempat lain, Jawa Barat, Horie mengirimkan
anggotanya yang beragama Islam, seperti Abdul Muniam Inada dan Moh Sayido Wakas untuk
secara gantian berkunjung ke masjid besar di Jakarta.
Tujuannya ialah untuk mewujudkan sebuah parti politik yang dimiliki oleh
para umat Islam dan yang merupakan penyatu umat Islam dalam bidang politik. Masyumi
akhirnya dibubarkan oleh Presiden Sukarno pada tahun 1960 kerana tokoh-tokohnya dicurigai
terlibat dalam pemberontakan Pemerintahan Revolusi Republik Indonesia (PRRI). Pada masa
pemerintahannya, Suharto sanggup memulihkan sebagian Masyumi, dengan beberapa
tokohnya dibenarkan aktif semula dalam bidang politik. Mereka itu kemudian meleburkan diri
ke dalam Parti Persatuan Pembangunan (PPP).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan