Anda di halaman 1dari 10

Makalah

“MUNCULNYA ORGANISASI ISLAM DI NUSANTARA


SEBELUM KEMERDEKAAN”

(Syarikat Islam, Masyumi, Ar Irsyad)

KELOMPOK 8:
Aprillia Kerna Putri (2131050003)
Muhammad Alfa Reza (2131050067)

PRODI SOSIOLOGI AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

Sejarah Peradaban Islam Nusantara


Dosen Pengampu:
Agus Mahfudin Setiawan M.Sos

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah


Agama Islam dipeluk oleh mayoritas rakyat Indonesia. Dengan jumlah penganut yang besar, tidak
pelak lagi secara sosial dan politik kekuatan massa yang besar ini menjadi potensi tersendiri yang harus
diperhitungkan. Umat Islam ada yang bernaung dalam organisasi – organisasi kemasyarakatan yang sangat
banyak jumlahnya di Indonesia. Keberadaaan organisasi Islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
peranannya pada zaman perjuangan kemerdekaan. Peranan para ulama Islam yang tergabung dalam berbagai
organisasi akan perjuangan mencapai kemerdekaan tidak bisa diabaikan. Bahkan para pejuang kemerdekaan
pun mayoritas beragama Islam. Di masa sekarang ini, sangat mudah untuk melupakan organisasi Islam
pendahulu yang dibentuk pada masa – masa penjajahan dan masa sebelum kemerdekaan karena adanya
berbagai isu politik dan sosial, juga keengganan generasi muda mempelajari sejarah bangsanya sendiri.
Berikut ini adalah Beberapa sejarah organisasi Islam di Indonesia yang dibentuk pada masa perjuangan
kemerdekaan Yaitu
 Syarikat Islam

 Masyumi

 Ar Irsyad

BAB II

PEMBAHASAN

 Syarikat Islam

Syarikat Islam (disingkat SI), atau Sarekat Islam, dahulu bernama Sarekat Dagang
Islam (disingkat SDI) didirikan pada tanggal 16 Oktober 1905 oleh Haji Samanhudi. SDI merupakan organisasi
yang pertama kali lahir di Indonesia, pada awalnya Organisasi yang dibentuk oleh Haji Samanhudi dan kawan-
kawan ini adalah perkumpulan pedagang-pedagang Islam yang menentang politik Belanda memberi
keleluasaan masuknya pedagang asing untuk menguasai komplar ekonomi rakyat pada masa itu. Pada
kongres pertama SDI di Solo tahun 1906, namanya ditukar menjadi Sarikat Islam. Pada tanggal 10 September
1912 berkat keadaan politik dan sosial pada masa tersebut HOS Tjokroaminoto menghadap notaris B. ter
Kuile di Solo untuk membuat Sarikat Islam sebagai Badan Hukum dengan Anggaran Dasar SI yang baru,
kemudian mendapatkan pengakuan dan disahkan oleh Pemerintah Belanda pada tanggal 14
September
1912. Hos Tjokroaminono mengubah yuridiksi SDI lebih luas yang dulunya hanya mencakupi
permasalahan ekonomi dan sosial. ke arah politik dan Agama untuk menyumbangkan semangat
perjuangan islam dalam semangat juang rakyat terhadap kolonialisme dan imperialisme pada masa tersebut.
Selanjutnya karena perkembangan politik dan sosial SI bermetamorfosis menjadi organisasi pergerakan yang
telah beberapa kali berganti nama yaitu Central Sarekat Islam (disingkat SI) tahun 1916, Partai Sarekat Islam
(PSI) tahun 1920, Partai Sarekat Islam Hindia Timur (PSIHT) tahun 1923, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)
tahun 1929, Syarikat Islam (PSII) tahun 1973 karena keluar dari Majelis Tahkim ke-33 tahun 1972 di Majalaya,
dan pada Majlis Tahkim (kongres nasional) ke-35 di Garut tahun 2003, namanya diganti menjadi Syarikat
Islam (disingkat SI). Sejak kongres tersebut, eksistensi dan pergerakan Syarikat Islam yang masih ada dan
tetap bertahan hingga sekarang disebut Syarikat Islam Indonesia. Sejak Majlis Tahkim ke-40 di Bandung
pada tahun 2015 telah mengukuhkan Dr. Hamdan Zoelva, SH., MH. sebagai Ketua Umum Laznah Tanfidziyah.
Melalui keputusan tertinggi organisasi tersebut, Syarikat Islam kembali ke khittahnya sebagai gerakan dakwah
ekonomi.

Sejarah Awal
Sarekat Dagang Islam

Tentang kapan tanggal berdirinya Sarekat Dagang Islam memiliki beberapa versi tergantung siapa pendirinya
pertama kali. Berdasarkan pendapat Samanhudi yang dia sampaikan pada tahun 1955 kepada Tamar Djaja dan
tertulis pada Majalah Daulah Islamiyah No.1, Januari 1957, dia mengatakan bahwa SDI sendiri telah dia dirikan
pada tanggal 16 Oktober 1905. Akan tetapi, bila mengikuti versi bahwa pendiri SDI adalah Tirto Adhi Soerjo,
maka SDI dimulai sejak rapat perdana pada tanggal 27 Maret 1909 di kediamannya yang berada di
Buitenzorg. Meskipun begitu, organisasi ini baru secara resmi berdiri saat dua cabang telah
terbentuk di Batavia dan Buitenzorg pada tanggal 5 April 1909. Sebelumnya. Soerjo sendiri telah
mendirikan Sarekat Priyayi pada tahun 1906 yang bertujuan menampung kaum priyayi pribumi dan
mendirikan studiefondsatau lembaga bantuan dana pendidikan yang terpusat di Betawi untuk memajukan
pribumi.

SDI bertujuan awal untuk menghimpun para pedagang pribumi Muslim (khususnya pedagang batik)
agar dapat bersaing dengan pedagang-pedagang besar Tionghoa. Pada saat itu, pedagang-pedagang
keturunan Tionghoa tersebut telah lebih maju usahanya dan memiliki hak dan status yang lebih tinggi
daripada penduduk Hindia Belanda lainnya. Kebijakan yang sengaja diciptakan oleh pemerintah Hindia-
Belanda tersebut kemudian menimbulkan perubahan sosial karena timbulnya kesadaran di antara
kaum pribumi yang biasa disebut sebagai Inlanders.

SDI merupakan organisasi ekonomi yang berdasarkan pada agama Islam dan perekonomian rakyat
sebagai dasar penggeraknya. Di bawah pimpinan H. Samanhudi, perkumpulan ini berkembang pesat hingga
menjadi perkumpulan yang berpengaruh. R.M. Tirtoadisurjo pada tahun 1909 mendirikan Sarekat Dagang
Islamiyah di Batavia. Pada tahun 1910, Tirtoadisuryo mendirikan lagi organisasi semacam itu di Buitenzorg.
Demikian pula, di Surabaya H.O.S. Tjokroaminoto mendirikan organisasi serupa tahun 1912. Tjokroaminoto
masuk SI bersama Hasan Ali Surati, seorang keturunan India, yang kelak kemudian memegang keuangan surat
kabar SI, Oetusan Hindia. Tjokroaminoto kemudian dipilih menjadi pemimpin, dan mengubah nama SDI menjadi
Sarekat Islam (SI). Pada tahun 1912, oleh pimpinannya yang baru Haji Oemar Said Tjokroaminoto, nama SDI
diubah menjadi Sarekat Islam (SI). Hal ini dilakukan agar organisasi tidak hanya bergerak dalam
bidang ekonomi, tetapi juga dalam bidang lain seperti politik. Jika ditinjau dari anggaran dasarnya, dapat
disimpulkan tujuan SI adalah sebagai berikut:

 Mengembangkan jiwa dagang.

 Membantu anggota-anggota yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha.

 Memajukan pengajaran dan semua usaha yang mempercepat naiknya derajat rakyat.
 Memperbaiki pendapat-pendapat yang keliru mengenai agama Islam.

 Hidup menurut perintah agama.

SI tidak membatasi keanggotaannya hanya untuk masyarakat Jawa dan Madura saja. Tujuan
SI adalah membangun persaudaraan, persahabatan dan tolong-menolong di antara muslim dan
mengembangkan perekonomian rakyat. Keanggotaan SI terbuka untuk semua lapisan masyarakat muslim.
Pada waktu SI mengajukan diri sebagai Badan Hukum, awalnya Gubernur Jendral Idenburg menolak. Badan
Hukum hanya diberikan pada SI lokal. Walaupun dalam anggaran dasarnya tidak terlihat adanya unsur politik,
tetapi dalam kegiatannya SI menaruh perhatian besar terhadap unsur-unsur politik dan menentang
ketidakadilan serta penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Artinya SI memiliki jumlah anggota
yang banyak sehingga menimbulkan kekhawatiran pemerintah Belanda.

Seiring dengan perubahan waktu, akhirnya SI pusat diberi pengakuan sebagai Badan Hukum pada
bulan Maret tahun 1916. Setelah pemerintah memperbolehkan berdirinya partai politik, SI berubah menjadi
partai politik dan mengirimkan wakilnya ke Volksraad tahun 1917, yaitu HOS Tjokroaminoto;
sedangkan Abdoel Moeis yang juga tergabung dalam CSI menjadi anggota volksraad atas namanya sendiri
berdasarkan ketokohan, dan bukan mewakili Central SI sebagaimana halnya HOS Tjokroaminoto yang
menjadi tokoh terdepan dalam Central Sarekat Islam. Tapi Tjokroaminoto tidak bertahan lama di lembaga
yang dibuat Pemerintah Hindia Belanda itu dan ia keluar dari Volksraad (semacam Dewan Rakyat), karena
volksraad dipandangnya sebagai "Boneka Belanda" yang hanya mementingkan urusan penjajahan di Hindia ini
dan tetap mengabaikan hak-hak kaum pribumi. HOS Tjokroaminoto ketika itu telah menyuarakan agar
bangsa Hindia (Indonesia) diberi hak untuk mengatur urusan dirinya sendiri, yang hal ini ditolak oleh pihak
Belanda.

 Masyumi

Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau disingkat menjadi Masyumi, adalah sebuah partai
politik Islam terbesar di Indonesia selama Era Demokrasi Liberal di Indonesia. Partai ini dilarang pada tahun
1960 oleh Presiden Sukarno karena diduga mendukung pemberontakan PRRI.

Masyumi adalah nama yang diberikan kepada sebuah organisasi yang dibentuk oleh Jepang yang
menduduki Indonesia pada tahun 1943 dalam upaya mereka untuk mengendalikan umat Islam
di Indonesia. Tidak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 7 November 1945
sebuah
organisasi baru bernama Masyumi terbentuk. Dalam waktu kurang dari setahun, partai ini menjadi partai
politik terbesar di Indonesia. Masyumi termasuk dalam kategori organisasi Islam, sama seperti Nahdlatul
Ulama dan Muhammadiyah. Selama periode demokrasi liberal, para anggota Masyumi duduk di Dewan
Perwakilan Rakyat dan beberapa anggota dari partai ini terpilih sebagai Perdana Menteri Indonesia,
seperti Muhammad Natsir dan Burhanuddin Harahap.

Masyumi menduduki posisi kedua dalam pemilihan umum 1955. Mereka memenangkan
7.903.886 suara, mewakili 20,9% suara rakyat, dan meraih 57 kursi di parlemen. Masyumi termasuk populer
di daerah modernis Islam seperti Sumatra Barat, Jakarta, dan Aceh. 51,3% suara Masyumi berasal dari
Jawa, tetapi Masyumi merupakan partai dominan untuk daerah-daerah di luar Jawa, dan merupakan partai
terdepan bagi sepertiga orang yang tinggal di luar Jawa. Di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi,
Masyumi memperoleh jumlah suara yang signifikan. Di Sumatra, 42,8% memilih Masyumi, kemudian jumlah
suara untuk Kalimantan mencapai 32%, sedangkan untuk Sulawesi mencapai angka 33,9%.

Pada tahun 1958, beberapa anggota Masyumi bergabung dengan pemberontakan terhadap
Soekarno. Sebagai hasilnya, pada tahun 1960 Masyumi —bersama dengan Partai Sosialis Indonesia—
dilarang.

Setelah pelarangan tersebut, para anggota dan pengikut Masyumi mendirikan Keluarga Bulan
Bintang untuk mengkampanyekan hukum syariah dan ajarannya. Sebuah upaya untuk membangkitkan kembali
partai ini selama masa transisi ke Orde Baru sempat dilakukan, tetapi tidak diizinkan. Setelah
kejatuhan Soeharto pada tahun 1998, upaya lain untuk membangkitkan partai ini kembali dilakukan,
tetapi para pengikut Masyumi mendirikan Partai Bulan Bintang, yang berpartisipasi dalam pemilihan-
pemilihan legislatif pasca-Reformasi

Sejarah Awal

Masyumi pada awalnya didirikan 24 Oktober 1943 sebagai pengganti MIAI (Madjlisul Islamil A'laa
Indonesia) karena Jepang memerlukan suatu badan untuk menggalang dukungan masyarakat Indonesia
melalui lembaga agama Islam. Meskipun demikian, Jepang tidak terlalu tertarik dengan partai-partai Islam yang
telah ada pada zaman Belanda yang kebanyakan berlokasi di perkotaan dan berpola pikir modern, sehingga
pada minggu-minggu pertama, Jepang telah melarang Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan Partai
Islam Indonesia (PII). Selain itu Jepang juga berusaha memisahkan golongan cendekiawan Islam di perkotaan
dengan para kyai di pedesaan. Para kyai di pedesaan memainkan peranan lebih penting bagi Jepang
karena dapat menggerakkan masyarakat untuk mendukung Perang Pasifik, sebagai buruh maupun tentara.
Setelah gagal mendapatkan dukungan dari kalangan nasionalis di dalam Putera (Pusat Tenaga
Rakyat), akhirnya Jepang mendirikan Masyumi.
Masyumi pada zaman pendudukan Jepang belum menjadi partai namun merupakan federasi
dari empat organisasi Islam yang diizinkan pada masa itu, yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah,
Persatuan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam Indonesia. Setelah menjadi partai, Masyumi mendirikan
surat kabar harian Abadi pada tahun 1947.

Nahdlatul Ulama (NU) adalah salah satu organisasi massa Islam yang sangat berperan dalam
pembentukan Masyumi. Tokoh NU, KH Hasyim Asy'arie terpilih sebagai pimpinan tertinggi Masyumi pada saat
itu. Tokoh-tokoh NU lainnya banyak yang duduk dalam kepengurusan Masyumi dan karenanya keterlibatan
NU dalam masalah politik menjadi sulit dihindari. Nahdlatul Ulama kemudian ke luar dari Masyumi melalui surat
keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada tanggal 5 April 1952 akibat adanya
pergesekan politik di antara kaum intelektual Masyumi yang ingin melokalisasi para kiai NU pada persoalan
agama saja. Hubungan antara Muhammadiyah dengan Masyumi pun mengalami pasang-surut secara politis
dan sempat merenggang pada Pemilu 1955. Muhammadiyah pun melepaskan keanggotaan istimewanya
pada Masyumi menjelang pembubaran Masyumi pada tahun 1960.

Struktur organisasi Masyumi terdiri dari Dewan Pimpinan Partai dan Majelis Syuro. Dewan Pimpinan
Partai bertindak sebagai lembaga eksekutif yang membuat pernyataan politik dan memutuskan kebijakan
partai. Majelis Syuro merupakan lembaga penasihat yang berperan untuk memberi nasihat dan fatwa kepada
Dewan Pimpinan Partai perihal langkah apa yang akan diambil oleh partai secara garis besar. Susunan
kepengurusan pimpinan partai didominasi oleh para politisi yang berlatar belakang pendidikan Barat. Di sisi lain,
Majelis Syuro didominasi oleh para ulama, terutama para pemimpin organisasi Islam, seperti K.H. Hasyim
Asyari dan K.H. Wahid Hasyim dari Nahdlatul Ulama, dan Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah. Masuknya
unsur-unsur organisasi dalam Masyumi sebagai anggota istimewa berperan besar dalam peningkatan
anggotanya, terutama dari kalangan umat Islam

 Al Irsyad

Jam'iyyah al-Ishlah wal Irsyad al-Islamiyyah) adalah organisasi di Indonesia yang bergerak di bidang
pendidikan dan kegiatan keagamaan. Organisasi ini didirikan pada 6 September 1914 (15 Syawwal 1332 H).
Tanggal tersebut merujuk pada pendirian sekolah Al-Irsyad pertama di Batavia. Organisasi ini
memiliki pengakuan hukumnya sendiri dari pemerintah kolonial Belanda pada 11 Agustus 1915.

Al-Irsyad Al-Islamiyyah adalah organisasi Islam nasional Indonesia. Dalam hal keanggotaan,
sebagaimana dinyatakan dalam Anggaran Dasar Al-Irsyad adalah: "Warga negara Republik Indonesia yang
beragama Islam yang telah dewasa." Jadi tidak benar anggapan bahwa Al-Irsyad adalah organisasi orang-
orang keturunan Arab. Tokoh sentral dari pendirian Al-Irsyad adalah Syekh Ahmad As-Surkati Al-Anshari,
seorang cendekiawan Islam Sudan yang tinggal di Mekah lalu datang ke Indonesia atas
permintaan organisasi Jamiat Kheir untuk menjadi guru.

Para pendiri adalah sebagai berikut:

 Syekh Ahmad Surkati

 Umar Manqush

 Sa'id bin Salim Masy'abi

 Shalih 'Ubaid 'Abdat

 Salim bin 'Iwad Balwa'al

Dalam periode pertama perkembangannya, gerakan Irsyadi berada di bawah kepemimpinan Salim bin
'Iwad Balwa'al dan administrasinya termasuk Syekh Muhammad 'Ubayd 'Abbud sebagai sekretaris dan Sa'id
bin Salim Mash'abi sebagai bendahara. Semua pendiri kecuali Ahmad Surkati adalah pedagang kaya dan
pengusaha di Jakarta.

Segera setelah berdirinya gerakan Irsyadi, Surkati menyerahkan sekolahnya ke gerakan ini dan
menjadi kepala sekolah al-Irsyad. Dia bergabung dengan salah satu cendekiawan Islam dari Hadramaut di
Indonesia, Syekh Muhammad 'Ubayd 'Abbud dan semua teman-temannya dari luar negeri. Pada tahun 1913
gerakan Irshadi mendirikan sekolah-sekolah berikut:

 Sekolah dasar tiga tahun (Awwaliyah)

 Sekolah dasar empat tahun (Ibtida'iyah)

 Sekolah menengah dua tahun (tajhiziyah)

 Sekolah guru empat tahun (mu'allimin)

Di antara Muslim pribumi yang mendukung upaya ini adalah Haji Ahmad Dahlan dan Haji Zamzam.
Ahmad Dahlan adalah anggota Jamiat Kheir yang kemudian mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912 dan
Haji Zamzam kemudian membangun PERSIS pada tahun 1923. Organisasi trio ini pada dasarnya memiliki
semangat dan upaya yang sama.

Pada hari-hari awal sekolah, sebagian besar mata pelajaran yang diajarkan sebagian besar terkait
dengan ilmu-ilmu Islam dan bahasa Arab. Sekolah Irsyadi Jakarta yang pertama memiliki sebelas guru dari luar
negeri dan hanya satu guru Indonesia (yang mengajar bahasa Indonesia

Pada tahun 1917 dua cabang dibuka di luar Jakarta, satu di Surabaya dan satu lagi di Tegal. Cabang
di Surabaya dijalankan oleh Abu al-Fadhl al-Anshari (saudara Surkati). Sekolah ini mempekerjakan dua guru
Mesir, Muhammad Mursyidi dan 'Abdul Qadir al-Muhanna. Pada tahun 1922 'Abdul Qadir al-Muhanna
digantikan oleh' Umar b. Salim Hubays. Sekolah cabang al-Irsyad di Tegal dibuka dan dikelola oleh seorang
siswa Surkati, 'Abdullah bin Salim al-Attas bersama dengan Syekh Muhammad Nuh al-Ansari dan lulusan lain
dari al-Irsyad Jakarta, 'Ali Harharah. Syekh Abu al-Faghl juga salah satu gurunya

Gerakan Al-Irsyad didasarkan pada lima prinsip berikut:

 Untuk memegang kepercayaan Keesaan Allah dengan memurnikan ketaatan dan ibadah dari kontaminasi
oleh elemen kemusyrikan

 Untuk mewujudkan kesetaraan di antara umat Islam dan untuk mencari penilaian hukum yang ditemukan
dalam Quran dan Sunnah dan untuk mengikuti cara salaf dalam solusi untuk semua masalah agama yang
diperselisihkan.

 Untuk memerangi apa yang disebut taqlid a'ma (penerimaan buta) yang bertentangan dengan aqli (akal)
dan naqli (Alquran dan Hadis)

 Untuk menyebarkan ajaran Islam dan budaya Arab yang disetujui oleh Allah

 Berusaha menciptakan saling pengertian antara Muslim Indonesia dan Arab

 Beberapa upaya Organisasi ini adalah membangun sekolah, panti asuhan, merawat rumah dan rumah
sakit.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Serikat Islam merupakan cikal bakal kebangkitan organisasi Islam di nusantara. Kehadirannya
membawa dinamika pergerakan dan pemikiran Islam yang hingga hari ini masih terjadi. Serikat Islam tidak
hanya bergerak pada bidang awal berdirinya, yaitu bersatu para pedagang muslim untuk menghadapi
tekanan pasar yang dibela oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada perjalanan perkembangan selanjutnya,
menjadi partai politik yang membawa semangat kebangkitan, kesadaran sosial, untuk memerdekakan
dari dari pemerintah kolonial.

Perpecahan organisasi-organisasi, partai-partai, yang terjadi pada sekarang ini, senyatanya bukan
cerita baru. Pada masa lalu, perjuangan kerap berakibat pada pergesekan kepentingan politik sehingga
membuat perpecahan. Kemunduran Partai Islam dalam politik praktis akibat perpecahan tersebut.
Terabainya kepentingan awal pendirian akibat kepentingan sesaat. Tumbuhnya partai-partai Islam
merupakan dinamika pemikiran yang memang tidak mungkin dipersatukan. Ini dimungkinkan terjadi akibat
pemahaman terhadap ajaran Islam, kepentingan yang menyaru dalam perjuangan juga godaan-godaan
kekuasaan. Serikat Islam memiliki kultur yang terbuka, sangat mudah disusupi kepentingan lain. Kultur
yang terbuka memang membuat perkembangan begitu cepat tetapi sering pula bubar sebelum
semuanya stabil. Serikat islam kini masih ada, sebagai organisasi kemasyarakatan biasa, yang diketahui
Hamdan Zoelva.

Kini begitu banyak organisasi-organisasi massa Islam yang didirikan baik sebelum kemerdekaan
hingga setelah kemerdekaan. Baik dengan itikad politik kekuasaan, seperti halnya partai Islam, maupun
dengan itikad politik ekonomi, hingga politik ideologi, namun rentan sekali mengalami perpecahan seperti
terjadi dengan Serikat Islam. Perlu ada kesadaran, agar organisasi-organisasi ini saling memberi ruang
kerja di tengah masyarakat, membagi wilayah dan tidak bisa dibentur-benturkan oleh kepentingan
politik kekuasaan. Sekadar menyebutkan organisasi seperti Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
(ICMI), Front Pembela Islam (FPI), sebagai organisasi baru semestinya mengintrospeksi diri agar bisa
diterima dan dicintai ummat lebih luas. Adapun yang telah ada sebelum kemerdekaan, seperti
Muhammadiyah, NU, Persis (Jabar), Al Wasliyah (Sumut), Nahdhatul Wathan (NW) Lombok, Perti
(Sumbar), Al Khairat (Palu Sulteng), hendaknya memiliki forum komunikasi yang kuat dan tak mudah
tergiur dengan godaan politik yang begitu massif sehingga mengguncang kekuatan organisasi.
Dakwah Islamiyah dengan wahana organisasi sangat rentan perpecahan, oleh karenanya perlu
penguatan pengkaderan dengan modul yang jelas dan teruji. Pelajaran penting dari Serikat Islam perlu
diambil agar wahana Dakwah Islamiyah tidak mengalami persoalan dan jatuh pada lubang yang sama.
Salam.
DAFTAR PUSTAKA

 Valina Singka Subekti, Partai Syarikat Islam Indonesia: Kontestasi Politik hingga Konflik Kekuasaan Elit,
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014.

 Bambang Setiawan & Bestian Nainggolan (Eds) (2004) 'Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi
dan Program 2004-2009 (Indonesian Political Parties: Ideologies and Programs 2004-2009Kompas
(1999) ISBN 978-979-709-121-7

 Simanjuntak, P.H.H (2003) Kabinet-Kabinet Republik Indonesia: Dari Awal Kemerdekaan Sampai
Reformasi(CabinetsoftheRepublicofIndonesia:FromtheStartofIndependencetotheReformera, Penerbit
Djambatan, Jakarta, ISBN 978-979-428-499-5

 Susunan Pengurus Al irsyad Al Islamiyyah

Anda mungkin juga menyukai